Anda di halaman 1dari 40

OBAT OTONOM

6. PELUMPUH OTOT DAN PELEMAS OTOT

Berdasarkan tempat hambatannya, pelemas otot dibagi menjadi 3 golongan, yaitu :

 Penghambat transmisi neuromuscular


 Pelemas otot yang bekerja sentral
 Pelemas otot lainnya

A. Penghambat transmisi neuromuscular

Obat dalam golongan ini menghambat transmisi neuromuscular sehingga


menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Berdasarkan mekanisme kerjanya,
obat ini dibagi menjadi 2 golongan :

 Obat penghambat kompetitif yang menstabilkan membrane

Contoh : d-tubokurarin

 Obat penghambat secara depolarisasi persisten

Contoh : suksinilkolin

 Farmakodinamik

ACh yang dilepaskan dari ujung saraf motorik akan berinteraksi dengan NM
(reseptor nikotinik otot) di endplate (lempeng akhir saraf) pada membrane sel
otot rangka dan menyebabkan depolarisasi local (endplate potential, EPP) yang
bila melewati Et (ambang rangsang) akan menghasilkan potensial aksi otot
(MAP (muscle action potential). Selanjutnya MAP akan menimbulkan kontraksi
otot. d-tubokurarin (d-Tc) dan penghambat kompetitif lainnya mempunyai cara
kerja yang sama yaitu menduduki reseptor nikotinik otot (NM), sehingga
menghalangi interaksinya dengan ACh. Akibatnya EPP menurun, EPP yang
menurun sampai kurang dari 70% tidak mencapai Et sehingga tidak
menghasilkan MAP dan kontraksi otot tidak terjadi. Tetapi stimulasi listrik
langsung pada ototnya dapat menimbulkan kontraksi. Impuls dalam akson tidak
terganggu (FKUI, 2008).

Kurare adalah nama generik dari bermacam-macam racun panah yang


digunakan oleh orang Indian di Amerika Selatan untuk berburu. Kurare berasal
dari beberapa tumbuhan, yaitu Strychnos dan Chondrodendron, terutama
C.Tomentosum. Bahan aktifnya terdiri dari beberapa alkaloid, diantaranya d-
tubokurarin. Kurare menyebabkan kelumpuhan dengan urutan tertentu.
Pertama, otot rangka yang kecil dan bergerak cepat seperti otot ekstrinsik mata,
jari kaki dan tangan. Kemudian disusul oleh otot yang lebih besar seperti otot-
otot tangan, tungkai, leher, dan badan. Selanjutnya otot intercostal dan yang
terakhir lumpuh adalah diafragma. Penyembuhan terjadi dengan urutan terbalik.
Kematian dapat dihindarkan dengan memberikan napas buatan sampai otot-otot
pernapasan berfungsi kembali (masa kerja d-Tc kira-kira 30 menit) (Taylor,
2006).

Seluruh pelumpuh otot merupakan senyawa ammonium kuaterner, maka tidak


menimbulkan efek sentral karena tidak dapat menembus sawar darah-otak. d-Tc
tidak menimbulkan efek langsung terhadap jantung maupun pembuluh darah.
Hipotensi timbul karena vasodilatasi perifer akibat pengelepasan histamine dan
penghambatan ganglion, dan ini terjadi pada pemberian IV yang cepat dengan
dosis yang besar (FKUI, 2008).

 Farmakokinetik

Semua pelumpuh otot larut di air, relatif tidak larut di lemak, diabsorbsi dengan
kurang baik di usus dan diabsorbsi dengan baik melalui injeksi IM. Volume
distribusi dan klirens dapat dipengaruhi oleh penyakit hati, ginjal dan gangguan
kardiovaskular. Pada penurunan cardiac output, distribusi obat akan melemah
dan menurun, dengan perpanjangan paruh waktu, onset yang melambat dan efek
yang menguat. Pada hipovolemia, volume distribusi menurun dan konsentrasi
puncak meninggi dengan efek klinis yang lebih kuat. Pada pasien dengan
edema, volume distribusi meningkat, konsentrasi di plasma menurun dengan
efek klinis yang juga melemah. Banyak obat pelumpuh otot sangat tergantung
dengan ekskresi ginjal untuk eliminasinya. Hanya suxamethonium, atracurium
dan cisatracurium yang tidak tergantung dengan fungsi ginjal. Umur juga
mempengaruhi farmakokinetik obat pelumpuh otot. Neonatus dan infant
memiliki plasma klirens yang menurun sehingga eliminasi dan paralisis akan
memanjang. Sedangkan pada orang tua, dimana cairan tubuh sudah berkurang,
terjadi perubahan volume distribusi dan plasma klirens. Biasanya ditemui
sensitivitas yang meningkat dan efek yang memanjang. Fungsi ginjal yang
menurun dan aliran darah renal yang menurun menyebabkan klirens yang
menurun dengan efek pelumpuh otot yang memanjang (FKUI, 2008).

 Indikasi

Kegunaan klinis utama pelumpuh otot adalah sebagai adjuvant dalam anesthesia
untuk mendapatkan relaksasi otot rangka terutama pada dinding abdomen
sehingga manipulasi bedah mudah dilakukan. Hal tersebut menguntungkan
karena risiko depresi napas dan kardiovaskular akibat anestesia dikurangi.
Selain itu masa pemulihan pasca-anastesia dipersingkat (Taylor, 2006).

B. Pelemas otot yang bekerja sentral

Obat golongan ini bekerja selektif di SSP dan terutama digunakan untuk
mengurangi rasa nyeri akibat spasme otot atau spastisitas yang terjadi pada
gangguan musculoskeletal dan neuromuscular. Mekanisme kerjanya mungkin
akibat aktivitas depresi SSP (FKUI, 2008).

Obat yang tersedia sekarang hanya dapat mengurangi nyeri akibat spame otot,
tetapi kurang efektif untuk memperbaiki fungsi otot yang terganggu. Dalam
kelompok ini dikenal baclofen, tizanidine, siklobenzaprin, mefenesin,
klorzoksazon, metokarbamol, karisoprodol, diazepam, dll.

C. Pelemas otot lainnya

Contohnya adalah dantrolen. Dantrolen merupakan penghambat excitation


contraction coupling. Mekanisme kerjanya, dantrolen menyebabkan relaksasi
otot rangka dengan cara menghambat penglepasan ion Ca dari reticulum
sarkoplasmik. Kekuatan kontraksi otot menurun paling banyak 75-80%.. dalam
dosis terapi, obat ini tidak mempengaruhi saraf, otot jantung, maupun otot polos,
dan juga tidak mempengaruhi kerja GABA-ergik (Taylor, 2006).
7. OBAT GANGLION

Obat-obat yang menstimulus kolinoseptor di ganglion otonom dapat dibagi menjadi 2


golongan. Golongan pertama terdiri dari obat-obat dengan spesifitas nikotinik,
termasuk nikotin sendiri. Efek perangsangnya terjadi cepat, diblok oleh
heksametonium, dan mirip EPSP awal (initial excitatory postsynaptic potential).
Golongan kedua terdiri dari muskarin dan metakolin. Efek perangsangnya timbul
lambat, diblok oleh atropine, dan mirip EPSP lambat (Katzung, 2004).

Obat-obat penghambat ganglion yang bekerja pada reseptor nikotinik juga ada 2
golongan yaitu yang merangsang lalu menghambat dan yang langsung menghambat.
Nikotin dan TMA (Tetrametilamonium) merupakan prototip golongan pertama,
sedangkan heksametonium dan trimetafan adalah prototip golongan kedua (Katzung,
2004).

A. Obat yang merangsang kemudian menghambat ganglion (Nikotin)

Obat-obat ganglion ini bekerja seperti ACh pada reseptor nikotinik ganglia (NN)
dan menimbulkan EPSP awal yang mencapai ambang rangsang sehingga terjadi
perangsangan ganglion. EPSP (depolarisasi) yang persisten kemudian
menimbulkan hambatan ganglion (desensitisasi kolinoseptor) (FKUI, 2008).

 Farmakodinamik

Perubahan dalam tubuh setelah pemberian nikotin sangat rumit dan sering tidak
dapat diramalkan. Hal ini dikarnakan kerja nikotin yang sangat luas terhadap
ganglion simpatis maupun parasimpatis. Perangsangan ganglion terjadi dengan dosis
kecil, timbul EPSP awal yang mencapai ambang rangsang dan menimbulkan
potensial aksi, kemudian dengan dosis yang lebih besar terjadi EPSP (depolarisasi)
yang persisten, yang menimbulkan desensitisasi reseptor sehingga terjadi
penghambatan ganglion (FKUI, 2008).

Nikotin adalah suatu perangsang SSP yang kuat yang akan menimbulkan tremor
serta konvulsi pada dosis besar. Perangsangan respirasi sangat jelas dengan nikotin,
dosis besar langsung pada medulla oblongata , diikuti dengan depresi, kematian
akibat paralisis pusat pernapasan dan paralisis otot-otot pernapasan (perifer) (FKUI,
2008).

 Farmakokinetik

Nikotin mengalami metabolism terutama di hati, tetapi bisa juga di paru dan ginjal.
Nikotin yang diinhalasi dimetabolisme dalam jumlah yang berarti di paru-paru.
Metabolit utamanya adalah kotinin. Masa paruh setelah inhalasi atau pemberian
parenteral kira-kira 2 jam. Kecepatan ekskresi melalui urin tergantung dari pH urin
(berkurang pada pH alkali dan meningkat pada pH asam). Nikotin diekskresi melalui
air susu. Kadarnya dalam air susu pada perokok berat bisa mencapai 0,5 mg/L

B. Obat yang langsung menghambat ganglion

Berbeda dengan penghambatan oleh nikotin dan TMA, efek penghambatan obat-
obat golongan ini tidak didahului oleh perangsangan. Hambatan ini terjadi secara
kompetitif dengan menduduki reseptor asetilkolin. Penglepasan asetilkolin dari
ujung serat prasinaps tidak diganggu. Dalam golongan ini termasuk heksametonium
(C6), pentolinium (C5), klorisondamin, dll (FKUI, 2008).

 Farmakodinamik

Kerja C6 dan obat-obat lain dalam golongan ini pada alat tubuh hampir semuanya
dapat dijelaskan dengan penghambatan pada ganglion simpatis dan parasimpatis /
hasil penghambatannya bergantung pada tonus otonom semula. Tonus yang
dominan akan dihambat lebih jelas. Perubahan denyut jantung setelah pemberian
penghambat ganglion tergantung tonus semula. Umumnya, terjadi takikardi ringan
karena jantung didominasi tonus parasimpatis. Tetapi brakikardia dapat terjadi bila
sebelumnya denyut jantung tinggi (FKUI, 2008).

Sekresi lambung jelas berkurang sesudah pengobatan dengan C6. Begitu juga sekresi
pancreas dan air liur. Tonus dan peristalsis lambung, usus kecil serta kolon dihambat
sehingga keinginan untuk defekasi tidak ada. Konstipasi merupakan efek samping
yang sangat mengganggu pada pengobatan dengan obat golongan ini. Hambatan
ganglion parasimpatis juga mengurangi tonus kandung kemih dan menambah
kapasitasnya sehingga terjadi retensi urin dan kesukaran berkemih (FKUI, 2008).
OBAT SUSUNAN SARAF PUSAT

8. ANESTETIK UMUM

 PENDAHULUAN

Anestesi berarti suatu keadaan dengan tidak ada rasa nyeri. Anestesi umum ialah
suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi terhadap semua sensasi
akibat induksi obat. Dalam hal ini, selain hilangnya rasa nyeri, kesadaran juga hilang.
Obat anestesi umum terdiri atas golongan senyawa kimia yang heterogen, yang
mendepresi SSP secara reversibel dengan spektrum yang hampir sama dan dapat
dikontrol. Obat anastesi umum dapat diberikan secara inhalasi dan secara intravena.
Obat anastesi umum yang diberikan secara inhalasi (gas dan cairan yang mudah
menguap) yang terpenting di antaranya adalah N2O, halotan, enfluran,
metoksifluran, dan isofluran. Obat anastesi umum yang digunakan secara intravena,
yaitu tiobarbiturat, narkotik-analgesik, senyawa alkaloid lain dan molekul sejenis,
dan beberapa obat khusus seperti ketamin (Munaf, 2008).

Anestesi injeksi yang baik memiliki sifat-sifat tidak mengiritasi jaringan, tidak
menimbulkan rasa nyeri pada saat diinjeksi, asorbsinya cepat, waktu induksi, durasi
dan masa pulih dari anestesia berjalan mulus, tidak ada tremor otot, memiliki indeks
terapuetik yang tinggi, tidak bersifat toksik, minimalisasi efek samping pada organ
tubuh seperti saluran pernafasan dan kardiovaskuler, cepat dimetabolisme, tidak
bersifat akumulatif, dapat dikombinasikan dengan obat lain seperti relaksan otot,
analgesik, dan sudah diketahui antidotnya. Untuk mendapatkan efek anestesia yang
diinginkan dengan efek samping seminimal mungkin, anestesi dapat digabungkan
atau dikombinasikan antara beberapa anestesi atau dengan zat lain sebagai
preanestesi dalam sebuah teknik yang disebut balanced anesthesia (McKelvey dan
Hollingshead, 2003).

Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri sentral disertai hilangnya


kesadaran yang bersifat reversibel. Dengan anestesi umum akan diperoleh trias
anestesia, yaitu (Muhiman, 2002) :
 Hipnotik (tidur)
 Analgesia (bebas dari nyeri)
 Relaksasi otot (mengurangi ketegangan tonus otot)

Hanya eter yang memiliki trias anestesia. Karena anestesi modern saat ini
menggunakan obat-obat selain eter, maka anestesi diperoleh dengan
menggabungkan berbagai macam obat (Muhiman, 2002).

 TAHAP-TAHAP ANESTESI

Stadium anestesi dibagi 4 yaitu;

 Stadium I (stadium induksi atau eksitasi volunter),

Dimulai dengan induksi anestesi dan berakhir dengan hilangnya kesadaran


(hilangnya reflex kelopak mata). Ambang persepsi sakit selama tahap ini tidak
diturunkan. Rasa takut dapat meningkatkan frekuensi nafas dan pulsus, dilatasi
pupil, dapat terjadi urinasi dan defekasi.

 Stadium II (stadium eksitasi involunter),

Dimulai dari hilangnya kesadaran sampai permulaan stadium pembedahan.


Pada stadium II terjadi eksitasi dan gerakan yang tidak menurut kehendak,
pernafasan teratur tetapi frekuensinya lebih kecil, midriasis, otot rangka mulai
melemas, inkontinensia urin, muntah, hipertensi, dan takikardia.

 Stadium III (pembedahan/operasi),

Ditandai dengan pernapasan perut lebih nyata dari pada pernapasan dada karena
otot intercostal mulai lumpuh, relaksasi otot rangka sempurna, pupil lebih lebar
tapi belum maksimal. Terbagi dalam 3 bagian yaitu;

 Plane I, yang ditandai dengan pernafasan yang teratur dan terhentinya


anggota gerak. Tipe pernafasan thoraco-abdominal, refleks pedal masih
ada, bola mata bergerak-gerak, palpebra, konjungtiva dan kornea
terdepresi.

 Plane II, ditandai dengan respirasi thoraco-abdominal dan bola mata ventro
medial semua otot mengalami relaksasi kecuali otot perut.
 Plane III, ditandai dengan respirasi regular, abdominal, bola mata kembali
ke tengah dan otot perut relaksasi.

 Stadium IV (paralisis medulla oblongata atau overdosis),

Ditandai pernapasan perut sempurna karena otot intercostal lumpuh total,


tekanan darah mulai menurun, pupil sangat lebar dan refleks cahaya hilang
(Munaf, 2008).

TAHAP NAMA KETERANGAN

Dimulai dengan keadaan sadar dan


diakhiri dengan hilangnya kesadaran.
Sulit untuk bicara; indra penciuman
1 Analgesia dan rasa nyeri hilang. Mimpi serta
halusinasi pendengaran dan
penglihatan mungkin terjadi. Tahap
ini dikenal juga sebagai tahap induksi

Terjadi kehilangan kesadaran akibat


penekananan korteks serebri.
2 Eksitasi atau
Kekacauan mental, eksitasi, atau
delirium
delirium dapat terjadi. Waktu induksi
singkat.

3 Surgical Prosedur pembedahan biasanya


dilakukan pada tahap ini

Tahap toksik dari anestesi.


Pernapasan hilang dan terjadi kolaps
4 Paralisis medular
sirkular. Perlu diberikan bantuan
ventilasi.

Tabel : Tahap Anestesi

Sumber: E, B, C, et al., 2008. Anestesiologi. Edisi 10. Jakarta: EGC.


 OBAT-OBATAN DALAM ANESTESI UMUM

Menurut Omoigui (2012), beberapa obat yang paling umum digunakan untuk
memberikan anestesi umum adalah :

a. Propofol, menghasilkan ketidaksadaran (induksi anestesi umum). Dalam


dosis kecil, dapat digunakan untuk memberika nsedasi.

b. Benzodiazepin, mengurangi kecemasan tepat sebelum operasi. Beberapa


obat-obatan yang mengurangi kecemasan juga dapat membantu menahan
terjadinya ingatan dari sebuah kejadian.

c. Narkotika, mencegah atau mengobati rasa sakit.

d. Agen anestesi volatil (mudah menguap), terhirup dalam campuran gas yang
mengandung oksigen. Kadang-kadang, untuk menghindari memulai jalur
intravena (IV) pada bayi dan anak-anak, agen volatile diberikan melalui
masker untuk induksi anestesi umum.

e. Obat lain termasuk agen antiemetic (untuk melindungi terhadap mual dan
muntah), relaksan otot, obat-obatan untuk mengontrol tekanan darah atau heart
rate, dan obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID).

9. HIPNOTIK SEDATIF DAN ALKOHOL

A. HIPNOTIK SEDATIF

 PENDAHULUAN

Sedatif dan hipnotik adalah senyawa yang dapat menekan sistem saraf pusat
sehingga menimbulkan efek sedasi lemah sampai tidur pulas. Sedatif adalah
senyawa yang menimbulkan sedasi, yaitu suatu keadaan terjadinya penurunan
kepekaan terhadap rangsangan dari luar karena ada penekanan sistem saraf pusat
yang ringan. Dalam dosis besar, sedatif berfungsi sebagai hipnotik, yaitu dapat
menyebabkan tidur pulas. Sedatif digunakan untuk menekan kecemasan yang
diakibatkan oleh ketegangan emosi dan tekanan kronik yang disebabkan oleh
penyakit atau faktor sosiologis, untuk menunjang pengobatan hipertensi, untuk
mengontrol kejang dan untuk menunjang efek anestesi sistemik. Sedatif
mengadakan potensial dengan obat analgesik dan obat penekan sistem saraf pusat
yang lain (Siswandono dan Soekardjo, 2000).

Sedatif-hipnotik berkhasiat menekan SSPbila digunakan dalam dosis yang


meningkat, suatu sedatif, misalnya fenobarbital akan menimbulkan efek berturut-
turut peredaan, tidur, dan pembiusan total (anestesi). Sedangkan pada dosis yang
lebih besar lagi dapat menyebabkan koma depresi pernapasan dan kematian. Bila
diberikan berulang kali dalam jangka waktu yang lama, senyawa ini lazimnya akan
menimbulkan ketagihan dan ketergantungan. Hipnotika atau obat tidur adalah zat-
zat yang dalam dosis terapeutik diperuntukkan untuk mempermudah atau
menyebabkan tidur. Hipnotika menimbulkan rasa kantuk, mempercepat tidur, dan
sepanjang malam mempertahankan keadaan tidur yang menyerupai tidur alamiah.
Secara ideal obat tidur tidak memiliki aktivitas sisa pada keesokan harinya (Tjay,
2002).

Hipnotik digunakan untuk pengobatan gangguan tidur, seperti insomnia. Efek


samping yang umum golongan sedatif-hipnotik adalah mengantuk dan perasan
tidak enak waktu bangun. Kelebihan dosis dapat menimbulkan koma dan kematian
karena terjadi depresi pusat medula yang vital di otak. Pengobatan jangka panjang
menyebabkan toleransi dan ketergantungan fisik (Siswandono dan Soekardjo,
2000).

 KLASIFIKASI HIPNOTIK DAN SEDATIF

Obat-obatan sedatif hipnotik diklasifikasikan menjadi 3 kelompok, yaitu :

 Benzodiazepin

 Barbiturat

 Golongan obat nonbarbiturat – nonbenzodiazepin

 Benzodiazepine
Benzodiazepin adalah obat yang memiliki lima efek farmakologi
sekaligus, yaitu anxiolisis, sedasi, antikonvulsi, relaksasi otot melalui
medulla spinalis, dan amnesia retrograde. Obat ini kini pada umumnya
dianggap sebagai obat tidur pilihan pertama karena toksisitas dan efek
sampingnya yang relative paling ringan. Obat ini juga menimbulkan lebih
sedikit interaksi dengan obat lain, lebih ringan menekan pernapasan dan
kecendrungan penyalahgunaan yang lebih sedikit, dan tidak menginduksi
enzim mikrosom di hati. Golongan benzodiazepine diantaranya, temazepam,
nitrazepam, flurazepam, flunitrazepam, diazepam, dan midazolam
(Tjay,2002).

Kerja benzodiazepan terutama interaksinya dengan reseptor penghambat


neurotransmiter yang diaktifkan oleh GABA (Gamma Aminobutyric Acid).
Efek farmakologi benzodiazepine merupakan akibat aksi GABA sebagai neuro
transmiter penghambat di otak dan blockade dari pelepasanmuatan listrik.
GABA adalah salah satu neurotransmitter-inhibisi otak yang juga berperan
pada timbulnyaserangan epilepsi. Benzodiazepine tidak mengaktifkan reseptor
GABA, melainkan meningkatkan kepekaan reseptor GABA terhadap
neurotransmitter penghambat sehingga kanal klorida terbuka dan terjadi
hiperpolarisasi sinaptik membrane sel dan mendorongpost sinaptik membrane
sel tidak dapat dieksitasi (Tjay, 2002).

 Barbiturat

Selama beberapa waktu barbiturat telah digunakan secara ekstensif sebagai


hipnotik-sedatif. Namun sekarang selain untuk penggunaan yang spesifik,
golongan obat ini telah digantikan oleh benzodiazepine yang lebih aman.
Berdasarkan masa kerjanya, turunan barbiturat dibagi menjadi 4, yaitu:

 Turunan barbiturat dengan masa kerja panjang (6 jam atau lebih)

Contohnya : barbiturat, metarbital, fenobarbital

 Turunan barbiturat dengan masa kerja sedang (3 - 6 jam)

Contohnya : alobarbital, amobarbital, aprobarbital, dan butabarbital yang


berguna untuk mempertahankan tidur dalam jangka waktu yang panjang
 Turunan barbiturat dengan masa kerja pendek (0,5 – 3 jam)

Contohnya : sekobarbital, dan penobarbital, yang digunakan untuk


menimbulkan tidur untuk orang yang sulit jatuh tidur

 Turunan barbiturat dengan masa kerja sangat pendek (< 0,5 jam)

Contohnya : thiopental yang digunakan untuk anestesi umum

Barbiturat harus dibatasi penggunaannya hanya untuk jangka waktu pendek (2


minggu / kurang) karena mempunyai efek samping. Barbiturat bekerja pada
seluruh SSP, walaupun pada setiap tempat tidak sama kuatnya. Dosis
nonanestesi terutama menekap respon pasca sinaps. Penghambatan hanya
terjadi pada sinaps GABA-nergik. Walaupun demikian efek yang terjadi
mungkin tidak semuanya melalui GABA sebagai mediator. Barbiturate
memperlihatkan efek yang berbeda pada eksitasi dan inhibisi transmisi
sinaptik, kapasitas barbiturat membantu kerja GABA sebagian menyerupai
kerja benzodiazepin, namun pada dosis yang lebih tinggi bersifat sebagai
agonis GABA-nergik, sefingga pada dosis tinggi barbiturat dapat
menimbulkan depresi SSP yang berat (Tjay, 2002).

 Golongan obat nonbarbiturat – nonbenzodiazepin

Obat pada golongan ini mempunyai efek yang hampir sama dengan barbiturat,
yaitu merupakan depresan SSP, dapat menghasilkan efek hipnotik yang nyata
dengan atau tanpa efek analgetik. Pengaruh obat golongan ini terhadap
tingkatan tidur menyerupai barbiturate, indeks terapinya terbatas, dan pada
keracunan akut dapat menyebabkan depresi napas dan hipotensi, tetapi dapat
diatasi seperti halnya keracunan yang disebabkan barbiturat. Penggunaan
kronik obat golongan ini dapat menyebabkan toleransi dan ketergantungan
fisik. Yang termasuk obat golongan ini adalah, paraldehid, kloral hidrat,
etklorvinol, glutetimid, metiprilon, etinamat (Siswandono dan Soekardjo,
2000).

B. ALKOHOL
 PENDAHULUAN

Alkohol yang dimaksud disini adalah etanol atau etil alkohol. Alkohol adalah salah
satu dari sekelompok senyawa organik yang dibentuk dari hidrokarbon-
hidrokarbon oleh pertukaran satu atau lebih gugus hidroksil dengan atom-atom
hidrogen dalam jumlah yang sama.

Alkohol berefek pada berbagai system organ system tubuh, seperti saluran cerna,
kardiovaskuler, dan SSP. Perkembangan embrio dan fetus juga dipengaruhi oleh
konsumsi alkohol. Minuman beralkohol tidak hanya menyebabkan mabuk, akan
tetapi pada tingkat tertentu dapat menyebabkan kematian. Pada tingkat kandungan
0,05-0,15% etanol dalam darah peminum akan mengalami kehilangan koordinasi,
pada tingkat 0,15-0,20% etanol menyebabkan keracunan, pada tingkat 0,30-0,40%
peminum hilang kesadaran dan pada tingkat yang lebih tinggi lagi yaitu 0,50 %
dapat menyebabkan kematian (Chandrasoma dan Taylor, 2005).

 FARMAKOKINETIK

Setelah pemberian oral, etanol diabsorbsi dengan cepat dari lambung dan usus
halus ke dalam aliran darah dan terdistribusi ke dalam cairan tubuh total. Tingkat
absorbsi paling tinggi pada saat lambung kosong. Adanya lemak di dalam lambung
menurunkan tingkat absorbsi alcohol. Setelah minum alkohol dalam keadaan
puasa, kadar puncak alkohol di dalam darah dicapai dalam waktu 30 menit.
Distribusinya berjalan cepat, dengan kadar obat dalam jaringan mendekati kadar di
dalam darah. Volume distribusi dari etanol mendekati volume cairan tubuh total
(0,5-0,7 L/Kg. Alkohol didistribusikan di dalam tubuh (terutama dalam jaringan
adiposa), menyebabkan efek dilusi. Hal ini berkaitan dengan berat badan dan
menerangkan mengapa orang dengan obesitas memiliki kadar alkohol yang lebih
rendah dari pada orang yang kurus untuk jumlah alkohol yang sama (Chandrasoma
dan Taylor, 2005).

Ekskresi alkohol di urin dan udara yang dihembuskan biasanya sedikit, tetapi
jumlahnya yang konstan berhubungan dengan konsentrasi alkohol dalam darah
(Blood Alcohol Concentration/BAC). Hal ini merupakan prinsip yang mendasari
penggunaan pemeriksaan urin dan pernafasan pada forensik selain pemeriksaan
dengan menggunakan darah. Pada umumnya orang dewasa dapat memetabolisme
alkohol per-jam sebanyak 7-10 g (150-220 mmol), ini ekuivalen dengan bir sekitar
10 oz, anggur 3,5 oz, atau minuman keras 1 oz yang disuling dengan kadar murni
80 (Chandrasoma dan Taylor, 2005).

 FARMAKODINAMIK

Konsumsi etanol akut mempengaruhi SSP, jantung dan otot polos. Alkohol dalam
dosis besar menciptakan efek metabolik bertingkat, menyebabkan kerusakan pada
hati dan sistem pencernaan. Minum alkohol akan meningkatkan sekresi lambung
dan pankreas dan merubah sawar mukosa, dengan demikian akan meningkatkan
risiko terjadinya gastritis dan pankreatitis. Perdarahan gastrointestinal akut sering
disebabkan oleh gastritis karena alkohol. Efek akut pada lambung terutama
berkaitan dengan efek toksik etanol pada mukosa membran dan kaitannya dengan
peningkatan produksi asam lambung secara relatif kecil (Katzung, 2004).

10. PSIKOTROPIK
Obat psikotropik adalah jenis obat yang bekerja secara selektif di susunan saraf pusat
(SSP) dan memiliki efek terhadap aktivitas perilaku dan mental, dan digunakan untuk
terapi gangguan psikiatrik.
a. Obat yang bekerja untuk menekan fungsi psikis terhadap susunan saraf pusat
(Neuroleptika) , yaitu obat yang sebagai anti psikotis dan sedative yang dikenal
dengan Mayor Tranquilizer. Obat ini dapat bekerja dengan menekan fungsi
psikis/jiwa tertentu tanpa menekan fungsi-fungsi umum seperti berfikir dan
berkelakuan normal. Obat ini digunakan pada gangguan cerebral. Gejalanya dapat
berupa kelemahan ingatan jangka pendek dan konsentrasi, vertigo, kuping
berdengung, jari- jari dingin, dan depresi.
Neuroleptika mempunyai beberapa khasiat yaitu :
 Anti psikotika, yaitu dapat meredakan emosi dan agresi, mengurangi atau
menghilangkan halusinasi, mengembalikan kelakuan abnormal dan
schizophrenia.
 Sedative yaitu dapat menghilangkan rasa bimbang, takut dan gelisah, contoh
tioridazina.
 Anti emetika, yaitu merintangi neorotransmiter ke pusat muntah, contoh
proklorperezin.
 Analgetika yaitu menekan ambang rasa nyeri, contoh haloperidinol.
Efek samping
 Gejala ekstrapiramidal yaitu kejang muka, tremor dan kaku anggota gerak
karena disebabkan kekurangan kadar dopamine dalam otak
 Sedative disebabkan efek anti histamine antara lain mengantuk, lelah dan
pikiran keruh.
 Diskenesiatarda, yaitu gerakan tidak sengaja terutama pada otot muka (bibir,
dan rahang).
 Hipotensi, disebabkan adanya blockade reseptor alfa adrenergic dan vasolidasi.
 Efek anti kolinergik dengan ciri-ciri mulut kering, obstipasi dan gangguan
penglihatan.
 Efek anti serotonin menyebabkan gemuk karena menstimulasi nafsu makan
 Galaktore yaitu meluapnya ASI karena menstimulasi produksi ASI secara
berlebihan.

b. Obat yang menstimulasi fungsi psikis terhadap susunan saraf pusat, dibagi 2 yaitu :
1. Anti Depresiva
Obat Anti Depresan, yaitu obat yang dapat memperbaiki suasana jiwa dapat
menghilangkan atau meringankan gejala-gejala keadaan murung yang tidak
disebabkan oleh kesulitan sosial, ekonomi dan obat-obatan serta penyakit.
Secara umum anti depresiva dapat memperbaiki suasana jiwa dan dapat
menghilangkan gejala-gejala murung dan putus asa. Obat ini terutama digunakan
pada keadaan depresi, panic dan fobia.
Anti depresiva dibagi dalam 2 golongan :
 Anti depresiva generasi pertama, seringkali disebut anti depresiva trisiklis
dengan efek samping gangguan pada system otonom dan jantung. Contohnya
imipramin dan amitriptilin.
 Anti deprisiva generasi kedua, tidak menyebabkan efek anti kolinergik dan
gangguan jantung, contohnya meprotilin dan mianserin.
2. Psikostimulansia yaitu obat yang dapat mempertinggi inisiatif, kewaspadaan dan
prestasi fisik dan mental dimana rasa letih dan kantuk ditangguhkan, memberikan
rasa nyaman dan kadang perasaan tidak nyaman tapi bukan depresi. Obat ini
mengacaukan fungsi mental tertentu seperti zat-zat halusinasi, pikiran, dan
impian/ khayal.

11. ANTIEPILEPSI DAN ANTIKONVULSI


a) Definisi
Antikonvulsan adalah sebuah obat yang mencegah atau mengurangi kejang-kejang
atau konvulsan atau Obat yang dapat menghentikan penyakit ayan, yaitu suatu
penyakit gangguan syaraf yang ditimbul secara tiba-tiba dan berkala, adakalanya
disertai perubahan-perubahan kesadaran. Digunakan terutama untuk mencegah dan
mengobati epilepsi. Golongan obat ini lebih tepat dinamakan Anti Epilepsi, sebab
obat ini jarang digunabkan untuk gejala konvulsi penyakit lain.
Epilepsi adalah nama umum untuk sekelompok gangguan atau penyakit
susunan saraf pusat yang timbul spontan dengan episode singkat (disebut Bangkitan
atau Seizure), dengan gejala utama kesadaran menurun sampai hilang.
Bangkitan ini biasanya disertai kejang (Konvulsi), hiperaktifitas otonomik,
gangguan sensorik atau psikis dan selalu disertai gambaran letupan EEG obsormal
dan eksesif. Berdasarkan gambaran EEG, apilepsi dapat dinamakan disritmia
serebral yang bersifat paroksimal. Jenis – Jenis Epilepsi yaitu:
a) Grand mal (tonik-tonik umum ) Timbul serangan-serangan yang dimulai dengan
kejang-kejang otot hebat dengan pergerakan kaki tangan tak sadar yang disertai
jeritan, mulut berbusa,mata membeliak dan disusul dengan pingsan dan sadar
kembali.
b) Petit mal Serangannya hanya singkat sekali tanpa disertai kejang.
c) Psikomotor (serangan parsial kompleks) Kesadaran terganggu hanya sebagian
tanoa hilangnya ingatan dengan memperlihatkan perilaku otomatis seperti
gerakan menelan atau berjalan dalam lingkaran.
b) Sifat obat konvulsan
 Hablur kecil atau serbuk hablur putih berkilat tidak berbau, tidak berasa, dapat
terjadi polimorfisma.
 Stabil diudara; ph larutan jenuh lbh kurang 5. sangat sukar larut dalam air, larut
dalam etanol, eter, dan dalam larutan alkali hidroksida, alkali karbonat. agak sukar
larut dalam kloroform(FI 4).
c) Mekanisme Kerja Antiepilepsi (Anti Konvulsi)
Terdapat dua mekanisme antikonvulsi yang penting, yaitu :
1. Dengan mencegah timbulnya letupan depolarisasi eksesif pada neuron epileptik
dalam fokus epilepsi.
2. Dengan mencegah terjasinya letupan depolarisasi pada neuron normal akibat
pengaruh dari fokus epilepsi.
Bagian terbesar antiepilepsi yang dikenal termasuk dalam golongan kedua diatas.
d) Penggunaan Antiepilepsi (Anti Konvulsi)
Antiepilepsi umunya memiliki lebar terapi yang sempit, seperti Fenitoin, harus
dengan teratur dan kontinu, agar kadar obat dalam darah terpelihara sekonstan
mungkin. Umumnya pengobatan dilakukan dengan dosis rendah dulu kemudian
dinaikan secara berangsur sampai efek maksimal tercapai dan kadar plasma menjadi
tetap. Jangka waktu terapi umumnya bertahun-tahun bahkan bisa seumur hidup. Bila
dalam 2-3 tahun tidak terjadi serangan maka dosis dapat diturunkan berangsur
sehingga pengobatan dapat dihentikan sama sekali.
e) Penggolongan Antiepilepsi
Kebanyakan obat epilepsi bersifat antikonvulsif, yaitu dapat meredakan konvulsi,
dan sedatif (meredakan). Obat-obat ini dapat dibagi dalam beberapa kelompok sbb :
1. Barbital-barbital, misalnya Fenobarbital, Mefobarbital, dan Heptobarbital. Obat
tidur ini bersifat mnenginduksi enzim, hingga biotransformasi enzimatisnya
dipercepat, juga penguraian zat-zat lain, antara lain penguraian vitamin D
sehingga menyebabkan rachitis, khususnya pada anak kecil.
2. Hidantoin-hidantoin, misalnya Fenitoin,strukturnya mirip fenobarbital tetapi
dengan cincin “lima hidantoin”.
3. Suksinimida-suksinimida, misalnya Metilfenilsuksinimida dan
Etosuksinimida.Obat ini terutama digunakan pada serangan psikomotor.
4. Oksazolidin-oksazolidin, misalnya Etadion dan Trimetadion, tetapi jarang
digunakan mengingat efek sampingnya berbahaya terhadap hati dan limpa.
5. Serba-serbi, misalnya Diazapam dan turunannya, Karbamazepin,
Asetazolamid, dan Asam Valproat.
f) Contoh sediaan obat
1. Fenitoin (Ditalin, Dilantin)
Zat hipnotik ini terutama efektif pada grand mal dan serangan psikomotor,
tidak untuk serangan-serangan kecil karena dapat memprofokasi serangan.
DS : oral 1-2x sehari @ 100-300 mg.
Indikasi : semua jenis epilepsi,kecuali petit mal, status
epileptikus
Kontra indikasi : gangguan hati, wanita hamil dan menyusui
Efek samping : gangguan saluran cerna, pusing nyeri kepala tremor,
insomnia.
2. Penobarbital
Zat hipnotik ini terutama digunakan pada serangan epilepsi Grand mal /
besar, biasanya dalam kombinasi dengan kafein atau efedrin guna melawan
efek hipnotisnya.
DS : oral 3 x sehari@ 25 – 75 mg maksimal 400 mg (dalam
2 dosis).
Indikasi : semua jenis epilepsi kecuali petit mal, status epileptikus
Kontra indikasi : depresi pernafasan berat, porifiria
Efek samping : mengantuk, depresi mental
3. Karbamazepin
Indikasi : epilepsi semua jenis kecuali petit mal neuralgia
trigeminus
Kontra indikasi : gangguan hati dan ginjal, riwayat depresi sumsum
tulang
Efek samping : mual, muntah, pusing, mengantuk, ataksia, bingung
4. Klobazam
Indikasi : terapi tambahan pada epilepsy penggunaan jangka
pendek ansietas.
Kontra indikasi : depresi pernafasan
Efek samping : mengantuk, pandangan kabur, bingung, amnesia,
ketergantungan kadang-kadang nyeri kepala, vertigo,
hipotensi.
5. Diazepam (valium)
Selain bersifat sebagai anksiolitika, relaksan otot, hipnotik, juga berkhasiat
antikonvulsi. Maka digunakan sebagai obat status epileptikus dalam bentuk
injeksi.
DS : oral 2 – 3 x sehari @ 2 – 5 mg
Indikasi : status epileptikus, konvulsi akibat keracunan
Kontra indikasi : depresi pernafasan
Efek samping : mengantuk, pandangan kabur, bingung, antaksia,
amnesia, ketergantungan, kadang nyeri kepala.
6. Primidon (Mysolin)
Strukturnya mirip dengan fenobarbital dan di dalam hati akan
dibiotrasformasi menjado fenobarbital, tetapi kurang sedatif dan sangat
efektif terhadap serangan grand mal dan psikomotor.
DS : Dimulai 4 x sehari @ 500 mg, hari ke 4 250 mg dan
hari ke 11 25 mg
7. Karbamazepin (Tegretol)
Senyawa trisiklik ini mirip imipramin, Digunakan pada epilepsi grand mal
dan psikomotor dengan efektifitasnya sama dengan fenitoin tetapi efek
sampingnya lebih ringan.
DS : Diminum dengan dosis rendah dan dinaikan
berangsur-angsur sampai 2-3 x sehari @ 200-400 mg

12. OBAT PENYAKIT PARKINSON


a) Definisi
Obat anti Parkinson adalah obat-obatan yang dapat mengurangi efek penyakit
Parkinson.
Penyakit parkinson/penyakit gemetaran yang ditandai dengan gejala tremor,
kaku otot atau kekakuan anggota gerak, gangguan gaya berjalan (setapak demi
setapak) bahkan dapat terjadi gangguan persepsi dan daya ingat merupakan
penyakit yang tejadi akibat proses degenerasi yang progresif dari sel-sel otak
(substansia nigra) sehingga menyebabkan terjadinya defisiensi neurotransmiter
yaitu dopamin.
b) Penggolongan obat anti Parkinson
1. Obat Dopaminergik sentral.
a. Levodopa.
b. Bromokriptin.
c. Carbidopa
2. Obat antikolinergik sentral; Triheksifenidil
3. Penghambat MAO ; Selegiline
4. Penghambat DOPA Decarboxylase; Bensarizide
Bensarizide biasa digunakan sebagai obat kombinasi dengan Levodopa.
Yang berfungsi untuk mencegah Levodopa berubah menjadi Dopamin
sehingga tidak bisa masuk ke dalam otak.
5. Obat Dopamino-antikolinergik; Pramipexole; Obat parkinson Pramipexole
digunakan untuk mengurangi gejala dari Parkinson seperti tremor, kekakuan
dan gerak yang lambat yang disebabkan oleh Parkinson.
6. Penghambat catechol-O-methyltransferase; Entacapone yang biasa
dikombinasi dengan Levodopa/Carbidopa dengan atau tidak.
c) Teknik pengobatan
Pengobatan dasar untuk Parkinson adalah Levodopa-Karbidopa. Penambahan
Karbidopa dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas Llevodopa di dalam
otak dan untuk mengurangi efek Levodopa yang tidak diinginkan di luar otak.
Kini ada kombinasi tiga obat selain Levodopa dan Karbidopa juga
ditambahkan Entacapone. Dimana fungsi Entacapone membantu kerja kedua
obat tersebut dengan memperlancar masuknya kedua obat tersebut ke otak.
Di dalam otak Levodopa dirubah menjadi Dopamin. Obat ini
mengurangi tremor dan kekakuan otot dan memperbaiki gerakan.
Penderita Parkinson ringan bisa kembali menjalani aktivitasnya secara
normal dan penderita yang sebelumnya terbaring di tempat tidur menjadi
kembali mandiri.
Tidak satupun dari obat-obat tersebut yang menyembuhkan penyakit
atau menghentikan perkembangannya, tetapi obat-obat tersebut menyebabkan
penderita lebih mudah melakukan suatu gerakan dan memperpanjang harapan
hidup penderita.
Mengkonsumsi Levodopa selama bertahun-tahun bisa menyebabkan
timbulnya gerakan lidah dan bibir yang tidak dikehendaki, wajah menyeringai,
kepala mengangguk-angguk dan lengan serta tungkai berputar-putar.
Beberapa ahli percaya bahwa menambahkan atau mengganti Levodopa
dengan Bromokriptin selama tahun-tahun pertama pengobatan bisa menunda
munculnya gerakan-gerakan yang tidak dikehendaki.
Kini obat antidepresan yang digunakan untuk parkinson hanya
Pramipexole, itupun hanya untuk mengurangi gejala yang disebabkan
Parkinson. Untuk golongan obat antidepresi golongan MAO-inhibitor
(monoamine oxidase inhibitor) tidak digunakan lagi.
Untuk mempertahankan mobilitasnya, penderita dianjurkan untuk tetap
melakukan kegiatan sehari-harinya sebanyak mungkin dan mengikuti program
latihan secara rutin. Terapi fisik dan pemakaian alat bantu mekanik (misalnya
kursi roda) bisa membantu penderita tetap mandiri.
Makanan kaya serat bisa membantu mengatasi sembelit akibat
kurangnya aktivitas, dehidrasi dan beberapa obat. Makanan tambahan dan
pelunak tinja bisa membantu memperlancar buang air besar.
Pemberian makanan harus benar-benar diperhatikan karena kekakuan
otot bisa menyebabkan penderita mengalami kesulitan menelan sehingga bisa
mengalami kekurangan gizi (malnutrisi).
Untuk pemilihan obat anti Parkinson yang tepat ada baiknya anda harus
periksakan diri dan konsultasi ke dokter.

13. ANALGESIK OPIOID DAN ANTAGONIS

1. PENDAHULUAN

Analgesic opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti opium. Yang
termasuk golongan opioid adalah alkaloid opium, senyawa sintetik, derivate
semisintetik alkaloid opium, senyawa sintetik dengan sifat farmakologik menyerupai
morfin. Obat yang mengantagonis efek opioid disebut antagonis opioid.

PEPTIDA OPIOID ENDOGEN. Alkaloid opioid menimbulkan analgesia melalui


kerjanya di daerah otak yang mengandung peptide yang memiliki sifat farmakologik
menyerupai opioid. Telah diidentifikasi tiga jenis peptide opioid: enkefalin,
endorphin, dan dinorfin. Peptide opioid yang didistribusi paling luas dan memiliki
aktivitas analgesic, adalah peptide metionin-enkefalin (met-enkefalin) dan leusin-
enkefalin. Salah satu atau kedua peptide tersebut terdapat didalam ketiga protein
precursor utama.

RESEPTOR OPIOID. Reseptor opioid memiliki tiga jenis utama, yaitu mu (µ), delta
(δ), dan kappa(κ). Reseptor tersebut berpasangan dengan protein G. Dan memiliki
subtype : mu1, mu2, delta1, delta2, kappa1 , kappa2 , dan kappa3.

Tabel 13-1. KERJA OPIOID PADA RESEPTOR OPIOID

Reseptor
Obat
mu (µ) delta (δ) kappa(κ)
Peptida opioid
Enkefalin Agonis Agonis
Beta endorphin Agonis Agonis
Dinorfin Agonis lemah
Agonis
Kodein Agonis lemah Agonis lemah
Morfin Agonis Agonis lemah Agonis lemah
Metadon Agonis
Meperidin Agonis
Fentanil Agonis
Agonis- antagonis
Buprenorfin Agonis parsial
Antagonis /
Pentazosin Agonis Agonis
parsial
Nalbufin Antagonis Agonis
Antagonis
Nalokson Antagonis Antagonis Antagonis

KLASIFIKASI OBAT GOLONGAN OPIOID. Berdasarkan kerja pada reseptor, obat


golongan opioid dibagi menjadi:

1. Agonis penuh (kuat)


2. Agonis parsial (agonis lemah sampai sedang)
3. Campuran agonis dan antagonis
4. Antagonis.
Tabel 13-2. KLASIFIKASI OBAT GOLONGAN OPIOID
Struktur dasar Agonis kuat Agonis lemah Campuran agonis- Antagonis
sampai antagonis
sedang
Fenantren Morfin Kodein Nalbufin Nalorfin
Hidromorfon Oksikodon Buprenorfin Nalokson
Oksimorfon Hidrokodon Naltrekson
Fenilheptilamin Metadon Propoksifen
Fenilpiperidin Meperidin Difenoksilat
Fentanil
Morfinan Levorfanol Butorfanol
Benzomorfan Pentazosin

2. MORFIN DAN ALKALOID OPIUM

2.1. ASAL, KIMIA, DAN SAR

Opium atau candu adalah getah Papaver somniferum L yang telah


dikeringkan.Alkaloid opium secara kimia dalam dua golongan, yaitu :

1. Golongan fenantren : morfin dan kodein.


2. Golongan benzilisokinolin : noskapin dan papaferin.

Gambar 13.1. Morfin (R1 = R2 = H)

2.2. FARMAKODINAMIK
SUSUNAN SISTEM SARAF PUSAT. Narcosis. Efek morfin terhadap SSP
berupa analgesia dan necrosis. Analgesia oleh morfin dan opioid lain sudah
timbul sebelum pasien tidur dan seringkali terjadi tanpa disertai tidur. Pada
dosis kecil (5-10 mg) dapat menimbulkan euphoria pada pasien yang gelisah,
nyeri, dan sedih. Dosis yang sama tersebut pada orang normal dapat
menimbulkan disforia. Morfin menimbulkan rasa kantuk, susah
berkonsentrasi, sukar berpikir, apatis, aktivitas motorik berkurang dan
semacamnya.

Analgesia. Efek analgesia timbul akibat kerja opioid pada reseptor mu.
Reseptor delta dan kappa dapat pula ikut berperan analgesi terutama pada
tingkat spinal. Morfin juga bekerja pada delta dan kappa, namun belum
diketahui besarnya peran kerja morfin pada kedua reseptor tersebut untuk
menimbulkan efek analgesia.

Eksitasi. Morfin dan opioid lain seringkali dapat menimbulkan mual dan
muntah, akan tetapi jarang terjadi delirium. Factor yang dapat mengubah
eksitasi morfin adalah idiosinkrasi dan tingkat eksitasi reflex SSP.

Miosis. Biasa terjadi pada agonis opioid yang bekerja pada reseptor delta dan
kappa. Hal ini terjadi karena adanya rangsangan pada segmen otonom inti saraf
okulomotor. Miosis ini dapat dilawan oleh atrofin dan skopolamin.morfin
dalam dosis tinggi dapat memperoleh tingginya daya akomodasi dan
penurunan tekanan intraokuler.

Depresi napas. Pada dosis kecil morfin sudah dapat menimbulkan depresi
napas. Sedangkan pada dosis toksik dapat menimbulkan frekuensi napas 3-4
kali/ menit dan kematian. Morfin dan analgesic opioid dapat pula untuk
menghambat reflex batuk karena reflex batuk berjalan sejajar dengan depresi
napas.

SALURAN CERNA. Morfin dapat berefek langsung pada saluran cerna,


bukan melalui efek SSP. Pada lambung morfin dapatmenghambat sekresi HCL
walaupun efek ini lemah. Pada usus halus, morfin dapat mengurangi sekresi
empedu dan pancreas, dan memperlambat pencernaan makanan di usus halus.
Pada manusia, morfin mengurangi kontraksi propulsive, meninggikan tonus
dan spasme periodic usus halus. Lebih jelasnya terlihat pada duodenum untuk
efek morfin. Pada usus besar, morfin dapat mengurangi dan menghilangkan
gerakan propulsi usus besar, meninggikan tonus dan menyebabkan spasme
usus besar. Selain itu, mofrin juga dapat menyebabkan peninggian tekanan
pada ductus koledokus.

SISTEM KARDIOVASKULER. Pada pemberian morfin dengan dosis terapi


tidak akan mempengaruhi tekanan darah, frekuensi maupun irama denyut
jantung. Tekanan darah dapat menurun akibat hipoksia pada stadium akhir
intoksikasi morfin. Efek morfin terhadap miokardium manusia tidak berarti :
frekuensi jantung tidak dipengaruhi atau hanya menurun sedikit, sedangkan
efek terhadap curah jantung tidak konstan. Gambaran EKG tidak berubah.

2.8. SEDIAAN DAN POSOLOGI


Sediaan yang mengandung campuran alkaloid dalam bentuk kasar dan
beraneka ragam dan masih dipakai. Misalnya pulvus opii mengandung 10 %
morfin dan kurang dari 0,5 % kodein. Pulvus doveri mengandung 10 % pulvus
opii, maka 150 mg pulvus doveri mengandung 1,5 mg morfin.
Sediaan yang mengandung alkaloid murni dapat digunakan untuk pemberian
oral maupun parenteral. Yang biasa digunakan adalah garam HCL, garam
sulfat atau fosfat alkaloid morfin dengan kadar 10 mg/mL.efektivitas morfin
peroral hanya 1/6-1/5 kali efektivitas morfin subkutaan. Pemberian 60 mg
morfin per oral member efek analgesic sedikit lebih lemah dan masa kerja
lebih panjang pada pemberian 8 mg morfin IM.
Kodein tersedia dalam bentuk basa bebas atau dalam bentuk garam HCL atau
fosfat. Satu tablet mengandung 10, 15, atau 30 mg kodein. Dosis tunggal 32
mg kodein per oral dapat menimbulkan analgetik sama besar dengan efek 600
mg asetosal.

3. MEPERIDIN DAN DERIVAT FENILPIPERIDIN LAIN


3.1. KIMIA
Meperidin juga dikenal sebagai petidin, secara kimia adalah etil-1-metil-4-
fenilpiperidin-4-karboksilat.
3.2. FARMAKODINAMIK
SUSUNAN SARAF PUSAT. Seperti morfi, meperidin menimbulkan
analgesia, sedasi, euphoria, depresi nafas, dan efek sentral lain.
Analgesia. Efek analgetik meperidin serupa dengan efek analgetik morfin.
Efek analgetik meperidin muali timbul 15 menit setelah pemberian oral dan
mencapai puncak dalam 2 jam. Efek meperidin lebih cepat pada pemberian
subcutan dan IM.
Sedasi, euphoria dan eksitasi. Sama halnya seperti efek pada morfin dapat
menimbulkan efek sedasi, euphoria, dan eksitasi. Tetapi, pada pemberian dosis
toksik meperidin berbeda halnya dengan morfin, kadang dapat menimbulkan
perangsangan SSP seperti tremor, kedutan otot, dan konvulsi.
Efek neural lain. Pemberian meperidin secara sistemik dapat menimbulkan
anastesi kornea yang mengakibatkan hilangnya reflex kornea. Meperidin tidak
berefek antikonvulsi. Meperidin menyebabkan penglepasan ADH. Meperidin
merangsang CTZ, sehingga menimbulkan mual dan muntah.
SISTEM KARDIOVASKULER. Pada penggunaan dosis terapi tidak
memberikan efek pada karidovaskuler. Pasien berobat jalan dapat mengalami
sikop akan tetapi kondisi ini cepat hilang jika pasien berbaring.
3.3. FARMAKOKINETIK
Pada pemberian apapun meperidin mengalami absorbs secara baik. Akan
tetapi pada pemberian IM kecepatan absorbs tidak teratur. Kadar puncak
dalam plasma biasanya dicapai dalam 45 menit dan kadar dicapai bervariasi
tiap individu. Pada pemberian oral, sekitar 50 % obat mengalami metabolism
lintas pertama dan kadar maksimal plasma tercapai dalam 1-2 jam. Sedangkan
pada pemberian IV, kadar plasma menurun secara cepat dalam 1-2 jam
pertama, kemudian penurunan berlangsung dengan lambat. Sekitar 60 %
meperidin terikat dengan protein plasma. Pada manusia, meperidin mengalami
hidrolisis menjadi asam meperidinat yang kemudian sebagian mengalami
konyugasi. Masa paruh meperidin berkisar 3 jam. Pada pasien sirosis,
bioavaibilitas meningkat sampai 80 % dan masa paruh akan memanjang.
Meperidin bentuk utuh sangat sedikit ditemukan pada urin.
3.4. INDIKASI
Meperidin digunakan untuk menimbulkan analgesia. Meperidin juga
digunakan untuk menimbulkan analgesia obstetric dan sebagai obat
praanastetik. Obat ini kurang menyebabkan depresi nafas pada janin. Tetapi
sebagai medikasi praanastetik masih dipertanyakan perlunya suatu analgesic
opioid pada pasien yang tidak menderita nyeri.
3.5. EFEK SAMPING, KONTRAINDIKASI, DAN INTOSIKASI
Efek samping obat ini berupa keringat, pusing, euphoria, mulut kering, mual,
muntah, perasaan lemah, gangguan penglihatan, palpitasi, disforia, sinkop, dan
sedasi. Reaksi ini lebih sering terjadi pada pasien rawat jalan.
Kontraindikasi penggunaan meperidin menyerupai kontraindikasi pada morfin
dan opioid lain. Penggunaan obat ini harus lebih hati-hati pada orang yang
memiliki gangguan hepar. Bila terjadi gejala perangsangan pada meperidin,
obat ini diganti dengan obat opioid lain.
3.6. ADIKSI DAN TOLERANSI
Toleransi terhadap efek depresi meperidin timbul lebih lambat dibandingkan
morfin. Hal ini terjadi bila interval pemberian lebih dari 3-4 jam. Toleransi
tidak terjadi terhadap efek stimulasi dan efek mirip atropine.
3.7. SEDIAAN DAN POSOLOGI
Meperidin HCL tersedia dalam bentuk tablet dengan dosis 50 mg dan 100 mg
serta ampul 50 mg/mL. meperidin lazim diberikan per oral dan IM. Alfaprodin
HCL, tersedia dalam bentuk ampul 1 mL dan vial 10 mL dengan kadar 60
mg/mL. Difenoksilat, tersedia dalam bentuk tablet 2,5 mg. Fentanil dan
derivatnya, bekerja sebagai agonis reseptor mu. Fentanil banyak digunakan
untuk anastetik. Fenatanil dapat menimbulkan efek mual, muntah dan gatal.
Fentanil dan derivatnya biasa digunakan secara IV, meskipun juga sering
digunakan secara epidural dan intratekal untuk nyeri pasca bedah atau nyeri
kronik.

14. ANALGESIK-ANTIPIRETIK, ANALGESIK ANTI-INFLAMASI NON STEROID,


DAN OBAT GANGGUAN SENDI LAINNYA.

Obat analgetik antipiretik serta obat antiinflamasi nonsteroid (AINS) merupakan salah
satu kelompok obat yang banyak diresepkan dan juga digunakan tanpa resep dokter.
Obat ini memiliki efek terapi yang sama akan tetapi secara kimia obat ini heterogen.
Adapun gambar 14-1 dibawah ini mengenai klasifikasi obat analgetik anti inflamasi
non steroid (Obat AINS).
NSAID

AINS COX nonselektif AINS COX-2-preferential AINS COX-2-selektif

 Aspirin  Nimesulid - Generasi 1:


 Indometasin  Meloksikam Solekoksib,
 Piroksikam  Nabumeton rofekoksib,

 Ibuprofen  Diklofenak valdekoksib,

 Naproksen  etodolak parekoksib,

 Asam eterikoksib.

mefenamat - Generasi 2 :
lumirakoksib

2. SIFAT DASAR OBAT ANTI-INFLAMASI NON STEROID


2.1. MEKANISME KERJA
Golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi
asam arakidonat menjadi PGG2 terganggu. Setiap obat menghambat
siklooksigenase dengan kekuatan dan selektivitas yang berbeda-beda. Enzim
siklooksigenase terdapat dalam dua isoform disebut COX-1 dan COX-2.
Secara garis besar COX-1 esensial dalam pemeliharaan berbagai fungsi dalam
kondisi normal diberbagai jaringan khususnya ginjal, saluran cerna dan
trombosit. Sedangkan COX-2 mempunyai fungsi fisiologis yaitu di ginjal,
jaringan vaskuler dan pada proses perbaikan jaringan. Trombosit A2, yang
disintesis trombosit oleh COX-1, menyebabkan agregasi trombosit,
vasokonstriksi dan proliferasi otot polos. Sebaliknya, PGI2 yang disintesis oleh
COX-2 di endotel makrovaskular melawan efek tersebut dan menyebabkan
penghambatan agregasi trombosit, vasodilatasi dan efek antiproliferatif.
Aspirin 166 kali menghambat COX-1 daripada COX-2. Penghambat COX-2
dikembangkan dalam mencari penghambat COX untuk pengobatan
antiinflamasi dan nyeri kurang menyebabkan toksisitas saluran cerna dan
perdarahan.
Antiinflamasi nonsteroid yang tidak selektif dinamakan AINS tradisional
(AINSt). Khusus paracetamol, hambatan biosintesis PG hanya terjadi bila
lingkungannya rendah kadar peroksid yaitu di hipotalamus. Paracetamol
diduga menghambat isoenzim COX-3, suatu variant dari COX-1.

2.2. EFEK FARMAKODINAMIK


Semua obat mirip-aspirin bersifat antipiretik, analgesi, dan anti-inflamasi.
Tiap obat tersebut memiliki perbedaan aktivitas, misalnya : paracetamol
(asetaminofen) bersifat antipiretik dan analgesi tetapi sifat antiinflamasinya
lemah sekali.
Sebagai analgesic, obat mirip aspirin hanya efektif terhadap nyeri dengan
eksistensi rendah sampai sedang. Efek analgesiknya jauh lebih lemah daripada
efek analgesic opiate. Tetapi obat aspirin tidak menimbulkan efek ketagihan.
Obat ini hanya mengubah persepsi modalitas sensorik nyeri, tidak
mempengaruhi sensorik lain.
Sebagai antipiretik, dalam keadaan demam obat ini dapat menurunkan suhu
badan. Walaupun kebanyakan obat ini memperlihatkan efek antipiretik in
vitro, tidak semuanya berguna sebagai antipiretik karena sifat toksik bila
digunakan dengan rutin dan jangka waktu lama.
Kebanyakan obat ini juga berfungsi sebagai anti-inflamasi, akan tetapi obat ini
hanya meringankankan gejala nyeri dan inflamasi yang berkaitan dengan
penyakitnya secara simtomatik, tidak menghentikan, memperbaiki atau
mencegah kerusakan jaringan pada kelainan musculoskeletal.
2.3. EFEK SAMPING
Efek samping yag paling sering terjadi adalah induksi tukak lambung atau
tukak peptik yang kadang-kadang disertai anemia sekunder akibat perdarahan
saluran cerna. Beratnya efek samping ini berbeda pada masing-masing obat.
Dua mekanisme terjadinya iritasi lambung adalah: (1) iritasi yang bersifat
lokal yang menimbulkan difusi kembali asam lambung ke mukosa dan
menyebabkan kerusakan jaringan; (2) iritasi atau perdarahan lambung yang
bersifat sistemik melalui hambatan biosintesis PGE2 dan PGI2. Kedua
prostaglandin ini banyak ditemukan di mukosa lambung dengan fungsi
menghambat sekresi asam lambung dan merangsang sekresi mukus usus halus
yang bersifat sitoprotektif. Mekanisme kedua ini terjadi pada pemberian
parenteral.
Efek samping lain adalah gangguan fungsi trombosit akibat penghambatan
biosintesis tromboksan A2 dengan akibat perpanjangan waktu perdarahan.
Efek ini dimanfaatkan untuk terapi profilaksis trombo-emboli. Obat yang
digunakan sebagai terapi profilaksis trombo-emboli dari golongan ini adalah
aspirin.
Penghambatan biosintesis prostaglandin di ginjal, terutama PGE2, berperan
dalam gangguan homeostasis ginjal. Pada orang normal tidak banyak
mempengaruhi fungsi ginjal.
Pada beberapa orang dapat terjadi reaksi hipersensitivitas. Mekanisme ini
bukan suatu reaksi imunologik tetapi akibat tergesernya metabolisme asam
arakhidonat ke arah jalur lipoksigenase yang menghasilkan leukotrien.
Kelebihan leukotrien inilah yang mendasari terjadinya gejala tersebut.
3. PEMBAHASAN OBAT
3.1. SALISILAT, SALISILAMID & DIFLUSINAL
SALISILAT
Asam asetil salisilat lebih dikenal sebagai asetosal atau aspirin adalah
analgesic antipiretik dan antiinflamasi yang luas digunakan dan digolongkan
obat bebas. Selain sebagai prototip, obat ini merupakan standar dalam menilai
efek obat sejenis. Asam salisilat sangat iritatif sehingga hanya digunakan
sebagai obat luar. Derivatnya yang dipakai sebagai sistemik adalah ester
salisilat dan lainnya.
FARMAKODINAMIK
Penggunaan dosis terapi dapat bekerja efektif sebagai antipiretik. Penggunaan
aspirin sebagai anti inflamasi terutama adalah untuk pengobatan rheumatoid
arthritis, yaitu suatu penyakit kronis sistemik yang melibatkan banyak organ,
dan dianggap sebagai penyakit auto imun. Untuk memperoleh anti-inflamasi,
yang baik kadar plasma perlu dipertahankan antara 250-300 µg/ mL. Aspirin
mampu mereduksi proses inflamasi di dalam sendi dan jaringan sehingga
mengurangi gejala dan memperbaiki mobilitas penderita. Meskipun demikian,
obat ini tidak mampu menghambat progresivitas cidera jaringan patologis .
Jika dengan aspirin saja belum efektif, maka dapat diganti dengan AINS lain,
kortikosteroid, atau obat yang bersifat diseasemodifying drug. Hal yang perlu
diperhatikan adalah bahwa jika akan menggunakan kombinasi AINS dengan
obat lain untuk rheumatoid arthritis (misalnya AINS dengan methotrexate),
maka sebaiknya digunakan AINS selain aspirin.
FARMAKOKINETIK
Pada pemberian oral, asam salisilat dapat diabsorbsi dengan cepat dalam
bentuk utuh di lambung, tetapi sebagian besar di usus halus bagian atas. Kadar
tertinggi dicapai kira-kira 2 jam sesudah pemberian. Kecepatan absorbs
tergantung dari kecepatan disintegrasi dan disolusi tablet, pH permukaan
mukosa dan waktu pengosongan lambung. Pemberian rectal tidak dianjurkan
karena absorbs berlangsung dengan lambat. Asam salisilat menyebar ke
seluruh jaringan tubuh dan cairan transseluler. Obat ini dapat menembus sawar
darah otak. Sekitar 80 % sampai 90 % salisilat plasma terikat dengan albumin.
Salisilat diekskresi dalam bentuk metabolitnya terutama melalui ginjal,
sebagian kecil melalui keringat dan empedu.
SEDIAAN
Aspirin (asam asetil salisilat) dan natrium salisilat merupakan sediaan yang
paling banyak digunakan. Aspirin tersedia dalam bentuk tablet 100 mg untuk
anak dan 500 mg untuk dewasa. Metal-salisilat hanya digunakan sebagai obat
luar dalam salep atau linimen dan dimaksud sebagai counter irritant bagi kulit.
SALISILAMID
Obat ini memperlihatkan efek analgesic dan antipiretik mirip asetosal. Efek
analgesic antipiretik obat ini lemah dibandingkan salisilat. Dosis analgesic
antipiretik untuk dewasa 3-4 kali 300-600 mg sehari, untuk anak 65 mg/kgBB/
hari diberikan 6 kali perhari.
DIFLUSINISAL
Obat ini merupakan derivate difluorofenildari asam salisilat. Bersifat analgesic
dan antiinflamasi tetapi tidak menimbulkan efek antipiretik. Indikasi untuk
inflamasi ringan-sedang dengan dosis awal 500 mg disusul 250-500 mg tiap
8-12 jam.
3.2. PIRAZOLON DAN DERIVAT
INDIKASI. Obat ini memiliki indikasi untuk analgesi-antipiretik karena efek
antiinflamasinya lemah. Sedangkan antipirin dan aminopirin tidak dianjurkan
digunakan lagi karena lebih toksik daripada dipiron. Dosis untuk dipiron
adalah 3 kali 0,3-1 gram sehari. Dipiron tersedia dalam bentuk tablet 500 mg
dan larutan obat suntik yang mengandung 500 mg/mL.
EFEK SAMPING DAN INTOKSIKASI. Semua derivate pirazolon dapat
menimbulkan agranulositosis, anemia aplastik dan trombositopenia. Pada
pemakaian dipiron jangka panjang perlu diperhatikan karena dapat
menimbulkan hemolisis, edema, tremor, mual dan muntah, perdarahan
lambung dan anuria.
FENILBUTAZON DAN OKSIFENBUTAZON
Dengan adanya AINS yang lebih aman, obat ini sudah tidak lagi dianjurkan
lagi sebagai antiinflamasi kecuali jika obat lain tidak efektif.
3.4. ANALGESIK ANTI-INFLAMASI NON STEROID LAINNYA
ASAM MEFENAMAT
Asam mefenamat digunakan sebagai analgetika dan anti-inflamasi, asam
mefenamat kurang efektif dibandingkan dengan aspirin. Meklofenamat
digunakan sebagai obat anti-inflamasi pada reumatoid dan osteoartritis. Asam
mefenamat dan meklofenamat merupakan golongan antranilat. Asam
mefenamat terikat kuat pada pada protein plasma. Dengan demikian interaksi
dengan oabt antikoagulan harus diperhatikan.
Efek samping terhadap saluran cerna sering timbul misalnya dispepsia, diare
sampai diare berdarah dan gejala iritasi terhadap mukosa lambung. Dosis asam
mefenamat adalah 2-3 kali 250-500 mg sehari. Sedangakan dosis
meklofenamat untuk terapi penyakit sendi adalah 240-400 mg sehari. Karena
efek toksisnya di Amerika Serikat obat ini tidak dianjurkan kepada anak
dibawah 14 tahun dan ibu hamil dan pemberian tidak melebihi 7 hari.
DIKLOFENAK
Diklofenak merupakan derivat asam fenilasetat. Absorpsi obat ini melalui
saluran cerna berlangsung lengkap dan cepat. Obat ini terikat pada protein
plasma 99% dan mengalami efek metabolisma lintas pertama (first-pass)
sebesar 40-50%. Walaupun waktu paruh singkat 1-3 jam, dilklofenakl
diakumulasi di cairan sinoval yang menjelaskan efek terapi di sendi jauh lebih
panjang dari waktu paruh obat tersebut.
Efek samping yang lazim ialah mual, gastritis, eritema kulit dan sakit kepala
sama seperti semua AINS, pemakaian obat ini harus berhati-hati pada pasien
tukak lambung. Pemakaian selama kehamilan tidak dianjurkan. Dosis orang
dewasa 100-150 mg sehari terbagi dua atau tiga dosis.
IBU PROFEN
Ibuprofen merupakan derivat asam propionat yang diperkenalkan pertama kali
dibanyak negara. Obat ini bersifat analgesik dengan daya efek anti-inflamasi
yang tidak terlalu kuat. Efek analgesiknya sama seperti aspirin, sedangkan efek
anti-inflamasinya terlihat pada dosis 1200-2400 mg sehari. Absorpsi ibuprofen
cepat melalui lambung dan kadar maksimum dalam plasma dicapai dicapai
setelah 1-2 jam. 90% ibuprofen terikat dalam protein plasma, ekskresinya
berlangsung cepat dan lengkap.
Pemberian bersama warfarin harus waspada dan pada obat anti hipertensi
karena dapat mengurangi efek antihipertensi, efek ini mungkin akibat
hambatan biosintesis prostaglandin ginjal. Efek samping terhadap saluran
cerna lebih ringan dibandingkan dengan aspirin. Ibuprofen tidak dianjurkan
diminum wanita hamil dan menyusui. Ibuprofen dijual sebagai obat generik
bebas dibeberapa negara yaitu inggris dan amerika karena tidak menimbulkan
efek samping serius pada dosis analgesik dan relatif lama dikenal.
INDOMETASIN
Merupakan derivat indol-asam asetat. Obat ini sudah dikenal sejak 1963 untuk
pengobatan artritis reumatoid dan sejenisnya. Walaupun obat ini efektif tetapi
karena toksik maka penggunaan obat ini dibatasi. Indometasin memiliki efek
anti-inflamasi sebanding dengan aspirin, serta memiliki efek analgesik perifer
maupun sentral. In vitro indometasin menghambat enzim siklooksigenase,
seperti kolkisin.
Absorpsi pada pemberian oral cukup baik 92-99%. Indometasin terikat pada
protein plasma dan metabolisme terjadi di hati. Di ekskresi melalui urin dan
empedu, waktu paruh 2- 4 jam. Efek samping pada dosis terapi yaitu pada
saluran cerna berupa nyeri abdomen, diare, perdarahan lambung dan
pankreatis. Sakit kepala hebat dialami oleh kira-kira 20-25% pasien dan
disertai pusing. Hiperkalemia dapat terjadi akibat penghambatan yang kuat
terhadap biosintesis prostaglandin di ginjal.
Karena toksisitasnya tidak dianjurka pada anak, wanita hamil, gangguan
psikiatrik dan pada gangguan lambung. Penggunaanya hanya bila AINS lain
kurang berhasil. Dosis lazim indometasin yaitu 2-4 kali 25 mg sehari, untuk
mengurangi reumatik di malam hari 50-100 mg sebelum tidur.
PIROKSIKAM DAN MELOKSIKAM
Piroksikam merupakan salah satu AINS dengan struktur baru yaitu oksikam,
derivat asam enolat. Waktu paruh dalam plasma 45 jam sehingga diberikan
sekali sehari. Absorpsi berlangsung cepat di lambung, terikat 99% pada protein
plasma. Frekuensi kejadian efek samping dengan piroksikam mencapai 11-
46% dan 4-12%. Efek samping adalah gangguan saluran cerna, dan efek
lainnya adalah pusing, tinitus, nyeri kepala dan eritema kulit. Piroksikam tidak
dianjurkan pada wanita hamil, pasien tukak lambung dan yang sedang minum
antikoagulan. Dosis 10-20 mg sehari. Meloksikam cenderung menghambat
COXS-2 dari pada COXS-1. Efek samping meloksikam terhadap saluran cerna
kurang dari piroksikam.
3.5. OBAT PIRAI
Ada dua kelompok obat penyakit pirai, yaitu obat yang menghentikan proses
inflamasi akut misalnya kolkisin, fenilbutazon, oksifentabutazon, dan
indometasin; dan obat yang mempengaruhi kadar asam urat misalnya
probenesid, alopurinol, dan sulfinpirazon. Untuk keadaan akut digunakan obat
AINS.
KOLKISIN
Obat ini suatu antiinflamasi yang unik untuk penyakit pirai. Obat ini
merupakan alkaloid Colchicum autumnale, sejenis bunga leli.
FARMAKODINAMIK
Antiradang kolkisin efektif untuk pirai. Pada penyakit pirai, kolkisin tidak
meningkatkan ekskresi, sintesis, atau kadar asam urat dalam darah. Obat ini
berikatan dengan protein mikrotubular dan menyebabkan depolimerisasi dan
menghilangnya mikrotubul fibrilar granulosit dan sel bergerak lainnya. Hal ini
menyebabkan penghambatan migrasi granulosit ke tempat radang sehingga
pelepasan mediator inflamasi juga dihambat dan respons inflamasi ditekan.
Hal ini berarti kolkisin mencegah pelepasan glikoprotein dari leukosit yang
pada pasien gout menyebabkan nyeri dan radang sendi.
FARMAKOKINETIK
Absorbs melalui saluran cerna baik. Obat ini didistribusi luas dalam jaringan
tubuh. Kadar tinggi didapat di ginjal, hati, limpa, dan saluran cerna. Sebagian
besar diekskresi dalam bentuk utuh melalui feses, 10-20 % diekskresikan
melalui urin. Kolkisin dapat ditemukan dalam leukosit dan urin sedikitnya
untuk 9 hari setelah suntikan IV.
ALOPURINOL
Alopurinol efektif untuk mengobati penyakit pirai karena dapat menurunkan
kadar asam urat terutama untuk pirai kronik dengan insufisiensi ginjal dan batu
urat dalam ginjal. Berbeda dengan probenesid, efek alopurinol tidak dilawan
oleh salisilat, tidak berkurang pada insufisiensi ginjal dan batu urat dalam
ginjal. Obat ini bekerja dengan menghambat xantine oksidase, enzim yang
mengubah hipoxantine menjadi xantine dan selanjutnya menjadi asam urat.
Efek samping yang sering terjadi ialah reaksi kulit. Reaksi alergi dapat berupa
demam, menggigil, leucopenia, artralgia, dan lainnya. Dosis untuk penyakit
pirai ringan 200-400 mg sehari, 400-600 mg untuk penyakit yang lebih berat.
Untuk anak 6-10 tahun: 300 mg sehari dan anak dibawah 6 tahun: 150 mg
sehari.
3.6. ANTIREUMATIK PEMODIFIKASI PENYAKIT (APP)
METOTREKSAT
Dianggap APP terpilih saat ini. Dosis sebagai APP, 15-25 mg per minggu dan
dapat ditingkatkan sampai 30-35 mg per minggu bila perlu. Efek samping
umum ialah mual dan ulkus mukosa saluran cerna. Suatu reaksi paru dengan
sesak napas akut dan reaksi pseudolimfomatosa dilaporkan dapat terjadi.
AZATIOPRIN
Zat aktifnya 6-tioguanin menghambat sintesis asam inosinat, fungsi sel β dan
sel T, produksi immunoglobulin dan reaksi interleukin-2. Pada RA diberikan
dengan dosis 2 mg/Kg/BB/hari. Efek samping berupa supresi sumsum tulang,
saluran cerna, dan penurunan daya tahan tubuh terhadap infeksi.

15. PERANGSANG SUSUNAN SARAF PUSAT


1. PENDAHULUAN
Perangsangan SSP oleh obat pada umumnya melalui dua mekanisme, yaitu (1)
mengadakan blockade pada penghambatan (2) meninggikan perangsangan
sinaps.dalam SSP dikenal system penghambatan pascasinaps dan penghambatan
prasinaps.
Ada beberapa mekanisme faalan yang dapat merangsang napas, yaitu (1)
perangsangan langsung pada pusat napas baik oleh obat atau karena adanya
perubahan pH darah; (2) perangsangan dari impuls sensorik yang berasal dari
kemoreseptor di badan karotis; (3)perangsangan dari impuls aferen terhadap pusat
napas misalnya impuls yang datang dari tendo dan sendi; dan (4) pengaturan dari
pusat yang lebih tinggi.
Belum ada obat yang selektif untuk merangsang pusat vasomotor. Bagian ini dapat
terangsang bila ada rangsangan pada medulla oblongata oleh obat perangsang
napas dan analeptic. Beberapa obat secara selektif dapat merangsang pusat muntah
melalui CTZ di medulla oblongata, misalnya apormorfin.
2. STRIKNIN
Striknin merupakan alkaloid utama dalam nux vomica, tanaman yang banyak
tumbuh di India. Striknin merupakan penyebab keracunan tidak disengaja pada
anak.
Obat ini bekerja dengan cara mengadakan antagonism kompetitif terhadap
transmitter penghambat yaitu glisin di daerah penghambatan pascasinaps. Toksin
tetanus juga memblokade penghambatan pascasinaps, tetapi dengan cara mencegah
pelepasan glisin dari interneuron penghambat. Glisin juga bertindak sebagai
neurotransmitter penghambat pascasinaps yang terletak pada pusat lebih tinggi di
SSP.
Striknin menyebabkan perangsangan pada semua bagian SSP. Obat ini merupakan
konvulsan kuat dengan sifat kejang yang khas. Gambaran konvulsi pada obat ini
berbeda dengan konvulsi oleh obat yang merangsang langsung neuron pusat. Sifat
khas lainnya dari kejang striknin adalah kontraksi ekstensor yang simetris yang
diperkuat oleh rangsangan sensorik yaitu penglihatan, pendengaran dan perabaan.
Obat ini juga dapat merangsang medulla spinalis secara langsung. Atas dasar ini
efek striknin dianggap berdasarkan kerjanya pada medulla spinalis dan
konvulsinya disebut konvulsi spinal.
Medulla oblongata hanya dipengaruhi striknin pada dosis yang menimbulkan
hipereksitabilitas seluruh SSP. Striknin mudah di serap pada saluran cerna dan
tempat suntikan, segera meninggalkan sirkulasi masuk ke jaringan. Kadar striknin
di SSP tidak terlalu tinggi daripada di jaringan. Obat ini segera di metabolism oleh
enzim mikrosom sel hati dan ekskresi melalui urin. Pada gejala awal keracunan
striknin dapat berupa kaku otot muka dan leher.
3. TOKSIN TETANUS
Hasil metabolism Clostridium tetani ialah 3 macam toksin : tetanospasmin yang
bersifat neurotoksik, non convulsive neurotoxin, dan tetanolisin yang bersifat
kardiotoksik dan menyebabkan hemolisis.
4. PIKROTOKSIN
Pikrotoksin didapat di tanaman Anamirta cocculus, suatu tumbuhan menajlar di
Malabar dan India Timur yang dahulu digunakan untuk meracuni ikan. Zat ini
merupakan bahan netral yang tidak mengandung nitrogen, mempunyai rumus
empiris C30H34O13. Dapat dipecah menjadi pikrotoksinin dan pikrotin.
Pikrotoksinin merupakan perangsang SSP yang kuat dan bekerja pada semua
bagian SSP.
5. PENTILENTETRAZOL
Obat ini di Amerika dikenal dengan nama dagang Metrazol dan di Eropa Kardiazol.
Kejang oleh obat ini mirip hasil perangsangan listrik pada otak dengan intensitas
sebesar ambang rangsang, juga mirip sekali dengan serangan klinik epilepsy petit
mal pada manusia. Dengan dosis yang lebih tinggi umumnya akan terjadi klonik
yang ansinkron.
Mekanisme kerja obat ini menghambat system GABA-ergik, dengan demikian
akan meningkatkan eksitabilitas SSP; adanya efek perangsangan secara langsung
masih belum dapat disingkirkan. Sebagai analeptic pentilentetrazol tidak sekuat
pirotoksin. Obat ini dapat diabsorbsi dari berbagai tempat pemberian. Distribusi
merata ke semua jaringan dan cepat di inaktivasi oleh hati. Sebagian besar (75%)
di urin dalam bentuk tidak aktif.
Obat ini merupakan Kristal putih yang mudah larut dalam air, diperdagangkan
dalam bentuk tablet 100 mg, ampul 3 mL dan vial berisi larutan 10 %.
6. XANTIN
Derivat xantin terdiri dari kafein, teofilin dan teobromin ialah alkaloid yang
terdapat pada tumbuhan. Ketiganya merupakan derivate xantin yang mengandung
gugus metal. Xantin sendiri ialah dioksipurin yang mempunyai struktur mirip
dengan asam urat.
FARMAKODINAMIK
Derivate xantin tersebut ketiganya memiliki efek farmakologi yang sama yang
bermanfaat secara klinis. Obat-obat ini mengakibatkan relaksasi otot polos,
terutama otot bronkus, merangsang SSP, otot jantung, dan meningkatkan dieresis.
Teobromin tidak bermanfaat secara klinis karena efek farmakologisnya rendah.
Teofilin dan kafein merupakan perangsang SSP yang kuat, teobromin dapat
dikatakan tidak aktif. Teofilin menyebabkan perangsangan SSP yang lebih dalam
dan berbahaya disbanding kafein. Efek pada pemberian kafein 85-250 mg (1-3
cangkir kopi) dapat menimbulkan orang tidak begitu mengantuk, tidak begitu lelah,
dan daya pikirnya lebih cepat dan lebih jernih akan tetapi kemampuannya
berkurang dalam pekerjaan. Pada pemberian teofilin 250 mg dapat menimbulkan
efek pada pengobatan asma bronchial.
Metilxantin dosis rendah dapat mengakibatkan perangsangan SSP yang sedang
mengalami depresi. Misalnya, dosis 0,5 mg/kgBB kafein sudah cukup untuk
merangsang napas pada individu yang mendapat morfin 10 mg.
Metilxantin dapat merangsang pusat napas. Efek ini terutama dapat terlihat pada
keadaan patologis tertentu, misalnya pernapasan Cheyne Stokes, pada apnea bayi
premature atau depresi napas oleh obat opioid. Rupanya metilxantin dapat
meningkatkan kepekaan pusat napas terhadap perangsangan CO2. Kafein dan
teofilin dapat menimbulkan mual dan muntah mungkin melalui efek central
maupun perifer. Muntah akibat teofilin terjadi bila kadarnya dalam plasma
melebihi 15 µg/mL.
Pada orang normal kadar terapi teofilin antara 10-20 µg/mL akan menyebabkan
kenaikan moderat frekuensi denyut jantung. Indeks waktu perangsangan dan waktu
kontraksi isovolumetrik ventrikel kiri akan turun sejalan dengan meningkatnya
kekuatan kontraksi dan penurunan beban hulu jantung (preload).
Kadar rendah kafein dalam plasma dapat menurunkan denyut jantung yang
mungkin disebabkan oleh perangsangan nervus vagus di medulla oblongata.
Sebaliknya, kadar kafein dan teofilin yang lebih tinggi menyebabkan takikardi,
bahkan pada individu yang sensitive mungkin menyebabkan aritmia, misalnya
kontraksi ventrikel yang premature. Aritmia ini dapat dialami oleh orang yang
minum kafein berlebihan.
Pemberian kafein sebesar 4-8 mg/kgBB pada orang sehat ataupun orang yang
gemuk akan menyebabkan peningkatan kadar asam lemak bebas dalam plasma dan
juga meninggikan metabolism basal.
Adapun efek terpenting xantin adalah relaksasi otot polos bronkus, terutama bila
otot bronkus dalam keadaan konstriksi secara eksperimental akibat histamine atau
secara klinis pada pasien asma bronchial. Dalam hal ini teofilin paling efektif
menyebabkan peningkatan kapasitas vital. Sebagai bronkodilator, teofilin
bermanfaat bagi pengobatan asma bronchial.
FARMAKOKINETIK
Metilxantin cepat diabsorbsi setelah pemberian oral, rectal dan parenteral. Sediaan
bentuk cair atau tablet tidak bersalut akan diabsorbsi secara cepat dan lengkap. Pada
umunya adanya makanan dalam lambung dapat memperlambat kecepatan absorbs
teofilin tetapi tidak mempengaruhi derajat besarnya absorbsi.
Metilxantin didistribusikan ke seluruh tubuh melalui plasenta dan masuk ke air susu
ibu. Volume distribusi kafein dan teofilin ialah antara 400 dan 600 mL/kg sedangkan
pada bayi premature nilainya lebih tinggi. Dalam kadar terapi ikatan teofilin dan
protein kira-kira 60 % tetapi pada bayi baru lahir dan pada pasien sirosis hati ikatan
protein lebih rendah (40%).
Eliminasi metilxantin terutama melalui metabolism dalam hati. Sebagian besar
diekskresi bersama urin dalam bentuk asam metilurat atau metilxantin. Waktu paruh
plasma kafein antara 3-7 jam, nilai ini akan menjadi dua kali lipat pada wanita hamil
tua atau wanita yang menggunakan pil kontrasepsi jangka panjang. Sedangkan waktu
paruh plasma teofilin pada orang dewasa 8-9 jam dan pada anak muda kira-kira 3,5
jam.

DAFTAR PUSTAKA
Rizky, Amanda, dkk. 2013. Makalah Kimia Farmasi I Obat Susunan Saraf Pusat.
Pangkalpinang: Potekkes Kemenkes RI.
https://adysetiadi.files.wordpress.com/2012/11/obat-sistem-saraf-pusat.pdf (Diakses pada
tanggal 23 Mei 2017)
Chandrasoma, Parakrama, and Clive R. Taylor. "Part A. General Pathology, Section II. The
Host Response to Injury, Chapter 3. The Acute Inflammatory Response, sub-section
Cardinal Clinical Signs." Concise Pathology (3rd edition (Computer file) ed.) (2005).
E, B, C, et al., 2008. Anestesiologi. Edisi 10. Jakarta: EGC
Farmakologi, Departemen, and F. K. U. I. Terapeutik. "Farmakologi dan Terapi Edisi 5
(Cetak Ulang Dengan Perbaikan, 2008)." Jakarta: Departemen Farmakologi dan
Terapeutik FK-UI, hal (2007).
Katzung, Bertram G., Susan B. Masters, and Anthony J. Trevor, eds. Basic & clinical
pharmacology. Vol. 8. New York, NY, USA:: Lange Medical Books/McGraw-Hill, 2004.
McKelvey, Diane, K. Wayne Hollingshead, and K. Diane McKelvey. Veterinary anesthesia
and analgesia. No. SF911. M39 2003. 2003.
Muhiman M, Thaib MR, Sunatrio S. Anestesiologi. Edisi pertama. Jakarta. Penerbit Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI; 2002.p.34-98.
Munaf, S., 2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Palembang: EGC
Omoigui S. Obat-obatan Anestesia. Edisi kedua. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2012
Siswandono, Soekardjo B, 2000, Kimia Medisinal, Surabaya: Airlangga University Press.
Taylor P. Agents acting at the neuromuscular junction and autonomic ganglia. In: Brunton
LL. Lazo JS, Parker KL, eds, Goodman and Gillman’s The Pharmacological Basic of
Therapeutics, 11 ed. CH 9. New York : McGraw-Hill: 2006.
Tjay, T. H. dan Rahardja. K. (2002). Obat-Obat Penting. Edisi Kelima Cetakan Kedua.
Jakarta : PT. Elex Media Komputindo.

Anda mungkin juga menyukai