Anda di halaman 1dari 71

AGEN PEMBLOK1R NEUROMUSKULER

Prinsip farmakologis agen pernblokir neuromuskular adalah memutuskan


hantaran impuls syaraf pada neuromuscular junction (NMJ). Pada perbedaan
elektrofisioiogis yang mendasari mekanisme dan lama kerja, obat-obat ini dapat
diklasifikasikan sebagai agen pemblokir neuromuskular depolarisasi (seperti
kerja dari asetilkolin) dan agen pernblokir neuromuskular non-depofarisasi
(bertentangan dengan cara kerja asetilkolin), yang selanjutnya dibagi lagi
menjadi obat-obat dengan waktu kerja lama, sedang, dan cepat (Tabel 8-1 dan
Gb. 8-1) (Hunter, 1995). Agen pemblokir neuromuskular terdiri dari
benzyiisoquinolinium atau aminosteroid (lihat label 8-1) (Hunter, 1995; Moore dan
Hunter, 2001). Agen pemblokir neuromuskular mengakibatkan blokade
depolarisasi neuromuskular fase I, blokade depolarisasi neuromuskular fase II,
atan blokade nondepolarisasi neuromuskular.

FARMAKODINAMIK
Farmakodinamik dari agen pemblokir neuromuskular ditentukan oleh
kecepatan dari onset dan durasi blokade neuromuskular. Secara klinik, metode
umum untuk menentukan jenis, kecepatan onset, kekuatan, dan durasi blokade
neuromuskular adalah dari penelitian atau rekaman respon otot skelet yang
dipicu oteh stimulus listrik supramaksimal dari stimulator syaraf perifer. Yang
paling sering digunakan untuk memperkirakan efek dari agen pemblokir
neuromuskular adalah kontraksi m. adductor pollicis (respon single-twitch sampai
dengan 1 hz) setelah stimulasi listrik pada n. ulnaris (Gb. 8-2) (Hunter, 1995).
Potensi yang sama antara agen pembiokir neuromuskular ditentukan dari
pengukuran dosis yang dibutuhkan untuk menekan 95% respon single-twitch
(ED95) (Tabel 8-2). Selain itu, EDgj juga digunakan untuk menyatakan potensi
dari agen pemblokir neuromuskular pada anestesi dengan nitrit oksi da-barb
iturat-opioid. Pada pemberian anestesi volatil, ED9S sangat berkurang bila
dibandingkan tanpa pemberian anestesi volatil.
Agen pemblokir neuromuskular berpengaruh kecil, secara cepat
menggerakkan otot skelet (pada mata, jari-jari) sebelum mempengaruhi
abdomen (diafragma). Onset blokade neuromuskular setelah pemberian agen
pembfokir neuromuskular nondepolarisasi lebih cepat tapi kurang kuat pada m.
laryngeus (pita suara) daripada otot skelet perifer (m. adductor polHcis) (Gb. 8-3)
(Meistelman et al., 1992). Efek yang berbeda dari agen pemblokir neuromuskular
terhadap m. laryngeus mungkin dikarenakan perbedaan jenis serat otot skelet
(Meinstelman et al., 1992). Otot-otot yang yang perlibat dalam penutupan glotis
(otot-otot thyroarytenoid) mempunyai waktu kontraksi yang cepat, sedangkan m.
adductor pollicis umumnya terdiri dari serat dengan kontraksi lambat. Kepadatan
reseptor asetilkolin lebih banyak terdapat pada serat dengan kontraksi cepat
daripada serat dengan kontraksi lambat. Sehingga lebih banyak reseptor yang
harus diduduki pada otot dengan kontraksi cepat. Lebih cepatnya onset pada pita
suara daripada m. adductor pollicis mem peri ihatkan keseimbangan yang lebih
baik pada konsentrasi plasma pada otot-otot jalan pernapasan tersebut
dibandingkan dengan adductor pollicis. Dengan penggunaan agen pemblokir
neuromuskular non-depolarisasi kerja intermediet dan cepat, periode paralisis
laring singkat sehingga dapat dihilangkan sebelum mencapai m. adductor pollicis
(Gb. 8-3) (Meistelman et al., 1992). Sangat penting untuk mengetahui bahwa
besar dosis agen pemblokir neuromuskular yang dibutuhkan untuk membuat
suatu tingkatan blokade neuromuskular pada diafragma adalah sekitar dua kali
dosis yang dibutuhkan untuk membuat blokade muskular yang sama kuat pada
m. adductor pollicis (Donati et al, 1986). Telah diketahui bahwa monitoring pada
m. adductor pollicis adalah indikator yang buruk untuk relaksasi laring (m.
cricothyroideus), sedangkan stimulus n. fasial dan monitoring respon m.
orbicularis oculi lebih mendekati gambaran dari onset blokade neuromuskular
pada diafragma (Gb. 8-4). (Moorthy et al, 1996; Ungureanu et al., 1993). Jadi, m.
orbicularis oculi lebih baik dari m. adductor pollicis sebagai indikator blokade otot-
otot laring.
Gambar 8-1. Asetilkolin dan agen pemblokir neuromuskular

Respon single-twitch dipicu menggunakan stimulator syaraf perifer


menggambarkan keadaan yang terjadi pada membran postjunctional.
Sebaliknya, respon pada stimulus yang berkelanjutan (50-100 Hz) atau stimulasi
Train-of-Four (TOP) mempelihatkan keadaan yang terjadi pada membran
presinaps. Perbedaan efek agen pemblokir neuromuskular non-depolarisasi pada
respon dari stimulus single-twitch dengan stimulus multipel atau berkelanjutan
kebanyakan memperlihatkan perbedaan kekuatan efek obat ini pada presinaps
dan postsinaps (Bowman, 1980). Pemakaian elektromiogram mempunyai tujuan
yang sama dengan pemakaian stimulator syaraf perifer.

FARMAKOK1NETIK
Agen pemblokir neuromuskular, karena merupakan gabungan ammonium
quaterner, merupakan zat larut air terionisasi tinggi pada pH fisiologis dan
mempunyai kemampuan larut lemak yang terbatas (Tabel 8-3) (Hunter, 1995;
Shank, 1986). Karena dua karakteristik ini, distribusi volume agen ini terbatas,
dan menyerupai volume cairan ekstraselular (sekitar 200 mL/kg). Selain itu, agen
pemblokir neuromuskular tidak dapat menembus sawar membran lemak seperti
sawar darah otak, epitel tubulus ginjal, epitel gastrointestinal, atau plasenta
dengan mudah. Sehingga agen pemblokir neuromuskular tidak mempengaruhi
sistem syaraf pusat, minimal reabsorbsi pada tubulus ginjal, pemberian oral tidak
efektif diserap, dan pemberian pada ibu ham it tidak mempengaruhi janin.
Redistribusi pada agen pemblokir neuromuskular non-depolarisasi juga
memainkan peran dalam farmakokinetik obat ini.

Gambar 8-2. Efek agen pemblokir neuromuskular pada respon single-twitch dan
train-of-four.
Gambar yang paling alas menunjukkan efek dari agen pemblokir
neuromuskular nondepolarisasi pada respon sing/e-twich. Suatu agen
pemblokir neuromuskular depolarisasi (suksinilkolin) mepunyai efek yang sama
dengan respon single-twich. Gambar yang tengah menunjukkan efek
suksinilkolin pada respon train~of-four yang dikarakteristikkan dengan penurunan
yang sama (tidak ada pemudaran) pada kekuatan dari keempat respon
kejangan. Gambar paling bawah menunjukkan efek yang kontras antara agen
pemblokir neuromuskular nondepolarisasi pada respon train-of-four dan
antagonisme dari blokade neuromuskular setelah pemberian obat
antikolinesterasc, neostigmine. (dari Hunter JM. Agen pemblokir
neuromuskuler baru. N Engl J Med 1996;332:169l-1699; dengan izin.).
Klirens plasma, distribusi volume, dan paruh waktu eliminasi dari agen
pemblokir neuromuskular mungkin dipengaruhi oleh umur pasien, anestetik
volatil, dan adanya gangguan ginjal atau hepar (lihat Tabel 8-3) (Hunter, 1985).
Eliminasi pada hepar dan ginjal mudah karena sebagian besar agen pemblokir
neuromuskular mempunyai tingkat ionisasi obat yang tinggi, sehingga dapat
memelthara konsentrasi obat yang tinggi pada plasma dan mencegah reabsorbsi
ginjal terhadap obat yang telah diekskresi.gangguan ginjal dapat sangat
mempengaruhi farmakokinetik agen pemblokir neuromuskular kerja lama. Agen
pemblokir neuromuskular tidak mudah terikat pada protein plasma (hanya
sampai 50%) sehingga pengikatan protein plasma atau perubahan-perubahan
yang terjadi pada ikatan protein, tidak mempunyai efek signifikan pada ekskresi
renal agen pemblokir neuromuskular.
Farmakokinetik agen pemblokir neuromuskular nondepolarisasi dihitung
setelah pemberian intravena (IV). Tingkatan eliminasi agen pemblokir
neuromuskular nondepolarisasi kerja lama dikarakterisasikan dari penurunan
awal yang cepat (distribusinya ke jaringan) diikuti dengan penurunan yang lebih
lambat (klirens). Selain perubahan pada distribusi di aliran darah, anestesi
inhalasi hanya sedikit atau tidak mempengaruhi farmakokinetik agen pemblokir
neuromuskular. Peningkatan blokade neuromuskular oleh anestesi volatil
memperlihatkan pengaruh pada farmakodinamik, yang manifestasinya adalah
penurunan konsentrasi plasma agen pemblokir neuromuskular yang dibutuhkan
untuk mendapatkan tingkatan blokade neuromuskular pada pemberian anestesi
volatil. Bila distribusi volume berkurang, seiring dengan terjadinya peningkatan
pengikatan protein, dehidrasi, atau perdarahan akut, dosis obat yang sama akan
mengakibatkan konsentrasi plasma yang lebih tinggi, dan peningkatan potensi
nyata obat. Waktu paruh eliminasi agen pemblokir neuromuskular hanya sedikit
berhubungan dengan durasi kerja obat ini bila diberikan secara intravena (IV).
SEJARAH
Penggunaan modern agen pemblokir neuromuskular pertama kali
diketahui pada tahun 1932, saat fraksi termurnikan (purified) d-tubocurarine (dTc)
diberikan untuk mengontrol spasme otot skelet pada pasien tetanus. Pada tahun
1940, dTc diberikan sebagai adjuvan pada terapi syok listrik terinduksi obat.
Penggunaan pertama dTc untuk relaksan otot skelet dalam pembedahan dengan
anestesi umum adalah pada tahun 1942 (Griffith dan Johnson, 1942).
Penggunaan hewan percobaan yang dikurarisasi untuk menentukan efek
parasimpatomimetik suksinilkolin (SCh) pada tahun 1906 menutupi fungsi
blokade neuromuskular obat ini. Baru pada tahun 1949 efek blokade
neuromuskular SCh diketahui. Antara tahun 1949 sampai 1960, dTc dan SCH
menjadi obat yang paling umum digunakan untuk agen pemblokir neuromuskular.
Pancuronium diperkenalkan pada tahun 1960 sebagai agen pemblokir
neuromuskular nondepolarisasi amino steroid kerja lama. Pada tahun 1980,
diperkenalkan dua agen pemblokir neuromuskular nondepolarisasi yang baru,
atracurium (benzyl isoquinoline) dan vecuronium (aminosteroid). Selanjutnya
Cisatracurium pada tahun 1995, mivacurium pada tahun 1997 dan yang terbaru
diperkenalkan rocuronium.

Gambar 8-3. Efek rocuronium (pada depresi maksimum dari respon singie-
twitch) kurang kuat dan lama kerja lebih pcndek pada otot aduktor pada laring
dibandingkan dengan m. adductor pollicis. (Dari Meistelman C, Plaud B, Donati F.
Blokade neuromuskuler rocuronium (ORG 9426) pada otot adduktor laring dan
adduktor pollicis manusia. CanJanaesth 1992;39:665-669; dengan izin.)
Gambar 8-4. waktu onset respon yang dapat dilihat pada m. orbicularis oculi dan
m. adductor pollicis versus waktu onset untuk 100% depresi olot-otot laring. Tidak
ada korelasi antara waktu onset otot laring dengan m. adduktor pollicis. Waktu
onset m. orbikularis okuli berkorelasi signifikan dengan otot-otot taring (P<.OOI).
(Dari Unureanu D, Meistelman C, Frossard et al. Otot orbikularis okuli dan
adduktor pollicis yang dimonitor dengan blokade atracurium pada otot luring.
Anaesth Analg 1993;77:775-779;dengan izin.)

FENGGUNAAN KLINIK
Saat ini, penggunaan umum agen pemblokir neuromuskuiar adalah untuk
merelaksasi otot skelet pada intubasi trakea dan untuk mendukung kondisi
pembedahan selama anestesi umum (Hunter, 1995). Dosis 2 x ED 95 untuk
relaksan otot nondepolarisasi sering direkotnendasikan untuk intubasi trakea, di
mana 90% supresi respon single-twitch biasanya dipertimbangkan sebagai bukti
klinik relaksasi otot terinduksi obat yang mencukupi untuk mendukung kondisi
pembedahan secara optimal. Agen pemblokir neuromuskuiar hanya sedikit
mengandung efek depresan sistem syaraf pusat dan efek analgesi. Sehingga
obat ini tidak dapat digunakan sebagai pengganti obat anestesi. Lebih lagi
ventilasi paru harus didukung secara mekanik saat terjadi blokade
neuromuskuiar oleh obat ini. Laringospasme dapat diterapi efektif dengan SCh
dosis rendah 0,1 mg/kg iV (Chung dan Rowbottom, 1993). Penggunaan agen
pemblokir neuromuskuiar di luar penggunaan saat pembedahan antara lain,
perawatan pasien yang membutuhkan pernapasan bantuan pada paru dalam
keadaan krisis (adult respirtory distress syndrome, pemapasan spontan yang
tersupresi, tetanus) (Hunter, 1995; Miller, 1995)
Secara klinik, tingkatan blokade neuromuskuiar dievaluasi dengan
memonitor respon otot skelet yang terpicu stimulus listrik yang dihantarkan per
kutan ke n. ulnaris atau n. facial oleh stimulator syaraf perifer (Tabel 8-2). Secara
tradisional, rasio TOP > 0,7 cukup agar otot skelet tetap dapat mendukung
pernapasan spontan setelah pemulihan secara spontan maupun dengan obat
antagonis agen pemblokir neuromuskuiar nondepolarisasi. Bukti bahwa terjadi
disfungsi faring dan resiko aspirasi yang lebih tinggi saat rasio TOP < 0,9
dibandingkan dengan rasio TOP > 0,9 menyebabkan kebutuhan akan penilaian
kembali atas acuan lama ini (Eriksson et al., 1997). Indikator klinik yang lain dari
residu blokade neuromuskuiar antara lain kekuatan ???, kemampuan untuk
mempertahankan kedudukan kepala, pengukuran kapasitas vital dan produksi
tekanan negatif inspirasi.

Pemilihaa Obat
Pemilihan anlara agcn pemblokir neuromuskular depolarisasi dan
nondepolarisasi dipengarubi oleh kecepatan onset, lama kerja, dan kemungkinan
efek samping obat karena kerja obat ini pada lokasi seiain NMJ, termasuk pada
respon kardiovskular karena pelepasan histamin yang dipicu oleh
benzylisoquinoline agen pemblokir neuromuskular nondepolarisasi. Onset yang
cepat dan lama kerja yang singkat pada blokade neuromuskular oleh SCh dan
mivacurium adalah alasan mengapa obat ini digunakan pada saat intubasi
trakea. Rocuronium adalah satu-satunya agen pemblokir neuromuskular
nondepolarisasi yang menyamai onset cepat dari SCh, tetapi lama kerja obat
tersebut lebih panjang. Saat dibutuhkan periode yang stabil dari blokade
neuromuskular, agen pemblokir neuromuskular nondepolarisasi dipilih sebagai
obat injeksi dengan dosis intermiten atau sebagai infus yang berkelanjutan untuk
membuat paralisis otot skelet. Saat onset blokade neuromuskular yang cepat
tidak begitu dibutuhkan, relaksasi otot skelet untuk membantu intubasi trakhea
dapat diberikan dari agen pemblokir neuromuskular nondepolarisasi- Agen
pemblokir neuromuskular nondepolarisasi tertentu dapat menurunkan tekanan
darah sistemik secara signifikan (pelepasan histamin yang dipicu oleh atracurium
atau mivacurium) atau meningkatkan denyut jantung (pancuronium). Efek pada
sirkulasi akibat obat ini tidak balk pada keadaan hipovolemik, panyakit jantung
koroner, atau penyakit katup jantung. Sebaliknya, bradikardi yang disebabkan
oleh anestesi berbasis opioid, yang ditutupi oleh efek peningkatan denyut jantung
pancuronium, tidak akan dipengaruhi oleh agen pemblokir neuromuskular
nondepolarisasi yang tidak mempunyai efek pada sirkulasi (vecuronium,
rocuronium, cisatracurium, doxacurium, pipecuronium).

Rangkaian Onset Blokade Neuromuskular


Agen pemblokir neuromuskular mempengaruhi otot yang kecil dan
bergerak cepat seperti mata dan jari-jari, sebelum mempengaruhi bagian dada
dan abdomen. Akhirnya, m. intercostal dan difragma yang akan mengalami
paralisis. Pemulihan otot skelet biasanya berlangsung berkebalikan dengan
urutan paralisisnya, sehingga difragma adalah otot yang pertama pulih ke
fungsinya semula. Perbedaan onset dan pemulihan pada berbagai macam otot
skelet mungkin dipengaruhi oleh keseimbangan obat pada otot skelet yang
mempunyai lebih banyak vaskularisasi (Hunter, 1995).
Injeksi IV agen pemblokir neuromuskular pada pasien yang sadar pada
awalnya menyebabkan pasien sufit fokus dan kelemahan pada otot-otot
mandibular dan diikuti dengan ptosis, diplopia dan disfagia. Relaksasi otot-otot
kecil pada telinga tengah mempertajam pendengaran. Kesadaran dan sensorik
tetap tidak terganggu pada blokade neuromuskular total.

HUBUNGAN ANTARA STRUKTUR DAN AKT1FITAS


Agen pemblokir neuromuskular berasal dari gabungan ammonium
quatemer yang mempunyai paling tidak salu nitrogen atom positif yang berikatan
dengan subunit alfa pada reseptor kolinergik possinaps (lihat Gb. 8-1). Selain itu,
agen pemblokir neuromuskular mempunyai kesamaan struktural dengan
neurotransmiter endogen asetilkolin (lihat Gb. 8-1). Sebagai contoh, SCh adalah
dua molekul asetilkolin yang dihubungkan oleh metil asetat. Struktur yang
fleksibel, ramping dan panjang dari SCh mengakibatkan SCh dapat mengikat dan
mengaktifasi reseptor kolinergik. Struktur yang kaku dan amat besar dari agen
pemblokir neuromuskular, walaupun mempunyai porsi yang sama dengan
asetilkolin, tidak dapat mengaktifasi reseplor kolinergik.
Agen pemblokir neuromuskular nondepolarisasi adalah benzylisoquinoline
atau aminosteroid (lihat Tabel 8-1) (Hunter, 1995). Pancuronium adalah agen
pemblokir neuromuskular aminosteroid yang strukturnya paling menyerupai
asetilkolin. Fragmen seperti asetilkolin dari pancuronium memberikan molekul
steroid tersebut aktifitas blokade neuromuskular yang tinggi dan menghambat
kerja kolinesterase pada plasma. Vecuronium dan rocuronium adalah analog
monoquaterner dari agen pemblokir neuromuskular nondepolarisasi biquaterner
pancuronium. Agen pemblokir neuromuskular aminosteroid kurang mempunyai
aktivitas hormonal.
Asetilkolin mengandung gabungan ammonium quaterner yang bermuatan
positif (empat atom carbon menempel pada satu nitrogen atom) yang
berpasangan dengan reseptor kolinergik yang mempunyai muatan negatif (lihat
Gb. 8-1). Keadaan yang sama juga umumnya terlihat pada agen pemblokir
neuromuskular, yang kesemuanya mengandung satu atau lebih gabungan
amonium quaterner. Struktur amonium biquaterner yang paling banyak dipunyai
obat ini memperlihatkan asosiasi elektrostatik yang terjadi antar dua kation
terionisasi pusat dari obat ini dan kumpulan anion pada reseptor kolinergik. Pada
agen pemblokir neuromuskular dengan struktur monoquaterner, tidak tepat
dikatakan bila aktifitas agen pemblokir neuromuskular nondepolarisasi berasal
dari jarak optimal antara kumpulan amonium quatener.
Kekuatan elektrostatik dari reseptor kolinergik bermuatan negatif untuk
gabungan ammonium quaterner bermuatan positif terjadi pada tempat-tempat
kolinergik selain NMJ termasuk pada reseptor muskarinik jantung dan reseptor
nikotinik ganglion otonom. Spesifitas yang kurang untuk NMJ berarti bahwa agen
pemblokir neuromuskular dapat mengakibatkan efek pada kardiovaskular,
khususnya diperlihatkan pada perubahan tekanan darah sistemik dan denyut
jantung.
Spesifitas obat pada reseptor nikotinik ganglion otonom dibandingkan
dengan NMJ dipengaruhi oleh panjang rantai karbon yang memisahkan dua
kelompok ammonium bermuatan positif. Blokade maksimal pada ganglion
otonom terjadi pada saat muatan-muatan positif dipisahkan oleh enam atom
carbon (hexamethonium), sedangkan blokade neuromuskular terjadi saat
terdapat sepuluh atom karbon (decamethonium). Sebagai molekul
monoquaterner yang besar, die lebih sering mengakibatkan blokade ganglion
otonom daripada obat biquaterner. Metilasi dTc menjadi obat amonium
biquaterner metocurin sangat mengurangi penghambatan otonom yang
berhubungan dengan blokade neuromuskular. Derivat benzylisoquinoline lebih
sering memicu pelepasan histamin daripada derivat arninosteroid
menggambarkan adanya amin tertier.

NEUROMUSCULAR JUNCTION (NMJ)


NMJ mamalia adalah sinaps yang paling banyak diteliti dan paling dapat
dimengerti (Naguib et al., 2002). Imobilhas, sebagai bagian dari anestesi umum,
bergantung pada fungsi NMJ. Agen pemblokir neuromuskular yang merupakan
bagian dari kebanyakan anestesi umum berefek langsung pada NMJ dan fungsi
NMJ mempengaruhi respon terhadap obat anestesi seperti agen pemblokir
neuromuskular. Fisiologi dan farmakologi NMJ sangat penting untuk berbagai
macam aspek anestesiologi termasuk perawatan intraoperatif, perawatan
postoperatif dalam 1CU, dan perawatan pada sindroma chronic pain.

Gambar 8-5. Gambar skematik dari Neuromuscular Junction. Asetilkolin (ACh)


berada dalam Vesikel (V) akson yang akan terlepas sebagai respon terhadap
impuls syaraf. Neurotrans miter berdifusi melalui celah sinaps dan rnenempel
pada reseptor yang terkonsentrasi dalam Junctional Fold (JF) pada endplale otot
skelet. AsetiJkolinesterase (AChE) terdapat pada JF untuk membantu bidrolisis
ACh. (Dari Drachman DA. Miastenia gravis. N EnglJ Med 1978;298:136-142;
dengan izin.).
NMJ terdiri dari akhiran syaraf motorik prejunctional yang terpisah dari
membran postjunctional pada serat otot skelet oleh celah sinaps yang lebarnya
20-30 nm dan tens! dengan cairan ekstraselular (Gb. 9-5) (Drachman, 1978;
Standaert, 1994) (iihat Bab 55). Akhiran syaraf nonmyelinasi mengandung
mitokondria, retikulum endoplasmik, dan vesikel-vesikel si'naptik yang
dibutuhkan untuk sintesis neurotransmiter asetilkolin. Besar potensial
transmembran yang istirahat kira-kira -90 mV melalui membran syaraf dan
membran otot skelet dipertahankan oleh distribusi kalium dan natrium yang
berbeda antara luar membran dan dalam membran. NMJ mengandung tiga tipe
reseptor nikotinik kolinergik (nAChRs); dua merupakan postsinaps pada
permukaan otot skelet - satu junctional dan yang satu lag! ekstrajunctional - dan
satu adalah presinaps pada akhiran syaraf. Reseptor ekstrajunctional tidak
diHbatkan ke dalam transmisi neuromuskular normal tetapi dapat berproliferasi
bila otot skelet terkena penyakit, rusak atau kehilangan syarafnya, yang
mengganggu efek dari agen pemblokir neuromuskular. Reseptor postsinaps
terkonsentrasi dalam lipatan junctional, sehingga dapat dengan segera bertemu
dengan akhiran syaraf di mana asetilkolin dilepaskan.

Asetilkolin
Neurotransmiter dalam NMJ adalah amonium quaterner ester asetilkolin.
Asetitkolin pada akhiran syaraf motorik disintesa dari asetilasi kolin di bawah
kontrol enzim kolin asetilase. Asetilkolin ini disimpan dalam vesikel sinaptik pada
akhiran syaraf motorik dan dilepaskan ke celah sinaps sebagai satu paket
(quanta), setiap paket mengandung 500 sampai 10.000 molekul asetilkolm.
Kedatangan impuls syaraf menyebabkan terlepasnya ratusan quanta asetilkolm
yang akan mengikat subunit alfa nAChRs di membran postsinaps, menyebabkan
perubahan permeabilitas membran terhadap ion-ion. Perubahan permeabilitas
membran ini menyebabkan penurunan potensial transmembran dari -90 mv
menjadi -45 mv (potensial treshold). Pada titik ini, potensial aksi disebarkan ke
seluruh serat otot skelet yang menyebabkan terjadinya kontraksi. Bita tidak ada
potensial aksi, quanta asetilkolin dilepaskan secara acak, menyebabkan miniatur
potensial endplate <1 mv yang tidak dapat memicu depolarisasi membran otot
skeiet. Pelepasan asetilkolin adalah proses yang membutuhkan kalsium dan
dipicu oleh meningkatnya ion kalsium bebas di terminal syaraf. Dipertimbangkan
bahwa potensial aksi syaraf mengaktifasi adenil siklase pada membran terminal
syaraf sehingga menyebabkan terbentuknya cyclic adenosine monophosphate
(cAMP). cAMP selanjutnya akan membuka kanal ion kalsium, menyebabkan
vesikel sinaptik terbuka dari membran syaraf dan melepaskan asetilkolin
(Standaert dan Dretchen, 1981). Sehingga, obat-obatan seperti aminofilin yang
dapat \ memicu pembentukan dari cAMP membantu terjadinya transmisi
neuromuskular, dan_J obat-obat pemblokir kanal kalsium seperti verapamil dapat
menghambat transmisi neuromuskular.
Reseptor Nikotinik Asetilkolin Postjunctional
Membran postjunctional memiliki dua tipe nAChRs yang merespon agen
pemblokir neuromuskular (Standaert, 1994). nAChRs terdapat dalam jumlah
besar di membran postjunctional. nAChRs ekstrajunctional dapat muncul di
sepanjang otot skelet saat terjadi defisiensi rangsang syaraf pada membran otot
skelet.

Reseptor pada Janin


nAChRs pada janin terdiri dari lima subunit yang terdiri dari alfa, beta,
gamma dan delta dan setiap subunit dikode oleh gen yang berbeda (Naguib et
al., 2002). Pada respon terhadap asetilkolin, reseptor-resptor pada janin ini
berubah-ubah antara keadaan terbuka (tertempel asetilkolin) dan tertutup
(asetilkolin terdisosiasi). Pada keadaan terbuka, natrium, kalium dan ion kalsium
dapat menyeberang membran melalui gradien elektrokimia. Periode terbuka
yang lama pada nAChRs janin dengan resistensi listrik miotubulus yang tinggi
mengakibatkan satu quanta asetilkolin dapat memicu potensial aksi.

Reseptor pada Orang Dewasa


Pematangan sinaps menyebabkan penghilangan nAChRs secara
perlahan dari tempat-tempat di junctional dan ekstrajunctional dilanjutkan dengan
pembentukan terminal syaraf motorik dengan kumpulan banyak vesikel-vesikel
yang mengandung asetilkolin (Naguib et al., 2002). Diferensiasi postsinaps
dikarakterisasikan sebagai pembentukan bahan-bahan postsinaps yang
menjangkau nAChRs dengan kepadatan 10.000 per um2 pada membran
subsinaps. Mionukleus subsinaps mulai secara selektif mengekspresikan subunit
nAChRs yang baru, epsilon, yang berbeda secara fungsional dan dikenal
sebagai reseptor pada orang dewasa (Mishina et al., 1986). Reseptor-reseptor
yang telah matang ini mempunyai periode terbuka yang lebih pendek dan
penghantaran ion natrium, kalium dan kalsium yang lebih tinggi daripada
nAChRs pada janin. Up-regulation dan down-regulation nAChRs terjadi sebagai
respon terhadap stimulasi fisiologis, patofisiologis, dan farmakologis (label 8-4)
(Naguib et al.,2002).
Gambar 8-6. Komposisi subunit reseptor nikotinik asetilkolin (nAChR) terdiri dari
lima (dua alfa, beta, delta, epsilon) subunit protein. Setiap subunit mengandung
empat domain helical (Ml-M4) dan domain M2 membenmk lubang kanal. Sebuah
unit alfa dengan ujung N dan C pada permukaan ekstraseluler membran
lipidbilayer(Atas). Antara ujung N dan C, subunit alfa membentuk empat heliks
(Ml-M4) yang berada pada membran bilayer. Struktur pentamer dari nAChR
pada orang dewasa terdiri dari ujung N dua subunit alfa yang membentuk dua
tempat pengikatan aselilkolin (Bawah). Kanal ion mempunyai permeabilitas
yang sama untuk ion kalium dan natrium, sedangkan permeabilitas ion kalsium
adalah 2.5% dari total penneabilitas. (Dari Naguib M, Flood P, McArdle, et al.
Kemajuan pada neurobiologi junction neuromuskuler. Implikasi untuk ahli
anestesi. Anesthesiologi 2002; 96:202-231; dengan izin).

Fungsi dan Struktur


Fungsi endpiate nAChRs tergantung kepada lima protein subunit yang
bergabung membentuk unit pentamer yang terdiri dari dua subunit alfa yang
berasostasi dengan satu subunit beta, delta dan epsilon (Gb. 8-6) (Naguib et al.,
2002). Subumt-subunit ini membentuk pori transmembran seperti halnya tempat
pengikatan ekstraselular untuk asetilkolin dan agonisnya (agen pemblokir
neuromuskular depolarisasi) atau antagonisnya (agen pemblokir neuromuskular
nondepolarisasi). Bila tidak terdapat asetilkolin dan agonisnya, keadaan tertutup
yang slabil pada pori dapat dipertahankan, yang menghalangi aliran ion pada
gradien elektrokimianya. Fungsi penting subunit delta dan epsilon adalah untuk
menstabilisasi keadaan tertutup ini. Pengikatan dua molekul asetilkolin secara
bersamaan pada nAChRs mengawali perubahan konformasional yang membuka
pori sehingga terjadi perpindahan ion. Sebagai contoh, saat dua molekul terikat
secara bersamaan ke subunit alfa, sebuah kana! terbuka melewati bagian tengah
reseptor, sehingga ion natrium dan kalsium dapat masuk ke otot skelet dan ion
kalium keluar. Setiap NMJ mengandung jutaan reseptor postjunctional dan satu
semburan asetilkolin dari terbukanya akhiran syaraf membuka paling tidak
400.000 reseptor. Sehingga aliran yang cukup ke reseptor-resptor ini dapat
mendepolarisasi endpiate dan menghasilkan potensial aksi yang memicu
kontraksi otot skelet. Dasar dari transmisi neuromuskular adalah adanya aliran
ion.
Dua subunit alfa, selain merupakan tempat asetilkolin terikat, merupakan
tempat yang juga dapat diisi oleh agen pemblokir neuromuskular. Agen pemblokir
neuromuskular nondepolarisasi terikat pada satu atau kedua subunit alfa, tapi
tidak seperti asetilkolin, tidak menimbulkan aktifitas agonis (blokade kompetitif).
Sehingga perubahan konformasional tidak terjadi dan kanal reseptor tetap
tertutup. Karena itu ion-ion tidak dapat mengalir melalui kanal ini dan tidak terjadi
depolarisasi. Jika kanal yang tertutup cukup, terjadi blokade transmisi
neuromuskular. Suatu agen pemblokir neuromuskular nondepolarisasi dapat
menunjukkan kecenderungan untuk mengikat satu dari dua subunit n
alfa. Hal ini dapat menghasilkan sinergi dari dua agen pemblokir
neuromuskular nondepolarisasi dengan perbedaan selektif untuk setiap subunit
alfa bila diberikan bersamaan. Probabilitas pengikatan tergantung dari
konsentrasi asetilkolin dan konsentrasi agen pemblokir neuromuskular
nondepolarisasi di dekat reseptor dan afinitas reseptor terhadap neurotransmitter
atau agen pemblokir neuromuskular. Saat agen pemblokir neuromuskular
berdifiisi dari nAChRs, probabilitas reseptor mengikat asetilkolin meningkat dan
efek agen pemblokir neuromuskular menurun.
SCh, yang struktumya adalah dua molekul asetilkolin yang terikat
bersamaan, adalah agonis parsial pada nAChRs dan dapat mendepolarisasi
(membuka) kanal ion. Pembukaan ini membutuhkan ikatan molekul SCh pada
hanya satu subunit alfa. Subunit alfa yang lain dapat diisi oleh asetilkolin atau
SCh. Karena SCh tidak dihidrolisis oleh asetilkolinesterase, kanal tetap terbuka
dengan waktu yang lebih lama daripada yang dibuat oleh aselilkolin,
menyebabkan kontraksi yang dikenal sebagai fasikulasi dan depolarisasi
persisten pada endplate dan bfokade neuromuskular (depolarisasi dipertahankan
mencegah penyebaran potensial aksi). Lebih lagi, SCh dapat berdifiisi dari
nAChRs dan berikatan lagi dengan nAChRs yang lain sampai hilang dari area
NMJ dan terhidrolisis oleh kolinesterase plasma. Agen pemblokir neuromuskular
nondepolarisasi dosis tinggi dapat mencegah aiiran yang normal dari ion-ion
dengan memasuki kanal yang dibentuk nAChRs untuk memblokade kanal.
Blokade natrium yang serupa dihasilkan oleh anestetik lokal.
nAChRs Ekstrajunctional
nAChRs ekstrajunctional dalam keadaan normal tidak terdapat dalam
jumlah besar karena sintesanya ditekan oleh aktifitas neural. Pada saat syaraf
motorik kurang aktif karena adanya trauma atau denervasi otot skelet, reseptor
kolinergik ekstrajunctional ini berproliferasi secara cepat (iPumplin dan
Fambrough, 1982). nAChRs ekstrajunctional ini lebih sering muncul di seluruh
membran postjunctional daripada pada area NMJ. nAChRs ekstrajunctional
sangat responsif pada agonis seperti asetilkofin atau SCh. Karena nAChRs
ekstrajunctional dibentuk secara cepat setelah adanya kekurangan efek neural
pada otot skelet dan segera terdegradasi setelah pengaruh neural kembali,
gabungan antara nAChRs prejunctional dan nAChRs ekstrajunctional dapat
terjadi pada berbagai keadaan klinik dan dapat menimbulkan respon individual
yang berbeda terhadap agen pemblokir neuromuskular dan keadaan penyakit
yang berbeda.

nAChRs PrejiiDctional
nAChRs prejunctional pada akhiran syaraf motorik mempengaruhi
pelepasan neurotransmiter. Perbedaan nAChRs prejunctional dibandingkan
dengan nAChRs post junctional terlihat dari (a) karaktristik ikatan kimianya, (b)
kanal ion alarm yang diatur dan (c) kecenderungan blokade selama simulasi
frekuensi tinggi. Beberapa agen pemblokir neuromuskular nondepolarisasi
memblokade kanal ion natrium prejunctional tetapi tidak memblokade kanal ion
kalsium. Sehingga obat ini dapat mengganggu mobilisasi asetilkolin dari tempat
sintesanya ke tempat pelepasannya. Pelepasan asetilkolin yang tergantung
kalsium tidak dipengaruhi.

AGEN FEMBLOK1R NEUROMUSKULAR DEPOLARISASI


Satu-satunya agen pemblokir neuromuskular depolarisasi yang dipakai
dalam penggunaan klinik adalah SCh (lihat Gb. 8-1). SCh mempunyai dua
karakteristik yang unik dan sangat penting - SCh menghasilkan paralisis kuat
dengan cepat dan efeknya dapat menyusut sebelum pasien preoksigenasi
mengalami hipoksia (Donati, 2003). SCh, 0.5 sampai 1 mg/kg IV, mempunyai
onset yang cepat (30-60 detik) dan lama kerja yang singkat (3-5 menit).
Karakteristik ini menjadikan SCh sebagai obat yang sering digunakan untuk
relaksasi otot skelet yang dapat membantu intubasi trakea. SCh mempunyai efek
samping yang menyebabkan adanya pembatasan pemakaian atau
kontraindikasi.

Dosis
Dosis tradisional SCh untuk membantu pemasangan intubasi trakea
adalah 1 mg/kg IV walaupun kurang terdapat literatur yang mendukung hal ini.
Pada pasien dewasa, ED^o untuk SCh, ditentukan setelah pemberian thiopental
dengan pernapasan yang mengandung nitrit oksida, adalah 0,27 mg/kg IV (Smith
et al., 1988). Jadi, 1 mg/kg IV mewakili 3,5-4 kali lipat ED 9S. secara konseptual,
harus diantisipasi pemberian 1 mg/kg IV pada pasien preoksigenasi
berhubungan dengan kembalinya napas spontan sebelum terjadi hipoksi arterial
yang signifikan. Bahkan pernapasan spontan telah diteliti terjadi sekitar 5 menit
setelah terjadi paralisis yang ditimbulkan SCh. Bagaimanapun juga, durasi rata-
rata sampai pemulihan 90% pada pemberian 1 mg/kg IV lebih dari 10 menit,
menggambarkan bahwa diafragma pulih sebalum m. adductor pollicis. Dalam hal
ini, pasien dewasa preoksigenasi dapat mengalami apnea selama 8 menit
sebelum saturasi oksigen arterial berkurang hingga 90% (Benumof et al., 1997)
Menurunkan dosis untuk intubasi dari I mg/kg IV menjadi 0.6 mg/kg IV
mengurangi durasi depresi Fasikulasi kejangan > 90 detik dan hal ini
berhubungan dengan kondisi intubasi yang dapat diterima (Gb. 8-7) (Kopman et
al., 2003; Naguib et al., 2003). Berkenaan dengan ini, onset hipoksemia arterial
sebelum kembalinya pernafasan spontan tampaknya sedikit mungkin (tetapi
bukan tidak mungkin, mengingat variasi dalam respon terhadap SCh) daripada
dengan dosis 1 mg/kg IV. Meskipun demikian, penurunan dosis SCh dari 1.0
mg/kg ke 0.56 mg/kg tidak mempersingkat waktu ke pergerakan diafragma
spontan (Naguib et al., 2005). Ketika blokade neuromuskuler komplit menjadi
penting, dosis SCh 1.0 sampai 1.5 mg/kg IV dapat masih cocok. Mengingat
variasi dalam respon terhadap SCh di antara pasien, disimpulkan tidak terdapat
dosis tunggal SCh yang sempurna untuk intubasi (Donati, 2003).
Gambar 8-7. Ketinggian gelombang (Tl) sebagai persen kontrol pada adductor
pollicis dan waktu dari pemberian awal bolus obat untuk tiga dosis suksinilkolin
yang berbeda. Penurunan dosis suksinilkolin dari 1 mg/kg menjadi 0.5 mg/kg
memendekkan lebih dari 90 detik lama kerja pada m. adductor pollicis. (Dari
Kopman A, Zhaku B, Lai KS. "Dosis intubasi" suksinilkolin: Efek penurunan
dosis pada waktu pemulihan. Anesthesiologi 2003;99:1050-1054; dengan
izin.)

Mekanisme Aksi
SCh melekat pada satu atau kedua subunit alfa nAChRs dan menyerupai
aksi asetilkolin (parsial agonis), maka mendepolarisasi membran postjunctional.
Dibandingkan dengan asetilkolin, hidrolisa SCh lambat, menyebabkan
tertahannya depolarisasi (pembukaan) kanal ion reseptor. Penghambat
neuromuskuler berkembang karena membran postjunctional yang didepolarisasi
tidak respon terhadap pelepasan asetilkolin berkelanjutan (mendepolarisasi
blokade neuromuskuler). Blokade depolarisasi neuromuskuler juga mengacu
pada blokade fase I. SCh memiliki efek presinaptik, tetapi ini dianggap kecil bila
dibandingkan dengan efek postsinaptik (Standaert dan Adams, 1965).
Pembukaan reseptor kanal ion yang tertahan dan menyebabkan depolarisasi
membran postjunctional dibentuk oleh SCh berhubungan dengan kebocoran ion
potasium dari interior sel cukup untuk membuat peningkatan rata-rata
0.5mEq/liter pada konsentrasi potasium serum.
Dosis besar SCh tunggal (> 2 mg/kg IV), dosis berulang, atau infus SCh
kontinyu diperpanjang dapat menyebabkan pada membran postjunctional yang
normalnya tidak respon terhadap asetilkolin bahkan ketika membran
postjunctional telah menjadi repolarisasi (blokade neuromuskuler desensitisasi).
Mekanisme perkembangan blokade neuromuskuler desensitisasi tidak diketahui
dan, karena alasan ini, disebut sebagai blokade fase II, yang tidak menunjukan
mekanisme, adalah terminologi yang dipilih (Hunter dan Feldman, 1976).
Sepertinya bahwa kombinasi desensitisasi reseptor, blokade kanal ion, dan
masuknya SCh ke sitoplasma otot skeletal bertanggung jawab atas peristiwa
yang manifes sebagai blokade fase II.

Karakteristik Blokade Fase I


Respon mekanikal yang dibangkitkan secara elektrik, menggunakan
stimulator saraf perifer, yang merupakan karakteristik blokade fase I yaitu (a)
penurunan kontraksi sebagai respon terhadap stimulasi single-twitch, (b)
penurunan amplitude respon tetapi diperpanjang terhadap stimulasi
berkelanjutan, (c) rasio TOP > 0.7, (d) tidak adanya fasilitasi posttetanik, dan (e)
penambahan blokade neuromuskuler setelah pemberian obat antikolinesterase
(Hhat Gb. 8-2) (Hunter, 1995). Selain itu, onset blokade fase I dibarengi-dengan
fasikulasi otot skeletal yang mencerminkan depolarisasi postjunctional yang
dibentuk oleh SCh.
umum membran
Karakteristik Biokade Fase II
Respon mekanikal yang dibangkitkan secara elektrik, menggunakan
stimulator saraf perifer, yang merupakan karakteristik biokade fase II menyerupai
yang dianggap tipikal biokade neuromuskuler yang dibentuk oleh agen
penghambat neuromuskuler nondepolarisas! (lihal Gb. 8-2) (Hunter, 1995).
Selaln itu, biokade fase II dapal diantagonis dengan obat antikolinesterase.
Meskipun kesamaannya, sepertinya bahwa mekanisme biokade neuromuskuler
nondepolarisasi dan biokade fase II yang disebabkan SCh berbeda.
Transisi antara biokade fase I dan fase II cukup mendadak, terjadi
dengan dosis SCh 2 sampai 4 mg/kg IV (Gb. 8-8) (Lee, 1975). Secara klinis,
onset biokade fase II sering bermanifes awal sebagai takifilaksis dan kebutuhan
untuk meningkatkan rata-rata infus SCh alau untuk memberikan secara progresif
dosis tambahan yang lebih besar. Pada saat tertentu, berbagai derajat biokade
fase I dan fase II mungkin ada (Ali dan Saverese. 1976). Ketika biokade
neuromuskuler secara predominan fase I. pemberian obat antikolinesterase akan
meningkatkan adanya biokade neuromuskuler. Sebaliknya, obat antikolinesterse
akan mengantagonis predominan biokade fase II. Pendekatan yang dapat
diterima adalah menelilJ respon mekanikal yang dibangkitkan dengan stimulator
saraf perifer setelah pemberian dosis kecil obat antikolinesterase seperti
edrophonium 0.1 sampai 0.2 mg/kg IV. Apabila dosis kecil edrophonium ini
meningkatkan transmisi neuromuskuler, sepertinya bahwa dosis tambahan obat
antikolinesterase akan mengantagonis daripada meningkatkan biokade
neuromuskuler yang dibentuk oleh SCh.

Gambar 8-8. Transisi antara blokade fase T dan fase N seperti yang
digambarkan dengan rasio empat kereta (train -of- four) menunjukan cukup
mendadak, terjadi pada dosis suksinilkolin total (suxamethonium) 2 sampai 4
mg/kg IV. (Dari I.ee C. Hubungan dosis fase IJ, lakifilaksis dan menghilangnya
train-of-four pada blokade neuromuskuler ganda yang disebabkan
suxamethonium. Br J Anaesth 1 975;47:84 1- 845;dengan izin)

Durasi Aksi
Durasi singkat aksi SCh (3 sampai 5 menit) secara prinsip karena
hidrolisisnya oleh enzim plasma kolinesterase (pseudokolinesterase) (Gb. 8-9).
Enzim plasma kolinesterase disintesis di hati dan merupakan suatu glikoprotein
tetramerik terdiri dari empat subunit identik, masing-masing memiliki satu tempat
katalitik aktif. Meskipun kepentingannya pada hidrolisis beberapa obat yang
mengandung ester seperti SCh, kepentingan fisiologis plasma kolinesterase
belum dapat ditegakkan (Pantuck, 1 993).
Metabolit Jnislal SCh. suksinilmonokolin, merupakan penghambat
neuromuskuler yang jauh lebih lemah (potensinya 1/20 sampai 1/80) daripada
obat pendahulunya. Suksinilkolin dihidrolisa berkelanjutan menjadi asam suksinik
dan kolin. Hidrolisa cepat membuatnya sulit unluk mendapatkan data
farmakokinetik untuk suksinilkolin. Meskipun demikian, berdasrkan teknik
torniquet isolasi, sepertinya bahwa sejumlah SCh signifikan masih bersirkulasi 3
menit setelah injeksi obat (Holst-Larsen. 1976).
Plasma kolinesterase memiliki kapasilas besar menghidrolisa SCh pada
tingkat yang cepat, sehingga hanya fraksi kecil dosis obat IV asli yang
sebenarnya mencapai NMJ. Karena plasma kolinesterase tidak ada pada jumlah
yang signifikan di NMJ, blokade neuromuskuler yang dibentuk oleh SCh diakhiri
dengan difusinya jauh dari NMJ kc dalam cairan ckstraseluler. Oleh karena itu,
plasma kolinesterase mempengaruhi 1 durasi aksi SCh dengan mengatur jumlah
agen penghambat neuromuskuler yang dihidrolisa sebelum mencapai NMJ.

Gambar 8-9. Durasi singkat aksi suksinilkolin secara prinsip karena hidrolisis
cepalnya di dalam plasma oleh enzim kolinesterase untuk mengafctifkan
metabolit.
Gambar 8-10. Durasi blokade neuromuskuler yang disebabkan suksinilkolin
sejajar aktifitas enziin kolinesterase plasma. (Dan Viby-Morgensen J. Korelasi
durasi aksi suksinilkolin dengan aktifitas kolinesterase plasma pada subyek
dengan enzim normal secara genoti pi kal. Anesthesiology 1980;53:5 IT-520;
dengan izin.)

Aktifitas Plasma Kolinesterase


Penurunan pada pembentukan plasma kolinesterase hepatik, obat yang
menyebabkan penurunan aktifitas plasma kolinesterase atau keberadaan atipikal
plasma kolinesterase yang ditentukan secara genetik menyebabkan perlambatan
sampai hilangnya hidrolisis SCh dan pemanjangan blokade neuromuskuler
terkait yang dibentuk oleh obat (Gb. 8-10) (Viby-Mogensen, 1980).
Penyakit hati harus berat sebelum menurunkan pembentukan plasma
kolinesterase yang cukup untuk terjadinya pemanjangan blokade neuromuskuler
yang disebabkan SCh (Foldes et al., 1956). Diperkirakan bahwa insiden aktifitas
plasma kolinesterase yang rendah adalah 6% (Viby-Mogensen, 1980). Waktu
paruh eliminasi plasma kolinesterase adalah 8 sampai 16 jam, dan tingkat < 75%
penting untuk pemanjangan efek SCh. Neostigmin tetapi bukan edrophonium
menyebabkan penurunan yang amat besar aktifltas plasma kolinesterase (Gb. 8-
11) (Devcic et ai., 1995). Bahkan 30 menit setelah pemberian neostigmin,
aktifitas plasma kolinesterase masih tetap ada sekitar 50% dari nilai kontrol. Obat
anti kolinesterase poten yang dipakai pada insektisida dan kadang-kadang pada
pengobatan glaukoma dan miastenia gravis, dan juga obat kemoterapeutik
(nitrogen mustard dan siklofosfamid), dapat menurunkan aktifitas plasma
kolinesterase sehingga memperpanjang biokade neuromuskuler setelah
pemberian SCh. Durasi aksi SCh yang diberikan setelah injeksi metoclopramide,
10 mg IV, diperpanjang, rupanya mencerminkan penghambatan plasma
kolinesterase oleh metoclopramide (Kao dan Turner, 1989). Tingkat esterogen
tinggi, seperti yang diteliti pada pasien yang term, berhubungan dengan sampai
40% penurunan aktifitas plasma kolinesterase. Secara paradoks, durasi aksi
paralisis otot skeletal yang disebabkan SCh tidak diperlama, rupanya
mencerminkan peningkatan volume distribusi obat pada saat term (Leighton et
al., 1986).
Gambar 8-11. Aktifitas kolineslerase plasma sebelum (waktu 0) dan selamajatn
penama setelah pemberian obat anti kolinesterase. (Nilai adalah rala-rala ± SE; *
P S-01.) (Dari Devcic A, Munshi CA, Gandhi SK, el al. Antagonisme blokade
neuromuskuler mivacurium: neosligmine versus edrophunium. Anesth Analg
1995;81:1005-1009; dengan izin.)

Resistensi terhadap efek SCh dapat mencerminkan peningkatan aktifitas


plasma kolinesterase (diwariskan sebagai varian isoenzim C5 atau didapat),
berraanifes sebagai hidrolisa dengan kecepatan meningkat dan pemendekan
durasi aksi SCh (Sugimori, 1986). Pada pasien obese, terdapat peningkatan
aktifitas plasma kolinesterase sehingga kebutuhan SCh dapat meningkat
(Bentley et al., 1982). Resistensi terhadap SCh dapat juga disebabkan
farmakodinamik, seperti yang diteliti pada pasien dengan miastenia gravis (ED y5
2.6 kali daripada pasien normal) (Eisenkraft et al.. 1988). Pada miastenia gravis,
terdapat penurunan fungsional ujung reseptor asetilkolin, dengan berakibat
penurunan respon terhadap neurotransmiter asetilkolin. Resistensi terhadap SCh
telah diamati pada pasien dengan juvenile hyaline fibromatosis dan aktifitas
kolinesterase plasma normal (Baraka, 1988).

Plasma Kolinesterase Atipikal


Adanya plasma kolinesterase atlpikal sering dikenali hanya setelah pasien
mengalami pemanjangan blokade neuromuskuler (t sampai 3 jam), setelah dosis
konvensional SCh. Terdapat gen kolinesterase tunggal dan perubahan nukleotida
pada gen ini bertanggung jawab atas sejumlah varian pada enzim. Aplikasi teknik
genetik molekuler telah memudahkan identifikasi yang tepat pada varian plasma
kolinesterase (Pantuck, 1993).
Di antara beberapa varian plasma kolinesterase yang ditentukan secara
genetik. varian yang berhubungan dengan dibukain tampaknya paling penting
(Tabel 8-5) (Hunter, 1995; Pantuck, 1993). Dibukain, suatu anestetik lokal dengan
ikatan amid, menghambat aktifitas enzim plasma kolinesterase normal dengan
perkiraan 80%, dibandingkan dengan hanya kira-kira 20% penghambatan
aktifitas enzim atipikal. Angka 80 dibukain, yang menunjukan 80%
penghambatan aktifitas enzim, menegaskan adanya enzim plasma kolinesterase
normal, sedangkan kira-kira 1 dart setiap 3,200 pasien adalah homozigot untuk
varian enzim plasma kolinesterase atipikal dan memiliki angka dibukain 20. Pada
pasien ini, blokade neuromuskuler setelah pemberian SCh, 1 mg/kg IV, dapat
bertahan selama 3 jam atau lebih lama, dan 25% pemulihan respon single-twitch
setelah mivakurium dosis kecil, 0.03 mg/kg IV, membutuhkan sampai 80 menit
(Ostergaard et al., 1995). Rira-kira 1 dari setiap 480 pasien adalah heterozigot
untuk enzim plasma kolinesterase atipikal yang menyebabkan angka dibukain 40
sampai 60, Pasien heterozigot ini dapat bermanifes pemanjangan sedang durasi
blokade neuromuskuler (sampai dengan 30 menit) setelah pemberian SCh.
Adalah penting untuk mengenali bahwa angka dibukain mencerminkan
kualitas enzim kolinesterase (kemapuan untuk menghidrolisa SCh) dan bukan
kuantitas enzim yang bersirkulasi di dalam plasma. Sebagai contoh, penurunan
aktifitas plasma kolinesterase karena penyakit hati atau obat and -kolinesterase
berhubungan dengan angka dibukain normal (mendekati 80).Sejumlah kecil
pasien memiliki isoenzim plasma kolinesterase yang berhubungan dengan
peningkatan rata-rata hidrolisa dan pemendekan durasi aksi SCh (Sugimori,
1986).

Efek Samping Merugikan


Efek samping merugikan yang dapat muncul bersamaan dengan
pemberian SCh metiputi (a) disritmia jantung, (b) hiperkalemi, (c) mialgia, (d)
mioglobinuria, (e) peningkatan tekanan intragastrik, (f) peningkatan tekanan
intraokuler, (g) peningkatan tekanan intrakranial (ICP), dan (h) kontraksi otot
skeletal yang terus-menerus. Efek samping ini dapat membatasi atau bahkan
kontraindikasi pemberian SCh.
Pemberian dosis nonparalisa agen pemblokir neuromuskuler
nondepolarisasi (pretreatment) dapat melemahkan atau mencegah terjadinya
disritmia jantung, mialgia, dan peningkatan tekanan intragastrik dan intraokuler
setelah pemberian SCh IV (Miller dan Way, 1971; Miller et a!., 1986; Stocking,
1977; Stocking dan Peterson, 1975). Pretreatment, akan tetapi, tidak
mempengaruhi besarnya pelepasan potasium yang dibangkitkan dengan SCh
(Stoelting dan Peterson, 1975).

Disritmia jantung
Sinus bradikardi, ritme pertemuan, dan bahkan gagal sinus dapat
mengikuti pemberian SCh. Efek jantung ini mencerminkan aksi SCh pada
reseptor kolinergik muskarinik jantung di mana obat meniru efek fisiologis
asetilkolin. Disritmia jantung paling mungkin terjadi ketika SCh dosis kedua
diberikan kira-kira 5 menit setelah dosis pertama. Hubungan pada dosis kedua ini
menunjukan kemungkman peran metabolit SCh (suksinilmonokolin dan kolin)
dalam menyebabkan bradikardi (Schoenstadt dan Witcher, 1963). Pemberian
atropin, 6 u.g/kg IV, tidak mencegah perlambatan denyut jantung dalam respon
terhadap dosis kedua SCh (Stoelting, 1977).
Kebalikan dari aksi pada reseptor kolinergik muskarinik jantung, efek SCh
pada ganglia sistem saraf otonom dapat menyebabkan stimulasi ganglionik dan
berhubungan dengan peningkatan denyut jantung dan tekanan darah sistemik.
Stimulasi ganglionik mencerminkan efek SCh pada ganglia otonom yang
menyerupai efek flsiologis asetilkolin pada tempat ini.

Hiperkalemi
Hiperkalemi dapat terjadi setelah pemberian SCh pada pasien dengan (a)
distrofi otot yang tidak dikenali secara klinis, (b) luka bakar derajat tiga yang tidak
sembuh, (c) denervasi yang menyebabkan atrofi otot skeletal, (d) trauma berat
otot skeletal, dan (e) lesi neuron motor atas (Cooperman et al., 1970; Gronert
dan Theye, 1975; Sullivan et a!., 1994; Tobey, 1970). Infeksi abdominal berat
dihubungkan dengan pelepasan potasium yang disebabkan SCh (Koblschutter et
al., 1976). Potensial untuk pelepasan potasium berlebihan setelah denervasi
dapat berkembang dalam 96 jam dan dapat menetap selama jangka waktu yang
tidak dapat ditetapkan sampai dengan 6 bulan atau lebih (Gb. 8-12) (John et al.,
1976). Tidak terdapat bukti hiperkalemi yang disebabkan SCh pada pasien
dengan penyakit Parkinson, cerebral palsy, atau myelomeningocele, atau yang
menjalani pembedahan aneurisma otak (Dierdorf et al., 1985; DJerdorf et al.,
1986: Mannien et al., 1990; Muzzi et al., 1989). Pretreatment dengan dosis
subparalisa agen pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi tidak mempengaruhi
besarnya pelepasan potasium. Hiperkalemi (> 5.5 mEq/L) yang sebelumnya ada
berhubungan dengan gagal ginjal dan pada ketiadaan paralisa otot skeletal tidak
berhubungan dengan peningkatan resiko pelepasan potasium akut setelah SCh
dosis intubasi (Schow et al., 2002).

Gambar 8-12. Perubahan pada konsentrasi potasium (K-*-) plasma mulai 4 hari
setelah cedera denervasi pada hewan, sedangkan rneningkat sampai puncaknya
terjadi 14 hari setelah cedera. (CI, jarak kepercayaan.) (Dari John DA, Tobey RE,
Homer LD, 6t al. Onset hiperkalemi yang disebabkan soksiiiilkolin selelah
denervasi. Anesthesiologi 1976;45.'294-299; dengan izin.)

Rhabdomyolisis yang disebabkan SCh, hiperkalemi, dan fientj jantung


dapat terjadi ketika SCh diberikan kepada anak laki dengan myopati tak
lerdiagnosa (Sullivan et al., 1994). Distrofi otot Duchenue adalah bentuk distrofi
otot yang paling sering, dengan insidensi i dari 3,300 kelahiran laki-Iaki.
Diagnosa sering tidak mungkin sampai usia 2 sampai 6 tahun. Distrofi otot
Decker juga merupakan distrofi otot terkait X yang lebih jarang {1 dari 33,000
kelahiran laki-Iaki) dan dikarakteristikan dengan gambaran klinis yang lebih jinak,
yang dapat memperlambat diagnosa klinis. Berdasarkan pengamatan ini, dapat
di antisipasi bahwa persentase kecil populasi pediatri laki-Iaki dapat dilakukan
pembedahan occult myopati. Karena alasan ini, beberapa klinisi menghindari
penggunaan SCh pada pasien pediatri ketika respon setara yang dapat diterima
dapat dicapai dengan agen pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi.
Proliferasi reseptor kolinergik ekstrajunctional menyediakan lebih banyak
tempat untuk potasium bocor keluar dari sel selama depolarisasi merupakan
penjelasan dugaan untuk hiperkalemi yang mengikuti pemberian SCh pada
pasien dengan cedera denervasi. Mekanisme ini belum dipastikan pada pasien
luka bakar.
Mialgia otot skeletal setelah operasi, yang secara khusus menonjol pada otot
skeletal leher, punggung, dan perut, dapat tenadi setelah pemberian SCh,
terutama pada dewasa muda yang menjalani prosedur pembedahan minor yang
menyebabkan ambulasi awal. Mialgia yang berlokasi di otot leher dapat dikira
sebagai faringitis ("tenggorokan sakit") oleh pasien dan berhubungan dengan
intubasi trakea yang dilakukan oleh ahli anestesi. Diduga kontraksi tidak sirtkron
serat otot skeletal yang berhubungan dengan depolarisasi umum disebabkan
oleh SCh menyebabkan mialgia. Jelas, pencegahan kontraksi otot skeletal
disebabkan SCh yang tampak secara klinis dengan sebelumnya pemberian dTc
dosis nonparalisa mencegah atau mengurangi insiden mialgia setelah pemberian
SCh (Stocking dan Peterson, 1975). Mengejutkan, penggunaan vekuronium
menggantikan tempat SCh tidak menurunkan munculnya mialgia pada pasien
yang menjalani laparoskopi (Zahl dan Apfelbaum, 1989). Inflamasi sebagai
penyebab mialgia yang disebabkan SCh tidak didukung dengan data gagal
menunjukan efek pedindungan deksametason (Schreiber et al.. 2003).

Mioglabinuria
Kerusakan pada otot skeletal dltunjukan dengan adanya mioglobinuria
setelah pemberian SCh, terutama pada pasien pediatri (Ryan et al., 1971).
Rupanya mioglobinuri mencerminkan kerusakan otot skeletal yang berhubungan
dengan fasikulasi yang disebabkan SCh. Untuk alasan yang tidak jelas,
mioglobinuri jarang terjadi pada dewasa yang menerima SCh.

Peningkatan Tekanan Intragastrik


SCh menghasilkan peningkatan tidak pasti pada tekanan intragastrik
(Miller dan Way, 1971). Ketika tekanan intragastrik meningkat, tampaknya
berkaitan dengan intensitas fasikulasi otot skeletal yang disebabkan oleh SCh.
Jelas, Pencegahan fasikulasi otot skeletal yang tampak secara klinis dengan
pemberian agen pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi dosis nonparalisa
mencegah peningkatan tekanan intragastrik yang disebabkan oleh pemberian
SCh berkelanjutan (Miller dan Way, 1971). Resiko peningkatan tekanan
intragastrik (sphincter gastroesofageal dapat terbuka spontan pada tekanan > 28
cm H2O) menyebabkan lewatnya cairan lambung ke dalam oesofagus dan faring
dan selanjutnya inhalasi ke dalam paru-paru. Ketiadaan fasikulasi otot skeletal
minimal pada anak-anak adalah konsisten dengan kettadaan peningkatan
tekanan intragastrik cukup besar yang menyertai pemberian SCh pada kelompok
usia ini (Salem et al, 1972).
Peningkatan Tekanan Intraokuler
SCh menyebabkan peningkatan maksimal pada tekanan intraokuler 2
sampai 4 menit setelah pembenannya (Pandey et al., 1972). Peningkatan
tekanan intraokuler ini transien, berlangsung hanya 5 sampai 10 menit.
Mekanisme SCh meningkatkan tekanan intraokuler masih belum diketahui,
meskipun kontraksi otot ekstraokuler dengan distorsi dan kompresi bola mata
telah lama diduga sebagai etiologi perubahan ini (Macri dan Grimes, 1957).
Ketakutan pada kontraksi seperti itu yang dapat menyebabkan ekstrusi isi bola
mata pada pasien dengan cedera mata terbuka membuat para klinisi
menghindari pemberian SCh pada pasien ini (Dillon et al., 1957). Teori ini tidak
pernah diperkuat dan dipatahkan dengan penjabaran pasien dengan cedera
mata terbuka yang diberikan SCh IV tidak menyebabkan ekstrusi isi bola mata
(Libonati et al., 1985). Jelas, terdapat bukti bahwa kontraksi otot ekstraokuler
tidak ikut andil dalam peningkatan tekanan intraokuler yang menyertai pemberian
SCh (Gb. 8-13) (Kelly et al., 1993). Tampaknya aksi sikloplegi SCh dengan
pendalaman ruang anterior dan meningkatkan resistensi untuk mengeluarkan
humor aqueous digabungkan dengan sedikit peningkatan pada volume darah
koroid dan tekanan vena pusat, turut ambil bagian dalam peningkatan tekanan
intraokuler.

Peningkatan Tekanan Inirakranial


Peningkatan 1CP setelah pemberian SCh pada pasien dengan tumor
intrakranial atau trauma kepala belum merupakan pengamatan yang konsisten
(Gb. 8-14) (Kovarik et al., 1994).
Kontraksi Otot Skeletal Terus-Menerus
Relaksasi rahang inkomplit dan rigiditas rahang masseter setelah
pemberian haiotan-SCh berurutan jarang terjadi pada anak-anak (terjadi sekitar
4.4% pasien) dan dianggap sebagai respon normal (Hannallah dan Kaplan,
1994). Kesulitan terletak pada pemisahan respon normal dari rigiditas otot
masseter yang dapat berhubungan dengan perkembangan hipertermi malignan
(Bevan, 1994). ;
.
Gambar 8-13. Perubahan tekanan intraokuler selelah pemberian suksinilkolin
(Succ Admin), 1.5 mg/kg IV kepada pasien yang seluruh otot ekstraokulernya
telah terpisah sebelumnya. (Dari Kelly RE, Dinner M, Turner LS. et al.
Suksinilkolin meningkatkan tekanan intraokuler pada mata manusia dengan
terpisahnya otot ekstraokuler. Anesthesiologi 1993;79:948-952; dengan izin.)

Gambar 8-14. Suksinilkolin, 1 mg/kg IV, ketika diberikan kepada pasien dengan
cedera neurologis (nilai median skala koma Glasgow 6) iidak merubah tekanan
intrakranial rata-rata (ICP). (Dari Kovarik WD, Mayberg TS, Lam AM, et al.
Suksinilkolin tidak merubah tekanan Jntrakranial, kecepatan aliran darah otak.
Anesth Analg l994;78:469-473; dengan izin.)

Spasme otot skeletal terus-menerus dapat menyertai pemberian SCh


kepada pasien dengan myotonia kongenita atau myotonia distrofika (Mitchell et
al., 1978). Kontraksi otot skeletal terus-menerus ini dapat mengganggu ventilasi
paru-paru dan menjadi ancaman kehidupan.

AGEN PEMBLOKIR NEUROMUSKULER NONDEPOLAR1SASI


Agen pemblokir neuromuskuler nondepolansasi dibagi secara klinis ke
dalam aksi lama, menengah, dan singkat (lihat Tabel 8-1) (Hunter, 1995).
Perbedaan dalam onset, durasi aksi, rata-rata pemulihan, metabolisme, dan
klirens, mempengaruhi keputusan klinis untuk memilih salah satu obat dari yang
lainnya. Banyak variabel respon pasien dibangkitkan oleh agen pemblokir
neuromuskuler nondepolansasi dapat dijelaskan dengan perbedaan pada
farmakokinetik. Selain itu, biaya agen pemblokir neuromuskuler nondepolansasi
yang lebih baru dapat menjadi pertimbangan dalam memilih obat ini
dibandingkan dengan obat yang lebih tua dan tidak begitu mahal seperti
pancuronium.
Mekanisme Aksi
Agen pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi secara klasik dianggap
bertindak dengan bergabung dengan nikotin nAChRs tanpa menyebabkan
aktifasi apapun pada kanal reseptor ion ini. Secara spesifik, obat ini dapat
bertindak secara kompetitif dengan asetilkolin pada subunit alta nAChRs
postjunctional tanpa menyebabkan perubahan pada konfigurasi reseptor ini.
Selain itu, obat ini, terutama pada dosis tinggi, dapat bertindak dengan
memblokir kanal reseptor ion. Agen pemblokir neuromuskuler nondepolansasi
juga bertindak di nAChRs postjunctional, tetapi aksi pada tempat postjunctional
lebih penting.
GAMBAR
Gambar 8-15. Gambaran skematik angka reseptor yang harus ditempati (teori
penempatan reseptor) sebelum adanya bukti blokade neuromuskuler sebagai
penurunan dalam tinggi kejang.

Penempatan sebanyak 70% nAChRs oleh agen pemblokir neuromuskuler


tidak memberikan bukti blokade neuromuskuler, seperti dicerminkan pada respon
kejang terhadap stimulus listrik tunggal (Gb. 8-15) (Waud dan Waud, 1971).
Transmisi neuromuskuler, akan tetapi, gagal ketika 80% sampai 90% reseptor
diblokir. Ini menegaskan tepi keamanan yang lebar pada transmisi
neuromuskuler dan merupakan dasar untuk teknik pengawasan klinik pada
blokade neuromuskuler.
Karakteristik Blokade Neuromuskuler Nondepolarisasi
Karakteristik respon otot skeletal terhadap adanya blokade neuromuskuler
nondepolarisasi, seperti yang dibangkitkan dengan stimulasi elektrik dari
stimulator saraf perifer, meliputi (a) penurunan respon kejang terhadap stimulus
tunggal, (b) respon tidak terus-menerus (menghilang) selama stimulasi kontinyu,
(c) rasio TOF < 0.7, (d) potensiasi posttetanik, (e) potensiasi agen pemblokir
neuromuskuler nondepolarisasi lainnya, dan (f) antagonisme oleh obat
antikolinesterase (lihat Gb, 8-2) (Hunter, 1995). Selain itu, fasikulasi otot skeletal
tidak menyertai onset blokade neuromuskuler nondepolarisasi -
Kontraksi otot skeletal merupakan fenomena seluruh-atau-tidak sama
sekali. Setiap serat otot skeletal berkontraksi maksimal atau tidak kontraksi sama
sekali. Oleh karena itu, ketika respon kejang menurun beberapa serat
berkontraksi normal, sedangkan yang lainnya diblokir total. Menghilangnya
kontraksi otot skeletal dalam respon terhadap stimulasi listrik kontinyu
menunjukan bahwa beberapa serat lebih rentan terhadap pemblokiran oleh agen
pemblokir neuromuskuler dan butuh pelepasan asetilkolin terus-menerus yang
lebih kuat untuk memicu responnya.
Efek KardiovaskuIer
Agen pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi dapat mempengaruhi
efek kardiovaskuler melalui pelepasan obat yang disebabkan histamin atau
substansi vasoaktif lainnya (prostasiklin dilepaskan dari sel mast), efek pada
reseptor muskarinik jantung, atau efek pada nAChRs di ganglia otonom (Tabel 8-
6). Adanya pertimbangan perbedaan spesies yang berhubungan dengan
mekanisme yang bertanggung jawab atas efek sirkulasi agen pemblokir
neuromuskuler. Tampaknya bahwa besarnya efek sirkulasi relatif bervariasi dari
satu pasien dengan pasien lainnya menurut faktor seperti aktifitas sistem saraf
otonom yang mendasari, medikasi preoperatif, obat yang diberikan untuk
pemefiharaan anestesi, dan terapi obat bersamaan. Meskipun sering
menunjukan efek kardiovaskuler pada agen pemblokir neuromuskuler
nondepolarisasi, jarang sekali perubahan ini mencapai makna klinis.
Perbedaan antara dosis agen pemblokir neuromuskuler yang
menyebabkan blokade nueromuskuler dan efek sirkulasi disebut dengan tepi
keamanan otonom (Hughes dan Chappie, 1976). Dosis pancuronium EDg5 yang
menyebabkan blokade neuromuskuler tampaknya juga menyebabkan perubahan
sirkulasi (denyut jantung), dan tepi keamanan otonomnya sempit. Sebaliknya,
vecuronium, rocuronium, dan cisatracurium memiliki tepi keamanan otonom yang
lebar karena dosis ED95 yang penting untuk menyebabkan blokade
neuromuskuler lebih sedikit daripada dosis untuk membangkitkan perubahan
sirkulasi. ......
Miopati Penyakit Kritis
Sejumlah kecil pasien dengan asma, atau cedera akut, pasien dengan
kegagalan sistem organ yang multipel dan yang membutuhkan paralisa otot
skeletal yang disebabkan obat untuk memudahkan ventilasi paru-paru mekanikal
untuk memperpanjang periode (biasanya > 6 hari), manifesnya kelemahan otot
skeletal pada pemulihan (Hunter, 1995). Pasien ini menunjukan quadriparesis
sedang atau berat dengan atau tanpa arefleksia, tetapi biasanya fungsi sensori
normalnya masih ada. Waktu terjadinya kelemahan tidak dapat diperkirakan, dan
pada beberapa pasien kelemahan dapat berlanjut dan menetap salama
beberapa minggu atau bulan meskipun pemberian agen pemblokir
neuromuskuler nondepolarisasi yang diskontinyu. Meskipun mekanisme miopati
ini tidak diketahui, dlduga menjadi lebih sering ketika agen pembiokir
neuromuskuler nondepolarisasi aminosteroid (denervasi farmakoiogis) seperti
pancuronium atau vecuronium digunakan untuk membantu ventilasi mekanis
(Hensen-Flaschen et al., 1993; Margolis et al., 1991). Meskipun adanya
anggapan ini, miopati yang mirip telah diamati pada pasien yang . diberikan
atrakurium (Meyer et al., 1994; Tousignant et al., 1995). Maka, nukleus steroidal
pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi aminosteroid tampaknya tidak penting
untuk perkembangan miopati ini. Meskipun demikian, pemberian glukokortikoid
sebelum terapi termasuk agen pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi dapat
meningkatkan resiko perkembangan miopati ini. Ketika pengamatan biokade
neuromuskuler dengan stimulator saraf perifer digabungkan dengan petunjuk
klinis, termasuk sedasi dan analgesi adekuat, dosis agen pemblokir
neuromuskuler nondepolarisasi yang lebih kecil digunakan untuk membantu
ventilasi paru-paru mekanik, dan pemanjangan paralisa jarang terjadi (Kheunl-
Brady et al., 1994; Lee, 1995). Sebaliknya, kesimpulan lainriya yang mengawasi
TOF tidak mencegah perkembangan miopati atau polineuropati (Prielipp et al.,
1994).
Patofisiologj miopati ini tidak begitu dipahami. Penyebab yang diusulkan
termasuk pemanjangan blokade neuromuskuler yang disebabkan penurunan
klirens pada ginjal dan/atau disfungsi hepatik atau metabolit aktif agen pemblokir
neuromuskuler dan juga kelainan metabolik dan polifarmasi. Miopati steroid dan
polineuropati pada sepsis telah dilibatkan. Jumlah reseptor steroid pada otot
skeletal meningkat dengan denervasi, dan mungkin saja peningkatan kerentanan
terhadap efek miopatik terjadi pada pemberian steroid secara sistematik.
Alternatifhya, kelemahan otot skeletal bisa jadi bukan akibat dari polineuropati
tetapi disfungsi NMJ dengan adanya beberapa peran yang tidak diketahui dari
pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi.
Peoyebab Respon yang Berubah
Obat yang diberikan ketika periode perioperatif dapat meningkatkan efek
agen pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi pada NMJ. Contoh obat yang
dapat meningkatkan blokade neuromuskuler nondepolarisasi yaitu (a) anestesi
volatil, (b) antibiotik aminoglikosid, (c) anestesi lokal, (d) obat antidisritmik
jantung, (e) diuretik, dan (f) magnesium dan litium. Perubahan vane tidak
berhubungan dengan terapi obat bersamaan, pemblokir neuromuskuler
nondepolarisasi. Kombinasi agen pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi
dapat menyebabkan derajat blokade neuromuskuler yang berbeda dari derajat
yang akan dihasilkan oleh obat lainnya sendiri. Selain itu, jenis kelamin dapat
mempengaruhi durasi blokade neuromuskuler yang disebabkan oleh agen
pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi.
Anestesi Volatil
Anestesi volatil menyebabkan peningkatan tergantung dosis pada
besarnya dan durasi blokade neuromuskuler karena agen pemblokir
neuromuskuler nondepolarisasi (Fogdall dan Miller, 1975; Miller et al., 1971).
Peningkatan blokade neuromuskuler ini paling baik dengan enflurane, isoflurane,
desflurane, dan sevoflurane dan terakhir dengan kombinasi nitrooksida-opioid
(Caldwell et al., 1991). Sevoflurane memiliki efek penghambat yang baik pada
transmisi neuromuskuler dan ini, digabungkan dengan kelarutan gas darahnya
yang rendah, menyebabkan onset yang cepat (dalam 30 menit) pada potensiasi
yang disebabkan sevoflurane pada agen pemblokir neuromuskuler
nondepolarisasi (Suzuki et al., 2000), Potensi, kebutuhan infus dan pemulihan
yang karakteristik untuk rocuronium mirip dengan dalam kehadiran 1.25 MAC
isoflurane, desflurane, dan sevoflurane (Bock et al., 2000). Untuk alasan yang
tidak diketahui, besarnya penurunan kebutuhan dosis yang disebabkan oleh
anestesi volatil tampaknya kurang pada agen pemblokir neuromuskuler
nondepolarisasi aksi menengah daripada aksi lama (Gb. 8-16 dan 8-17) (Rupp et
al., 1984; Rupp et al., 1985). Selain itu, perubahan pada konsentrasi alveoler
anestesi volatil memiliki pengaruh yang lebih sedikit pada blokade neuromuskuler
yang disebabkan oleh agen pemblokir neuromuskuler aksi sedang dibandingkan
dengan aksi lama. Keuntungan tambahan yang berkurang pada agen
penghambat neuromuskuler aksi sedang dengan anestesi volatil adalah derajat
blokade neuromuskuler yang lebih dapat diramalkan, tanpa pengetahuan yang
tepat tentang tekanan parsial (otak) alveoler pada anestetik. Sebaliknya,
kekurangannya adalah blokade neuromuskuler yang ada tidak mudah
ditingkatkan dengan meningkatkan konsentrasi anestesi volatil yang dikirimkan.
GAMBAR
Gambar 8-16. Blokade neuromuskuler yang disebabkan atracurium ditingkatkan
dengan anestetik volatil.
(Dari Rupp SM, McChristian J W, Miller RD. Efek neuromuskuler atracurium
selama anestesi halotan-nitro oksida dan enfluran-nitro oksida pada manusia.
Anestesiologi I985;63:16-I9; dengan izin.)
GAMBAR
Gambar 8-17. Blokade neuromuskuler yang disebabkan vecuronium ditingkatkan
oleh anestetik volatil.
(Dari Rupp SM, Miller RD, Gencarelli P. Blokade neuromuskuler yang disebabkan
vecuronium selama anestesi enfluran, isofluran, dan halotan pada manusia.
Anestesiologi 1984;60: 102-105; dengan izin.)

Anestesi volatil kemungkinan besar meningkatkan efek agen pemblokir


neuromuskuler nondepolarisasi dengan berdasar atas depresi CNS yang
disebabkan anestesi, yang menurunkan tonus otot skeletal (Waud dan Waud,
1975). Selain itu, anestesi volatil dapat menurunkan sensitifitas membran
postjunctional terhadap depolarisasi (Waud dan Waud, 1979). Peningkatan aliran
darah otot skeletal sebagai cara untuk mengirimkan lebih banyak obat ke NMJ
kemungkinan penting hanya untuk meningkatkan blokade neuromuskuler yang
terlihat pada adanya isoflurane (Vitez el al., 1975). Anestesi inhalasi tidak
meningkatkan blokade neuromuskuler dengan menurunkan pelepasan asetilkolin
dari ujung saraf motoris atau dengan mengubah konfigurasi reseptor
kolinesterase (Waud dan Waud, 1973). Konsentrasi plasma agen pemblokir
neuromuskuler nondepolarisasi yang penting untuk menekan respon single-
twitch adalah sedikit pada adanya anestesi volatil daripada adanya kombinasi
nitro oksida-opioid, menegaskan bahwa potensiasi blokade neuromuskuler oleh
anestesi volatil menunjukan perubahan dalam farmakodinamik daripada
perubahan pada farmakokinetik.
Antibiotik
Beberapa tipe antibiotik menunjukan dapat meningkatkan blokade
neuromuskuler yang disebabkan oleh agen pemblokir neuromuskuler
nondepolarisasi. Menonjol di antara antibiotik yang menyebabkan peningkatan ini
adalah antibiotik aminoglikosid (Chapple et al., 1983; Dotan et al., 2003).
Antagonisme antibiotik yang poten terhadap blokade neuromuskuler dengan obat
antikolinesterase atau kalsium tidak dapat diprediksi. Antibiotik yang tidak
memiliki efek pemblokir neuromuskuler adalah penisilin dan sefalosporin.
Antibiotik dapat menimbulkan efek pada membran postjunctional mirip dengan
yang ditimbulkan oleh magnesium, menyebabkan penurunan pelepasan
asetilkolin (Sokoll dan Gergis, 1981). Demikian juga, antibiotik yang sama dapat
menstabilkan membran postjunctional; maka, mengemukakan mekanisme umum
untuk peningkatan yang disebabkan antibiotik pada blokade neuromuskuler
adalah tidak mungkin.
Penghambatan pelepasan asetilkolin presinaptik oleh antibiotik dapat
menunjukan kompetisi pada obat ini dengan kalsium. Jelas, injeksi IV kalsium
dapat paling tidak secara transien mengantagonis peningkatan blokade
neuromuskuler yang berkaitan dengan pemberian antibiotik. Meskipun demikian,
selain untuk memudahkan pelepasan asetilkolin prejunctional, kalsium pada saat
yang bersamaan menstabilkan membran postjunctional untuk efek pada
asetilkolin. Efek kalsium yang berbeda ini pada NMJ konsisten dengan efek
kalsium yang tak dapat diramalkan dalam mengantagonis peningkatan yang
disebabkan antibiotik pada blokade neuromuskuler oleh agen pemblokir
neuromuskuler nondepolarisasi.
Anestesi Lokal
Anestesi lokal dosis kecil dapat meningkatkan blokade neuromuskuler
yang disebabkan oleh agen pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi,
sedangkan anestesi lokal dosis besar dapat memblokir transmisi neuromuskuler.
Tergantung pada dosis, anestesi lokal mengganggu pelepasan asetilkolin
postjunctional, menstabilkan membran postjunctional, dan secara langsung
menekan serat otot skeletal. Selain itu, anestesi lokal ester berkompetisi dengan
obat lainnya untuk kolinesterase plasma, maka mengajukan kemungkinan efek
obat yang diperpanjang disebabkan oleh SCh.
Obat Antidisritmia Jantung
Lidokain yang diberikan IV untuk mengobati disritmia jantung dapat
meningkatkan blokade neuromuskuler yang ada sebelumnya (Harrah et al.,
1970). Interaksi obat potensial ini dipertimbangkan ketika lidokain diberikan IV
pada pasien yang pulih dari anestesi umum yang meliputi penggunaan agen
pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi.
Quinidin berpotensi terhadap blokade neuromuskuler yang disebabkan
oleh agen pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi dan depolarisasi, rupanya
mengganggu pelepasan asetilkolin ppstjunctional (Miller et al., 1967). Seperti
lidokain, interkasi obat ini dapat bermanifes ketika quinidin diberikan untuk
mengobati disritmia jantung pada pasien yang sebelumnya telah menerima agen
pemblokir neuromuskuler selama anestesi umum.
Diuretik
Furosemid, 1 mg/kg IV, meningkatkan blokade neuromuskuler yang
disebabkan oleh agen pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi (Miller et al.,
1976). Efek ini paling mungkin menunjukan inhibisi pembentukan cAMP yang
disebabkan oleh furosemid, menyebabkan penurunan pengeluaran asetilkolin
postjunctional. Sebaliknya, furosemid dosis besar dapat menghambat
fosfodiesterase, menyebabkan ketersediaan cAMP yang berlebih dan
menyebabkan antagonisme agen pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi
(Azar et al., 1980). Azathioprine juga mengantagonis blokade neuromuskuler
nondepolarisasi, rupanya dengan menghambat fosfodiesterase (Dretchen et al.,
1976). Obat yang sama meningkatkan blokade neuromuskuler yang disebabkan
oleh SCh.
Manitol tidak mempengaruhi derajat blokade neuromuskuler yang
disebabkan oleh agen pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi, bahkan dengan
adanya diuresis. (Matteo et at., 1980). Ini menegaskan bahwa klirens agen
pemblokir neuromuskuler pada ginjal tergantung pada filtrast glomenilus. Diuretik
osmotik meningkatkan keluaran urin tanpa tergantung pada rata-rata filtrasi
glomerular. Hipokalemi kronik karena pengobatan dengan diurelik menurunkan
kebutuhan dosis untuk pancuronium dan meningkatkan dosis neostigmin yang
penting untuk mengantagonis blokade neuromuskuler (Miller dan Roderick,
I978a).
Magnesium
Magnesium meningkatkan blokade neuromuskuler yang disebabkan oleh
agen pemblokir neuromuskufer nondepolarisasi dan, untuk mengurangi luasnya,
meningkatkan blokade neuromuskuler yang disebabkan oleh SCh (Ghoneim dan
Long, 1970). Telah ditunjukan bahwa interaksi antara magnesium dan
vecuronium lebih nyata daripada yang diteliti dengan agen pemblokir
neuromuskuler nondepolarisasi lainnya (Sinatra et al., 1985). Mekanisme
spekulasi untuk interaksi ini termasuk penurunan pelepasan asetilkolin
postjunctional dan penurunan sensitifitas (stabilisasi membran postjunctional)
terhadap asetilkolin. Efek magnesium konsisten dengan peningkatan blokade
neuromuskuler yang disebabkan oleh agen pemblokir neuromuskuler
nondepolarisasi begitu diberikan kepada pasien dengan hipertensi karena
kehamilan (toksemi pada kehamilan) yang diberikan magnesium. Mekanisme
efek magnesium ini meningkatkan blokade neuromuskuler yang disebabkan oleh
SCh tidaklah nyata. Adalah mungkin bahwa blokade fase II terjadi lebih siap
ketika SCh diberikan ketika adanya peningkatan konsentrasi magnesium plasma.
Lithium
Lithium, seperti yang dipakai untuk mengobati depresi psikiatri, dapat
meningkatkan efek pemblokiran neuromuskuler pada agen pemblokir
neuromuskuler nondepolarisasi dan depolarisasi (Havdala et al., 1979).
Antikonvulsan
Pasien yang diobati secara kronis dengan antikonvulsan {fenitoin,
karbamazepin) relatif resisten terhadap beberapa (pancuronium, vecuronium,
rocuronium, cisatracurium, pipecuronium, doxacurium) tetapi tidak semua
(mivacurium, atracurium) agen pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi
(Richard et al., 2005; Spacek et al., 1999a). Pasien ini pulih lebih cepat dari
blokade neuromuskuler, yang dapat menempatkan mereka pada resiko apabila
pergerakan terjadi ketika prosedur bedah saraf yang sulit. Resistensi tampaknya
berhubungan dengan mekanisme farmakodinamik, karena konsentrasi obat di
plasma yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat blokade neuromuskuler yang
dituju meningkat bila dibandingkan dengan tingkat plasma yang dibutuhkan untuk
menghasilkan respon yang sama pada pasien tanpa pengobatan. Meskipun
demikian, fenitoin dan karbamazepin menyebabkan resistensi terhadap efek
pemblokiran neuromuskuler vecuronium pada anak-anak menunjukan
farmakokinetik (meningkatkan klirens hepatik dan menurunkan waktu paruh
eliminasi mungkin mencerminkan induksi enzim hepatik dan/atau meningkatkan
pengikatan protain) daripada perubahan farmakodinamik (konsentrasi plasma
pada derajat pemulihan berbeda tidak berubah dari kontrol) (Soriano et al.,
2001). Berkebalikan dengan pengobatan kronis, pemberian fenitoin akut
dihubungkan dengan peningkatan blokade neuromuskuler yang disebabkan oleh
rocuronium (Spacek et al., 1 999b).
Siklosporin
Siklosporin dapat memperpanjang durasi blokade neuromuskuler yang
disebabkan oleh agen pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi (Wood, 1989).
Kortikosteroid (lihat bagian, Miopati Penyakit Kritis)
Kortisol atau hormon adrenokortikotropik dapat memperbaiki fungsi
neuromuskuler pada pasien dengan miastenia gravis. Sebaliknya, pemberian
kortikosteroid IV tidak merubah karakteristik blokade neuromuskuler yang
disebabkan oleh agen pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi (Schwartz et al.,
1986). Peningkatan blokade neuromuskuler terjadi ketika kortikosteroid yang
dikombinasikan dengan vecuronium dapat menunjukan denervasi farmakologis
nAChRs dan ikut andil dalam pemanjangan kelemahan yang diamati pada
beberapa pasien yang sakit kritis (Kindler et al., 2000).
Kombinasi kortikosteroid dan agen pemblokir neuromuskuler telah dipakai
untuk pasien asma yang sakit kritis dalam usaha untuk memudahkan ventilasi
paru-paru mekanik dan meminimalisir barotrauma. Pada pasien yang menjalani
pengobatan kombinasi regimen ini selama paling sedikit 96 jam, kelemahan otot
skeletal berat dapat muncul yang membutuhkan pemanjangan waktu pemulihan
(minggu sampai bulan) (polineuropali penyakit kritis).
Agen yang Beraksi pada Sistem Saraf Simpatetik
Pemberian ephedrine, 0.07 mg/kg IV, sebelum injeksi rocuronium
menurunkan waktu onset sekitar 22% menunjukan bahwa peningkatan keluaran
jantung dan aliran darah otot skeletal memberikan pengiriman rocuronium yang
lebih cepat ke neuromuskuler junction (Szmuk et al., 2000). Esmolol, 0.5 mg/kg
IV, diberikan segera sebelum induksi anestesi, memperlambat waktu onset
rocuronium sekitar 26%, menunjukan bahwa penurunan keluaran jantung dan
aliran darah otot skeletal memperlambat pengiriman rocuronium ke
neuromuskuler junction (Szmuk et al., 2000).
Hipotermia
Hipotermia ringan menggandakan durasi vecuronium yang menyebabkan
blokade neuromuskuler. Peningkatan durasi aksi karena penurunan klirens
vecuronium dan perlambatan kecepatan tempat keseimbangan efek (Caldwell et
al., 2003). Sensitifitas jaringan terhadap vecuronium tidak dipengaruhi oleh suhu
tubuh inti. Hipotermia memperlama durasi blokade neuromuskuler pancuronium,
rupanya menunjukan perlambatan aktifitas enzim hepatik yang disebabkan suhu
dan klirens obat pada bilier dan ginjal (Buzello et al., 1985a; Hame et al., 1978).
Hipotermia juga tampaknya meningkatkan sensitifitas NMJ terhadap
pancuronium. Hipotermia memperpanjang durasi aksi atracurium dan
menurunkan kecepatan infus kontinyu yang diperlukan untuk menjaga derajat
konstan blokade neuromuskuler (Flynn et al. 1983). Rupanya, ini meningkatkan
efek pemblokiran neuromuskuler atracurium dengan eliminasi Hofmann dan
menurunkan metabolisme karena hidrolisa ester.
Konsentrasi Potasium Serum
Penurunan akut pada konsentrasi potasium ekstraseluler meningkatkan
potensial transmembran, menyebabkan hiperpolarisasi membran sel. Perubahan
ini bermanifes sebagai resistensi terhadap efek agen pemblokir neuromuskuler
depolarisasi dan meningkatkan sensitifitas terhadap agen pemblokir
neuromuskuler nondepolarisasi. Sebaliknya, hiperkalemi menurunkan potensial
transmembran istirahat dan oleh karena itu mendepolarisasi membran sel
sebagian. Perubahan ini meningkatkan efek agen pemblokir neuromuskuler
depolarisasi dan melawan aksi agen pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi.
Cedera Suhu (Terbakar)
Cedera suhu (terbakar) menyebabkan resistensi terhadap efek agen
pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi yang bermanifes kira-kira 10 hari
setelah cedera, puncaknya kira-kira 40 hari, dan menurun setelah kira-kira 60
hari (Gb. 8-18) (Dwersteg et al., 1986; Martyn et al., 1982; Martyn et al., 1983).
Meskipun rangkaian tipikal ini, paling tidak satu laporan menjabarkan resistensi
berlangsung selama 463 hari (Martyn et al., 1982). Kira-kira 30% atau lebih dari
tubuh harus terbakar untuk menyebabkan resistensi. Waktu onset menuju kondisi
intubasi adekuat untuk recuronium diperpanjang pada pasien luka bakar
dibandingkan dengan pasien tanpa luka bakar dan ini dapat dioffset dengan
meningkatkan dosis sampai 1.2 mg/kg IV (Han et al., 2004). Penjelasan
farmakodinamik seperti mekanisme prtnsip untuk resistensi ini dibenarkan
dengan kebutuhan mencapai konsentrasi plasma yang lebih tinggi untuk
menyebabkan derajat supresi kejang yang sesuai pada pasien luka bakar
terhadap pasien tanpa luka bakar (Marathe et al., 1989a; Martyn et al., 1982).
Berkebalikan dengan cedera denervasi dan terkait peningkatan pada reseptor
kolinergik ekstrajunctional yang respon terhadap asetilkolin, resistensi terhadap
efek agen pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi pada pasien dengan cedera
suhu tidak berhubungan dengan perubahan dalam densitas reseptor ini (Marathe
et al., 1989b). Afinitas yang berubah pada nAChRs untuk agen pemblokir
neuromuskuler nondepolarisasi dapat menjadi dasar pada resistensi terhadap
obat ini yang disebabkan oleh cedera suhu.
GAMBAR
Gambar 8-18. Kurva respon dosis pancuronium bergeser ke kanan pada pasien
cedera suhu (luka bakar), menunjukan resistensi tcrhadap efek pemblokiran
neuromuskuler obat (Martyn, Safelbein SK, et al. Efek neuromuskuler
pancuronium pada anak-anak luka bakar. Anesthesiologi !983;59:561-564;
dengan izin.)
Paresis atau Hemiplegia
Mengawasi blokade neuromuskuler dengan stimulator saraf perifer yang
ditempelkan di lengan pada bagian yang terpengaruh karena kecelakaan
vaskuler otak menunjukan resistensi (penurunan sensitifitas) terhadap efek agen
pemblokir neuromuskuler dibandingkan dengan respon yang diamati pada sisi
yang tidak terpengaruh (Iwasaki et al., 1985; Moorthy dan Hilgenberg, 1980).
Selain itu, lengan yang tidak terpengaruh menunjukan resistensi terhadap agen
pemblokir neuromuskuler dibandingkan dengan respon yang diamati pada
pasien normal (Shayevitz dan Matteo, 1985). Hasilnya, mengawasi blokade
neuromuskuler dengan stimulator saraf perifer setelah kecelakaan vaskuler otak
dapat meremehkan derajat blokade neuromuskuler yang ada pada otot ventilasi.
Resistensi terhadap agen pemblokir neuromuskuler setelah kecelakaan vaskuler
otak dapat mencerminkan proliferasi nAChRs ekstrajunctional yang respon
terhadap asetilkolin.
Reaksi Alergi
Reaksi anafilaktik dan anafilaktoid kadang kala terjadi setelah pemberian
IV agen pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi dan SCh. Mungkin terdapat
sensitifitas silang antara seluruh agen pemblokir neuromuskuler, menunjukan
adanya komponen antigenik yang umum, kelompok amonium quaternary (Didier
et al., 1987). Obat dengan kelompok amonium quatenary tunggal (pancuronium,
vecuronium, rocuronium) tampaknya kurang mampu menyebabkan reaksi alergi
daripada SCh (Rose dan Fisher, 2001). Reaksi anafilaksis yang berat telah
dilaporkan setelah pemberian cisatracurium kepada anak, meskipun persepsi
bahwa obat ini tidak mungkin berkaitan dengan reaksi alergi (Legros et al.,
2001). Meskipun demikian, reaksi alergi telah diamati setelah pemberian agen
pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi monoquaternary dan juga
bisquaternary, Reaksi anafllaktik setelah paparan pertama terhadap agen
pemblokir neuromuskuler dapat mencerminkan sensitisasi dari kontak
sebelumnya dengan kosmetik atau sabun yang juga mengandung kelompok
amonium quaternary antigenik. Jelas, wanita memiliki insidensi reaksi alergi yang
lebih tinggi terhadap agen pemblokir neuromuskuler daripada pria (2.5:1).
Suksinilkolin Diikuti dengan Agen Pemblokir Neuromuskuler
Nondepolarisasi Pemberian SCh sebelumnya, 1 mg/kg IV, untuk memudahkan
intubasi trakea, meningkatkan besarnya supresi respon kejang yang disebabkan
oleh pemberian berkelanjutan agen pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi,
bahkan ketika bukti blokade neuromuskuler yang disebabkan SCh berkurang
(Ono et al., 1989; Stirt et al., 1983). Ini tidak terduga, karena urutan SCh diikuti
agen pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi seharusnya antagonistik.
Rupanya, membran postjunctional tetap didensitisasi oleh SCh, menyebabkan
pemanjangan efek yang disebabkan oleh agen pemblokir neuromuskuler
nondepolarisasi. Meskipun terjadi peningkatan awal, durasi aksi berkelanjutan
blokade neuromuskuler yang disebabkan oleh atracurium atau vecuronium tidak
diperpanjang oleh pemberian SCh sebelumnya. SCh dosis yang lebih rendah
sebelumnya, 0.5 mg/kg IV, tidak meningkatkan efek pemblokiran neuromuskuler
vecuronium (Fisher dan Miller, 1983a).
Jenis Kelamin
Sensitifitas pasien terhadap pancuronium, vecuronium, dan rocuronium
jelas berbeda antara pria dan wanita (Semple et al., 1994; Houghton et al., 1992;
Xue et al., 1998). Wanita lebih sensitif terhadap vecuronium daripada pria,
seperti yang ditunjukan dengan 22% penurunan pada dosis vecuronium yang
diperlukan untuk mencapai derajat yang sama pada blokade neuromuskuler.
Dibandingkan dengan wanita, pria memiliki konsentrasi vecuronium plasma yang
lebih rendah setelah pemberian obat intravena dan volume distribusi yang lebih
besar (Xue et al., 1998). Durasi blokade neuromuskuler yang disebabkan
vecuronium lebih lama pada wanita daripada pria. Wanita 30% lebih sensitif
terhadap rocuronium daripada pria (Gb. 8-19) (Xue et al., 1997). Ini menunjukan
bahwa dosis rocuronium rutin seharusnya menurun pada wanita daripada pria.
Alasan untuk perbedaan dalam sensitifitas terhadap relaksan otot
nondepolarisasi di antara jenis kelamin belum jelas tetapi dapat berkaitan dengan
perbedaan dalam komposisi tubuh, volume distribusi, dan konsentrasi protein
plasma. Alasan yang paling mungkin tampaknya presentase massa otot skeletal
yang lebih besar pada pria, maka diperlukan peningkatan dosis agen pemblokir
neuromuskuler untuk menyebabkan respon yang mirip pada wanita.
GAMBAR
Gambar 8-19. Kurva respon dosis pada pasien laki-laki (lingkaran penuh) dan
wanita (lingkaran kosong).
(Dari Xue FS. Tong SY, Liao X, et al. Respon dosis dan waktu terjadi efek
rocuronium pada pasien pria dan wanita yang dianestesi. Anesth Analg
1997;85:667-671; dengan izin.)

AGEN PEMBLOKIR NEUROMUSKULER NONDEPOLARISASI AKSI LAMA


Pancuronium merupakan agen pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi
aksi lama yang paling umum diberikan. Doxacurium dan plpecuronium
menyerupai pancuronium tetapi, tidak seperti pancuronium, obat ini tidak berefek
samping pada kardiovaskuler. Biaya pancuronium yang rendah dikenal sebagai
keuntungan dari obat ini dibandingkan dengan agen pemblokir neuromuskuler
nondepolarisasi yang lebih baru dan lebih mahal (Rachel et al., 1993).
Benzilisoquinolinium dikombinasikan dengan dTc dan metoucurine
(dimetiltubocurarine) dan amino quaternary dikombinasi gallamine adalah contoh
agen pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi aksi lama yang telah digantikan
di praktek klinik dengan obat yang memiliki mekanisme klirens yang dapat
diprediksi dan lebih efisien.
Pancuronium
Pancuronium adalah agen pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi
aminosteroid bisquatemary dengan ED95 70 μ g/kg yang memiliki onset aksi
dalam 3 sampai 5 menit dan durasi blokade neuromuskuler berlangsung selama
60 sampai 90 menit (lihat Gb. 8-l dan Tabel 8-3) (Hunter, 1995). Asidosis
respiratori meningkatkan blokade neuromuskuler yang disebabkan pancuronium
dan melawan antagonisrnenya dengan neostigmine (Miller dan Roderick, 1978b).
Perubahan yang disebabkan oleh asidosis metabolik respiratori dan alkalosis
metabolik adalah tidak pasti.
Klirens
Kira-kira 80% dosis tunggal pancuronium dieliminasi tanpa perubahan
dalam urin. Pada keadaan gagal ginjal, klirens pancuronium plasma menurun
33% sampai 50% (Pollard, 1992). Kira-kira 10% sampai 40% dosis pancuronium
mengalami deasetilasi hepatik menjadi 3-desasetilpancuronium, 17-
desasetilpancuronium, dan 3,17-desasetilpancuronium (Agoston et al., 1973;
Hunter, 1995). Metabolit 3-desasetilpancuronium kira-kira 50% sepoten
pancuronium di NMJ, sedangkan metabolit lainnya hanya memiliki aktifltas
minimal (Miller et al., 1978a).
Pasien dengan obstruksi bilier total dan sirosis hepatis meningkatkan
volume distribusi, menurunkan klirens plasma, dan memperlama waktu paruh
eliminasi pancuronium (Tabel 8-7) (Duvaldestin et al., 1978). Volume distribusi
yang besar berarti dosis inisial besar pada pancuronium yang diperlukan untuk
menghasilkan konsentrasi plasma yang sama, tetapi blokade neuromuskuler
yang dihasilkan dapat memanjang karena penurunan klirens.
Penuaan berkaitan dengan penurunan klirens pancuronium dari plasma
(Gb. 8-20) (Duvaldestin et al., 1982; Matteo et al., 1985). Pemanjangan waktu
paruh eliminasi yang dihasilkan mencerminkan penurunan fungsi ginjal pada
orang tua, bermanifes sebagai pemanjangan durasi blokade neuromuskuler.
Ketiadaan perubahan terkait usia pada respon NMJ (farmakodinamik) ditegaskan
dengan kurva respon dosis yang mirip pada orang tua dan dewasa muda (Gb. 8-
21) (Duvaldestin et al., 1982).
Efek Kardiovaskuler
Pancuronium secara tipikal menyebabkan peningkatan sedang denyut
jantung 10% sampai 15%, rata-rata tekanan arteri, dan keluaran jantung (Gb. 8-
22 dan 8-23) (Rathmell etal., 1993; Stoelting, 1972). Efek kardiovaskuler ini
berhubugan dengan blokade vagal jantung selektif (efek seperti atropine yang
terbatas pada reseptor muskarinik jantung) dan aktifasi sistem saraf simpatetik
(Domenech et al., 1976). Pelepasan norepinefrin dari ujung saraf adrenergik dan
blokade pengambilan norepinefrin kembali ke ujung saraf postganglionik
dianggap sebagai mekanisme aktifasi sistem saraf simpatetik oleh pancuronium
(Ivankovich et al., 1975; Vercruyse et al., 1979). Pancuronium dapat juga
mengganggu aktifitas reseptor muskarinik yang normalnya menghambat
pelepasan norepimefrin. Juga, pancuronium dapat menyebabkan blokade pada
reseptor muskarinik yang normalnya melepaskan dopamin, maka memudahkan
transmisi melalui ganglia otonom dengan menginaktifasi pengaruh inhibitor pada
siklus sel dopaminergik (Scott dan Savarese, 1985). Peningkatan konsentrasi
katekolamin plasma sirkulasi setelah pemberian IV pancuronium menyokong
aktifasi sistem saraf simpatetik yang disebabkan obat (Domenech et al., 1976).
GAMBAR
Gambar 8-20. Penuaan yang berhubungan dengan penurunan kecepatan
penurunan konsentrasi plasma
pada obal pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi aksi lama seperti
pancuronium. (Dari Duvaldestin P, Saada J, Berger JL, et al. Farmakokinetik,
farmakodinamik, dan hubungan respon dosis pancuronium pada kontrol dan
subyek usia lanjut. Anesthesiologi 1982;56:36-40; dengan izin.)
GAMBAR
Gambar 8-21. Ketiadaan perubahan terkait usia pada respon neuromuskuIer
junction terhadap obat pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi aksi lama
seperti pancuronium ditegaskan dengan kemiripan konsentrasi plasma yang
diperlukan untuk menyebabkan respon yang sebanding pada dewasa muda
(lingkaran penuh) dan individu usia lanjut (lingkaran kosong). (Dari Duvaldestin P,
Saada J, Berger JL, et al. Farmakokinetik, farmakodinamik, dan hubungan
respon dosis pancuronium pada kontrol dan subyek usia lanjut. Anesthesiologi
l982;56:36-40; dengan izin.)

Pancuronium secara prinsip meningkatkan denyut jantung dengan


memblokir reseptor muskarinik vagal di nodus sinoatrial, seperti yang dibuktikan
dengan kemampuan pemberian atropin sebelumnya untuk memblokir respon ini.
Efek simpatomimetik pancuronium tampaknya memainkan peran kecil dalam
respon denyut jantung. Jelas, respon denyut jantung yang dibangkitkan oleh
pancuronium masih terjadi pada pasien yang diberi antagonis adrenergik beta
(Morris et al., 1983). Besarnya peningkatan denyut jantung yang dibangkitkan
oleh pancuronium tampaknya lebih tergantung pada denyut jantung yang
sebelumnya ada (hubungan terbalik) daripada dosis atau kecepatan pemberian
pancuronium. Peningkatan denyut jantung yang tampak dalam respon terhadap
pancuronium tampaknya lebih mungkin terjadi pada pasien dengan konduksi
impuls jantung atrioventrikuler yang berubah, seperti yang terjadi pada keadaan
fibrilasi atrium.
Peningkatan sedang pada tekanan darah setelah pemberian pancuronium
mencerminkan efek denyut jantung terhadap keluaran jantung dalam ketiadaan
perubahan pada resistensi vaskuler sistemik. Efek inotropik posttif pancuronium
belum dapat ditunjukan (Scott dan Savarese, 1985).
Peningkatan insiden disritmia jantung telah diamati setelah pemberian
pancuronium, bukan SCh, pada pasien yang secara kronis diberi digitalis.
Disritmia jantung dapat mencerminkan perubahan mendadak pada
keseimbangan aktifitas sistem saraf otonom atas bantuan sistem saraf
simpatetik. Efek stimulasi jantung pancuronium dapat juga meningkatkan
insidensi iskemi miokardial pada pasien dengan penyakit arteri koroner
(Thomson dan Putnins, 1985). Pelepasan histamin dan blokade ganglion otonom
tidak disebabkan oleh pancuronium.
GAMBAR
Gambar 8-22. Denyut jantung terjaga (Dasar) diukur pada pasien terjaga dan
kemudian 5 menit setelah induksi anestetik (PRE) dengan fentanyl, 50 μ g/kg IV,
ditambah 2 x ED95 pancuronium (PAN),doxacurium (DOX), atau pipecuriurn
(PIP); segera setelah intubasi trakea (INT); dan 5 menit setelah intubasi trakea (5
Min). Tidak terdapat perbedaan antara kelompok perawatan pada waktu apapun.
(* P<05 dibandingkan dengan garis dasar.) (Dari Rathmel JP, Brooker RF,
Prielipp RC, et al. Perbandingan hemodinamik dan farmakodinamik doxacurium
dan pipecuronium selama induksi anestesi jantung: Apakah keuntungan
menentukan biaya? Anesth Analg 1993;76:513-519; dengan izin.)
GAMBAR
Gambar 8-23. Tekanan arteri rata-rata pada berbagai waktu setelah induksi
anestesi dan diberikan 2 x pancuronium, doxacurium, dan pipecuronium. (* P
<.05 dibandingkan dengan garis dasar.) (lihat legenda untuk Gb. 8-22 untuk
penjelasan label) (Dari Rathmel JP, Brooker RF, Prielipp RC, et al. Perbandingan
hemodinamik dan farmakodinamik doxacurium dan pipecurium dengan
pancuronium selama induksi anestesi jantung: Apakah keuntungan menentukan
biaya? Anesth Analg I993;76:615-619; dengan izin.)
GAMBAR
Gambar 8-24. Bersihan pipecuronium dari plasma diperLambat pada pasien
dengan gagal ginjal dibandingkan dengan pasien normal. (Dari Caldwell JE,
CanfeH PC, Castagnoli KP, et al. Pengaruh gagal ginjal pada farmakokinetik dan
durasi aksi pipecuronium bromida pada pasien yang dianastesi dengan halotan
dan nitro oksida, Anesthesiologi 1989;70:7-12; dengan izin.)
Doxacurium
Doxacurium agen pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi
benzilisoquinolinium dengan ED95 30 μ g/kg yang memiliki onset aksi dalam 4
sampai 6 menit dan durasi blokade neuromuskuler berlangsung sekitar 60
sampai 90 menit (lihat Gb. 8-1 dan Tabel 8-3) (Basta et al., 1988; Hunter, 1995).
Anestesi volatil menurunkan kebutuhan dosis doxacurium sekitar 20% sampai
40% dibandingkan dengan kebutuhan dosis selama anestesi nitro oksida-fentanil
{Katz et al., 1989). Farmakokinetik doxacurium menyerupai pancuronium pada
ketergantungannya terhadap klirens ginjal. Seperti pada pancuronium, durasi
aksi yang Iebih lama dapat diharapkan ketika doxacurium diberikan kepada
pasien usia lanjut, meskipun intensitas blokade neuromuskuler (farmakodinamik)
tidak berbeda antara pasien muda dan usia lanjut (Koscielniak-Nielsen et al.,
1992). Pelepasan histamin yang disebabkan obat tidak terjadi dan, akibatnya,
perubahan kardiovaskuler tidak menyertai pemberian dexacurium (lihat Gb. 8-22
dan 8-23) (Rathmell et al., 1993).
Pipecuronium
Pipecuronium adalah agen pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi
aminosteroid bisquaternary dengan ED95 50 sampai 60 ( μ g/kg yang memiliki
onset aksi selama 3 sampai 5 menit dan durasi blokade neuromuskuler
berlangsung selama 60 sampai 90 menit (lihat Gb. 8-1 dan label 8-3) (Hunter,
1995; Larijani et al., 1989; Wierda et al., 1989). Potensi pipecuronium meningkat,
dan durasi aksinya memendek, pada bayi bila dibandingkan dengan anak-anak
dan dewasa (Pittet et al., 1990). Farmakokinetik pipecuronium menyerupai
pancuronium dalam hal ketergantungannya pada klirens ginjal (Gb. 8-24)
(Caldwell et al., 1989; Wierda et al., 1990). Metabolik utama yang diekskresikan
lewat urin yaitu 3-desasetilpipecuronium. Sirosis hepatis tampaknya tidak
merubah farmakokmetik atau farmakodinamik pipecuronium (D'Honneur et al.,
1993). Respon NMJ terhadap pipecuronium (farmakodinamik) tidak berbeda
antara dewasa muda dan tua (Ornstein et al., 1992). Histamin yang disebabkan
obat tidak muncul, dan hasilnya, perubahan kardiovaskuler tidak menyertai
pemberian pipecuronium (lihat Gb. 8-22 dan 8-23) (Rathmell et al., 1993)
AGEN PEMBLOKIR NEUROMUSKULER NONDEPOLARISASI AKSI SEDANG
Atracurium, vecuronium, rocuronium, dan cisatracurium diklasifikasikan
sebagai agen pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi aksi sedang.
Berkebalikan dengan agen pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi aksi lama,
obat ini memiliki mekanisme klirens efisien yang meminimalisir kecenderungaii
efek kumulatif signiflkan oleh karena injeksi berulang atau infus kontinyu.
Misalnya, agen pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi aksi sedang
bermanfaat, meskipun lebih mahal alternatif dari SCh dan pancuronium, terutama
ketika intubasi trakea atau relaksasi otot skeletal diperlukan untuk operasi
singkat, seperti prosedur diluar pasien.
Dibandingkan dengan agen pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi
aksi lama, obat ini memiliki (a) kecepatan onset blokade neuromuskuler
maksimum yang mirip, dengan pengecualian rocuronium, yang mana unik karena
kecepatan onset yang paralel dengan SCh; (b) kira-kira sepertiga durasi aksinya
(oleh karena itu disebut aksi sedang) (c) 30% sampai 50% lebih cepat waktu
pemulihannya; (d) efek kumulatif yang minimal sampai tidak ada; dan (e) efek
kardiovaskuler yang minimal sampai tidak ada (Basta et al., 1982; Belmont et al.,
1995; Fahey et al., 1981; Hunter, 1995; Hunter, 1996; Konstadt et al., 1995; Lien
et al,, 1995; Levy et al., 1994). Durasi aksi sedang obat ini karena klirens yang
efisien dan cepat dari sirkulasi.
Onset aksi rocuronium lebih cepat daripada pemblokir neuromuskuler
nondepolarisasi aksi sedang lainnya. Obat ini dapat bertindak sebagai alternatif
SCh ketika onset cepat blokade neuromuskuler (dalam 60 detik) untuk
memudahkan intubasi trakea diinginkan. Kecepatan onset agen pemblokir
neuromuskuler nondepolarisasi aksi sedang lainnya dapat dipercepat dengan
pemberian awal obat dosis kecil subparalisa (kira-kira 10% dari ED 95 obat) diikuti
kira-kira 4 menit dengan dosis yang lebih besar (2 sampai 3 X ED 95) (Gergis et
al., 1983; Mehta et al., 1985; Schwarz et al., 1985; Taboada et al., 1986). Teknik
dosis terbagi ini dikenal sebagai priming principle dan berdasarkan pada konsep
bahwa onset blokade neuromuskuler terdiri dari dua langkah: (a) pengikatan
inisial reseptor luang selama tidak ada efek klinis yang diamati, dan (b)
pendalaman berkelanjutan pada blokade. Secara konseptual, dosis inisial
subparalisa diduga dapat menurunkan tepi keamanan transisi neuromuskuler,
menyebabkan onset efek yang lebih cepat setelah dosis kedua yang lebih besar.
Priming principle dapat bertindak sebagai alternatif yang bermanfaat ketika
pemberian SCh paling baik dihindari tetapi onset cepat blokade neuromuskuler
diperlukan. Meskipun demikian, kebutuhan priming principle dlpertanyakan ketika
dosis IV besar rocuronium tunggal menyebabkan onset cepat blokade
neuromuskuler tanpa resiko kelemahan yang disebabkan obat pada pasien yang
tersadar (Hunter, 1996).
Blokade neuromuskuler yang disebabkan oleh agen pemblokir
neuromuskuler nondepolarisasi aksi sedang secara reliabel diantagonis oleh obat
antikolinesterase, sering kali dalam 20 menit setelah pemberian dosis paralisa
obat ini (Gencarelli dan Miller, 1982). Antagonisme farmakologis blokade
neuromuskuler lebih ditingkatkan oleh pemulihan spontan bersamaan karena
klirens obat yang cepat. Jelas, insidensi blokade neuromuskuler residual terdapat
pada pasien yang pulih di unit perawatan postanestesi lebih sedikit pada pasien
yang menerima agen pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi aksi sedang
dibandingkan dengan aksi lama, meskipun penggunaan antagonisme
farmakologis (Bevan et al., 1988).
Atracurium
Atracurium adalah agen pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi
benzilisoquinolinium bisquaternary (gabungan sepuluh isomer geometrik) dengan
ED95 0.2 mg/kg yang memiliki onset aksi selama 3 sampai 5 menit dam durasi
blokade neuromuskuler berlangsung selama 20 sampai 35 menit (lihat Gb. 8-1
dan label 8-3) (Basta et al., 1982; Hunter, 1995). Tempat aksi atracurium, seperti
agen pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi lainnya, berada pada reseptor
kolinergik presinaptik dan postsinaptik (Hughes dan Paine, 1983). Atracurium
dapat juga menyebabkan blokade neuromuskuler dengan secara langsung
mengganggu lewatnya ion melalui kanal reseptor kolinergik nikotinik.
Diperkirakan 82% atracurium berikatan dengan protein plasma, seperti albumin
(Foldes dan Deery, 1983).
Atracurium dirancang spesifik untuk mengalami degradasi spontan in vivo
(Eliminasi Hofmann) pada suhu tubuh dan pH normal (Stenlake et al., 1983).
Garam besilat iodida memberikan kemampuan larut air, dan menyesuaikan pH
larutan menjadi 3.25 sampai 3.65 untuk meminimalisir kemungkinan degradasi
spontan in vitro. Dalam pH in vitro yang asam, atracurium sebaiknya tidak
dicampur dengan obat-obatan bersifat alkali seperti barbiturat atau terlarut pada
pH yang lebih basa bila atracurium diberikan melalui cairan infus intravena.
Terpaparnya atracurium dengan pH yang lebih basa sebelum memasuki sirkulasi
secara teori mengakibatkan penguraian dini obat ini. Atracurium yang disimpan
pada suhu kamar akan berkurang kira-kira 5% setiap 30 hari.
Klirens
Atracurium mengalami degradasi nonenzimatik spontan pada suhu tubuh
dan pH normal oleh reaksi terkatalisasi basa yang disebut eliminasi Hofmann
(Gb. 8-25) (Stiller et al., 1985). Jalur metabolisme yang terjadi kedua dan
berkelanjutan adalah hidrolisis oleh plasma esterase nonspesifik (lihat Gb. 8-25).
Laudanosin adalah metabolit utama pada kedua jalur. Metabolit ini tidak aktif
pada NMJ (berkebalikan dengan berbagai macam agen pemblokir
neuromuskular nondepofarisasi) tetapi mungkin, pada konsentrasi sangat tinggi,
mengakibatkan stimulasi SSP pada hewan (Shi et al., 1989; Stiller et al.,1985).
Acrylat elektrofilik juga dibentuk dari eliminasi Hofmann. Acrylat ini reaktif dan,
saat diteliti secara in vitro, dapat merusak sel dengan cara alkilasi nukleofil yang
terdapat pada membran sel (Nigrovic et al., 1989). Tidak ada gejala klinik yang
terlihat, jika ada, akibat akrilat ini; bagaimanapun juga, konsentrasi atrcurium
yang digunakan untuk penelitian invitro 1.600 kali yang dibutuhkan untuk
mengakibatkan blokade neuromuskular in vivo.
GAMBAR
Figure 8-25. Avacurium undergoes metabolism by biojegradation (ester
hydrolysis) and chemodegradation (Hofmann elimination). {From Stiller RD, Cook
DR. Chakravoriti, S. in vitro degradation of atracurium in human plasma, Br J
Anaesth 1985;57:1085-1088; with permission.)
Gambar 8-25. Atracurium mengalami metabolisme biodegradasi (hidrolisis ester)
dan kemodegradasi (eliminasi Hofmann) (Dari Stiller RD, Cook DR, Chakravoriti
S. Degradasi atracurium in vitro pada plasma manusia. Br JAnaesth
1985;57:1085-1088; dengan izin)
GAMBAR
Gambar 8-26. Konsentrasi laudanosin plasma pada enam pasien selama
pemberian infus atracurium. (Dari Yale PM, Flynn PJ, Arnold RW, et al.
Pengalaman klinis dan konsentrasi laudanosine plasma selama infus atracurium
di unit terapi intensif. Br JAnaesth 1987;59:21 1-217; dengan izin.)
Eliminasi Hofmann memperlihatkan eliminasi secara kimia, sedangkan
hidrolisis ester sebagai mekanisme biologinya. Dua jalur metabolisme ini tidak
bergantung pada fungsi hati, ginjal dan juga aktifitas kolinesterase plasma
(Merret et al., 1983). Sehingga blokade neuromuskular yang diinduksi atracurium
pada pasien normal, efeknya sama dengan pasien dengan gangguan fungsi
ginjal atau hepar atau pasien dengan kolinesterase atipik (Hunter et al., 1984;
Ward dan Neill, 1983). Tidak adanya blokade neuromuskular yang diperpanjang
setelah pemberian atracurium pada pasien dengan kolinesterase atipik
menekankan ketergantungan atracurium pada plasma esterase nonspesifik yang
tidak berhubungan dengan kolinesterase plasma (Baraka, 1987). Eliminasi
Hofmann dan hidrolisls ester juga bertanggung jawab pada berkurangnya efek
akumulasi atracurium dengan dosis berulang atau infus berkelanjutan dari
atracurium. Secara keseluruhan, hidrolisis ester mendegradasi kira-kira dua per
tiga dari total atracurium, sedangkan eliminasi Hofmann menyediakan "safety
net" khususnya untuk pasien dengan fungsi renal dan/atau hepar yang terganggu
(Stiller et al., 1985). . -
Laudanosin
Laudanosin adalah metabolit utama dari kedua jalur metabolisme
atracurium, eliminasi Hofmann menghasilkan dua molekul laudanosin dan ester
hidrolisis menghasilkan satu molekul laudanosin pada proses metabolisme satu
molekul atracurium (lihat Gb. 8-25) (Stiller et al, 1985). Konsentrasi puncak
laudanosin dalam plasma pada manusia terjadi 2 menit setelah injeksi cepat IV
atracurium dan tetap pada sekitar 75% konsentrasi puncak selama kurang lebih
15 menit (Fahey et al., 1985). Klirens laudanosin tergantung pada hepar dan
sekitar 70% diekskresikan ke empedu dan sisanya melalui urine (Ward dan
Weatherley, 1986). Sirosis hepatis pada manusia tidak mengganggu klirens
laudanosin. sedangkan ekskresi metabolit ini terganggu pada pasien dengan
obstruksi bilier (Parker dan Hunter, 1989). Di samping meningkatnya konsentrasi
laudanosin pada plasma selama transplantasi hati pada pasien yang
menggunakan atracurium, jumlahnya jauh di bawah batasan konsentrasi yang
menimbulkan gejala klinik saat fungsinya memuaskan (Chow et al, 2000;
Lawhead et al., 1993). Konsentrasi laudanosin pada plasma setelah pemberian
satu dosis atracurium sebesar 0.5 mg/kg IV lebih tinggi pada pasien dengan
gagal ginjal bila dibandingkan dengan pasien normal (Fahey etal., 1985).
Walaupun inaktif pada NMJ, penelitian terhadap hewan percobaan
memperlihatkan laudanosin sebagai stimulan SSP yang dapat meningkatkan
MAC anestesi volatil dam menebabkan vasodilatasi perifer (Fahey et al., 1985;
Lanier et al., 1985; Shi et al., 1985). Sebagai contoh, pada hewan yang
dianestesi dan menerima infus laudanosin, konsentrasi plasma laudanosin > 6
μ g/ml mengakibatkan hipotensi; konsentrasi laudanosin > 10 μ g/ml memicu
renjatan epileptik pada elektroencephalogram, dan konsentrasi plasma
laudanosin > 17 μ g/ml mengakibatkan kejang {Chappie et al., 1987). Dalam hal
ini terlihat bahwa pemberian atracurium pada pasien tidak akan mencapai
konsentrasi plasma laudanosin yang dapat mengakibatkan efek pada
kardiovaskular atau SSP. Bahkan pada pasien yang menerima dosis atracurium
yang menyebabkan lumpuh total (0.5 mg/kg IV) konsentrasi plasma laudanosin
yang dihasilkan hanya sekitar 0.3 μ g/ml, 20 kali lebih sedikit daripada
konsentrasi plasma yang menyebabkan efek kardiovaskular pada hewan
percobaan (Fahey et al., 1985). Pemberian anestetik tidak terpengaruh pada
pemberian atracurium sebesar 1 mg/kg IV (5 x ED 95), memperlihatkan bahwa
efek stimulan SSP dari laudanosin secara klinik tidak akan memunculkan gejala
klinik. Laudanosin sebagai hasil metabolisme atracurium tidak akan
mengakibatkan kejang pada pasien teranestesi karena paralisis otot skelet dari
atracurium akan mencegah pergerakan. Lebih lagi, anestesi inhalasi, (dengan
salah satu pengecualian enfluran) atau obat-obat injeksi seperti thiopental akan
cenderung menekan gejala yang mungkin ditimbulkan oleh laudanosin pada
SSP. Bila tidak ada depresi SSP oleh anestesi, seperti pada unit gawat darurat,
secara teori mungkin terdapat gejala stimulasi SSP akibat laudanosin. Meskipun
demikian, pasien dengan infus atracurium selama 6 hari, konsentrasi plasma
laudanosin tetap berada di bawah jumlah yang dapat menyebabkan efek pada
SSP dan kardiovaskular pada hewan (Gb. 8-26) (Chappie et al., 1987; Yale et al.,
1987). Lebih jauh lagi, pada hewan percobaan dengan epilepsi, laudanosin tidak
mengubah kemunculan aktifitas kejang (Tateishi etal.,1989).
Perubahan Asam-Basa
Di samping eliminasi Hofmann yang bergantung pH (dipercepat oleh
alkalosis dan diperlambat oleh asidosis), perubahan kisaran pH yang dapat
menimbulkan gejala klinik, dapat mengubah kecepatan eliminasi Hermann
sehingga durasi blokade neuromuskular yang diinduksi atracurium (Payne dan
Hughes, 1981). Namun, perubahan pH mempengaruhi hidrolisis ester secara
berkebalikan dengan pengaruhnya terhadap eliminasi Hofmann. Hal ini secara
teori menyebabkan perlambatan eliminasi Hofmann dapat dikompensasi oleh
peningkatan kecepatan hidrolisis ester.
Efek Kumulatif
Karakteristik dari obat ini adalah konsistensi interval onset pemulihan
setelah pembenan ulang dosis suplemental atracurium yang memperlihatkan
bahwa tidak ada efek kumulatif yang signifikan (Gb. 8-27) (AH et al., 1983).
Ketiadaan efek kumulatif dikarenakan klirens atracurium yang cepat dari plasma
tidak bergantung pada fiingsi renal dan ftingsi hepar. Efek kumulatif yang sedikit
meminimalisir kemungkinan blokade neuromuskular persisten saat prosedur
pembedahan yang lama membutuhkan atracurium dosis berulang atau infus
berkelanjutan yang lama.
Efek Kardiovaskuler
Tidak ada perubahan dari tekanan darah sistemik dan denyut jantung
pada pemberian cepat atracurium IV pada dosis sampai 2 x ED 95 bersamaan
dengan pemberian anestesi seperti nitrit oksida, fentanil dan isofluran {Gb. 8-28)
(Basta et al. 1 982; Hilgenberg et al., 1983; Rupp et al., I983a; Sokoll et al..
1983). Selama anestesi dengan fentanil dan nitrit oksida, pemberian cepat
atracurium IV 3 x ED95 meningkatkan denyut jantung 8.3% dan menurunkan
tekanan arterial rata-rata 21.5% (lihat Gb. 8-28) (Basta et al., 1982). Perubahan
sirkulasi ini hanya sementara, terjadi 60-90 delik setelah pemberian atracurium
dan menghilang setelah sekitar 5 menit. Flushing pada daerah muka dan badan
pada beberapa pasien memperlihatkan pelepasan histamin sebagai mekanisme
kompensasi atas perubahan-perubahan sirkulasi yang menyertai pemberian
cepat atracurium dosis tinggi. Jelas, pada pemberian cepat atracurium IV 0.6
mg/kg, terjadi peningkatan konsentrasi histamin pada plasma hanya sementara
dan juga perubahan denyut jantung dan tekanan darah sistemik. Sebaliknya,
pemberian selama 30 sampai 75 detik atau secara cepat dengan dosis yang
sama bila diberikan pada pasien yang sebelumnya diberikan antagonis reseptor
H1 dan H2 tidak memicu perubahan sirkulasi walaupun terdapat peningkatan
konsentrasi histamin pada plasma yang jumlahnya sama dengan pasien tanpa
pemberian antagonis reseptor H1 dan H2 (Scott et al., 1984). Diperkirakan terjadi
dua kali peningkatan konsentrasi histamin plasma sebelum perubahan-
perubahan kardiovaskular yang manifes secara klinik. Selain memicu pelepasan
histamin, pemberian atracurium tidak mengganggu ICP pasien dengan tumor
intrakranial (Rosa et al., 1986a; Rosa et al.,1986b).
GAMBAR
Gambar 8-27. Dosis atracurium yang berulang (BW 33A) tidak menghasilkan
efek kumulatif obat seperti yang dibuktikan dengan interval waktu yang tidak
berubah antara dosis-dosis yang diberikan untuk tingkatan pemulihan blokade
neuromuskular yang sama. (TOP, stimulasi train-of-four.) (Dari Ali HH, Savarese
JJ, Basta SJ, et al. Evaluasi sifat kumulatif tiga agen pemblokir neuromuskuler
nondepolarisasi baru: BW A444U, atracurium, dan vecuronium. Br J Anaesth
1983;55:1075-1115; dengan izin.)

Pada pasien yang diberikan perawatan reseptor antagonis H 2 yang lama,


pasien dapat mengalami perubahan kardiovaskular yang berlebihan sebagai
respon pemberian obat pelepas histamin (Hosking et al., 1988). Dalam hal ini,
diperkirakan bahwa antagonis reseptor H2 mempunayi efek parsial pada reseptor
H1 sehingga menghilangkan feedback negatif yang biasanya dilakukan oleh
reseptor H2 untuk mengatur pelepasan histamin. Percobaan pada hewan juga
memperlihatkan laudanosin mempunyai pengaruh pada penurunan sementara
tekanan darah yang berhubungan dengan pemberian cepat atracurium dosis
tinggi IV (Hennis et al., 1986).
GAMBAR
Gambar 8-28. Tidak terjadi perubahan kecepalan denyut jantung dan tekanan
darah sistemik setelah pemberian tepat IV atracurium (BW 33A) sampai dosis
sebesar 2 x ED95 (0.4 mg/kg IV). Dosis atracurium yang lebih tinggi dapat
mengakibatkan peningkatan denyut jantung dan penurunan tekanan darah
sistemik sementara. (Dari Basta SJ, Ali HH, Savarese JJ, et al. Farmakologi klinis
atracunum besilat (BW 33A): relaksan otot nondepolarisasi baru. Anesth Analg
1982;61:723-729; dengan izin.)
Pelepasan histamin yang dipicu oleh atracurium dan mivacurium tidak
terjadi pada injeksi berulang dengan interval pendek karena cadangan histamin
pada jaringan tidak terisi selama beberapa hari. Sehingga penurunan tekanan
darah akibat pelepasan histamin terinduksi obat jarang terjadi pada pemberian
berulang obat dengan dosis yang sama. Efek kardiovaskular yang dihubungkan
dengan pelepasan histamin terinduksi obat dapat memperlihatkan pelepasan
protasiklin dan efek vasodilatasi pada pembuluh darah perifer dimediasi oleh
reseptor H1 dan H2 (Gb. 8-29) (Hatano et al., 1990).
Pasien Pediatri
Dosis efektif atracurium pada orang dewasa dan anak-anak (2 sampai 16
tahun) sama, karena perbedaan volume cairan ekstraselular diminimalisir dengan
menggunakan penghitungan dosis berdasarkan mg/m2 bukan dengan mg/kg
(Bransom et al., 1984). Sebaliknya, bayi berumur 1 sampai 6 bulan
membutuhkan dosis satu setengah kali dosis anak-anak untuk membuat tingkat
blokade neuromuskular yang sama (Brandom et al., 1983). Demikian juga
kecepatan infus lebih lambat 25% untuk mempertahankan blokade
neuromuskular yang stabil pada 30 hari pertama kchidupan (0.4 mg/kg per jam)
dibandingkan dengan usia lebih dari 1 bulan (0.53 mg/kg per jam) (Kalli dan
Meretoja, 1988). Hal ini menunjukkan bahwa bayi lebih sensitif terhadap efek
blokade neuromuskular atracurium dibanding anak-anak dan dewasa. Pemulihan
dari efek blokade neuromuskular atracurium lebih cepat pada bayi (23 menit)
daripada remaja (29 menit) (Brandom etal., 1983).
GAMBAR
Gambar 8-29. Perubahan (%) pada konsentrasi 6-keto-RGF1 α pada plasma
(metabolisme protasiklin nonenzimatik) dan mean arterial pressure (MAP) 2
menit selelah pemberian d-Tubokucarin (d-Tc) sebagai kontrol, pada pasien yang
diberikan aspirin (AP), dan diphenhidramin (DH). Nilai sebelum pemberian d-Tc
dianggap 100%. Angka dalam kurung menunjukan jumlah pasien yang diteliti.
(*P<.01 dibandingkan dengan kontrol.) (Dari Halano Y, Arai T, Noda J, et al.
Kontribusi prostasiklin terhadap hipotensi yang disebabkan d-tubocurarine pada
manusia. Aneslhesiologi 1990;72:28-32; dengan izin.)
Pasien Orang Tua
Peningkatan umur tidak mempengaruhi keccpatan inflis atracurium untuk
mempertahankan blokade neuromuskular yang stabil (d'Hollander et al., 1983).
Demikian juga kecepatan pemulihan dan durasi blokade neuromuskular pada
orang tua sama dengan orang dewasa muda. Kurangnya pengaruh penuaan
pada dosis atracurium karena mekanisme klirens (eliminasi Hofmann dan
hidrolisis ester) yang tidak bergantung pada fungsi hati dan ginjal yang umumnya
dipengaruhi umur. Lebih lagi, perubahan distribusi volume atracurium yang terjadi
karena penuaan tidak akan mempengaruhi klirens atracurium dari plasma. Tidak
adanya pengruh penuaan terhadap kemampuan respon NMJ ditunjukkan dengan
konsentrasi atracurium yang dibutuhkan untuk menekan 50% respon single-
twitch sama pada orang dewasa dan orang tua (Kitts el al., 1990).
Vecuronium
Vecuronium adalah agen pemblokir neuromuskular aminosteroid
monoquaterner dengan ED95 50 μ g/kg yang mempunyai onset kerja 3 sampai 5
menit dan durasi blokade neuromuskular selama 20 sampai 35 menit (lihat Gb. 8-
1 dan Tabel 8-3) (Hunter, 1995; Faliey et al., 1981; Miller et al.,1984). Secara
struktural, vecuronium adalah pancuronium tanpa kelompok metil quaterner
dalam cincin-A inti steroid. Tidak adanya kelompok metil quaterner ini
mengurangi sifat seperti asetilkolin pada vecuronium bila dibandingkan dengan
pancuronium. Bahkan kemampuan vagolitik vecuronium berkurang kira-kira 20
kali. Struktur monoquaterner vecuronium meningkatkan kemampuan larut lemak
dibandingkan dengan pancuronium. Vecuronium tidak stabil pada bentuk larutan
dan karena alasan ini, tersedia dalam bentuk bubuk yang harus dilarutkan dalam
air steril sebelum digunakan.
Klirens
Vecuronium mengalami metabolisme hepatik dan juga ekskresi pada renal
(Pollard., 1992). Meningkatnya kelarutan lemak vecuronium dibandingkan
dengan pancuronium memudahkan vecuronium masuk ke hepatosit, dimana
vecuronium mengalami deasetilasi menjadi 3-deaseti I vecuronium, 17-
deasetilvecuronium dan 3,17-deaseti I vecuronium (Hunter, 1995; Savage et al.,
1980). Metabolit 3-deasetil vecuronium berkekuatan satu setengah kali bentuk
asal tetapi diubah cepat menjadi derivat 3,17-deasetiIvecuronium. Derivat 3,17-
deasetilvecuronium dan derivat 17-deasetilvecuronium mempunyai kemampuan
blokade neuromuskular satu sepersepuluh dari vecuronium.
Peningkatan kemampuan larut lemak juga memudahkan eksresi
vecuronium lewat empedu. Sebagai contoh, pada pasien, diperkirakan 50% dart
dosis IV vecuronium terdapat pada hepar 30 menit setelah pemberian injeksi IV,
dan sekitar 40% obat diekskresikan tanpa diubah melalui empedu pada 24 jam
pertama (Bencini et al., I986a) sekitar 30% dosis vecuronium yang diberikan
terdapat pada urin dengan bentuk obat dan metabolit tidak berubah pada 24 jam
pertama (Bencini et al., 1986b). Uptake vecuronium yang besar pada hati
mengakibatkan penurunan konsentrasi plasma vecuronium yang cepat dan
berpengaruh pada durasi kerja yang pendek. .
Injeksi epidural vecuronium yang tidak disengaja mengakibatkan durasi
blokade neuromuskular yang diperpanjang tetapi tidak memperlihatkan gejala
keracunan neurologis atau kardiovaskuler (Kostopanagiotou et al., 2000). Agen
pemblokir neuromuskular dapat menimbulkan bangkitan dan kejang bila
diinjeksikan pada SSP, namun pancuronium dan atracurium sekitar 12 dan 28
kali berturut-turut lebih kuat menimbulkan kejang daripada vecuronium.
Disfungsi Renal
Selain pendapat bahwa hepar adalah organ utama untuk proses eliminasi,
waktu paruh eliminasei vecuronium dan 3-deasetilvecuronium lebih panjang pada
pasien dengan gagal ginjal, memperlihatkan pengurangan klirens obat (Lynam et
al., 1988). Meningkatnya konsentrasi 3-deasetilvecuronium plasma dapat
berhubungan dengan paralisis otot skelet. persisten setelah pemberian infus
vecuronium yang diperpanjang (6 jam sampai 7 hari) pada pasien gagal ginjal
(Conway, 1992; Segredeo et al., 1992). Toleransi vecuronium terlihat pada
pasien dengan gagal ginjal diperlihatkan dengan konsentrai vecuronium plasma
lebih tinggi 25% dan pemulihan 75% dibandingkan dengan pasien dengan ginjal
fungsi normal (Bencini et al., I986b) toleransi ini tetap bertahan dengan onset
kerja vecuronium yang lebih lambat pada pasien dengan gagal ginjal. Hal yang
sama, tetapi kurang terdengar, toleransi juga dapat terjadi pada pemberian
atracurium pada pasien dengan gagal ginjal (Hunter etal., 1984).
Disfungsi Hepar
Sama dengan atracurium, paruh waktu eliminasi vecuronium 0.1 mg/kg IV
yang diberikan pada pasien dengan penyakit hepar alkoholik tidak bebeda
dengan pasien tanpa gangguan hepar (Arden et al., 1988). Sebaliknya,
vecuronium, 2 mg/kg IV, dihubungkan dengan waktu paruh eliminasi yang
memanjang dan terdapat perpanjangan lama kerja pada pasien dengan sirosis
hepatis (Gb. 8-30) (Lebraut et al., 1985). Kemungkinan mekanisme klirens yang
lain, seperti klirens ginjal atau difusi obat ke jaringan yang inaktif (seperti
kartilago, meniadakan efek dari gangguan fungsi hepar pada pemberian dosis
vecuronium yang lebih kecil. Pada pasien dengan kholestasis yang menjalani
pembedahan bilier, pemberian vecuronium 0.2 mg/kg IV, mengakibatkan
perpanjangan waktu paruh eliminasi dan peningkatan lama kerja (Lebraut et al.,
1986).
GAMBAR
Gambar 8-30. Eliminasi vecuronium (0.2 mg/kg TV) dari plasma melambat pada
pasien dengan sirosis hepatis (lingkaran kosong) dibandingkan dengan pasien
normal (lingkaran penuh). (Mean ± SD.) (Dari Lebrault C, Berger JL, d'Hollander
AA, et al. Farmakokinetik dan famiakodinamik vecuronium [ORO NC45] pada
pasien dengan sirosis. Anesthesiplogi 1985;62:601-605; dengan izin.)

Perubahan Asam Basa


Efek perubahan asam basa pada blokade neuromuskular yang diinduksi
vecuronium bergantung pada perubahan pH darah apakah terjadi sebelum atau
terjadi setelah pemberian vecuronium (Gencarelli et al., 1983). Sebagai contoh,
perubahan pada PaCO2 yang mendahului pemberian vecuronium tidak
mempangaruhi kekuatan blokade neuromuskular. Sebaliknya, hiperkarbi yang
terjadi setelah adanya blokade neuromuskular karena vecuronium secara
signifikan memperkuat efek vecuronium. Karenanya, onset hipoventilasi, yang
dapat terjadi pada awal periode postoperatif, dapat memperkuat blokade
neuromuskular.
Efek kumulatif
Vecuronium mempunyai distribusi volume yang luas, menggambarkan
uptake jaringannya. Setelah pemberian vecuronium dosis tunggal, konsentrasi
vecuronium plasma berkurang dengan cepat karena adanya redistribusi dari
kompartemen sentral ke kompartemen perifer. Dengan dosis yang berkelanjutan,
sejumlah vecuronium berada pada berbagai macam kompartemen jaringan
perifer yang selanjutnya akan membatasi kecepatan pengurangan konsentrasi
vecuronium plasma. Hasilnya, vecuronium dapat dikatakan mempunyai efek
kumulatif kurang dari pancuronium dan lebih dari atracurium (FaheyetaL, 1981).
Walaupun efek gagal ginjal sedikit, terdapat peningkatan perlahan-lahan pada
lama kerja pada pemberian berulang, dan efek kumulatif ini dikatakan sebagai
akibat dari saturasi gradual dari tempat penyimpanan perifer (Pollard et al.,
1992). Akumulasi dari 3-deasetilvecuronium, metabolit vecuronium, dapat
mempengaruhi efek perpanjangan dari obat ini, khususnya bila diberikan dosis
berulang pada pasien dengan disfungsi renal (Segredoetal., 1992).
Efek Kardiovaskular
Vecuronium tidak menimbulkan efek pada sirkulasi bahkan dengan
pemberian cepat IV dengan dosis melebihi 3 x. ED95 obat, menekankan
kurangnya efek vagolitik atau pelepasan histamin yang dihubungkan dengan
pemberian vecuronium (Morris et al.. 1983). Meskipun demikian, telah diteliti
bahwa terkadang terdapat peningkatan konsentrasi histamin plasma tanpa diikuti
perubahan tekanan darah setelah pemberian vecuronium (Cannon et al., 1988).
Efek vagotonik sedang diperlihatkan dengan meningkatnya insiden bradikardi
pada pasien yang menerima vecuronium tanpa didahului pemberian obat
antikolinergik seperti injeksi opioid poten seperti sufentanil (Cozanitis et al., 1987;
Inoue et al., 1988; Salmenpera et al., 1983; Stan et al., 1986). Faktanya,
ketiadaan efek vagolitik yang diinduksi agen pemblokir neuromuskular, seperti
yang diakibatkan pancuronium, dapat mengakibatkan terjadinya efek obat lain,
selama anestesi, langsung pada jantung (bradikardi karena opioid). Blokade
nodus sinus dan bahkan henti jantung telah dilaporkan sehubungan dengan
pemberian vecuronium (Milligan dan Beers,. 1985; Yeaton dan Teba, 1988).
Pasien Pediatri
Potensi vecuronium pada bay! (usia 7 sampai 45 minggu), anak-anak
(usia 1 sampai 8 tahun), dan dewasa (usia 18 sampai 38 tahun) sama besar
selama anestesi dengan nitrit oksida-halotan (tabel 8-8) (Fisher dan Miller,
1983b). Onset kerja lebih cepat pada bayi daripada dewasa, di mana lama kerja
terjadi pada bayi dan paling cepat pada anak-anak (lihat label 8-8) (Fisher dan
Miller, 1983b; Meretoja, 1989). Dikatakan, keluaran jantung yang tinggi pada bayi
mempercepat onset blokade neuromuskular karena vecuronium, sedangkan
durasi yang lebih lama memperlihatkan sistem enzim immatur pada hepar bayi
atau peningkatan distribusi volume. Peningkatan distribusi voluma berarti bahwa
lebih banyak obat yang terdapat pada kompartemen perifer dan hal ini tidak
dapat dijangkau oleh mekanisme klirens oleh ginjal atau hepar. Perubahan
klirens bilier rerkait umur juga berperan dalam durasi yang lebih lama pada
blokade neuromuskular karena vecuronium pada bayi.
Pasien Orang Tua
Peningkatan umur berhubungan dengan penurunan kecepatan infus
vecuronium yang dibutuhkan untuk mempertahankan blokade neuromuskular
yang konstan (d'Hollander et al., 1982). Dikatakan, hal ini menggambarkan
penurunan klirens vecuronium plasma karena penurunan aliran darah ke hepar
dan ginjal terkait umur dan kemunkinan penurunan aktivitas enzim mikrosomal
hepar. Lebih lagi, saat infus vecuronium dihentikan, kecepatan pemulihan respon
single-twitch lebih lambat pada orang tua bila dibandingkan dengan orang
dewasa. Pemulihan yang lambat merupakan manifestasi dari durasi kerja
blokade neuromuskular akibat vecuronium yang lebih panjang bila dibandingkan
dengan dewasa muda. Berkebalikan dengan efek penuaan yang terlihat selama
dan sesudah pemberian infus vecuronium, waktu paruh eliminasi dan kurva
respon dosis yang ditentukan oleh respon single-twitch dari pemberian dosis
vecuronium IV tidak dipengaruhi oleh umur (O'Hara et al., 1987).
Pada pasien berumur 70 sampai 80 tahun, distribusi volume dan klirens
vecuronium plasma menurun bila dibandingkan dengan pasien yang lebih muda.
(Rupp et al., !983b). Penurunan distribusi volume seiring dengan berkurangnya
massa pada otot skelet dan cairan tubut total karena peningkatan umur,
sedangkan penurunan klirens plasma berhubungan dengan menurunnya aliran
darah hepatik pada orang tua. Bukti bahwa tidak ada perubahan pada kekuatan
respon NMJ karena peningkatan umur adalah konsentrasi plasma vecuronium
yang dibutuhkan untuk menekan 50% respon single-twitch sama besar pada
pasien orang tua dan dewasa muda (Rupp et al., 1983b)
Pasien Obstetri
Jumlah agen pemblokir neuromuskular nondepolarisasi yang melalui
plasenta tidak mencukupi untuk menghasilkan efek klinik yang signifikan pada
janin (Dailey et al., 1984; Frank et al., 1983). Sebagai contoh, rasio vecuronium
maternal-ke-fetal setelah pemberian 40-50 μ g/kg IV pada ibu adalah 0.11
.konsentrasi atracurium pada darah vena umbilikus dibawah batas sensitivitas.
Klirens vecuronium mungkin dipercepat selama kehamilan tua, kemungkinan
memperlihatkan estrogen dan juga perubahan kardiovaskular serta efek
pergantian cairan selama kehamilan yang dapat menstimulasi enzim mikrosomal
hepar. Sebaliknya, lama kerja blokade neuromuskular karena vecuronium
diperpanjang pada periode postpartum (Hawkins et al., 1989).
GAMBAR
Gambar 8-31. Kecepatan pemulihan setelah pemberian vecuronium 0,1 mg/kg
IV melambat pada dewasa obese daripada nonobese. (Dari Weinstein JA,
Matteo RS, Ornstein E, et al. Farmakodinamik vecuronium dan atracurium pada
pasien bedah obese. Aneslh Analg 1988;67:1149-1153; dengan izin.)
Obesitas
Lama kerja vecuronium, tetapi tidak pada atracurium, lebih panjang pada
obese (>130% BB ideal) dibandingkan dengan nonobese (Gb. 8-31) (Weinstein
etal., 1988).
Tekanan Intraokular
Pemberian dosis vccuronium atau atracurium yang dapat menimbulkan
paralisis setelah induksi anestesi dengan thiopental tidak mengubah tekanan
intraokular (Schneider et al., 1986). Blokade neuromuskular karena obat ini tidak
mencegah respon peningkatan tekanan intraokular karena intubasi trakea.
Hipertermi Malignan
Hipertermi malignan tidak terjadi pada pemberian vecuronium atau
atracurium pada babi yang sensitif (Buzello et al., I985b; Ording dan Fonsmark,
1988; Rorvik et al., 1988; Skarpa et al., 1983). Pernah dilaporkan adanya
blokade neuromuskular karena vecuronium yang lebih panjang pada pasien peka
terhadap hipertermi malignan dan telah diberikan dantrolene sebelumnya
(Driessen et al., 1985). Respon ini menggambarkan efek dantrolen yang dapat
mengakibatkan berkurangnya mobilisasi neurotransmiter pada NMJ karena
gangguan pelepasan cadangan ion kalsium pada terminal syaraf kolinergik
(Durant et al., 1980). Kemungkinan terdapat perpanjangan blokade
neuromuskular yang sama pada pemberian agen pemblokir neuromuskular yang
diberikan bersamaan dengan dantrolene.
Rocuronium
Rocuronium adalah agen pemblokir neuromuskular nondepolarisasi
aminosteroid monoquaterner dengan ED95 0.3 mg/kg yang mempunyai onset
kerja 1 sampai 2 menit dan lama kerja blokade neuromuskular selama 20 sampai
30 menit (lihat Gb. 8-1 dan Tabel 8-3) (Hunter, 1996). Secara struktural,
rocuronium menyerupai vecuronium kecuali terdapat kelompokan hidroksil bukan
kelompokan asetil pada cincin-A inti steroid. Potensi yang kurang pada
rocuronium bila dibandingkan dengan vecuronium menjadi suatu faktor yang
penting dalam menentukan onset cepat blokade neuromuskular karena obat ini.
Sebagai contoh, dosis tinggi diberikan saat menggunakan agen pemblokir
neuromuskular nondepolarisasi dengan potensi yang lebih rendah
mengakibatkan jumlah molekul yang lebih banyak yang dapat berdifusi pada
NMJ. Maksimal onset depresi single-twitch yang dihasilkan setelah pemberian 4
x ED95 rocuronum menyamai onset kerja SCh 1 mg/kg IV (Gb. 8-32) (Magorian et
al., 1995). Dalam hal ini, rocuronium adalah satu-satunya agen pemblokir
neuromuskular nondepolarisasi yang dapat menjadi alternatif dari SCh saat
dibutuhkannya onset cepat blokade neuromuskular untuk membantu
pemasangan intubasi trakea. Meskipun demikian, fakta bahwa otot-otot laring
lebih resisten terhadap efek rocuronium daripada m. Adductor pollicis, berarti
bahwa rocuronium dosis tinggi akan menyamai efek SCh pada m. Adductor
pollicis tetapi lebih lambat dibandingkan efek mirip SCh pada otot adduktor laring
(Wright et al., 1994). Tidak seperti SCh, rocuronium menghasilkan durasi blokade
neuromuskuiar mirip dengan agen pemblokir nondepolarisasi kerja intermediet
yang lain. Faktanya, rocuronium dosis tinggi, seperti yang dibutuhkan untuk
menyamai onset kerja SCh (3 sampai 4 x ED 95), menghasilkan durasi kerja yang
menyerupai agen pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi aksi lama
pancuronium.
GAMBAR
Gambar 8-32. Onset menuju depresi kejang maksimum yang mirip setelah
pemberian IV rocuronium (Rec) pada dosis 0.9 mg/kg dan 1.2 mg/kg dan
Sunsinilkolin (SCh), 1 mg/kg. (vecuronium.} (Dari Magorian T, Flannery KB, Miller
RD. Perbandingan vec pada rocuronium, suksinilkolin, dan vecuronium untuk
rangkaian induksi anestesi cepat pada pasien dewasa. Anesthesiologi
1993;79:913-918; dengan izin.)

Yang mirip, dosis besar intramuskuler (IM) rocuronium (1 sampai 8 mg/kg)


diberikan kepada bayi dan anak-anak menyebabkan intubasi trakea cepat, tetapi
durasi dosis besar ini (sekitar I jam) dapat membatasi manfaat klinis (Reynold et
al., 1996). Sebaliknya, yang lainnya melaporkan bahwa rocuronium IM (1 sampai
1.8 mg/kg) tidak menyebabkan kondisi intubasi memuaskan yang konsisten pada
bayi dan anak-anak dan bukan merupakan alternatif SCh IM yang adekuat ketika
diperlukan intubasi trakeal cepat (Kaplan et al., 1999).
Seperti agen pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi lainnya, otot
adduktor laringeal dan diafragma lebih resisten terhadap rocuronium daripada
otot pollicis adduktor (lihat Gb. 8-3) (Meistelman et al., 1992). Supresi komplit
respon single-twitch pada otot pollicis adduktor tidak membuktikan bahwa otot
laringeal dan diafragma juga mengalami paralisa. Selain itu, periode paralisa
laringeal maksimum dapat terlewat apabila onset supresi komplit respon single-
twitch pada pollicis adduktor digunakan sebagai tanda klinis pada kondisi optimal
untuk intubasi trakea (lihat Gb. 8-3) (Meistelman et al., 1992). Sebaliknya,
memulai laringoskopi direk untuk intubasi trakea pada puncak waktu paralisa otot
laringea dapat menyebabkan pergerakan otot abdominal dan diafragma ketika
tabung trakeal ditempatkan karena otot ini belum paralisa sepenuhnya. Respon
terakhir ini terutama sekali tidak diinginkan apabila pasien dianggap beresiko
aspirasi pulmoner isi lambung. Pada pasien obese yang morbid, durasi aksi
rocuronium diperpanjang ketika dosis obat dihitung menggunakan berat tubuh
sesungguhnya daripada berat tubuh ideal (Leykin et al., 2004a).
Klirens
Penelitian pada hewan menunjukan bahwa rocuronium tidak berubah,
banyak diekskresi (sampai 50% dalam 2 jam) di empedu {Khuenl-Brady et al.,
1990; Proost et al., 2000). Deasetilasi rocuronium tidak terjadi dan, tidak seperti
vecuronium, metabolit 3-hidroksi dengan aktifitas pembiokiran neuromuskuler
tidak terjadi. Ekskresi ginjal rocuronium dapat > 30% dalam 24 jam, dan
pemberian obat ini kepada pasien gagal ginjal dapat menyebabkan pemanjangan
sedang durasi aksi (Cooper et al., 1993). Penyakit hati, meningkatkan volume
distribusi rocuronium dan dapat menyebabkan durasi aksi obat ini lebih lama,
terutama dengan dosis berulang atau pemberian IV diperpanjang (Servin et al.,
1996). Sebaliknya, hati yang baru ditransplan tampaknya normal mengeliminasi
rocuronium (Fisher et al., 1997). Dibandingkan dengan dewasa muda, pasien
lanjut usia (lebih dari usia 70 tahun) mengalami kecepatan onset yang mirip
tetapi memperpanjang durasi aksi setelah pemberian rocuronium, dan respon
terakhir ini dihubungkan dengan penurunan mekanisme klirens hepar (Gb. 8-33)
(Matteo et al., 1993). Farmakodinamik rocuronium tidak berbeda pada dewasa
muda atau pasien usia lanjut (Gb. 8-34) (Matteo et al., 1993).
GAMBAR
Gambar 8-33. Konsentrasi plasma rata-rata setelah pemberian rocuronium, 600
μ g/kg TV, kepada dewasa muda (lingkaran kosong) atau pasien usia lanjut
(lingkaran penuh). (Dari Matteo RS, Ornstein E, Schwartz AE, et al.
Farmakokinelik dan farmakodinamik rocuronium [ORO 9426] pada pasien bedah
lanjul usia. Anesth Analg 1993;77:1193-1197; dengan izin.)
GAMBAR
Gambar 8-34. Konsentrasi plasma rocuronium yang dibutuhkan untuk
menyebabkan derajat paralysis spesifik tidak berbeda pada usia lanjut (lingkaran
penuh) dan dewasa muda (lingkaran kosong}. (Dari Matteo RS, Ornstein E,
Schwartz AE, et al. Farmakokinelik dan farmakodinamik rocuronium [ORG 9426]
pada pasien bedah lanjut usia. Anesth Analg 1993;77:1193-1197; dengan izin.)
Efek Kardiovaskuler
Efek kardiovaskuler atau pelepasan histamin tidak mengikuti pemberian
IV cepat bahkan dosis rocuronium yang lebih besar (Gb. 8-35, 8-36, dan 8-37}
(Levy et al., 1994). Tidak adanya pelepasan histamin konsisten dengan agen
pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi aminosteroid. Tidak seperti agen
pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi aminosteroid lainnya, akan tetapi,
rocuronium dapat menyebabkan sedikit efek vagolitik (Hunter, 1996}. Ciri
rocuronium ini dapat bermanfaat pada pasien yang menjalani prosedur
pembedahan (optalmologi, laparoskopi} yang dapat berhubungan dengan
stimulasi vagal. Jelas, refleks bradikardi telah dijabarkan ketika atracurium atau
vecuronium diberikan kepada pasien yang menjalani prosedur tipe pembedahan
ini (Hunter, 1996}
GAMBAR
Gambar 8-35. Perubahan padadenyutjantung (rata-rata ±SD) setelah pemberian
Intravena tiga dosis berbeda rocuronium kepada pasien dewasa. (Dari Levy JH,
Davis GK, Duggan J, et al. Penentuan hemodinamik dan pelepasan histamin
rocuronium [ORG 9426] ketika diberikan pada dosis yang meningkat di bawah
anestesi N2O/O2-sufentaniI. Anesth Analg 1994;78:318-321; dengan izin.)
Cisatracurium
Cisatracurium adalah agen pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi
benzilisoquinolinium dengan ED95 50 μ g/kg yang memiliki onset aksi sekitar 3
sampai 5 menit dan durasi blokade neuromuskuler berlangsung selama 20
sampai 35 menit (lihat Gb. 8-1 dan Tabel 8-3) (Belmont et al., 1995; Mellinghoff et
al., 1996). Secara struktur. cisatracurium merupakan salah satu bentuk murni dari
sepuluh stereoisomer atracurium, merujuk pada sekitar 15% campuran total.
Dengan demikian, cisatracurium memiliki ciri pemblokir neuromuskuler yang
mirip dengan atracurium kecuali onset cisatracurium lebih lambat dan
kecenderungan pelepasan histaminnya turun drastis (Gb. 8-38) (Doenicke et al.,
1997; Lien et al., 1995; Mellinghoff et al., 1996). Blokade neuromuskuler mudah
dipelihara pada tingkat infus stabil dengan kecepatan konstan dan tidak
berkurang sejalan waktu. Berkebalikan dengan vecuronium, kecepatan
pemulihan spontan dari blokade neuromuskuler yang disebabkan cisatracurium
tidak dipengaruhi oleh pemanjangan (sekitar 80 jam) infus cisatracurium kepada
pasien yang membutuhkan ventilasi paru-paru mekanik di unit perawatan kritis
(Prielipp et al., 1995). Seperti agen pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi
lainnya, pemulihan spontan dari efek pemblokiran neuromuskuler cisatracurium
dipercepat dengan pemberian obat antikolinesterase. Pada pasien obese yang
morbid, durasi aksi cisatracurium diperpanjang ketika dosis obat dihitung
menggunakan berat badan sesungguhnya daripada berat badan ideal (Leykin et
al., 2004b).
GAMBAR
Gambar 8-36. Perubahan pada tekanan arteri rata-rata (rata-rata ± SD) setelah
pemberian intravena tiga dosis berbeda rocuronium kepada pasien dewasa. (Dari
Levy JH, Davis GK, Duggan J, et al. Penentuan hemodinamik dan pelepasan
histamin rocuronium [ORG 9426] ketika diberikan pada dosis yang meningkat di
bawah anestesiN2O/O2-sufentanil. Anesth Analg 1994;78:318-321; dengan izin.)
Klirens
Cisatracurium secara prinsip mengalami degradasi oleh eliminasi
Hofmann pada pH fisiologis dan suhu untuk membentuk laudanosin dan
monoquaternary acrylate (Kisor et al., 1996). Monoquaternary acrylate dapat
juga mengalami eliminasi Hofmann tetapi pada kecepatan yang jauh lebih rendah
daripada cisatracurium. Berkebalikan dengan cisatracurium, plasma esterase
nonspesifik tampaknya tidak terlibat dalam klirens cisatracurium. Diperkirakan
bahwa eliminasi Hofmann menanggung 77% klirens cisatracurium, sedangkan
klirens ginjal bertanggung jawab atas 16% lainnya.
GAMBAR
Gambar 8-37. Perubahan konsentrasi histamin plasma (rata-rata ± SD) setelah
pemberian intravena tiga dosis berbeda rocuronium kepada pasien dewasa. (Dari
Levy JH, Davis GK, Duggan J, et af. Penentuan hemodinamik dan pelepasan
histamin rocuronium [ORG 9426] ketika diberikan pada dosis yang meningkat di
bawah anestesi N2O/O2-sufentanil Anesth Analg 1994;78:318-321; dengan izin.)

Klirens tidak tergantung organ pada cisatracurium berarti bahwa agen


pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi ini, seperti atracurium, dapat diberikan
kepada pasien dengan disfungsi hepatik atau ginjal tanpa perubahan pada ciri
pemblokir neuromuskulernya. Mekanisme klirens yang efisien menyebabkan
tidak adanya efek kumulatif cisatracurium, bahkan dengan pemanjangan infus
(Prielipp et al., 1995). Farmakokinetik cisatracurium hanya secara marginal
dipengaruhi oleh usia lanjut, dan perbedaan ini tidak berhubungan dengan
perubahan pada ciri pemulihan, meskipun onset aksi diperlambat sekitar 1 menit
pada pasien usia lanjut karena keseimbangan biofase yang lebih lambat
(Ornstein et al., 1996; Sorooshian et al., 1996). Demikian juga, perbedaan kecil
dalam farmakokinetik dan farmakodinamik cisatracurium pada transplantasi
hepar dan pasien kontrol tidak berhubungan dengan perbedaan yang bermakna
secara klinis dalam ciri pemulihan setelah dosis tunggal atracurium (Lien et al.,
1996).
Metabolit yang dihasilkan dari degradasi cisatracurium karena eliminasi Hofmann
inaktif di NMJ. Berkebalikan dengan atracurium, konsentrasi plasma laudanosin
setelah pemberian dosis cisatracurium 2 x ED 95 lima kali lebih sedikit daripada
yang ada sekarang setelah dosis atracurium 1.5 x ED95 (Lien et al., 1996).
Rupanya, potensi cisatracurium yang lebih besar dibandingkan dengan
atracurium menyebabkan lebih sedikit molekul diberikan dan oleh sebab itu
konsentrasi plasma lebih rendah pada metabolit laudanosin.
GAMBAR
Gambar 8-38. Konsentrasi histamin plasma rata-rata sebelum dan setelah
pemberian atracurium intravena (2 x ED95) dan cisatracurium (51W89) (2, 4, dan
8 x ED95) kepada pasien yang dianestesi dengan nitro oksida/thiopental/fentanyl.
Tidak ada perubahan terkait dosis dalam konsentrasi histamin plasma pada
kelompok penelitian manapun. (Dari Lien CA, Belmont MR, Abalos A, et al. Efek
kardiovaskuier dan sifat pelepasan histamin 51W89 pada pasien yang menerima
anestesi nitro oksida/opioid/barbiturat.
Anesthesiologi 1995;82:I131-1138; dengan izin.)
Efek Kardiovaskuler
Cisatracurium, berkcbalikan dengan atracurium, sama sekali tidak berefek
pada pelepasan histamin, sehingga perubahan kardiovaskuier tidak menyertai
pemberian IV cepat bahkan dosis cisatracurium yang besar (8 x ED 95) (lihal Gb.
8-38 dan 8-39) (Lien et al., 1995). Pada pasien dengan penyakit arteri koroner,
efek hemodinamik cisatracurium tidak dapat dibedakan dan yang terjadi pada
pasien serupa yang menerima vecuronium (Konstadt et al., 1995). Cisatracurium
(3 x ED95), diberikan pada pasien bedah saraf dewasa, menyebabkan perubahan
hemodinamik serebral yang lebih kecil (tekanan intrakranial, tekanan perfusi
serebral, kecepatan aliran darah arteri serebral tengah) dibandingkan dengan
dosis atracurium yang potensinya setara (Sehramm et al., 1998). Reaksi
anafilaktik telah dijabarkan setelah paparan pertama cisatracurium (Clendenen et
al., 1997).

AGEN PEMBLOKIR NEUROMUSKULER NONDEPOLARISASI AKSI


S1NGKAT
Mivacurium adalah agen pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi yang
hanya berguna secara klinis yang diklasifikasikan sebagai aksi singkat (lihat
Tabel 8-1).
GAMBAR
G»mbar 8-39. Tinggi tegangan rata-rata, denyut jantung, dan tekanan arteri rata-
rata dalam respon terhadap berbagai dosis cisatracurium (51W89) atau
atracurium. Meskipun penurunan signifikan pada tekanan arteri rata-rata dan
peningkatan denyut jantung munyertai dosis atracurium >2 x ED95 tidak ada
perubahan signifikan pada denyut jantung atau tekanan arteri rata-rata yang
terjadi setelah dosis cisatracurium manapun, (Dari Lien CA, Belmont MR, Abalos
A, et al. Efek kardiovaskuler dan sifat pelepasan histamin 51W89 pada pasien
yang menerima anestesi nitro oksida/opioid/barbiturat.
Anesthesiologi I995;82:l 131-1138; dengan izin.)
Mivacurium
Mivacurium adalah agen pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi
benzilisoquinolinium dengan ED95 80 μ g/kg yang memiliki onset aksi dalam 2
sampai 3 menit berlangsung 12 sampai 20 menit (lihat Gb. 8-1 dan Tabel 8-3)
(Hunter, 1995; Savarese et al., 1988). Dengan begitu, durasi aksi mivacurium
kira-kira dua kali dari SCh dan 30% sampai 40% daripada agen pemblokir
neuromuskuler nondepolarisasi aksi sedang. Mivacurium terdiri dari tiga
stereoisomer. Dua yang paling aktif dan equipoten adalah isomer trans-trans dan
cis-trans. sedangkan isomer cis-cis hanya memiliki satu per sepuluh aktifitas
isomer lainnya (Savarese et al., 1988). Mivacurium tidak memicu hipertermia
malignan pada babi yang rentan (Sufit et al., 1990).
Pemberian mivacurium 2 x ED95 menyebabkan depresi single-twitch
maksimum pada orbikularis okuli lebih segera daripada yang diteliti pada
adduktor pollicis (Gb. 8-40) (Sayson dan Morgan, 1994). Kebalikan dengan SCh,
yang menyebabkan depresi single-twitch maksimum secara serempak pada
orbikularis okuli dan adduktor pollicis (lihat Gb. 8-40) (Sayson dan Morgan,
1994). Dengan kedua obat, pemulihan fungsi pada orbikularis okuli terjadi lebih
segera daripada adduktor pollicis (lihat Gb. 8-40) (Sayson dan Morgan, 1994).
Renting untuk mengenali bahwa kehilangan fungsi pada orbikularis okuli, dan
bukan pada adduktor pollicis, berkorelasi dengan paralisa maksimal otot
adduktor laringeal dan diafragma.
GAMBAR
Gambar 8-40. Onset maksimum depresi kejang setelah pemberian mivacurium,
0.15 mg/kg IV, lebih cepat ketika respon kejang dimonitor pada otot orbikularis
okuli (OO) daripada otot adduktor pollicis (AP). Onset maksimum depresi kejang
setelah pemberian suksinilkolin, 1 mg/kg IV, mirip pada kedua otot. Waktu
ditampilkan sebagai 1 menit per bagian. (Dari Sayson SC, Mongan PEX Onset
aksi mivacorium klorida: Perbandingan pengamatan blokade neuromuskuler
pada adduktor pollicis dan orbikularis okuli.
Anesthesiologi 1994;8 1 :35-42> dengan izin.)

Klirens
Isomer cis-trans dan trans-trans mivacurium dihidrolisa oleh kolinesterase
plasma pada kecepatan yang setera dengan 88% pada SCh (Gb. 8-41)
(Savarese et al., 1988). Hidrolisis kedua isomer ini bertanggung jawab atas
durasi aksi mivacurium yang singkat, sedangkan isomer cis-cis, yang kekurangan
efek pemblokir neuromuskuler yang signifikan pada NMJ, tidak tergantung pada
hidrolisis oleh kolinesterase plasma, dan dibersihkan pada kecepatan yang mirip
dengan agen pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi aksi sedang (Lien et al.,
1994). Metabolit yang dihasilkan dari hidrolisis mivacurium termasuk alkohol
amino quaternary dan monoester quaternary, yang diduga menjadi inaktif di NMJ.
Kecepatan hidrolisis mivacurium oleh kolinesterase plasma tergantung pada
konsentrasi mivacurium di plasma. Maka, semakin besar konsentrasi
mivacurium, semakin cepat kenisakannya, dan tidak seperti respon yang terlihat
dengan agen pemblokir neuromuskuler lainnya, meningkatkan dosis memiliki
sedikit pengaruh pada durasi aksi. Klirens isomer poten mivacurium lebih cepat
pada pasien yang lebih muda, yang mana konsisten dengan kebutuhan infus
mivacurium yang lebih besar pada anak-anak (Markakis et al., 1998).
GAMBAR
Gambar 8-41. Perkiraan jalur metabolisme mivacurium. (Dari Savarese JJ, AH
HH, Basta SJ, et al. Farmakologi neuromuskuler klinik mivacurium klorida (BW
B109OU). Obat pemblokir neuromuskiller ester nondepolarisasi aksi singkat.
Anesthesiologi 1988;68:723-732; dengan izin.)
Kolinesterase Plasma Atipikal
Hidrolisis mivacurium menurun dan durasi aksinya meningkat pada pasien
dengan kolinesterase plasma atipikal {Goudsouzin et al., 1993; Maddineni dan
Mirakhur, 1993; Petersen et al., 1993). Pada pasien ini, dosis normal mivacurium
menyebabkan blokade neuromuskuler yang kuat. Pemberian kolinesterase
plasma manusia telah ditemukan efektif dalam mengantagonis blokade
neuromuskuler yang kuat ini berkebalikan dengan ketidakefektifan obat
antikolinesterase (Ostergaard et al., 1995).
Penghambatan Aktifitas Kolinesterase Plasma
Flouride adalah penghambat poten kolinesterase plasma menunjukan
bahwa pembentukan flouride, seperti dan metabolisme florinasi anestetik volatil,
terutama sevoflurane, dapat mempengaruhi kecepatan hidrolisis mivacurium.
Meskipun demikian, konsentrasi flouride yang sebanding dengan 100 μ mol/L
tidak merubah waktu paruh in vitro isomer cis-trans dan trans-trans mivacurium
(Gruber et al., 2002).
Pancuronium lebih mempotensiasi mivacurium daripada agen pemblokir
neuromuskuler nondepolarisasi lainnya karena menempati reseptor asetilkolin
postsinaptik dan juga memperlambat hidrolisis mivacurium dengan menghambat
aktifitas kolinesterase plasma. Jelas, pemberian mivacurium diikuti injeksi
pancuronium menyebabkan pemanjangan durasi aksi mivacurium (Erkola et al.,
1996). Bahkan, dosis pancuronium subparalisis menurunkan aktifitas
kolinesterase plasma dan menurunkan klirens dua isomer mivacurium yang
paling paling aktif (Motamed et al., 2003).
GAMBAR
Gambar 8-42. Pulih dari blokade neuromuskuler yang disebabkan mivacurium
diperpanjang pada pasien dengan penurunan aktifitas kolineslerase, seperti yang
dapat dikaitkan dengan sirosis hepatis (lingkaran kosong). Lingkaran penuh
menunjukan pasien normal, sedangkan lingkaran dengan titik menunjukan
pasien heterozigot. (Dari Devlin JC, Head-Rapson AG, Parker CJR, et al.
Farmakodinamik mivacurium klorida pada pasien dengan sirosis hepatis. Br J
Anesth 1993;71:227-231; dengan izin.)
Disfungsi Ginjal
Ekskresi ginjal tampaknya menjadi jalur minor untuk klirens mivacurium,
dengan perkiraan 7% dari dosis yang diberikan nampaknya tidak berubah di
dalam urin {Lacroix et al., 1997). Perbandingan efek blokade neuromuskuler
mivacurium pada pasien dengan atau tanpa gagal ginjal menunjukan
pemanjangan mivacurium yang tidak bermakna klinis pada pasien anefrik (Philips
dan Hunter, 1992). Pemanjangan ini dihubungkan dengan penurunan aktifitas
kolinesterase pada gagal ginjal. Pada laporan yang lain, pemanjangan blokade
neuromuskuler diteliti setelah pemberian mivacurium kepadapasien gagal ginjal
(Mangaret al., 1993).
GAMBAR
Gambar 8-43. Dosis neuromuskuler dan kardiovaskuler yang respon terhadap
mivacurium setelah injeksi lebih dari 10 sampai 15 detik (kecuali di mana
ditunjukan sebagai 30 detik). (Dari Savarese JJ, All HH, Basta SJ, et al. Efek
kardiovaskuler mivacurium klorida [BW I09OU] pada pasien yang menerima
anestesi nitro oksi da-op i at-barbiturat. Anesthesiologi 1989;70:386-394; dengan
izin.)
Disfungsi Hepatik
Kecepatan onset blokade neuromuskuler yang disebabkan mivacurium
mirip pada pasien normal dan yang dengan sirosis hepatis, tetapi durasi aksi
mivacurium diperpanjang pada pasien yang penyakit heparnya berhubungan
dengan penurunan aktifitas kolinesterase plasma (Gb, 8-42) (Devlin at al., 1993).
Sebaliknya, peningkatan volume cairan ekstraseluler yang terjadi pada sirosis
berat dapat menyebabkan peningkatan volume distribusi mivacurium (mirip
dengan pancuronium dan atracurium). Peningkatan volume distribusi ini dapat
menyebabkan blokade neuromuskuler lebih lemah yang akan tampak secara
klinis resisten terhadap efek agen pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi
(respon yang mirip telah diamati dengan pancaronium dan atracurium) (Devlin et
al., 1993).
Antagonisme Farmakologis
Pemulihan spontan dari efek blokade neuromuskuler mivacurium adalah
cepat, dan kebutuhan antagonisme farmakologis dipertanyakan (Naguib et al.,
1996; Pollard, 1992). Selain itu, neostigmine menurunkan aktifitas kolinesterase
plasma sangat besar dan maka dapat mengganggu pemulihan spontan cepat
yang normal dari blokade neuromuskuler yang disebabkan mivacurium (lihat Gb.
8-11) (Devcic et al., 1995). Meskipun demikian, tingkat menegah blokade
neuromuskuler yang disebabkan mivacurium diantagonis dengan segera oleh
andkolinesterase seperti neostigmine (Savarese et al., 1988). Edrophonium
memberikan antagonisme yang lebih cepat pada blokade neuromuskuler yang
disebabkan mivacurium yang dalam daripada neostigmine (Devcic et al., 1995).
Efek Kardiovaskuler
Respon kardiovaskuler terhadap mivacurium minimal pada dosis sampai
dengan 2 x ED95{Gb. 8-43) (Savarese et al.. 1989). Pemberian mivacurium 3 x
ED95 lebih dari 10 sampai 15 detik membangkitkan pelepasan histamin yang
cukup untuk sementara menurunkan tekanan arteri rata-rata 13% sampai 18%
(lihat Gb. 8-43) (Savarese et al., 1989). Hipotensi lebih sering dan lebih nyata
pada pasien hipertensi daripada normotensi (Plaud et al., 2002).
Bronkospasme
Meskipun mivacurium bukan merupakan pelepas histamin yang poten,
kemungklnan pelepasan histamin dan bronkospasme merupakan perhatian,
terutama pada pasien dengan penyakit jalan nafas reaktif. Pengalaman
anekdotal dan analisa data yang diberikan kepada administrasi makanan dan
obat menyarankan peringatan pada pemberian mivacurium yang cepat kepada
pasien dengan asma yang membutuhkan pengobatan aktif (Bishop et al., 2003).
Luka Bakar
Aktifitas kolinesterase plasma menurun karena luka bakar, dan mungkin
efek ini dapat menghalau resistensi yang diperantarai reseptor terhadap efek
agen pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi, menyebabkan kekurangan
resistensi terhadap mivacurium. Jelas, mivacurium 0.2 mg/kg IV menyebabkan
efek yang mirip pada pasien yang terbakar dan tidak terbakar (Martyn et al.,
2000). Berkebalikan dengan peningkatan dosis kebutuhan untuk agen pemblokir
neuromuskuler nondepolarisasi lainnya, onset cepat paralisis dapat dicapai
dengan dosis normal mivacurium yang diberikan pada pasien luka bakar,
GW280430A
GW280430A adalah perwakilan agen pemblokir neuromuskuler
nondepolarisasi kelas baru yang dikarakteristikan sebagai klorofurmarat
campuran onium asimetris (Savarese et al., 2004). Obat ini mengalami
perusakan cepat di dalam plasma dengan hidrolisis kimia dan inaktifasi dengan
adduksi sistem, menyebabkan durasi aksi yang sangat singkat. Pada
sukarelawan, ED95 0.19 mg/kg, waktu onset depresi kejang 90% berkisar dari 1.3
sampai 2.1 menit, dan durasi berkisar dari 4.7 sampai 10.1 menit tergantung
pada dosis (Belmont et al., 2004). Efek kardiovaskuler transient menunjukan
pelepasan histamin terjadi ketika dosis GW280430A adalah 3ED95 atau lebih
besar.

Anda mungkin juga menyukai