Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

Pada anestesia umum diharapkan tercapai suatu keadaan ideal untuk


pembedahan yang disebut dengan trias anesthesia yang terdiri dari sedasi, analgesia
dan relaksasi otot. Relaksasi otot dapat dicapai dengan anestesia yang dalam, blok
saraf ataupun dengan pelumpuh otot. Sejak ditemukannya pelumpuh otot maka
relaksasi otot yang diharapkan dapat dicapai dengan mudah. Dengan demikian sangat
membantu operator dalam melakukan tindakan operasi, terutama yang membutuhkan
relaksasi otot yang maksimal. Secara umum, indikasi penggunaan obat pelumpuh otot
adalah :
a. Relaksasi otot pada pembedahan, terutama pembedahan intra abdomen dan intra
toraks.
b. Fasilitasi tindakan anestesi seperti intubasi, mengatasi laringospasme,
menurunkan jumlah obat inhalasi.
c. Kontrol ventilasi, pada pasien-pasien kritis yang mengalami kegagalan
pernapasan sehingga diperlukan pelumpuh otot untuk menghilangkan resistensi
dinding dada dan pernapasan spontan yang tidak efektif.
d. Penanganan kejang, kadang-kadang digunakan untuk menghilangkan manifestasi
perifer dari kejang karena epilepsi atau intoksikasi anestetik lokal.1,2,3,4

Pada prinsipnya efek farmakologi dari obat pelumpuh otot adalah dengan
menghentikan transmisi impuls-impuls saraf pada neuromuscular junction (NMJ)
sehingga kontraksi otot dapat dihambat.1,2,3,4,5,6

Pada makalah ini akan diuraikan farmakologi obat-obat pelumpuh otot yang
akan menjadi dasar dalam penggunaan obat-obat tersebut dalam keadaan-keadaan
yang memerlukan relaksasi otot baik di dalam operasi maupun di ruang perawatan
intensif.
BAB II

FISIOLOGI TRANSMISI NEUROMUSKULAR

A. Motor Unit

Unit fungsional terkecil suatu sistem muskuloskeletal adalah motor unit. Unit
ini terdiri dari satu buah motoneuron tunggal, yang berasal dari kornu anterior medula
spinalis, akson dan kelompok serabut otot yang dipersarafi oleh akson tunggal. Satu
buah akson dapat menginervasi 3-2000 serabut saraf, tergantung dari fungsi otot
tersebut.1,4

Gambar 1. Diagram motor unit. (sumber : Collins VJ. Principles of


Anesthesiology 3rd Edition. hal 811)

Pada otot-otot yang mengatur gerakan halus motoneuron akan mempersarafi


sedikit serabut otot, sedangkan pada otot yang mengatur gerakan kasar dan kuat
motoneuron akan mempersarafi banyak serabut otot. Seperti contoh di bawah ini :
1. Otot-otot laring dan faring, 2-3 serabut/unit
2. Otot-otot mata, 10 serabut/unit
3. Otot gastroknemius, 2000 atau lebih serabut/unit.

Neuron yang mempersarafi otot merupakan jenis serabut alfa-eferen ukuran


besar dengan diameter 14 µ, kecepatan konduksi 100 m/detik. Disamping itu terdapat
pula serabut kecil yang paralel dengan diameter 4 µ dan konduksi lambat yang
dikenal sebagai serabut gama yang berfungsi sebagai aferen dan berakhir di spindel
otot, seperti terlihat pada gambar 1.1

B. Neuromuscular junction

Untuk memahami kerja obat pelumpuh otot diperlukan pemahaman mengenai


struktur dasar dan fisiologi neuromuscular junction (NMJ). Ada dua komponen dasar
pada persambungan ini yaitu :
1. Motoneuron yang merupakan membran terminal yang berasal dari selaput
schwan atau neurolemma dan membentuk membran presinaptik.
2. Serabut otot lurik dengan membran sarkolema atau limiting membran yang
berasal dari lapisan dalam ssarkolema otot. Bagian ini disebut sebagai
membran post sinaptik yang memiliki reseptor asetilkolin.
Gambar 2. Neuromuscular junction. (Sumber: Lee’s Sinopsy of Anesthesiology.
3rd Edition. hal 176)

Seperti terlihat pada gambar 2, kedua bagian NMJ dipisahkan oleh sebuah
celah yang disebut celah sinaptik (synaptic cleft) dengan lebar 20-30 nm yang diisi
cairan ekstraselular. Pada bagian presinap terdapat mitokondria, retikulum
endoplasma dan vesikel-vesikel tempat sintesis asetilkolin. Sedangkan pada bagian
post sinap terdapat reseptor asetilkolin yang terkonsentrasi di bahu dan junctional
fold. NMJ mengandung tiga tipe reseptor nikotinik kolinergik. Dua diantaranya
terdapat di post sinaps (di atas permukaan otot dan ekstra juctional) dan satu lainnya
di membran presinaptik pada ujung saraf.1,4

C. Neurotransmiter

Neurotransmiter adalah suatu substansi kimiawi yang dilepaskan oleh sebuah


neuron yang dapat menyebabkan perubahan permeabilitas atau konformasi pada
membran sel target. Sitoplasma pada terminal sinaptik mengandung mitokondria dan
vesikel-vesikel yang berisi neurotransmiter yaitu asetilkolin, suatu ammonium ester
kuartener. Asetilkolin pada ujung saraf dihasilkan melalui proses asetilasi dari kolin
dalam kontrol enzim kolin asetilasi (asetil koenzim A). Kemudian asetilkolin tersebut
disimpan di dalam vesikel-vesikel dalam ujung motor saraf dan akan dilepaskan ke
dalam celah sinaptik sebagai packet (quanta) yang masing-masing berisi sedikitnya
1000 molekul asetilkolin.1,3,5

Untuk melepaskan asetilkolin diperlukan ion kalsium. Diperkirakan potensial


aksi pada saraf akan menyebabkan aktifasi dari adenilat siklase yang akan
membentuk Cyclic Adenosine Mono Phospat (CAMP). CAMP akan membuka kanal
kalsium sehingga vesikel sinaptik akan melebur di ujung saraf. 1 Ketika impuls saraf
mencapai membran maka asetilkolin dilepaskan dan akan melekat di reseptor
kolinergik nikotinik prejunctional yang akan menyebabkan ion kalsium masuk dan
mengakibatkan banjir asetilkolin ke dalam celah sinaps. Urutan kejadian yang akan
terjadi pada sinaps kolinergik seperti terlihat pada gambar tiga adalah :
1. Potensial aksi tiba dan mendepolarisasi synaptic knob.
2. Ion kalsium dari ekstraselular memasuki sitoplasma dan menyebabkan
aksositosis vesikel yang berisi asetilkolin.
3. Asetilkolin berdifusi melalui celah sianptik dan berikatan di reseptor post
sinaps, menyebabkan kanal natrium terbuka dan menyebabkan depolarisasi.
Pelepasan asetilkolin berhenti karena ion kalsium keluar dari sitoplasma
synaptic knob.
4. Depolarisasi berakhir ketika asetilkolin dipecah menjadi asetat dan kolin oleh
enzim asetilkolinesterase, kemudian kolin diserap kembali oleh synaptic knob
untuk digunakan dalam sintesis ulang asetilkolin.1,5
Gambar 3. Aktivitas Sinaps Kolinergik. (Sumber: Martini, FH. Fundamentals of
Anatomy & Phisiology. 7th Edition. hal 407).

Ratusan quanta asetilkolin yang dilepas akan berikatan dengan reseptor


nikotinik kolinergik di membran post sinaps yang akan menyebabkan perubahan
permeabilitas terhadap ion-ion tertentu. Ion-ion tersebut adalah natrium dan kalsium
yang akan masuk ke dalam sel, serta kalium keluar sel. Perubahan ini akan
menyebabkan penurunan potensial istirahat membran dari -90 mV menjadi -45 mV
(threshold potensial) yang akan mengakibatkan timbulnya potensial aksi dan
menyebar ke seluruh otot untuk menimbulkan kontraksi otot.1,6
D. Reseptor Asetilkolin

Membran pre junctional memiliki satu buah reseptor asetilkolin sedangkan


membran post junctional memiliki dua tipe reseptor yaitu reseptor kolinergik
nikotinik dan reseptor kolinergik ekstra junctional.
1. Reseptor Kolinergik Nikotinik1,2,4,6,7
Merupakan suatu glikoprotein dengan berat molekul 250.000 dalton,
terdiri dari 5 sub unit yang tersusun secara konsentrik yaitu sub unit α, β, γ
dan δ. Terdapat dua sub unit alfa dengan berat molekul masing-masing 40.000
dalton sedangkan sub unit lain 50.000 dan 60.000 dalton.

Gambar 4. Reseptor Asetilkolin. (sumber: Collins VJ. Principles of


anesthesiology. 3rd Edition. hal 818)

Sub unit α merupakan tempat terikatnya asetilkolin dan akan ditempati


oleh obat pelumpuh otot. Subunit - subunit tersebut tersusun secara konsentris
sehingga membentuk suatu kanal di tengahnya yang memungkinkan aliran ion
menurut perbedaan gradien konsentrasi. Ketika dua subunit α ditempati
asetilkolin maka kanal tersebut akan membuka dan menyebabkan aliran ion
Na dan Ca ke dalam sedangkan K keluar otot dan transmisi neuromuskular
pun terjadi. Ketika salah satu atau kedua subunit α ditempati oleh obat
pelumpuh otot maka kanal ion tetap akan tertutup sehingga tidak terjadi
transmisi neuromuskular.

2. Reseptor Kolinergik Ekstrajunctional1,2,4,6,7


Pada kondisi normal reseptor-reseptor ini tidak terdapat dalam jumlah
banyak karena sintesisnya ditekan oleh aktifasi saraf. Ketika saraf-saraf
motorik kurang aktif akibat trauma atau denervasi otot-otot skelet, reseptor ini
akan berproliferasi dengan cepat dan akan terdegradasi ketika aktifitas saraf
pulih.

3. Reseptor Nikotinik Prejunctional1,2,3,4,6,7


Reseptor ini terletak di membran prejunction dan berperan dalam
mobilisasi asetilkolin dari tempat sintesis ke tempat pelepasan dan pelepasan
asetilkolin ke dalam celah sinaptik.

E. Enzim Asetilkolinesterase

Merupakan suatu protein polimer dengan berat molekul 20 juta dengan


masing-masing monomer 240.000. Dua tempat aktifitas enzim telah ditemukan pada
NMJ yaitu pada plasma membran presinaps atau akson terminal dan pada junctional
fold pada otot. Asetilkolin dipecah menjadi asam asetat dan kolin dalam waktu
kurang dari 8 µ detik melalui proses hidrolisis.1,6
BAB III

OBAT PELUMPUH OTOT

Obat pelumpuh otot diklasifikasikan atas dasar perbedaan dasar


elekrofisiologi akibat mekanisme kerja dan durasi menjadi :
- Obat pelumpuh otot depolarisasi (menyerupai asetilkolin)
- Obat pelumpuh otot non depolarisasi (mempengaruhi asetilkolin)1,2,3,4,6,7
-
A. Farmakodinamik

Farmakodinamik obat pelumpuh otot ditentukan atas dasar pengukuran


kecepatan onset, besarnya efek, durasi yang secara klinik diamati dengan melihat
respon terhadap stimulus listrik supra maksimal menggunakan stimulator saraf
perifer. Onset didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan untuk mencapai relaksasi
maksimal, sedangkan durasi adalah waktu yang dibutuhkan sampai dengan
kembalinya respon spontan hingga twitch respon 25% dari respon normal. Paling
sering diamati kontraksi otot adductor policis setelah n.ulnaris dilakukan untuk
melihat efek obat pelumpuh otot, seperti dijelaskan dalam gambar 5.10

ED95 merupakan ukuran untuk menentukan potensi obat-obat pelumpuh otot


yaitu dosis yang diperlukan untuk mensupresi 95% respon single twitch. Obat-obat
pelumpuh otot mempengaruhi otot-otot yang kecil dengan pergerakan cepat terlebih
dahulu seperti otot-otot mata dan jari sebelum otot-otot yang besar seperti abdomen.
Reseptor asetikolin lebih padat pada otot-otot dengan serat saraf cepat dibandingkan
dengan serabut saraf lambat, sehingga lebih banyak reseptor yang terdapat pada serat
saraf tipe cepat yang harus ditempati.6

Otot-otot yang berbeda mempunyai sensitifitas yang berbeda pula terhadap


pelumpuh otot. Otot adductor policis lebih sensitif dibandingkan otot-otot jalan napas
dan diafragma. Dibutuhkan 1,5-2 kali dosis lebih besar untuk melumpuhkan otot
diafragma dan laring dibandingkan adductor policis, tetapi pulihnya fungsi diafragma
mulai terjadi hanya dengan 10% reseptor yang tersedia dibandingkan otot perifer
yang membutuhkan paling sedikit 20% reseptor.11

Pemulihan dari obat-obat pelumpuh otot berjalan pada arah sebaliknya.


Perbedaan dari onset dan pulih dari obat pelumpuh otot berhubungan dengan lebih
cepatnya keseimbangan obat-obat di otot yang aliran darahnya besar.

B. Farmakodinamik

Obat pelumpuh otot depol mempunyai durasi yang sangat singkat akibat dari
hidrolisis yang cepat oleh plasma kolinesterase. Selanjutnya akan dipecah menjadi
suksinil monokolin yang akan dipecah lagi menjadi asam suksinat dan kolin.
Akibatnya hanya sekitar 10% saja suksinilkolin yang mencapai neuromusular
junction. Obat-obat pelumpuh otot terdiri dari grup ammonium kuartener yang sangat
larut dalam air pada pH fisiologis dan mempunyai kelarutan lemak yang terbatas,
sehingga volume ditribusi dari obat-obat ini terbatas, sama degan volume cairan
ekstraselular.

Kecepatan hilangnya obat pelumpuh otot dari darah disebabkan oleh distribusi
awal yang cepat yang diikuti oleh fase eliminasi yang lambat. Rute eliminasi sangat
berkaitan erat dengan durasinya, obat yang dieksresi melalui ginjal biasanya akan
mempunyai durasi yang lebih lama dibandingkan dengan obat yang dieliminasi oleh
hati.

Obat-obat pelumpuh otot juga tidak mudah melewati membran saraf lemak
sawar darah otak, epitel tubular ginjal, epitel gastrointestinal ataupun plasenta.
Sehingga obat-obat pelumpuh otot tidak memberikan efek terhadap susunan saraf
pusat, reabsorbsi ginjal minimal, absorbsi oral tidak efektif dan pemberian pada ibu
hamil tidak mempengaruhi janin. Redistribusi obat pelumpuh otot juga memegang
peranan dalam farmakokinetiknya. Klirens plasma, volume distribusi, waktu paruh
eliminasi dari obat-obat pelumpuh otot dipengaruhi oleh umur, obat anestesi inhalasi,
gangguan hepar dan ginjal.

Obat pelumpuh otot tidak terikat kuat protein plasma (sampai dengan 50%)
sehingga perubahan pada protein dan ikatannya tidak akan menimbulkan efek yang
signifikan pada eksresinya di renal. Jika volume distribusi menurun karena
peningkatan ikatan protein, dehidrasi atau perdarahan akut, dengan dosis yang sama
akan menghasilkan konsentrasi plasma dan potensi yang tinggi.6

C. Pemilihan Obat

Pemilihan obat pelumpuh otot antara depol dan non depol dipengaruhi oleh
onset, durasi dan efek samping obat yang mungkin timbul selain pada NMJ, seperti
efek kardiovaskular akibat pelepasan histamin dari gologan benzylisoquinolium obat-
obat non depol. Ketika dibutuhkan obat dengan onset yang cepat dan durasi yang
singkat maka pilihan jatuh kepada suksinilkolin atau rokuronium, tetapi ketika onset
dan durasi tidak terlalu menjadi pertimbangan maka bisa difasilitasi dengan obat-
obatan non depol. Ketika periode paralisis diperlukan lebih lama maka injeksi
intermitten atau infuse kontinyu menjadi pilihan.

Obat-obat pelumpuh otot non depol tertentu bisa memberikan efek penurunan
tekanan darah sistemik yang signifikan (karena efek pelepasan histamin attrakurium
dan mivakurium) atau peningkatan denyut jantung karena pankuronium, maka efek
sirkulasi akibat obat-obatan ini tidak diharapkan pada keadaan hipovolemia, penyakit
jantung koroner ataupun penyakit katup jantung. Sebaliknya efek bradikardia yang
timbul akibat anestesi berbasis opioid yang teratasi dengan pemberian pankuronium
tidak akan teratasi dengan obat-obat yang tidak menimbulkan efek sirkulasi seperti
vekuronium, rokuronium, cisatrakurium, doxakurium dan pipekurium.6
D. Pemantauan kerja obat pelumpuh otot

Perangsangan listrik menggunakan stimulator saraf merupakan cara yang


efektif untuk mengamati tingkat paralisis otot ketika obat pelumpuh otot digunakan.
Hal ini menggambarkan tes secara kualitatif. Reaksi serabut otot mengikuti pola All
or none, respon otot tergantung dari banyaknya serabut otot yang teraktivasi. Jika
stimulus yang diberikan cukup untuk mengaktivasi seluruh serabut otot, maka akan
menghasilkan kontraksi yang maksimal.

Nervus ulnaris merupakan saraf yang paling sering dipakai untuk pemantauan,
hal ini karena nervus ulnaris paling superfisial dan nyaman untuk perangsangan.
Tempat perangsangan adalah pada pergelangan tangan pada muskulus flexor carpi
ulnaris. Gerakan yang dipantau adalah respon dari m.abductor pollicis berupa
gerakan adduksi dari ibu jari. Tempat pematauan stimulasi saraf yang lain adalah
nervus fascialis dengan respon berupa kontraksi otot orbikularis okuli atau saraf
mandibular dengan respon berupa kontraksi otot maseter. Tipe kontraksi otot yang
mungkin timbul pada perangsangan saraf adalah sebagai berikut :

1. Twitch: Respon kontraksi otot yang sinkron dengan satu maksimal stimulus.
2. Summation: Jika dua stimulus diberikan dengan cepat, respon akan lebih besar
dibandingkan terhadap stimulus tunggal.
3. Tetanus: Jika beberapa stimulus diberikan dengan cepat maka respon ketiga
dan keempat tidak menghasilkan peningkatan tension tapi mempertahankan
kontraksi.
4. Post Tetanic Facilitation: Respon twitch yang lebih besar setelah respon
tetanus.
5. Fibrilation: Kontraksi spontan dengan resting action potensial yang rendah
ketika satu sel atau serabut dirangsang.1

Untuk memberikan rangsangan supramaksimal kepada saraf, maka stimulator


saraf harus dapat menghasilkan arus setidaknya 50 mA dan melawan hambatan 1000
Ohm. Arus ini sangat tidak nyaman untuk pasien yang sadar. Pola stimulasi yang
diberikan adalah :
1. Twitch: Stimulasi tunggal dengan frekuensi 0,1-0,2 Hz durasi 0,2 mdetik
setiap 10 detik.
2. Train of Four: Empat twitch dalam dua detik masing-masing selama 0,2
mdetik.
3. Tetany: Stimulus yang dipertahankan 50-100 hz selama 5 detik.
4. Double burst stimulation: Tiga stimulasi singkat (0,2 mdetik) yang dipisahkan
interval 20 mdetik kemudian 750 mdetik diikuti dua atau tiga impuls
tambahan.

Dua informasi yang bisa didapatkan dari penggunaan stimulator saraf yaitu:
pertama, derajat blok neuromuskular. Kedua, jenis dari blok neuromuskular. Untuk
membedakan jenis blok neuromuskular memerlukan urutan stimulasi saraf yaitu:
twitch-tetanus-twitch seperti diperlihatkan pada gambar 5 di bawah ini.

Gambar 5. Karakteristik gerakan jari pada dua jenis blok neuromuskular klasik depol
dan non depol pada stimulasi saraf. (sumber: Collins VJ. Principles of anesthesiology.
3rd edition. hal 854)
Pada gambar 5 di atas diperlihatkan kontraksi dari jari yang menunjukkan :
1. Pada urutan ini, karakteristik pelumpuh otot non depol terlihat : Fade dari
kelingking pada perangsangan empat atau lebih stimulasi tunggal; Fade yang
cepat pada stimulus tetanik; segera setelah stimulasi tetanik, pemberian
stimulasi tunggal akan menghasilkan beberapa i tanpa fade. Hal ini
berhubungan dengan fenomena fasilitasi dan berlangsung kurang dari 10-30
detik. Sehingga fade dan post titanic facilitation adalah karakteristik untuk
pelumpuh otot non depol.
2. Respon yang menetap terhadap twitch atau tetanus (tidak terdapat Fade) dan
tidak ada post titanic facilitation terlihat pada pelumpuh otot depol.
3. Jika fade atau facilitation terjadi setelah pemberian pelumpuh otot depol,
maka blok fase II telah terjadi.

Respon yang membedakan antara obat pelumpuh otot depol dan non depol
adalah adanya fade dan post titanic potention seperti diperlihatkan pada tabel 1. Fade
adalah pengurangan amplitudo yang gradual dari respon yang berulang atau
memanjang, hal ini diperkirakan akibat dari efek prejunctional dari obat pelumpuh
otot non depol yang mengurangi jumlah asetilkolin di terminal saraf yang akan
dilepaskan ketika terjadi stimulasi (blokade mobilisasi asetilkolin). Post tetanic
potentiation terjadi akibat peningkatan mobilisasi asetilkolin sebagai kompensasi dari
stimulasi tetanik.8

Pada setiap jenis stimulus terhadap otot depol didapatkan pengurangan respon
yang menetap jika dibandingkan dengan keadaan normal serta tidak didapatkan post
tetanic potentiation, sedangkan pada pelumpuh otot non depol terjadi fade pada setiap
stimulus yang diberikan dan adanya post tetanic potentiation. Karakteristik respon
dari obat pelumpuh otot non depol serupa dengan respon obat pelumpuh otot depol
pada fase II, seperti diperlihatkan pada tabel berikut ini.
Tabel 1. Respon yang dihasilkan obat pelumpuh otot depol dan non depol
(sumber: Morga, Clinical anesthesiology. 3rd Edition. hal 182)

Pada stimulasi single twitch dibandingkan amplitudo antara sebelum


pemberian pelumpuh otot dan setelah pemberian pelumpuh otot. Normal twitch akan
mulai menghilang ketika hanya 25% reseptor yang aktif atau 75-80% reseptor
diduduki oleh obat pelumpuh otot. Depresi single twitch 75% atau lebih
memperlihatkan relaksasi yang cukup untuk pembedahan. Sementara pada respon
tetanik pada 100 cps menunjukkan setidaknya 50% reseptor tersedia atau telah
recovery. Pada stimulasi train of four dibandingkan tinggi amplitudo respon keempat
dengan respon pertama. Hal ini akan memberikan rasio amplitudo seperti terlihat
pada gambar 6 berikut ini.
Gambar 6. Diagram respon terhadap TOF (sumber: Collins VJ. Principles of
anesthesiology 3rd Edition. hal 855)

Pada gambar di atas diperlihatkan, sebelah kiri, respon normal sebelum


kurarisasi. Ketinggian B sama dengan ketinggian A, dan rasio B terhadap A adalah
100%. Pada gambar sebelah kanan, kurarisasi parsial, rasio ketinggian B terhadap A
adalah 50%. Hubungan antara twitch satu dan twich keempat menggambarkan
keberadaan blok, semakin besar perbedaannya semakin besar derajat bloknya.

Respon twitch keempat menghilang ketika tinggi twitch sekitar 25% dari
kontrol atau 75% blok terjasi, sedangkan twitch ketiga hilang ketika ketinggian
twitch pertama sekitar 20% dari normal atau 80% blok terjadi duduki. Pada 90-95%
fungsi neuromuskular terdepresi maka twitch kedua tidak nampak dan ketika
keempat-empatnya tidak muncul maka menunjukkan 100% blok neuromuskular.
Hubungannya dengan relaksasi pembedahan adalah: ketika twitch keempat hilang
berarti 75% blok memberikan relaksasi yang cukup untuk operasi abdominal, ketika
90% blok yaitu twitch kedua hilang maka relaksasi abdomen bagus. Dan ketika
keempat twitch hilang maka relaksasi abdomen sangat memuaskan.
BAB IV

OBAT PELUMPUH OTOT DEPOLARISASI

Di dalam klinik hanya suksinilkolin yang dipergunakan sebagai obat


pelumpuh otot depolarisasi. Dengan onset yang cepat (30-60 detik) dan durasi yang
pendek (3-5 menit) membuat obat ini sangat berguna dalam relaksasi otot pada
intubasi. Struktur kimia suksinil kolin menyerupai struktur asetilkolin, yaitu
merupakan dua molekul asetilkolin yang dihubungkan end to end.4,6

Gambar 7. Struktur kimia suksinilkolin dibandingkan dengan asetilkolin


(sumber: Katzung BG. Basic & Clinical Pharmacology. 9th Edition. hal 429).

A. Mekanisme Kerja

Suksinilkolin berikatan dengan masing-masing subunit α pada reseptor


kolinergik nikotinik dan menyerupai kerja dari asetilkolin, sehingga terjadi
depolarisasi di membran post sinaps. Jika dibandingkan dengan asetilkolin hidrolisis
suksinilkolin lebih lambat sehingga depolarisasi terus berjalan dan kanal ion terus
terbuka. Blok neuromuskular terjadi akibat membrane post junction yang
terdepolarisasi tidak dapat berespon dengan asetilkolin yang dilepaskan berikutnya.
Blok neuromuskular ini disebut sebagai blok fase 1.1,2,6,7

Jika dosis besar suksinilkolin diberikan (>2 mg/kg iv), dosis ulangan atau
infus kontinyu dari suksinilkolin akan menyebabkan membrane post junction telah
berepolarisasi (desensitisasi neuromuskular blok) dinamakan blok fase II. Fase ini
disebabkan juga oleh kombinasi dari desensitisasi reseptor, blockade kanal ion dan
masuknya suksinilkolin ke dalam sitoplasma otot skelet.4,6

Karakteristik blok Fase I:


1. Penurunan kontraksi sebagai respon terhadap stimulasi tunggal
2. Penurunan amplitude tanpa fade
3. TOF rasio > 0,7
4. Tidak ditemukan post tetanic fasciculation
5. Peningkatan blok setelah pemberian antikolinesterase

Karakteristik blok fase II :


1. Penurunan kontraksi sebagai respon terhadap stimulasi tunggal
2. Penurunan amplitude dengan fade
3. TOF rasio < 0,7
4. Ditemukan post tetanic fasciculation
5. Antagonisme setelah pemberian antikolinesterase.

B. Durasi

Masa kerja yang cepat dari suksinilkolin pada dasarnya berhubungan dengan
hidrolisis oleh plasma kolinesterase (pseudokolinesterase). Plasma kolinesterase
dibuat di hati dan merupakan glikoprotein tetrametric dengan empat buah subunit
yang masing-masing identik dan memiliki aktifitas katalitik.
Suksinilkolin dipecah menjadi suksinil monokolin dan kolin yang lebih
lemah (1/20-1/80 dari potensi suksinilkolin), kemudian suksinil monokolin dipecah
menjadi asam suksinat dan kolin. Penurunan produksi plasma kolinesterase atau
kelainan fungsinya akan menyebabkan hidrolisis menjadi lambat dan efek
suksinilkolin memanjang, begitu pula sebaliknya.6

C. Efek Samping
1. Disritmia
Manifestasi yang mungkin timbul meliputi sinus bradikardia, irama junctional
sampai dengan sinus arrest. Pengaruh kardiak ini mencerminkan efek suksinil
kolin pada reseptor muskarinik kolinergik jantung, dimana obat tersebut
meyerupai asetilkolin. Disritmia jantung biasanya terjadi setelah pemberian
dosis kedua kira-kira 5 menit setelah dosis pertama, hal ini dihubungkan juga
denagan keberadaan suksinil monokolin.
2. Hiperkalemia
Diduga terjadi karena adanya pembukaan kanal kalium dan proliferasi resptor
kolinergik extrajunctional pada keadaan-keadaan tertentu. Pretreatment
dengan obat-obat non depol tidak mempengaruhi pelepasan K oleh sel.
Hiperkalemia dapat terjadi pada keadaan-keadaan berikut :
a. Distrofi otot yang tidak terdeteksi
b. Luka bakar derajat tiga yang belum sembuh
c. Atrofi otot-otot skeletal akibat denervasi
d. Trauma berat otot skeletal
e. Lesi upper motor neuron
3. Mialgia
Dipikirkan terjadi akibat kontraksi yang tidak sinkron pada otot-otot skeletal,
biasanya terjadi pada otot leher, punggung dan perut. Pencegahan dengan
pretreatment obat-obat non depol dapat mencegah mialgia.
4. Mioglobinuria
Terjadi akibat kerusakan sel-sel otot skeletal akibat dari fasikulasi karena
suksinilkolin.
5. Peningkatan tekanan intra okuler
Hal ini terjadi akibat kontraksi otot-otot luar bola mata dan efek siklopegik
dari suksinilkolin.
6. Peningkatan tekanan intragastrik
Terjadi akibat fasikulasi yang hebat dari otot-otot abdomen.
7. Peningkatan tekanan intra kranial
Suksinilkolin menyebabkan peningkatan aliran darah intrakranial terutama
pada pasien dengan masa intrakranial.
8. Kontraksi otot-otot skeletal berkepanjangan
Terjadi terutama pada pasien dengan miotonia kongenital atau miotonia
distrofi, dapat mengganggu ventilasi dan mengancam jiwa.
9. Malignant hipertermia

Suksinilkolin adalah agen pemicu yang poten bagi pasien yang rentan
terhadap hipertermia maligna, yaitu kelainan hipermetabolik dari otot-otot
skeletal. Ditandai dengan rigiditas otot maseter, takikardia, hiperkarbia,
peningkatan suhu tubuh.1,2,4,5
BAB V

OBAT PELUMPUH OTOT NON DEPOLARISASI

Obat pelumpuh otot non depol bekerja dengan cara berikatan dengan reseptor
asetilkolin sebagai kompetitif antagonis, sehingga setelah berikatan dengan subunit α
pada reseptor asetilkolin, tidak terjadi perubahan konformasi dari reseptor sehingga
tidak mengakibatkan pembukaan kanal ion, aliran ion tidak terjadi dan kontraksi otot
pun dapat dicegah. Obat pelumpuh otot non depol selain bekerja pada resptor
postjunctional juga bekerja pada reseptor pre junctional sehingga menimbulkan efek
fade. Untuk menghambat transmisi neuromuskuler, minimal harus 80-90% reseptor
yang diduduki.3,4,5,6

Karakteristik obat pelumpuh otot non depol pada prinsipnya sama dengan
hambatan fase II yaitu: 4,6
1. Penurunan respon twitch
2. Adanya Fade
3. TOF rasio > 0,7
4. Adanya potensiasi post tetanik
5. Antagonisme oleh obat antikolinesterase
6. Tidak timbulnya fasikulasi pada otot lurik.

Berikut ini gambar beberapa struktur kimia obat pelumpuh otot non depolarisasi.
Gambar 8. Struktur kimia obat pelumpuh otot non depol (Sumber: Morgan. Clinical
anesthesiology. 3rd Edition. hal 184)

A. Beberapa Efek dari Obat Pelumpuh Otot Non Depol

Tempat bekerjanya obat pelumpuh otot non depol pada reseptor nikotinik dan
muskarinik di ganglion saraf otonom, menyebabkan beberapa obat pelumpuh otot non
depol seperti tubokurarin dan metokurin menghambat respon simpatis seperti
kontraktilitas jantung dan laju nadi, sebaliknya obat seperti pankuronium dan galamin
menghambat reseptor muskarinik vagal di sinoatrial yang menghasilkan efek
vagolitik yang menimbulkan takikardia. Obat pelumpuh otot seperti tubokurarin,
metkurin, atrakurium dan mivakurium merangsang pelepasan histamin dari sel mast,
yang menimbulkan efek spasme bronkus, hopotensi dan flushing akibat vasodilatasi
perifer.

Reaksi alergi juga dapat terjadi setelah pemberian obat pelumpuh otot non
depol, hal ini diakibatkan akibat adanya suatu antigenik komponen yaitu grup
amonium kuartener. Obat-obat dengan grup amonium kuartener tunggal seperti
vekuronium dan rokuronium lebih rendah menyebabkan sensitifitas. Walaupun
demikian reaksi alergi masih dapat terjadi setelah pemberian monoquartener seperti
juga bisquartener. Reaksi anafilaksis yang terjadi setelah pemberian pertama obat
pelumpuh otot mungkin berhubungan dengan sensitisasi sebelumnya dengan
kosmetik atau sabun yang juga mengandung antigenik grup amonium kuartener.6

Hampir semua obat pelumpuh otot non depol dimetabolisme di hati dan
melewati eksresi bilier sehingga pada keadaan gangguan hati dan eksresi bilier akan
menyebabkan pemanjangan efek obat non depol, begitu pula jika terjadi gagal ginjal,
karena obat non depol akan terionisasi dan dieksresi oleh ginjal. Pengecualian pada
atrakurium dan mivakurium yang dimetabolisme ekstrahepatik. Obat-obat pelumpuh
otot non depol dengan masa kerja pendek dan menengah dapat digunakan untuk
mencegah fasikulasi yang ditimbulkan oleh suksinilkolin (prekurarisasi) yaitu dengan
pemberian 10-15% dosis intubasi, 5 menit sebelum pemberian suksinilkolin.

Obat non depol juga dapat dipakai untuk priming dose, yaitu pemberian 10-
15% dosis intubasi yang dilakukan beberapa menit sebelum induksi dilakukan,
sehingga pada saat pemberian sisa dosis obat pelumpuh otot non depol untuk intubasi
sekitar 75-80% reseptor telah terhambat dan dalam waktu singkat tercapai relaksasi
yang baik untuk dilakukan intubasi. Yang perlu diperhatikan adalah terjadinya kasus
dispnea dan disfagia, hal ini dapat diantisipasi dengan melakukan reassurance
terhadap pasien, yang diikuti oleh tindakan induksi yang cepat. Pada pasien dengan
kondisi paru tertentu dengan kapasitas vital yang terbatas, priming dose dapat
menimbulkan penurunan fungsi respirasi, antara lain penurunan forced vital capacity,
yang dapat menimbulkan penurunan saturasi oksigen.

Pemakaian obat anestesi inhalasi dapat menimbulkan potensiasi terhadap obat


non depol, sehingga penggunaannya dapat menurunkan dosis pemeliharaan obat non
depol. Urutan potensiasi dari yang terkuat adalah : isofluran > sevofluran > desfluran
> enfluran > halotan > N2O-O2 dan narkotik.

Diantara obat pelumpuh otot sendiri dapat timbul efek potensiasi. Misalnya
kombinasi tubokurarin dan pankuronium atau vekuronium dan pankuronium
menimbulkan efek relaksasi yang lebih kuat dan masa kerja yang lebih lama.
Penambahan pankuronium dapat mengatasi efek hipotensi dan bradikardia yang
ditimbulkan oleh tubokurarin.2.

B. Beberapa Kondisi yang Mempengaruhi Kerja obat Pelumpuh Otot Non Depol

Hipotermia dapat memperpanjang masa kerja obat non depol karena terjadi
penurunan laju metabolisme obat seperti mivakurium dan memperlambat eksresi obat
seperti tubokurarin, metokurin dan pankuronium. Kondisi keseimbangan asam basa
seperti asidosis respiratorik dapat menimbulkan potensiasi dan memperpanjang masa
kerja semua obat non depol yang sekaligus dapat menghambat efek antagonisme obat
antikolinesterase. Sedangkan efek yang ditimbulkan oleh asidosis metabolik dan
alkalosis metabolik dan respiratorik tidak konsisten.

Gangguan elektrolit seperti hipokalemia akan menyebabkan peningkatan


potensial transmembran sehingga akan menyebabkan hiperpolarisasi yang akan
meningkatkan sensitifitas terhadap obat non depol. Sedangkan hipermagnesia akan
menurunkan pelepasan asetilkolin pada membran prejunctional dan menurunkan
sensitifitas terhadap asetilkolin yang akan menimbulkan pemanjangan efek obat non
depol.6

Adanya penyakit kronik seperti sirosis dan gagal ginjal kronik menyebabkan
peningkatan volume distribusi dan penurunan konsentrasi plasma non depol yang
bersifat larut dalam air sehingga terjadi pemanjangan masa kerja akibat pelambatan
laju klirensnya. Pemakaian obat non depol tertentu pada kondisi di atas dilakukan
dengan pemberian dosis inisial yang cukup besar (loading dose) dilanjutkan dengan
dosis pemeliharaan yang kecil.2,4,5

C. Penggolongan Obat Pelumpuh Otot non Depol

Berdasarkan struktur dasarnya maka obat pelumpuh otot dapat dibagi menjadi
golongan steroid yang terdiri dari pankuronium, pipekuronium, vekuronium,
rekuronium, rapakuronium. Dan golongan benzilisoquinolinum yang terdiri dari :
tubokurarin, metokurin, doxakurium, atrakurium, cisatrakurium, mivakurium.
Sedangkan berdasarkan durasinya dapat dibagi atas long acting yaitu lebih dari 50
menit, intermediate acting yaitu antara 20-50 menit, short acting yaitu antara 10-20
menit dan ultrashort acting yaitu kurang dari 10 menit. Pembagian obat pelumpuh
otot non depol dapat dilihat dari tabel 2.
7

Tabel 2. Klasifikasi obat pelumpuh otot non depolarisasi (sumber: Miller. Anestesia.
6th Edition. hal 493)

1. Tubokurarin
Struktur kimia tubokurarin adalah ammonia monokuartener dengan gugus
amin tersier. Struktur ini menyerupai asetilkolin, sehingga ia berfungsi sebagai
pengikat reseptor dimana struktur cincinnya mencegah aktivasi reseptor. Tubokurarin
tidak dimetabolisme menjadi metabolit spesifik, tetapi dieliminasi dan dieksresi
sebagian besar melalui ginjal, hanya sekitar 10% yang dieksresi melalui system bilier.
Kondisi gagal ginjal kronik akan memperpanjang masa kerja obat.

Dosis intubasi tubokurarin adalah 0,5-0,5 mg/kgBB dengan mula kerja 3


menit. Diikuti dosis pemeliharaan inisial 0,15 mg/kgBB, selanjutnya 0,05 mg/kgBB
tiap 20-30 menit. Efek samping tubokurarin adalah hipotensi, takikardia dan spasme
bronkus. Efek ini terjadi karena tubokurarin merangsang pelepasan histamin dan
menghambat ganglia otonom, sehingga tidak dipakai pada pasien asma.2

2. Doxakurium
Struktur kimia doxakurium adalah mono benzyl isoquinolon, menyerupai
atrakurium dan mivakurium. Doxakurium adalah relaksan dengan masa kerja panjang
yang dihidrolisis oleh plasma kolinesterase, dieliminasi melalui ginjal, sehingga masa
kerja obat memanjang pada gangguan ginjal. Dosis intubasi adalah 0,05 mg/kgBB
dengan onset 5 menit. Dosis pemeliharaan 0,005-0,02 mg/kgBB dengan lama kerja
60-90 menit. Doxakurium menimbulkan efek samping kardiovaskular karena
pelepasan histamin.

3. Pankuronium
Struktur kimia pankuronium adalah sebuah cincin steroid dengan dua buah
gugus metal (aminosteroid bikuartener) menyerupai asetilkolin yang menyebabkan
pankuronium dapat berikatan dengan reseptor asetilkolin. Pankuronium
dimetabolisme di hati melalui proses deassetilasi menghasilkan metabolit 3-
deasetilpankuronium yang juga memiliki efek relaksan. Obat ini terutama dieksresi
melalui ginjal dan sebagian kecil melalui bilier. Pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal, proses eliminasi pankuronium akan terganggu yang akan memperpanjang
masa kerja obat. Sedangkan pada pasein dengan gangguan fungsi hati seperti sirosis
hepatis, dibutuhkan dosis inisial yang lebih tinggi karena terjadi peningkatan volume
distribusi, sebagai akibat dari peningkatan gama globulin yang akan berikatan dengan
pankuronium, karena pankuronium gama globulin yang akan berikatan dengan
pankuronium, karena pankuronium berikatan kuat dengan gama globulin sehingga
membutuhkan jumlah pankuronium bebas yang cukup besar untuk menimbulkan
efek, sedangkan dosis pemeliharaan yang lebih rendah dan jarang karena terjadi
penurunan laju klirens plasma.

Dosis intubasi pankuronium adalah 0,08-0,12 mg/kgBB dengan onset kerja 3-


5 menit dan dosis pemeliharaan 0,01-0,04 mg/kgBB. Masa kerja obat ini adalah 60-
90 menit. Pankuronium merangsang pelepasan katekolamin dari sistem saraf
adrenergik dan juga menghambat refleks vagal, sehingga efek samping yang
ditimbulkan adalah peningkatan tekanan darah dan takikardia. Pemberian obat ini
harus hati-hati terutama pada pasien dengan penyakit koroner atau penyakit katup
jantung. Selain itu, kombinasi pankuronium, halotan dan anti depresan trisiklik dapat
meningkatkan konduksi atrioventrikular dan pelepasan katekolamin yang dapat
memicu disritmia ventrikel. Pankuronium bromida dapat menimbulkan reaksi
hipersensitifitas pada pasien yang alergi terhadap bromida.2,6

4. Pipekuronium
kimia pipekuronium adalah steroid biskuartener menyerupai pankuronium.
Eliminasi obat dari dalam tubuh tergantung pada proses eksresi yaitu 70% terjadi di
ginjal dan sisanya di system bilier. Masa kerja obat akan memanjang pada gangguan
fungsi ginjal atau gagal ginjal tetapi tidak terlalu terpengaruh pada gangguan fungsi
hati.

Potensi kerja pipekuronium relatif lebih kuat dibandingkan pankuronium.


Dosis intubasinya adalah 0,06-0,1 mg/kgBB dan dosis pemeliharaannya 20% dari
dosis intubasi. Dosis pada bayi relatif lebih sama dengan pasien dewasa. Saat mula
kerja obat 3-5 menit dan masa kerjanya 60-90 menit, sama seperti pankuronium.

Kelebihan pipekuronium adalah tidak adanya efek samping kardiovaskular dan


perangsangan histamin.2,6

5. Galamin
Struktur kimia galamin adalah polimetilen bis-trimetil ammonium. Memiliki
dua senyawa turunan yaitu dekametonium (C10) yang poten sebagai pelumpuh otot
dan eksametonium (C6) yang efektif sebagai penghambat ganglion. C10 memiliki
efek bifasik terhadap ganglion otonom, yaitu perangsangan diikuti dengan
penghambatan. Perangsangan ganglion parasimpatis akan menimbulkan bradikardia
dan perangsangan ganglion simpatis akan menimbulkan efek peningkatan tekanan
darah, sedangkan penghambatan ganglion-ganglion tersebut akan menimbulkan efek
yang sebaliknya. Galamin pada dosis terapi dapat menghambat nervus vagus di
jantung pada reseptor muskarinik, sehingga menimbulkan takikardia.
Dosis intubasi galamin adalah 1,0 mg/kgBB dengan mula kerja 3 menit. Dosis
pemeliharaannya adalah 0,5-1,0 mg/kgBB yang dapat diulang setelah 30-40 menit.
Galamin hampir seluruhnya dieksresi utuh melalui ginjal.6

6. Vekuronium
Struktur kimia vekuronium adalah aminosteroid monokuartener dengan satu
gugus metal. Vekuronium dimetabolisme di hati dan eksresinya sebagian besar
melalui system bilier dengan sebagian lagi melalui ginjal.

Masa kerja vekuronium lebih pendek dari pankuronium karena memilki


eliminasi waktu paru (half life) yang lebih pendek dan laju klirens obat yang lebih
cepat. Masa kerja obat ini dapat memanjang pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal. Pada pasien rawat di ICU yang mendapat vekuronium dalam beberapa hari
karena terjadinya akumulasi metabolit 3 hidroksi vekuronium dan timbulnya
polineuropati, serta pada pasien yang mendapat terapi glukokortikoid yang lama,
pasien dengan AIDS dan sepsis. Pada pasien post partum karena terjadi perubahan
aliran darah hepatik dan uptake hepar, masa kerja obat ini juga dapat memanjang.

Dosis intubasi vekuronium adalah 0,08-0,12 mg/kgBB dengan mula kerja 3


menit. Sedangkan dosis pemeliharaannya 0,01-0,04 mg/kgBB yang dapat diulang tiap
20-40 menit atau dengan infuse 1-2 µ/kgBB/menit. Vekuronium tidak menimbulkan
efek samping kardiovaskular yang berarti karena tidak mengganggu sistem vagal
(non vagolitik) dan tidak menimbulkan pelepasan histamin. Vekuronium cukup aman
dipakai untuk pasien dengan sirosis hepatis dan dosis tidak melebihi 0,15 mg/kgBB.
Ada tiga metabolit potensial dari vekuronium yaitu -3-OH, 17-OH dan 13,7-OH.
Hanya 3-OH yang ditemukan secara signifikan dan memiliki 50% potensi
vekuronium yang menyebabkan pemanjangan efek blok.2

7. Rokuronium
Struktur kimia rokuronium adalah aminosteroid monokuartener yang
memiliki onset kerja cepat tetapi potensinya lebih lemah dibandingkan dengan obat-
obat non depol lainnya. Rokuronium tidak dimetabolisme oleh tubuh dan proses
eliminasinya sebagian besar melalui system bilier dan hati, sebagian kecil lainnya
melalui ginjal. Masa kerjanya sedikit memanjang pada pasien dengan gangguan
fungsi ginjal, dan akan memanjang secara bermakna pada pasien dengan gangguan
fungsi hati.

Dosis intubasi rokuronium adalah 0,6-1,2 mg/kgBB dengan saat mula kerja
60-90 detik. Dosis pemeliharaannya adalah 0,15 mg/kgBB yang dapat diulang setelah
20-40 menit atau dengan infuse 12 µ/kgBB/menit. Rokuronium memiliki mula kerja
yang cepat seperti suksinilkolin sedangkan masa kerjanya sama seperti vekuronium.
Rokuronium menghasilkan sedikit efek vagolitik dan tidak merangsang pelepasan
histamin.

Rokuronium dapat menyebabakan nyeri saat penyuntikan, mekanisme yang


pasti masih belum jelas, dipikirkan akibat dari vena yang mempunyai polymodal
nosiseptor yang merupakan reseptor nyeri, sedangkan alogenic efek dari aminosteroid
adalah aktivasi c nosiseptor. Selain itu dipikirkan akibat bahan yang terkandung
dalam rokuronium bromida adalah sodium asetat, sodium klorida, asam asetat yang
menimbulkan pH larutan 4 yang akan mengiritasi vena dan menimbulkan nyeri.
Untuk mengatasi nyeri dilakukan berbagai upaya seperti memberikan anestetik local
seprti lidokain atau analgetik seperti tramadol dan fentanil atau anti histamin seperti
ondansetron.2

8. Atrakurium
Struktur kimia atrakurium adalah benzil asokuinolinum biskuartener. Oleh
karena memiliki gugus benzil isokunolin, atrakurium tidak mengalami metabolisme
di hati, sistem bilier dan ginjal. Hanya 10% yang dieksresi melalui ginjal dan sistem
bilier. Metabolismenya terjadi melalui dua cara :
- Proses hidrolisis ester oleh enzim plasmasterase non spesifik
- Eliminasi Hoffman yang terjadi secara spontan dan non enzimatik pada suhu
dan pH tubuh normal.
Proses eliminasi Hoffman menghasilkan dua metabolit laudanosin dan proses
hidrolisis ester menghasilkan satu metabolit laudanosin. Laudanosin tidak memiliki
efek relaksasi tetapi dalam konsentrasi plasma yang tinggi (> 6 µ/ml) dapat
menimbulkan vasodilatasi perifer yang menyebabkan hipotensi, pada konsentrasi
plasma > > 10 µ/ml akan menstimulasi SSP berupa fokus epileptikus dan pada
konsentrasi > 17 µ/ml dapat menyebabkan kejang. Akan tetapi hal itu hanya
ditunjukkan pada percobaan pada binatang, sedangkan pada manusia pemberian dosis
penuh (0,5 mg/kg IV hanya menghasilkan laudanosin 0,3 µg/ml atau 1/20 kali kadar
plasma yang menghasilkan efek kardiovaskular pada binatang. Akan tetapi efek
samping ini sangat jarang terjadi kecuali pada pemberian dengan dosis yang sangat
besar atau pasien menderita gangguan fungsi hati yang berat.

Proses metabolisme atrakurium terjadi di plasma, sehingga kondisi seperti


hipotermia dan asidosis akan sangat memperpanjang masa kerja obat ini. Selain itu,
atrakurium akan membentuk endapan asam basa jika bercampur langsung dengan
thiopental yang bersifat alkalis.

Dosis intubasi atrakurium adalah 0,5 mg/kgBB dengan mula kerja 1-3 menit.
Dosis pemeliharaan 0,1-0,25 mg/kgBB yang dapat diulang setiap 20-35 menit atau
dengan infus 5-10 µ/kgBB/menit. Masa kerja atrakurium lebih panjang pada bayi dan
anak dibandingkan dengan orang dewasa. Atrakurium merangsang pelepasan
histamin dan menimbulkan spasme bronkus, sehingga obat ini harus dihindari pada
pasien dengan riwayat asma. Apabila pemberiannya melewati dosis 0,5 mg/kgBB
dapat menimbulkan efek samping kardiovaskular berupa penurunan resistensi
vaskuler sistemik dan peningkatan indeksi jantung, sehingga menimbulkan hipotensi
dan takikardia. Pemberian secara lambat seperti infus dapat mencegah timbulnya efek
samping tersebut. Penyimpanan atrakurium agar efek yang dihasilkan tetap baik
adalah dengan cara menyimpan pada suhu 2-8˚C karena akan kehilangan 5-10%
potensinya tiap bulan jika disimpan pada temperature kamar.2

9. Cisatrakurium
Struktur kimia cisatrakurium adalah benzil isokuinolinum biskuartener yang
merupakan isomer 1 dari 10 stereoisomer atrakurium. Obat ini mengalami proses
eliminasi hoffman pada suhu dan pH tubuh normal dan tidak mengalami proses
hidrolisis ester. Metabolit obat ini adalah akrilat monokuartener dan laudanosin yang
tidak memiliki efek relaksasi. Eliminasi dan metabolisme cisatrakurium tidak
terganggu pada kondisi dengan gangguan fungsi hati dan ginjal.

Dosis intubasi cisatrakurium adalah 0,1-0,5 mg/kgBB dengan onset kerja dua
menit. Dosis pemeliharaannya 1-2 µ/kg/menit dengan masa kerja 20-35 menit.
Cisatrakurium berbeda dengan atrakurium karena tidak merangsang pelepasan
histamin. Selain itu juga tidak memiliki efek samping pada system kardiovaskular
seperti tekanan darah dan laju nadi dan sistem saraf otonom meskipun dari pada dosis
tinggi. Metabolit cisatrakurium yaitu laudanosin dapat menimbulkan reaksi toksik
pada konsentrasi tinggi, sama seperti atrakurium.2

10. Mivakurium
Struktur kimia mivakurium adalah benzil isokuinolinum seperti suksinikolin,
mivakurium dimetabolisme oleh enzim pseudokolinesterase, karena mivakurium
terdiri dari tiga stereoisomer dimana dua diantaranya sangat aktif dan mengalami
hidrolisis oleh pseudokolinesterase. Pada pasien yang memilki kadar enzim
pseudokolinesterase yang rendah atau memiliki kolinesterase atipik masa kerja
mivakurium memanjang. Meskipun mivakurium tidak dimetabolisme oleh hati dan
tidak dieksresi oleh ginjal, pada kondisi dengan gangguan fungsi hati dan ginjal, masa
kerja obat ini akan memanjang. Karena pada kondisi tersebut biasanya terjadi
penurunan kadar pseudokolinesterase plasma.
Dosis intubasi mivakurium adalah 0,15-0,2 mg/kgBB dengan mula kerja 2-3
menit. Dosis pemeliharaan dapat dicapai dengan infus 4-10 µ/kg/menit, dengan masa
kerja 20-30 menit dan efek relaksasi yang dicapai tergantung kadar
pseudokolinesterase individu. Masa kerja mivakurium relatif singkat dibandingkan
vekuronium atau rokuronium. Pada bayi dan anak saat mula kerja mivakurium lebih
cepat dibandingkan dengan pasien dewasa.

Mivakurium merangsang pelepasan histamin seperti atrakurium. Efek


kardiovaskular seperti hipotensi dapat dicegah dengan melakukan suntikan secara
perlahan atau dengan infus. Tetapi pada pasien dengan penyakit jantung, efek
hipotensi dapat timbul karena penurunan tekanan darah arterial jika obat ini diberikan
dengan dosis lebih besar dari 0,15 mg/kgBB.

11. Rapakuronium
Rapakuronium bromida adalah obat pelumpuh otot masa kerja pendek yang
memiliki struktur kimia aminosteroid seperti vekuronium yaitu metil monokuartener.
Obat ini memiliki onset kerja yang cepat dan masa kerja yang pendek karena obat ini
memiliki konsentrasi plasma equilibrium yang cepat dan berikatan lemah dengan
reseptor aasetilkolin. Sesuai dengan ketentuan potensi obat berbanding terbalik
dengan saat mula kerja obat, potensi rapakuronium relatif rendah. Oleh karena itu
rapakuronium membutuhkan dosis yang besar untuk menimbulkan efek relaksasi.

Rapakuronium dieksresi melalui ginjal dan hati. Pada kondisi dengan


gangguan fungsi ginjal dimana terjadi penurunan klirens obat, saat mula dan masa
kerja obat ini tidak berubah. Tetapi pada kondisi gagal ginjal dimana terjadi
penumpukan metabolit obat yaitu 3-diasetil rapakuronium, dapat juga terjadi
pemanjangan masa kerja obat. Pada pemberian obat ini secara infuse juga dapat
menimbulkan penumpukan metabolit obat ini.

Dosis intubasi rapakuronium adalah 1,5 mg/kgBB degan dosis pemeliharaan


20% dosis intubasi. Saat mula kerja kurang dari 1 menit dengan masa kerja obat
kurang lebih 10-20 menit. Tidak seperti suksinilkolin, rapakuronium tidak
menimbulkan peningkatan tekanan intra okuler. Obat ini cenderung menimbulkan
vasodilatasi yang mengakibatkan turunnya tekanan darah dan meningkatnya laju
jantung. Pada pemberian dosis besar yaitu 2-3 mg/kgBB dapat merangsang pelepasan
histamin yang dapat menimbulkan spasme bronkus.2

D. Antagonis Obat Pelumpuh Otot Non Depol

Untuk mengeliminasi efek relaksasi yang terjadi, jumlah asetilkolin harus


ditingkatkan, sehingga efek kompetitifnya meningkat. Hal ini disebabkan hambatan
transmisi neuromuskular yang ditimbulkan oleh obat pelumpuh otot terjadi lewat
mekanisme antagonis kompetitif terhadap asetilkolin pada reseptor asetilkolin post
junction.

Peningkatan konsentrasi asetilkolin pada celah sinaps memperbaiki rasio


agonis-antagonis dan meningkatkan jumlah molekul asetilkolin untuk dapat berikatan
dengan reseptor. Selain itu, asetilkolin harus menunggu antagonis yaitu molekul obat
non depol tereliminasi secara spontan. Semakin lama asetilkolin ada dalam celah,
semakin besar peluang asetilkolin untuk dapat berikatan dengan reseptor.

Dua macam obat yang dapat digunakan untuk menghilangkan efek relaksasi
yang ditimbulkan oleh obat pelumpuh otot non depol adalah obat yang menghambat
kanal kalium dan obat penghambat asetilkolinesterase. Obat penghambat kanal
kalium adalah 4-aminopiridin yang bekerja di area pre-junctional. Obat ini
menghambat aliran keluar kalium dari ujung saraf. Dalam kondisi normal, adanya
aliran kalium keluar menandakan berakhirnya opotensial aksi saraf. Obat ini dapat
memperpanjang depolarisasi saraf dengan menghambat aliran kalium keluar dan
meningkatkan aliran kalsium ke dalam saraf selama depolarisasi berlangsung. Obat
ini tidak dipakai lagi karena cara kerjanya mempengaruhi seluruh ujung saraf
motorik, saraf otonom dan sistem saraf pusat. Efek samping yang paling buruk adalah
kejang.

Obat antagonis lain adalah penghambat asetilkolinesterase seperti neostigmin,


piridostigmin dan endrofonium. Ketiga obat ini menghambat asetilkolinesterase yang
bertugas menghidrolisis asetilkolin, sehingga meningkatkan jumlah molekul
asetilkolin pada neuromuscular junction. Peningkatan jumlah asetilkolin
menyebabkan terikatnya dua molekul asetilkolin dengan dua subunit α pada reseptor
kolinergik nikotinik, sehingga menimbulkan keseimbangan kompetisi antara
asetilkolin dengan obat pelumpuh otot non depol, yang akan memperbaiki transmisi
neuromuskular.2

Untuk memantau pulihnya dari obat pelumpuh otot dapat dilihat dari hal berikut ini :
a. Subjektif
1. Kemampuan untuk membuka mata lebar
2. Menahan untuk menjulurkan lidah
3. Menahan mengangkat kepala selama 5 menit
4. Genggaman tangan yang erat
5. Refleks batuk yang cukup
b. Obyektif
1. Inspirasi force 20-25 cm H2O tekanan negatif
2. Tidal volume cukup (5 m/kg)
3. Kapasitas vital (15-20 ml/kg)
c. Evoked respon
1. Kembalinya single twitch
2. TOF ratio 0,7 (diatas 75%)
3. Absennya titanic fade

Penggunaan teknik train of four (TOF) sangat berguna, ketika twitch keempat
tampak berarti 75% reseptor masih diduduki relaksan, diperkirakan saat itu T1 adalah
25% dan rasio T4/T1 adalah 0,25 yang berarti suplai asetilkolin telah tersedia dan
telah berada di celah sinaptik. Ketika itu pemberian antagonis pelumpuh otot akan
berhasil dan efisien, tapi ketika twitch ketiga muncul berarti T1 kurang dari 20% dan
lebih dari 80% reseptor masih terblok dan obat antagonis tidak efektif. Seperti
diperlihatkan pada gambar 9 di bawah ini.

Gambar 9. Hubungan TOF dengan relakabilitas dan reversibilitas blok


(sumber: Collins VJ. Principles pf anesthesiology. 3rd Edition. hal 1026)

Pada gambar di atas, setelah TOF rasio menjadi 0, titik C, twitch keempat
sampai pertama akan hilang seiring dengan meningkatnya blok dari 75% menjadi
total blok, sehingga otot pun akan semakin rileks. Tetapi sebaliknya derajat
reversibilitas akan semakin berat dan otot menjadi semakin sulit kembali normal.
Sedangkan jika menggunakan single twitch maka targetnya adalah ketika single
twitch sekitar 20-25% dari control. Jika kurang dari 20% maka pemberian agen
reversal biasanya tidak dapat diprediksi, memanjang, atau tidak efektif dan hanya dua
atau tiga twitch disertai fade dari TOF yang akan terlihat. Jadi secara umum kriteria
untuk reversal adalah : single twitch lebih dari 20%, munculnya twitch keempat pada
TOF dan observasi tanda-tanda klinis.9
BAB VI

PENUTUP

Pada prinsipnya penggunaan obat pelumpuh otot bertujuan memberikan


relaksasi otot lurik yang dapat memfasilitasi tindakan intubasi trakea, tindakan
pembedahan dan ventilasi mekanik di ICU. Pemilihan obat pelumpuh otot depol
berdasar atas onset, durasi dan efek samping obat yang mungkin timbul disesuaikan
dengan kebutuhan dan kondisi pasien.

Obat pelumpuh otot depol bekerja pad neuromuscular junction meyerupai


asetilkolin yaitu dengan berikatan pada reseptor asetilkolin dan menimbulkan
depolarisasi, sedangkan obat pelumpuh otot non depol bekerja secara kompetitif
dengan asetilkolin yaitu berikatan pada reseptor asetilkolin dan menghambat
timbulnya depolarisasi. Efek obat pelumpuh otot non depol dapat dipulihkan dengan
pemberian obat antikolinesterase.

Dengan memahami farmakologi obat pelumpuh otot, maka diharapkan


penggunaan obat pelumpuh otot dan antagonisnya dapat lebih sesuai dengan kondisi
pasien dan kebutuhan serta dapat mengantisipasi efek samping yang mungkin timbul.
DAFTAR PUSTAKA

1. Collins Vj. Relaxants, pharmacology And Use. In: Principles of


Anesthesiology. 3rd Edition. Pennsylvania; Lea&Feebiger: 1993. p. 938-1022.
2. Morgan GE. Neuromuscular Blocking Agents. In: Clinical Anesthesiology. 3 rd
Edition. New York; McGraw-Hill Companies: 2002. p. 178-98.
3. Katzung BG. Skeletal Muscle Relaxants. In: Basic & Clinical Pharmacology.
9th Edition. New York; Mc Graw-Hill: 2010. p. 428-225.
4. Cashman JW ed. Muscle Relaxants. In: Lee’s Sinopsy of Anesthesia. New
York; McGraw-Hill Companies: 2005. p. 175-199.
5. Martini, FH. Neural Tissue. In: Fundamentals of Anatomy & Phisiology. 7 th
Edition. San Fransisco; Pearson Education & Corp: 2006. p. 379-420.
6. Stoelting RK. Neuromuscular Blocking Drugs. In: Basic of Anesthesia. 4 th
Edition. New York; Churchill Livingstone: 2000. p. 89-105.
7. Miller RD. Pharmacology of Muscle Relaxants and Their Antagonists. In:
Miller’s Anestesia. 6th Edition. New York; Elsevier Churchil Livingstone:
2005. p. 481-547.
8. Morgan GE. Patient Monitors. In: Clinical Anesthesiology. 3 rd Edition. New
York; McGraw-Hill Companies: 2002. p. 1023-55.
9. Collins Vj. Reversal of Relaxation. Principles of Anesthesiology. 3 rd Edition.
Pennsylvania; Lea&Feebiger: 2002. p. 1120-123.
10. Barash. Clinical Anesthesia. 5th Edition. Lippincott at www.skyscape.com
11. Silverman DG, Donati F. Neuromuscular Block. Philadelpia; JB Lippincott:
1994. p. 239-254.

Anda mungkin juga menyukai