Anda di halaman 1dari 37

REFERAT

MUSCLE RELAXANT DAN CAIRAN PERIOPERATIF

Disusun Oleh :
Fharadhila Tajriyani 1102017092

Dosen Pembimbing :
dr. Titik Setyawati, Sp.An-KIC, M.Kes
dr. Agus Rukmana, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ANESTESIOLOGI


RSUD DR. DRAJAT PRAWIRANEGARA KOTA SERANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 22 NOVEMBER – 12 DESEMBER 2021
BAB I
PENDAHULUAN

Muscle Relaxant atau pelumpuh otot merupakan salah satu obat yang penting
dalam anestesi. Penggunaan muscle relaxant pada anesthesia klinis dikenalkan pada
tahun 1942 oleh Griffith dan Johnson. Pada saat ini, muscle relaxant merupakan bagian
yang tidak bisa ditinggalkan baik dalam anesthesia, intensive care dan emergency care.
Indikasi penggunaannya adalah untuk intubasi endotrachea, memfasilitasi pembedahan
dan immobilisasi dari pasien.
Muscle relaxant atau dikenal sebagai neuromuscular blocking agents ini
dikelompokkan menjadi 2, yaitu depolarisasi dan non-depolarisasi. Tempat aksi utama
dari Muscle Relaxant ini adalah pada nicotinic cholinergic reseptor pada endplate dari
otot dan pada presynaptic reseptor dari nervus terminal. Depolarisasi agent atau
succynilcholine menghasilkan depolarisasi pada endplate dan berikatan dengan
extrajunctional reseptor. Non-depolarisasi agent berkompetisi dengan acetylcholine
dalam berikatan dengan reseptor. Penggunaan muscle relaxant ini menghasilkan
paralisis bukan anesthesia. Dalam kata lain, muscle relaxant ini tidak berfungsi sebagai
sedatif, amnesia atau analgesia.
Penggunaan muscle relaxant ini sangat bermanfaat jika penggunaanya tepat, dan
apabila digunakan dalam dosis tidak tepat akan memungkinkan terjadinya kesakitan
atau kematian dari pasien Pada dosis tertentu obat ini menimbulkan relaksasi atau
kelumpuhan otot termasuk otot-otot pernafasan sehingga penderita tidak dapat
bernafas. Karena itu, pelumpuh otot harus diberikan oleh orang yang terlatih mengelola
jalan nafas. Selama kelumpuhan otot-otot pernafasan, pita suara juga membuka
sehingga memudahkan untuk tindakan intubasi, peristaltik dan gerakan usus juga
berhenti sehingga memudahkan operasi pada rongga perut. Karena mekanisme kerja
obat golongan ini menghambat transmisi neuro muskuler, maka diperlukan
pengetahuan mengenai farmakologi dari obat-obat muscle relaxant ini.
Puasa pra-bedah selama 12 jam atau lebih dapat menimbulkan defisit cairan (air
dan elektrolit) sebanyak 1 liter pada pasien orang dewasa. Mual muntah pasca-operasi
masih merupakan masalah yang sering kali terjadi pada pasien yang mengalami
pembedahan dalam anestesia umum. Sekitar 71 juta pasien per tahun menjalani
pembedahan di Amerika Serikat, dengan insidens kejadian mual muntah pasca-operasi
sekitar 20-30% dari seluruh pembedahan umum dan lebih kurang 70-80% pada
kelompok resiko tinggi.
Berbagai pendekatan dan juga investigasi klinis dilakukan untuk menurunkan
insidens kejadian mual muntah pascaoperasi. Uji klinis yang terbaru menunjukan
bahwa pendekatan multimodal dalam pemberian obat antiemetik mampu menurunkan
kejadian mual muntah serta mempercepat masa pemulihan. Metode pendekatan
multimodal ini menggunakan cara farmakologi dan non-farmakologi. Salah satu
pendekatan non-farmakolgi yang murah, mudah serta aman adalah mencukupi status
hidrasi.
Cairan perioperative meliputi cairan preoperatif, intraoperatif, serta postoperative.
Salah satu peran cairan perioperatif adalah mempertahankan keseimbangan asam-basa
serta kadar elektrolit dan gula darah yang normal, yang akan berpengaruh pada kondisi
akhir pasien.
Tujuan utama terapi cairan perioperatif adalah untuk mengganti defisit pra bedah,
selama pembedahan dan pasca bedah dimana saluran pencernaan belum berfungsi
secara optimal disamping untuk pemenuhan kebutuhan normal harian. Terapi dinilai
berhasil apabila pada penderita tidak ditemukan tanda-tanda hipovolemik dan
hipoperfusi atau tanda-tanda kelebihan cairan berupa edema paru dan gagal nafas.
Sampai saat ini terapi cairan dan elektrolit perioperatif masih merupakan topik yang
menarik untuk dibicarakan, karena dalam praktiknya, banyak hal yang sulit diukur atau
dinilai secara obyektif.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Muscle Relaxant


2.1.1 Definisi Muscle Relaxant
Muscle Relaxant atau obat pelumpuh otot adalah obat yang dapat merelaksasi
otot rangka dengan menghambat transmisi impuls saraf pada sambungan otot-saraf.
Obat pelumpuh otot melumpuhkan/merelaksasi otot rangka dengan menghambat
transmisi impuls saraf pada sambungan otot-saraf. Obat ini dapat bermanfaat di unit
perawatan intensif (ICU) untuk berbagai kondisi klinik.

2.1.2 Fisiologi Transmisi Saraf-Otot


Sambungan saraf otot terdiri dari ujung saraf, celah sinap, dan motor endplate.
Acetylcholine yang dilepaskan ke dalam celah sinap saat impuls saraf mencapai ujung
saraf, akan menyeberangi celah sinap ke motor endplate. Ikatan acetylcholine dengan
reseptor nikotinik kolinergik pada otot rangka menyebabkan perubahan konformasi
reseptor yang meningkatkan permeabilitas membran miosit terhadap ion natrium,
kalium, klorida, dan kalsium, serta melepaskan kalsium dari retikulum sarkoplasma,
mengakibatkan transmisi potensial aksi. Kation masuk melalui reseptor Ach terbuka
(Natrium dan Kalsium masuk dan Kalium keluar) dan menghasilkan potensial pada
endplate dan depolarisasi yang menyebabkan kontraksi otot. Potensial aksi menyebar
sepanjang membran otot, membuka channel natrium dan melepaskan kalsium dari
reticulum sarkoplasma. Depolarisasi akan berhenti jika acetylcholine lepas dari
reseptor. Acetylcholine kemudian akan berdifusi kembali ke ujung saraf atau dipecah
oleh acetylcholinesterase menjadi asetat dan cholin. Setelah itu terjadi penutupan ion
channel dan terjadi repolarisasi. Ketika pembentukan potensial aksi berhenti, channel
natrium pada membran sel otot juga menutup. Kalsium kembali masuk ke retikulum
sarkoplasma dan sel otot akan berelaksasi Obat pelumpuh otot secara struktur ber-
kaitan dengan acetylcholine dan bekerja mempengaruhi ikatan acetylcholine pada
motor endplate.

2.1.3 Klasifikasi Muscle Relaxant


Muscle relaxant dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu depolarisasi dan non-
depolarisasi. Pembagian ini dibagi berdasarkan aksi atau mekanisme kerja dan
stimulasi saraf perifer. Hambatan depolarisasi terjadi karena serabut saraf otot
mendapat rangsangan depolarisasi yang menetap sehingga akhirnya kehilangan respon
berkontraksi yang menyebabkan kelumpuhan. Ciri kelumpuhan ditandai dengan
fasikulasi otot. Pulihnya fungsi saraf otot bergantung pada kemampuan daya hidrolisis
enzim kolinesterase.
Hambatan non-depolarisasi atau kompetisi terjadi karena reseptor asetilkolin
diduduki oleh molekul-molekul obat pelumpuh otot non depolarisasi sehingga proses
depolarisasi membrane otot tidak terjadi dan otot menjadi lumpuh(lemas). Pemulihan
fungsi saraf otot terjadi kembali jika jumlah obat yang menduduki reseptor asetilkolin
telah berkurang antara lain terjadi karena proses eliminasi dan atau distribusi.
Pemulihan juga dapat dibantu lebih cepat dengan memberi obat antikolinesterase
(neostigmin) yang menyebabkan peningkatan jumlah asetilkolin.
DEPOLARISASI NON DEPOLARISASI

Short Acting Short Acting

Succinylcholine Mivakurium

Intermediate Acting

Atrakurium

Cisatrakurium

Vekuronium

Rocuronium

Long Acting

Doxacurium

Pancuronium

Pipecuronium
2.1.4 Mekanisme Kerja Muscle Relaxant
Obat-obat Muscle Relaxant memiliki kemiripan dengan asetilkolin. Muscle
Relaxant depolarisasi sangat mirip dengan asetilkolin dan berikatan dengan reseptor
asetilkolin. Tidak seperti asetilkolin, obat ini tidak dimetabolisme oleh
acetylcholinesterase dan konsentrasinya pada celah sinaps tidak cepat menurun
sehingga menghasilkan depolarisasi prolong pada endplate dari otot. Depolarisasi yang
terus-menerus menyebabkan relaksasi dari otot karena pembukaan gerbang bawah
pada natrium channel di perijunctional terbatas waktunya. Setelah inisiasi awal dan
pembukaan, natrium channel tertutup dan tidak bisa dibuka lagi sampai terjadi
repolarisasi. End-plate tidak berepolarisasi selama muscle relaxant terus mengikat
asetilkolin reseptor, ini disebut dengan fase block I. Setelah itu, depolarisasi yang
prolong ini menyebabkan ionic dan perubahan pada asetilkolin reseptor yang disebut
dengan fase block II. Diikuti dengan relaksasi.
Non depolarisasi muscle relaxant mengikat asetilkolin reseptor sehingga
asetilkolin tidak berikatan dengan reseptornya dan tidak terjadi potensial aksi pada
end-plate. Ini disebut juga asetilkolin reseptor antagonist atau kompetitif.

2.1.5 Muscle Relaxant Depolarisasi


Merupakan obat pelumpuh otot depolarisasi yang digunakan untuk intubasi
dan terapi laringospasme. Meskipun mempunyai onset sangat cepat (<1 menit) dan
lama kerja singkat (7-8 menit), penggunaannya terbatas karena kerjanya tidak dapat
dilawan oleh pemberian obat lain. Efek samping yang bermakna meliputi hipertensi,
takikardi, bradikardi, aritmia ventrikel, hiperkalemia, dan yang lebih jarang,
peningkatan tekanan intra- kranial dan hipertermia maligna.

a. Karakterisasi Obat
- Menyebabkan fasikulasi otot
- Efek meningkat oleh anticholinesterase agent
- Hipotermia
- Efek menurun dengan obat non depolarizing relaxant, anesthetic inhalation
- Serabut otot yang terdepolarisasi tidak merespon terhadap stimulasi
- Tidak bisa dilawan oleh neostigmin dan obat anticholinesterase yang lain
- Pada keadaan paralisis partial, alat monitoring neuromuskuler menunjukkan
depresi pada gerakan otot, tidak ada fasikulasi post titanic
- Diperkuat oleh isofluran, enfluran, alkalosis dan magnesium
- Dilawan oleh eter, halotan, asidosis ddan obat non depolarisasi
- Diasosiasi cepat yang konstan pada reseptor
- Pemberian berulang atau terus-menerus mengarah kepada blockade fase II

b. Struktur Fisik
Succinylcholine disebut juga diacetylcholine atau suxamethonium terdiri dari 2
molekul asetilkolin.

c. Metabolisme dan Ekskresi


Metabolisme succinylcholine dimana onset kerjanya cepat (30-60 detik) dan
durasi pendek <10 menit serta kelarutan dalam lemak rendah. Ketika succinylcholine
masuk ke sirkulasi, sebagian cepat dimetabolisme oleh pseudocholinesterase menjadi
succinylmonocholine. Hanya sebagian kecil yang diinjeksikan yang mencapai
neuromuscular junction. Saat kadar dalam serum menurun, succinylcholine difusi
keluar dari neuromuscular junction.
Durasi kerjanya bertambah jika dosis tinggi atau metabolism yang abnormal.
Bisa disebabkan hipotermia, kadar pseudocholinesterase yang rendah atau karena
genetik pada enzim. Hipotermia menurunkan hidrolisis.
d. Dosis
Dosis succinylcholine untuk intubasi trakea adalah 1mg/kgbb IV. Pernafasan
spontan terjadi setelah paralisis akibat pemberian succinylcholine. Durasi rata-rata
sebelum mencapai 90% adalah lebih kurang 10 menit. Dengan demikian, pada dewasa
yang sudah dioksigenasi sebelumnya dapat mengalami apnea sebelum saturasi oksigen
turun ke 90%.
Dosis dapat bervariasi antara 0,5-0,15mg/kgBB , dosis kurang 1mg/kgBB
tidak mempersingkat waktu terjadi pergerakan diafragma atau pernapasan spontan.
Selain itu pada keadaan dimana blokade saraf otot penuh diperlukan, diberikan dosis
1,5mg/kgBB.

e. Efek Samping
o Cardiovascular
Stimulasi pada reseptor nikotinik pada parasimpatetik dan simpatetik ganglia dan
reseptor muskarinik di nodus SA pada jantung bisa meningkatkan atau menurunkan
tekanan darah atau denyut jantung. Dosis rendah dapat menyebabkan chronotropik
negatif dan efek inotropik, tetapi dosis tinggi umumnya menyebabkan peningkatan
denyut jantung dan kontraksi dan peningkatan kadar katekolamin.
o Hiperkalemia
Normalnya otot meelepaskan kalium selama depolarisasi dan menaikkan kadar
kalium serum 0,5meq/L. Peninggian kalium bisa menyebabkan cardiac arrest dan
kondisi lainnya.
o Nyeri Otot
Nyeri otot dapat dikurangi dengan pemberian pelumpuh otot nondepolarisasi dosis
kecil sebelumnya. Mialgia terjadi 90% , selain itu dapat terjadi mioglobinuria,
terutama otot leher, punggung dan abdomen.
o Peningkatan tekanan intragastric
Fasikulasi otot abdomen menyebabkan peningkatan tekanan intragastric dan juga
tonus sfingter bawah esophagus.
o Peningkatan tekanan intraocular
Peningkatan kontraksi pada otot extraocular menyebabkan peninggian TIO.
o Kekakuan otot masseter
Terjadinya kekakuan transier pada otot masseter menyebabkan susah membuka
mulut.
o Hipertermia Maligna
o Kontraksi Generalisasi pada pasien dengan myotonia.
o Prolonged Paralisis
o Peningkatan Tekanan Intrakranial
Succinylcholine pada beberapa pasien meningkatkan aliran darah serta tekanan
intracranial. Ini bisa dikontrol dengan menjaga airway serta hiperventilasi. Bisa
dicegah sebelumnya dengan nondepolarisasi agent dan lidocain (1,5-2mg/kgBB) 2-3
menit sebelum intubasi.
o Pelepasan Histamin

2.1.6 Muscle Relaxant Non-Depolarisasi


Obat pelumpuh otot non-depolarisasi mempunyai onset 1-5 menit (lebih
lambat dibanding succinylcholine). Obat lama seperti tubocurarine lebih sering
dikaitkan dengan efek samping kardiovaskuler dan hipotensi karena pelepasan
histamin dibanding obat pelumpuh otot non-depolarisasi yang lebih baru.

a. Karakteristik Obat
- Tidak menyebabkan fasikulasi otot
- Efek menurun oleh obat anticholinesterase, depolarizing agent, suhu tubuh yang
rendah, epinefrin, acetylcholine
- Efek meningkat oleh non-depolarizing drugs, volatile anestesi

b. Karakteristik Farmalogik General


-Hipotermia , prolong blokade dengan menurunkan metabolisme (mivakurium,
atrakurium dan cisatrakurium) dan memperlambat ekskresi (pankuronium dan
vekuronium)
-Keseimbangan Asam basa, asidosis respiratori menghambat kepulihan
neuromuscular pada pasien post operasi dengan hipoventilasi.
-Kadar elektrolit abnormal, hipokalemiaa dan hipokalsemia memblock non
depolarisasi.
-Usia. Neonatus memiliki sensitivitas tinggi terhadap muscle relaxant karena belum
maturnya neuromuscular junction.
-Penyakit tertentu. Pada pasien dengan penyakit neuromuscular memiliki efek yang
besar. Pada pasien sirosis dan gagal ginjal kronik terjadi peningkatan kadar pada
plasma dan juga yang dimetabolisme di hati dan ginjal ekskresinya bisa lama.

Atrakurium

Atracurium adalah kelompok kuartener, struktur benzylisoquinoline membuat


cara degradasi senyawa ini menjadi unik. Obat ini merupakan merupakan obat turunan
benzylisoquinoline dengan lama kerja sedang. Atracurium didegradasi dengan eliminasi
Hoffman (autolisis) dan dengan hidrolisis ester, sehingga tidak memerlukan
penyesuaian dosis pada pasien dengan gangguan ginjal atau hati. Asidosis dan
hipotermia berat dapat menurunkan metabolisme obat, sehingga perlu penurunan dosis.

- Metabolisme dan Ekskresi : Atracurium dimetabolisme secara ekstensif sehingga


faramkokinetiknya tidak bergantung pada fungsi ginjal dan hati. Sekitar 10% dari obat
ini diekskresi tanpa dimetabolisme melalui ginjal dan empedu. Dua proses terpisah
berperan dalam metabolisme. Pertama, hidrolisis ester yang dikatalisis oleh esterase
nonspesifik, bukan oleh asetilkolinesterase atau pseudokolinesterase. Kedua, melalui
eliminasi Hoffmann di mana penghancuran kimia nonenzimatik spontan terjadi pada
pH dan suhu fisiologis. Baik untuk pembedahan SC, cardiopulmonary bypass,
keracunan organofosfat dan pasien dengan miastenia gravis.

- Hidrolisis : Dihidolisis atau dikatalisasi oleh nonspesifik esterase, bukan oleh


asetylcholinesterase atau pseudocholinesterase.
- Hoffman eliminasi : Eliminasi spontan non enzimatik pada pH fisiologis.
- Dosis : 0,5-0,6mg/kgBB IV pada 30-60 detik intubasi.
Relaksasi intraoperatif 0,25mg/kgBB.
Infus 5-10 mikrogram/kgBB.
Dosis maintenance 0,1-0,2 mg/kgBB
- Efek samping : Hipotensi dan tachycardia, bronkospasme dan reaksi alergi.
- Reversal : Kualitas reversal dengan neostigmine da endrophonium sangat baik.

Cisatrakurium
Cisatrakurium merupakan isomer atracurium dengan potensi 3 kali lebih kuat.
Cisatracurium juga didegradasi dengan eliminasi Hoffman menjadi laudanosine, dan
asidosis serta hipotermia memperlambat metabolismenya. Namun, karena potensinya
lebih besar, cisatracurium diberikan dengan dosis lebih kecil, sehingga produksi
laudanosine lebih sedikit, pelepasan histamin lebih rendah, dan efek samping
kardiovaskuler lebih kecil. Penggunaannya di ICU terbatas karena onsetnya relatif
lambat (3-6 menit).

- Metabolisme dan Ekskresi : Seperti atracurium, cisatracurium mengalami degradasi


dalam plasma pada pH dan suhu fisiologis melalui eliminasi Hoffman yang tidak
tergantung organ. Metabolitnya (acrylate monokuartener dan laudanosine) tidak
memiliki efek blokade saraf-otot intrinsik. Karena potensinya yang besar, jumlah
laudanosine yang dihasilkan lebih sedikit dibandingkan atracurium. Esterase
nonspesifik tidak berperan dalam metabolisme cisatracurium. Metabolisme dan
eliminasi tidak terpengaruh oleh keadaan ginjal maupun hati. Variasi minor dalam pola
farmakokinetik yang berkaitan dengan umur tidak menyebabkan perubahan signifikan
pada durasi kerja.
- Dosis : 0,1-0,15mg/kgBB dalam 2 menit
- Durasi intermediate
- Infus : 1-2mikrogram/kg/menit
- Potensial sama dengan vekuronium
- Efek : Tidak berafek ke peningkatan denyut jantung, tekanan darah atau
pelepasan histamin.

Mivakurium
Mivakurium merupakan benzylisoquino-line kerja singkat dengan onset
sebanding atracurium, tetapi dengan lama kerja sepertiganya, karena hidrolisis yang
cepat oleh pseudocholinesterase plasma. Gangguan fungsi ginjal atau hati dapat
menekan aktivitas pseudocholinesterase, sehingga menyebabkan tertundanya eliminasi.
Mivacurium dikaitkan dengan efek samping kardiovaskuler setelah pemberian dosis
kecil, tetapi hipotensi yang disebabkan pelepasan histamin, dapat terjadi setelah injeksi
bolus yang lebih besar. Informasi penggunaannya di ICU hanya sedikit dan tampaknya
tidak lebih menguntungkan dibanding atracurium.

- Metabolisme dan Ekskresi : Mivacurium, seperti suksinilkolin, dimetabolisme oleh


pseudokolinesterase dan hanya dimetabolisme secara minimal oleh kolinesterase asli.
Hal ini memungkinkan durasi kerja yang diperpanjang pada pasien dengan kadar
pseudokolinesterase rendah atau varian dari gen pseudokolinesterase. Kenyataannya,
pasien yang heterozigot untuk gen atipikal akan mengalami blok 2 kali lebih lama dari
durasi normal, di mana homozigot atipikal akan tetap terparalisis selama berjam-jam.
Homozigot atipikal tidak dapat memetabolisme mivacurium sehingga blokade saraf-
otot dapat berlangsung selama 3 – 4 jam. Antagonisme farmakologis dengan inhibitor
kolinesterase akan mempercepat pembalikan blokade mivacurium tepat saat respons
terhadap stimulasi saraf menjadi nyata. Edrophonium membalikkan blokade
mivacurium lebih efektif dibanding neostigmine karena neostigmine menghambat
aktivitas kolinesterase plasma. Meskipun metabolisme dan ekskresi mivacurium tidak
bergantung pada ginjal atau hati, durasi kerja akan memanjang pada pasien dengan
gagal ginjal atau hati atau pada pasien yang hamil atau postpartum sebagai akibat dari
kadar kolinesterase plasma yang menurun.
- Reversal : Edrophonium lebih baik dibandingkan neostigmine
- Dosis : Intubasi 0,15-2mg/kgBB
- Efek samping : Release histamin seperti atrakurium.
Penurunan tekanan darah pada dosis >0,15mg/kgBB
Doxacurium
Doxacurium merupakan benzylisoquino-line kerja panjang dan obat pelumpuh
otot yang poten. Eliminasinya oleh ginjal dan dikaitkan dengan efek samping
kardiovaskuler yang rendah. Namun, pengalaman klinis dengan obat ini terbatas.

- Metabolisme dan Ekskresi : Relaksans kerja lama dan poten ini mengalami tingkat
hidrolisis yang rendah oleh kolinesterase plasma. Seperti obat pelumpuh otot kerja lama
yang lain, rute utama eliminasinya adalah melalui ekskresi ginjal. Ekskresi
hepatobiliaris hanya sedikit berperan dalam klirens doxacurium.
- Dosis : Intubasi 0,05mg/kgBB durasi 5 menit
Intraoperatif relaksasi 0,02mg/kgBB inisial diikuti dosis 0,005
mg/kgBB

-Efek samping : Doxacurium tidak memiliki efek samping kardiovaskuler dan


pelepasan histamin. Karena potensinya yang lebih besar, doxacurium memiliki onset
kerja yang sedikit lebih lambat dari pada pelumpuh otot nondepolarisasi kerja lama
yang lain (4 – 6 menit). Durasi kerjanya sama dengan pancuronium yaitu 60 – 90 menit.

Pankuronium
Pankuronium merupakan turunan aminosteroid kerja panjang yang dimetabolisme
menjadi senyawa 3-hydroxypancuronium di hati dan kemudian dieliminasi sebanding
melalui urin dan empedu. Efek samping kardiovaskuler meliputi takikardi, hipertensi,
dan peningkatan curah jantung akibat hambatan vagus. Menimbulkan pembebasan
noradrenaline dan sebagian 30% dikeluarkan melalui ginjal, 25% ke system bilier.

- Metabolisme dan Ekskresi : Pancuronium dimetabolisme (deasetilisasi) oleh hati


dalam batas tertentu. Produk metaboliknya memiliki aktivitas blokade saraf-otot.
Ekskresi terutama melalui ginjal (40%), meskipun sebagian dari obat dibersihkan oleh
empedu (10%). Eliminasi pancuronium lambat dan efek blokade saraf-otot
diperpanjang oleh gagal ginjal. Pasien dengan sirosis butuh dosis inisial yang lebih
besar karena ada peningkatan volume distribusi tapi membutuhkan dosis rumatan yang
lebih rendah karena penurunan klirens plasma.
- Dosis : 0,08 mg/kgBB/IV
Rumatan separuh dosis awal
Pemeliharaan 0,1-0,2mg/kgBB/IV

- Kontraindikasi : Pasien dengan gangguan fungsi ginjal, obstruksi saluran empedu


- Efek Samping : Hipertensi dan tachycardia. Aritmia serta reaksi alergi. Perubahan
pada jantung menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen miokardial dan terjadinya
iskemik miokadrium pada pasien dengan gangguan arteri koroner.

Pipecuronium
Pipecuronium merupakan turunan aminosteroid dengan lama kerja yang lebih
panjang dibanding pancuronium dan terutama dieliminasi di ginjal. Tidak
menyebabkan pelepasan histamin dan dikaitkan dengan efek samping kardiovaskuler
yang minimal.
- Durasi meningkat pada pasien dengan gagal ginjal, tapi tidak dengan kelainan hepar
- Sedikit lebih potensial dibanding pancuronium

- Metabolisme dan Ekskresi : Metabolisme hanya sedikit berperan pada pipecuronium.


Eliminasi bergantung pada ekskresi yang paling utama ginjal (70%) dan biliaris (20%).
Durasi kerja meningkat pada pasien gagal ginjal, tapi tidak pada insufisiensi hepatik.
- Dosis intubasi : 0,06-0,1mg/kgBB
- Efek samping : Keuntungan utama pipecuronium dibanding pancuronium adalah efek
samping kardiovaskulernya yang kurang karena penurunan ikatan pada reseptor
muskarinik jantung. Seperti relaksans steroid yang lain, pipecuronium tidak
menyebabkan pelepasan histamin. Onset dan durasi kerja mirip dengan pancuronium.

Vecuronium
Vecuronium merupakan turunan aminosteroid dengan lama kerja sedang.
Dimetabolisme oleh hati menjadi 3 metabolit aktif, yang semuanya dieliminasi oleh
ginjal. Efek samping kardiovaskuler minimal pernah dilaporkan pada penggunaan
vecuronium.

-Metabolisme dan Ekskresi : Vecuronium dimetabolisme dalam jumlah sedikit oleh


hati. Hal ini sangat bergantung pada ekskresi empedu dan sekitar 25% oleh ekskresi
ginjal. Vecuronium adalah obat yang cukup aman pada pasien dengan gagal ginjal,
durasi kerjanya akan memanjang dengan sebab yang tidak jelas. Durasi kerja
vecuronium yang singkat disebabkan oleh waktu paruh eliminasinya yang lebih pendek
dan klirens yang lebih cepat dibandingkan pancuronium. Pemberian vecuronium jangka
panjang pada pasien yang dirawat dalam perawatan intensif menyebabkan
perpanjangan blokade (sampai beberapa hari), yang mungkin disebabkan oleh
akumulasi metabolit aktif 3-hidroksi, perubahan klirens obat, atau perkembangan dari
polineuropati. Faktor risikonya antara lain jenis kelamin wanita, gagal ginjal, terapi
kortikosteroid jangka panjang atau dosis tinggi, dan sepsis. Oleh karena itu, pasien-
pasien ini harus dimonitor dengan ketat dan dosis vecuronium harus dititrasi dengan
hati-hati. Pemberian pelumpuh otot jangka panjang dan diikuti dengan pengurangan
ikatan asetilkolin pada reseptor nikotinik postsinaptik yang lama, dapat menimbulkan
keadaan yang mirip denervasi kronik dan disfungsi reseptor dan paralisis. Efek saraf-
otot vecuronium memanjang pada pasien dengan AIDS. Toleransi terhadap obat
pelumpuh otot nondepolarisasi juga dapat terjadi setelah pemakaian lama.

- Dosis : Intubasi 0,08-0,12 mg/kgBB dengan OOA 3-5 menit durasi 45-60
menit
Bolus rata-rata 0,1mg/kgBB, infuse 0,2 mikrogram/kg/jam
Kemasan suntik bubuk, 10mg/ml
- Efek samping : Tidak ada pengaruh terhadap sirkulasi, tidak ada efek
vagolitik
Tidak ada pelepasan histamin

Rocuronium
Rocuronium merupakan turunan aminosteroid dan kurang poten dibanding
vecuronium, tetapi mempunyai onset cepat dan lama kerja singkat hingga sedang.
Metabolit rocuronium hanya mempunyai 5% aktivitashambatanneuromuskulerobat
asal, sehingga tidak bermakna secara klinis. Rocuronium menawarkan keuntungan
dibanding vecuronium pada dosis bolus untuk intubasi trakeal di ICU, khususnya jika
succinylcholine dikontraindikasikan. Dieliminasi terutama oleh hati dan di- kaitkan
dengan sedikit efek samping kardiovaskuler.

- Metabolisme dan Ekskresi : Rocuronium tidak mengalami metabolisme dan


dieliminasi terutama oleh hati dan sedikit oleh ginjal. Durasi kerjanya tidak terlalu
dipengaruhi oleh penyakit ginjal, tapi cukup memanjang oleh gagal hati berat dan
kehamilan. Rocuronium tidak memiliki metabolit aktif, dan mungkin merupakan
pilihan yang lebih baik dari pada vecuronium untuk infus yang lama (misal pada unit
perawatan intensif). Pasien usia lanjut, pasien dengan penyakit hati dan pada kehamilan
dapat mengalami durasi kerja yang memanjang karena massa hati yang menurun.

- Dosis : 0,6-1mg/kgBB iv untuk intubasi dan 0,15mg/kgBB untuk maintenance

OOA 1-menit dan DOA 30-45 menit

Dosis besar dari rocuronium dibutuhkan untuk menghasilkan onset seperti


succinylcholine dan durasi menyerupai pancuronium (0,9-1,2mg/kgBB)

- Efek samping : Tekanan darah meningkat dan denyut jantung meningkat

Tubokurari
Adalah alkaloid derivat isoquinolin dari tanaman chondro dendron tomentosum.
Pada dosis terapetik akan menimbulkan paralisa otot mulai ptosis, diplopia (karena
relaksasi otot mata), relaksasi otot wajah, rahang, leher dan ekstremitas, kemudian otot
dinding abdomen, interkostal dan seterusnya diafragma, maka terjadilah kelumpuhan
pernapasan, sehingga penderita apnoe.

- Metabolisme dan Ekskresi : Eliminasi sebagian besar melalui ginjal (80%) dan
sebagian kecil (20%) melalui hepar. Karena itu tidak dapat digunakan pada pasien
dengan gagal ginjal. Hipotensi dan bradikardi dapat terjadi akibat pengaruh pada
ganglion para simpatik yang lebih kuat daripada simpatik.

- Dosis : Intubasi : 0,5-0,6 mg/kgBB.

Relaksasi : 0,3-0,5 mg/kgBB.

Maintenance : 0,1-0,15 mg/kgBB.

- Onset : 3 menit bila diberikan i.v. (dosis intubasi) 10-15 menit bila diberikan secara
i.m.

- Durasi : Dengan dosis intubasi : 60-100 menit.

Dengan dosis relaksasi : 30-60 menit.

- Efek samping : Pelepasan histamin menyebabkan hipotensi

Galamin

Galamin merupakan obat suntik dengan durasi yang lebih pendek dari
tubokurarin (15-20 menit). Mempercepat denyut jantung karena blokade vagal dan
stimulasi langsung pada reseptor beta. Karena itu baik untuk anestesi pada operasi yang
menimbulkan bradikardi, misalnya pembedahan bola mata. Sebaliknya pada penderita
takikardi sebaiknya tidak dipakai.

- Dosis : 4-6 mg/kgBB untuk intubasi.

2-3 mg/kgBB untuk relaksasi (dengan l\l20 + 02).


1-2 mg/kgBB untuk relaksasi (dengan obat anestesi volatil).

0, 3-0,5 mg/kgBB untuk maintenance.

- Onset : 2 menit (untuk intubasi).

- Durasi : Dosis intubasi : 90-120 menit. Dosis relaksasi : 40-60 menit.

- Efek samping : Peningkatan tekanan darah

Alkuronium Kloride

Disintesis dari Toxiferin, alkaloid dari tanaman strychnos toxifera. Tidak


menimbulkan pelepasan histamin tetapi sedikit menaikkan tekanan darah dan nadi
karena menghambat ganglion sinaptik. Ekskresi melalui ginjal dan hati

- Dosis : 0,25-0,3 mg/kg BB untuk intubasi.

0, 15-0,2 mg/kg BB untuk relaksasi.

0,05-0,1 mg/kg BB untuk maintenance.

- Onset : 3 menit (untuk dosis intubasi).

- Durasi : Dosis intubasi 60-120 menit. Dosis relaksasi 40-60 menit.

2.1.7 Penggunaan Muscle Relaxant di ICU

Tujuan

Obat pelumpuh otot bermanfaat di ICU untuk berbagai kondisi klinik meliputi
intubasi emergensi, sindrom gawat napas akut, status asmatikus, peningkatan tekanan
intrakranial, peningkatan tekanan intraabdominal, dan hipotermia terapeutik setelah
henti jantung terkait fibrilasi ventrikel.

Menurut panduan ICU yang dipublikasikan Critical Care Medicine 2002, obat
pelumpuh otot harus digunakan untuk pasien dewasa di ICU untuk manajemen
ventilasi, manajemen peningkatan tekanan intrakranial, terapi spasme otot, dan
penurunan konsumsi oksigen hanya jika semua cara lain telah dicoba tanpa
keberhasilan (rekomendasi C).

Penggunaan obat pelumpuh otot di ICU antara lain bertujuan untuk:


• Memperbaiki sinkroni pasien-ventilator untuk meningkatkan pertukaran gas dan
untuk mengurangi risiko barotrauma.

•Memfasilitasi intubasi trakeal

• Memfasilitasi ventilasi mekanik dan membantu oksigenasi, misalnya pada pasien


dewasa dengan sindrom gagal napas, dengan memperbaiki kemampuan penyesuaian
dinding dada, menurunkan tekanan jalan napas maksimal, dan mencegah gerakan
pernapasan yang tidak terkoordinasi.

• Mengontrol peningkatan tekanan intrakranial, misalnya setelah cedera kepala, bedah


saraf
• Mencegah gerakan yang tidak diinginkan pada pasien dengan peningkatan tekanan
intrakranial
• Menurunkan tonus otot pada tetanus, sindrom neuroleptik maligna, status epileptikus
• Memfasilitasi prosedur dan tes: transportasi pasien inter dan intra rumah sakit,
bronkoskopi, trakeostomi, MRI, CT scan.

Pemberian

Obat pelumpuh otot yang ideal untuk digunakan di ICU adalah obat yang
menyebabkan relaksasi otot dengan onset cepat, dapat dititrasi, dan lama kerja tidak
panjang agar dapat dilakukan penilaian neurologi berulang, tidak menyebabkan efek
buruk pada hemodinamik atau tidak menyebabkan efek samping kardiovaskuler dan
fisiologi lainnya, eliminasi tidak tergantung pada fungsi hati dan ginjal, tidak
menghasilkan metabolit aktif (metabolit dengan aktivitas penghambat neuromuskuler),
tidak berinteraksi dengan obat lain atau tidak ada kecenderungan berakumulasi, dan
stabil selama 24 jam untuk infus kontinu.

Staf ICU harus dilatih dalam pemberian dan monitoring obat pelumpuh otot.
Kontrol jalan napas yang adekuat, dukungan pernapasan mekanik, dan sedasi serta
analgesia yang adekuat adalah esensial sebelum mulai terapi obat pelumpuh otot. Harus
tersedia perlengkapan monitoring fungsi kardiorespirasi dan kemampuan menilai
derajat relaksasi otot. Pemilihan obat pelumpuh otot harus didasarkan pada karakteristik
individu setiap pasien:

 Pasien dengan fungsi hati dan ginjal normal yang memerlukan relaksasi otot
lebih dari 1 jam: pancuronium.

 Pasien dengan gangguan hati dan/atau ginjal: atracurium dan cisatracurium


karena relatif tidak tergantung pada eliminasi hati dan ginjal.

 Penyakit kardiovaskuler: vecuronium, doxacurium, pipecuronium,


rocuronium.

Obat pelumpuh otot diberikan dengan infus kontinu atau injeksi intravena
intermiten. Obat pelumpuh otot kerja panjang cocok diberikan dengan injeksi
intermiten, sedangkan obat pelumpuh otot kerja singkat cocok diberikan secara infus
kontinu. Blokade neuromuskuler total (100%) tidak diperlukan untuk semua pasien,
tergantung situasi klinis. Lebih tepat memikirkan kontrol pasien dibanding besarnya
relaksasi otot pasien.

Dianjurkan monitoring klinis dan train-of- four (TOF) (rekomendasi B).


Penilaian klinik berulang, baik kualitatif maupun kuantitatif dari kedalaman hambatan
neuromuskuler dapat menyebabkan penurunan dosis obat pelumpuh otot dan penurunan
risiko komplikasi hambatan neuromuskuler residual. Dokter harus mengevaluasi alasan
(minimal setiap hari) dan kedalaman hambatan neuromuskuler (secara terus- menerus),
sehingga mobilitas dapat tercapai lebih cepat, yang dapat menurunkan prevalensi
delirium, meningkatkan ketidaktergantungan fungsional, dan me- ningkatkan hari-hari
bebas ventilator.

Dianjurkan menggunakan stimulasi tetanik atau train-of-four (TOF) untuk


stimulasi saraf perifer dalam monitoring derajat hambatan neuromuskuler. Kedalaman
hambatan dinilai dengan stimulasi saraf perifer setiap 2-3 jam hingga dosis obat
pelumpuh otot stabil, kemudian setiap 8-12 jam. Jika tidak ada kedutan otot, dosis
diturunkan 10%, jika tampak 3 atau 4 kedutan otot, dosis ditingkatkan 10%.
Pada pasien yang mampu menoleransi interupsi hambatan neuromuskuler, infus
obat pelumpuh otot sebaiknya diinterupsi setiap hari untuk menilai fungsi motorik dan
tingkat sedasi. Kerja obat pelumpuh otot non-depolarisasi dapat dilawan dengan
pemberian obat anticholinesterase seperti neostigmine 0,035-0,07 mg/kgBB. Efek
samping anticholinesterase dapat dicegah dengan pemberian atropine 15 mcg/kgBB.

Efek Samping

Efek samping anafilaksis karena obat pelumpuh otot sangat jarang terjadi. Efek
samping kardiovaskuler dikaitkan dengan stimulasi atau hambatan sistem saraf otonom
dan efek vasodilatasi akibat pelepasan histamin. Obat dengan risiko komplikasi
kardiovaskuler terendah adalah cisatracurium, doxacurium, pipecuronium, rocuronium,
dan vecuronium.

Obat yang tergantung pada bersihan ginjal (doxacurium, metocurine,


pancuronium, pipecuronium) dapat berakumulasi pada pasien gagal ginjal jika tidak
dilakukan penyesuaian dosis terhadap respons stimulasi saraf perifer dan dapat
menyebabkan hambatan neuromuskuler berlanjut selama1minggusetelahpemberianobat
dihentikan.

Pemanjangan lama efek obat pelumpuh otot setelah penghentian obat disebabkan
oleh akumulasi obat dan/atau metabolit aktif, atau miopati akut. Pemanjangan lama
efek obat pelumpuh otot dapat menyebabkan sindrom miopati akut dengan hilangnya
filamen miosin selektif. Obat pelumpuh otot yang menghasilkan metabolit aktif adalah
pancuronium, vecuronium, dan atracurium. Kebanyakan kasus miopati terjadi setelah
pemberian terapi kombinasi corticosteroid dengan obat pelumpuh otot.

2.2 Cairan Perioperatif

2.2.1 Anatomi Cairan Tubuh

Air merupakan bagian terbesar pada tubuh manusia, persentasenya dapat berubah
tergantung pada umur, jenis kelamin, dan derajat obesitas seseorang. Pada bayi usia <1
tahun cairan tubuh adalah sekitar 80-85% berat badan dan pada bayi usia >1 tahun
mengandung air sebanyak 70-75%. Seiring dengan pertumbuhan seseorang persentase
jumlah cairan terhadap berat badan berangsur-angsur turun yaitu pada laki-laki dewasa
50-60% berat badan, sedangkan pada wanita dewasa 50% berat badan. Hal ini terlihat
pada tabel berikut :

Usia Kilogram Berat (%)


Bayi prematur 80
3 bulan 70
6 bulan 60
1-2 tahun 59
11-16 tahun 58
Dewasa 58 – 60
Dewasa dengan obesitas 40 – 50
Dewasa kurus 70 - 75

Perubahan cairan tubuh total sesuai usia

Dikutip dari : Garner MW : Physiology and pathophysiology of the body fluid, St.
Louis, 1981, Mosby,

Perubahan jumlah dan komposisi cairan tubuh, yang dapat terjadi pada
perdarahan, luka bakar, dehidrasi, muntah, diare, dan puasa preoperatif maupun
perioperatif, dapat menyebabkan gangguan fisiologis yang berat. Jika gangguan
tersebut tidak dikoreksi secara adekuat sebelum tindakan anestesi dan bedah, maka
resiko penderita menjadi lebih besar. Seluruh cairan tubuh didistribusikan ke dalam
kompartemen ekstraseluler dibagi menjadi cairan intravaskular dan intersisial.

Cairan intraselular

Cairan yang terkandung di antara sel disebut cairan intraseluler. Pada orang
dewasa, sekitar duapertiga dari cairan dalam tubuhnya terdapat di intraseluler (sekitar
27 liter rata-rata untuk dewasa laki-laki dengan berat badan sekitar 70 kilogram),
sebaliknya pada bayi hanya setengah dari berat badannya merupakan cairan
intraselular.

Cairan ekstraselular

Cairan yang berada di luar sel disebut cairan ekstraselular. Jumlah relatif cairan
ekstraselular berkurang seiring dengan usia. Pada bayi baru lahir, sekitar setengah dari
cairan tubuh terdapat di cairan ekstraselular. Setelah usia 1 tahun, jumlah cairan
ekstraselular menurun sampai sekitar sepertiga dari volume total. Ini sebanding dengan
sekitar 15 liter pada dewasa muda cengan berat rata-rata 70 kg.

Cairan ekstraselular dibagi menjadi :

a. Cairan Interstisial

Cairan yang mengelilingi sel termasuk dalam cairan interstisial, sekitar 11-12 liter
pada orang dewasa. Cairan limfe termasuk dalam volume interstisial. Relatif terhadap
ukuran tubuh, volume ISF adalah sekitar 2 kali lipat pada bayi baru lahir dibandingkan
orang dewasa.

b. Cairan Intravaskular

Merupakan cairan yang terkandung dalam pembuluh darah (contohnya volume


plasma). Rata-rata volume darah orang dewasa sekitar 5-6 L dimana 3 liternya
merupakan plasma, sisanya terdiri dari sel darah merah, sel darah putih dan platelet.

c. Cairan Transeluler

Merupakan cairan yang terkandung diantara rongga tubuh tertentu seperti


serebrospinal, perikardial, pleura, sendi sinovial, intraokular dan sekresi saluran
pencernaan. Pada keadaan sewaktu, volume cairan transeluler adalah sekitar 1 liter,
tetapi cairan dalam jumlah banyak dapat masuk dan keluar dari ruang transeluler.

Body
100%

Water Tissue
60% (100) 40%

Intracellular space Extracellular space


40% (60) 20% (40)

Intracellular Intravascular space


space 5% (10)
15% (30)
2.2.2 Cairan Perioperatif

Gangguan dalam keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan hal yang umum
terjadi pada pasien bedah karena kombinasi dari faktor-faktor preoperatif, perioperatif
dan postoperatif.

 Faktor-faktor preoperative :

1. Kondisi yang telah ada

Diabetes mellitus, penyakit hepar, atau insufisiensi renal dapat diperburuk oleh stres
akibat operasi.

2. Prosedur diagnostic

Arteriogram atau pyelogram intravena yang memerlukan marker intravena dapat


menyebabkan ekskresi cairan dan elektrolit urin yang tidak normal karena efek diuresis
osmotik.

3. Pemberian obat

Pemberian obat seperti steroid dan diuretik dapat mempengaruhi ekskresi air dan
elektrolit.

4. Preparasi bedah

Enema atau laksatif dapat menyebabkan peningkatan kehilangan air dan elektrolit
dari traktus gastrointestinal

5. Penanganan medis terhadap kondisi yang telah ada

6. Restriksi cairan preoperative

Selama periode 6 jam restriksi cairan, pasien dewasa yang sehat kehilangan cairan
sekitar 300-500 mL. Kehilangan cairan dapat meningkat jika pasien menderita demam
atau adanya kehilangan abnormal cairan.
7. Defisit cairan yang telah ada sebelumnya

Harus dikoreksi sebelum operasi untuk meminimalkan efek dari anestesi.

 Faktor Perioperatif :

1. Induksi anestesi

2. Kehilangan darah yang abnormal

3. Kehilangan abnormal cairan ekstraselular ke third space (contohnya kehilangan


cairan ekstraselular ke dinding dan lumen usus saat operasi)

4. Kehilangan cairan akibat evaporasi dari luka operasi (biasanya pada luka operasi
yang besar dan prosedur operasi yang berkepanjangan)

 Faktor postoperatif :

a) Stres akibat operasi dan nyeri pasca operasi

b) Peningkatan katabolisme jaraingan

c) Penurunan volume sirkulasi yang efektif

d) Risiko atau adanya ileus postoperatif

2.2.3 Dasar-dasar Terapi Cairan Elektrolit Perioperatif

Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dan menjadi pegangan dalam
pemberian cairan perioperatif, yaitu :

1. Kebutuhan normal cairan dan elektrolit harian

Orang dewasa rata-rata membutuhkan cairan + 30-35 ml/kgBB/hari dan elektrolit


utama Na+ = 1-2 mmol/kgBB/hari K+=1 mmol/kgBB/hari. Kebutuhan tersebut
merupakan pengganti cairan yang hilang akibat pembentukan urine, sekresi
gastrointestinal, keringan (lewat kulit) dan pengeluaran lewat paru atau dikenal dengan
insensible water losses. Cairan yang hilang ini pada umumnya bersifat hipotonus (air
lebih banyak dibandingkan elektrolit).
2. Defisit cairan dan elektrolit pra bedah

Hal ini dapat timbul akibat dipuasakannya penderita terutama pada penderita
bedah elektif (sekitar 6-12 jam), kehilangan cairan abnormal yang seringkali menyertai
penyakit bedahnya (perdarahan, muntah, diare, diuresis berlebihan, translokasi cairan
pada penderita dengan trauma), kemungkinan meningkatnya insensible water loss
akibat hiperventilasi, demam dan berkeringan banyak. Sebaiknya kehilangan cairan pra
bedah ini harus segera diganti sebelum dilakukan pembedahan.

3. Kehilangan cairan saat pembedahan

a. Perdarahan

Secara otoritas perdarahan dapat diukur dari :

- Botol penampung darah yang disambung dengan pipa penghisap darah (suction
pump).

- Dengan cara menimbang kasa yang digunakan sebelum dan setelah pembedahan.
Kasa yang penuh darah (ukuran 4x4 cm) mengandung + 10 ml darah, sedangkan
tampon besar (laparatomy pads) dapat menyerap darah + 100 – 10 ml.

Dalam prakteknya jumlah perdarahan selama pembedahan hanya bisa ditentukan


berdasarkan kepada taksiran (perlu pengalaman banyak) dan keadaan klinis penderita
yang kadang-kadang dibantu dengan pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit
berulang-ulang (serial). Pemeriksaan kada hemoglobin dan hematokrit lebih
menunjukkan rasio plasma terhadap eritrosit daripada jumlah perdarahan. Kesulitan
penaksiran akan bertambah bila pada luka operasi digunakan cairan pembilas (irigasi)
dan banyaknya darah yang mengenai kain penutup, meja operasi dan lantai kamar
bedah.

b. Kehilangan cairan lainnya

Pada setiap pembedahan selalu terjadi kehilangan cairan yang lebih menonjol
dibandingkan perdarahan sebagai akibat adanya evaporasi dan translokasi cairan
internal. Kehilangan cairan akibat penguapan (evaporasi) akan lebih banyak pada
pembedahan dengan luka pembedahan yang luas dan lama. Sedangkan perpindahan
cairan atau lebih dikenal istilah perpindahan ke ruang ketiga atau sequestrasi secara
masif dapat berakibat terjadi defisit cairan intravaskuler.

Jaringan yang mengalami trauma, inflamasi atau infeksi dapat mengakibatkan


sequestrasi sejumlah cairan interstisial dan perpindahan cairan ke ruangan serosa
(ascites) atau ke lumen usus. Akibatnya jumlah cairan ion fungsional dalam ruang
ekstraseluler meningkat. Pergeseran cairan yang terjadi tidak dapat dicegah dengan cara
membatasi cairan dan dapat merugikan secara fungsional cairan dalam kompartemen
ekstraseluler dan juga dapat merugikan fungsional cairan dalam ruang ekstraseluler.

4. Gangguan fungsi ginjal

Trauma, pembedahan dan anestesia dapat mengakibatkan :

- Laju filtrasi Glomerular (GFR = Glomerular Filtration Rate) menurun.

- Reabsorbsi Na+ di tubulus meningkat yang sebagian disebabkan oleh meningkatnya


kadar aldosteron.

- Meningkatnya kadar hormon anti diuretik (ADH) menyebabkan terjadinya retensi air
dan reabsorpsi Na+ di duktus koligentes (collecting tubules) meningkat.

a. Pengganti Defisit Pra Bedah

Defisit cairan karena persiapan pembedahan dan anestesi (puasa, lavement) harus
diperhitungkan dan sedapat mungkin segera diganti pada masa pra-bedah sebelum
induksi. Setelah dari sisa defisit yang masih ada diberikan pada jam pertama
pembedahan, sedangkan sisanya diberikan pada jam kedua berikutnya. Kehilangan
cairan di ruang ECF ini cukup diganti dengan cairan hipotonis seperti garam fisiologis,
Ringer Laktat dan Dextrose. Pada penderita yang karena penyakitnya tidak mendapat
nutrisi yang cukup maka sebaiknya diberikan nutrisi enteral atau parenteral lebih dini
lagi. Penderita dewasa yang dipuasakan karena akan mengalami pembedahan (elektif)
harus mendapatkan penggantian cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam lama puasa.
Defisit karena perdarahan atau kehilangan cairan (hipovolemik, dehidrasi) yang
seringkali menyertai penyulit bedahnya harus segera diganti dengan melakukan
resusitasi carian atau rehidrasi sebelum induksi anestesi.

b. Terapi Cairan Selama Pembedahan

Jumlah penggantian cairan selama pembedahan dihitung berdasarkan kebutuhan


dasar ditambah dengan kehilangan cairan akibat pembedahan (perdarahan, translokasi
cairan dan penguapan atau evaporasi). Jenis cairan yang diberikan tergantung kepada
prosedur pembedahannya dan jumlah darah yang hilang.

1. Pembedahan yang tergolong kecil dan tidak terlalu traumatis misalnya bedah mata
(ekstraksi, katarak) cukup hanya diberikan cairan rumatan saja selama pembedahan.

2. Pembedahan dengan trauma ringan misalnya : appendektomi dapat diberikan cairan


sebanyak 2 ml/kgBB/jam untuk kebutuhan dasar ditambah 4 ml/kgBB/jam untuk
pengganti akibat trauma pembedahan. Total yang diberikan adalah 6 ml/kgBB/jam
berupa cairan garam seimbang seperti Ringer Laktat atau Normosol-R.

3. Pembedahan dengan trauma sedang diberikan cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam untuk


kebutuhan dasar ditambah 8 ml/kgBB/jam untuk pembedahannya. Total 10
ml/kgBB/jam

Rates of Fluid Administration to Replace Third Space Losses

Fluid Example of Operation Rates *


Shift (Crystalloid)
Minor Tendon Repair 0 – 3 ml/kg/hr

Tympanoplasty
Moderat Hysterectomy Inguinal 6 ml/kg/hr
e hernia

Total hip replacement


Major Abdominal case with 9 ml/kg/hr
peritonitis
*Includes 2 ml/kg/hr maintenance but not usual 3 ml crystaloid/ml blodd not replaced
with blood.

4. Penggantian darah yang hilang

Kehilangan darah sampai sekitar 20% EBV (EBV=Estimated Blood Volume=taksiran


volume darah), akan menimbulkan gejala hipotensi, takikardi dan penurunan tekanan
vena sentral. Kompensasi tubuh ini akan mengalami pembiusan (anestesi) sehingga
gejala-gejala tersebut seringkali tidak begitu tampak karena depresi komponen
vasoaktif.

Tabel 2. Perkiraan volume darah

Usia Volume darah


Neonatus
* Prematur 90 ml/kg BB
* Full term 85 ml/kg BB
Bayi 80 ml/kg BB
Dewasa
* Laki-laki 75 ml/kg/BB
* Wanita 65 ml/kg/BB

Walaupun volume cairan intravaskuler dapat dipertahankan dengan laruatan


kristaloid, pemberian transfusi darah tetap harus menjadi bahan pertimbangan
berdasarkan :

a. Keadaan umum penderita (kadar Hb dan hematokrit) sebelum pembedahan

b. Jumlah/penaksiran perdarahan yang terjadi.

c. Sumber perdarahan yang telah teratasi atau belum

d. Kedaaan hemodinamik (tensi dan nadi)

e. Jumlah cairan kristaloid dan koloid yang telah diberikan

f. Kalau mungkin hasil serial pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit

g. Usia penderita
Sebagai patokan kasar dalam pemberian transfusi darah :

- 1 unit sel darah merah (PRC = Packed Red Cell) dapat menaikkan kadar
hemoglobin sebesar 1 gr% dan hematokrit 2-3% pada dewasa.

- Transfusi 10 cc/kgBB sel darah merah dapat menaikkan kadar


hemoglobin 3 gr%. Monitor organ-organ vital dan diuresis, berikan cairan
secukupnya sehingga diuresis + 1 ml/kgBB/jam.

c. Terapi Cairan dan Elektrolit Pasca Bedah

Terapi cairan pasca bedah ditujukan terutama pada hal-hal dibawah ini:

1. Pemenuhan kebutuhan dasar/harian air, elektrolit dan kalori/nutrisi. Kebutuhan


air untuk penderita di daerah torpis dalam keadaan basal sekitar + 50 ml/kgBB/24
jam. Pada hari pertama pasca bedah tidak dianjurkan pemberian kalium karena
adanya pelepasan kalium dari sel/jaringan yang rusak, proses katabolisme dan
transfusi darah. Akibat stress pembedahan, akan dilepaskan aldosteron dan ADH
yang cenderung menimbulkan retensi air dan natrium. Oleh sebab itu, pada 2-3
hari pasca bedah tidak perlu pemberian natrium. Penderita dengan keadaan umum
baik dan trauma pembedahan minimum, pemberian karbohidrat 100-150 mg/hari
cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan kalori dan dapat menekan
pemecahan protein sampai 50% kadar albumin harus dipertahankan melebihi 3,5
gr%. Penggantian cairan pasca bedah cukup dengan cairan hipotonis dan bila
perlua larutan garam isotonis. Terapi cairan ini berlangsung sampai penderita
dapat minum dan makan.

2. Mengganti kehilangan cairan pada masa pasca bedah

3. Melanjutkan penggantian defisit cairan pembedahan dan selama pembedahan


yang belum selesai. Bila kadar hemoglobin kurang dari 10 gr%, sebaiknya
diberikan transfusi darah untuk memperbaiki daya angkut oksigen.

4. Koreksi terhadap gangguan keseimbangan yang disebabkan terapi cairan tersebut.


Monitoring organ-organ vital dilanjutkan secara seksama, meliputi tekanan darah,
frekuensi nadi, diuresis, tingkat kesadaran, diameter pupil, jalan napas, frekuensi napas,
suhu tubuh dan warna kulit.

d. Pilihan Jenis Cairan

1. Cairan Kristaloid

Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler (CES=CEF).


Keuntungan dari cairan ini antara lain harga murah, tersedia dengan mudah di setiap
pusat kesehatan, tidak perlu dilakukan cross match, tidak menimbulkan alergi atau syok
anafilaktik, penyimpanan sederhana dan dapat disimpan lama. Cairan kristaloid bila
diberikan dalam jumlah cukup (3-4 kali cairan koloid) ternyata sama efektifnya seperti
pemberian cairan koloid untuk mengatasi defisit volume intravaskuler. Waktu paruch
cairan kristaloid di ruang intravaskuler sekitar 20-30 menit.

Heugman et al (1972) mengemukakan bahwa walaupun dalam jumlah sedikit


larutan kristaloid akan masuk ruang interstitiel sehingga timbul edama perifer dan paru
serta berakibat terganggunya oksigenasi jaringan dan edema jaringan luka, apabila
seseorang mendapat infus 1 liter NaCl 0,9%. Penelitian Mills, dkk (1967) di medan
perang Vietnam turut memperkuat penelitian yang dilakukan oleh Heugman, yaitu
pemberian sejumlah cairan kristaloid dapat mengakibatkan timbulnya edema paru
berat. Selain itu, pemberian cairan kristaloid berlebihan juga dapat menyebabkan
edema otak dan meningkatnya tekanan intra kranial.

Karena perbedaan sifat antara koloid dan kristaloid dimana kristaloid akan lebih
banyak menyebar ke ruang interstitiel dibandingkan dengan koloid maka kristaloid
sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit cairan di ruang interstitiel.

Larutan Ringer Laktat merupakan cairan kristaloid yang paling banyak digunakan
untuk resusitasi cairan walaupun agak hipotonis dengan susunan yang hampir
menyerupai cairan intravaskuler. Laktat yang terkandung dalam cairan tersebut akan
mengalami metabolisme di hati menjadi bikarbonat. Cairan kristaloid lainnya yang
sering digunakan adalah NaCl 0,9%, tetapi bila diberikan berlebih dapat mengakibatkan
asidosis hiperkloremik (delutional hyperchlorenmic acidosis) dan menurunnya kadar
bikarbonat plasma akibat peningkatan klorida.

2. Cairan Koloid

Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut “plasma
substitute” atau “plasma expander”. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang
mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotuik yang menyebabkan cairan
ini cenderung bertahan agak lama (waktu paruh 3-6 jam) dalam ruang intravaskuler.
Oleh karena itu koloid sering digunakan untuk resusitasi cairan secara cepat terutama
pada syok hipovolemik/hemorhagik atau pada penderita dengan hipoalbuminemia berat
dan kehilangan protein yang banyak (misal luka bakar).

Kerugian dari plasma expander yaitu mahal dan dapat menimbulkan reaksi
anafilaktik (walau jarang) dan dapat menyebabkan gangguan pada “cross match”.
Berdasarkan pembuatannya, terdapat 2 jenis larutan koloid :

a. Koloid alami yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia (5 dan 2,5%)

Dibuat dengan cara memanaskan plasma atau plasenta 600 C selama 10 jam untuk
membunuh virus hepatitis dan virus lainnya. Fraksi protein plasma selain mengandung
albumin (83%) juga mengandung alfa globulin dan beta globulin. Prekallikrein
activators (Hageman’s factor fragments) seringkali terdapat dalam fraksi protein
plasma dibandingkan dalam albumin. Oleh sebab itu pemberian infus dengan fraksi
protein plasma seringkali menimbulkan hipotensi dan kolaps kardiovaskuler.

b. Koloid sintesis, yaitu :

1) Dextran

Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000 dan Dextran 70


(Macrodex) dengan berat molekul 60.000 – 70.000 diproduksi oleh bakteri
Leuconostoc mesenteroides B yang tumbuh dalam media sukrosa. Walaupun Dextran
70 merupakan volume expander yang lebih baik dibandingkan dengan Dextran 40,
tetapi Dextran 40 mampu memperbaiki aliran darah lewat sirkulasi mikro karena dapat
menurunkan kekentalan (viskositas) darah. Selain itu Dextran mempunyai efek anti
trombotik yang dapat mengurangi platelet adhesiveness, menekan aktivitas faktor VIII,
meningkatkan fibrinolisis dan melancarkan aliran darah.

Pemberian Dextran melebihi 20 ml/kgBB/hari dapat mengganggu cross match,


waktu perdarahan memanjang (Dextran 40) dan gagal ginjal. Dextran dapat
menimbulkan reaksi anafilaktik yang dapat dicegah yaitu dengan memberikan Dextran
1 (Promit) terlebih dahulu.

2) Hydroxylethyl Starch (Heta starch)

Tersedia dalam larutan 6% dengan berat molekul 10.000 – 1.000.000, rata-rata


71.000, osmolaritas 310 mOsm/L dan tekanan onkotik 30 mmHg. Pemberian 500 ml
larutan ini pada orang normal akan dikeluarkan 46% lewat urin dalam waktu 2 hari dan
sisanya 64% dalam waktu 8 hari. Larutan koloid ini juga dapat menimbulkan reaksi
anafilaktik dan dapat meningkatkan kadar serum amilase (walau jarang).

Low molecullar weight Hydroxylethyl starch (Penta-Starch) mirip Heta starch,


mampu mengembangkan volume plasma hingga 1,5 kali volume yang diberikan dan
berlangsung selama 12 jam. Karena potensinya sebagai plasma volume expander yang
besar dengan toksisitas yang rendah dan tidak mengganggu koagulasi maka Penta
starch dipilih sebagai koloid untuk resusitasi cairan pada penderita gawat.

3) Gelatin

Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte dengan berat molekul rata-rata
35.000 dibuat dari hidrolisa kolagen binatang. Ada 3 macam gelatin, yaitu :

a. Modified fluid gelatin (Plasmion dan Hemacell)

b. Urea linked gelatin

c. Oxypoly gelatin

Merupakan plasma expanders dan banyak digunakan pada penderita gawat.


Walaupun dapat menimbulkan reaksi anafilaktik (jarang) terutama dari golongan urea
linked gelatin
Sifat-sifat Kristaloid Koloid
1. Berat Molekul Lebih kecil Lebih besar
2. Distribusi Lebih cepat Lebih lama dalam
sirkulasi
3. Faal Hemostasis Tidak ada pengaruh Mengganggu
4. Penggunaan Untuk Dehidrasi Pada perdarahan massif
5. Untuk koreksi Diberikan 2-3x jumlah Sesuai jumlah perdarahan
perdarahan perdarahan

Perbedaan cairan kristaloid dan cairan koloid

BAB III

KESIMPULAN

Obat muscle relaxant merupakan salah satu obat yang penting dalam anestesi.
Dikelompokkan menjadi 2 bagian besar yaitu depolarisasi dan non depolarisasi.
Depolarisasi bekerja ditandai dengan fasikulasi otot sedangkan non depolarisasi bekerja
sebagai kompetitif terhadap reseptor asetilkolin. Setiap obat memiliki karakteristik
masing-masing baik dalam farmakologinya, berupa metabolisme, ekskresi, dosis serta
efek samping. Dan juga penggunaanya , baik atau tidaknya digunakan tergantung
dengan kondisi pasien.
Terapi cairan perioperatif merupakan pemberian cairan pada periode sebelum,
sesaat, dan setelah operasi. Terapi cairan perioperatif dilakukan dengan tujuan untuk
melengkapi kebutuhan cairan dan elektrolit dalam mempertahankan perfusi jaringan
yang adekuat, mencegah, dan mengoreksi adanya defisit cairan.
Pemberian terapi cairan perioperatif dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu pre
operatif, intra operatif, dan post operatif. Cairan kristaloid, cairan koloid, maupun
darah, adalah jenis cairan yang digunakan dalam pemberian terapi cairan. Pemilihan
jenis cairan yang diberikan dibedakan oleh komposisi cairan yang diberikan. Pemilihan
rute pemberian cairan adalah hal yang perlu diperhatikan. Pemilihan rute pemberian
cairan didasari pada beberapa pertimbangan seperti durasi pemberian cairan.
Dalam pemberian terapi cairan terdapat beberapa komplikasi yang dapat terjadi,
seperti gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, hingga terjadinya infeksi. Pemberian
terapi cairan sesuai dengan prosedur dapat mencegah terjadinya komplikasi dan
mempercepat penyembuhan pasien pasca operasi.

DAFTAR PUSTAKA

Mangku G Senapathi TGA, 2017. Buku Ajar Ilmu Anesthesia dan Reanimasi. Jakarta.
Indeks

https://slidetodoc.com/biolistrik-proses-transmisi-impuls-sifat-saraf-dan-otot/ diakses 1
Desember 2021

Barash PG. Neuromuscular Blocking Agents dalam : Clinical Anesthesia 8th ed.
Lippincott Williams & Wilkins. 2017.
Katzung BG. Basic & Clinical Pharmacology 14th ed. New york: McGrawHill
Companies. 2018.

Murray MJ, DeBlock H, Erstad B, Gray A, Jacobi J, Jordan C, et al. Clinical Practice
Guidelines for Sustained Neuromuscular Blockade in the Adult Critically Ill Patient.
Crit Care Med 2016.

Morgan GE. Neuromuscular Blocking Agents dalam: Clinical Anesthesiology 6th ed.
New york: McGrawHill Companies. 2018.

Bittner EA, Parsons PE. Clinical Use of Neuromuscular Blocking Agents in Critically
Ill Patient. UpToDate 2017.

Butterworth J, Mackey D, Wasnick J. Clinical Pharmacology. Morgan & Mikhail's


Clinical Anesthesiology. 5 ed. United States: McGraw-Hill; 2013

Kaswiyan U. Terapi Cairan Perioperatif. Bagian Anestesiologi dan Reanimasi. Fakultas


Kedokteran UnPad/RS Hasan Sadikin. 2016

Latief AS, dkk. Petunjuk Praktis Anestesiologi : Terapi cairan pada pembedahan. Edisi
kedua. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, FK UI, 2017.

Leksana E. Terapi cairan dan elektrolit. SMF/Bagian Anestesi dan Terapi Intensif FK
UNDIP: Semarang; 2016:1-60.

Graber MA. Terapi cairan, elektrolit dan metabolik. Edisi 2. farmedia; 2018:17-40

Silbernagl F, Lang F. Color Atlas of Pathophysiology. Stuttgart: Thieme; 2016:122 – 3

Anda mungkin juga menyukai