Disusun Oleh :
Fharadhila Tajriyani 1102017092
Dosen Pembimbing :
dr. Titik Setyawati, Sp.An-KIC, M.Kes
dr. Agus Rukmana, Sp.An
Muscle Relaxant atau pelumpuh otot merupakan salah satu obat yang penting
dalam anestesi. Penggunaan muscle relaxant pada anesthesia klinis dikenalkan pada
tahun 1942 oleh Griffith dan Johnson. Pada saat ini, muscle relaxant merupakan bagian
yang tidak bisa ditinggalkan baik dalam anesthesia, intensive care dan emergency care.
Indikasi penggunaannya adalah untuk intubasi endotrachea, memfasilitasi pembedahan
dan immobilisasi dari pasien.
Muscle relaxant atau dikenal sebagai neuromuscular blocking agents ini
dikelompokkan menjadi 2, yaitu depolarisasi dan non-depolarisasi. Tempat aksi utama
dari Muscle Relaxant ini adalah pada nicotinic cholinergic reseptor pada endplate dari
otot dan pada presynaptic reseptor dari nervus terminal. Depolarisasi agent atau
succynilcholine menghasilkan depolarisasi pada endplate dan berikatan dengan
extrajunctional reseptor. Non-depolarisasi agent berkompetisi dengan acetylcholine
dalam berikatan dengan reseptor. Penggunaan muscle relaxant ini menghasilkan
paralisis bukan anesthesia. Dalam kata lain, muscle relaxant ini tidak berfungsi sebagai
sedatif, amnesia atau analgesia.
Penggunaan muscle relaxant ini sangat bermanfaat jika penggunaanya tepat, dan
apabila digunakan dalam dosis tidak tepat akan memungkinkan terjadinya kesakitan
atau kematian dari pasien Pada dosis tertentu obat ini menimbulkan relaksasi atau
kelumpuhan otot termasuk otot-otot pernafasan sehingga penderita tidak dapat
bernafas. Karena itu, pelumpuh otot harus diberikan oleh orang yang terlatih mengelola
jalan nafas. Selama kelumpuhan otot-otot pernafasan, pita suara juga membuka
sehingga memudahkan untuk tindakan intubasi, peristaltik dan gerakan usus juga
berhenti sehingga memudahkan operasi pada rongga perut. Karena mekanisme kerja
obat golongan ini menghambat transmisi neuro muskuler, maka diperlukan
pengetahuan mengenai farmakologi dari obat-obat muscle relaxant ini.
Puasa pra-bedah selama 12 jam atau lebih dapat menimbulkan defisit cairan (air
dan elektrolit) sebanyak 1 liter pada pasien orang dewasa. Mual muntah pasca-operasi
masih merupakan masalah yang sering kali terjadi pada pasien yang mengalami
pembedahan dalam anestesia umum. Sekitar 71 juta pasien per tahun menjalani
pembedahan di Amerika Serikat, dengan insidens kejadian mual muntah pasca-operasi
sekitar 20-30% dari seluruh pembedahan umum dan lebih kurang 70-80% pada
kelompok resiko tinggi.
Berbagai pendekatan dan juga investigasi klinis dilakukan untuk menurunkan
insidens kejadian mual muntah pascaoperasi. Uji klinis yang terbaru menunjukan
bahwa pendekatan multimodal dalam pemberian obat antiemetik mampu menurunkan
kejadian mual muntah serta mempercepat masa pemulihan. Metode pendekatan
multimodal ini menggunakan cara farmakologi dan non-farmakologi. Salah satu
pendekatan non-farmakolgi yang murah, mudah serta aman adalah mencukupi status
hidrasi.
Cairan perioperative meliputi cairan preoperatif, intraoperatif, serta postoperative.
Salah satu peran cairan perioperatif adalah mempertahankan keseimbangan asam-basa
serta kadar elektrolit dan gula darah yang normal, yang akan berpengaruh pada kondisi
akhir pasien.
Tujuan utama terapi cairan perioperatif adalah untuk mengganti defisit pra bedah,
selama pembedahan dan pasca bedah dimana saluran pencernaan belum berfungsi
secara optimal disamping untuk pemenuhan kebutuhan normal harian. Terapi dinilai
berhasil apabila pada penderita tidak ditemukan tanda-tanda hipovolemik dan
hipoperfusi atau tanda-tanda kelebihan cairan berupa edema paru dan gagal nafas.
Sampai saat ini terapi cairan dan elektrolit perioperatif masih merupakan topik yang
menarik untuk dibicarakan, karena dalam praktiknya, banyak hal yang sulit diukur atau
dinilai secara obyektif.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Succinylcholine Mivakurium
Intermediate Acting
Atrakurium
Cisatrakurium
Vekuronium
Rocuronium
Long Acting
Doxacurium
Pancuronium
Pipecuronium
2.1.4 Mekanisme Kerja Muscle Relaxant
Obat-obat Muscle Relaxant memiliki kemiripan dengan asetilkolin. Muscle
Relaxant depolarisasi sangat mirip dengan asetilkolin dan berikatan dengan reseptor
asetilkolin. Tidak seperti asetilkolin, obat ini tidak dimetabolisme oleh
acetylcholinesterase dan konsentrasinya pada celah sinaps tidak cepat menurun
sehingga menghasilkan depolarisasi prolong pada endplate dari otot. Depolarisasi yang
terus-menerus menyebabkan relaksasi dari otot karena pembukaan gerbang bawah
pada natrium channel di perijunctional terbatas waktunya. Setelah inisiasi awal dan
pembukaan, natrium channel tertutup dan tidak bisa dibuka lagi sampai terjadi
repolarisasi. End-plate tidak berepolarisasi selama muscle relaxant terus mengikat
asetilkolin reseptor, ini disebut dengan fase block I. Setelah itu, depolarisasi yang
prolong ini menyebabkan ionic dan perubahan pada asetilkolin reseptor yang disebut
dengan fase block II. Diikuti dengan relaksasi.
Non depolarisasi muscle relaxant mengikat asetilkolin reseptor sehingga
asetilkolin tidak berikatan dengan reseptornya dan tidak terjadi potensial aksi pada
end-plate. Ini disebut juga asetilkolin reseptor antagonist atau kompetitif.
a. Karakterisasi Obat
- Menyebabkan fasikulasi otot
- Efek meningkat oleh anticholinesterase agent
- Hipotermia
- Efek menurun dengan obat non depolarizing relaxant, anesthetic inhalation
- Serabut otot yang terdepolarisasi tidak merespon terhadap stimulasi
- Tidak bisa dilawan oleh neostigmin dan obat anticholinesterase yang lain
- Pada keadaan paralisis partial, alat monitoring neuromuskuler menunjukkan
depresi pada gerakan otot, tidak ada fasikulasi post titanic
- Diperkuat oleh isofluran, enfluran, alkalosis dan magnesium
- Dilawan oleh eter, halotan, asidosis ddan obat non depolarisasi
- Diasosiasi cepat yang konstan pada reseptor
- Pemberian berulang atau terus-menerus mengarah kepada blockade fase II
b. Struktur Fisik
Succinylcholine disebut juga diacetylcholine atau suxamethonium terdiri dari 2
molekul asetilkolin.
e. Efek Samping
o Cardiovascular
Stimulasi pada reseptor nikotinik pada parasimpatetik dan simpatetik ganglia dan
reseptor muskarinik di nodus SA pada jantung bisa meningkatkan atau menurunkan
tekanan darah atau denyut jantung. Dosis rendah dapat menyebabkan chronotropik
negatif dan efek inotropik, tetapi dosis tinggi umumnya menyebabkan peningkatan
denyut jantung dan kontraksi dan peningkatan kadar katekolamin.
o Hiperkalemia
Normalnya otot meelepaskan kalium selama depolarisasi dan menaikkan kadar
kalium serum 0,5meq/L. Peninggian kalium bisa menyebabkan cardiac arrest dan
kondisi lainnya.
o Nyeri Otot
Nyeri otot dapat dikurangi dengan pemberian pelumpuh otot nondepolarisasi dosis
kecil sebelumnya. Mialgia terjadi 90% , selain itu dapat terjadi mioglobinuria,
terutama otot leher, punggung dan abdomen.
o Peningkatan tekanan intragastric
Fasikulasi otot abdomen menyebabkan peningkatan tekanan intragastric dan juga
tonus sfingter bawah esophagus.
o Peningkatan tekanan intraocular
Peningkatan kontraksi pada otot extraocular menyebabkan peninggian TIO.
o Kekakuan otot masseter
Terjadinya kekakuan transier pada otot masseter menyebabkan susah membuka
mulut.
o Hipertermia Maligna
o Kontraksi Generalisasi pada pasien dengan myotonia.
o Prolonged Paralisis
o Peningkatan Tekanan Intrakranial
Succinylcholine pada beberapa pasien meningkatkan aliran darah serta tekanan
intracranial. Ini bisa dikontrol dengan menjaga airway serta hiperventilasi. Bisa
dicegah sebelumnya dengan nondepolarisasi agent dan lidocain (1,5-2mg/kgBB) 2-3
menit sebelum intubasi.
o Pelepasan Histamin
a. Karakteristik Obat
- Tidak menyebabkan fasikulasi otot
- Efek menurun oleh obat anticholinesterase, depolarizing agent, suhu tubuh yang
rendah, epinefrin, acetylcholine
- Efek meningkat oleh non-depolarizing drugs, volatile anestesi
Atrakurium
Cisatrakurium
Cisatrakurium merupakan isomer atracurium dengan potensi 3 kali lebih kuat.
Cisatracurium juga didegradasi dengan eliminasi Hoffman menjadi laudanosine, dan
asidosis serta hipotermia memperlambat metabolismenya. Namun, karena potensinya
lebih besar, cisatracurium diberikan dengan dosis lebih kecil, sehingga produksi
laudanosine lebih sedikit, pelepasan histamin lebih rendah, dan efek samping
kardiovaskuler lebih kecil. Penggunaannya di ICU terbatas karena onsetnya relatif
lambat (3-6 menit).
Mivakurium
Mivakurium merupakan benzylisoquino-line kerja singkat dengan onset
sebanding atracurium, tetapi dengan lama kerja sepertiganya, karena hidrolisis yang
cepat oleh pseudocholinesterase plasma. Gangguan fungsi ginjal atau hati dapat
menekan aktivitas pseudocholinesterase, sehingga menyebabkan tertundanya eliminasi.
Mivacurium dikaitkan dengan efek samping kardiovaskuler setelah pemberian dosis
kecil, tetapi hipotensi yang disebabkan pelepasan histamin, dapat terjadi setelah injeksi
bolus yang lebih besar. Informasi penggunaannya di ICU hanya sedikit dan tampaknya
tidak lebih menguntungkan dibanding atracurium.
- Metabolisme dan Ekskresi : Relaksans kerja lama dan poten ini mengalami tingkat
hidrolisis yang rendah oleh kolinesterase plasma. Seperti obat pelumpuh otot kerja lama
yang lain, rute utama eliminasinya adalah melalui ekskresi ginjal. Ekskresi
hepatobiliaris hanya sedikit berperan dalam klirens doxacurium.
- Dosis : Intubasi 0,05mg/kgBB durasi 5 menit
Intraoperatif relaksasi 0,02mg/kgBB inisial diikuti dosis 0,005
mg/kgBB
Pankuronium
Pankuronium merupakan turunan aminosteroid kerja panjang yang dimetabolisme
menjadi senyawa 3-hydroxypancuronium di hati dan kemudian dieliminasi sebanding
melalui urin dan empedu. Efek samping kardiovaskuler meliputi takikardi, hipertensi,
dan peningkatan curah jantung akibat hambatan vagus. Menimbulkan pembebasan
noradrenaline dan sebagian 30% dikeluarkan melalui ginjal, 25% ke system bilier.
Pipecuronium
Pipecuronium merupakan turunan aminosteroid dengan lama kerja yang lebih
panjang dibanding pancuronium dan terutama dieliminasi di ginjal. Tidak
menyebabkan pelepasan histamin dan dikaitkan dengan efek samping kardiovaskuler
yang minimal.
- Durasi meningkat pada pasien dengan gagal ginjal, tapi tidak dengan kelainan hepar
- Sedikit lebih potensial dibanding pancuronium
Vecuronium
Vecuronium merupakan turunan aminosteroid dengan lama kerja sedang.
Dimetabolisme oleh hati menjadi 3 metabolit aktif, yang semuanya dieliminasi oleh
ginjal. Efek samping kardiovaskuler minimal pernah dilaporkan pada penggunaan
vecuronium.
- Dosis : Intubasi 0,08-0,12 mg/kgBB dengan OOA 3-5 menit durasi 45-60
menit
Bolus rata-rata 0,1mg/kgBB, infuse 0,2 mikrogram/kg/jam
Kemasan suntik bubuk, 10mg/ml
- Efek samping : Tidak ada pengaruh terhadap sirkulasi, tidak ada efek
vagolitik
Tidak ada pelepasan histamin
Rocuronium
Rocuronium merupakan turunan aminosteroid dan kurang poten dibanding
vecuronium, tetapi mempunyai onset cepat dan lama kerja singkat hingga sedang.
Metabolit rocuronium hanya mempunyai 5% aktivitashambatanneuromuskulerobat
asal, sehingga tidak bermakna secara klinis. Rocuronium menawarkan keuntungan
dibanding vecuronium pada dosis bolus untuk intubasi trakeal di ICU, khususnya jika
succinylcholine dikontraindikasikan. Dieliminasi terutama oleh hati dan di- kaitkan
dengan sedikit efek samping kardiovaskuler.
Tubokurari
Adalah alkaloid derivat isoquinolin dari tanaman chondro dendron tomentosum.
Pada dosis terapetik akan menimbulkan paralisa otot mulai ptosis, diplopia (karena
relaksasi otot mata), relaksasi otot wajah, rahang, leher dan ekstremitas, kemudian otot
dinding abdomen, interkostal dan seterusnya diafragma, maka terjadilah kelumpuhan
pernapasan, sehingga penderita apnoe.
- Metabolisme dan Ekskresi : Eliminasi sebagian besar melalui ginjal (80%) dan
sebagian kecil (20%) melalui hepar. Karena itu tidak dapat digunakan pada pasien
dengan gagal ginjal. Hipotensi dan bradikardi dapat terjadi akibat pengaruh pada
ganglion para simpatik yang lebih kuat daripada simpatik.
- Onset : 3 menit bila diberikan i.v. (dosis intubasi) 10-15 menit bila diberikan secara
i.m.
Galamin
Galamin merupakan obat suntik dengan durasi yang lebih pendek dari
tubokurarin (15-20 menit). Mempercepat denyut jantung karena blokade vagal dan
stimulasi langsung pada reseptor beta. Karena itu baik untuk anestesi pada operasi yang
menimbulkan bradikardi, misalnya pembedahan bola mata. Sebaliknya pada penderita
takikardi sebaiknya tidak dipakai.
Alkuronium Kloride
Tujuan
Obat pelumpuh otot bermanfaat di ICU untuk berbagai kondisi klinik meliputi
intubasi emergensi, sindrom gawat napas akut, status asmatikus, peningkatan tekanan
intrakranial, peningkatan tekanan intraabdominal, dan hipotermia terapeutik setelah
henti jantung terkait fibrilasi ventrikel.
Menurut panduan ICU yang dipublikasikan Critical Care Medicine 2002, obat
pelumpuh otot harus digunakan untuk pasien dewasa di ICU untuk manajemen
ventilasi, manajemen peningkatan tekanan intrakranial, terapi spasme otot, dan
penurunan konsumsi oksigen hanya jika semua cara lain telah dicoba tanpa
keberhasilan (rekomendasi C).
Pemberian
Obat pelumpuh otot yang ideal untuk digunakan di ICU adalah obat yang
menyebabkan relaksasi otot dengan onset cepat, dapat dititrasi, dan lama kerja tidak
panjang agar dapat dilakukan penilaian neurologi berulang, tidak menyebabkan efek
buruk pada hemodinamik atau tidak menyebabkan efek samping kardiovaskuler dan
fisiologi lainnya, eliminasi tidak tergantung pada fungsi hati dan ginjal, tidak
menghasilkan metabolit aktif (metabolit dengan aktivitas penghambat neuromuskuler),
tidak berinteraksi dengan obat lain atau tidak ada kecenderungan berakumulasi, dan
stabil selama 24 jam untuk infus kontinu.
Staf ICU harus dilatih dalam pemberian dan monitoring obat pelumpuh otot.
Kontrol jalan napas yang adekuat, dukungan pernapasan mekanik, dan sedasi serta
analgesia yang adekuat adalah esensial sebelum mulai terapi obat pelumpuh otot. Harus
tersedia perlengkapan monitoring fungsi kardiorespirasi dan kemampuan menilai
derajat relaksasi otot. Pemilihan obat pelumpuh otot harus didasarkan pada karakteristik
individu setiap pasien:
Pasien dengan fungsi hati dan ginjal normal yang memerlukan relaksasi otot
lebih dari 1 jam: pancuronium.
Obat pelumpuh otot diberikan dengan infus kontinu atau injeksi intravena
intermiten. Obat pelumpuh otot kerja panjang cocok diberikan dengan injeksi
intermiten, sedangkan obat pelumpuh otot kerja singkat cocok diberikan secara infus
kontinu. Blokade neuromuskuler total (100%) tidak diperlukan untuk semua pasien,
tergantung situasi klinis. Lebih tepat memikirkan kontrol pasien dibanding besarnya
relaksasi otot pasien.
Efek Samping
Efek samping anafilaksis karena obat pelumpuh otot sangat jarang terjadi. Efek
samping kardiovaskuler dikaitkan dengan stimulasi atau hambatan sistem saraf otonom
dan efek vasodilatasi akibat pelepasan histamin. Obat dengan risiko komplikasi
kardiovaskuler terendah adalah cisatracurium, doxacurium, pipecuronium, rocuronium,
dan vecuronium.
Pemanjangan lama efek obat pelumpuh otot setelah penghentian obat disebabkan
oleh akumulasi obat dan/atau metabolit aktif, atau miopati akut. Pemanjangan lama
efek obat pelumpuh otot dapat menyebabkan sindrom miopati akut dengan hilangnya
filamen miosin selektif. Obat pelumpuh otot yang menghasilkan metabolit aktif adalah
pancuronium, vecuronium, dan atracurium. Kebanyakan kasus miopati terjadi setelah
pemberian terapi kombinasi corticosteroid dengan obat pelumpuh otot.
Air merupakan bagian terbesar pada tubuh manusia, persentasenya dapat berubah
tergantung pada umur, jenis kelamin, dan derajat obesitas seseorang. Pada bayi usia <1
tahun cairan tubuh adalah sekitar 80-85% berat badan dan pada bayi usia >1 tahun
mengandung air sebanyak 70-75%. Seiring dengan pertumbuhan seseorang persentase
jumlah cairan terhadap berat badan berangsur-angsur turun yaitu pada laki-laki dewasa
50-60% berat badan, sedangkan pada wanita dewasa 50% berat badan. Hal ini terlihat
pada tabel berikut :
Dikutip dari : Garner MW : Physiology and pathophysiology of the body fluid, St.
Louis, 1981, Mosby,
Perubahan jumlah dan komposisi cairan tubuh, yang dapat terjadi pada
perdarahan, luka bakar, dehidrasi, muntah, diare, dan puasa preoperatif maupun
perioperatif, dapat menyebabkan gangguan fisiologis yang berat. Jika gangguan
tersebut tidak dikoreksi secara adekuat sebelum tindakan anestesi dan bedah, maka
resiko penderita menjadi lebih besar. Seluruh cairan tubuh didistribusikan ke dalam
kompartemen ekstraseluler dibagi menjadi cairan intravaskular dan intersisial.
Cairan intraselular
Cairan yang terkandung di antara sel disebut cairan intraseluler. Pada orang
dewasa, sekitar duapertiga dari cairan dalam tubuhnya terdapat di intraseluler (sekitar
27 liter rata-rata untuk dewasa laki-laki dengan berat badan sekitar 70 kilogram),
sebaliknya pada bayi hanya setengah dari berat badannya merupakan cairan
intraselular.
Cairan ekstraselular
Cairan yang berada di luar sel disebut cairan ekstraselular. Jumlah relatif cairan
ekstraselular berkurang seiring dengan usia. Pada bayi baru lahir, sekitar setengah dari
cairan tubuh terdapat di cairan ekstraselular. Setelah usia 1 tahun, jumlah cairan
ekstraselular menurun sampai sekitar sepertiga dari volume total. Ini sebanding dengan
sekitar 15 liter pada dewasa muda cengan berat rata-rata 70 kg.
a. Cairan Interstisial
Cairan yang mengelilingi sel termasuk dalam cairan interstisial, sekitar 11-12 liter
pada orang dewasa. Cairan limfe termasuk dalam volume interstisial. Relatif terhadap
ukuran tubuh, volume ISF adalah sekitar 2 kali lipat pada bayi baru lahir dibandingkan
orang dewasa.
b. Cairan Intravaskular
c. Cairan Transeluler
Body
100%
Water Tissue
60% (100) 40%
Gangguan dalam keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan hal yang umum
terjadi pada pasien bedah karena kombinasi dari faktor-faktor preoperatif, perioperatif
dan postoperatif.
Faktor-faktor preoperative :
Diabetes mellitus, penyakit hepar, atau insufisiensi renal dapat diperburuk oleh stres
akibat operasi.
2. Prosedur diagnostic
3. Pemberian obat
Pemberian obat seperti steroid dan diuretik dapat mempengaruhi ekskresi air dan
elektrolit.
4. Preparasi bedah
Enema atau laksatif dapat menyebabkan peningkatan kehilangan air dan elektrolit
dari traktus gastrointestinal
Selama periode 6 jam restriksi cairan, pasien dewasa yang sehat kehilangan cairan
sekitar 300-500 mL. Kehilangan cairan dapat meningkat jika pasien menderita demam
atau adanya kehilangan abnormal cairan.
7. Defisit cairan yang telah ada sebelumnya
Faktor Perioperatif :
1. Induksi anestesi
4. Kehilangan cairan akibat evaporasi dari luka operasi (biasanya pada luka operasi
yang besar dan prosedur operasi yang berkepanjangan)
Faktor postoperatif :
Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dan menjadi pegangan dalam
pemberian cairan perioperatif, yaitu :
Hal ini dapat timbul akibat dipuasakannya penderita terutama pada penderita
bedah elektif (sekitar 6-12 jam), kehilangan cairan abnormal yang seringkali menyertai
penyakit bedahnya (perdarahan, muntah, diare, diuresis berlebihan, translokasi cairan
pada penderita dengan trauma), kemungkinan meningkatnya insensible water loss
akibat hiperventilasi, demam dan berkeringan banyak. Sebaiknya kehilangan cairan pra
bedah ini harus segera diganti sebelum dilakukan pembedahan.
a. Perdarahan
- Botol penampung darah yang disambung dengan pipa penghisap darah (suction
pump).
- Dengan cara menimbang kasa yang digunakan sebelum dan setelah pembedahan.
Kasa yang penuh darah (ukuran 4x4 cm) mengandung + 10 ml darah, sedangkan
tampon besar (laparatomy pads) dapat menyerap darah + 100 – 10 ml.
Pada setiap pembedahan selalu terjadi kehilangan cairan yang lebih menonjol
dibandingkan perdarahan sebagai akibat adanya evaporasi dan translokasi cairan
internal. Kehilangan cairan akibat penguapan (evaporasi) akan lebih banyak pada
pembedahan dengan luka pembedahan yang luas dan lama. Sedangkan perpindahan
cairan atau lebih dikenal istilah perpindahan ke ruang ketiga atau sequestrasi secara
masif dapat berakibat terjadi defisit cairan intravaskuler.
- Meningkatnya kadar hormon anti diuretik (ADH) menyebabkan terjadinya retensi air
dan reabsorpsi Na+ di duktus koligentes (collecting tubules) meningkat.
Defisit cairan karena persiapan pembedahan dan anestesi (puasa, lavement) harus
diperhitungkan dan sedapat mungkin segera diganti pada masa pra-bedah sebelum
induksi. Setelah dari sisa defisit yang masih ada diberikan pada jam pertama
pembedahan, sedangkan sisanya diberikan pada jam kedua berikutnya. Kehilangan
cairan di ruang ECF ini cukup diganti dengan cairan hipotonis seperti garam fisiologis,
Ringer Laktat dan Dextrose. Pada penderita yang karena penyakitnya tidak mendapat
nutrisi yang cukup maka sebaiknya diberikan nutrisi enteral atau parenteral lebih dini
lagi. Penderita dewasa yang dipuasakan karena akan mengalami pembedahan (elektif)
harus mendapatkan penggantian cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam lama puasa.
Defisit karena perdarahan atau kehilangan cairan (hipovolemik, dehidrasi) yang
seringkali menyertai penyulit bedahnya harus segera diganti dengan melakukan
resusitasi carian atau rehidrasi sebelum induksi anestesi.
1. Pembedahan yang tergolong kecil dan tidak terlalu traumatis misalnya bedah mata
(ekstraksi, katarak) cukup hanya diberikan cairan rumatan saja selama pembedahan.
Tympanoplasty
Moderat Hysterectomy Inguinal 6 ml/kg/hr
e hernia
g. Usia penderita
Sebagai patokan kasar dalam pemberian transfusi darah :
- 1 unit sel darah merah (PRC = Packed Red Cell) dapat menaikkan kadar
hemoglobin sebesar 1 gr% dan hematokrit 2-3% pada dewasa.
Terapi cairan pasca bedah ditujukan terutama pada hal-hal dibawah ini:
1. Cairan Kristaloid
Karena perbedaan sifat antara koloid dan kristaloid dimana kristaloid akan lebih
banyak menyebar ke ruang interstitiel dibandingkan dengan koloid maka kristaloid
sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit cairan di ruang interstitiel.
Larutan Ringer Laktat merupakan cairan kristaloid yang paling banyak digunakan
untuk resusitasi cairan walaupun agak hipotonis dengan susunan yang hampir
menyerupai cairan intravaskuler. Laktat yang terkandung dalam cairan tersebut akan
mengalami metabolisme di hati menjadi bikarbonat. Cairan kristaloid lainnya yang
sering digunakan adalah NaCl 0,9%, tetapi bila diberikan berlebih dapat mengakibatkan
asidosis hiperkloremik (delutional hyperchlorenmic acidosis) dan menurunnya kadar
bikarbonat plasma akibat peningkatan klorida.
2. Cairan Koloid
Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut “plasma
substitute” atau “plasma expander”. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang
mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotuik yang menyebabkan cairan
ini cenderung bertahan agak lama (waktu paruh 3-6 jam) dalam ruang intravaskuler.
Oleh karena itu koloid sering digunakan untuk resusitasi cairan secara cepat terutama
pada syok hipovolemik/hemorhagik atau pada penderita dengan hipoalbuminemia berat
dan kehilangan protein yang banyak (misal luka bakar).
Kerugian dari plasma expander yaitu mahal dan dapat menimbulkan reaksi
anafilaktik (walau jarang) dan dapat menyebabkan gangguan pada “cross match”.
Berdasarkan pembuatannya, terdapat 2 jenis larutan koloid :
a. Koloid alami yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia (5 dan 2,5%)
Dibuat dengan cara memanaskan plasma atau plasenta 600 C selama 10 jam untuk
membunuh virus hepatitis dan virus lainnya. Fraksi protein plasma selain mengandung
albumin (83%) juga mengandung alfa globulin dan beta globulin. Prekallikrein
activators (Hageman’s factor fragments) seringkali terdapat dalam fraksi protein
plasma dibandingkan dalam albumin. Oleh sebab itu pemberian infus dengan fraksi
protein plasma seringkali menimbulkan hipotensi dan kolaps kardiovaskuler.
1) Dextran
3) Gelatin
Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte dengan berat molekul rata-rata
35.000 dibuat dari hidrolisa kolagen binatang. Ada 3 macam gelatin, yaitu :
c. Oxypoly gelatin
BAB III
KESIMPULAN
Obat muscle relaxant merupakan salah satu obat yang penting dalam anestesi.
Dikelompokkan menjadi 2 bagian besar yaitu depolarisasi dan non depolarisasi.
Depolarisasi bekerja ditandai dengan fasikulasi otot sedangkan non depolarisasi bekerja
sebagai kompetitif terhadap reseptor asetilkolin. Setiap obat memiliki karakteristik
masing-masing baik dalam farmakologinya, berupa metabolisme, ekskresi, dosis serta
efek samping. Dan juga penggunaanya , baik atau tidaknya digunakan tergantung
dengan kondisi pasien.
Terapi cairan perioperatif merupakan pemberian cairan pada periode sebelum,
sesaat, dan setelah operasi. Terapi cairan perioperatif dilakukan dengan tujuan untuk
melengkapi kebutuhan cairan dan elektrolit dalam mempertahankan perfusi jaringan
yang adekuat, mencegah, dan mengoreksi adanya defisit cairan.
Pemberian terapi cairan perioperatif dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu pre
operatif, intra operatif, dan post operatif. Cairan kristaloid, cairan koloid, maupun
darah, adalah jenis cairan yang digunakan dalam pemberian terapi cairan. Pemilihan
jenis cairan yang diberikan dibedakan oleh komposisi cairan yang diberikan. Pemilihan
rute pemberian cairan adalah hal yang perlu diperhatikan. Pemilihan rute pemberian
cairan didasari pada beberapa pertimbangan seperti durasi pemberian cairan.
Dalam pemberian terapi cairan terdapat beberapa komplikasi yang dapat terjadi,
seperti gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, hingga terjadinya infeksi. Pemberian
terapi cairan sesuai dengan prosedur dapat mencegah terjadinya komplikasi dan
mempercepat penyembuhan pasien pasca operasi.
DAFTAR PUSTAKA
Mangku G Senapathi TGA, 2017. Buku Ajar Ilmu Anesthesia dan Reanimasi. Jakarta.
Indeks
https://slidetodoc.com/biolistrik-proses-transmisi-impuls-sifat-saraf-dan-otot/ diakses 1
Desember 2021
Barash PG. Neuromuscular Blocking Agents dalam : Clinical Anesthesia 8th ed.
Lippincott Williams & Wilkins. 2017.
Katzung BG. Basic & Clinical Pharmacology 14th ed. New york: McGrawHill
Companies. 2018.
Murray MJ, DeBlock H, Erstad B, Gray A, Jacobi J, Jordan C, et al. Clinical Practice
Guidelines for Sustained Neuromuscular Blockade in the Adult Critically Ill Patient.
Crit Care Med 2016.
Morgan GE. Neuromuscular Blocking Agents dalam: Clinical Anesthesiology 6th ed.
New york: McGrawHill Companies. 2018.
Bittner EA, Parsons PE. Clinical Use of Neuromuscular Blocking Agents in Critically
Ill Patient. UpToDate 2017.
Latief AS, dkk. Petunjuk Praktis Anestesiologi : Terapi cairan pada pembedahan. Edisi
kedua. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, FK UI, 2017.
Leksana E. Terapi cairan dan elektrolit. SMF/Bagian Anestesi dan Terapi Intensif FK
UNDIP: Semarang; 2016:1-60.
Graber MA. Terapi cairan, elektrolit dan metabolik. Edisi 2. farmedia; 2018:17-40