Contoh : d-tubokurarin
Contoh : suksinilkolin
Farmakodinamik
ACh yang dilepaskan dari ujung saraf motorik akan berinteraksi dengan NM
(reseptor nikotinik otot) di endplate (lempeng akhir saraf) pada membrane sel
otot rangka dan menyebabkan depolarisasi local (endplate potential, EPP) yang
bila melewati Et (ambang rangsang) akan menghasilkan potensial aksi otot
(MAP (muscle action potential). Selanjutnya MAP akan menimbulkan kontraksi
otot. d-tubokurarin (d-Tc) dan penghambat kompetitif lainnya mempunyai cara
kerja yang sama yaitu menduduki reseptor nikotinik otot (NM), sehingga
menghalangi interaksinya dengan ACh. Akibatnya EPP menurun, EPP yang
menurun sampai kurang dari 70% tidak mencapai Et sehingga tidak
menghasilkan MAP dan kontraksi otot tidak terjadi. Tetapi stimulasi listrik
langsung pada ototnya dapat menimbulkan kontraksi. Impuls dalam akson tidak
terganggu (FKUI, 2008).
Farmakokinetik
Semua pelumpuh otot larut di air, relatif tidak larut di lemak, diabsorbsi dengan
kurang baik di usus dan diabsorbsi dengan baik melalui injeksi IM. Volume
distribusi dan klirens dapat dipengaruhi oleh penyakit hati, ginjal dan gangguan
kardiovaskular. Pada penurunan cardiac output, distribusi obat akan melemah
dan menurun, dengan perpanjangan paruh waktu, onset yang melambat dan efek
yang menguat. Pada hipovolemia, volume distribusi menurun dan konsentrasi
puncak meninggi dengan efek klinis yang lebih kuat. Pada pasien dengan
edema, volume distribusi meningkat, konsentrasi di plasma menurun dengan
efek klinis yang juga melemah. Banyak obat pelumpuh otot sangat tergantung
dengan ekskresi ginjal untuk eliminasinya. Hanya suxamethonium, atracurium
dan cisatracurium yang tidak tergantung dengan fungsi ginjal. Umur juga
mempengaruhi farmakokinetik obat pelumpuh otot. Neonatus dan infant
memiliki plasma klirens yang menurun sehingga eliminasi dan paralisis akan
memanjang. Sedangkan pada orang tua, dimana cairan tubuh sudah berkurang,
terjadi perubahan volume distribusi dan plasma klirens. Biasanya ditemui
sensitivitas yang meningkat dan efek yang memanjang. Fungsi ginjal yang
menurun dan aliran darah renal yang menurun menyebabkan klirens yang
menurun dengan efek pelumpuh otot yang memanjang (FKUI, 2008).
Indikasi
Kegunaan klinis utama pelumpuh otot adalah sebagai adjuvant dalam anesthesia
untuk mendapatkan relaksasi otot rangka terutama pada dinding abdomen
sehingga manipulasi bedah mudah dilakukan. Hal tersebut menguntungkan
karena risiko depresi napas dan kardiovaskular akibat anestesia dikurangi.
Selain itu masa pemulihan pasca-anastesia dipersingkat (Taylor, 2006).
Obat golongan ini bekerja selektif di SSP dan terutama digunakan untuk
mengurangi rasa nyeri akibat spasme otot atau spastisitas yang terjadi pada
gangguan musculoskeletal dan neuromuscular. Mekanisme kerjanya mungkin
akibat aktivitas depresi SSP (FKUI, 2008).
Obat yang tersedia sekarang hanya dapat mengurangi nyeri akibat spame otot,
tetapi kurang efektif untuk memperbaiki fungsi otot yang terganggu. Dalam
kelompok ini dikenal baclofen, tizanidine, siklobenzaprin, mefenesin,
klorzoksazon, metokarbamol, karisoprodol, diazepam, dll.
Obat-obat penghambat ganglion yang bekerja pada reseptor nikotinik juga ada 2
golongan yaitu yang merangsang lalu menghambat dan yang langsung menghambat.
Nikotin dan TMA (Tetrametilamonium) merupakan prototip golongan pertama,
sedangkan heksametonium dan trimetafan adalah prototip golongan kedua (Katzung,
2004).
Obat-obat ganglion ini bekerja seperti ACh pada reseptor nikotinik ganglia (NN)
dan menimbulkan EPSP awal yang mencapai ambang rangsang sehingga terjadi
perangsangan ganglion. EPSP (depolarisasi) yang persisten kemudian
menimbulkan hambatan ganglion (desensitisasi kolinoseptor) (FKUI, 2008).
Farmakodinamik
Perubahan dalam tubuh setelah pemberian nikotin sangat rumit dan sering tidak
dapat diramalkan. Hal ini dikarnakan kerja nikotin yang sangat luas terhadap
ganglion simpatis maupun parasimpatis. Perangsangan ganglion terjadi dengan dosis
kecil, timbul EPSP awal yang mencapai ambang rangsang dan menimbulkan
potensial aksi, kemudian dengan dosis yang lebih besar terjadi EPSP (depolarisasi)
yang persisten, yang menimbulkan desensitisasi reseptor sehingga terjadi
penghambatan ganglion (FKUI, 2008).
Nikotin adalah suatu perangsang SSP yang kuat yang akan menimbulkan tremor
serta konvulsi pada dosis besar. Perangsangan respirasi sangat jelas dengan nikotin,
dosis besar langsung pada medulla oblongata , diikuti dengan depresi, kematian
akibat paralisis pusat pernapasan dan paralisis otot-otot pernapasan (perifer) (FKUI,
2008).
Farmakokinetik
Nikotin mengalami metabolism terutama di hati, tetapi bisa juga di paru dan ginjal.
Nikotin yang diinhalasi dimetabolisme dalam jumlah yang berarti di paru-paru.
Metabolit utamanya adalah kotinin. Masa paruh setelah inhalasi atau pemberian
parenteral kira-kira 2 jam. Kecepatan ekskresi melalui urin tergantung dari pH urin
(berkurang pada pH alkali dan meningkat pada pH asam). Nikotin diekskresi melalui
air susu. Kadarnya dalam air susu pada perokok berat bisa mencapai 0,5 mg/L
Berbeda dengan penghambatan oleh nikotin dan TMA, efek penghambatan obat-
obat golongan ini tidak didahului oleh perangsangan. Hambatan ini terjadi secara
kompetitif dengan menduduki reseptor asetilkolin. Penglepasan asetilkolin dari
ujung serat prasinaps tidak diganggu. Dalam golongan ini termasuk heksametonium
(C6), pentolinium (C5), klorisondamin, dll (FKUI, 2008).
Farmakodinamik
Kerja C6 dan obat-obat lain dalam golongan ini pada alat tubuh hampir semuanya
dapat dijelaskan dengan penghambatan pada ganglion simpatis dan parasimpatis /
hasil penghambatannya bergantung pada tonus otonom semula. Tonus yang
dominan akan dihambat lebih jelas. Perubahan denyut jantung setelah pemberian
penghambat ganglion tergantung tonus semula. Umumnya, terjadi takikardi ringan
karena jantung didominasi tonus parasimpatis. Tetapi brakikardia dapat terjadi bila
sebelumnya denyut jantung tinggi (FKUI, 2008).
Sekresi lambung jelas berkurang sesudah pengobatan dengan C6. Begitu juga sekresi
pancreas dan air liur. Tonus dan peristalsis lambung, usus kecil serta kolon dihambat
sehingga keinginan untuk defekasi tidak ada. Konstipasi merupakan efek samping
yang sangat mengganggu pada pengobatan dengan obat golongan ini. Hambatan
ganglion parasimpatis juga mengurangi tonus kandung kemih dan menambah
kapasitasnya sehingga terjadi retensi urin dan kesukaran berkemih (FKUI, 2008).
OBAT SUSUNAN SARAF PUSAT
8. ANESTETIK UMUM
PENDAHULUAN
Anestesi berarti suatu keadaan dengan tidak ada rasa nyeri. Anestesi umum ialah
suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi terhadap semua sensasi
akibat induksi obat. Dalam hal ini, selain hilangnya rasa nyeri, kesadaran juga hilang.
Obat anestesi umum terdiri atas golongan senyawa kimia yang heterogen, yang
mendepresi SSP secara reversibel dengan spektrum yang hampir sama dan dapat
dikontrol. Obat anastesi umum dapat diberikan secara inhalasi dan secara intravena.
Obat anastesi umum yang diberikan secara inhalasi (gas dan cairan yang mudah
menguap) yang terpenting di antaranya adalah N2O, halotan, enfluran,
metoksifluran, dan isofluran. Obat anastesi umum yang digunakan secara intravena,
yaitu tiobarbiturat, narkotik-analgesik, senyawa alkaloid lain dan molekul sejenis,
dan beberapa obat khusus seperti ketamin (Munaf, 2008).
Anestesi injeksi yang baik memiliki sifat-sifat tidak mengiritasi jaringan, tidak
menimbulkan rasa nyeri pada saat diinjeksi, asorbsinya cepat, waktu induksi, durasi
dan masa pulih dari anestesia berjalan mulus, tidak ada tremor otot, memiliki indeks
terapuetik yang tinggi, tidak bersifat toksik, minimalisasi efek samping pada organ
tubuh seperti saluran pernafasan dan kardiovaskuler, cepat dimetabolisme, tidak
bersifat akumulatif, dapat dikombinasikan dengan obat lain seperti relaksan otot,
analgesik, dan sudah diketahui antidotnya. Untuk mendapatkan efek anestesia yang
diinginkan dengan efek samping seminimal mungkin, anestesi dapat digabungkan
atau dikombinasikan antara beberapa anestesi atau dengan zat lain sebagai
preanestesi dalam sebuah teknik yang disebut balanced anesthesia (McKelvey dan
Hollingshead, 2003).
Hanya eter yang memiliki trias anestesia. Karena anestesi modern saat ini
menggunakan obat-obat selain eter, maka anestesi diperoleh dengan
menggabungkan berbagai macam obat (Muhiman, 2002).
TAHAP-TAHAP ANESTESI
Ditandai dengan pernapasan perut lebih nyata dari pada pernapasan dada karena
otot intercostal mulai lumpuh, relaksasi otot rangka sempurna, pupil lebih lebar
tapi belum maksimal. Terbagi dalam 3 bagian yaitu;
Plane II, ditandai dengan respirasi thoraco-abdominal dan bola mata ventro
medial semua otot mengalami relaksasi kecuali otot perut.
Plane III, ditandai dengan respirasi regular, abdominal, bola mata kembali
ke tengah dan otot perut relaksasi.
Menurut Omoigui (2012), beberapa obat yang paling umum digunakan untuk
memberikan anestesi umum adalah :
d. Agen anestesi volatil (mudah menguap), terhirup dalam campuran gas yang
mengandung oksigen. Kadang-kadang, untuk menghindari memulai jalur
intravena (IV) pada bayi dan anak-anak, agen volatile diberikan melalui
masker untuk induksi anestesi umum.
e. Obat lain termasuk agen antiemetic (untuk melindungi terhadap mual dan
muntah), relaksan otot, obat-obatan untuk mengontrol tekanan darah atau heart
rate, dan obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID).
A. HIPNOTIK SEDATIF
PENDAHULUAN
Sedatif dan hipnotik adalah senyawa yang dapat menekan sistem saraf pusat
sehingga menimbulkan efek sedasi lemah sampai tidur pulas. Sedatif adalah
senyawa yang menimbulkan sedasi, yaitu suatu keadaan terjadinya penurunan
kepekaan terhadap rangsangan dari luar karena ada penekanan sistem saraf pusat
yang ringan. Dalam dosis besar, sedatif berfungsi sebagai hipnotik, yaitu dapat
menyebabkan tidur pulas. Sedatif digunakan untuk menekan kecemasan yang
diakibatkan oleh ketegangan emosi dan tekanan kronik yang disebabkan oleh
penyakit atau faktor sosiologis, untuk menunjang pengobatan hipertensi, untuk
mengontrol kejang dan untuk menunjang efek anestesi sistemik. Sedatif
mengadakan potensial dengan obat analgesik dan obat penekan sistem saraf pusat
yang lain (Siswandono dan Soekardjo, 2000).
Benzodiazepin
Barbiturat
Benzodiazepine
Benzodiazepin adalah obat yang memiliki lima efek farmakologi
sekaligus, yaitu anxiolisis, sedasi, antikonvulsi, relaksasi otot melalui
medulla spinalis, dan amnesia retrograde. Obat ini kini pada umumnya
dianggap sebagai obat tidur pilihan pertama karena toksisitas dan efek
sampingnya yang relative paling ringan. Obat ini juga menimbulkan lebih
sedikit interaksi dengan obat lain, lebih ringan menekan pernapasan dan
kecendrungan penyalahgunaan yang lebih sedikit, dan tidak menginduksi
enzim mikrosom di hati. Golongan benzodiazepine diantaranya, temazepam,
nitrazepam, flurazepam, flunitrazepam, diazepam, dan midazolam
(Tjay,2002).
Barbiturat
Turunan barbiturat dengan masa kerja sangat pendek (< 0,5 jam)
Obat pada golongan ini mempunyai efek yang hampir sama dengan barbiturat,
yaitu merupakan depresan SSP, dapat menghasilkan efek hipnotik yang nyata
dengan atau tanpa efek analgetik. Pengaruh obat golongan ini terhadap
tingkatan tidur menyerupai barbiturate, indeks terapinya terbatas, dan pada
keracunan akut dapat menyebabkan depresi napas dan hipotensi, tetapi dapat
diatasi seperti halnya keracunan yang disebabkan barbiturat. Penggunaan
kronik obat golongan ini dapat menyebabkan toleransi dan ketergantungan
fisik. Yang termasuk obat golongan ini adalah, paraldehid, kloral hidrat,
etklorvinol, glutetimid, metiprilon, etinamat (Siswandono dan Soekardjo,
2000).
B. ALKOHOL
PENDAHULUAN
Alkohol yang dimaksud disini adalah etanol atau etil alkohol. Alkohol adalah salah
satu dari sekelompok senyawa organik yang dibentuk dari hidrokarbon-
hidrokarbon oleh pertukaran satu atau lebih gugus hidroksil dengan atom-atom
hidrogen dalam jumlah yang sama.
Alkohol berefek pada berbagai system organ system tubuh, seperti saluran cerna,
kardiovaskuler, dan SSP. Perkembangan embrio dan fetus juga dipengaruhi oleh
konsumsi alkohol. Minuman beralkohol tidak hanya menyebabkan mabuk, akan
tetapi pada tingkat tertentu dapat menyebabkan kematian. Pada tingkat kandungan
0,05-0,15% etanol dalam darah peminum akan mengalami kehilangan koordinasi,
pada tingkat 0,15-0,20% etanol menyebabkan keracunan, pada tingkat 0,30-0,40%
peminum hilang kesadaran dan pada tingkat yang lebih tinggi lagi yaitu 0,50 %
dapat menyebabkan kematian (Chandrasoma dan Taylor, 2005).
FARMAKOKINETIK
Setelah pemberian oral, etanol diabsorbsi dengan cepat dari lambung dan usus
halus ke dalam aliran darah dan terdistribusi ke dalam cairan tubuh total. Tingkat
absorbsi paling tinggi pada saat lambung kosong. Adanya lemak di dalam lambung
menurunkan tingkat absorbsi alcohol. Setelah minum alkohol dalam keadaan
puasa, kadar puncak alkohol di dalam darah dicapai dalam waktu 30 menit.
Distribusinya berjalan cepat, dengan kadar obat dalam jaringan mendekati kadar di
dalam darah. Volume distribusi dari etanol mendekati volume cairan tubuh total
(0,5-0,7 L/Kg. Alkohol didistribusikan di dalam tubuh (terutama dalam jaringan
adiposa), menyebabkan efek dilusi. Hal ini berkaitan dengan berat badan dan
menerangkan mengapa orang dengan obesitas memiliki kadar alkohol yang lebih
rendah dari pada orang yang kurus untuk jumlah alkohol yang sama (Chandrasoma
dan Taylor, 2005).
Ekskresi alkohol di urin dan udara yang dihembuskan biasanya sedikit, tetapi
jumlahnya yang konstan berhubungan dengan konsentrasi alkohol dalam darah
(Blood Alcohol Concentration/BAC). Hal ini merupakan prinsip yang mendasari
penggunaan pemeriksaan urin dan pernafasan pada forensik selain pemeriksaan
dengan menggunakan darah. Pada umumnya orang dewasa dapat memetabolisme
alkohol per-jam sebanyak 7-10 g (150-220 mmol), ini ekuivalen dengan bir sekitar
10 oz, anggur 3,5 oz, atau minuman keras 1 oz yang disuling dengan kadar murni
80 (Chandrasoma dan Taylor, 2005).
FARMAKODINAMIK
Konsumsi etanol akut mempengaruhi SSP, jantung dan otot polos. Alkohol dalam
dosis besar menciptakan efek metabolik bertingkat, menyebabkan kerusakan pada
hati dan sistem pencernaan. Minum alkohol akan meningkatkan sekresi lambung
dan pankreas dan merubah sawar mukosa, dengan demikian akan meningkatkan
risiko terjadinya gastritis dan pankreatitis. Perdarahan gastrointestinal akut sering
disebabkan oleh gastritis karena alkohol. Efek akut pada lambung terutama
berkaitan dengan efek toksik etanol pada mukosa membran dan kaitannya dengan
peningkatan produksi asam lambung secara relatif kecil (Katzung, 2004).
10. PSIKOTROPIK
Obat psikotropik adalah jenis obat yang bekerja secara selektif di susunan saraf pusat
(SSP) dan memiliki efek terhadap aktivitas perilaku dan mental, dan digunakan untuk
terapi gangguan psikiatrik.
a. Obat yang bekerja untuk menekan fungsi psikis terhadap susunan saraf pusat
(Neuroleptika) , yaitu obat yang sebagai anti psikotis dan sedative yang dikenal
dengan Mayor Tranquilizer. Obat ini dapat bekerja dengan menekan fungsi
psikis/jiwa tertentu tanpa menekan fungsi-fungsi umum seperti berfikir dan
berkelakuan normal. Obat ini digunakan pada gangguan cerebral. Gejalanya dapat
berupa kelemahan ingatan jangka pendek dan konsentrasi, vertigo, kuping
berdengung, jari- jari dingin, dan depresi.
Neuroleptika mempunyai beberapa khasiat yaitu :
Anti psikotika, yaitu dapat meredakan emosi dan agresi, mengurangi atau
menghilangkan halusinasi, mengembalikan kelakuan abnormal dan
schizophrenia.
Sedative yaitu dapat menghilangkan rasa bimbang, takut dan gelisah, contoh
tioridazina.
Anti emetika, yaitu merintangi neorotransmiter ke pusat muntah, contoh
proklorperezin.
Analgetika yaitu menekan ambang rasa nyeri, contoh haloperidinol.
Efek samping
Gejala ekstrapiramidal yaitu kejang muka, tremor dan kaku anggota gerak
karena disebabkan kekurangan kadar dopamine dalam otak
Sedative disebabkan efek anti histamine antara lain mengantuk, lelah dan
pikiran keruh.
Diskenesiatarda, yaitu gerakan tidak sengaja terutama pada otot muka (bibir,
dan rahang).
Hipotensi, disebabkan adanya blockade reseptor alfa adrenergic dan vasolidasi.
Efek anti kolinergik dengan ciri-ciri mulut kering, obstipasi dan gangguan
penglihatan.
Efek anti serotonin menyebabkan gemuk karena menstimulasi nafsu makan
Galaktore yaitu meluapnya ASI karena menstimulasi produksi ASI secara
berlebihan.
b. Obat yang menstimulasi fungsi psikis terhadap susunan saraf pusat, dibagi 2 yaitu :
1. Anti Depresiva
Obat Anti Depresan, yaitu obat yang dapat memperbaiki suasana jiwa dapat
menghilangkan atau meringankan gejala-gejala keadaan murung yang tidak
disebabkan oleh kesulitan sosial, ekonomi dan obat-obatan serta penyakit.
Secara umum anti depresiva dapat memperbaiki suasana jiwa dan dapat
menghilangkan gejala-gejala murung dan putus asa. Obat ini terutama digunakan
pada keadaan depresi, panic dan fobia.
Anti depresiva dibagi dalam 2 golongan :
Anti depresiva generasi pertama, seringkali disebut anti depresiva trisiklis
dengan efek samping gangguan pada system otonom dan jantung. Contohnya
imipramin dan amitriptilin.
Anti deprisiva generasi kedua, tidak menyebabkan efek anti kolinergik dan
gangguan jantung, contohnya meprotilin dan mianserin.
2. Psikostimulansia yaitu obat yang dapat mempertinggi inisiatif, kewaspadaan dan
prestasi fisik dan mental dimana rasa letih dan kantuk ditangguhkan, memberikan
rasa nyaman dan kadang perasaan tidak nyaman tapi bukan depresi. Obat ini
mengacaukan fungsi mental tertentu seperti zat-zat halusinasi, pikiran, dan
impian/ khayal.
1. PENDAHULUAN
Analgesic opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti opium. Yang
termasuk golongan opioid adalah alkaloid opium, senyawa sintetik, derivate
semisintetik alkaloid opium, senyawa sintetik dengan sifat farmakologik menyerupai
morfin. Obat yang mengantagonis efek opioid disebut antagonis opioid.
RESEPTOR OPIOID. Reseptor opioid memiliki tiga jenis utama, yaitu mu (µ), delta
(δ), dan kappa(κ). Reseptor tersebut berpasangan dengan protein G. Dan memiliki
subtype : mu1, mu2, delta1, delta2, kappa1 , kappa2 , dan kappa3.
Reseptor
Obat
mu (µ) delta (δ) kappa(κ)
Peptida opioid
Enkefalin Agonis Agonis
Beta endorphin Agonis Agonis
Dinorfin Agonis lemah
Agonis
Kodein Agonis lemah Agonis lemah
Morfin Agonis Agonis lemah Agonis lemah
Metadon Agonis
Meperidin Agonis
Fentanil Agonis
Agonis- antagonis
Buprenorfin Agonis parsial
Antagonis /
Pentazosin Agonis Agonis
parsial
Nalbufin Antagonis Agonis
Antagonis
Nalokson Antagonis Antagonis Antagonis
2.2. FARMAKODINAMIK
SUSUNAN SISTEM SARAF PUSAT. Narcosis. Efek morfin terhadap SSP
berupa analgesia dan necrosis. Analgesia oleh morfin dan opioid lain sudah
timbul sebelum pasien tidur dan seringkali terjadi tanpa disertai tidur. Pada
dosis kecil (5-10 mg) dapat menimbulkan euphoria pada pasien yang gelisah,
nyeri, dan sedih. Dosis yang sama tersebut pada orang normal dapat
menimbulkan disforia. Morfin menimbulkan rasa kantuk, susah
berkonsentrasi, sukar berpikir, apatis, aktivitas motorik berkurang dan
semacamnya.
Analgesia. Efek analgesia timbul akibat kerja opioid pada reseptor mu.
Reseptor delta dan kappa dapat pula ikut berperan analgesi terutama pada
tingkat spinal. Morfin juga bekerja pada delta dan kappa, namun belum
diketahui besarnya peran kerja morfin pada kedua reseptor tersebut untuk
menimbulkan efek analgesia.
Eksitasi. Morfin dan opioid lain seringkali dapat menimbulkan mual dan
muntah, akan tetapi jarang terjadi delirium. Factor yang dapat mengubah
eksitasi morfin adalah idiosinkrasi dan tingkat eksitasi reflex SSP.
Miosis. Biasa terjadi pada agonis opioid yang bekerja pada reseptor delta dan
kappa. Hal ini terjadi karena adanya rangsangan pada segmen otonom inti saraf
okulomotor. Miosis ini dapat dilawan oleh atrofin dan skopolamin.morfin
dalam dosis tinggi dapat memperoleh tingginya daya akomodasi dan
penurunan tekanan intraokuler.
Depresi napas. Pada dosis kecil morfin sudah dapat menimbulkan depresi
napas. Sedangkan pada dosis toksik dapat menimbulkan frekuensi napas 3-4
kali/ menit dan kematian. Morfin dan analgesic opioid dapat pula untuk
menghambat reflex batuk karena reflex batuk berjalan sejajar dengan depresi
napas.
Obat analgetik antipiretik serta obat antiinflamasi nonsteroid (AINS) merupakan salah
satu kelompok obat yang banyak diresepkan dan juga digunakan tanpa resep dokter.
Obat ini memiliki efek terapi yang sama akan tetapi secara kimia obat ini heterogen.
Adapun gambar 14-1 dibawah ini mengenai klasifikasi obat analgetik anti inflamasi
non steroid (Obat AINS).
NSAID
Asam eterikoksib.
mefenamat - Generasi 2 :
lumirakoksib
DAFTAR PUSTAKA
Rizky, Amanda, dkk. 2013. Makalah Kimia Farmasi I Obat Susunan Saraf Pusat.
Pangkalpinang: Potekkes Kemenkes RI.
https://adysetiadi.files.wordpress.com/2012/11/obat-sistem-saraf-pusat.pdf (Diakses pada
tanggal 23 Mei 2017)
Chandrasoma, Parakrama, and Clive R. Taylor. "Part A. General Pathology, Section II. The
Host Response to Injury, Chapter 3. The Acute Inflammatory Response, sub-section
Cardinal Clinical Signs." Concise Pathology (3rd edition (Computer file) ed.) (2005).
E, B, C, et al., 2008. Anestesiologi. Edisi 10. Jakarta: EGC
Farmakologi, Departemen, and F. K. U. I. Terapeutik. "Farmakologi dan Terapi Edisi 5
(Cetak Ulang Dengan Perbaikan, 2008)." Jakarta: Departemen Farmakologi dan
Terapeutik FK-UI, hal (2007).
Katzung, Bertram G., Susan B. Masters, and Anthony J. Trevor, eds. Basic & clinical
pharmacology. Vol. 8. New York, NY, USA:: Lange Medical Books/McGraw-Hill, 2004.
McKelvey, Diane, K. Wayne Hollingshead, and K. Diane McKelvey. Veterinary anesthesia
and analgesia. No. SF911. M39 2003. 2003.
Muhiman M, Thaib MR, Sunatrio S. Anestesiologi. Edisi pertama. Jakarta. Penerbit Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI; 2002.p.34-98.
Munaf, S., 2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Palembang: EGC
Omoigui S. Obat-obatan Anestesia. Edisi kedua. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2012
Siswandono, Soekardjo B, 2000, Kimia Medisinal, Surabaya: Airlangga University Press.
Taylor P. Agents acting at the neuromuscular junction and autonomic ganglia. In: Brunton
LL. Lazo JS, Parker KL, eds, Goodman and Gillman’s The Pharmacological Basic of
Therapeutics, 11 ed. CH 9. New York : McGraw-Hill: 2006.
Tjay, T. H. dan Rahardja. K. (2002). Obat-Obat Penting. Edisi Kelima Cetakan Kedua.
Jakarta : PT. Elex Media Komputindo.