10
KONSEP BERFIKIR
1. Penggunaan utama klinik kolinesterase
inhibitor, disebut juga antikolinesterase
adalah reverse terhadap pelumpuh otot non
depolarisasi.
2. Asetilkoline adalah neurotransiter yang
berada di dalam sistem saraf parasimpatis
(ganglion parasimpetetik dan sel effektor)
bagian dari sistem saraf simpatis (ganglion
simpatetik, medulla adrenal dan kelenjar
keringat), beberapa ganglion pada sistem
saraf pusat dan innervasi saraf somatik otot
skeletal.
3. Transmisi neuromuskular terblok ketika
pelumpuh otot nondepolarisasi berkompetisi
dengan asetilkolin untuk berikatan dengan
reseptor kolinergik nikotinik. Kolinesterase
inhibitor
secara
tidak
langsung
meningkatkan kadar asetilkolin yang
tersedia untuk berkompetisi dengan obat
nondepolarisasi, selanjutnya transmisi
neuromuskular akan pulih.
4. Pada
dosis
yang
berlebihan,
asetilkolinesterase inhibitor dapat bekerja
berlawanan,
berpotensiasi
terhadap
pelumpuh otot nondepolarisasi . pada
penambahan, obat ini memperpanjang
blockade depolarisasi suksinilkoline.
Penggunaan utama klinik kolinesterase
inhibitor, disebut juga antikolinesterase adalah
untuk reverse pelumpuh otot nondepolarisasi.
Bagaimanapun juga kolompok obat ini memiliki
efek terhadap reseptor kolinergik di luar end
plate neuromuscular.
Bab ini membahas
farmakoligi kolinergik, mengupas tentang
5. Beberapa
pemanjangan
mula
kerja
pelumpuh otot nondepolarisasi disebabkan
insufisiensi ginjal dan hati yang mungkin
pula menambah durasi kerja obat
kolinesterase inhibitor.
6. Waktu yang dibutuhkan untuk memulihkan
block nondepolarisasi secara penuh
bergantung
pada
beberapa
factor
diantaranya pemilihan dan dosis pemberian
kolinesterase
inhibitor
,
antagonis
pelumpuh otot dan luasnya block sebelum
reverse.
7. Obat reverse sebaiknya diberikan secara
rutin pada pasien yang mendapat pelumpuh
otot non depolarisasi kalau ingin
menunjukan reverse yang penuh atau
rencana operasi yang mempertahankan
intubasi dan ventilasi.
8. Dalam memonitoring pasien selama
pemulihannya dari blockade neuromuscular,
dianjurkan memberikan rangsangan tetanus
selama 5 menit dengan stimulasi 100Hz
pada pasien teranestesi atau dengan
mengangkat kepala pada pasien yang sadar.
Jika tidak berhasil pasien harus diintubasi
ulang dan ventilasi diteruskan.
FARMAKOLOGI
KOLINERGIK
Sebutan kolinergik bersumber dari efek
neurotransmitter asetilkolin, seperti efek yang
berlawanan dengan adrenergic, noradrenalin
(norepineprine). Asetilkolin di sintesa pada
ujung saraf oleh enzyme kolin asetiltransferase,
dengan reaksi katalisa dikedua asetilkoenzym A
dan kolin (gambar 10-1) setelah itu lepas,
asetilkolin akan cepat terhidrolisa oleh
asetilkolinesterase (kolinesterase sesungguhnya)
kedalam asetat dan kolin.
Asetilkolin adalah neurotransmitter pada
sistem
saraf
parasimpatis
(ganglion
parasimpatetik dan sel effektor) bagian dari
system saraf simpatis ( ganglion simpatetik,
medulla adrenal dan kelenjar keringat) beberapa
neuron dalam sistem saraf pusat dan inervasi
saraf somatic otot skeletal (gambar 10-2).
Reseptor kolinergik memiliki subdivisi
kedalam dua kelompok besar yang bergantung
pada reaksinya pada alkaloid muskarinik dan
nikotinik (gambar 10-3). Stimulasi nikotinik
pada ganglia autonomic dan reseptor otot
skeletal (reseptor) nikotinik, sedangkan aktifitas
muskarinik pada sel effektor ujung organ pada
otot polos bronchial, kelenjar ludah dan
sinoatrial node (reseptor muskarinik ). Reseptor
nikotinik di block oleh pelumpuh otot
nondepolarisasi
(lihat bab 9) dan reseptor
muskarinik diblock oleh obat antikolinergik
seperti sulfas atropine (lihat bab 11). Walaupun
reseptor nikotinik dan muskarinik berbeda
terhadap responnya terhadap beberapa agonis
(cth. Nikotin, muskarin) dan beberapa antagonis
(cth, pankuronium, atropine) keduanya respon
terhadap asetilkonlin (table 10-1). Tujuan utama
reversal pelumpuh otot adalah memaksimalkan
transmisi nikotinik sementara efek samping
muskarinik minimal.
MEKANISME KERJA
Transmisi neuromuscular bergantung pada
asetilkolin yang terikat pada reseptor kolinergik
nikotinik pada motor end plate. Pelumpuh otot
nondepolarisasi
berkompetisi
dengan
asetilkolin untuk berikatan pada sisi ini.
Selanjutnya
terjadi
hambatan
transmisi
neuromuscular. Reversal block bergantung pada
diffuse gradual, redistribusi, metabolisme dan
ekskresinya pelumpuh otot dari tubuh (reversal
spontan) atau dengan pemberian obat-obat
reversal tertentu (reversal farmakologi).
Kolinesterase inhibitor secara tidak langsung
meningkatkan jumlah asetilkolin yang ada untuk
berkompetisi
dengan
pelumpuh
otot
nondepolarisasi, selanjutnya neurotransmitter
akan pulih kembali.
Kolinesterase inhibitor di-inaktif oleh
asetilkolinesterase melalui ikatan enzym
reverse. Stabilitas ikatan yang berpengaruhi dan
durasi kerja : daya tarik elektrostatik dan ikatan
hydrogen terhadap edrophonium yang bekerja
singkat, ikatan kovalen neostigmin dan
pyridostigmin yang terakhir lebih panjang. Efek
klinik
durasi
kolinesterase
inhibitor,
bagaimanapun kemungkinan lebih dipengaruhi
oleh jumlah obat yang sampai diplasma.
Perbedaan pada durasi
dipengaruhi dosis
pemulihan. Kolinesterase inhibitor reversible
juga dipergunakan untuk mendiagnosa dan
mengobati myasthenia gravis.
Organofospat,
kelompok
lain
kolinesterase inhibitor. Bentuknya sangat stabil
dan ikatannya dengan enzim bersifat
irreversible. Penggunaan organofospat , seperti
ekotiopat, untuk pengobatan glukoma yang
menghasilkan
pemanjangan
blockade
suksinilkolin, sebab obat ini juga menghambat
pseudokolinesterase (kolinesterase plasma, lihat
bab 38).
Mekanisme
kerja
lain
dari
asetilkolinesterase menghambat aktifitas kerja
Pertimbangan Klinik
Efek neostigmin (0.04mg/kg) biasanya terlihat
dalam 5 10 menit dan lebih dari sejam. Pada
pasien pediatrik dan orang tua terlihat lebih
sensitif terhadap efek ini, pengalaman onset
yang lebih cepat pada pemberian dosis yang
lebih kecil. Durasi obat memanjang pada pasien
geriatri. Efek samping muskarinik akan minimal
dangan pemberian obat antikolinergik yang
bersamaan. Mula kerja glikopirolat (0.2mg
glikopirolat dalam 1mg neostigmin) mirip
seperti neostigmin yang menyebabkan sedikit
takikardi pada pemberian bersama atropin
(0.4mg atropin dalam 1 mg neostigmin). Telah
dilaporkan neostigmin dapat melewati sawar
plasenta pada bayi yang menyebabkan
bradikardi. Selanjutnya atropin merupakan obat
antikolinergik pilihan dari pada pasien gravida
yang menerima neostigmin. Neostigmin juga
dipergunakan untuk pengobatan miastenia
gravis, atonia kandung kemih dan ileus paralitik.
Neostigmin (50-100g) telah dipergunakan
sebagai tambahan pada pemberian anestesi
intratekal yang memanjangkan blockade sensori
dan motorik, diperkirakan dengan inhibisi
sehingga
pelepasan
asetilkolin
terhenti.
Bagaimanapun juga, efek samping berupa mual,
muntah, sulit buang air besar, masa pulih yang
lebih lama dan bradikardi yang resisten terhadap
atropin,pada neostigmin dosis besar (200g)
PYRIDOSTIGMIN
Struktur Fisik
Pyridostigmin tersusun seperti neostigmin hanya
pada ammonium quarternary berikatan dengan
cincin phenol. Pyridostigmin seperti kovalen
neostigmin yang berikatan dengan kolinesterase
dan merupakan lipid solubility.
Dosis dan kemasan
Pyridostigmin potensinya seperlima dari
neostigmin dan mungkin diberikannya dalam
PHYSOSTIGMIN
Struktur Fisik
Physostigmin berupa amin tertiary yang
merupakan grub karbamat tetapi bukan
ammonium
quarternary.
Selanjutnya
physostigmin larutan dalam bentuk lemak dan
hanya tersedia sebagai obat kolinesterasi
inhibitor untuk penggunaan klinik yang dapat
melewati sawar darah otak.
Dosis dan Kemasan
Dosis physostigmin adalah 0.01-0.03mg/kg.
sediaannya dalam larutan yang mengandung
1mg/ml.
Pertimbangan Klinik
Physostigmin merupakan larutan lemak dan
masuk ke SSP yang berguna untuk mereverse
blockade nondepolarisasi. Dengan alasan yang
sama, physostigmin efektif untuk pengobatan
toksisitas kolinergik sentral yang disebabkan
atropin atau scopolamin ( lihat bab 11). Sebagai
tambahan, physostigmin mereverse beberapa
depresi SSP dan delerium yang ditimbulakan
benzodiazepin
dan volatile anestesi.
Physostigmin (0.04mg/kg) menunjukan efektif
dalam mencegah menggigil setelah operasi.
Dilaporkan physostigmin merupakan antogonis
morphin yang menyebabkan depresi pernafasan,
sepertinya disebabkan morphin mengurangi
lepasnya asetilkolin di dalam otak. Efek ini
bersifat sementara, dosis ulangan mungkin
diperlukan. Bradikardi jarang terjadi pada
pemberian dosis yang tepat. Tetapi atropin atau
DISKUSI KASUS:
GAGAL NAFAS
DI RUANG PEMULIHAN
Wanita ,66 tahun dengan berat badan 85 kg
dibawa ke ruang pemulihan setelah menjalani
operasi cholecystectomy. Dia menerima teknik
anestesi
diantaranya
isofluran
dan
pancuronium untuk pelumpuh otot. Kesimpulan
prosedur yang dijalankan, anestesiologist
memberikan morphin 6 mg untuk pengontrolan
nyeri post opersi dan 3mg neostigmin dengan
0.6mg glikopirolat untuk mereverse sisa
blockade neuromuskular. Dosis kolinesterase
inhibitor sudah sesuai petunjuk dasar klinikal.
Walaupun ia sudah nafas spontan secara
normal saat tiba di ruang pemulihan, volume
tidal pasien secara cepat menurun. Analisa gas
darah arteri menunjukan PaCO2 62mmHg,
PaO2 110mmHg dan pH 7.21 dengan FiO2
(fraksi oksigen inspirasi) 40%.
Obat yang mana yang dapat menjelaskan
mengapa pasien ini mengalami hipoventilasi.
Isofluran,
morphine
sulfat
dan
pancuronium semua intervensi dengan pasien
menjaga respon ventilasi yang normal pada
peningkatan PaCO2.
Mengapa pernafasan pasien memburuk saat di
ruang pemulihan.
Hal
yang
mungkin
termasuk
memperlambat onset kerja morphine sulfat,
resiko