FARMAKODINAMIK
Farmakodinamik dari agen pemblokir neuromuskular ditentukan oleh
kecepatan dari onset dan durasi blokade neuromuskular. Secara klinik, metode
umum untuk menentukan jenis, kecepatan onset, kekuatan, dan durasi blokade
neuromuskular adalah dari penelitian atau rekaman respon otot skelet yang
dipicu oteh stimulus listrik supramaksimal dari stimulator syaraf perifer. Yang
paling sering digunakan untuk memperkirakan efek dari agen pemblokir
neuromuskular adalah kontraksi m. adductor pollicis (respon single-twitch sampai
dengan 1 hz) setelah stimulasi listrik pada n. ulnaris (Gb. 8-2) (Hunter, 1995).
Potensi yang sama antara agen pembiokir neuromuskular ditentukan dari
pengukuran dosis yang dibutuhkan untuk menekan 95% respon single-twitch
(ED95) (Tabel 8-2). Selain itu, EDgj juga digunakan untuk menyatakan potensi
dari agen pemblokir neuromuskular pada anestesi dengan nitrit oksi da-barb
iturat-opioid. Pada pemberian anestesi volatil, ED9S sangat berkurang bila
dibandingkan tanpa pemberian anestesi volatil.
Agen pemblokir neuromuskular berpengaruh kecil, secara cepat
menggerakkan otot skelet (pada mata, jari-jari) sebelum mempengaruhi
abdomen (diafragma). Onset blokade neuromuskular setelah pemberian agen
pembfokir neuromuskular nondepolarisasi lebih cepat tapi kurang kuat pada m.
laryngeus (pita suara) daripada otot skelet perifer (m. adductor polHcis) (Gb. 8-3)
(Meistelman et al., 1992). Efek yang berbeda dari agen pemblokir neuromuskular
terhadap m. laryngeus mungkin dikarenakan perbedaan jenis serat otot skelet
(Meinstelman et al., 1992). Otot-otot yang yang perlibat dalam penutupan glotis
(otot-otot thyroarytenoid) mempunyai waktu kontraksi yang cepat, sedangkan m.
adductor pollicis umumnya terdiri dari serat dengan kontraksi lambat. Kepadatan
reseptor asetilkolin lebih banyak terdapat pada serat dengan kontraksi cepat
daripada serat dengan kontraksi lambat. Sehingga lebih banyak reseptor yang
harus diduduki pada otot dengan kontraksi cepat. Lebih cepatnya onset pada pita
suara daripada m. adductor pollicis mem peri ihatkan keseimbangan yang lebih
baik pada konsentrasi plasma pada otot-otot jalan pernapasan tersebut
dibandingkan dengan adductor pollicis. Dengan penggunaan agen pemblokir
neuromuskular non-depolarisasi kerja intermediet dan cepat, periode paralisis
laring singkat sehingga dapat dihilangkan sebelum mencapai m. adductor pollicis
(Gb. 8-3) (Meistelman et al., 1992). Sangat penting untuk mengetahui bahwa
besar dosis agen pemblokir neuromuskular yang dibutuhkan untuk membuat
suatu tingkatan blokade neuromuskular pada diafragma adalah sekitar dua kali
dosis yang dibutuhkan untuk membuat blokade muskular yang sama kuat pada
m. adductor pollicis (Donati et al, 1986). Telah diketahui bahwa monitoring pada
m. adductor pollicis adalah indikator yang buruk untuk relaksasi laring (m.
cricothyroideus), sedangkan stimulus n. fasial dan monitoring respon m.
orbicularis oculi lebih mendekati gambaran dari onset blokade neuromuskular
pada diafragma (Gb. 8-4). (Moorthy et al, 1996; Ungureanu et al., 1993). Jadi, m.
orbicularis oculi lebih baik dari m. adductor pollicis sebagai indikator blokade otot-
otot laring.
Gambar 8-1. Asetilkolin dan agen pemblokir neuromuskular
FARMAKOK1NETIK
Agen pemblokir neuromuskular, karena merupakan gabungan ammonium
quaterner, merupakan zat larut air terionisasi tinggi pada pH fisiologis dan
mempunyai kemampuan larut lemak yang terbatas (Tabel 8-3) (Hunter, 1995;
Shank, 1986). Karena dua karakteristik ini, distribusi volume agen ini terbatas,
dan menyerupai volume cairan ekstraselular (sekitar 200 mL/kg). Selain itu, agen
pemblokir neuromuskular tidak dapat menembus sawar membran lemak seperti
sawar darah otak, epitel tubulus ginjal, epitel gastrointestinal, atau plasenta
dengan mudah. Sehingga agen pemblokir neuromuskular tidak mempengaruhi
sistem syaraf pusat, minimal reabsorbsi pada tubulus ginjal, pemberian oral tidak
efektif diserap, dan pemberian pada ibu ham it tidak mempengaruhi janin.
Redistribusi pada agen pemblokir neuromuskular non-depolarisasi juga
memainkan peran dalam farmakokinetik obat ini.
Gambar 8-2. Efek agen pemblokir neuromuskular pada respon single-twitch dan
train-of-four.
Gambar yang paling alas menunjukkan efek dari agen pemblokir
neuromuskular nondepolarisasi pada respon sing/e-twich. Suatu agen
pemblokir neuromuskular depolarisasi (suksinilkolin) mepunyai efek yang sama
dengan respon single-twich. Gambar yang tengah menunjukkan efek
suksinilkolin pada respon train~of-four yang dikarakteristikkan dengan penurunan
yang sama (tidak ada pemudaran) pada kekuatan dari keempat respon
kejangan. Gambar paling bawah menunjukkan efek yang kontras antara agen
pemblokir neuromuskular nondepolarisasi pada respon train-of-four dan
antagonisme dari blokade neuromuskular setelah pemberian obat
antikolinesterasc, neostigmine. (dari Hunter JM. Agen pemblokir
neuromuskuler baru. N Engl J Med 1996;332:169l-1699; dengan izin.).
Klirens plasma, distribusi volume, dan paruh waktu eliminasi dari agen
pemblokir neuromuskular mungkin dipengaruhi oleh umur pasien, anestetik
volatil, dan adanya gangguan ginjal atau hepar (lihat Tabel 8-3) (Hunter, 1985).
Eliminasi pada hepar dan ginjal mudah karena sebagian besar agen pemblokir
neuromuskular mempunyai tingkat ionisasi obat yang tinggi, sehingga dapat
memelthara konsentrasi obat yang tinggi pada plasma dan mencegah reabsorbsi
ginjal terhadap obat yang telah diekskresi.gangguan ginjal dapat sangat
mempengaruhi farmakokinetik agen pemblokir neuromuskular kerja lama. Agen
pemblokir neuromuskular tidak mudah terikat pada protein plasma (hanya
sampai 50%) sehingga pengikatan protein plasma atau perubahan-perubahan
yang terjadi pada ikatan protein, tidak mempunyai efek signifikan pada ekskresi
renal agen pemblokir neuromuskular.
Farmakokinetik agen pemblokir neuromuskular nondepolarisasi dihitung
setelah pemberian intravena (IV). Tingkatan eliminasi agen pemblokir
neuromuskular nondepolarisasi kerja lama dikarakterisasikan dari penurunan
awal yang cepat (distribusinya ke jaringan) diikuti dengan penurunan yang lebih
lambat (klirens). Selain perubahan pada distribusi di aliran darah, anestesi
inhalasi hanya sedikit atau tidak mempengaruhi farmakokinetik agen pemblokir
neuromuskular. Peningkatan blokade neuromuskular oleh anestesi volatil
memperlihatkan pengaruh pada farmakodinamik, yang manifestasinya adalah
penurunan konsentrasi plasma agen pemblokir neuromuskular yang dibutuhkan
untuk mendapatkan tingkatan blokade neuromuskular pada pemberian anestesi
volatil. Bila distribusi volume berkurang, seiring dengan terjadinya peningkatan
pengikatan protein, dehidrasi, atau perdarahan akut, dosis obat yang sama akan
mengakibatkan konsentrasi plasma yang lebih tinggi, dan peningkatan potensi
nyata obat. Waktu paruh eliminasi agen pemblokir neuromuskular hanya sedikit
berhubungan dengan durasi kerja obat ini bila diberikan secara intravena (IV).
SEJARAH
Penggunaan modern agen pemblokir neuromuskular pertama kali
diketahui pada tahun 1932, saat fraksi termurnikan (purified) d-tubocurarine (dTc)
diberikan untuk mengontrol spasme otot skelet pada pasien tetanus. Pada tahun
1940, dTc diberikan sebagai adjuvan pada terapi syok listrik terinduksi obat.
Penggunaan pertama dTc untuk relaksan otot skelet dalam pembedahan dengan
anestesi umum adalah pada tahun 1942 (Griffith dan Johnson, 1942).
Penggunaan hewan percobaan yang dikurarisasi untuk menentukan efek
parasimpatomimetik suksinilkolin (SCh) pada tahun 1906 menutupi fungsi
blokade neuromuskular obat ini. Baru pada tahun 1949 efek blokade
neuromuskular SCh diketahui. Antara tahun 1949 sampai 1960, dTc dan SCH
menjadi obat yang paling umum digunakan untuk agen pemblokir neuromuskular.
Pancuronium diperkenalkan pada tahun 1960 sebagai agen pemblokir
neuromuskular nondepolarisasi amino steroid kerja lama. Pada tahun 1980,
diperkenalkan dua agen pemblokir neuromuskular nondepolarisasi yang baru,
atracurium (benzyl isoquinoline) dan vecuronium (aminosteroid). Selanjutnya
Cisatracurium pada tahun 1995, mivacurium pada tahun 1997 dan yang terbaru
diperkenalkan rocuronium.
Gambar 8-3. Efek rocuronium (pada depresi maksimum dari respon singie-
twitch) kurang kuat dan lama kerja lebih pcndek pada otot aduktor pada laring
dibandingkan dengan m. adductor pollicis. (Dari Meistelman C, Plaud B, Donati F.
Blokade neuromuskuler rocuronium (ORG 9426) pada otot adduktor laring dan
adduktor pollicis manusia. CanJanaesth 1992;39:665-669; dengan izin.)
Gambar 8-4. waktu onset respon yang dapat dilihat pada m. orbicularis oculi dan
m. adductor pollicis versus waktu onset untuk 100% depresi olot-otot laring. Tidak
ada korelasi antara waktu onset otot laring dengan m. adduktor pollicis. Waktu
onset m. orbikularis okuli berkorelasi signifikan dengan otot-otot taring (P<.OOI).
(Dari Unureanu D, Meistelman C, Frossard et al. Otot orbikularis okuli dan
adduktor pollicis yang dimonitor dengan blokade atracurium pada otot luring.
Anaesth Analg 1993;77:775-779;dengan izin.)
FENGGUNAAN KLINIK
Saat ini, penggunaan umum agen pemblokir neuromuskuiar adalah untuk
merelaksasi otot skelet pada intubasi trakea dan untuk mendukung kondisi
pembedahan selama anestesi umum (Hunter, 1995). Dosis 2 x ED 95 untuk
relaksan otot nondepolarisasi sering direkotnendasikan untuk intubasi trakea, di
mana 90% supresi respon single-twitch biasanya dipertimbangkan sebagai bukti
klinik relaksasi otot terinduksi obat yang mencukupi untuk mendukung kondisi
pembedahan secara optimal. Agen pemblokir neuromuskuiar hanya sedikit
mengandung efek depresan sistem syaraf pusat dan efek analgesi. Sehingga
obat ini tidak dapat digunakan sebagai pengganti obat anestesi. Lebih lagi
ventilasi paru harus didukung secara mekanik saat terjadi blokade
neuromuskuiar oleh obat ini. Laringospasme dapat diterapi efektif dengan SCh
dosis rendah 0,1 mg/kg iV (Chung dan Rowbottom, 1993). Penggunaan agen
pemblokir neuromuskuiar di luar penggunaan saat pembedahan antara lain,
perawatan pasien yang membutuhkan pernapasan bantuan pada paru dalam
keadaan krisis (adult respirtory distress syndrome, pemapasan spontan yang
tersupresi, tetanus) (Hunter, 1995; Miller, 1995)
Secara klinik, tingkatan blokade neuromuskuiar dievaluasi dengan
memonitor respon otot skelet yang terpicu stimulus listrik yang dihantarkan per
kutan ke n. ulnaris atau n. facial oleh stimulator syaraf perifer (Tabel 8-2). Secara
tradisional, rasio TOP > 0,7 cukup agar otot skelet tetap dapat mendukung
pernapasan spontan setelah pemulihan secara spontan maupun dengan obat
antagonis agen pemblokir neuromuskuiar nondepolarisasi. Bukti bahwa terjadi
disfungsi faring dan resiko aspirasi yang lebih tinggi saat rasio TOP < 0,9
dibandingkan dengan rasio TOP > 0,9 menyebabkan kebutuhan akan penilaian
kembali atas acuan lama ini (Eriksson et al., 1997). Indikator klinik yang lain dari
residu blokade neuromuskuiar antara lain kekuatan ???, kemampuan untuk
mempertahankan kedudukan kepala, pengukuran kapasitas vital dan produksi
tekanan negatif inspirasi.
Pemilihaa Obat
Pemilihan anlara agcn pemblokir neuromuskular depolarisasi dan
nondepolarisasi dipengarubi oleh kecepatan onset, lama kerja, dan kemungkinan
efek samping obat karena kerja obat ini pada lokasi seiain NMJ, termasuk pada
respon kardiovskular karena pelepasan histamin yang dipicu oleh
benzylisoquinoline agen pemblokir neuromuskular nondepolarisasi. Onset yang
cepat dan lama kerja yang singkat pada blokade neuromuskular oleh SCh dan
mivacurium adalah alasan mengapa obat ini digunakan pada saat intubasi
trakea. Rocuronium adalah satu-satunya agen pemblokir neuromuskular
nondepolarisasi yang menyamai onset cepat dari SCh, tetapi lama kerja obat
tersebut lebih panjang. Saat dibutuhkan periode yang stabil dari blokade
neuromuskular, agen pemblokir neuromuskular nondepolarisasi dipilih sebagai
obat injeksi dengan dosis intermiten atau sebagai infus yang berkelanjutan untuk
membuat paralisis otot skelet. Saat onset blokade neuromuskular yang cepat
tidak begitu dibutuhkan, relaksasi otot skelet untuk membantu intubasi trakhea
dapat diberikan dari agen pemblokir neuromuskular nondepolarisasi- Agen
pemblokir neuromuskular nondepolarisasi tertentu dapat menurunkan tekanan
darah sistemik secara signifikan (pelepasan histamin yang dipicu oleh atracurium
atau mivacurium) atau meningkatkan denyut jantung (pancuronium). Efek pada
sirkulasi akibat obat ini tidak balk pada keadaan hipovolemik, panyakit jantung
koroner, atau penyakit katup jantung. Sebaliknya, bradikardi yang disebabkan
oleh anestesi berbasis opioid, yang ditutupi oleh efek peningkatan denyut jantung
pancuronium, tidak akan dipengaruhi oleh agen pemblokir neuromuskular
nondepolarisasi yang tidak mempunyai efek pada sirkulasi (vecuronium,
rocuronium, cisatracurium, doxacurium, pipecuronium).
Asetilkolin
Neurotransmiter dalam NMJ adalah amonium quaterner ester asetilkolin.
Asetitkolin pada akhiran syaraf motorik disintesa dari asetilasi kolin di bawah
kontrol enzim kolin asetilase. Asetilkolin ini disimpan dalam vesikel sinaptik pada
akhiran syaraf motorik dan dilepaskan ke celah sinaps sebagai satu paket
(quanta), setiap paket mengandung 500 sampai 10.000 molekul asetilkolm.
Kedatangan impuls syaraf menyebabkan terlepasnya ratusan quanta asetilkolm
yang akan mengikat subunit alfa nAChRs di membran postsinaps, menyebabkan
perubahan permeabilitas membran terhadap ion-ion. Perubahan permeabilitas
membran ini menyebabkan penurunan potensial transmembran dari -90 mv
menjadi -45 mv (potensial treshold). Pada titik ini, potensial aksi disebarkan ke
seluruh serat otot skelet yang menyebabkan terjadinya kontraksi. Bita tidak ada
potensial aksi, quanta asetilkolin dilepaskan secara acak, menyebabkan miniatur
potensial endplate <1 mv yang tidak dapat memicu depolarisasi membran otot
skeiet. Pelepasan asetilkolin adalah proses yang membutuhkan kalsium dan
dipicu oleh meningkatnya ion kalsium bebas di terminal syaraf. Dipertimbangkan
bahwa potensial aksi syaraf mengaktifasi adenil siklase pada membran terminal
syaraf sehingga menyebabkan terbentuknya cyclic adenosine monophosphate
(cAMP). cAMP selanjutnya akan membuka kanal ion kalsium, menyebabkan
vesikel sinaptik terbuka dari membran syaraf dan melepaskan asetilkolin
(Standaert dan Dretchen, 1981). Sehingga, obat-obatan seperti aminofilin yang
dapat \ memicu pembentukan dari cAMP membantu terjadinya transmisi
neuromuskular, dan_J obat-obat pemblokir kanal kalsium seperti verapamil dapat
menghambat transmisi neuromuskular.
Reseptor Nikotinik Asetilkolin Postjunctional
Membran postjunctional memiliki dua tipe nAChRs yang merespon agen
pemblokir neuromuskular (Standaert, 1994). nAChRs terdapat dalam jumlah
besar di membran postjunctional. nAChRs ekstrajunctional dapat muncul di
sepanjang otot skelet saat terjadi defisiensi rangsang syaraf pada membran otot
skelet.
nAChRs PrejiiDctional
nAChRs prejunctional pada akhiran syaraf motorik mempengaruhi
pelepasan neurotransmiter. Perbedaan nAChRs prejunctional dibandingkan
dengan nAChRs post junctional terlihat dari (a) karaktristik ikatan kimianya, (b)
kanal ion alarm yang diatur dan (c) kecenderungan blokade selama simulasi
frekuensi tinggi. Beberapa agen pemblokir neuromuskular nondepolarisasi
memblokade kanal ion natrium prejunctional tetapi tidak memblokade kanal ion
kalsium. Sehingga obat ini dapat mengganggu mobilisasi asetilkolin dari tempat
sintesanya ke tempat pelepasannya. Pelepasan asetilkolin yang tergantung
kalsium tidak dipengaruhi.
Dosis
Dosis tradisional SCh untuk membantu pemasangan intubasi trakea
adalah 1 mg/kg IV walaupun kurang terdapat literatur yang mendukung hal ini.
Pada pasien dewasa, ED^o untuk SCh, ditentukan setelah pemberian thiopental
dengan pernapasan yang mengandung nitrit oksida, adalah 0,27 mg/kg IV (Smith
et al., 1988). Jadi, 1 mg/kg IV mewakili 3,5-4 kali lipat ED 9S. secara konseptual,
harus diantisipasi pemberian 1 mg/kg IV pada pasien preoksigenasi
berhubungan dengan kembalinya napas spontan sebelum terjadi hipoksi arterial
yang signifikan. Bahkan pernapasan spontan telah diteliti terjadi sekitar 5 menit
setelah terjadi paralisis yang ditimbulkan SCh. Bagaimanapun juga, durasi rata-
rata sampai pemulihan 90% pada pemberian 1 mg/kg IV lebih dari 10 menit,
menggambarkan bahwa diafragma pulih sebalum m. adductor pollicis. Dalam hal
ini, pasien dewasa preoksigenasi dapat mengalami apnea selama 8 menit
sebelum saturasi oksigen arterial berkurang hingga 90% (Benumof et al., 1997)
Menurunkan dosis untuk intubasi dari I mg/kg IV menjadi 0.6 mg/kg IV
mengurangi durasi depresi Fasikulasi kejangan > 90 detik dan hal ini
berhubungan dengan kondisi intubasi yang dapat diterima (Gb. 8-7) (Kopman et
al., 2003; Naguib et al., 2003). Berkenaan dengan ini, onset hipoksemia arterial
sebelum kembalinya pernafasan spontan tampaknya sedikit mungkin (tetapi
bukan tidak mungkin, mengingat variasi dalam respon terhadap SCh) daripada
dengan dosis 1 mg/kg IV. Meskipun demikian, penurunan dosis SCh dari 1.0
mg/kg ke 0.56 mg/kg tidak mempersingkat waktu ke pergerakan diafragma
spontan (Naguib et al., 2005). Ketika blokade neuromuskuler komplit menjadi
penting, dosis SCh 1.0 sampai 1.5 mg/kg IV dapat masih cocok. Mengingat
variasi dalam respon terhadap SCh di antara pasien, disimpulkan tidak terdapat
dosis tunggal SCh yang sempurna untuk intubasi (Donati, 2003).
Gambar 8-7. Ketinggian gelombang (Tl) sebagai persen kontrol pada adductor
pollicis dan waktu dari pemberian awal bolus obat untuk tiga dosis suksinilkolin
yang berbeda. Penurunan dosis suksinilkolin dari 1 mg/kg menjadi 0.5 mg/kg
memendekkan lebih dari 90 detik lama kerja pada m. adductor pollicis. (Dari
Kopman A, Zhaku B, Lai KS. "Dosis intubasi" suksinilkolin: Efek penurunan
dosis pada waktu pemulihan. Anesthesiologi 2003;99:1050-1054; dengan
izin.)
Mekanisme Aksi
SCh melekat pada satu atau kedua subunit alfa nAChRs dan menyerupai
aksi asetilkolin (parsial agonis), maka mendepolarisasi membran postjunctional.
Dibandingkan dengan asetilkolin, hidrolisa SCh lambat, menyebabkan
tertahannya depolarisasi (pembukaan) kanal ion reseptor. Penghambat
neuromuskuler berkembang karena membran postjunctional yang didepolarisasi
tidak respon terhadap pelepasan asetilkolin berkelanjutan (mendepolarisasi
blokade neuromuskuler). Blokade depolarisasi neuromuskuler juga mengacu
pada blokade fase I. SCh memiliki efek presinaptik, tetapi ini dianggap kecil bila
dibandingkan dengan efek postsinaptik (Standaert dan Adams, 1965).
Pembukaan reseptor kanal ion yang tertahan dan menyebabkan depolarisasi
membran postjunctional dibentuk oleh SCh berhubungan dengan kebocoran ion
potasium dari interior sel cukup untuk membuat peningkatan rata-rata
0.5mEq/liter pada konsentrasi potasium serum.
Dosis besar SCh tunggal (> 2 mg/kg IV), dosis berulang, atau infus SCh
kontinyu diperpanjang dapat menyebabkan pada membran postjunctional yang
normalnya tidak respon terhadap asetilkolin bahkan ketika membran
postjunctional telah menjadi repolarisasi (blokade neuromuskuler desensitisasi).
Mekanisme perkembangan blokade neuromuskuler desensitisasi tidak diketahui
dan, karena alasan ini, disebut sebagai blokade fase II, yang tidak menunjukan
mekanisme, adalah terminologi yang dipilih (Hunter dan Feldman, 1976).
Sepertinya bahwa kombinasi desensitisasi reseptor, blokade kanal ion, dan
masuknya SCh ke sitoplasma otot skeletal bertanggung jawab atas peristiwa
yang manifes sebagai blokade fase II.
Gambar 8-8. Transisi antara blokade fase T dan fase N seperti yang
digambarkan dengan rasio empat kereta (train -of- four) menunjukan cukup
mendadak, terjadi pada dosis suksinilkolin total (suxamethonium) 2 sampai 4
mg/kg IV. (Dari I.ee C. Hubungan dosis fase IJ, lakifilaksis dan menghilangnya
train-of-four pada blokade neuromuskuler ganda yang disebabkan
suxamethonium. Br J Anaesth 1 975;47:84 1- 845;dengan izin)
Durasi Aksi
Durasi singkat aksi SCh (3 sampai 5 menit) secara prinsip karena
hidrolisisnya oleh enzim plasma kolinesterase (pseudokolinesterase) (Gb. 8-9).
Enzim plasma kolinesterase disintesis di hati dan merupakan suatu glikoprotein
tetramerik terdiri dari empat subunit identik, masing-masing memiliki satu tempat
katalitik aktif. Meskipun kepentingannya pada hidrolisis beberapa obat yang
mengandung ester seperti SCh, kepentingan fisiologis plasma kolinesterase
belum dapat ditegakkan (Pantuck, 1 993).
Metabolit Jnislal SCh. suksinilmonokolin, merupakan penghambat
neuromuskuler yang jauh lebih lemah (potensinya 1/20 sampai 1/80) daripada
obat pendahulunya. Suksinilkolin dihidrolisa berkelanjutan menjadi asam suksinik
dan kolin. Hidrolisa cepat membuatnya sulit unluk mendapatkan data
farmakokinetik untuk suksinilkolin. Meskipun demikian, berdasrkan teknik
torniquet isolasi, sepertinya bahwa sejumlah SCh signifikan masih bersirkulasi 3
menit setelah injeksi obat (Holst-Larsen. 1976).
Plasma kolinesterase memiliki kapasilas besar menghidrolisa SCh pada
tingkat yang cepat, sehingga hanya fraksi kecil dosis obat IV asli yang
sebenarnya mencapai NMJ. Karena plasma kolinesterase tidak ada pada jumlah
yang signifikan di NMJ, blokade neuromuskuler yang dibentuk oleh SCh diakhiri
dengan difusinya jauh dari NMJ kc dalam cairan ckstraseluler. Oleh karena itu,
plasma kolinesterase mempengaruhi 1 durasi aksi SCh dengan mengatur jumlah
agen penghambat neuromuskuler yang dihidrolisa sebelum mencapai NMJ.
Gambar 8-9. Durasi singkat aksi suksinilkolin secara prinsip karena hidrolisis
cepalnya di dalam plasma oleh enzim kolinesterase untuk mengafctifkan
metabolit.
Gambar 8-10. Durasi blokade neuromuskuler yang disebabkan suksinilkolin
sejajar aktifitas enziin kolinesterase plasma. (Dan Viby-Morgensen J. Korelasi
durasi aksi suksinilkolin dengan aktifitas kolinesterase plasma pada subyek
dengan enzim normal secara genoti pi kal. Anesthesiology 1980;53:5 IT-520;
dengan izin.)
Disritmia jantung
Sinus bradikardi, ritme pertemuan, dan bahkan gagal sinus dapat
mengikuti pemberian SCh. Efek jantung ini mencerminkan aksi SCh pada
reseptor kolinergik muskarinik jantung di mana obat meniru efek fisiologis
asetilkolin. Disritmia jantung paling mungkin terjadi ketika SCh dosis kedua
diberikan kira-kira 5 menit setelah dosis pertama. Hubungan pada dosis kedua ini
menunjukan kemungkman peran metabolit SCh (suksinilmonokolin dan kolin)
dalam menyebabkan bradikardi (Schoenstadt dan Witcher, 1963). Pemberian
atropin, 6 u.g/kg IV, tidak mencegah perlambatan denyut jantung dalam respon
terhadap dosis kedua SCh (Stoelting, 1977).
Kebalikan dari aksi pada reseptor kolinergik muskarinik jantung, efek SCh
pada ganglia sistem saraf otonom dapat menyebabkan stimulasi ganglionik dan
berhubungan dengan peningkatan denyut jantung dan tekanan darah sistemik.
Stimulasi ganglionik mencerminkan efek SCh pada ganglia otonom yang
menyerupai efek flsiologis asetilkolin pada tempat ini.
Hiperkalemi
Hiperkalemi dapat terjadi setelah pemberian SCh pada pasien dengan (a)
distrofi otot yang tidak dikenali secara klinis, (b) luka bakar derajat tiga yang tidak
sembuh, (c) denervasi yang menyebabkan atrofi otot skeletal, (d) trauma berat
otot skeletal, dan (e) lesi neuron motor atas (Cooperman et al., 1970; Gronert
dan Theye, 1975; Sullivan et a!., 1994; Tobey, 1970). Infeksi abdominal berat
dihubungkan dengan pelepasan potasium yang disebabkan SCh (Koblschutter et
al., 1976). Potensial untuk pelepasan potasium berlebihan setelah denervasi
dapat berkembang dalam 96 jam dan dapat menetap selama jangka waktu yang
tidak dapat ditetapkan sampai dengan 6 bulan atau lebih (Gb. 8-12) (John et al.,
1976). Tidak terdapat bukti hiperkalemi yang disebabkan SCh pada pasien
dengan penyakit Parkinson, cerebral palsy, atau myelomeningocele, atau yang
menjalani pembedahan aneurisma otak (Dierdorf et al., 1985; DJerdorf et al.,
1986: Mannien et al., 1990; Muzzi et al., 1989). Pretreatment dengan dosis
subparalisa agen pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi tidak mempengaruhi
besarnya pelepasan potasium. Hiperkalemi (> 5.5 mEq/L) yang sebelumnya ada
berhubungan dengan gagal ginjal dan pada ketiadaan paralisa otot skeletal tidak
berhubungan dengan peningkatan resiko pelepasan potasium akut setelah SCh
dosis intubasi (Schow et al., 2002).
Gambar 8-12. Perubahan pada konsentrasi potasium (K-*-) plasma mulai 4 hari
setelah cedera denervasi pada hewan, sedangkan rneningkat sampai puncaknya
terjadi 14 hari setelah cedera. (CI, jarak kepercayaan.) (Dari John DA, Tobey RE,
Homer LD, 6t al. Onset hiperkalemi yang disebabkan soksiiiilkolin selelah
denervasi. Anesthesiologi 1976;45.'294-299; dengan izin.)
Mioglabinuria
Kerusakan pada otot skeletal dltunjukan dengan adanya mioglobinuria
setelah pemberian SCh, terutama pada pasien pediatri (Ryan et al., 1971).
Rupanya mioglobinuri mencerminkan kerusakan otot skeletal yang berhubungan
dengan fasikulasi yang disebabkan SCh. Untuk alasan yang tidak jelas,
mioglobinuri jarang terjadi pada dewasa yang menerima SCh.
Gambar 8-14. Suksinilkolin, 1 mg/kg IV, ketika diberikan kepada pasien dengan
cedera neurologis (nilai median skala koma Glasgow 6) iidak merubah tekanan
intrakranial rata-rata (ICP). (Dari Kovarik WD, Mayberg TS, Lam AM, et al.
Suksinilkolin tidak merubah tekanan Jntrakranial, kecepatan aliran darah otak.
Anesth Analg l994;78:469-473; dengan izin.)
Klirens
Isomer cis-trans dan trans-trans mivacurium dihidrolisa oleh kolinesterase
plasma pada kecepatan yang setera dengan 88% pada SCh (Gb. 8-41)
(Savarese et al., 1988). Hidrolisis kedua isomer ini bertanggung jawab atas
durasi aksi mivacurium yang singkat, sedangkan isomer cis-cis, yang kekurangan
efek pemblokir neuromuskuler yang signifikan pada NMJ, tidak tergantung pada
hidrolisis oleh kolinesterase plasma, dan dibersihkan pada kecepatan yang mirip
dengan agen pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi aksi sedang (Lien et al.,
1994). Metabolit yang dihasilkan dari hidrolisis mivacurium termasuk alkohol
amino quaternary dan monoester quaternary, yang diduga menjadi inaktif di NMJ.
Kecepatan hidrolisis mivacurium oleh kolinesterase plasma tergantung pada
konsentrasi mivacurium di plasma. Maka, semakin besar konsentrasi
mivacurium, semakin cepat kenisakannya, dan tidak seperti respon yang terlihat
dengan agen pemblokir neuromuskuler lainnya, meningkatkan dosis memiliki
sedikit pengaruh pada durasi aksi. Klirens isomer poten mivacurium lebih cepat
pada pasien yang lebih muda, yang mana konsisten dengan kebutuhan infus
mivacurium yang lebih besar pada anak-anak (Markakis et al., 1998).
GAMBAR
Gambar 8-41. Perkiraan jalur metabolisme mivacurium. (Dari Savarese JJ, AH
HH, Basta SJ, et al. Farmakologi neuromuskuler klinik mivacurium klorida (BW
B109OU). Obat pemblokir neuromuskiller ester nondepolarisasi aksi singkat.
Anesthesiologi 1988;68:723-732; dengan izin.)
Kolinesterase Plasma Atipikal
Hidrolisis mivacurium menurun dan durasi aksinya meningkat pada pasien
dengan kolinesterase plasma atipikal {Goudsouzin et al., 1993; Maddineni dan
Mirakhur, 1993; Petersen et al., 1993). Pada pasien ini, dosis normal mivacurium
menyebabkan blokade neuromuskuler yang kuat. Pemberian kolinesterase
plasma manusia telah ditemukan efektif dalam mengantagonis blokade
neuromuskuler yang kuat ini berkebalikan dengan ketidakefektifan obat
antikolinesterase (Ostergaard et al., 1995).
Penghambatan Aktifitas Kolinesterase Plasma
Flouride adalah penghambat poten kolinesterase plasma menunjukan
bahwa pembentukan flouride, seperti dan metabolisme florinasi anestetik volatil,
terutama sevoflurane, dapat mempengaruhi kecepatan hidrolisis mivacurium.
Meskipun demikian, konsentrasi flouride yang sebanding dengan 100 μ mol/L
tidak merubah waktu paruh in vitro isomer cis-trans dan trans-trans mivacurium
(Gruber et al., 2002).
Pancuronium lebih mempotensiasi mivacurium daripada agen pemblokir
neuromuskuler nondepolarisasi lainnya karena menempati reseptor asetilkolin
postsinaptik dan juga memperlambat hidrolisis mivacurium dengan menghambat
aktifitas kolinesterase plasma. Jelas, pemberian mivacurium diikuti injeksi
pancuronium menyebabkan pemanjangan durasi aksi mivacurium (Erkola et al.,
1996). Bahkan, dosis pancuronium subparalisis menurunkan aktifitas
kolinesterase plasma dan menurunkan klirens dua isomer mivacurium yang
paling paling aktif (Motamed et al., 2003).
GAMBAR
Gambar 8-42. Pulih dari blokade neuromuskuler yang disebabkan mivacurium
diperpanjang pada pasien dengan penurunan aktifitas kolineslerase, seperti yang
dapat dikaitkan dengan sirosis hepatis (lingkaran kosong). Lingkaran penuh
menunjukan pasien normal, sedangkan lingkaran dengan titik menunjukan
pasien heterozigot. (Dari Devlin JC, Head-Rapson AG, Parker CJR, et al.
Farmakodinamik mivacurium klorida pada pasien dengan sirosis hepatis. Br J
Anesth 1993;71:227-231; dengan izin.)
Disfungsi Ginjal
Ekskresi ginjal tampaknya menjadi jalur minor untuk klirens mivacurium,
dengan perkiraan 7% dari dosis yang diberikan nampaknya tidak berubah di
dalam urin {Lacroix et al., 1997). Perbandingan efek blokade neuromuskuler
mivacurium pada pasien dengan atau tanpa gagal ginjal menunjukan
pemanjangan mivacurium yang tidak bermakna klinis pada pasien anefrik (Philips
dan Hunter, 1992). Pemanjangan ini dihubungkan dengan penurunan aktifitas
kolinesterase pada gagal ginjal. Pada laporan yang lain, pemanjangan blokade
neuromuskuler diteliti setelah pemberian mivacurium kepadapasien gagal ginjal
(Mangaret al., 1993).
GAMBAR
Gambar 8-43. Dosis neuromuskuler dan kardiovaskuler yang respon terhadap
mivacurium setelah injeksi lebih dari 10 sampai 15 detik (kecuali di mana
ditunjukan sebagai 30 detik). (Dari Savarese JJ, All HH, Basta SJ, et al. Efek
kardiovaskuler mivacurium klorida [BW I09OU] pada pasien yang menerima
anestesi nitro oksi da-op i at-barbiturat. Anesthesiologi 1989;70:386-394; dengan
izin.)
Disfungsi Hepatik
Kecepatan onset blokade neuromuskuler yang disebabkan mivacurium
mirip pada pasien normal dan yang dengan sirosis hepatis, tetapi durasi aksi
mivacurium diperpanjang pada pasien yang penyakit heparnya berhubungan
dengan penurunan aktifitas kolinesterase plasma (Gb, 8-42) (Devlin at al., 1993).
Sebaliknya, peningkatan volume cairan ekstraseluler yang terjadi pada sirosis
berat dapat menyebabkan peningkatan volume distribusi mivacurium (mirip
dengan pancuronium dan atracurium). Peningkatan volume distribusi ini dapat
menyebabkan blokade neuromuskuler lebih lemah yang akan tampak secara
klinis resisten terhadap efek agen pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi
(respon yang mirip telah diamati dengan pancaronium dan atracurium) (Devlin et
al., 1993).
Antagonisme Farmakologis
Pemulihan spontan dari efek blokade neuromuskuler mivacurium adalah
cepat, dan kebutuhan antagonisme farmakologis dipertanyakan (Naguib et al.,
1996; Pollard, 1992). Selain itu, neostigmine menurunkan aktifitas kolinesterase
plasma sangat besar dan maka dapat mengganggu pemulihan spontan cepat
yang normal dari blokade neuromuskuler yang disebabkan mivacurium (lihat Gb.
8-11) (Devcic et al., 1995). Meskipun demikian, tingkat menegah blokade
neuromuskuler yang disebabkan mivacurium diantagonis dengan segera oleh
andkolinesterase seperti neostigmine (Savarese et al., 1988). Edrophonium
memberikan antagonisme yang lebih cepat pada blokade neuromuskuler yang
disebabkan mivacurium yang dalam daripada neostigmine (Devcic et al., 1995).
Efek Kardiovaskuler
Respon kardiovaskuler terhadap mivacurium minimal pada dosis sampai
dengan 2 x ED95{Gb. 8-43) (Savarese et al.. 1989). Pemberian mivacurium 3 x
ED95 lebih dari 10 sampai 15 detik membangkitkan pelepasan histamin yang
cukup untuk sementara menurunkan tekanan arteri rata-rata 13% sampai 18%
(lihat Gb. 8-43) (Savarese et al., 1989). Hipotensi lebih sering dan lebih nyata
pada pasien hipertensi daripada normotensi (Plaud et al., 2002).
Bronkospasme
Meskipun mivacurium bukan merupakan pelepas histamin yang poten,
kemungklnan pelepasan histamin dan bronkospasme merupakan perhatian,
terutama pada pasien dengan penyakit jalan nafas reaktif. Pengalaman
anekdotal dan analisa data yang diberikan kepada administrasi makanan dan
obat menyarankan peringatan pada pemberian mivacurium yang cepat kepada
pasien dengan asma yang membutuhkan pengobatan aktif (Bishop et al., 2003).
Luka Bakar
Aktifitas kolinesterase plasma menurun karena luka bakar, dan mungkin
efek ini dapat menghalau resistensi yang diperantarai reseptor terhadap efek
agen pemblokir neuromuskuler nondepolarisasi, menyebabkan kekurangan
resistensi terhadap mivacurium. Jelas, mivacurium 0.2 mg/kg IV menyebabkan
efek yang mirip pada pasien yang terbakar dan tidak terbakar (Martyn et al.,
2000). Berkebalikan dengan peningkatan dosis kebutuhan untuk agen pemblokir
neuromuskuler nondepolarisasi lainnya, onset cepat paralisis dapat dicapai
dengan dosis normal mivacurium yang diberikan pada pasien luka bakar,
GW280430A
GW280430A adalah perwakilan agen pemblokir neuromuskuler
nondepolarisasi kelas baru yang dikarakteristikan sebagai klorofurmarat
campuran onium asimetris (Savarese et al., 2004). Obat ini mengalami
perusakan cepat di dalam plasma dengan hidrolisis kimia dan inaktifasi dengan
adduksi sistem, menyebabkan durasi aksi yang sangat singkat. Pada
sukarelawan, ED95 0.19 mg/kg, waktu onset depresi kejang 90% berkisar dari 1.3
sampai 2.1 menit, dan durasi berkisar dari 4.7 sampai 10.1 menit tergantung
pada dosis (Belmont et al., 2004). Efek kardiovaskuler transient menunjukan
pelepasan histamin terjadi ketika dosis GW280430A adalah 3ED95 atau lebih
besar.