Anda di halaman 1dari 30

REFERAT

MIASTENIA GRAVIS

PEMBIMBING :
dr. Hanartoaji A. Pribadi, Sp. S

PENYUSUN :
Jenri Sutrisno
I11110037

KEPANITERAAN KLINIK NEUROLOGI


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ABDUL AZIZ SINGKAWANG
PERIODE 1 DESEMBER - 28 DESEMBER 2013
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
1. Definisi

Miastenia Gravis berasal dari 2 kata yaitu miastenia dan gravis. Miastenia
berarti kelemahan otot motorik tertentu yang berfluktuasi, terutama yang diinervasi
oleh nukleus motorik di batang otak seperti otot mata (ocular), otot kelopak mata, otot
pengunyah (masticatory) dan otot wajah (facial), gravis sendiri berasal dari kata
grave yang berarti buruk.1,2,3 Romi dkk mengatakan bahwa Miastenia gravis (MG)
adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan kelemahan patologis yang berfluktuasi
dengan remisi dan eksaserbasi yang melibatkan kelompok otot satu atau beberapa
rangka, terutama disebabkan oleh antibodi terhadap reseptor asetilkolin (ACHR) di
lokasi pasca sinaptik dari sambungan neuromuskuler tanpa adanya gangguan sensorik. 4
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan
abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan
disertai dengan kelelahan saat beraktivitas, dan bila penderita beristirahat, maka tidak
lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali. Penyakit ini timbul karena adanya
gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction.5,6
2. Epidemiologi
Miastenia Gravis merupakan penyakit autoimun yang jarang ditemukan. Kasus
lebih banyak ditemukan pada wanita daripada laki-laki dengan puncak onset pada usia
dekade kedua dan ketiga (pada wanita) dan dekade kelima dan keenam (pria).7
Miastenia Gravis bukan suatu penyakit turunan ataupun jenis penyakit yang bisa
menular.7 Kasus MG adalah 5-10 kasus per 1 juta populasi per tahun, yang dengan total
kasus di Amerika Serikat sekitar 25.000 kasus.5
3. Etiologi
Penyebab MG yang paling umum adalah perkembangan abnormal dari bagianbagian imunologis (epitop) di dalam maupun sekitar AChR nicotinik pada
postsynaptic endplate regio

neuromuscular junction.7 Antibodi AChR memicu

terjadinya degradasi imun dari AChR dan membran postsinaptik. 7 Hilangnya AchRs
fungsional dalam jumlah besar dapat menyebabkan berkurangnya jumlah serat otot
yang berdepolarisasi selama aktivasi terminal nervus motorik, mengakibatkan
panurunan aksi potensial otot dan kontraksi serat otot yang penting. 7 Adanya
hambatan pada tranmisi neuromuskular dapat menyebabkan kelemahan secara klinis
apabila jumlah serat yang rusak besar.7

Pasien yang negatif untuk antibodi anti-ACHR mungkin seropositif untuk


antibodi terhadap MuSK (Muscle-Specific Kinase). Biopsi otot pada pasien ini
menunjukkan tanda-tanda miopati dengan kelainan mitokondria menonjol yang
bertentangan dengan fitur neurogenik dan atrofi sering ditemukan pada pasien positif
MG untuk anti-ACHR. Penurunan mitokondria bisa menjelaskan keterlibatan anti
MuSK positif MG okulobulbar.8
Sejumlah temuan telah dikaitkan dengan MG, seperti perempuan dan orang
dengan leukosit antigen tertentu manusia (HLA) memiliki kecenderungan genetik
terhadap penyakit autoimun. Profil histokompatibilitas kompleks meliputi HLA-B8,
HLA-DRw3, dan HLA-DQw2 (meskipun ini belum terbukti berhubungan dengan
bentuk MG okular). Penyakit SLE dan RA mungkin berhubungan dengan MG. 8
Sensitisasi terhadap antigen asing yang memiliki reaktivitas silang dengan reseptor
AcH nikotinat telah diusulkan sebagai penyebab miastenia gravis, tetapi antigen
pemicu belum diidentifikasi.8
Berbagai obat dapat menyebabkan atau memperburuk gejala MG, termasuk
yang berikut:8
a. Antibiotik (misalnya aminoglikosida, polymyxins, siprofloksasin, eritromisin,
dan ampisilin)
b. Penisilamin - Ini dapat menyebabkan miastenia sejati, dengan tingginya titer
antibodi anti-ACHR terlihat pada 90% kasus, namun, kelemahan ringan dan
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.

pemulihan penuh dicapai seminggu sampai sebulan setelah penghentian obat


Beta-adrenergik reseptor blocking agen (misalnya, propranolol dan oxprenolol)
Lithium
Magnesium
Procainamide
Verapamil
Quinidine
Klorokuin
Prednisone
Timolol (yaitu, agen beta-blocking topikal digunakan untuk glaukoma)
Antikolinergik (misalnya, trihexyphenidyl)
Agen blocking neuromuscular (misalnya, vecuronium dan curare) harus
digunakan dengan hati-hati pada pasien MG untuk menghindari blokade

neuromuskuler yang berkepanjangan


n. Nitrofurantoin juga telah dikaitkan dengan perkembangan MG okular dalam 1
laporan kasus; penghentian pemberian obat mengakibatkan pemulihan lengkap.
4. Anatomi, Fisiologis dan Biokimia Neuromuscular Junction
a. Anatomi Neuromuscular Junction

Tiap-tiap serat saraf secara normal bercabang beberapa kali dan merangsang
tiga hingga beberapa ratus serat otot rangka. Ujung-ujung saraf membuat suatu
sambungan

yang

disebut

neuromuscular

junction

atau

sambungan

neuromuskular.9
Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang disebut
terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di sepanjang
serat saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik
(membran otot) dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk
neuromuscular junction.9

Gambar 1. Somatic Neuromuscular Transmission7


b. Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular Junction
Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan membran post
sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nanometer dan terisi oleh suatu lamina

basalis, yang merupakan lapisan tipis dengan serat retikular seperti busa yang dapat
dilalui oleh cairan ekstraselular secara difusi6,9.
Terminal presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya berisi asetilkolin
(ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian terminal namun dengan cepat
diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil, yang dalam keadaan normal
terdapat di bagian terminal suatu lempeng akhir motorik (motor end plate)6,9.
Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125 kantong
asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps. Bila potensial aksi
menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-ion kalsium ke bagian
dalam terminal. Ion-ion kalsium ini kemudian diduga mempunyai pengaruh tarikan
terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel akan bersatu ke membran saraf dan
mengeluarkan asetilkolinnya ke dalam celah sinaps. Asetilkolin yang dilepaskan
berdifusi sepanjang sinaps dan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChRs) pada
membran post sinaptik6,9.
Secara biokimiawi keseluruhan proses pada neuromuscular junction dianggap
berlangsung dalam 6 tahap, yaitu6:
1) Sintesis asetilkolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan menggunakan
enzim kolin asetiltransferase yang mengkatalisasi reaksi berikut ini: AsetilKoA -> Kolin Asetilkolin + KoA
2) Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikat-membran
yang disebut vesikel sinap dan disimpan di dalam vesikel ini.
3) Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan tahap
berikutnya. Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang melibatkan fusi
vesikel dengan membran presinaptik. Dalam keadaan istirahat, kuanta
tunggal (sekitar 10.000 molekul transmitter yang mungkin sesuai dengan isi
satu vesikel sinaps) akan dilepaskan secara spontan sehingga menghasilkan
potensial endplate miniature yang kecil. Kalau sebuah akhir saraf mengalami
depolarisasi akibat transmisi sebuah impuls saraf, proses ini akan membuka
saluran Ca2+ yang sensitive terhadap voltase listrik sehingga memungkinkan
aliran masuk Ca2+ dari ruang sinaps ke terminal saraf. Ion Ca 2+ ini
memerankan peranan yang esensial dalam eksositosis yang melepaskan
asitilkolin (isi kurang lebih 125 vesikel) ke dalam rongga sinaps.
4) Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah
sinaps ke dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold), merupakan
5

bagian yang menonjol dari motor end plate yang mengandung reseptor
asetilkolin (AChR) dengan kerapatan yang tinggi dan sangat rapat dengan
terminal saraf. Kalau 2 molekul asetilkolin terikat pada sebuah reseptor,
maka reseptor ini akan mengalami perubahan bentuk dengan membuka
saluran dalam reseptor yang memungkinkan aliran kation melintasi
membran. Masuknya ion Na+ akan menimbulkan depolarisasi membran otot
sehingga terbentuk potensial end plate. Keadaan ini selanjutnya akan
menimbulkan depolarisasi membran otot di dekatnya dan terjadi potensial
aksi yang ditransmisikan disepanjang serabut saraf sehingga timbul kontraksi
otot.
5) Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis oleh
enzim asetilkolinesterase yang mengkatalisasi reaksi berikut:
Asetilkolin + H2O Asetat + Kolin
Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam lamina
basalis rongga sinaps
6) Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme transport
aktif di mana protein tersebut dapat digunakan kembali bagi sintesis
asetilkolin.
Setiap reseptor asetilkolin merupakan kompleks protein besar dengan saluran
yang akan segera terbuka setelah melekatnya asetilkolin. Kompleks ini terdiri dari
5 protein subunit, yaitu 2 protein alfa, dan masing-masing satu protein beta, delta,
dan gamma. Melekatnya asetilkolin memungkinkan natrium dapat bergerak
secara mudah melewati saluran tersebut, sehingga akan terjadi depolarisasi parsial
dari membran post sinaptik. Peristiwa ini akan menyebabkan suatu perubahan
potensial setempat pada membran serat otot yang disebut excitatory postsynaptic
potential (potensial lempeng akhir). Apabila pembukaan gerbang natrium telah
mencukupi, maka akan terjadi suatu potensial aksi pada membran otot yang
selanjutnya menyebabkan kontraksi otot.

5. Patofisiologi
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada
patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup
timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia
6

gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid,


dan lain-lain8.

Gambar 2. Perbandingan Neuromuscular junction normal dan pada Miastenia


Gravis10
Ketika sebuah potensial aksi bergerak ke motor neuron dan mencapai motor
end plate, molekul asetilkolin (Ach) dilepaskan dari vesikel presinaptik, melalui
neuromuscular junction dan kemudian akan berinteraksi dengan reseptor Ach (AchRs)
di membrane postsinaptik. Kanal-kanal di AchRs terbuka, memungkinkan Na + dan
kation lain untuk masuk ke dalam serat ototdan menimbulkan depolarisasi.
Depolarisasi yang terus menerus terjadi akan berkumpul menjadi satu, dan jika
depolarisasi yang terkumpul cukup besar, maka akan memicu timbulnya potensial
aksi, yang bergerak sepanjang serat otot untuk menghasilkan kontraksi. Pada
miastenia gravis (MG), ada pengurangan jumlah AchRs yang tersedia di motor
endplate atau mendatarnya lipatan pada membran postsinaptik yang menyebabkan
pengurangan jumlah reseptor pada motor endplates, sehingga depolarisasi yang terjadi
pada motor endplate lebih sedikit dan tidak terkumpul menjadi potensial aksi. Akhir.
Hasilnya adalah sebuah transmisi neuromuskuler tidak efisien. Tiga mekanisme yang
didapatkan dari penelitian antara lain: auto antibodi terhadap reseptor AChR dan
menginduksi endositosis, sehingga terjadi deplesi AChR pada membran postsinaptik,
autoantibodi sendiri menyebabkan gangguan fungsi AChR dengan memblokir situssitus tempat terikatnya asetilkolin dan autoantibodi menyebabkan kerusakan pada
motor endplates sehingga menyebabkan hilangnya sejumlah AChR.10
7

Gambar 3. Patofisiologi terjadinya Miastenia Gravis karena terjadi penghancuran


autoantibodi terhadap AChR11
Penyakit ini tidak mempengaruhi otot polos dan jantung karena mereka memiliki
antigenisitas reseptor kolinergik yang berbeda. Peran timus dalam pathogenesis myasthenia
gravis (MG) tidak sepenuhnya jelas, tetapi 75% dari pasien myasthenia gravis (MG) memiliki
beberapa derajat kelainan timus (misalnya, hiperplasia pada 85% kasus, thymoma dalam 15%
kasus). Mengingat fungsi kekebalan timus dan adanya perbaikan klinis setelah dilakukan
tindakan timektomi,timus diduga menjadi tempat pembentukan autoantibodi. Namun,
stimulus yang memulai proses autoimun belum teridentifikasi.7

Gambar 4.Salah satu penyebab timbulnya autoantibodi terhadap AChR11

Gambar 5. Mekanisme Patofisiologi Miastenia Gravis11


Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum
penderita miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot. Hal inilah
yang memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan miastenia
gravis. Tidak diragukan lagi, bahwa antibodi pada reseptor nikotinik asetilkolin
merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia gravis.
Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum
90% pasien yang menderita acquired miastenia gravis generalisata8.
Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor
asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti.
Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai penyakit terkait sel B, dimana antibodi
yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T
pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ
sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T. Abnormalitas pada timus seperti
hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan
gejala miastenik5,8.
Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai
subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area
imunogenik utama pada subunit alfa. Subunit alfa juga merupakan binding site dari
asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan
9

mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa cara, antara


lain: ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan
mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara
menghancurkan sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga mengurangi
area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang
baru disintesis.8
6. Manifestasi Klinis
Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang
berfluktuasi pada otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang
beraktivitas.1 Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan
kelemahan ini akan berkurang apabila penderita beristirahat.4 Gejala klinis miastenia
gravis antara lain:1,4,5,7

Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis. Ptosis yang merupakan salah satu
gejala kelumpuhan nervus okulomotorius, seing menjadi keluhan utama penderita
miastenia gravis. Walupun pada miastenia gravis otot levator palpebra jelas
lumpuh, namun ada kalanya otot-otot okular masih bergerak normal. Tetapi pada
tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis
miastenia gravis.7 Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan
kelemahan pada fleksi dan ekstensi kepala.1

Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk. Kelemahan


tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot wajah, otot leher, hingga ke
otot ekstremitas.7
Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga

mulut penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari otot
faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran menelan dan
berbicara. Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan suara sengau. Selain itu bila
penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya4.
Di antara pasien, 75% awalnya mengeluh gangguan mata, terutama ptosis dan
diplopia. Akhirnya, 90% dari pasien dengan MG mengembangkan gejala-gejala
okular. Mungkin ptosis unilateral atau bilateral, dan akan beralih dari mata ke mata.
Okular MG dikategorikan sebagai kelemahan dan kelelahan yang tersembunyi dan
membahayakan yang dapat terjadi pada satu atau kedua kelopak mata atau otot bola
mata. Jika meliputi kelopak mata yang jatuh biasanya dikenal sebagai ptosis ; yang
10

mengenai otot extraokular maka pasien akan melihat ganda pada arah otot yang
lemah.3 Kebanyakan pasien MG mempunyai keluhan diplopia pada saat

onset

penyakit mereka. Pasien merasakan penglihatan kabur yang berfluktuasi, biasanya


tidak terlihat beberapa saat setelah bangun tidur. Diplopia terjadi saat pasien melihat
ke arah lateral dan ke atas, biasanya memburuk saat pasien menyetir, menonton tv,
atau saat sore hari. Gejala tersebut hilang apabila satu mata ditutup. Gejala terjadi
mungkin disebabkan oleh kelemahan

pada satu otot ekstraokular atau beberapa

kombinasi otot. Ptosis biasanya yang paling menonjol dan terjadi setelah berkedip
beberapa kali. Dalam kasus ptosis unilateral, mata yangtidak ptosis akan mengalami
ptosis jika mata yang ptosis dibuka dengan menggunakan jari (Hering fenomena).
Keterlibatan otot luar mata tidak mengikuti pola tertentu. Setiap gangguan motilitas
okular yang didapatkan dengan ptosis dan reflek pupil didapatkan normal, harus
mengarahkan kecurigaan pada myasthenia gravis MG.3
Kelemahan wajah dapat terjadi pada MG tanpa keterlibatan otot mata, tetapi
biasanya kedua gejala terjadi bersama-sama. Jika sensasi wajah terganggu, lesi yang
mempengaruhi saraf kranial seperti karsinoma nasofaring harus dicurigai. Dengan
adanya sensasi wajah normal. Namun, terjadinya kedua kelemahan otot mata dan
wajah sangat memperlihatkan gejala MG. Temuan mungkin akan sulit untuk dilihat.3
Kelemahan Orbicularis oculi merupakan sebuah tanda yang sangat umum dari
MG yaitu ketidakmampuan pasien untuk mempertahankan kelopak mata tertutup atas
terhadap upaya pemeriksa untuk membukanya. Sebuah usaha dari pasien meskipun
terjadi kelemahan kelopak mata akan memperlihatkan adanya fenomena Bell, rotasi
bola mata ke atas selama penutupan kelopak mata. Karena pasien dengan
blefarospasme dari otot-otot orbicularis oculi mungkin mengeluh kesulitan menjaga
mata terbuka, kondisi ini kadang-kadang bingung dengan kelemahan myasthenic.
Biasanya tidak ada diplopia atau fotofobia dengan blefarospasme, dan penutupan
kelopak mata adalah spasmodik dan dipaksa dengan elevasi simultan pada kelopak
mata bawah.
Kelemahan Orbicularis Oris merupakan ketidakmampuan pasien untuk
mencegah keluarnya udara melalui kerutan bibir ketika pemeriksa menekan pipi
adalah pertanda kelemahan wajah. Tertawa mengungkapkan apa yang disebut
"myasthenic sneer". Pasien tersebut tidak dapat bersiul, menyedot melalui sedotan,
atau meledakkan balon.3 Bicara cadel dan kesulitan menelan dapat disebabkan oleh
kelemahan lidah, yang paling mudah dinilai oleh kekuatan mendorong lidah pada satu
11

pipi bagian dalam. Dalam kasus ringan MG, bicara cadel dapat terdeteksi hanya
selama berbicara berkepanjangan, seperti menjelang akhir wawancara dengan dokter.
Suara serak atau berbisik tidak khas pada MG. Otot lidah rentan terhadap atrofi di
MG dan lidah berkerut merupakan manifestasi dari atrofi ini.3
Beberapa pasien dengan MG mungkin mengalami kesulitan dalam mengunyah
karena kelemahan penutupan rahang (terutama otot-otot masseter), sedangkan
pembuka rahang tetap kuat. Ketika kelemahan parah, rahang mungkin tetap terbuka
dan harus dimanipulasi dengan tangan selama mengunyah. Salah satu gejala paling
serius dari myasthenia adalah disfagia karena kelemahan otot lidah dan faring
posterior. Jika kelemahan otot faring muncul, cairan lebih sulit untuk ditelan dari yang
padat, dan makanan panas lebih sulit daripada makanan dingin. Adakalanya pasien
menggunakan es batu untuk meminum cairan yang dibutuhkan. Regurgitasi cairan ke
hidung dapat menjadi masalah jika ada kelemahan otot palatal. Ketidakmampuan
untuk menelan air liur adalah konsekuensi paling parah kelemahan faring dan
membutuhkan suktion mulut. Setelah disfagia mencapai tingkat keparahan ini, sebuah
sonde diperlukan tidak hanya untuk pemberian obat oral dan juga untuk suplemen
gizi.3
Nyeri otot bukan merupakan gejala umum dari MG, tapi kekejangan otot yang
menyakitkan dapat terjadi pada MG ketika otot leher yang lemah diminta untuk
menahan kepala ke atas. Fleksor leher lebih sering terlibat dalam MG daripada
ekstensor leher. Pasien telentang sangat mengalami kesulitan dalam mengangkat
kepala dari bantal. Jalan napas dapat menjadi terhambat oleh penutupan glotis, yang
disebabkan oleh kelemahan otot rangka yang memegang pita suara. Hal tersebut dapat
dideteksi dengan adanya stridor, selama dalam usaha inspirasi dan dapat
meramalkan keadaan darurat medis yang berkembang kearah pasien membutuhkan
intubasi endotrakeal.3
Gejala yang paling serius dari MG adalah kesulitan bernafas. Pasien
myasthenic

dengan

insufisiensi

pernapasan

atau

ketidakmampuan

untuk

mempertahankan jalan napas paten dikatakan crisis. Kelumpuhan vokal dapat


menghambat jalan napas, tetapi lebih umum saluran udara terhambat oleh sekresi
pasien yang tidak dapat dikeluarkan karena batuk terlalu lemah. Batuk membutuhkan
penggunaan paksa otot-otot ekspirasi dan batuk berulang terutama dengan cepat dapat
menjadi tidak efektif pada MG. Bahkan jika jalan napas paten, otot yang digunakan
untuk inspirasi, seperti interkostalis dan diafragma, mungkin terlalu lemah untuk
12

menciptakan sebuah kekuatan inspirasi yang cukup (-50 cm H20) atau kapasitas vital
(> 20 ml/kg berat badan). Pasien tersebut harus diintubasi dan dibantu dengan
respirasi mekanis. Karena kurangnya ekspresi wajah pasien, penderita MG dalam
masa krisis tidak mungkin terlihat tertekan namun akan gelisah dengan nafas dangkal
dan cepat. Biasanya, pasien duduk membungkuk ke depan untuk memaksimalkan
efek gravitasi pada diafragma. Bahkan pasien yang tidak menyadari mempunyai
masalah pernapasan mungkin memiliki kelemahan otot pernapasan yang mengganggu
tidur mereka dan dengan demikian menyebabkan mereka menjadi lelah dan kurang
perhatian pada siang hari. Terkadang sebuah penelitian tidur berguna dalam
mengidentifikasi masalah tersebut.3
Kelemahan otot panggul adalah aspek yang sering diabaikan dari kelemahan
otot pada MG. Namun, beberapa pasien MG wanita dengan inkontinensia urin
mengklaim bahwa itu diringankan oleh obat antikolinesterase. Demikian juga, reseksi
transurethral rutin jaringan prostat pada pria myasthenic sering menyebabkan
inkontinensia. Jika, seperti biasanya dilakukan, sphincter proksimal akan dihapus
selama operasi, suatu sfingter eksternal yang lemah mungkin tidak dapat melakukan
kontraksi refleks selama batuk atau regangan.3
Mungkin karena otot lebih hangat memiliki cadangan yang kurang untuk
transmisi neuromuskuler, otot proksimal cenderung lebih terlibat dari otot distal pada
MG, meskipun beratnya keterlibatan biasanya asimetris. Kelemahan otot ekstrimitas
atas proksimal di mana kesulitan dalam mengangkat lengan untuk mencuci atau
menyikat rambut, berpakaian, memakai kosmetik, atau mencukur menunjukkan
kelemahan bahu dan lengan. Kelelahan otot ekstremitas atas dapat diuji secara
semikuantitatif dengan kemampuan timing pasien untuk menahan lengan ke depan
saat ekstensi. Atrofi otot skapula dan lengan bawah adalah karakteristik dari
congenital slow-channel myasthenic syndrome.3
Kelemahan otot ektrimitas bawah dimana kesulitan dalam berjalan menaiki
tangga atau berjalan jarak jauh juga sering terjadi pada MG. Kelelahan otot tungkai
dapat diuji dengan meminta pasien untuk mengangkat satu kaki di atas yang lain
hingga 50 kali, penilaian langsung dari kekuatan fleksor pinggul akan
memperlihatkan peningkatan kelemahan dari otot-otot aktif pada MG, dibandingkan
dengan sisi tidak aktif.3
Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk. Kelemahan
yang terjadi pada otot-otot ekstremitas lebih menyerupai kelemahan pada miopati
13

proksimal dari pada kelemahan otot distal. Kelemahan otot-otot ekstremitas pada
khususnya yang timbul sebagai sebuah gejala jarang terjadi dan prevalensinya hanya
10% saja.3
Beberapa faktor berikut dapat membuat Miastenia Gravis memburuk:
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Kelelahan, kurang tidur


Stres, kecemasan, depresi
Kelelahan, gerakan berulang
Rasa takut yang muncul secara tiba-tiba, kemarahan ekstrim
Sinar matahari atau lampu terang (mempengaruhi mata)
Beberapa obat, termasuk beta blocker, calcium channel blockers, dan beberapa

antibiotik
g. Minuman beralkohol
h. Rendah kadar natrium atau tingkat tiroid yang rendah
i. Infeksi dan penyakit pernafasan dapat memperburuk kelemahan dan mungkin
tetap timbul setelah penyakit / infeksi tersebut sembuh.
j. Stres karena operasi juga dapat membuat MG memburuk.

Gambar 6. Manifestasi Klinis Miastenia Gravis7


Tabel 1. Manifestasi Klinis Pada Miastenia Gravis Dari Gejala Yang Sering Terjadi Sampai
Pada Gejala yang Jarang Terjadi12
Sering terjadi

Otot-otot
Ocular
Wajah

Gejala
Ptosis dan penglihatan ganda
Kesulitan mengunyah,

Leher

menelan, dan berbicara


Kesulitan mengangkat kepala

Ekstremitas proksimal

saat posisi telentang


Kesulitan mengangkat lengan
setinggi bahu dan kesulitan
berdiri dari posisi duduk
14

dengan bantuan tangan


Gangguan pernapasan dan

Pernapasan

kesulitan untuk bangun dari


posisi tertidur
Kelemahan saat mengenggam

Ekstremitas distal

dan kelemahan
pada pergelangan dan kaki
Jarang terjadi
7. Klasifikasi Miastenia Gravis
Pada bulan Mei 1997, Medical Scientific Advisory Board (MSAB) dari
Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA) membentuk satuan tugas untuk
mengatasi kebutuhan untuk klasifikasi yang diterima secara universal, sistem grading,
dan metode analitik untuk manajemen pasien yang menjalani terapi dan untuk
digunakan dalam uji penelitian terapeutik. Sebagai hasilnya, Klasifikasi MGFA Klinis
diciptakan. Klasifikasi ini membagi MG menjadi 5 kelas utama dan subclass sebagai
berikut:2

Tabel 2.Klasifikasi miastenia gravis menurut Myasthenia Gravis Foundation of America


(MGFA)2
Kelas I

Kelas II

Kelas IIa

Adanya kelemahan otot-otot okullar, kelemahan pada saat menutup mata dan
kekuatan otot-otot lain normal
Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan
ringan pada otot-otot lain selain otot okular.
Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat
kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan
Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya.

Kelas IIb

Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan
dibandingkan klas IIa.

Kelas III
Kelas III a

Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot lain
selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang
Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara
15

predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan


Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara
Kelas III b

predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau


keduanya dalam derajat ringan.

Kelas IV

Kelas IV a

Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang
berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat
Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot
aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara

Kelas IV b

predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh,
otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan
feeding tube tanpa dilakukan intubasi.

Kelas V

Penderita ter-intubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.

Terdapat klasifikasi menurut Osserman dimana miastenia gravis dibagi menjadi:12


1.

Ocular miastenia
Terkenanya otot-otot mata saja, dengan ptosis dan diplopia sangat ringan dan
tidak ada kematian

2.

Generalized myiasthenia
a) Mild generalized myiasthenia
Permulaan lambat, sering terkena otot mata, pelan-pelan meluas ke otot-otot
skelet dan bulber.System pernafasan tidak terkena.Respon terhadap otot baik.
b) Moderate generalized myasthenia
Kelemahan hebat dari otot-otot skelet dan bulbar dan respon terhadap obat tidak
memuaskan.

3.

Severe generalized myasthenia


Acute fulmating myasthenia, Permulaan cepat, kelemahan hebat dari otot-otot
pernafasan, progresi penyakit biasanya komplit dalam 6 bulan. Respon terhadap
obat kurang memuaskan, aktivitas penderita terbatas dan mortilitas tinggi,
insidens tinggi thymoma

4.

Late severe myasthenia

16

Timbul paling sedikit 2 tahun setelah kelompok I dan II progresif dari myasthenia
gravis dapat pelan-pelan atau mendadak, prosentase thymoma kedua paling
tinggi. Respon terhadap obat dan prognosis jelek
Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan
tampak pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejalagejala itu akan tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya agak
menurun.1
8. Diagnosis Miastenia Gravis
Diagnosis pada miastenis gravis dapat dilakukan melalui:
A. Anamnesis
Pasien dapat ditanyakan beberapa hal seperti:
1. Apakah munculnya kelemahan otot fluktuatif dan meningkat dengan aktivitas
2.
3.
4.
5.

fisik?
Apakah kelemahan meningkat sepanjang hari dan pulih dengan istirahat?
Apakah muncul ptosis?
Adakah kelemahan dari ekstensi dan fleksi kepala?
Apakah kelemahan menyebar dari mata ke wajah untuk bulbar otot dan kemudian

ke truncal dan anggota tubuh?


6. Apakah pasien memiliki riwayat keluarga yang menderita penyakit yang sama?
B. Pemeriksaan Fisik
Untuk penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan
sebagai berikut:
1. Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama kelamaan
akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi kurang terang.
Penderita menjadi anartris dan afonis.
2. Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus. Lama
kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau atau tampak ada
ptosis,maka penderita disuruh beristirahat.. Kemudian tampak bahwa suaranya akan
kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi.
3. Uji kelelahan otot
Pada MG okuler, tes kelelahan dapat dilakukan dengan meminta pasien untuk
berkedip berulang kali atau menatap ke atas selama beberapa saat (uji Simpson).
Meningkatnya penurunan kerja otot adalah tanda kelelahan. Peningkatan fenomena
ptosis dapat ditunjukkan pada pasien dengan ptosis bilateral dengan meninggikan
dan menjaga kelopak mata yang lebih ptosis dalam posisi yang tetap. Kelopak mata
berlawanan perlahan jatuh dan mungkin akan menutup sepenuhnya. Tanda kedutan
kelopak mata merupakan cara lain untuk menguji kelelahan otot. Pasien diarahkan
untuk melihat ke bawah selama 10-15 detik dan kemudian kembali dengan cepat
17

dalam posisi semula. Pengamatan pada gerak kelopak mata yang lebih ke atas
ditambah dengan kedutan dan diikuti oleh reposisi kembali ke kondisi ptosis,
mengidentifikasi kelelahan yang mudah terjadi dan pemulihan yang lambat dari otot.
Tanda mengintip terjadi ketika fisura palpebral melebar setelah periode penutupan
kelopak mata secara volunter.1
Muscle Grading Chart
Musle Gradation Description
5-normal ROM lengkap melawan gravitasi dengan tahanan penuh
4-baik ROM lengkap melawan gravitasi dengan tahanan sedang
3-sedang ROM penuh melawan gravitasi
2-lemah ROM penuh, dieliminir oleh gravitasi
1-batas Kontraksi ringan, tanpa gerak sendi
0-nol Tanpa kontraksi
Tes Lainnya:9
a. Tensilon atau Prostigmin tes
Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak terdapat
reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera
sesudah tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan otot-otot yang lemah seperti
misalnya kelopak mata yang memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu benar
disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini
kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena
efektivitas tensilon sangat singkat. Pada tes Prostigmin suntikkan 3 cc atau 1,5 mg
prostigmin methylsulfat secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin
atau mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejalagejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian
akan lenyap.9
b. Uji Kinin
Diberikan 3 tablet kinin masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3 tablet
lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh
miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan
bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar
gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.9
C. Pemeriksaan Laboratorium
a. Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia
gravis, dimana terdapat hasil yang positif pada 74% pasien. 80% dari penderita
18

miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni
menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada pasien
thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR
antibodi.
b. Antistriated muscle (anti-SM) antibodi
Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini
menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma dalam
usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari 40
tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif.
c. Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.
Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab
negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk antiMuSK Ab.1
d. Antistriational antibodies
Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya
antibodi yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot
jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan
ryanodine (RyR). Antibodi ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma dengan
miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibodi merupakan suatu
kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada pasien muda dengan miastenia
gravis.1
D. Imaging
a. Chest x-ray
Foto roentgen thorak dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada
roentgen thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian
anterior mediastinum.7 Hasil roentgen belum tentu dapat menyingkirkan adanya
thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest CT-scan untuk
mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis, terutama pada
penderita dengan usia tua.7
b. MRI
Pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI
dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan
dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada
saraf otak.7
E. Pendekatan Elektrodiagnostik
Pendekatan

elektrodiagnostik

dapat

neuromuscular melalui 2 teknik :


19

memperlihatkan

defek

pada

transmisi

a. Repetitive Nerve Stimulation (RNS)


Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin,
sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.

b. Single-fiber Electromyography (SFEMG)


Menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam
serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada
interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit
yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal
yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek
transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density
yang normal.
F. Penegakan Diagnosis Miastenia Gravis
Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis
suatu miastenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul dalam berbagai derajat yang
berbeda, biasanya menghinggapi bagian proksimal dari tubuh serta simetris di kedua
anggota gerak kanan dan kiri. Refleks tendon biasanya masih ada dalam batas
normal.4,8
Miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan pada otot
wajah. Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya a mask-like face
dengan adanya ptosis dan senyum yang horizontal.
Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan miastenia
gravis. Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang
menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice) serta
regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu,
penderita miastenia gravis akan mengalami kesulitan dalam mengunyah serta menelan
makanan, sehingga dapat terjadi aspirasi cairan yang menyebabbkan penderita batuk
dan tersedak saat minum. Kelemahan otot-otot rahang pada miastenia gravis
menyebakan penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga dagu penderita harus
terus ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga mengalami kelemahan, sehingga
terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi dari leher.8
Otot-otot anggota tubuh tertentu mengalami kelemahan lebih sering
dibandingkan otot-otot anggota tubuh yang lain, dimana otot-otot anggota tubuh atas
20

lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan otot-otot anggota tubuh bawah.


Deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta jari-jari tangan
sering kali mengalami kelemahan. Otot trisep lebih sering terpengaruh dibandingkan
otot bisep. Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan saat melakukan
fleksi panggul, serta melakukan dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan
melakukan plantarfleksi jari-jari kaki.8
Kelemahan otot-otot pernapasan dapat dapat menyebabkan gagal napas akut,
dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan tindakan intubasi cepat
sangat

diperlukan.

menyebabkan

Kelemahan

retensi

otot-otot

karbondioksida

interkostal

sehingga

serta

akan

diafragma

berakibat

dapat

terjadinya

hipoventilasi. Kelemahan otot-otot faring dapat menyebabkan kolapsnya saluran


napas atas, pengawasan yang ketat terhadap fungsi respirasi pada pasien miastenia
gravis fase akut sangat diperlukan.8
Biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris. Kelemahan
sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak hanya terbatas
pada otot yang diinervasi oleh satu nervus cranialis. Hal ini merupakan tanda yang
sangat penting untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan pada muskulus
rektus lateralis dan medialis akan menyebabkan terjadinya suatu pseudointernuclear
ophthalmoplegia, yang ditandai dengan terbatasnya kemampuan adduksi salah satu
mata yang disertai nistagmus pada mata yang melakukan abduksi8.
G. Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosis miastenia gravis, antara
lain:8
1. Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III pada
beberapa penyakit selain miastenia gravis, antara lain :
a. Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika)
b. Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring
c. Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii
d. Paralisis pasca difteri
e. Pseudoptosis pada trachoma
f. Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan adanya
suatu sklerosis multipleks.
g. Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome), penyakit ini
dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan kelelahan pada otot anggota
tubuh bagian proksimal dan disertai dengan kelemahan relatif pada otot-otot
ekstraokular dan bulbar. Pada LEMS, terjadi peningkatan tenaga pada detik21

detik awal suatu kontraksi volunter, terjadi hiporefleksia, mulut kering, dan
sering kali dihubungkan dengan suatu karsinoma terutama oat cell carcinoma
pada paru. EMG pada LEMS sangat berbeda dengan EMG pada miastenia
gravis. Defek pada transmisi neuromuscular terjadi pada frekuensi renah (2Hz)
tetapi akan terjadi ahmbatan stimulasi pada frekuensi yang tinggi (40 Hz).
Kelainan pada miastenia gravis terjadi pada membran postsinaptik sedangkan
kelainan pada LEMS terjadi pada membran pre sinaptik, dimana pelepasan
asetilkolin tidak berjalan dengan normal, sehingga jumlah asetilkolin yang
akhirnya

sampai ke membran postdinaptik tidak mencukupi untuk

menimbulkan depolarisasi.
h. Botulisme
Efek dari racun ini terbatas untuk blokade terminal perifer saraf kolinergik,
termasuk neuromuskuler junction, postganglionik ujung saraf parasimpatik,
dan ganglia perifer. Blokade ini menghasilkan karakteristik penurunan
kelumpuhan bilateral dari otot yang diinervasi oleh saraf otonom cranial,
tulang spinal, dan kolinergik tetapi tidak terdapat penurunan saraf adrenergik
atau sensoris. Botulisme memiliki pola berat, progresif, dan simetris.4
9. Penatalaksanaan
Meskipun tidak ada penelitian tentang obat yang telah dilaporkan dan tidak ada
konsensus yang jelas pada strategi pengobatan, myasthenia gravis (MG) adalah salah
satu gangguan neurologis yang paling dapat diobati. Beberapa faktor (misalnya,
tingkat

keparahan,

distribusi,

kecepatan

perkembangan

penyakit)

harus

dipertimbangkan sebelum terapi dimulai atau diubah.1


Terapi Farmakologis termasuk obat antikolinesterase dan agen imunosupresif,
seperti kortikosteroid, azatioprin, siklosporin, plasmaferesis, dan immune globulin
intravena (IVIG).1

Bagan 1.Alur penatalaksanaan Miastenia Gravis8


Diagnosis MG

MG okular

MG
22
generalisata

MG krisis

MRI kepala
(+)reasses

Antikolinestera
se
(pyridostigmin

Antikolinestera
se
(pyridostigmin

Evaluasi untuk
thimektomi
Indikasi : thimoma
atau MG generalisata
Evaluasi resiko

Jika tidak
memuaskan

Resiko
bagus
FVC bagus

Resiko jelek
FVC jelek

Thimektomi

Intensive care
unit

Plasmaparesis
atau IVIg

perbaika
n

Evaluasi status klinis,


immunosupresan bila
ada indikasi
Imunosupresan

23

Tidak
ada
perbaika

Gambar 7. Farmakologi Transmisi Neuromuskular7


a.

Antikolinesterase
Pyridostigmine bekerja pada otot polos, sistem saraf pusat (SSP), dan kelenjar
sekretori, kerjanya memblok AChE. Agen intermediate-acting, lebih disukai dalam
penggunaan klinis daripada short-acting bromida neostigmine dan long acting
klorida ambenonium. Bekerja dalam 30-60 menit, efek berlangsung 3-6 jam. MG
tidak mempengaruhi semua otot rangka yang sama, dan semua gejala mungkin
tidak dapat dikendalikan tanpa efek samping. Pada pasien kritis atau pasca operasi,
obat diberikan secara intravena (IV). Di Amerika Serikat, pyridostigmine tersedia
dalam 3 bentuk: 60-mg tab, 180-mg timespan tablet, dan 60 mg/5 ml sirup. Efek
dari tablet timespan bertahan 2,5 kali lebih lama. Bentuk timespan adalah sebagai
adjuvan pyridostigmine reguler untuk mengontrol gejala myasthenic pada malam
hari. Penyerapan dan bioavailabilitas tablet timespan bervariasi antara pasien.

24

Dapat diberikan piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau neostigmin
bromida 15-45 mg per oral tiap 3 jam. Piridostigmin biasanya bereaksi secara
lambat. Terapi kombinasi tidak menunjukkan hasil yang menyolok.
Pemberian antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada miastenia gravis
golongan IIA dan IIB. Efek samping pemberian antikolinesterase disebabkan oleh
stimulasi parasimpatis,termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan,
berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek samping gastro
intestinal (efek samping muskarinik) berupa kram atau diare dapat diatasi dengan
pemberian propantelin bromida atau atropin. Penting sekali bagi pasien-pasien
untuk menyadari bahwa gejala-gejala ini merupakan tanda terlalu banyak obat
yang diminum, sehingga dosis berikutnya harus dikurangi untuk menghindari krisis
kolinergik.
b.

Neostigmine
Neostigmine menghambat penghancuran AcH oleh AChE, sehingga memfasilitasi
transmisi impuls di NMJ. Ini adalah AChE inhibitor short-acting yang tersedia
dalam bentuk oral (15 mg tablet) dan bentuk yang sesuai untuk jalur IV,
intramuskular (IM), atau subkutan (SC). Waktu paruhnya 45-60 menit. Obat ini
sulit diserap dalam saluran gastrointestinal (GI) dan harus digunakan hanya jika
pyridostigmine tidak ada.1
Apabila diperlukan, neostigmin metilsulfat dapat diberikan secara subkutan atau
intramuskularis (15 mg per oral setara dengan 1 mg subkutan/intramuskularis),
didahului dengan pemberian atropin 0,5-1,0 mg. Neostigmin dapat menginaktifkan
atau menghancurkan kolinesterase sehingga asetilkolin tidak segera dihancurkan.
Akibatnya aktifitas otot dapat dipulihkan mendekati normal, sedikitnya 80-90%
dari kekuatan dan daya tahan semula. Karena neostigmin cenderung paling mudah
menimbulkan efek muskarinik, maka obat ini dapat diberikan lebih dulu agar
pasien mengerti bagaimana sesungguhnya efek samping tersebut.

c.

Steroid
Kortikosteroid adalah agen anti-inflamasi dan imunomodulasi digunakan untuk
mengobati idiopatik dan gangguan autoimun. Obat ini termasuk di antara para agen
imunomodulasi yang pertama kali digunakan untuk mengobati MG dan masih
25

sering digunakan dan efektif. Obat ini biasanya digunakan dalam kasus sedang atau
berat yang tidak merespon terhadap AChE inhibitor dan thymectomy. Pengobatan
jangka panjang dengan kortikosteroid efektif dan dapat menyebabkan remisi atau
menyebabkan perbaikan pada kebanyakan pasien. Perburukan mungkin terjadi
awalnya, perbaikan klinis ditunjukkan setelah 2-4 minggu.Agen ini biasanya
diberikan lebih dari 1 atau 2 tahun. Remisi didapatkan 30% dan perbaikan
40%.Kortikosteroid bekerja di kedua MG baik ocular MG maupun MG
generalisata. Mereka dapat dikombinasikan dengan obat imunosupresif lainnya
untuk efek yang lebih baik dengan dosis lebih rendah dan durasi yang lebih
singkat.1
1.
Prednisone
Prednisone adalah kortikosteroid yang paling umum digunakan di Amerika
Serikat. Beberapa ahli percaya bahwa administrasi jangka panjang dari
prednison bermanfaat, tetapi yang lain menggunakan obat hanya selama
eksaserbasi akut untuk membatasi efek yang merugikan dari penggunaan
steroid lama. Prednisone efektif dalam mengurangi eksaserbasi MG dengan
menekan pembentukan autoantibodi. Namun, efek klinis sering tidak terlihat
selama beberapa minggu. Peningkatan signifikan, yang mungkin berhubungan
dengan titer antibodi menurun, biasanya terjadi pada 1-4 bulan.1
2.
Methylprednisolone
Methylprednisolone dapat digunakan pada pasien yang diintubasi dan pada
mereka tidak dapat mentoleransi asupan oral. Ini mengurangi inflamasi dengan
menekan migrasi sel polimorfonuklear (PMN) dan membalikkan peningkatan
permeabilitas kapiler.1
Di antara preparat steroid, prednisolon paling sesuai untuk miastenia gravis, dan
diberikan sekali sehari secara selang-seling (alternate days) untuk menghindari
efek samping. Dosis awalnya harus kecil (10 mg) dan dinaikkan secara bertahap
(5-10 mg/minggu) untuk menghindari eksaserbasi sebagaimana halnya apabila obat
dimulai dengan dosis tinggi. Peningkatan dosis sampai gejala-gejala terkontrol atau
dosis mencapai 120 mg secara selang-seling. Pada kasus yang berat, prednisolon
dapat diberikan dengan dosis awal yang tinggi, setiap hari, dengan memperhatikan
efek samping yang mungkin ada. Hal ini untuk dapat segera memperoleh perbaikan
klinis. Disarankan agar diberi tambahan preparat kalium. Apabila sudah ada
perbaikan klinis maka dosis diturunkan secara perlahan-lahan (5 mg/bulan) dengan

26

tujuan memperoleh dosis minimal yang efektif. Perubahan pemberian prednisolon


secara mendadak harus dihindari.
d.
1.

Imunosupresan
Azatioprin
Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang
baik, efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan terutama
berupa gangguan saluran cerna, peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat
ini diberikan dengan dosis 2,5 mg/kg BB selama 8 minggu pertama. Setiap
minggu harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati. Sesudah
itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali. Pemberian
prednisolon bersama-sama dengan azatioprin sangat dianjurkan. Karena efek
samping kortikosteroid, klinisi dan dokter seringkali menggunakan steroidsparing medications, misalnya: azathioprine, dengan dosis yang ditingkatkan
secara bertahap sampai 2-3 mg/KgBB/hari PO. Perbaikan maksimal dicapai
dalam waktu 1-2 tahun, karena kerja azathioprine yang lebih lambat daripada
kortikosteroid. Azathioprine digunakan bersama-sama dengan kortikosteroid,

bukan sebagai monoterapi.1


2.
Mycophenolate mofetil
Digunakan sebagai suatu monoterapi yang bersifat adjunctive atau
corticosteroid-sparing therapy, dengan dosis 1-1,5 g PO dua kali sehari.
Selama mimum obat ini, disarankan untuk menghindari paparan sinar
ultraviolet. Manfaat (perbaikan) klinis dapat dirasakan setelah 1-2 bulan,
sedangkan efek maksimal obat ini biasanya dirasakan sekitar 6 bulan.
Penggunaan mycophenolate mofetil bersama-sama dengan azathioprine tidak
dianjurkan.1
3.
Cyclosporine
Penggunaan cyclosporine (dosis: 2,5 mg/KgBB/hari PO dibagi 2 x sehari;
setelah 4 minggu, dosis dapat dinaikkan 0,5 mg/KgBB/hari dengan interval 2
minggu, sampai dosis maksimum 4 mg/KgBB/hari) dan cyclophosphamide
dapat digunakan oleh dokter yang benar-benar paham efek samping dan dapat
memonitor (tekanan darah, CBC, asam urat, potassium, lipid, magnesium,
serum creatinine dan BUN) pasien secara ketat (setiap 2 minggu selama 3
e.

bulan pertama terapi, lalu setiap bulan jika pasien sudah stabil).1
Imunoglobulin

27

IVIG direkomendasikan untuk MG krisis, pada pasien dengan kelemahan berat


yang kurang terkontrol dengan agen lainnya, atau sebagai pengganti dari
pertukaran plasma dengan dosis 1 g / kg.IVIG efektif dalam MG sedang atau berat
yang memburuk menjadi krisis. Dosis tinggi IVIG berhasil pada MG, meskipun
mekanisme kerja tidak diketahui. Hal ini digunakan dalam manajemen krisis
(misalnya, myasthenic krisis dan periode perioperatif) bukan atau dalam kombinasi
dengan plasmapheresis. Seperti plasmapheresis, ia memiliki onset yang cepat,
tetapi efek berlangsung hanya dalam waktu singkat.1
f.
Plasmaparesis
Plasmaparesis (pertukaran plasma) dipercaya bekerja dengan menghilangkan faktor
humoral (yaitu, anti-ACHR antibodi dan kompleks imun) dari sirkulasi. Hal ini
digunakan sebagai tambahan untuk terapi imunomodulator lain dan sebagai alat
untuk manajemen krisis. Seperti IVIG, plasmaferesis umumnya digunakan untuk
myasthenic krisis dan kasus-kasus refrakter. Perbaikan terjadi dalam beberapa hari,
tetapi tidak berlangsung lebih dari 2 bulan. Plasmaferesis merupakan terapi efektif
untuk MG, terutama dalam persiapan untuk operasi atau jangka pendek
pengelolaan eksaserbasi. Plasmapheresis jangka panjang teratur setiap minggu atau
bulanan bisa digunakan bila pengobatan lain tidak dapat mengendalikan penyakit
ini. Komplikasi terutama terbatas pada komplikasi intravena (IV) akses (misalnya,
penempatan garis pusat) tetapi juga dapat mencakup gangguan hipotensi dan
koagulasi (meskipun jarang). Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8
kali dengan dosis 50 ml/kg BB. Cara ini akan memberikan perbaikan yang jelas
dalam waktu singkat. Plasmaferesis bila dikombinasikan dengan pemberian obat
imusupresan akan sangat bermanfaat bagi kasus yang berat. Namun demikian
belum ada bukti yang jelas bahwa terapi demikian ini dapat memberi hasil yang
baik sehingga penderita mampu hidup atau tinggal di rumah. Plasmaferesis
mungkin efektif padakrisi miastenik karena kemampuannya untuk membuang
antibodi pada reseptor asetilkolin, tetapi tidak bermanfaat pada penanganan kasus
kronik.
g. Thimektomi
Thimektomi merupakan pilihan pengobatan yang penting dalam myasthenia gravis
(MG),terutama jika ditemukan adanya thymoma. Telah diusulkan sebagai terapi
lini pertama pada kebanyakan pasien dengan myasthenia gravis (MG) umum.
Thimectomi dapat menyebabkan remisi. American Association of Neurology
28

merekomendasikan thimectomi untuk nonthymomatous pasien myasthenia gravis


(MG)

autoimun.

Thimectomi

direkomendasikan

sebagai

pilihan

untuk

meningkatkan kemungkinan remisi atau perbaikan.1

10. Prognosis Miastenia Gravis


a. Tanpa pengobatan angka kematian MG 25-31%
b. MG yang mendapat pengobatan, angka kematian 4%
c. 40% hanya gejala okuler.
Dalam myasthenia gravis (MG) okuler, lebih dari 50% kasus berkembang ke
myasthenia gravis (MG) umum dalam waktu satu tahun, remisi spontan <10%.
Sekitar 15-17% pasien akan tetap mengalami gejala okular selama masa tindak
lanjut rata-rata hingga 17 tahun. Pasien-pasien ini disebut sebagai myasthenia gravis
(MG) okular. Sisanya mengembangkan kelemahan umum dan disebut sebagai
generalized myasthenia gravis (MG). Sebuah studi dari 37 pasien myasthenia gravis
(MG) menunjukkan bahwa kehadiran thymoma terkait dengan gejala yang lebih
buruk.1

DAFTAR PUSTAKA
1. Goldenberg,

William.

Myasthenia

Gravis.

20

Januari

2012.

Diunduh

darihttp://emedicine.medscape.com/article/1171206-overview, 09 December 2014.


2. Myasthenia Gravis and Related Disorders of The Neuromuscular Junction. In: Ropper A,
Brown R, eds. Adam and Victors : Principles of Neurology 8 thed. McGraw Hill. 2005;
53:1264-1250.
3. Eric M, Eliahu S, Feen, Jose I. Myasthenia Gravis Crisis. Southern Medical Journal. 2008;
101: 1: 69-63.
4. Romi, Gilhus, Aarli. Myasthenia gravis: clinical, immunological,and therapeutic advances.
Acta Neurol Scand. 2005; 111: 141-134.
29

5. Keesey, John. Clinical Evaluation and Management of Myasthenia Gravis. Muscle& Nerve.
2004; 29:505-484.
6. Kumala P, Komala S, Santoso AH, Sulaiman JR, Rienita Y. Kamus saku Kedokteran Dorland.
25 ed.EGC. 1998: 723.
7. Burns et al. Myasthenia Gravis. In Netter`s Neurology2 nd Edition. 2012; 73: 684-702.
8. Drachman DB. Myasthenia Gravis and Other Diseases of The Neuromuscular Junction
Kasper. In: Braunwald, Fauci, Hauser, Longo, Jameson. Harrisons : Principle of Internal
Medicine 18th ed. McGraw Hill. 2012; 366: 2523-2518.
9. Burmester GR, Pezzutto A. Color Atlas of Immunology. 1sted. Thieme. 2003: 239-238
10. Myasthenia
Gravis
&Neuromuscular
Junction
(NMJ)
Disorders.
Diunduh
darihttp://neuromuscular.wustl.edu/synmg.html#acquiredmg, 07 Juni 2012.
11. Murray, R.K, Granner, D.K, Mayes, P.A.2008. Biokimia Harper: Dasar Biokimia Beberapa
Kelainan Neuropsikiatri. Edisi 29. EGC. Jakarta.
12. Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M., 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-

Proses Penyakit ed. 6 vol.2. EGC. Jakarta.

30

Anda mungkin juga menyukai