Anda di halaman 1dari 40

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................i
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................3
2.1. Fisiologi Transmisi Syaraf Otot....................................................................3
2.2. Mekanis Kerja Pelumpuh Otot......................................................................6
2.3. Farmakokinetik............................................................................................10
2.4. Farmakodinamik..........................................................................................11
2.5. Jenis Obat....................................................................................................13
2.6. Agen Depolarisasi.......................................................................................14
2.6.1. Dosis.....................................................................................................15
2.6.2. Efek samping........................................................................................16
2.7. Agen Non-Depolarisasi...............................................................................19
2.7.1. Ciri Blokade Saraf-Otot Nondepolarisasi.............................................19
2.7.2. Intubasi.................................................................................................20
2.7.3. Mencegah Fasikulasi............................................................................21
2.7.4. Rumatan Relaksasi Otot.......................................................................21
2.7.5 Potensiasi...............................................................................................22
2.7.6. Efek Samping........................................................................................22
2.7.7. Metabolisme.........................................................................................23
2.7.8. Karakteristik Farmakologis Umum......................................................24
2.7.9. Contoh Obat..........................................................................................26
2.8. Pemulihan....................................................................................................34
2.9. Antidotum....................................................................................................35
BAB 3 PENUTUP.................................................................................................37
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................38

i
BAB 1
PENDAHULUAN

Pelumpuh otot merupakan salah satu obat yang penting dalam anestesi.
Penggunaan Pelumpuh otot pada anesthesia klinis dikenalkan pada tahun 1942
oleh Griffith dan Johnson. Pelumpuh otot merupakan bagian yang tidak bisa
ditinggalkan baik dalam anesthesia, intensive care dan emergency care. Indikasi
penggunaannya adalah untuk intubasi endotrachea, memfasilitasi pembedahan
dan immobilisasi dari pasien.1
Pelumpuh otot atau dikenal sebagai neuromuscular blocking agents ini
dikelompokkan menjadi 2, antara lain depolarisasi dan non-depolarisasi. Tempat
aksi utama dari pelumpuh otot ini adalah pada nicotinic cholinergic reseptor pada
end-plate dari otot dan pada presynaptic reseptor dari nervus terminal.
Depolarisasi agent atau succynilcholine menghasilkan depolarisasi pada endplate
dan berikatan dengan extrajunctional reseptor.2,3
Agen pelumpuh otot bekerja dengan memodulasi transmisi sinyal di otot
rangka. Potensial aksi (perubahan potensial listrik yang terkait dengan lewatnya
impuls di sepanjang membran otot atau sel saraf) mencapai otot rangka dengan
mengaktifkan pelepasan asetilkolin ke end-plate motorik. Asetilkolin berikatan
dengan reseptor nikotinik di end-plate, menghasilkan pelepasan Na + (natrium) ke
dalam serat otot yang memicu potensi aksi otot.4
Ion kalsium kemudian dilepaskan ke retikulum sarkoplasma, memicu
pengikatan miosin menjadi aktin. Miosin akan terus mengikat dan bergerak di
sepanjang lokasi aktin, memperpendek sarkomer, selama kalsium ada di dalam
sel. Agen pelemas otot ini bekerja dengan dua cara untuk memblokir proses ini,
yaitu depolarisasi dan nondepolarisasi. Makalah ini akan membahas mengenai
agen pelemas otot.4
Non-depolarisasi agent berkompetisi dengan acetylcholine dalam berikatan
dengan reseptor. Penggunaan pelumpu otot ini menghasilkan paralisis bukan
anesthesia. Dalam kata lain, pelumpuh otot ini tidak berfungsi sebagai sedatif,
amnesia atau analgesia.2,3 Obat ini bermanfaat bagi pasien dan apabila digunakan

1
dalam dosis tidak tepat akan memungkinkan terjadinya kesakitan atau kematian
dari pasien. Hal ini menyebabkan pentingnya pengetahuan mengenai farmakologi
dari obat-obat pelumpu otot ini.1

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Fisiologi Transmisi Syaraf Otot


2.1.1. Anatomi
Struktur neuromusculr junction (NMJ) dapat dibagi menjadi tiga bagian
utama, yaitu: bagian presinaptik (terminal saraf), postsinaptik (pelat ujung
motorik), dan area antara terminal saraf dan pelat ujung motorik (celah sinaptik). 6–
8

Gambar 1. A. Dua neuron yang terhubung. Neuron memiliki soma yang berisi
nukleus, akson, dan pohon dendritik. Sinaps tunggal (lingkaran merah) terbentuk
pada titik di mana akson dari satu neuron (hitam) terhubung ke dendrit / sebagian /
akson lainnya (biru). B. Satu sinapsis. Saat datangnya potensial aksi (AP) di
terminal presinaptik, Ca2+ memicu pelepasan neurotransmitter dari vesikel
sinaptik ke celah sinaptik. Neurotransmitter berdifusi melintasi celah sinaptik
untuk mengaktifkan reseptor postsynaptic9

3
Terminal Saraf merupakan sebuah neuron motorik bermielin, saat mencapai
otot target, kehilangan selubung mielinnya untuk membentuk kompleks 100-200
ujung saraf bercabang. Ujung saraf ini disebut terminal saraf atau terminal bouton.
Membran terminal saraf memiliki area penebalan membran yang disebut zona
aktif. Zona aktif memiliki keluarga protein SNAP (sintaksis dan protein terkait
sinaptosomal 25) dan deretan kanal kalsium (Ca) yang diberi gerbang tegangan.6,7
Terminal saraf juga memiliki saluran kalium pada membrannya dan
mengandung mitokondria, retikulum endoplasma, dan vesikula sinaptik (SVs).
Setiap SV menyimpan sekitar 5000-10000 molekul asetilkolin (ACh),
neurotransmitter di NMJ. SV terkonsentrasi di sekitar zona aktif. Membran SV
memiliki protein sinaptotagmin dan sinaptobrevin.6,7
Protein ini penting untuk fusi dan docking SV di zona aktif. Saat datangnya
potensial aksi di terminal saraf, saluran Ca terbuka untuk menyebabkan
masuknya. Peningkatan Ca di dalam terminal saraf menyebabkan serangkaian
peristiwa yang mengarah ke docking SV di zona aktif dan eksositosis ACh dari
vesikel sinaptik ke celah sinaptik.6,7
Synaptic Cleft / Junctional Cleft merupakan ruang antara terminal saraf dan
membran plasma otot disebut synaptic / junctional cleft dan berukuran ∼50 nm.
Ini adalah situs di mana neurotransmitter presinaptik, ACh dilepaskan sebelum
berinteraksi dengan reseptor ACh nikotinik pada pelat akhir motor. Celah sinaptik
dari NMJ mengandung enzim asetilkolinesterase, yang bertanggung jawab atas
katabolisme ACh yang dilepaskan sehingga efeknya pada reseptor pasca-sinaptik
tidak berkepanjangan.6,7
Motor End Plate membentuk bagian postsynaptic dari NMJ. Ini adalah
bagian yang menebal dari membran plasma otot (sarcolemma) yang dilipat untuk
membentuk depresi yang disebut lipatan junctional. Ujung saraf terminal tidak
menembus pelat ujung motorik tetapi masuk ke dalam lipatan sambungan. Lipatan
sambungan memiliki reseptor ACh nikotinik yang terkonsentrasi di bagian atas.
Reseptor ini adalah saluran ion berpagar ACh. Pengikatan ACh ke reseptor ini
membuka saluran yang memungkinkan masuknya ion natrium dari cairan

4
ekstraseluler ke dalam membran otot. Ini menciptakan potensi lempeng ujung dan
menghasilkan serta mengirimkan AP ke membran otot.6,7

2.1.2. Mekanisme Transmisi


Neuromuscular Junction merupakan ruang disekitar neuron dan sel otot.
Membran sel neuron dan serabut otot ini dipisahkan oleh celah sempit (20nm)
yang disebut celah sinaps. Saat potensial aksi saraf mendepolarisasi pada bagian
terminal,terjadi influx dari kalsium melalui voltage-gated calcium channel,
sehingga memungkinkan terjadinya fusi dari vesikel dengan membrane terminal
dan melepaskan acetylcholine (Ach).8,10,11
Molekul Ach ini berdifusi melalui celah sinaps untuk berikatan dengan
nicotinic cholinergic reseptor pada membran sel otot. Setiap neuromuscular
junction terdapat lebih kurang 5 juta reseptor, tetapi aktifasinya hanya
membutuhkan 500.000 reseptor untuk setiap kontraksi otot.2,12

Gambar 2. Fisiologi transmisi syaraf otot2

Kation masuk melalui reseptor Ach yang terbuka (Natrium dan Kalsium
masuk dan Kalium keluar) dan menghasilkan potensial pada endplate. Bagian dari
satu vesikel, quantum Ach (104 molekul per quantum) yang menghasilkan
potensial pada endplate. Dimana sekitar 200 yang dihasilkan oleh setiap impuls
saraf sangat sensitif dengan konsentrasi kalsium ekstraseluler. Ketika Ach sudah

5
berikatan dengan reseptor yang cukup, potensial pada endplate akan
mendepolarisasi membrane perijunctional.2
Channel Natrium terbuka ketika ambang batas dilewati. Perijunctional area
pada sel otot memiliki densitas yang lebih tinggi dibandingkan area lainnya.
Potensial aksi menyebar sepanjang membran otot, T-tubule system, membuka
channel natrium dan melepaskan kalsium dari reticulum sarkoplasma. Kalsium
intraseluler menyebabkan protein aktin dan myosin berinteraksi dan terjadi
kontraksi otot.2

Gambar 3. Fisiologi pertukaran ion.2


Ach dihidrolisis dengan cepat menjadi asetat dan cholin oleh enzim
acetylcholinesterase. Setelah itu terjadi penutupan ion channel dan terjadi
repolarisasi.Ketika pembentukan potensial aksi berhenti, channel natrium pada
membran sel otot juga menutup. Kalsium kembali masuk ke retikulum
sarkoplasma dan sel otot akan berelaksasi.2,13

2.2. Mekanis Kerja Pelumpuh Otot


Pelumpuh otot depolarisasi sangat mirip dengan Ach dan berikatan dengan
reseptor Ach. Obat ini tidak dimetabolisme oleh acetylcholinesterase dan
konsentrasinya pada celah sinaps tidak cepat menurun sehingga menghasilkan
depolarisasi prolong pada end-plate dari otot. Depolarisasi yang terus-menerus
menyebabkan relaksasi dari otot karena pembukaan gerbang bawah pada natrium
channel di perijunctional terbatas waktunya. Setelah inisiasi awal dan pembukaan,
natrium channel tertutup dan tidak bisa dibuka lagi sampai terjadi repolarisasi.2

6
Obat depolarisasi bersifat agonis pada reseptor ACh. Suksinilkolin adalah
satu-satunya pelumpuh otot depolarisasi yang digunakan secara klinis. Obat ini
secara efektif memiliki dua molekul ACh yang bergabung melalui gugus metil
asetat. Dua radikal amonium kuaterner mengikat dua subunit α dari satu reseptor
nikotinik, sehingga menyebabkan depolarisasi.1,14

Gambar 4. (A) Sketsa kanal natrium. Batang v dan t mewakili bagian molekul
yang bertindak sebagai gerbang. Gerbang v bergantung pada tegangan, dan
gerbang t bergantung pada waktu. (a) Kondisi istirahat: v ditutup saat t terbuka.
(b) Keadaan aktif: v terbuka ketika membran sekitarnya didepolarisasi untuk
memungkinkan aliran ion; t ditutup segera setelah itu untuk menonaktifkan
saluran. (c) Keadaan tidak aktif: v tetap terbuka saat t ditutup. Keadaan ini
dipertahankan selama membran sekitarnya mengalami depolarisasi. Saluran
kembali ke keadaan istirahat (a) saat membran berepolarisasi. (B) Beberapa
keadaan reseptor asetilkolin nikotinat. Atas (kiri ke kanan): istirahat; beristirahat
dengan agonis terikat ke situs pengenalan tetapi saluran belum dibuka; dan aktif
dengan saluran terbuka memungkinkan aliran ion. Bawah (kiri ke kanan): peka
tanpa agonis; peka dengan agonis terikat ke situs pengenalan. Keduanya non-
konduktor. Semua konformasi berada dalam ekuilibrium dinamis1,14

Kanal natrium yang sensitif terhadap tegangan merasakan depolarisasi


membran (sebagai akibat dari aktivasi reseptor ACh), kanal tersebut pertama kali
terbuka dan kemudian menutup serta menjadi tidak aktif. Potensial membran
harus diatur ulang sebelum saluran natrium dapat diaktifkan kembali.1,14
Ini merupakan proses yang sangat cepat karena dihidrolisis oleh
asetilkolinesterase (AChE) di dalam celah sinaptik. Suksinilkolin tidak
dimetabolisme oleh AChE, sehingga terjadi aktivasi reseptor ACh yang
berkepanjangan. Reseptor natrium di end plate dan zona perijungsional tetap tidak

7
aktif dan transmisi neuromuskular junction diblokir, sehingga menyebabkan otot
menjadi lemas.1,14
Blok depolarisasi juga disebut sebagai Fase I atau blok akomodasi dan
sering didahului oleh fasikulasi otot. Ini merupakan hasil dari aksi prejungsional
suksinilkolin yang menstimulasi reseptor ACh pada saraf motorik, sehingga
menyebabkan penembakan dan pelepasan neurotransmitter berulang.1,14
Pemulihan dari blok Fase I terjadi saat suksinilkolin berdifusi menjauh dari
NMJ, menuruni gradien konsentrasi saat konsentrasi plasma menurun akibat
metabolisme oleh kolinesterase plasma (sebelumnya disebut
pseudocholinesterase). Kontak yang terlalu lama dari sambungan neuromuskuler
ke suksinilkolin dapat menyebabkan (i) blok desensitisasi atau (ii) blok Fase II.1,14
Desensitisasi terjadi ketika reseptor ACh tidak sensitif terhadap efek
pembukaan kanal dari agonis, termasuk ACh itu sendiri. Reseptor berada dalam
keadaan transisi konstan antara keadaan istirahat dan tidak peka, apakah ada
agonis atau tidak. Agonis meningkatkan transisi ke keadaan peka atau reseptor
perangkap dalam keadaan itu, karena reseptor peka memiliki afinitas yang tinggi
untuk mereka.1,14
ACh dihidrolisis dengan sangat cepat sehingga tidak berpotensi
menyebabkan desensitisasi. Blok desensitisasi mungkin merupakan mekanisme
keamanan yang mencegah eksitasi berlebihan pada sambungan neuromuskuler.
Blok fase II berbeda dengan blok desensitisasi. Ini terjadi setelah bolus berulang
atau infus suksinilkolin yang berkepanjangan.1,14
Pasien dengan kolinesterase plasma atipikal akan mengalami blok Fase II
setelah dosis tunggal obat. Blok tersebut ditandai dengan fade respon kedutan
train-of-four (TOF), fade tetanic dan potensiasi post-tetanic, yang semuanya
merupakan ciri dari blok kompetitif. Setelah depolarisasi awal, potensial membran
berangsur-angsur kembali ke keadaan istirahat, meskipun sambungan
neuromuskuler masih terpapar obat. Neurotransmisi tetap diblokir.1,14
Penjelasan yang mungkin untuk pengembangan blok stage II termasuk blok
presinaptik yang mengurangi sintesis dan mobilisasi ACh; desensitisasi reseptor
pasca-fungsional; dan aktivasi pompa ATPase natrium-kalium melalui

8
depolarisasi awal membran postsinaptik, yang repolarisasi. Obat anestesi inhalasi
mempercepat timbulnya blok Fase II. Obat antikolinesterase dapat digunakan
untuk melawannya, tetapi responsnya sulit untuk diprediksi, sehingga disarankan
untuk memungkinkan pemulihan spontan.1,14
Obat non-depolarisasi melawan aksi ACh secara kompetitif di reseptor
nikotinik postsynaptic. Mereka tidak menghasilkan perubahan pada reseptor,
seperti obat depolarisasi. Obat ini menuju satu atau kedua α-subunit untuk
mencegah ACh mendepolarisasi reseptor. Pengikatan antagonis ke reseptor
bersifat dinamis dengan asosiasi dan disosiasi berulang.1,14
Peningkatan konsentrasi ACh memiliki peluang lebih tinggi untuk
menempati situs reseptor daripada antagonis. Blok antagonis menyebabkan
pengurangan bertahap dalam potensi end plate sampai gagal mencapai ambang
batas untuk melepaskan potensial aksi penyebaran untuk menghasilkan kontraksi
otot.1,14
Molekul pemancar pada kondisi normal lebih banyak daripada yang
dibutuhkan untuk menghasilkan potensial end plate, sehingga menimbulkan
respons yang lebih besar dari yang dibutuhkan. Pada saat yang sama, hanya
sebagian kecil dari reseptor yang tersedia digunakan untuk menghasilkan sinyal.
Transmisi neuromuskuler oleh karena itu, memiliki margin keamanan yang
substansial.1,14
ACh bekerja pada reseptor nikotinik prajungsional dengan cara umpan balik
positif untuk meningkatkan pelepasannya sendiri selama stimulasi frekuensi tinggi
(>2 Hz). Reseptor presinaptik ini berbeda dari reseptor postsinaptik dan dari
reseptor ganglionik otonom. NMBD non-depolarisasi memblokir reseptor
prajungsional yang mengakibatkan kegagalan mobilisasi ACh untuk
mengimbangi permintaan frekuensi stimulasi. Secara klinis, ini termanifestasi
sebagai tetanic fade dan TOF fade, di mana terjadi penurunan ketinggian kedutan
dengan rangsangan berturut-turut.1,14
Beberapa obat dapat mengganggu reseptor nikotinik secara langsung atau
melalui lingkungan lipidnya untuk mengubah transmisi neuromuskuler. Selain
blok desensitisasi, terjadi blok saluran ion yang memblokir aliran ion melalui

9
reseptor ACh. Ada dua jenis blok kanal ion, yaitu terbuka atau tertutup. Molekul
obat menempati reseptor pada blok kanal tertutup. Ion dicegah melewati kanal
untuk mendepolarisasi end plate. Ini telah diusulkan sebagai mekanisme aksi
antidepresan trisiklik, naltrexone dan nalokson dalam mempotensiasi blok
neuromuskuler.1,14
Molekul memasuki kanal ion yang terbuka dan menutupnya dalam blok
saluran terbuka. Molekul dapat memasuki saluran hanya ketika dibuka oleh
agonis. Sumbatan pada kanal akan menghambat masuknya ion natrium. Ini akan
mencegah depolarisasi dan blok hasil neurotransmisi yang lebih lemah atau
lengkap. NMBD menyebabkan blok kanal terbuka dalam konsentrasi tinggi.1,14

2.3. Farmakokinetik
Obat pelumpuh otot adalah kelompok amonium kuartener yang merupakan
senyawa larut dalam air yang mudah terionisasi pada pH fisiologis, dan memiliki
kelarutan yang terbatas dalam lipid. Volume distribusi obat-obat ini terbatas dan
sama dengan volume cairan ekstraseluler (kira-kira 200 mL/kg). Obat pelumpuh
otot tidak dapat dengan mudah melewati sawar membran lipid seperti sawar darah
otak, epitel tubulus renal, epitel gastrointestinal, atau plasenta.15,16
Hal ini menyebabkan obat pelumpuh otot tidak dapat mempengaruhi sistem
saraf pusat, reabsorpsinya di tubulus renal minimal, absorpsi oral yang tidak
efektif dan pemberian pada ibu hamil yang tidak mempengaruhi fetus. 15,16
Redistribusi obat pelumpuh otot nondepolarisasi juga memainkan peran dalam
farmakokinetik obat-obat ini.3,17
Klirens plasma, volume distribusi, dan waktu paruh eliminasi obat
pelumpuh otot dapat dipengaruhi oleh usia, anestesi volatil, dan penyakit hati atau
ginjal. Eliminasi renal dan hepatik dibantu oleh fraksi pemberian obat yang besar
karena sifatnya yang mudah mengalami ionisasi sehingga mempertahankan
konsentrasi plasma obat yang tinggi dan juga mencegah reabsorpsi renal obat
yang dieksresi.3,17
Penyakit ginjal sangat mempengaruhi farmakokinetik obat pelumpuh otot
nondepolarisasi kerja lama. Obat pelumpuh otot tidak terlalu kuat terikat pada

10
protein plasma (sampai 50%) dan tampaknya bila ada perubahan ikatan protein
tidak akan menimbulkan efek yang signifikan pada eksresi ginjal obat pelumpuh
otot.3,17
Farmakokinetik obat pelumpuh otot nondepolarisasi dihitung setelah
pemberian cepat intravena. Rerata obat pelumpuh otot yang hilang dari plasma
dicirikan dengan penurunan inisial cepat (distribusi ke jaringan) diikuti penurunan
yang lebih lambat (klirens).15,16Meskipun terdapat perubahan distribusi dalam
aliran darah, anestesi inhalasi memiliki sedikit efek atau tidak sama sekali pada
farmakokinetik obat pelumpuh otot.3,17
Peningkatan blok saraf-otot oleh anestesi volatil mencerminkan aksi
farmakodinamik, seperti dimanifestasikan oleh penurunan konsentrasi plasma
obat pelumpuh otot yang dibutuhkan untuk menghasilkan tingkat blokade saraf
tertentu dengan adanya anestesi volatil.3,17
Bila volume distribusi menurun akibat peningkatan ikatan protein,
dehidrasi, atau perdarahan akut, dosis obat yang sama menghasilkan konsentrasi
plasma yang lebih tinggi dan potensi nyata akumulasi obat. Waktu paruh eliminasi
obat pelumpuh otot tidak dapat dihubungkan dengan durasi kerja obat-obat ini
saat diberikan sebagai injeksi cepat intravena.15,16

2.4. Farmakodinamik
Farmakodinamik obat pelumpuh otot ditentukan dengan mengukur
kecepatan onset dan durasi blokade saraf-otot. Secara klinis, metode yang umum
dipakai untuk menentukan tipe, kecepatan onset, magnitudo, dan durasi blokade
saraf-otot adalah dengan mengamati atau merekam respons otot skeletal yang
ditimbulkan oleh stimulus elektrik yang dikirim dari stimulator saraf perifer.15,16
Paling sering dipakai untuk menentukan efek obat pelumpuh otot adalah kontraksi
m.adductor pollicis (respons kedutan tunggal sampai 1 Hz) setelah stimulasi
n.ulnaris.3,17
Potensi setiap obat dapat ditentukan dengan mengonstruksi kurva dosis-
respons yang mendeskripsikan hubungan antara depresi kedutan dan dosis. Dosis
efektif 50 (ED50) adalah dosis median setara 50% depresi kedutan yang telah

11
dicapai. Nilai yang lebih relevan secara klinis dan lebih sering dipakai adalah
ED95 setara blok 95%.3,17
Sebagai contoh, ED95 vecuronium adalah 0,05 mg/kgBB yang berarti
setengah dari pasien akan mencapai minimal 95% blok kedutan tunggal
(dibandingkan dengan sebelum pemberian vecuronium) dengan dosis tersebut,
dan setengah dari pasien akan mencapai kurang dari 95% blok. ED95 rocuronium
adalah 0,3 mg/KgBB.18
Potensi rocuronium adalah seperenam dari potensi vecuronium karena
dibutuhkan enam kali lipat dosis rocuronium untuk menghasilkan efek yang sama.
ED95 dianggap mewakili potensi obat-obat pelumpuh otot bersamaan dengan
pemberian anestetik N2O-barbiturat-opioid. Bila disertai dengan anestetik volatil,
ED95 menurun jauh dibandingkan dengan keadaan tanpa obat-obat anestetik ini.3,17

Gambar 5. Contoh hubungan dosis-respons. Angka yang tercantum adalah nilai


perkiraan untuk rocuronium18

Obat-obat pelumpuh otot mempengaruhi otot skeletal yang kecil dan cepat
(mata, digiti) sebelum otot abdomen (diafragma). Onset blokade saraf-otot setelah
pemberian obat pelumpuh otot nondepolarisasi adalah lebih cepat namun kurang

12
intens pada otot-otot laring (pita suara) dari pada otot perifer (m.adductor
pollicis). Efek sparing obat pelumpuh otot nondepolarisasi pada otot-otot laring
mungkin merefleksikan peran tipe serabut otot skeletal.3,17
Otot yang berperan dalam penutupan glotis (m.thyroarytenoid) adalah tipe
kontraksi cepat, di mana m.adductor pollicis terutama dibentuk oleh tipe serabut
lambat. Konsentrasi reseptor asetilkolin lebih banyak pada otot serabut cepat
sehingga dibutuhkan jumlah reseptor yang lebih banyak untuk memblok otot tipe
cepat dibanding otot tipe lambat.3,17
Semakin cepat onset kerja pada otot pita suara dari pada m.adductor pollicis
semakin cepat pula ekuilibrium konsentrasi plasma dan konsentrasi pada otot-otot
jalan napas saat dibandingkan dengan m.adductor pollicis. Dengan obat pelumpuh
otot nondepolarisasi kerja sedang dan kerja singkat, periode paralisis otot laring
adalah cepat dan hilang sebelum mencapai efek maksimum pada m.adductor
pollicis.3,17
Hal penting yang harus diperhatikan adalah dosis obat yang dibutuhkan
untuk menghasilkan tingkat tertentu blokade diafragma adalah dua kali lipat dosis
yang dibutuhkan untuk menghasilkan blokade yang sama dari m. adductor
pollicis.15,16Monitoring m. adductor pollicis merupakan indikator relaksasi otot
laring yang jelek (m.cricothyroid), sedangkan stimulasi saraf fasial dan
monitoring respons m.orbicularis oculi lebih merefleksikan onset blokade saraf-
otot diafragma. Oleh karena itu, m.orbicularis oculi lebih disukai dari pada m.
adductor pollicis sebagai indikator blokade otot laring.3,17

2.5. Jenis Obat


Pelumpuh otot dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu depolarisasi dan non-
depolarisasi. Pembagian ini dibagi berdasarkan aksi atau mekanisme kerja dan
stimulasi saraf perifer. Hambatan depolarisasi terjadi karena serabut saraf otot
mendapat rangsangan depolarisasi yang menetap sehingga akhirnya kehilangan
respon berkontraksi yang menyebabkan kelumpuhan. Ciri kelumpuhan ditandai
dengan fasikulasi otot. Pulihnya fungsi saraf otot bergantung pada kemampuan
daya hidrolisis enzim kolinesterasec.3,17

13
Tabel 1. Jenis muscle relaxant depolarisasi dan non depolarisasi15
DEPOLARISASI NON DEPOLARISASI
Short Acting Short Acting
Succinylcholine Mivakurium
Intermediate Acting
Atrakurium
Cisatrakurium
Vekuronium
Rocuronium
Long Acting
Doxacurium
Pancuronium
Pipecuronium

Hambatan non-depolarisasi atau kompetisi terjadi karena reseptor


asetilkolin diduduki oleh molekul-molekul oba pelumpuh otot non depolarisasi,
sehingga proses depolarisasi membrane otot tidak terjadi dan otot menjadi lumpuh
(lemas).19 Pemulihan fungsi saraf otot terjadi kembali jika jumlah obat yang
menduduki reseptor asetilkolin telah berkurang antara lain terjadi karena proses
eliminasi dan atau distribusi. Pemulihan juga dapat dibantu lebih cepat dengan
memberi obat antikolinesterase (neostigmin) yang menyebabkan peningkatan
jumlah asetilkolin.15

2.6. Agen Depolarisasi


Satu-satunya obat pelumpuh otot depolarisasi yang dipakai adalah
suksinilkolin. Suksinilkolin memiliki 2 ciri unik dan penting, yaitu menyebabkan
paralisis yang intens dengan cepat dan efeknya akan berkurang sebelum pasien
yang dipreoksigenasi menjadi hipoksia.3,17
Suksinilkolin 0,5–1 mg/kgBB IV, memiliki onset kerja cepat (30–60 detik)
dan durasi kerja singkat (3–5 menit). Ciri ini membuat suksinilkolin obat yang
bermanfaat untuk relaksasi otot untuk memfasilitasi intubasi trakea. Suksinilkolin
memiliki beberapa efek samping yang dapat membatasi bahkan kontraindikasi
pada keadaan tertentu.3,17

14
Gambar 6. Rumus kimia suksinilkolin17

2.6.1. Dosis
Dosis suksinilkolin untuk fasilitasi intubasi trakea adalah 1 mg/kgBB IV.
Dosis tersebut setara untuk 3,5–4 kali ED95. Secara konsep, pemberian dosis
1mg/kgBB pada pasien yang terpreoksigenasi akan dihubungkan dengan nafas
spontan sebelum hipoksemia arteri signifikan. Pernafasan spontan terjadi dalam 5
menit setelah paralisis akibat pemberian suksinilkolin.3,17
Durasi rata-rata sebelum mencapai 90% tingkat kedutan setelah pemberian 1
mg/kgBB adalah lebih besar dari 10 menit. Dengan demikian, diperkirakan orang
dewasa yang sudah dipreoksigenasi dapat mengalami 8 menit apnea sebelum
saturasi oksigen arteri menurun ke 90%.3,17
Dosis dapat bervariasi antara 0,5 – 1,5 mg/kgBB, dosis kurang dari 1
mg/kgBB tidak mempersingkat waktu terjadi pergerakan diafragma atau
pernafasan spontan. Selain itu, pada keadaan di mana blokade saraf-otot penuh
sangat diperlukan, dosis 1,5 mg/kgBB masih tepat. Durasi kerja suksinilkolin
yang singkat (3–5 menit) disebabkan hidrolisis oleh kolinesterase plasma
(pseudokolinesterase).3,17
Kolinesterase plasma disintesis di hati dan merupakan glikoprotein
tetrametrik mengandung 4 subunit identik dengan masing-masing satu tempat
katalitik aktif. Metabolit suksinilkolin adalah suksinilmonokolin dengan potensi

15
1/20–1/80 suksinilkolin. Plasma kolinesterase mempengaruhi durasi kerja
suksinilkolin karena memiliki kapasitas yang besar untuk menghidrolisis
suksinilkolin dalam waktu singkat sehingga hanya sedikit fraksi dosis IV awal
yang benar-benar mencapai NMJ.3,17

2.6.2. Efek samping


Efek samping yang dapat timbul dengan pemberian suksinilkolin antara
lain: 1) aritmia jantung, 2) hiperkalemia, 3) mialgia, 4) mioglobinuria, 5)
peningkatan tekanan intragastrik, 6) peningkatan tekanan intraokuler, 7)
peningkatan tekanan intrakranial, dan 8) kontraksi otot terus menerus. Efek
samping ini dapat membatasi bahkan merupakan kontraindikasi pemberian
suksinilkolin.3,17

2.6.2.1. Aritmia Jantung


Sinus bradikardi, junctional rhythm, dan bahkan sinus arrest dapat terjadi
setelah pemberian suksinilkolin. Efek kardiak ini mencerminkan efek
suksinilkolin pada reseptor kolinergik muskarinik di mana obat ini memiliki efek
fisiologis yang sama dengan asetilkolin.3,17
Disritmia kardiak paling sering terjadi setelah pemberian dosis kedua yang
kira-kira diberikan 5 menit setelah dosis pertama. Hal ini diduga akibat kerja
metabolit suksinilkolin (suksinilmonokolin dan kolin). Pemberian atropin dengan
dosis 6 μg/kg IV, tidak mencegah penurunan denyut jantung sebagai respons
terhadap dosis kedua suksinilkolin. Efek suksinilkolin menyerupai efek fisiologis
asetilkolin pada pada sistem saraf otonom. Efeknya adalah stimulasi ganglionik,
yaitu peningkatan denyut jantung dan tekanan darah sistemik.3,17

2.6.2.2. Hiperkalemia
Pemberian suksinilkolin dapat menimbulkan hiperkalemia pada pasien
dengan (a) distrofi otot yang tidak tampak secara klinis, (b) luka bakar tingkat tiga
yang tidak sembuh, (c) atrofi otot skeletal akibat denervasi, (d) trauma otot

16
skeletal berat, dan (e) lesi neuron motorik atas. Infeksi abdomen berat telah
dikaitkan dengan pelepasan kalium yang diinduksi suksinilkolin.3,17
Potensi pelepasan kalium yang eksesif setelah denervasi dapat berkembang
dalam 96 jam dan bertahan sampai batas waktu tak tentu sekitar 6 bulan atau lebih
lama. Premedikasi dengan dosis subparalisis obat pelumpuh otot nondepolarisasi
tidak mempengaruhi magnitudo pelepasan kalium. Hiperkalemia yang telah ada
seperti pada gagal ginjal dan tanpa disertai paralisis otot skeletal tidak dapat
dihubungkan dengan peningkatan risiko pelepasan kalium akut setelah pemberian
dosis intubasi suksinilkolin.3,17
Pemberian suksinilkolin pada anak laki-laki dengan miopati yang belum
terdiagnosis dapat mencetuskan rhabdomiolisis, hiperkalemia, dan cardiac arrest.
Hal ini disebabkan diagnosis distrofi otot Duchenne baru dapat dilakukan pada
usia 2-6 tahun. Pada distrofi otot Becker, gejala klinisnya lebih ringan sehingga
menunda waktu diagnosis. Oleh karena itu, klinisi lebih suka menghindari
pemakaian suksinilkolin pada pasien pediatrik bila respons yang hampir sama
dapat dicapai dengan obat pelumpuh otot nondepolarisasi.3,17

2.6.4.3. Mialgia
Mialgia otot skeletal post operasi, yang biasa timbul pada otot leher,
punggung dan abdomen, dapat terjadi setelah pemberian suksinilkolin, khususnya
dewasa muda setelah menjalani prosedur bedah minor. Mialgia yang terlokasi di
otot leher dianggap sebagai faringitis oleh pasien dan dihubungkan dengan
intubasi trakea oleh anestesiologis. Mialgia sendiri diduga terjadi akibat kontraksi
otot skeletal yang tidak sinkron serta dikaitkan dengan depolarisasi umum.
Pemberian obat pelumpuh otot nondepolarisasi mencegah atau mengurangi
mialgia setelah pemberian suksinilkolin.3,17

2.6.4.4. Mioglobinuria
Kerusakan pada otot skeletal ditandai dengan mioglobinuria, khususnya
pasien pediatrik. Dugaan mioglobinuria menggambarkan kerusakan otot yang
dicetuskan oleh fasikulasi.3,17

17
2.6.4.5. Peningkatan Tekanan Intragastrik
Peningkatan tekanan intragastrik dapat berhubungan dengan intensitas
fasikulasi otot skeletal yang dicetuskan oleh suksinilkolin. Pencegahan juga dapat
dilakukan dengan pemberian obat pelumpuh otot nondepolarisasi dosis
nonparalisis.3,17

2.6.4.6. Peningkatan Tekanan Intraokuler


Suksinilkolin maksimum menaikkan tekanan intraokuler dalam 2-4 menit
setelah pemberian. Peningkatan tekanan intraokuler ini bersifat transien hanya
berlangsung selama 5-10 menit. Mekanisme terjadi peningkatan tekanan
intraokuler masih belum diketahui meski kontraksi otot ekstraokuler dengan
distorsi dan kompresi bola mata telah lama dianggap sebagai penyebab perubahan
ini. Peningkatan tekanan intraokuler terjadi akibat aksi sikloplegik suksinilkolin
dengan pendalaman ruang anterior dan peningkatan resistensi aliran keluar
aqueous humor, sedikit peningkatan volume darah koroid dan peningkatan
tekanan vena sentral.3,17

2.6.4.7. Peningkatan Tekanan Intrakranial


Peningkatan tekanan intrakranial setelah pemberian suksinilkolin pada
pasien dengan tumor intrakranial atau trauma kepala belum diamati secara
konsisten.3,17

2.6.4.8. Kontraksi Otot Terus Menerus


Relaksasi otot rahang yang tidak sempurna dan rigiditas masseter setelah
pemberian halotan-suksinilkolin cukup sering terjadi pada anak-anak dengan
insidens 4,4% dari jumlah pasien dan dianggap sebagai respons normal. Kesulitan
yang timbul adalah rigiditas otot rahang sebagai respons normal tidak mudah
dibedakan dengan rigiditas otot rahang akibat hipertermia malignan. Spasme otot
skeletal juga dapat terjadi pada pemberian suksinilkolin pada pasien dengan

18
kongenital miotonia atau distrofi miotonia. Kontraksi yang terus-menerus dapat
mempengaruhi ventilasi paru dan membahayakan hidup.3,17

2.7. Agen Non-Depolarisasi


Obat pelumpuh otot secara klinis dibagi menjadi kelompok kerja lama, kerja
sedang, dan kerja singkat. Perbedaan onset, durasi kerja, waktu pulih,
metabolisme, dan klirens dipengaruhi oleh keputusan klinis untuk memilih satu
obat dibanding obat yang lain. Berbagai variasi respons yang dicetus oleh obat
pelumpuh otot nondepolarisasi terjadi karena perbedaan farmakokinetik.3,17

Tabel 2. Profil obat pelemas otot20

2.7.1. Ciri Blokade Saraf-Otot Nondepolarisasi


Respon otot skeletal saat terjadi blokade saraf-otot nondepolarisasi seperti
yang dicetuskan oleh stimulasi elektrik dari stimulator saraf perifer, antara lain: a)
penurunan respons kedutan terhadap stimulus tunggal, b) respons tidak bertahan

19
(lemah) selama stimulasi berkelanjutan, c) rasio TOF < 0,7, d) potensiasi post-
tetanik, e) potensiasi obat pelumpuh otot nondepolarisasi yang lain, f)
antagonisme untuk obat antikolinesterase, g) tidak terjadi fasikulasi saat onset
blokade saraf-otot nondepolarisasi.3,17
Kontraksi otot skeletal adalah fenomena all or none. Setiap serabut otot
skeletal berkontraksi dengan maksimal atau tidak berkontraksi sama sekali. Oleh
karena itu, ketika respons kedutan menurun beberapa serabut berkontraksi normal,
sedangkan yang lain terblok secara total.3,17
Kontraksi otot skeletal yang lemah terhadap stimulasi elektrik terus menerus
menerangkan bahwa beberapa serabut otot lebih suseptibel untuk diblok oleh obat
pelumpuh otot membutuhkan pelepasan asetilkolin lebih besar yang berkelanjutan
untuk mencetus responsnya.3,17

2.7.2. Intubasi
Tidak satu pun dari obat pelumpuh otot yang tersedia saat ini menyamai
onset cepat atau durasi kerja singkat suksinilkolin. Namun, onset obat pelumpuh
otot dapat dipercepat dengan menggunakan dosis yang lebih besar atau dosis
awal. ED95 adalah dosis efektif obat pada 95% individu.3,17
Satu sampai dua kali dosis ED95 biasa dipakai untuk intubasi. Meskipun
dengan dosis intubasi yang lebih besar mempercepat onset, namun dapat
mengeksaserbasi efek samping dan memperpanjang durasi blokade. Sebagai
contoh dosis 0,15 mg/kgBB pancuronium dapat memberi kondisi intubasi dalam
90 detik, tapi akan timbul hipertensi dan takikardia yang lebih nyata dan blok
yang ireversibel selama >60 menit.3,17
Konsekuensi dari durasi kerja yang panjang adalah kesulitan yang terjadi
dalam membalikkan blokade secara keseluruhan, khususnya pada pasien usia tua
dan mereka yang menjalani pembedahan abdomen. Menurut aturan umum,
semakin poten obat pelumpuh otot nondepolarisasinya, semakin panjang
kecepatan onsetnya, namun potensi yang lebih besar membutuhkan dosis yang
lebih kecil, yang kemudian akan menurunkan pengantaran obat ke NMJ.3,17

20
Kemunculan obat kerja singkat dan kerja sedang meningkatkan penggunaan
dosis awal. Secara teoritis pemberian 10-15% dari dosis intubasi sebelum induksi
akan membantu penempatan cukup banyak reseptor sehingga paralisis akan cepat
terjadi saat relaksans yang seimbang diberikan. Penggunaan dosis awal dapat
memberikan kondisi yang sesuai untuk intubasi dalam waktu 60 detik pemberian
rocuronium atau 90 detik setelah pemberian obat nondepolarisasi kerja sedang
lain.3,17
Dosis awal biasanya tidak mencapai paralisis yang signifikan secara klinis,
yang membutuhkan sekitar 75-80% reseptor yang terblok (batas aman saraf-otot).
Dosis awal menempati cukup banyak reseptor untuk menyebabkan distres,
dispneu, diplopia, atau disfagia sehingga pasien harus ditenangkan dan induksi
anestesi harus dilanjutkan tanpa menunda operasi.3,17
Dosis awal dapat menyebabkan deteriosasi signifikan dalam fungsi respirasi
(misal penurunan kapasitas vital paksa) dan dapat menuju desaturasi oksigen pada
pasien dengan cadangan paru terbatas. Efek negatif ini sering terjadi pada pasien
usia tua. Perlu diingat bahwa kelompok otot memiliki variasi dalam sensitivitas
obat pelumpuh otot. Sebagai contoh, otot-otot laring yang sangat penting dalam
intubasi pulih dari blokade lebih cepat dari pada m. adductor pollicis yang
dimonitor oleh stimulator saraf perifer.3,17

2.7.3. Mencegah Fasikulasi


Untuk mencegah fasikulasi dapat diberikan 10-15% dosis intubasi obat
pelumpuh otot nondepolarisasi 5 menit sebelum pemberian suksinilkolin.
Meskipun sebagian besar obat nondepolarisasi dapat digunakan untuk tujuan ini,
tubocurarine dan rocuronium adalah yang paling baik efikasinya. Karena terdapat
antagonisme antara sebagian besar obat nondepolarisasi dengan fase I blok, dosis
suksinilkolin yang berikutnya harus dinaikkan menjadi 1,5 mg/kgBB.3,17

2.7.4. Rumatan Relaksasi Otot


Setelah intubasi, paralisis otot diperlukan untuk membantu proses
pembedahan, misalnya pada operasi abdomen, atau dalam manajemen anestesi

21
misal dalam mengendalikan ventilasi. Variabilitas antara pasien dalam respons
terhadap dosis obat pelumpuh otot tidak dapat ditekankan secara berlebihan.3,17
Monitoring fungsi saraf-otot dengan stimulator saraf membantu mencegah
dosis yang berlebihan atau dosis yang kurang dan juga mencegah paralisis otot
yang serius dalam ruang pemulihan. Dosis rumatan dengan bolus intermiten atau
infus kontinu harus dipandu dengan stimulator saraf dan tanda-tanda klinis (usaha
pernapasan spontan atau pergerakan).3,17

2.7.5. Potensiasi
2.7.5.1. Potensiasi oleh Anestesi Inhalasi
Agen-agen volatil menurunkan kebutuhan dosis obat nondepolarisasi
sampai sekitar 15%. Tingkat augmentasi postsinaptik bergantung pada anestesi
inhalasi (desfluran > sevofluran > isofluran dan enfluran > halotan >
N2O/O2/narkotik) dan obat pelumpuh otot yang dipakai (pancuronium >
vecuronium dan atracurium).3,17

2.7.5.2. Potensiasi oleh Obat Nondepolarisasi yang Lain


Kombinasi beberapa obat nondepolarisasi (misal mivacurium dan
pancuronium) menghasilkan blokade saraf-otot yang lebih besar dari pada efek
aditif. Augmentasi yang kurang pada senyawa yang memiliki hubungan dekat
(vecuronium dan pancuronium) memunculkan teori bahwa potensiasi adalah hasil
dari sedikit perbedaan mekanisme kerja.3,17

2.7.6. Efek Samping


2.7.6.1. Efek Samping Otonom
Pada dosis klinis, obat nondepolarisasi mungkin mempunyai perbedaan efek
yang signifikan pada reseptor kolinergik muskarinik dan nikotinik. Beberapa agen
yang lebih tua (tubocurarine dan pada cakupan yang lebih sempit, metocurine)
memblok ganglia otonom, menghambat kemampuan sistem saraf simpatis untuk
meningkatkan kontraktilitas dan denyut jantung sebagai respons terhadap
hipotensi dan stres intraoperatif yang lain.3,17

22
Pancuronium (dan gallamine) memblok reseptor vagal muskarinik di nodus
sinoatrial, berakibat pada takikardi. Semua obat pelumpuh otot nondepolarisasi
yang baru termasuk atracurium, cisatracurium, mivacurium, doxacurium,
vecuronium, dan pipecuronium adalah obat-obat tanpa efek otonom dalam
penggunaan dosis yang direkomendasikan.3,17

2.7.6.2. Pelepasan Histamin


Pelepasan histamin dari sel mast dapat berakibat bronkospasme, flushing
kulit, dan hipotensi akibat vasodilatasi perifer. Baik atracurium maupun
mivacurium adalah dua agen yang dapat mencetus pelepasan histamin, khususnya
pada dosis yang lebih tinggi. Penyuntikan lambat dan premedikasi antihistamin
H1 dan H2 mengurangi efek samping ini.3,17

2.7.7. Metabolisme
2.7.7.1. Metabolisme di Hati
Hanya pancuronium dan vecuronium yang dimetabolisme secara signifikan
oleh hati. Metabolit yang aktif berkontribusi dalam efek klinis kedua agen
tersebut. Vecuronium dan rocuronium sangat bergantung pada eksresi empedu.
Secara klinis, gagal hati memperpanjang blokade pancuronium dan rocuronium,
dengan efek yang lebih sedikit pada vecuronium dan tanpa efek pada
pipecuronium.3,17
Atracurium, cisatracurium, dan mivacurium adalah agen yang
dimetabolisme secara ekstensif, namun bergantung pada mekanisme
ekstrahepatik. Penyakit hati berat tidak mempengaruhi klirens atracurium ataupun
cisatracurium, namun penurunan kadar pseudokolinesterase mungkin dapat
memperlambat metabolisme mivacurium.3,17

2.7.7.2. Ekskresi Renal


Doxacurium, pancuronium, vecuronium, dan pipecuronium sebagian
diekskresi oleh ginjal dan kerjanya lebih panjang pada pasien dengan gagal ginjal.

23
Eliminasi atracurium, cisatracurium, mivacurium, dan rocuronium tidak
bergantung pada fungsi ginjal.3,17

2.7.8. Karakteristik Farmakologis Umum


2.7.8.1. Suhu
Hipotermia memperpanjang blokade karena penurunan metabolisme (misal
mivacurium, atracurium, dan cisatracurium) dan menunda ekskresi (misal
pancuronium dan vecuronium).3,17

2.7.8.2. Keseimbangan Asam-Basa


Asidosis respiratorik mempotensiasi blokade sebagian besar agen
nondepolarisasi dan mengantagonisasi pembalikannya. Hal ini dapat mencegah
pemulihan saraf-otot pada pasien post-operatif yang mengalami hipoventilasi.
Penemuan berkaitan dengan efek saraf-otot sehubungan dengan perubahan asam-
basa mungkin didasari oleh perubahan dalam pH ekstraseluler, pH intraseluler,
konsentrasi elektrolit, atau perubahan struktural antara obat-obat (misal
monokuartener versus bikuartener, steroid versus isoquinolinium).3,17

2.7.8.3. Abnormalitas Elektrolit


Hipokalemia dan hipokalsemia mengaugmentasi blok nondepolarisasi.
Respons pasien dengan hiperkalsemia tidak dapat diprediksi. Hipermagnesia
seperti yang dijumpai pada pasien dengan preeklampsia yang diterapi dengan
magnesium sulfat, mempotensiasi blokade dengan berkompetisi dengan kalsium
pada motor end-plate.3,17

2.7.8.4. Usia
Neonatus mempunyai sensitivitas yang meningkat pada obat pelumpuh otot
nondepolarisasi karena NMJ yang imatur. Sensitivitas ini tidak harus diikuti dengan
penurunan kebutuhan dosis karena neonatus memiliki ruang ekstraseluler yang
lebih besar menyediakan volume distribusi yang lebih besar.3,17

24
2.7.8.5. Interaksi Obat
Seperti yang disebut sebelumnya, banyak obat mengaugmentasi blokade
obat nondepolarisasi. Obat-obat ini memiliki beberapa tempat interaksi: struktur
prejunksional, reseptor kolinergik postjunksional, dan membran otot.3,17

2.7.8.6. Penyakit yang Diderita


Penyakit saraf atau otot memiliki efek yang besar pada respons individual
terhadap pelumpuh otot. Sirosis hepatis dan gagal ginjal kronik berakibat pada
peningkatan volume distribusi dan penurunan konsentrasi plasma pada obat-obat
yang larut dalam air seperti pelumpuh otot. Di sisi yang lain, obat yang
bergantung pada ekskresi melalui hati atau ginjal mungkin memperpanjang
klirens. Oleh karena itu, bergantung pada obat yang terpilih, dibutuhkan dosis
inisial yang lebih tinggi, namun dengan dosis rumatan yang lebih besar.3,17

2.7.8.7. Kelompok Otot


Onset dan intensitas blokade bervariasi di antara kelompok otot. Hal ini
mungkin karena perbedaan dalam aliran darah, jarak dari sirkulasi sentral, atau
tipe serabut otot yang berbeda. Lebih jauh, sensitivitas relatif terhadap
sekelompok otot mungkin bergantung pada pemilihan pelumpuh otot.3,17
Umumnya diafragma, rahang, laring, dan otot-otot wajah (m. orbicularis
oculi) berespons dan pulih lebih cepat dari relaksasi otot dibanding ibu jari.
Muskulatur glotis juga cukup resisten terhadap blokade yang seringkali terbukti
selama laringoskopi. ED95 otot-otot laring hampir dua kali m.adductor pollicis.
Kondisi intubasi yang baik biasanya dihubungkan dengan respons kedutan
m.orbicularis oculi yang hilang.3,17
Banyak faktor yang mempengaruhi durasi dan magnitudo relaksasi otot,
sehingga respons individu terhadap obat pelumpuh otot harus dimonitor. Dosis
rekomendasi harus dipertimbangkan sebagai acuan yang membutuhkan
modifikasi sesuai dengan kebutuhan pasien. Sensitivitas yang bervariasi sering
ditemukan dalam praktek sehari-hari.3,17

25
2.7.9. Contoh Obat
2.7.9.1. Atracurium
Atracurium adalah kelompok kuartener, struktur benzylisoquinoline
membuat cara degradasi senyawa ini menjadi unik. Obat ini merupakan gabungan
dari 10 stereoisomer.1 Atracurium dimetabolisme secara ekstensif sehingga
faramkokinetiknya tidak bergantung pada fungsi ginjal dan hati. Sekitar 10% dari
obat ini diekskresi tanpa dimetabolisme melalui ginjal dan empedu.3,17

Gambar 7. Rumus kimia atrakurium17

Dua proses terpisah berperan dalam metabolisme. Pertama, hidrolisis ester


yang dikatalisis oleh esterase nonspesifik, bukan oleh asetilkolinesterase atau
pseudokolinesterase. Kedua, melalui eliminasi Hoffmann di mana penghancuran
kimia nonenzimatik spontan terjadi pada pH dan suhu fisiologis.3,17
Dosis 0,5 mg/kgBB diberikan melalui intravena dalam 30-60 detik untuk
intubasi. Relaksasi intraoperatif dicapai dengan dosis awal 0,25 mg/kgBB,
kemudian dosis inkremental 0,1 mg/kgBB setiap 10-20 menit. Infus 5-10
μg/kg/menit dapat menggantikan bolus intermiten secara efektif. Kebutuhan dosis
tidak bervariasi sesuai usia, namun atracurium dapat bekerja lebih singkat pada
anak-anak dan bayi dari pada orang dewasa.3,17
Atracurium tersedia dalam solutio 10 mg/mL, yang sebaiknya disimpan
pada suhu 2–8°C karena potensinya akan berkurang 5-10% tiap bulan bila
terekspos suhu ruangan. Pada suhu ruangan obat ini harus digunakan dalam waktu
14 hari untuk menjaga potensi. Atracurium dapat mencetuskan pelepasan histamin
yang bergantung pada dosis terutama pada dosis di atas 0,5 mg/kgBB.3,17

26
Efek samping kardiovaskuler jarang terjadi kecuali dosis melebihi 0,5
mg/kg diberikan. Atracurium juga dapat menimbulkan penurunan transien
resistensi vaskuler sistemik dan peningkatan indeks kardiak yang tidak
terpengaruh oleh pelepasan histamin. Injeksi lambat meminimalkan efek ini.
Atracurium harus dihindari pada pasien dengan asma karena bronkospasme berat
dapat terjadi bahkan pada pasien dengan riwayat asma.3,17

2.7.9.2. Cisatracurium
Cisatracurium adalah stereoisomer atracurium yang empat kali lebih poten.
Atracurium mengandung sekitar 15% cisatracurium. Seperti atracurium,
cisatracurium mengalami degradasi dalam plasma pada pH dan suhu fisiologis
melalui eliminasi Hoffman yang tidak tergantung organ. Metabolitnya (acrylate
monokuartener dan laudanosine) tidak memiliki efek blokade saraf-otot
intrinsik.3,17
Jumlah laudanosine yang dihasilkan lebih sedikit dibandingkan atracurium.
Esterase nonspesifik tidak berperan dalam metabolisme cisatracurium.
Metabolisme dan eliminasi tidak terpengaruh oleh keadaan ginjal maupun hati.
Variasi minor dalam pola farmakokinetik yang berkaitan dengan umur tidak
menyebabkan perubahan signifikan pada durasi kerja.3,17
Dosis intubasi adalah 0,1-0,15 mg/kgBB dalam 2 menit dan menghasilkan
blokade otot dengan durasi kerja sedang. Rata kecepatan infus adalah antara 1,0-
2,0 μg/kg/menit. Potensi cisatracurium sama dengan vecuronium dan lebih poten
dibanding atracurium. Cisatracurium harus disimpan dalam pendingin (2–8°C)
dan harus digunakan dalam waktu 21 hari bila disimpan pada suhu ruangan.3,17
Tidak seperti atracurium, cisatracurium tidak menyebabkan peningkatan
kadar histamin plasma. Cisatracurium tidak mempengaruhi denyut jantung atau
tekanan darah, juga tidak menimbulkan efek otonom, bahkan pada dosis setinggi
8 kali ED95. Efek samping cisatracurium yang berkaitan dengan toksisitas
laudanosine (dengan tingkat yang lebih rendah karena potensinya yang lebih
besar), sensitivitas pH dan suhu, dan inkompatibilitas kimia.3,17

27
2.7.9.3. Mivacurium
Mivacurium adalah derivat benzylisoquinoline. Mivacurium dimetabolisme
oleh pseudokolinesterase dan hanya dimetabolisme secara minimal oleh
kolinesterase. Hal ini memungkinkan durasi kerja yang diperpanjang pada pasien
dengan kadar pseudokolinesterase rendah atau varian dari gen
pseudokolinesterase. Pasien dengan gen atipikal heterozigot akan mengalami blok
2 kali lebih lama dari durasi normal, di mana pasien dengan homozigot atipikal
akan tetap terparalisis selama berjam-jam.3,17

Gambar 8. Rumus kimia mivacurium17

Homozigot atipikal tidak dapat memetabolisme mivacurium sehingga


blokade saraf-otot dapat berlangsung selama 3-4 jam. Antagonisme farmakologis
dengan inhibitor kolinesterase akan mempercepat pembalikan blokade
mivacurium tepat saat respons terhadap stimulasi saraf menjadi nyata.3,17
Edrophonium membalikkan blokade mivacurium lebih efektif dibanding
neostigmine karena neostigmine menghambat aktivitas kolinesterase plasma.
Metabolisme dan ekskresi mivacurium tidak bergantung pada ginjal atau hati,
tetapi durasi kerja akan memanjang pada pasien dengan gagal ginjal atau hati atau
pada pasien yang hamil atau postpartum sebagai akibat dari kadar kolinesterase
plasma yang menurun.3,17
Dosis intubasi mivacurium adalah 0,15-0,2 mg/kg. Infus menetap untuk
relaksasi intraoperatif bervariasi sesuai kadar pseudokolinesterase tapi dapat
diinisiasi 4-10 μg/kg/min. Anak-anak membutuhkan dosis yang lebih tinggi dari
pada orang dewasa jika dosis dihitung berdasarkan berat badan, namun tidak

28
demikian bila berdasarkan luas permukaan tubuh. Mivacurium dapat bertahan
selama 18 bulan bila disimpan pada suhu ruangan.3,17
Mivacurium melepas histamin dalam jumlah yang sama banyak dengan
atracurium. Efek samping kardiovaskuler dapat diminimalkan dengan injeksi
lambat selama 1 menit. Namun, pasien dengan penyakit jantung dapat mengalami
penurunan tekanan darah signifikan yang meskipun jarang dapat terjadi setelah
pemberian dosis lebih besar dari 0,15 mg/kg dengan suntikan lambat.3,17
Waktu onset mivacurium sama dengan atracurium (2-3 menit). Keuntungan
utamanya adalah durasi kerjanya yang singkat (20 – 30 menit), yang masih 2
hingga 3 kali lebih lama dibanding blok fase I suksinilkolin, namun setengah dari
durasi atracurium, vecuronium, atau rocuronium. Durasi kerja mivacurium yang
pendek cukup nyata memanjang dengan pemberian pancuronium.3,17

2.7.9.4. Doxacurium
Doxacurium adalah senyawa benzylisoquinoline yang erat berhubungan
dengan mivacurium dan atracurium. Relaksans kerja lama dan poten ini
mengalami tingkat hidrolisis yang rendah oleh kolinesterase plasma. Seperti obat
pelumpuh otot kerja lama yang lain, rute utama eliminasinya adalah melalui
ekskresi ginjal. Ekskresi hepatobiliaris hanya sedikit berperan dalam klirens
doxacurium.3,17
Kondisi intubasi trakea yang adekuat dalam 5 menit membutuhkan dosis
doxacurium 0,05 mg/kg. Relaksasi intraoperatif dicapai dengan dosis inisial 0,02
mg/kg diikuti dosis 0,005 mg/kg. Doxacurium dapat diberikan dalam dosis yang
disesuaikan dengan usia pada pasien muda dan orang tua, meskipun pada orang
tua dapat dijumpai durasi kerja yang memanjang.3,17

2.7.9.5. Pancuronium
Pancuronium memiliki cincin steroid yang ditempati dua molekul
asetilkolin yang termodifikasi (pelumpuh otot biskuartener). Pancuronium
dimetabolisme (deasetilisasi) oleh hati dalam batas tertentu. Produk metaboliknya

29
memiliki aktivitas blokade saraf-otot. Ekskresi terutama melalui ginjal (40%),
meskipun sebagian dari obat dibersihkan oleh empedu (10%).3,17

Gambar 9. Rumus kimia pancorium17

Eliminasi pancuronium lambat dan efek blokade saraf-otot diperpanjang


oleh gagal ginjal. Pasien dengan sirosis butuh dosis inisial yang lebih besar karena
ada peningkatan volume distribusi tapi membutuhkan dosis rumatan yang lebih
rendah karena penurunan klirens plasma.3,17
Dosis 0,08-0,12 mg/kg pancuronium memberikan relaksasi yang adekuat
untuk intubasi dalam 2-3 menit. Relaksasi intraoperatif dicapai dengan
memberikan 0,04 mg/kg dosis inisial diikuti dengan dosis 0,01 mg/kg setiap 20-
40 menit. Anak-anak perlu dosis pancuronium yang lebih tinggi. Pancuronium
tersedia dalam larutan 1 atau 2 mg/mL dan disimpan pada suhu 2–8°C tapi stabil
sampai 6 bulan pada suhu ruangan.3,17
Efek kardiovaskuler disebabkan oleh kombinasi blokade vagal dan stimulasi
simpatis. Stimulasi simpatis adalah kombinasi stimulasi ganglionik, pelepasan
katekolamin dari ujung saraf adrenergik, dan penurunan pengambilan kembali
katekolamin. Pancuronium harus diberikan dengan hati-hati pada pasien yang
dengan peningkatan denyut jantung akan menimbulkan gangguan (misal penyakit
arteri koronari, stenosis hipertrofik subaortik idiopatik).3,17
Peningkatan konduksi atrioventrikuler dan pelepasan katekolamin
meningkatkan disritmia ventrikuler pada individu yang rentan. Kombinasi
pancuronium, antidepresan trisiklik, dan halotan bersifat aritmogenik. Pasien yang

30
hipersensitif pada bromida mungkin mengalami reaksi alergi pancuronium
(pancuronium bromida).3,17

2.7.9.6. Pipecuronium
Pipecuronium memiliki struktur steroid yang sangat mirip dengan
pancuronium. Metabolisme hanya sedikit berperan pada pipecuronium. Eliminasi
bergantung pada ekskresi yang paling utama ginjal (70%) dan biliaris (20%).
Durasi kerja meningkat pada pasien gagal ginjal, tapi tidak pada insufisiensi
hepatik.3,17

Gambar 10. Rumus kimia pipecuronium17

Pipecuronium sedikit lebih poten dibanding pancuronium dan dosis intubasi


adalah antara 0,06-0,1 mg/kg. Dosis relaksasi rumatan dapat dikurangi sekitar
20% bila dibandingkan dengan pancuronium. Bayi butuh lebih sedikit
pipecuronium pada dasar dosis per kilogram dari pada anak-anak atau dewasa.
Profile farmakologi pipecuronium tidak berubah secara relatif pada pasien usia
lanjut.3,17
Keuntungan utama pipecuronium dibanding pancuronium adalah efek
samping kardiovaskulernya yang kurang karena penurunan ikatan pada reseptor
muskarinik jantung. Seperti relaksans steroid yang lain, pipecuronium tidak
menyebabkan pelepasan histamin. Onset dan durasi kerja mirip dengan
pancuronium.3,17

31
2.7.9.7. Vecuronium
Vecuronium adalah pancuronium yang kurang satu grup metil kuartener
(pelumpuh otot monokuartener). Sedikit perubahan struktur memberi efek
samping menguntungkan tanpa mempengaruhi potensi. Vecuronium
dimetabolisme dalam jumlah sedikit oleh hati. Hal ini sangat bergantung pada
ekskresi empedu dan sekitar 25% oleh ekskresi ginjal.3,17

Gambar 11. Rumus kimia vecuronium17

Vecuronium adalah obat yang cukup aman pada pasien dengan gagal ginjal,
durasi kerjanya akan memanjang dengan sebab yang tidak jelas. Durasi kerja
vecuronium yang singkat disebabkan oleh waktu paruh eliminasinya yang lebih
pendek dan klirens yang lebih cepat dibandingkan pancuronium. Pemberian
vecuronium jangka panjang pada pasien yang dirawat dalam perawatan intensif
menyebabkan perpanjangan blokade (sampai beberapa hari), yang mungkin
disebabkan oleh akumulasi metabolit aktif 3-hidroksi, perubahan klirens obat,
atau perkembangan dari polineuropati.3,17
Faktor risikonya antara lain jenis kelamin wanita, gagal ginjal, terapi
kortikosteroid jangka panjang atau dosis tinggi, dan sepsis. Oleh karena itu,
pasien-pasien ini harus dimonitor dengan ketat dan dosis vecuronium harus
dititrasi dengan hati-hati.3,17
Pemberian pelumpuh otot jangka panjang dan diikuti dengan pengurangan
ikatan asetilkolin pada reseptor nikotinik postsinaptik yang lama, dapat
menimbulkan keadaan yang mirip denervasi kronik dan disfungsi reseptor dan
paralisis. Efek saraf-otot vecuronium memanjang pada pasien dengan AIDS.

32
Toleransi terhadap obat pelumpuh otot nondepolarisasi juga dapat terjadi setelah
pemakaian lama.3,17
Vecuronium ekuipoten dengan pancuronium dan dosis intubasinya adalah
0,08-0,12 mg/kg. Dosis inisial 0,04 mg/kg diikuti dengan dosis tambahan 0,01
mg/kg setiap 15-20 menit membantu relaksasi intraoperatif. Sebagai alternatif,
infus 1-2 μg/g/menit menghasilkan rumatan relaksasi yang baik.3,17
Umur tidak mempengaruhi kebutuhan dosis inisial, meskipun dosis
tambahan jarang dibutuhkan pada neonatus dan bayi. Sensitivitas terhadap
vecuronium pada wanita 30% lebih dibanding pria yang dibuktikan dengan
tingkat blokade yang lebih besar dan durasi kerja yang lebih panjang (ditemukan
juga pada pancuronium dan rocuronium).3,17
Penyebab dari sensitivitas ini mungkin berhubungan dengan perbedaan
jumlah massa lemak dan otot, ikatan protein, volume distribusi atau aktivitas
metabolic. Durasi kerja vecuronium juga dapat memanjang pada pasien
postpartum karena perubahan dalam aliran darah atau uptake hati.3,17
Vecuronium dikemas dalam bentuk bubuk 10 mg yang direkonstitusi
dengan 5 atau 10 mL air bebas tanpa pengawet sesaat sebelum digunakan.
Vecuronium dan tiopental dapat membentuk presipitat yang dapat mengobstruksi
aliran dalam kanul vena dan dapat menyebabkan emboli paru.3,17

2.7.9.8. Rocuronium
Rocuronium adalah steroid monokuartener analog vecuronium, namun
dirancang untuk memberikan onset kerja yang cepat. Rocuronium tidak
mengalami metabolisme dan dieliminasi terutama oleh hati dan sedikit oleh ginjal.
Durasi kerjanya tidak terlalu dipengaruhi oleh penyakit ginjal, tapi cukup
memanjang oleh gagal hati berat dan kehamilan.3,17
Rocuronium tidak memiliki metabolit aktif, dan mungkin merupakan pilihan
yang lebih baik dari pada vecuronium untuk infus yang lama (misal pada unit
perawatan intensif). Pasien usia lanjut dapat mengalami durasi kerja yang
memanjang karena massa hati yang menurun.3,17

33
Gambar 12. Rocuronium17

Rocuronium kurang potent dibanding pelumpuh otot steroid lain. Dosis


untuk intubasi 0,45-0,9 mg/kg i.v dan 0,15 mg/kg bolus untuk rumatan. Dosis
yang lebih rendah dari 0,4 mg/kg dapat memungkinkan pembalikan 25 menit
setelah intubasi. Rocuronium intramuskuler (1 mg/kg untuk bayi, 2 mg/kg untuk
anak-anak) menyebabkan paralisis pita suara dan diafragma untuk intubasi,
namun belum akan terjadi 3-6 menit kemudian (injeksi deltoideus onsetnya lebih
cepat dari pada quadricep) dan dapat dibalikkan setelah 1 jam. Infus rocuronium
membutuhkan dosis 5-12 μg/kg/menit. Rocuronium durasi kerjanya akan
memanjang pada pasien usia lanjut. Dosis inisial akan meningkat pada penyakit
hati lanjut, kemungkinan akibat volume distribusi yang lebih besar.3,17
Rocuronium pada dosis 0,9-1,2 mg/kg memiliki onset kerja yang mendekati
suksinilkolin (60 – 90 detik) sehingga cocok sebagai alternatif untuk induksi
urutan cepat, tapi dengan durasi kerja yang jauh lebih panjang. Durasi kerja
sedangnya sebanding dengan vecuronium atau atracurium. Rocuronium (0,1
mg/kg) adalah obat yang cepat (90 detik) dan efektif (menurun fasikulasi dan
myalgia postoperative) untuk precurarisasi terutama pada pemberian
suksinilkolin. Rocuronium juga memiliki kecenderungan vagolitik.3,17

2.8. Pemulihan
Pelumpuh otot depolarisasi tidak dimetabolisme oleh asetilkolinesterase,
obat-obat ini akan terdifusi dari NMJ dan dihidrolisis dalam plasma dan hati oleh
enzim yang lain yaitu pseudokolinesterase. Prosesnya sangat cepat karena tidak
ada agen khusus untuk membalikkan blokade agen depolarisasi yang tersedia.2,3

34
Agen nondepolarisasi yang hanya sedikit dimetabolisme adalah
mivacurium. Pembalikan blokade pelumpuh otot ini tergantung pada redistribusi,
metabolisme gradual, dan ekskresi pelumpuh otot dari tubuh, atau pemberian agen
khusus untuk membalikkan pasien, misal inhibitor kolinesterase yang
menghambat aktivitas enzim asetilkolinesterase. Inhibisi ini meningkatkan jumlah
asetilkolin pada NMJ dan dapat bersaing dengan agen nondepolarisasi.2,3
Pemilihan jenis pelumpuh otot yang digunakan dipengaruhi oleh onset
kerja, durasi kerja, dan kemungkinan efek samping yang diinduksi oleh obat
karena kerja obat pada tempat lain selain NMJ. Efek samping yang tidak
diharapkan adalah respons kardiovaskuler karena pelepasan histamin yang
dicetuskan oleh obat pelumpuh otot nondepolarisasi benzylisoquinolinium.2,3
Onset yang cepat dan durasi yang singkat seperti yang ditimbulkan oleh
suksinilkolin dan pada cakupan yang lebih sedikit (mivacurium) bermanfaat saat
intubasi trakea merupakan alasan pemberian obat pelumpuh otot. Rocuronium
adalah satu-satunya obat pelumpuh otot nondepolarisasi yang onset kerjanya
singkat menyerupai suksinilkolin, tapi dengan durasi kerja yang lebih panjang.2,3
Jika diperlukan blokade saraf-otot yang dipertahankan dalam periode
tertentu maka obat pelumpuh otot nondepolarisasi adalah obat pilihan untuk dosis
intermiten atau sebagai infus kontinu. Saat tidak diperlukan onset cepat blokade
saraf-otot, relaksasi otot untuk fasilitasi intubasi trakea dapat dipilih obat
pelumpuh otot nondepolarisasi.2,3
Beberapa obat pelumpuh otot nondepolarisasi dapat menimbulkan
penurunan tekanan darah sistemik yang signifikan akibat pelepasan histamin
(atracurium atau mivacurium) atau dapat meningkatkan denyut jantung
(pancuronium). Efek sirkulasi yang dicetus oleh obat ini biasa dihindari bila
terdapat keadaan seperti hipovolemia, penyakit arteri koroner, atau penyakit katup
jantung.2,3
Sebaliknya, bradikardi yang dicetuskan oleh anestetik opioid yang ditutupi
sampai batas tertentu oleh efek peningkatan denyut jantung oleh pancuronium dan
tidak dapat ditutupi oleh obat pelumpuh otot nodepolarisasi yang tidak memiliki

35
efek sirkulasi (vecuronium, rocuronium, cisatracurium, doxacurium, dan
pipecuronium).2,3

2.9. Antidotum
Penghambat kolinesterase bekerja secara tidak langsung dengan
menonaktifkan enzim asetilkolinesterase (AChE) di celah sinaptik dari NMJ.
Konsentrasi Ach meningkat dan berkompetisi dengan molekul NMBA pada
reseptor nikotinik pasca-sinaptik. Aktivitas AChE berangsur-angsur kembali
normal seiring konsentrasi kolinesterase inhibitor dalam plasma dan dengan
demikian pada NMJ menurun sebagai akibat dari redistribusi, metabolisme, dan
ekskresi.21
NMBA tidak dinonaktifkan atau dipecah oleh penghambat kolinesterase.
Penghambat kolinesterase yang sekarang paling banyak digunakan dalam praktik
klinis adalah neostigmin dan edrophonium, yang keduanya membentuk ikatan
reversibel dengan AChE. Neostigmin membentuk ikatan kovalen ke situs esteratik
dan edrofonium membentuk ikatan ionik ke situs anionik pada molekul AChE.21
Neostigmin 0,04-0,07 µg/kg memiliki onset kerja 1 menit, tetapi efek
puncaknya tidak terjadi selama 9 menit, dan durasi kerjanya hanya 20-30 menit.
Neostigmin dimetabolisme di hati dan sekitar 80 % obat diekskresikan dalam urin
dalam waktu 24 jam, 50% tidak berubah. Ini adalah batasan penggunaan
antikolinesterase yang diakui dalam praktik klinis.21

36
BAB 3
PENUTUP

Muscle Relaxant depolarisasi sangat mirip dengan Ach dan berikatan


dengan reseptor Ach. Obat pelumpuh otot adalah kelompok amonium kuartener
yang merupakan senyawa larut dalam air yang mudah terionisasi pada pH
fisiologis, dan memiliki kelarutan yang terbatas dalam lipid. Farmakodinamik
obat pelumpuh otot ditentukan dengan mengukur kecepatan onset dan durasi
blokade saraf-otot. Secara klinis, metode yang umum dipakai untuk menentukan
tipe, kecepatan onset, magnitudo, dan durasi blokade saraf-otot adalah dengan
mengamati atau merekam respons otot skeletal yang ditimbulkan oleh stimulus
elektrik yang dikirim dari stimulator saraf perifer.
Muscle relaxant dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu depolarisasi dan non-
depolarisasi. Pembagian ini dibagi berdasarkan aksi atau mekanisme kerja dan
stimulasi saraf perifer. Hambatan depolarisasi terjadi karena serabut saraf otot
mendapat rangsangan depolarisasi yang menetap sehingga akhirnya kehilangan
respon berkontraksi yang menyebabkan kelumpuhan. Ciri kelumpuhan ditandai
dengan fasikulasi otot. Pulihnya fungsi saraf otot bergantung pada kemampuan
daya hidrolisis enzim kolinesterasec.
Penghambat kolinesterase bekerja secara tidak langsung dengan
menonaktifkan enzim asetilkolinesterase (AChE) di celah sinaptik dari NMJ.
Konsentrasi Ach meningkat dan berkompetisi dengan molekul NMBA pada
reseptor nikotinik pasca-sinaptik. Aktivitas AChE berangsur-angsur kembali
normal seiring konsentrasi kolinesterase inhibitor dalam plasma dan dengan
demikian pada NMJ menurun sebagai akibat dari redistribusi, metabolisme, dan
ekskresi.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Booij L. Appropriate use of muscle relaxantsin anaesthesia. Intensive


Emerg care. 2011;4(11):136–44.
2. Morgan GE; Mikhail MS; Murray MJ. Clinical Anesthesiology.
Philadelphia: McGraw-Hill Education; 2013.
3. Barash PG; Cullen BF; Steolting RK; et al. Handbook of Clinical
Anesthesia. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2009.
4. Gustafson KA, Brown AS. Neuromuscular Blocking Agents: Use and
Controversy in the Hospital Setting. US Pharm. 2017;42(1):42.
5. Dillon C, Ram RP, Hirsch R, et al. Skeletal muscle relaxant use in the
United States: data from the Third National Health and Nutrition
Examination Survey (NHANES III). Spine (Phila Pa 1976).
2014;29(8):892–8.
6. Ratliff WA, Saykally JN, Kane MJ, et al. Neuromuscular Junction
Morphology and Gene Dysregulation in the Wobbler Model of Spinal
Neurodegeneration. J Mol Neurosci. 2018;66(1):114–20.
7. Slater CR. The Structure of Human Neuromuscular Junctions: Some
Unanswered Molecular Questions. Int J Mol Sci. 2017;19(10):19–25.
8. Louis ED; Mayer SA; Rowland LP. Merritt’s neurology. New York:
Lippincott Williams & Wilkins; 2016.
9. Omar A, Marwaha K, Bollu PC. Physiology, Neuromuscular Junction.
StatPearls Publ. 2020;
10. Ropper AH; Samuel MA. Adams and Victor’s Principles of Neurology. 9
ed. Boston: Mc Graw Hill Companies Inc; 2009.
11. Sherwood L. Fisiologi Manusia: dari sel ke sistem. 6 ed. Jakarta: EGC;
2011.
12. Querol L; Illa I. Myasthenia and the neuromuscular junction. Cuur Opin
Neurol. 2013;29:459–65.
13. Ansar V, Valadi N. Guillain-Barré Syndrome. Prim Care - Clin Off Pract.
2015;42(2):189–93.

38
14. Ankam JA, Hunter JM. Pharmacology of neuromuscular blocking drugs.
Contin Educ Anaesth Crit Care Pain. 2004;4(1):2–7.
15. Gede M TG. Ilmu Anestesia Dan Reanimasi. Jakarta: FK UI; 2017.
16. Warr J, Thiboutot Z, Rose L, et al. Current therapeutic uses, pharmacology,
and clinical considerations of neuromuscular blocking agents for critically
ill adults. Ann Pharmacother. 2011;45:1116–26.
17. Bruntol LL; Dandan RH; Knollmann BC. Goodman & Gilman’s: The
Pharmacological Basis of Therapeutics. Philadelphia: Mc Graw Hill
Education; 2018.
18. Katzung BG; Masters SB; Trevor AJ. Basic & clinical pharmacology.
Jakarta: EGC; 2012.
19. Stoelting RK. Pharmacology & Physiology in Anesthetic Practice.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006.
20. Murray MJ, DeBlock H, Erstad B, et al. Clinical practice guidelines for
sustained neuromuscular blockade in the adult critically ill patient. Crit
Care Med. 2016;44:2079–103.
21. Srivasta A, Hunter JM. Reversal of neuromuscular block. Br J Anaesth.
2009;103(1):115–29.

39

Anda mungkin juga menyukai