Anda di halaman 1dari 15

TUGAS BACA

SEMESTER 1
APRIL 2021

NEUROMUSCULAR BLOCKING AGENTS

Disarikan dari buku: Morgan & Mikhail’s. Clinical Anesthesiology;


6th Ed. 2018 Chapter 11 p348-386

Oleh:
ANGELINE SOEPARTO

Peserta PPDS I Anestesiologi & Terapi Intensif


FKKMK UGM / RSUP Dr.Sardjito, Yogyakarta

Pembimbing Moderator

Yunita Widyastuti, dr. SpAn, M.Kes, KAP, Dr. Djayanti Sari, dr, SpAn, M.Kes, KAP
PhD

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FKKMK UGM / RSUP DR SARDJITO - YOGYAKARTA
2021
ABSTRAK

Obat penghambat neuromuskular merupakan obat yang sering digunakan dalam anestesia,
terutama dalam tindakan intubasi. Terdapat dua jenis obat penghambat neuromuskular yaitu
depolarisasi dan non-depolarisasi. Obat penghambat neuromuskular depolarisasi berkerja
sebagai agonis reseptor asetilkolin, sedangkan penghambat neuromukular non-depolarisasi
sebagai antagonis kompetitif. Contoh obat penghambat neuromuskular jenis depolarisasi
adalah suksinikolin dengan onset yang cepat dan durasi kerja yang singkat. Sedangkan contoh
obat penghambat neuromuskular jenis non-depolarisasi adalah rocuronium, atracurium, dan
pancuronium yang lebih banyak digunakan secara luas.

ABSTRACT

Neuromuscular blocking agents are drugs that are often used in anesthesia, especially for
intubation. There are two types of neuromuscular blocking drugs, depolarizing and non-
depolarizing. Depolarizing muscle relaxants act as acetylcholine (ACh) receptor agonists,
whereas nondepolarizing muscle relaxants function as competitive antagonists. An example of
a depolarizing type of neuromuscular blocking agent is succinylcholine with a rapid onset and
short duration of action. While examples of non-depolarizing neuromuscular blocking agents
are rocuronium, atracurium, and pancuronium which are more widely used.
BAB I

1. Pendahuluan
Relaksasi dari otot dapat dihasilkan dari dengan inhalasi anestesi yang dalam, regional
nerve block, atau dengan agen penghambat neuromuskular. Terdapat dua jenis obat
penghambat neuromuskular yaitu depolarisasi dan non-depolarisasi. Obat penghambat
neuromuskular depolarisasi berkerja sebagai agonis reseptor asetilkolin, sedangkan
penghambat neuromukular non-depolarisasi sebagai antagonis kompetitif. Karena
penghambat neuromuscular depolarisasi tidak di metabolisme oleh asetilkolinesterase,
maka akan berdifusi menjauh dari jembatan neuromuscular dan terhidrolisis di plasma dan
hati oleh enzim ‘lain, pseudokolinesterase. Penghambat neuromuscular sendiri memiliki
kemampuan paralitik yang menyerupai asetilkolin. Contohnya pada suksinilkolin
mengandung 2 molekul asetilkolin yang bergabung,

1.1. Tujuan
1.1.1. Memahami jenis dan farmakologi obat-obat penghambat neuromuskular.

1.2. Manfaat
1.2.1. Manfaat untuk penulis: meningkatkan pemahaman tentang jenis dan farmakologi obat
penghambat neuromuskular.
1.2.2. Manfaat untuk pembaca: menjadi sumber bacaan sari pustaka yang ringkas mengenai
jenis dan farmakologi obat penghambat neuromuskular.
BAB II

2.Sari Pustaka
2.1 Transmisi Neuromuskular
Ketika terjadi potensiasi di ujung saraf, masuk ion kalsium melalui kalsium chanel
voltage gated menuju sitoplasma sel, sehinggqa melepaskan acetylcholine (Ach). Molekul Ach
ini berdifusi melewati sinaptik cleft untuk berikatan dengan reseptor nikotinik kolinergik pada
motor end-plate.
Setiap Ach reseptor memiliki 5 subunit protein, 2 subunit α, dan satu unit ß,δ,ε. Hanya
2 subunit α yg mengikat Ach. Channel akan terbuka apabila Ach pada satu sisi. Berbeda
dengan alfa, epsilon subunit terdapat pada otot fetus, menunjukan juga terdapat pada
extrajunctional. Kation memasuki channel reseptor Ach membuat potensial end-plate.
Membuat extraseluler terionisasi. Setelah potensial end-plate besar terdepolarisasi kuat maka
sodium chanel akan terbuka. Menyebabkan terlepasnya kalsium kedalam retikulum
sarkoplasma, yang menyebabkan berinteraksinya protein aktin dan myosin sehingga
menyebabkan kontraksi otot Ach pun meningkat.

Gambar 1. A: Struktur Reseptor B: Ikatan dari Ach ke reseptor di muscle end-plate


menyebabkan pembukaan channel dan peningkatan dari ion

Ach secara cepat terhidrolisa menjadi asetat dan kolin oleh substrat enzyme spesifik
asetilkolinesterase. Enzim ini menempel pada motor end plate membrane, sehingga
menyebabkan endplate terepolarisasi dan menyebabkan sodium channel dari membrane otot
menutup juga. Kalsium keluar dari reticulum sarkoplasma, kemudian otot relaksasi.
2.2 Perbedaan Blokade Depolarisasi dan Nondepolarisasi
Pelumpuh otot terbagi menjadi 2, depolarisasi dan nondepolarisasi. Berbeda di cara
kerja, respon terhadap stimulasi saraf, reverse blok.
Tabel 1. Depolarisasi dan Nondepolarisasi Pelumpuh Otot

2.3. Mekanisme Aksi


Depolarisasi pelumpuh otot menyerupai Ach yang menyebabkan potensial aksi dari
otot. Berbeda dengan Ach, obat ini tidak di metabolisme oleh asetilkolinesterase,
konsentrasinya tidak cepat hilang dalam synaptic cleft sehingga menyebabkan pemanjangan
depolarisasi pada motor end-plate. Depolarisasi end-plate yang terus menerus menyebabkan
relaksasi otot karena membukanya kanal sodium perijunctional. Setelah eksitasi awal dan
membuka, kanal sodium menutup dan tidak bisa dibuka lagi sampai repolarisasi end-plate.
End-plate tidak dapat repolarisasi selama pelumpuh otot depolarisasi berikatan dengan reseptor
Ach, disebut juga blok fase 1. Prolong depolarisasi yang terjadi di end-plate menyebabkan
perubahan pada reseptor Ach yang masih kurang di pahami yang menghasilkan blok fase 2,
secara klinis mirip dengan pelumpuh otot nondepolarisasi.
Pelumpuh otot nondepolarisasi bekerja sebagai kompetitif antagonis. Sebagi contoh
pada kondisi dimana berhubungan dengan sedikit reseptor Ach (penurunan regulasi pada
myasthenia gravis) menunjukan resistensi pada relaksan depolarisasi dan peningkatan
sensitivitas pada pelumpuh otot yang nondepolarisasi.

2.4 Mekanisme Lain dari Penghambat Pelumpuh Otot


Beberapa obat dapat mengganggu fungsi dari reseptor Ach tanpa beraksi sebagai agonis
atau antagonis. Penghambat pelumpuh otot tersebut mengganggu fungsi normal ikatan reseptor
Ach atau pada pintu masuk dan pintu keluar dari reseptor. Selama penutupan blokade saluran,
obat menempel pada saluran, dan mencegah lewatnya kation melewati saluran tersebut baik
Ach mengaktivasi reseptor maupun tidak. Penghabat saluran pintu masuk tergantung dari
penggunaan, karena obat akan masuk dan menghalangi reseptor Ach hanya setelah terbuka
oleh ikatan Ach. Obat lain juga dapat megganggu pelepasan Ach di presinaps. Reseptor
prejuctional berperan dalam mobilisasi dari Ach untuk mempertahankan kontraksi otot.

2.5 Reversal dari Penghambat Neuromuskular


Karena pelumpuh otot depolarisasi seperti suksinilkolin tidak di metabolisme oleh
asetilkolinesterase. Proses terjadi dengan cepat, karena tidak ada agen spesifik yang tersedia
untuk menjadi reversal dari penghambat depolarisasi. Kecuali pada mivacurium, pelumpuh
otot nondepolarisasi tidak di metabolisme baik oleh asetilkoliesterase atau
pseudoasetilkolinesterase. Reversal dari blokade nondepolarisasi tergantung dari reseptor yang
tidak berikatan, redistribusi, metabolisme, dan eksresi dari relaksan dari tubuh atau penggunaan
dari agen reversal yang spesifik yang dapat menghambat aktivitas enzim asetilkolinesterase.
Jadi tidak ada obat yang dapat mereverse blokade depolarisasi. Kenyataaanya, kolinesterase
inhibitors dapat menyebabkan perpanjangan blokade yang dihasilkan agen penghambat
neuromuskular depolarisasi.

2.6 Respon Terhadap Stimulasi Saraf Perifer


Penggunaan stimulator saraf perifer untuk monitor fungsi neuromuskular. 4 pola dari
stimulasi elektrik dengan supramaksimal square wave pulse :
1. Tetany : Stimulus di jaga dari 50-100 Hz, biasa bertahan selama 5 detik;
2. Twich : denyut tunggal 0,2 ms lamanya;
3. Train of four : 4 denyutan selama 2 detik, masing-masing selama 0,2 ms
4. Double burst stimulation (DBS) : 3 short (0,2 ms) frekuensi tinggi stimulasi dibagi oleh
20 ms interval dan di ikuti 750ms berikutnya oleh 2 atau 3 impulse tambahan.
Kemampuan dari stimulus tetanik selama blockade nondepolarisasi parsial
meningkatkan respon disebut potensiasi posttetanik. Fenomena ini berhubungan dengan
peningkatan mobilisasi Ach.
2.7 Pelumpuh Otot Depolarisasi

Suksinilkolin

Merupakan satu-satunya obat yang digunakan untuk sekarang ini. Disebut juga
suxamethonium, terdiri dari 2 buah molekul Ach.
1. Metabolisme dan Eksresi
Onset yang cepat (30-60 detik) dan durasi yang pendek (kurang dari 10 menit).
Suksinilkolin memiliki volum distribusi yang kecil dikarenakan memiliki sifat mudah
larut dalam lemak. Begitu suksinilkolin masuk kedalam sirkulasi, sebagian besar di
metabolisme oleh pseudocholinesterase menjadi suksinilmonokolin.
2. Interaksi Obat
Efek dari pelumpuh otot dapat dapat dimodifikasi dari terapi obat bersama.
Suksinilkolin memiliki 2 interaksi khusus.

Tabel 2. Pontensi (+) dan Resistensi (-) dari penghambat agen neuromuskular oleh obat lain.

3. Dosis
Karena onset yang cepat, durasi yang singkat dan harga yang murah, orang
banyak yang menggunakan untuk intubasi pada orang dewasa. Dosis 1 -1,5 mg/kg
intravena. Dosis 0,5 mg masih dapat digunakan jika tidak digunakan untuk defasikulasi.
Dosis kecil ulangan 10 mg atau drip 1 g dalam 500 atau 1000ml dapat digunakan untuk.
Methylen biru digunakan untuk memberdakan dengan caira yang lainnya.
Karena suksinilkholin tidak larut dalam lemak, distribusinya terbatas ke
ekstaseluler. Anak2 memiliki ruangan ekstraseluler yang lebih besar. Sehingga dosis
yang diperlukan untuk anak anak lebih besar. Jika pada naka diberikan suksinil kolin
dengan dosis 4-5 mg /kg secara im tidak selalu terjadi paralysis komplit. Suksnil kholin
sebaiknya disimpan didalam lemari es (2-8 C), dan digunakan 14 hari setelah
dikeluarkan dari lemari es atau terkena paparan suhu ruangan.
4. Efek samping dan manifestasi klinis
• Kardiovaskuler • Kekakuan otot maseter
• Fasikulasi • Malignant hipertermia
• Hiperkalemia • Kontraksi otot
• Nyeri otot • Paralisis yang memanjang
• Penengkatan tekanan intragaster • Tekanan intrakranial
• Peningkatan tekanan intraokular • Pelepasan histamin

2.8 Pelumpuh Otot Nondepolarisasi


Terdapat beberapa macam, secara kimiawi terdiri dari benzylisoquinolines atau steroid.
Steroid dapat menyebabkan vagolitik sedangkan benzylisoquinolines menyebabkan pelepasan
histamin.

Tabel 3. Farmakologi pelumpuh otot nondepolarisasi

1. Kenyamanan untuk intubasi


ED 95 adalah dosis efektif pada 95% individu. Walaupun dosis yang lebih besar
dapat mempercepat onset, tapi dapat menyebabkan perpanjangan durasi pelumpuh otot.
Semakin besar potensi pelemas otot nondepolarisasi semakin lama onsetnya.
Pemberian 10 – 15 % dosis intubasi 5 menit sebelum dapat memberikan reseptor
yang cukup sehingga dapat mempercepat onset intubasi, 60 detik pada penggunaan
rocuronium atau 90 detik pelemas otot nondepolarisasi intermediate acting. Pemberian
dosis awal ini dapat menyebabkan gangguan dari fungsi respirasi dan dapat
menyebabkan penurunan saturasi oksigen, efek negatif ini lebih sering pada pasien
dewasa.
2. Kecocokan untuk intubasi
Untuk mencegah fasikulasi, 10 – 15 % dosis pelemas otot nondepol diberikan 5
menit sebelum suksinilkolin. Penggunaan tubokurarin dan rocuronium harus menjadi
perhatian; tubekurarin sudah tidak ada lagi di Amerika Serikat. Karena sifat antagonis
antara kebanyakan pelemas nondepol dan blok fase 1, dosis suksinil harus dinaikkan
menjadi 1,5 mg/kg.
3. Rumatan relaksasi
Diperlukan untuk memfasilitasi operasi, terutama operasi abdomen, atau
memerlukan kontrol ventilasi, monitoring dengan stimulator saraf membantu
mencegah berlebih atau kurangnya pelemas otot, adanya sisa pelemas otot pada ruang
perawaatan setelah operasi. Ketika menggunakan relaksan untuk rumatan, maka
kecepatan harus lebih cepat dari rata-rata untuk dapat mengembalikan transmisi
neuromuskuler.
Tabel 4. Karakteristik klinis dari pelumpuh otot nondepolarisasi

4. Potensi dengan agen anestesi inhalasi


Volatile mengurangi kebutuhan relaksan sampai 15 %. Untuk postsinaptik
augmentasi tergantung dari anestetik inhalasi ( desfluran>sevofluran>isofluran>
enfluran> halotan> N2O) dan kebutuhan relaksan ( pancuronium > vecuronium dan
atracurium). Volatil anestesi mempengaruhi afinitas dari pelemas otot nondepol telah
diketahui.
5. Potensi dengan pelumpuh otot nondepolarisasi lainnya
Kombinasi dengan relaksan lainnya (mivacurium dan pancuronium)
memberikan hasil yang lebih baik daripada tambahan pelemas otot. Hal ini dikarenakan
adanya kerusakan pada saat augmentasi.
6. Efek samping otonom
Dosis secara klinis, nondepolarisasi dapat dibedakan dari efeknya terhadap
nikotinik atau muscarinik kolinergik reseptor. Obat lama (tubokuronium dan
metokurine) menghambat ganglia otonom, menyebabkan peningkatan kontraktilitas
jantung, dan respon dari hipotensi dan stress pada operasi. Berbeda dengan pacuronium
yang menghambat reseptor vagal muskarinik sehingga menyebabkan takikardi. Semua
pelemas nondepolarisasi yang terbaru, atrakurium,cisatrakurium, mivakurium,
doxacurium vecuronium dan pipecuronium memberikan efek otonom yang signifikan
pada dosis yang direkomendasikan.
7. Pelepasan histamin
Menyebabkan spasme bronkhus, kulit kemerahan dan hipotensi karena
vasodilatasi perifer. Baik atrakurium maupun mivakurium dapat menyebabkan
pelepasan histamin, terutama pada dosis yang besar. Penyuntikan yang lambat dan H1
da H2 antihistamin sebelumnya menghilangkan efek ini.
8. Hepatic Clerance
Hanya pankuronium dan vecuronium yang metabolisme signifikan di hepar.
Vecuronium dan rocuronium bergantung dari ekskresi bilier. Gangguan liver
menyebabkan prolong dari pancuronium dan rocuronium sedikit efek pada vekuronium
dan tidak berefek pada pipekuronium. Atrakurium cisatracurium dan mivakurium
tergantung dari mekanisme diluar hepar. Penyakit liver yang berat tidak berefek pada
atrakurium tapi menurunkan metabolisme mivakurium.
9. Ekresi ginjal
Doxacurium, pancuronium, vecuronium dan pipecuronium diekresi di ginjal,
sehingga kerusakan ginjal memperlama kerjanya. Sedangkan atrakurium,
cisatrakurium dan mivakurium dan rocuronium tidak tergantung dari fungsi ginjal.

2.9 Karakteristik Farmakologi Secara Umum


Beberapa hal yang mempengaruhi pelumpuh otot nondepolarisasi adalah
temperature, keseimbangan asam basa, elektrolit, usia, interaksi obat, penyakit penyerta
dan kelompok otot tertentu.
2.10 Atrakurium
1. Struktr fisik
Memiliki quaternary group, struktur benzylisoquinolone mempengaruhi terhadap
degradasinya. Obat ini campuran 10 steroisomer.
2. Metabolisme dan eksresi
Tidak tergantung fungsi ginjal dan hati. Kurang dari 10% dieksresi tidak berubah
dengan jalur ginjal dan hepar. Proses yang mempengaruhi :
- Ester hydrolysis
Dikatalisasi oleh nonspesifik esterase, bukan oleh asetilkolinesterase atau
pseudokolinesterase.
- Hofmann elimination
Spontan nonenzim tergantung pH fisiologis dan suhu.
3. Dosis
Dosis 0,5 mg/kg iv, 30-60 menit untuk intubasi. Relaksasi intraoperative 0,25 mg/kg
initial, laly 0,1 mg/kg setiap 10-20 menit. Infuse 5-10 mcg/kg/menit efektif
menggantikan bolus. Lebih cepat durasinya pada anak dibandingkan dewasa. Tersedia
dengan sediaan cairan 10 mg/cc. disimpan dalam suhu 2-8OC, potensinya hilang 5 -10
% tiap bulan bila disimpan pada suhu ruangan. Digunakan dalam 14 hari bila terpapar
suhu ruangan.
4. Efek samping dan pertimbangan klinis
Atracurium mentrigger pelepasan histamine secara signifikan pada dosis diatas 0,5
mg/kg. Selain itu efek samping dari atrakurium yaitu hipotensi, takikardia, spasme
bronkus, toksisitas lauanosine, serta reaksi alergi. Selain itu atrakurium juga
dipengaruhi oleh suhu dan senstitivitas pada pH.

2.11 Cisatrakurium
Merupakan steroisimer dari atrakurium 4 x lebih poten. Atracurium mengandung kurang
lebih 15 % cisatrakurium.
1. Metabolisme dan eksres
Degradasi di plasma tergantung pH fisiologis dan suhu oleh Hofmann Eliminasi. Hasil
metabolitnya(monoadequaternary acrylate dan laudanosine) tidak memiliki efek
pelmas otot. Metabolisme dan eliminasi tidak tergantung fungsi hati dan ginjal. Usia
tidak mempengaruhi kerja.
2. Dosis
Dosis 0,1 – 0,15 mg/kg selama onset 2 menit untuk intubasi. Infus rata-rata 1,0 – 2,0
mcg/kg/menit. Equipoten dengan vecuronium dan lebih poten dari atracurium. Harus
disimpan didalam kulkas (2-8OC) dan harus digunakan paling lambat 21 hari setelah
terpapar suhu ruangan.
3. Efek Samping dan pertimbangan klinis
Berbeda dengan atrakurium, tidak ada histamin dalam plasma. Tidak mempengaruhi
denyut jantung atau tekanan darah, atau efek otonom, walaupun dosisnya 8 kali ED95.

2.12 Mivacurium
Merupakan short-acting benzylisoquinoline, pelumpuh neuromuskular nondepolarisasi.
1. Metabolisme dan eksresi
Dimetabolisme oleh pseudokolinesterase. Dapat terjadi efek yang memanjang pada
pasien dengan level pseudokolinesterase yang sedikit. Karena atipikal homozigot tidak
dapat memetabolisme mivacurium maka blokade dapat bertahan 3-4 hari.
Endrophonium lebih efektif dalam mereverse mivacurium dibandingkan neostigmin.
Walaupun mivakurium metabolismenya dan eksresinya tidak tergantung ginjal dan hati
tapi pada pasien dengan kelainan hati dan ginjal pada pasien hamil dapat memperlama
kerja mivacurium.
2. Dosis
Dosis intubasi 0,15-0,2 mg/kg. Dosis infus dapat ditingkatkan menjadi 4-10
mcg/kg/menit. Pada anak- anak memerlukan dosis yang lebih besar dibandingkan
dewasa. Mivakuranium memiliki shelf-life 18 bulan bila disimpan pada suhu ruangan.
3. Efek samping dan pertimbangan klinis
Efek pada jantung dikurangi dengan penyuntikan yang lambat lebih dari 1 menit. Pasien
dengan kelainan jantung dpat menurun tensinya bila diberikan dosis lebih besar dari
0,15 mg/kg. onsetnya (2-3 Menit) durasinya (20-30 menit) 2 – 3 kali lebih lama
dibandingkan fase 1 pada suksinilkolin.. anak onset dan dutasi lebih cepat dibandingkan
dengan dewasa. Cepatnya waktu kerja dapat diperlama dengan diberikan pancuronium
sebelumnya.
2.13 Pancuronium
Pancuronium mengandung C-struktur steroid dari 2 molekul Ach (relaksasi
bisquaternary). Pancuronium menyerupaai Ach sehingga mampu berikatan (namun tidak
mengaktivasi) reseptor nikotinik Ach.
1. Metabolisme dan eksresi
Dimetabolisme oleh hepar. Eksresi terutama pada ginjal 40%, sebagian oleh empedu
(10%). Eliminasi pancuronium melambat bila ada gagal ginjal. Pasien dengan sirosis
membutuhkan dosis awal yang besar tapi dosis rumatan yang kecil karena penurunan
plasma clearance.
2. Dosis
Dengan dosis 0,08 – 0,12 mg/kg pancuronium memberikan relaksasi adekuat untuk
intubasi 2 – 3 menit. Selama operasi dosis awal 0,04 mg/kg diikuti setiap 20 – 40 menit
dengan 0,01 mg/kg. Anak-anak membutuhkan dosis lebih besar. Sediaan cairan 1
sampai 2 mg/cc disimpan dalam suhu 2 – 8 0C dan stabil selama 6 bulan pada suhu
ruangan.
3. Efek samping dan pertimbangan klinis
Efek samping dari pancorunium adalah hipertensi, takikardi, aritmia, dan dapat terjadi
reaksi alergi.

2.14 Vecuronium
Vecuronium merupakan pancuronium tanpa quaternary methyl group (monoquateternary
relaksan).
1. Metabolisme dan eksresi
Tergantung dari eksresi empedu dan ginjal. Pemberian jangka panjang dapat
memperpanjang blokade neuromuskuler. Karena akumulasi metabolit 3-hidroksi,
perunbahan klirens obat atau terjadi polineuropati. Faktor risiko wanita, gagal ginjal,
terapi kortikosteroid yang lama dan sepsis. Efek pelemas otot memanjang pada pasien
AIDS . Toleransi dengan pelemas otot memperpanjang penggunaan.
2. Dosis
Dosis intubasi 0,08 – 0,12 mg/kg. Dosis 0,04 mg/kg diikuti 0,01 mg/kg setiap 15 – 20
menit. Drip 1 – 2 mcg/kg/menit. Usia tidak mempengaruhi dosis . Dapat memanjang
durasi pada pasien post partum. Karena gangguan pada hepatic blood flow. Sediaan 10
mg serbuk.
3. Efek samping dan manifestasi klinis
• Pada jantung dosis sampai 0.28 mg/kg tidak berefek pada jantung.
• Tidak terpengaruh pada pasien sirosis kecuali dosis sampai 0,15 mg/kg dapat
memperpanjang durasi.

2.15 Rocuronium
Merupakan analog steroid monoquaternary seperti vecuronium, dengan onsetnya lebih
cepat.
1. Metabolisme dan eksresi
Eliminasi terutama oleh hati dan sedikit oleh ginjal. Durasi tidak terpengaruh oleh
kelainan ginjal, tapi diperpanjang oleh kelainan hepar berat dan kehamilan. Baik
digunakan untuk infus jangka panjang (di ICU). Pasien orang tua menunjukan durasi
yang memanjang.
2. Dosis
Potensi lebih kecil dibandingkan relaksant steroid lainnya. Dosis 0,45 – 0,9 mg / kg iv
untuk intubasi dan 0,15 mg/kg bolus untuk rumatan. Intramuskular rokuronium ( 1
mg/kg untuk infant ; 2 mg/kg untuk anak kecil) memyebabkan pita suara adekuat dan
paralisis diafragma untuk intubasi hanya sampai 3 – 6 menit. Untuk drip 5 – 12
mcg/kg/menit. Dapat memanjang pada pasien usia tua.
3. Efek samping dan manifestasi klinis
Onset cepat hampir mendekati suksinilkolin. Diberikan 20 detik sebelum propofol dan
thiopental. Rocuronium (0,1 mg/kg) cepat (90 detik) dan efektif untuk prekurasisasi
dibandingkan suksinilkolin. Rocuronium memiliki tendensi vagolitik.

2.16 Pelumpuh otot terbaru


Gantacurium tergolong kedalam new class of nondepolarizing neuromuscular blocker
yang disebut cholorofumarate. Pada percobaan preklinikal, gantacurium menggambarkan
durasi aksi yang singkat, mirip dengan suksinilkolin. Pada dosis 0.2 mg/kg (ED95), onset aksi
diperkirakan 1 -2 menit, dengan durasi dari blockade mirip dengan succinylcholine. Durasi
aksi klinis berkisar 5-10 menit. Pada pemulihan dapat dipercepat dengan edrophonium, serta
administrasi dari cistein eksogen.
CW002 merupakan agen nondepolarisasi yang masih dalam tahap pengkajian. Dengan
bahan dasar benzylisoquinolinium fumarate ester serta durasi aksi intermediet yang melalui
metabolisme dan eliminasi yang mirip dengan gantacurium.
BAB III
KESIMPULAN

Obat penghambat neuromuskular bekerja terutama pada tautan neuromuskular dengan


mekanisme yang berbeda untuk jenis obat depolarisasi dan non-depolarisasi. Obat berjenis
depolarisasi menyebabkan desensitisasi reseptor asetilkolin nikotinik sedangkan obat non-
depolarisasi menjadi kompetitor antagonis asetilkolin untuk menduduki reseptor asetilkolin
sehingga terjadilah blockade neuromuskular. Kedua jenis obat ini memiliki efek lain yang
perlu dipertimbangkan dengan baik. Contoh obat penghambat neuromuscular yaitu
succinylcholine. Untuk pehambat neuromuskulat nondepolarisasi terdapat short acting
(mivacurium, gantacurium), intermediate acting (atracurium, cisatracurium, veruronium,
rocuronium), dan yang long acting (pancuronium).

Anda mungkin juga menyukai