Anda di halaman 1dari 26

Referat

OBAT MUSCLE RELAXANT

Oleh :

Dhini Utami Adiningsih


Mardhiyatul Aflah
Melia Novira
Nurul Hidayati
Nurul Humairah Arfiza

Pembimbing:
dr. Dino Irawan, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RSUD ARIFIN ACHMAD
PROVINSI RIAU
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga

penulis dapat menyelesaikan referat ini yang berjudul “ Obat Muscle Relaxant”

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu dalam penyelesaian referat ini. Terima kasih kepada dr. Dino Irawan,

Sp.An , MM yang telah membimbing, meluangkan waktu dan memberi saran

dalam penulisan referat ini.

Penulis menyadari adanya kekurangan dalam penulisan referat ini, karena

itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang relevan untuk kesempurnaan

referat ini. Semoga referat ini dapat menambah pengetahuan penulis dan pembaca.

Pekanbaru, 12 Februari 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ...................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................. iii

BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang ............................................................................. 1
1.2 Batasan masalah ......................................................................... 2
1.4 Tujuan penulisan ......................................................................... 2
1.5 Manfaat penulisan ....................................................................... 2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Fisiologi transmisi saraf-otot ...................................................... 3
2.2 Klasifikasi muscle relaxant ......................................................... 5
2.3 Mekanisme kerja muscle relaxant ................................................ 6
2.4 Muscle relaxant depolarisasi......................................................... 7
2.5 Muscle relaxant non depolarisasi................................................ 12

BAB III. PENUTUP ...................................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 22

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Muscle Relaxant atau pelumpuh otot merupakan salah satu obat yang

penting dalam anestesi. Penggunaan Muscle relaxant pada anesthesia klinis

dikenalkan pada tahun 1942 oleh Griffith dan Johnson. Pada saat ini, muscle

relaxant merupakan bagian yang tidak bisa ditinggalkan baik dalam anesthesia,

intensive care dan emergency care. Indikasi penggunaannya adalah untuk intubasi

endotrachea, memfasilitasi pembedahan dan immobilisasi dari pasien.1

Muscle relaxant atau dikenal sebagai neuromuscular blocking agents ini

dikelompokkan menjadi 2, yaitu depolarisasi dan non-depolarisasi.Tempat aksi

utama dari Muscle Relaxant ini adalah pada nicotinic cholinergic reseptor pada

endplate dari otot dan pada presynaptic reseptor dari nervus terminal. Depolarisasi

agent atau succynilcholine menghasilkan depolarisasi pada endplate dan berikatan

dengan extrajunctional reseptor. Non-depolarisasi agent berkompetisi dengan

acetylcholine dalam berikatan dengan reseptor. Penggunaan muscle relaxant ini

menghasilkan paralisis bukan anesthesia. Dalam kata lain, muscle relaxant ini

tidak berfungsi sebagai sedatif, amnesia atau analgesia.2,3

Penggunaan muscle relaxant ini sangat bermanfaat. Jika penggunaannya

tepat, ini bermanfaat bagi pasien dan apabila digunakan dalam dosis tidak tepat,

ini memungkinkan terjadinya kesakitan atau kematian dari pasien. Untuk itu

1
2

diperlukan pengetahuan mengenai farmakologi dari obat-obat muscle relaxant

ini.1

1.2 Batasan masalah

Referat ini membahas mengenai farmakologi , mekanisme, eliminasi,

dosis yang dianjurkan dan efek samping dari Muscle relaxant dalam

penggunaannya di bidang Anesthesi.

1.3 Tujuan penulisan

Tujuan penulisan referat sebagai tugas kepaniteraan klinik di bagian

Anesthesi RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau.

1.4 Manfaat penulisan

Manfaat penulisan referat ini menambah pengetahuan mengenai

penggunaan muscle relaxant serta farmakologinya di bidang Anesthesi


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fisiologi transmisi saraf- otot

Neuromuscular Junction adalah ruang disekitar neuron dan sel otot.

Membran sel neuron dan serabut otot ini dipisahkan oleh celah sempit (20 nm)

yang disebut celah sinaps. Saat potensial aksi saraf mendepolarisasi pada bagian

terminal, terjadi influx dari kalsium melalui voltage-gated calcium channel

sehingga memungkinkan terjadinya fusi dari vesikel dengan membrane terminal

dan melepaskan acetylcholine (Ach). Molekul Ach ini berdifusi melalui celah

sinaps untuk berikatan dengan nicotinic cholinergic reseptor pada membran sel

otot. Setiap neuromuscular junction terdapat lebih kurang 5 juta reseptor, tetapi

aktifasinya hanya membutuhkan 500.000 reseptor untuk setiap kontraksi otot.2

3
4

Kation masuk melalui reseptor Ach terbuka (Natrium dan Kalsium masuk

dan Kalium keluar) dan menghasilkan potensial pada endplate. Bagian dari satu

vesikel, quantum Ach (104 molekul per quantum) menghasilkan potensial pada

endplate juga. Di mana sekitar 200 yang dihasilkan oleh setiap impuls saraf sangat

sensitif dengan konsentrasi kalsium ekstraseluler. Ketika Ach sudah berikatan

dengan reseptor yang cukup, potensial pada endplate akan mendepolarisasi

membrane perijunctional. Channel Natrium terbuka ketika ambang batas dilewati.

Perijunctional area pada sel otot memiliki densitas yang lebih tinggi dibandingkan

area lainnya. Potensial aksi menyebar sepanjang membran otot, T-tubule system,

membuka channel natrium dan melepaskan kalsium dari reticulum sarkoplasma.

Kalsium intraseluler menyebabkan protein aktin dan myosin berinteraksi dan

terjadi kontraksi otot.2


5

Ach dihidrolisis dengan cepat menjadi asetat dan cholin oleh enzim

acetylcholinesterase. Setelah itu terjadi penutupan ion channel dan terjadi

repolarisasi.Ketika pembentukan potensial aksi berhenti, channel natrium pada

membran sel otot juga menutup. Kalsium kembali masuk ke retikulum

sarkoplasma dan sel otot akan berelaksasi.2

2.2 Klasifikasi muscle relaxant

Muscle relaxant dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu depolarisasi dan non-

depolarisasi. Pembagian ini dibagi berdasarkan aksi atau mekanisme kerja dan

stimulasi saraf perifer. Hambatan depolarisasi terjadi karena serabut saraf otot

mendapat rangsangan depolarisasi yang menetap sehingga akhirnya kehilangan

respon berkontraksi yang menyebabkan kelumpuhan. Ciri kelumpuhan ditandai

dengan fasikulasi otot. Pulihnya fungsi saraf otot bergantung pada kemampuan

daya hidrolisis enzim kolinesterase.4 Hambatan non-depolarisasi atau kompetisi

terjadi karena reseptor asetilkolin diduduki oleh molekul-molekul oba pelumpuh

otot non depolarisasi sehingga proses depolarisasi membrane otot tidak terjadi dan

otot menjadi lumpuh (lemas). Pemulihan fungsi saraf otot terjadi kembali jika

jumlah obat yang menduduki reseptor asetilkolin telah berkurang antara lain

terjadi karena proses eliminasi dan atau distribusi. Pemulihan juga dapat dibantu

lebih cepat dengan memberi obat antikolinesterase (neostigmin) yang

menyebabkan peningkatan jumlah asetilkolin.4


6

DEPOLARISASI NON DEPOLARISASI


Short Acting Short Acting
 Succinylcholine  Mivakurium

Intermediate Acting
 Atrakurium
 Cisatrakurium
 Vekuronium
 Rocuronium

Long Acting
 Doxacurium
 Pancuronium
 Pipecuronium

2.3 Mekanisme kerja muscle relaxant

Obat-obat muscle relaxant memiliki kemiripan dengan Ach. muscle

relaxant depolarisasi sangat mirip dengan Ach dan berikatan dengan reseptor

Ach. Tidak seperti Ach, obat ini tidak dimetabolisme oleh acetylcholinesterase

dan konsentrasinya pada celah sinaps tidak cepat menurun sehingga menghasilkan

depolarisasi prolong pada endplate dari otot. Depolarisasi yang terus-menerus

menyebabkan relaksasi dari otot karena pembukaan gerbang bawah pada natrium

channel di perijunctional terbatas waktunya. Setelah inisiasi awal dan pembukaan,

natrium channel tertutup dan tidak bisa dibuka lagi sampai terjadi repolarisasi.

End-plate tidak berepolarisasi selama muscle relaxant terus mengikat Ach

reseptor, ini disebut dengan fase block I. Setelah itu, depolarisasi yang prolong ini
7

menyebabkan ionic dan perubahan pada Ach reseptor yang disebut dengan fase

block II. Diikuti dengan relaksasi.2

Non depolarisasi muscle relaxant mengikat Ach reseptor sehingga Ach

tidak berikatan dengan reseptornya dan tidak terjadi potensial aksi pada end-plate.

Ini disebut juga Ach reseptor antagonist atau kompetitif.2

2.4 Muscle relaxant depolarisasi

2.4.1 Karakterisasi Obat5

a. Menyebabkan fasikulasi otot.

b. Efek meningkat oleh anticholinesterase agent

c. Hipotermia

d. Efek menurun dengan obat non depolarizing relaxant, anesthetic

inhalation

e. Serabut otot yang terdepolarisasi tidak merespon terhadap stimulasi

f. Tidak bisa dilawan oleh neostigmin dan obat anticholinesterase yang lain

g. Pada keadaan paralisis partial, alat monitoring neuromuskuler

menunjukkan depresi pada gerakan otot, tidak ada fasikulasi post titanic

h. Diperkuat oleh isofluran, enfluran, alkalosis dan magnesium

i. Dilawan oleh eter, halotan, asidosis ddan obat non depolarisasi

j. Diasosiasi cepat yang konstan pada reseptor

k. Pemberian berulang atau terus-menerus mengarah kepada blockade fase II


8

2.4.2 Jenis Obat

Succinylcholine merupakan obat muscle relaxant depolarisasi yang

digunakan sekarang.2

2.4.3 Struktur Fisik

Succinylcholine disebut juga diacetylcholine atau suxamethonium terdiri

dari 2 molekul Ach.2


9

2.4.4 Metabolisme dan Ekskresi

Metabolisme succinylcholine dimana onset kerjanya cepat (30-60 detik)

dan durasi pendek <10 menit serta kelarutan dalam lemak rendah. Ketika

succinylcholine masuk ke sirkulasi, sebagian cepat dimetabolisme oleh

pseudocholinesterase menjadi succinylmonocholine. Hanya sebagian kecil yang

diinjeksikan yang mencapai neuromuscular junction. Saat kadar dalam serum

menurun, succinylcholine difusi keluar dari neuromuscular junction.2

Durasi kerjanya bertambah jika dosis tinggi atau metabolism yang

abnormal. Bisa disebabkan hipotermia, kadar pseudocholinesterase yang rendah

atau karena genetik pada enzim. Hipotermia menurunkan hidrolisis.2

2.4.5 Dosis

Dosis succinylcholine untuk intubasi trakea adalah 1 mg/kgbb IV.

Pernafasan spontan terjadi setelah paralisis akibat pemberian succinylcholine.

Durasi rata-rata sebelum mencapai 90% adalah lebih kurang 10 menit. Dengan

demikian, pada dewasa yang sudah dioksigenasi sebelumnya dapat mengalami

apnea sebelum saturasi oksigen turun ke 90%.3 Dosis dapat bervariasi antara 0,5-

0,15mg/kgBB, dosis kurang 1mg/kgBB tidak mempersingkat waktu terjadi

pergerakan diafragma atau pernapasan spontan. Selain itu pada keadaan dimana

blokade saraf otot penuh diperlukan, diberikan dosis 1,5mg/kgBB.3


10

2.4.6 Efek Samping

1. Cardiovascular

Stimulasi pada reseptor nikotinik pada parasimpatetik dan simpatetik

ganglia dan reseptor muskarinik di nodus SA pada jantung bisa meningkatkan

atau menurunkan tekanan darah atau denyut jantung. Dosis rendah dapat

menyebabkan chronotropik negatif dan efek inotropik, tetapi dosis tinggi

umumnya menyebabkan peningkatan denyut jantung dan kontraksi dan

peningkatan kadar katekolamin.2

2. Hiperkalemia

Normalnya otot meelepaskan kalium selama depolarisasi dan menaikkan

kadar kalium serum 0,5meq/L. Peninggian kalium bisa menyebabkan cardiac

arrest dan kondisi lainnya.2,5

3. Nyeri Otot

Nyeri otot dapat dikurangi dengan pemberian pelumpuh otot

nondepolarisasi dosis kecil sebelumnya. Mialgia terjadi 90% , selain itu dapat

terjadi mioglobinuria, terutama otot leher, punggung dan abdomen.5

4. Peningkatan tekanan intragastric

Fasikulasi otot abdomen menyebabkan peningkatan tekanan intragastric

dan juga tonus sfingter bawah esophagus.2


11

5. Peningkatan tekanan intraocular

Peningkatan kontraksi pada otot extraocular menyebabkan peninggian

TIO.

6. Kekakuan otot masseter

Terjadinya kekakuan transier pada otot masseter menyebabkan susah

membuka mulut.2

7. Hipertermia Maligna

8. Kontraksi Generalisasi pada pasien dengan myotonia.2

9. Prolonged Paralisis2

10. Peningkatan Tekanan Intrakranial

Succinylcholine pada beberapa pasien meningkatkan aliran darah serta

tekanan intracranial. Ini bisa dikontrol dengan menjaga airway serta

hiperventilasi. Bisa dicegah sebelumnya dengan nondepolarisasi agent dan

lidocain (1,5-2mg/kgBB) 2-3 menit sebelum intubasi.

11. Pelepasan Histamin2


12

2.5 Muscle relaxant non-depolarisasi

2.5.1 Karakterisasi umum5

1. Tidak menyebabkan fasikulasi otot

2. Efek menurun oleh obat anticholinesterase, depolarizing agent, suhu tubuh

yang rendah, epinefrin, acetylcholine.

3. Efek meningkat oleh non-depolarizing drugs, volatile anestesi.

2.5.2 Karakterisasi Farmakologik General2

1. Hipotermia, prolong blokade dengan menurunkan metabolisme

(mivakurium, atrakurium dan cisatrakurium) dan memperlambat ekskresi

(pankuronium dan vekuronium)

2. Keseimbangan Asam basa, asidosis respiratori menghambat kepulihan

neuromuscular pada pasien post operasi dengan hipoventilasi.

3. Kadar elektrolit abnormal, hipokalemiaa dan hipokalsemia memblock non

depolarisasi.

4. Usia. Neonatus memiliki sensitivitas tinggi terhadap muscle relaxant

karena belum maturnya neuromuscular junction.

5. Penyakit tertentu. Pada pasien dengan penyakit neuromuscular memiliki

efek yang besar. Pada pasien sirosis dan gagal ginjal kronik terjadi
13

peningkatan kadar pada plasma dan juga yang dimetabolisme di hati dan

ginjal ekskresinya bisa lama.

2.5.3 Atrakurium2,4,6

- Metabolisme : tidak tergantung oleh hepar dan ginjal

- Ekskresi : <10% diekskresi ginjal dan system bilier

- Hidrolisis : Dihidrolisis atau dikatalisasi oleh nonspesifik esterase, bukan

oleh asetylcholinesterase atau pseudocholinesterase.

- Hoffman eliminasi : Eliminasi spontan non enzimatik pada pH fisiologis.

- Dosis : 0,5-0,6mg/kgBB IV pada 30-60 detik intubasi.

Relaksasi intraoperatif 0,25mg/kgBB.

Infus 5-10 mikrogram/kgBB.

- Dosis maintenance 0,1-0,2 mg/kgBB


14

Efek samping : Hipotensi dan tachycardia, bronkospasme dan reaksi alergi.

Reversal : Kualitas reversal dengan neostigmine da endrophonium sangat baik.

Baik untuk pembedahan SC, cardiopulmonary bypass, keracunan organofosfat

dan pasien dengan miastenia gravis.

2.5.4 Cisatrakurium2,6

- 4 kali lebih potensial dibanding atrakurium

- Metabolisme : degradasi pada pH fisiologis dan tidak tergantung organ

- Dosis : 0,1-0,15mg/kgBB dalam 2 menit

- Durasi intermediate

- Infus : 1-2mikrogram/kg/menit

- Potensial sama dengan vekuronium


15

- Efek : Tidak berafek ke peningkatan denyut jantung, tekanan darah atau

pelepasan histamin.

2.5.5 Mivakurium2

- Merupakan derivat Benzylisoquinoline

- Metabolisme : Oleh pseudocholinesterase.

- Reversal : Edrophonium lebih baik dibandingkan neostigmine

- Dosis : Intubasi 0,15-2mg/kgBB

- Efek samping : Release histamin seperti atrakurium.

Penurunan tekanan darah pada dosis >0,15mg/kgBB

2.5.6 Doxacurium2

- Merupakan derivate Benzylisoquinoline

- Merupakan long acting relaxant

- Hidrolisis rendah oleh plasma cholinesterase


16

- Ekskresi: Ginjal

- Dosis: Intubasi 0,05mg/kgBB durasi 5 menit

Intraoperatif relaksasi 0,02mg/kgBB inisial

diikuti dosis 0,005 mg/kgBB

-Efek samping: Tidak berefek sama sekali terhadap cardiovascular maupun

release histamin.

2.5.7 Pankuronium2,3,4,5,6

- Aminosteroid bisquaternary.

- Menimbulkan pembebasan noradrenaline dan sebagian 30% dikeluarkan melalui

ginjal, 25% ke system bilier.

- Kontraindikasi pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal

- Tidak menembus sawar darah otak

- Tidak menimbulkan efek penumpukan dalam tubuh dan mudah direverse dengan
17

neostigmine bersama SA

- Peningkatan 10-15% dari denyut jantung, tekanan arteri rata-rata dan curah

jantungg, efek sirkulasi minimum

- Pada sirosis hepatis perlu dosis yang lebih besar

- Hati-hati pada pasien dengan obstruksi saluran empedu

- Peningkatan denyut jaantung menggambarkan terjadinya blokade selektif pada

reseptor muskarinik jantung terutama pada nodus sinoatrial

- Perubahan pad ajantung menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen

miokardial dan terjadinya iskemik miokadrium pada pasien dengan gangguan

arteri koroner.

- Dosis : 0,08mg/kgBB/IV

Rumatan separuh dosis awal

Pemeliharaan 0,1-0,2mg/kgBB/IV

-Efek Samping : Hipertensi dan tachycardia. Aritmia serta reaksi alergi.


18

2.5.8 Pipecuronium2

- Steroid bisquaternary

- Metabolisme rendah, ekskresi 70% ginjal dan bilier 30%.

- Durasi meningkat pada pasien dengan gagal ginjal, tapi tidak dengan kelainan

hepar

- Sedikit lebih potensial dibanding pancuronium

- Dosis intubasi: 0,06-0,1mg/kgBB

- Efek samping: Efek cardiovascular lebih ringan karena sedikit yang terikat

dengan reseptor muskarinik pada jantung.

- Tidak berhubungan dengan pelepasan histamin.

- Onset dan durasi sama dengan pankuronium.


19

2.5.9 Vecuronium2,5

- Monoquaternary relaxant

- Metabolisme oleh hepar, diekskresi primer oleh bilier dan sekunder oleh ginjal

- Dosis: Intubasi 0,08-0,12 mg/kgBB dengan OOA 3-5 menit durasi 45-60 menit

Bolus rata-rata 0,1mg/kgBB, infuse 0,2 mikrogram/kg/jam

- Kemasan suntik bubuk, 10mg/ml

- Efek samping : Tidak ada pengaruh terhadap sirkulasi, tidak ada efek vagolitik

Tidak ada pelepasan histamin

2.5.10 Rocuronium2,4,5,6
20

- Monoquaternary steroid, analog dari vecuronium, rapid onset of action

- Eliminasi primer oleh hati dan sedikit oleh ginjal

- Durasi kerja tidak dipengaruhi ada atau tidaknya penyakit ginjal

- Durasi memanjang pada penyakit hati dan pada kehamilan

- Tidak ada metabolit aktif

- Pada pasien geriatric durasi lebih memanjang

- Potensial lebih sedikit dibanding muscle relaxant steroid lainnya

- Dosis 0,6-1mg/kgBB iv untuk intubasi dan 0,15mg/kgBB untuk maintenance,

OOA 1-menit dan DOA 30-45 menit

- Dosis besar dari rocuronium dibutuhkan untuk menghasilkan onset seperti

succinylcholine dan durasi menyerupai pancuronium (0,9-1,2mg/kgBB).

- Efek sirkulasi tekanan darah meningkat dan denyut jantung meningkat


BAB III

PENUTUP

Obat muscle relaxant merupakan salah satu obat yang penting dalam

anestesi. Dikelompokkan menjadi 2 bagian besar yaitu depolarisasi dan non

depolarisasi. Depolarisasi bekerja ditandai dengan fasikulasi otot sedangkan non

depolarisasi bekerja sebagai kompetitif terhadap reseptor asetilkolin. Setiap obat

memiliki karakteristik masing-masing baik dalam farmakologinya, berupa

metabolisme, ekskresi, dosis serta efek samping dan juga penggunaanya , baik

atau tidaknya digunakan tergantung dengan kondisi pasien.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Booij,L.2011.Appropriate use of muscle relaxantsin anaesthesia, intensive and

emergency care.136-144

2. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, eds.Neuromuscular blocking agents.In :

Clinical Anesthesiology 4 edition.McGraw Hills Company.2006th

3. FrancoisD,Bevan DR.Pharmacology of muscle relaxants and their

antagonists.In:Barash PG, Cullen BF,Stoelting RK,eds.Clinical Anesthesia.6

edition.Lippincolt William Wilkins.2006 th

4. Muhiman m, Thaib RM, Snatrio S, Dahlan R.Anestesiologi.FKUI.Jakarta.1989

5. Soerasdi E, Satriyanto DM.Obat-Obat Anesthesia sehari-hari.Bandung.2010

6. Muscle Relaxants.Available from http://www.vajira.ac..th/anset/files/muscle

%20relaxant.ppt , diakses 25 Maret 2013.

22
23

Anda mungkin juga menyukai