MIASTENIA GRAVIS
PEMBIMBING :
dr. Hanartoaji A. Pribadi, Sp. S
PENYUSUN :
Jenri Sutrisno
I11110037
Miastenia Gravis berasal dari 2 kata yaitu miastenia dan gravis. Miastenia
berarti kelemahan otot motorik tertentu yang berfluktuasi, terutama yang diinervasi
oleh nukleus motorik di batang otak seperti otot mata (ocular), otot kelopak mata, otot
pengunyah (masticatory) dan otot wajah (facial), gravis sendiri berasal dari kata
grave yang berarti buruk.1,2,3 Romi dkk mengatakan bahwa Miastenia gravis (MG)
adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan kelemahan patologis yang berfluktuasi
dengan remisi dan eksaserbasi yang melibatkan kelompok otot satu atau beberapa
rangka, terutama disebabkan oleh antibodi terhadap reseptor asetilkolin (ACHR) di
lokasi pasca sinaptik dari sambungan neuromuskuler tanpa adanya gangguan sensorik. 4
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan
abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan
disertai dengan kelelahan saat beraktivitas, dan bila penderita beristirahat, maka tidak
lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali. Penyakit ini timbul karena adanya
gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction.5,6
2. Epidemiologi
Miastenia Gravis merupakan penyakit autoimun yang jarang ditemukan. Kasus
lebih banyak ditemukan pada wanita daripada laki-laki dengan puncak onset pada usia
dekade kedua dan ketiga (pada wanita) dan dekade kelima dan keenam (pria).7
Miastenia Gravis bukan suatu penyakit turunan ataupun jenis penyakit yang bisa
menular.7 Kasus MG adalah 5-10 kasus per 1 juta populasi per tahun, yang dengan total
kasus di Amerika Serikat sekitar 25.000 kasus.5
3. Etiologi
Penyebab MG yang paling umum adalah perkembangan abnormal dari bagianbagian imunologis (epitop) di dalam maupun sekitar AChR nicotinik pada
postsynaptic endplate regio
terjadinya degradasi imun dari AChR dan membran postsinaptik. 7 Hilangnya AchRs
fungsional dalam jumlah besar dapat menyebabkan berkurangnya jumlah serat otot
yang berdepolarisasi selama aktivasi terminal nervus motorik, mengakibatkan
panurunan aksi potensial otot dan kontraksi serat otot yang penting. 7 Adanya
hambatan pada tranmisi neuromuskular dapat menyebabkan kelemahan secara klinis
apabila jumlah serat yang rusak besar.7
Tiap-tiap serat saraf secara normal bercabang beberapa kali dan merangsang
tiga hingga beberapa ratus serat otot rangka. Ujung-ujung saraf membuat suatu
sambungan
yang
disebut
neuromuscular
junction
atau
sambungan
neuromuskular.9
Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang disebut
terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di sepanjang
serat saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik
(membran otot) dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk
neuromuscular junction.9
basalis, yang merupakan lapisan tipis dengan serat retikular seperti busa yang dapat
dilalui oleh cairan ekstraselular secara difusi6,9.
Terminal presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya berisi asetilkolin
(ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian terminal namun dengan cepat
diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil, yang dalam keadaan normal
terdapat di bagian terminal suatu lempeng akhir motorik (motor end plate)6,9.
Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125 kantong
asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps. Bila potensial aksi
menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-ion kalsium ke bagian
dalam terminal. Ion-ion kalsium ini kemudian diduga mempunyai pengaruh tarikan
terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel akan bersatu ke membran saraf dan
mengeluarkan asetilkolinnya ke dalam celah sinaps. Asetilkolin yang dilepaskan
berdifusi sepanjang sinaps dan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChRs) pada
membran post sinaptik6,9.
Secara biokimiawi keseluruhan proses pada neuromuscular junction dianggap
berlangsung dalam 6 tahap, yaitu6:
1) Sintesis asetilkolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan menggunakan
enzim kolin asetiltransferase yang mengkatalisasi reaksi berikut ini: AsetilKoA -> Kolin Asetilkolin + KoA
2) Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikat-membran
yang disebut vesikel sinap dan disimpan di dalam vesikel ini.
3) Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan tahap
berikutnya. Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang melibatkan fusi
vesikel dengan membran presinaptik. Dalam keadaan istirahat, kuanta
tunggal (sekitar 10.000 molekul transmitter yang mungkin sesuai dengan isi
satu vesikel sinaps) akan dilepaskan secara spontan sehingga menghasilkan
potensial endplate miniature yang kecil. Kalau sebuah akhir saraf mengalami
depolarisasi akibat transmisi sebuah impuls saraf, proses ini akan membuka
saluran Ca2+ yang sensitive terhadap voltase listrik sehingga memungkinkan
aliran masuk Ca2+ dari ruang sinaps ke terminal saraf. Ion Ca 2+ ini
memerankan peranan yang esensial dalam eksositosis yang melepaskan
asitilkolin (isi kurang lebih 125 vesikel) ke dalam rongga sinaps.
4) Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah
sinaps ke dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold), merupakan
5
bagian yang menonjol dari motor end plate yang mengandung reseptor
asetilkolin (AChR) dengan kerapatan yang tinggi dan sangat rapat dengan
terminal saraf. Kalau 2 molekul asetilkolin terikat pada sebuah reseptor,
maka reseptor ini akan mengalami perubahan bentuk dengan membuka
saluran dalam reseptor yang memungkinkan aliran kation melintasi
membran. Masuknya ion Na+ akan menimbulkan depolarisasi membran otot
sehingga terbentuk potensial end plate. Keadaan ini selanjutnya akan
menimbulkan depolarisasi membran otot di dekatnya dan terjadi potensial
aksi yang ditransmisikan disepanjang serabut saraf sehingga timbul kontraksi
otot.
5) Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis oleh
enzim asetilkolinesterase yang mengkatalisasi reaksi berikut:
Asetilkolin + H2O Asetat + Kolin
Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam lamina
basalis rongga sinaps
6) Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme transport
aktif di mana protein tersebut dapat digunakan kembali bagi sintesis
asetilkolin.
Setiap reseptor asetilkolin merupakan kompleks protein besar dengan saluran
yang akan segera terbuka setelah melekatnya asetilkolin. Kompleks ini terdiri dari
5 protein subunit, yaitu 2 protein alfa, dan masing-masing satu protein beta, delta,
dan gamma. Melekatnya asetilkolin memungkinkan natrium dapat bergerak
secara mudah melewati saluran tersebut, sehingga akan terjadi depolarisasi parsial
dari membran post sinaptik. Peristiwa ini akan menyebabkan suatu perubahan
potensial setempat pada membran serat otot yang disebut excitatory postsynaptic
potential (potensial lempeng akhir). Apabila pembukaan gerbang natrium telah
mencukupi, maka akan terjadi suatu potensial aksi pada membran otot yang
selanjutnya menyebabkan kontraksi otot.
5. Patofisiologi
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada
patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup
timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia
6
Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis. Ptosis yang merupakan salah satu
gejala kelumpuhan nervus okulomotorius, seing menjadi keluhan utama penderita
miastenia gravis. Walupun pada miastenia gravis otot levator palpebra jelas
lumpuh, namun ada kalanya otot-otot okular masih bergerak normal. Tetapi pada
tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis
miastenia gravis.7 Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan
kelemahan pada fleksi dan ekstensi kepala.1
mulut penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari otot
faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran menelan dan
berbicara. Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan suara sengau. Selain itu bila
penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya4.
Di antara pasien, 75% awalnya mengeluh gangguan mata, terutama ptosis dan
diplopia. Akhirnya, 90% dari pasien dengan MG mengembangkan gejala-gejala
okular. Mungkin ptosis unilateral atau bilateral, dan akan beralih dari mata ke mata.
Okular MG dikategorikan sebagai kelemahan dan kelelahan yang tersembunyi dan
membahayakan yang dapat terjadi pada satu atau kedua kelopak mata atau otot bola
mata. Jika meliputi kelopak mata yang jatuh biasanya dikenal sebagai ptosis ; yang
10
mengenai otot extraokular maka pasien akan melihat ganda pada arah otot yang
lemah.3 Kebanyakan pasien MG mempunyai keluhan diplopia pada saat
onset
kombinasi otot. Ptosis biasanya yang paling menonjol dan terjadi setelah berkedip
beberapa kali. Dalam kasus ptosis unilateral, mata yangtidak ptosis akan mengalami
ptosis jika mata yang ptosis dibuka dengan menggunakan jari (Hering fenomena).
Keterlibatan otot luar mata tidak mengikuti pola tertentu. Setiap gangguan motilitas
okular yang didapatkan dengan ptosis dan reflek pupil didapatkan normal, harus
mengarahkan kecurigaan pada myasthenia gravis MG.3
Kelemahan wajah dapat terjadi pada MG tanpa keterlibatan otot mata, tetapi
biasanya kedua gejala terjadi bersama-sama. Jika sensasi wajah terganggu, lesi yang
mempengaruhi saraf kranial seperti karsinoma nasofaring harus dicurigai. Dengan
adanya sensasi wajah normal. Namun, terjadinya kedua kelemahan otot mata dan
wajah sangat memperlihatkan gejala MG. Temuan mungkin akan sulit untuk dilihat.3
Kelemahan Orbicularis oculi merupakan sebuah tanda yang sangat umum dari
MG yaitu ketidakmampuan pasien untuk mempertahankan kelopak mata tertutup atas
terhadap upaya pemeriksa untuk membukanya. Sebuah usaha dari pasien meskipun
terjadi kelemahan kelopak mata akan memperlihatkan adanya fenomena Bell, rotasi
bola mata ke atas selama penutupan kelopak mata. Karena pasien dengan
blefarospasme dari otot-otot orbicularis oculi mungkin mengeluh kesulitan menjaga
mata terbuka, kondisi ini kadang-kadang bingung dengan kelemahan myasthenic.
Biasanya tidak ada diplopia atau fotofobia dengan blefarospasme, dan penutupan
kelopak mata adalah spasmodik dan dipaksa dengan elevasi simultan pada kelopak
mata bawah.
Kelemahan Orbicularis Oris merupakan ketidakmampuan pasien untuk
mencegah keluarnya udara melalui kerutan bibir ketika pemeriksa menekan pipi
adalah pertanda kelemahan wajah. Tertawa mengungkapkan apa yang disebut
"myasthenic sneer". Pasien tersebut tidak dapat bersiul, menyedot melalui sedotan,
atau meledakkan balon.3 Bicara cadel dan kesulitan menelan dapat disebabkan oleh
kelemahan lidah, yang paling mudah dinilai oleh kekuatan mendorong lidah pada satu
11
pipi bagian dalam. Dalam kasus ringan MG, bicara cadel dapat terdeteksi hanya
selama berbicara berkepanjangan, seperti menjelang akhir wawancara dengan dokter.
Suara serak atau berbisik tidak khas pada MG. Otot lidah rentan terhadap atrofi di
MG dan lidah berkerut merupakan manifestasi dari atrofi ini.3
Beberapa pasien dengan MG mungkin mengalami kesulitan dalam mengunyah
karena kelemahan penutupan rahang (terutama otot-otot masseter), sedangkan
pembuka rahang tetap kuat. Ketika kelemahan parah, rahang mungkin tetap terbuka
dan harus dimanipulasi dengan tangan selama mengunyah. Salah satu gejala paling
serius dari myasthenia adalah disfagia karena kelemahan otot lidah dan faring
posterior. Jika kelemahan otot faring muncul, cairan lebih sulit untuk ditelan dari yang
padat, dan makanan panas lebih sulit daripada makanan dingin. Adakalanya pasien
menggunakan es batu untuk meminum cairan yang dibutuhkan. Regurgitasi cairan ke
hidung dapat menjadi masalah jika ada kelemahan otot palatal. Ketidakmampuan
untuk menelan air liur adalah konsekuensi paling parah kelemahan faring dan
membutuhkan suktion mulut. Setelah disfagia mencapai tingkat keparahan ini, sebuah
sonde diperlukan tidak hanya untuk pemberian obat oral dan juga untuk suplemen
gizi.3
Nyeri otot bukan merupakan gejala umum dari MG, tapi kekejangan otot yang
menyakitkan dapat terjadi pada MG ketika otot leher yang lemah diminta untuk
menahan kepala ke atas. Fleksor leher lebih sering terlibat dalam MG daripada
ekstensor leher. Pasien telentang sangat mengalami kesulitan dalam mengangkat
kepala dari bantal. Jalan napas dapat menjadi terhambat oleh penutupan glotis, yang
disebabkan oleh kelemahan otot rangka yang memegang pita suara. Hal tersebut dapat
dideteksi dengan adanya stridor, selama dalam usaha inspirasi dan dapat
meramalkan keadaan darurat medis yang berkembang kearah pasien membutuhkan
intubasi endotrakeal.3
Gejala yang paling serius dari MG adalah kesulitan bernafas. Pasien
myasthenic
dengan
insufisiensi
pernapasan
atau
ketidakmampuan
untuk
menciptakan sebuah kekuatan inspirasi yang cukup (-50 cm H20) atau kapasitas vital
(> 20 ml/kg berat badan). Pasien tersebut harus diintubasi dan dibantu dengan
respirasi mekanis. Karena kurangnya ekspresi wajah pasien, penderita MG dalam
masa krisis tidak mungkin terlihat tertekan namun akan gelisah dengan nafas dangkal
dan cepat. Biasanya, pasien duduk membungkuk ke depan untuk memaksimalkan
efek gravitasi pada diafragma. Bahkan pasien yang tidak menyadari mempunyai
masalah pernapasan mungkin memiliki kelemahan otot pernapasan yang mengganggu
tidur mereka dan dengan demikian menyebabkan mereka menjadi lelah dan kurang
perhatian pada siang hari. Terkadang sebuah penelitian tidur berguna dalam
mengidentifikasi masalah tersebut.3
Kelemahan otot panggul adalah aspek yang sering diabaikan dari kelemahan
otot pada MG. Namun, beberapa pasien MG wanita dengan inkontinensia urin
mengklaim bahwa itu diringankan oleh obat antikolinesterase. Demikian juga, reseksi
transurethral rutin jaringan prostat pada pria myasthenic sering menyebabkan
inkontinensia. Jika, seperti biasanya dilakukan, sphincter proksimal akan dihapus
selama operasi, suatu sfingter eksternal yang lemah mungkin tidak dapat melakukan
kontraksi refleks selama batuk atau regangan.3
Mungkin karena otot lebih hangat memiliki cadangan yang kurang untuk
transmisi neuromuskuler, otot proksimal cenderung lebih terlibat dari otot distal pada
MG, meskipun beratnya keterlibatan biasanya asimetris. Kelemahan otot ekstrimitas
atas proksimal di mana kesulitan dalam mengangkat lengan untuk mencuci atau
menyikat rambut, berpakaian, memakai kosmetik, atau mencukur menunjukkan
kelemahan bahu dan lengan. Kelelahan otot ekstremitas atas dapat diuji secara
semikuantitatif dengan kemampuan timing pasien untuk menahan lengan ke depan
saat ekstensi. Atrofi otot skapula dan lengan bawah adalah karakteristik dari
congenital slow-channel myasthenic syndrome.3
Kelemahan otot ektrimitas bawah dimana kesulitan dalam berjalan menaiki
tangga atau berjalan jarak jauh juga sering terjadi pada MG. Kelelahan otot tungkai
dapat diuji dengan meminta pasien untuk mengangkat satu kaki di atas yang lain
hingga 50 kali, penilaian langsung dari kekuatan fleksor pinggul akan
memperlihatkan peningkatan kelemahan dari otot-otot aktif pada MG, dibandingkan
dengan sisi tidak aktif.3
Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk. Kelemahan
yang terjadi pada otot-otot ekstremitas lebih menyerupai kelemahan pada miopati
13
proksimal dari pada kelemahan otot distal. Kelemahan otot-otot ekstremitas pada
khususnya yang timbul sebagai sebuah gejala jarang terjadi dan prevalensinya hanya
10% saja.3
Beberapa faktor berikut dapat membuat Miastenia Gravis memburuk:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
antibiotik
g. Minuman beralkohol
h. Rendah kadar natrium atau tingkat tiroid yang rendah
i. Infeksi dan penyakit pernafasan dapat memperburuk kelemahan dan mungkin
tetap timbul setelah penyakit / infeksi tersebut sembuh.
j. Stres karena operasi juga dapat membuat MG memburuk.
Otot-otot
Ocular
Wajah
Gejala
Ptosis dan penglihatan ganda
Kesulitan mengunyah,
Leher
Ekstremitas proksimal
Pernapasan
Ekstremitas distal
dan kelemahan
pada pergelangan dan kaki
Jarang terjadi
7. Klasifikasi Miastenia Gravis
Pada bulan Mei 1997, Medical Scientific Advisory Board (MSAB) dari
Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA) membentuk satuan tugas untuk
mengatasi kebutuhan untuk klasifikasi yang diterima secara universal, sistem grading,
dan metode analitik untuk manajemen pasien yang menjalani terapi dan untuk
digunakan dalam uji penelitian terapeutik. Sebagai hasilnya, Klasifikasi MGFA Klinis
diciptakan. Klasifikasi ini membagi MG menjadi 5 kelas utama dan subclass sebagai
berikut:2
Kelas II
Kelas IIa
Adanya kelemahan otot-otot okullar, kelemahan pada saat menutup mata dan
kekuatan otot-otot lain normal
Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan
ringan pada otot-otot lain selain otot okular.
Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat
kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan
Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya.
Kelas IIb
Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan
dibandingkan klas IIa.
Kelas III
Kelas III a
Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot lain
selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang
Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara
15
Kelas IV
Kelas IV a
Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang
berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat
Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot
aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara
Kelas IV b
predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh,
otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan
feeding tube tanpa dilakukan intubasi.
Kelas V
Ocular miastenia
Terkenanya otot-otot mata saja, dengan ptosis dan diplopia sangat ringan dan
tidak ada kematian
2.
Generalized myiasthenia
a) Mild generalized myiasthenia
Permulaan lambat, sering terkena otot mata, pelan-pelan meluas ke otot-otot
skelet dan bulber.System pernafasan tidak terkena.Respon terhadap otot baik.
b) Moderate generalized myasthenia
Kelemahan hebat dari otot-otot skelet dan bulbar dan respon terhadap obat tidak
memuaskan.
3.
4.
16
Timbul paling sedikit 2 tahun setelah kelompok I dan II progresif dari myasthenia
gravis dapat pelan-pelan atau mendadak, prosentase thymoma kedua paling
tinggi. Respon terhadap obat dan prognosis jelek
Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan
tampak pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejalagejala itu akan tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya agak
menurun.1
8. Diagnosis Miastenia Gravis
Diagnosis pada miastenis gravis dapat dilakukan melalui:
A. Anamnesis
Pasien dapat ditanyakan beberapa hal seperti:
1. Apakah munculnya kelemahan otot fluktuatif dan meningkat dengan aktivitas
2.
3.
4.
5.
fisik?
Apakah kelemahan meningkat sepanjang hari dan pulih dengan istirahat?
Apakah muncul ptosis?
Adakah kelemahan dari ekstensi dan fleksi kepala?
Apakah kelemahan menyebar dari mata ke wajah untuk bulbar otot dan kemudian
dalam posisi semula. Pengamatan pada gerak kelopak mata yang lebih ke atas
ditambah dengan kedutan dan diikuti oleh reposisi kembali ke kondisi ptosis,
mengidentifikasi kelelahan yang mudah terjadi dan pemulihan yang lambat dari otot.
Tanda mengintip terjadi ketika fisura palpebral melebar setelah periode penutupan
kelopak mata secara volunter.1
Muscle Grading Chart
Musle Gradation Description
5-normal ROM lengkap melawan gravitasi dengan tahanan penuh
4-baik ROM lengkap melawan gravitasi dengan tahanan sedang
3-sedang ROM penuh melawan gravitasi
2-lemah ROM penuh, dieliminir oleh gravitasi
1-batas Kontraksi ringan, tanpa gerak sendi
0-nol Tanpa kontraksi
Tes Lainnya:9
a. Tensilon atau Prostigmin tes
Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak terdapat
reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera
sesudah tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan otot-otot yang lemah seperti
misalnya kelopak mata yang memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu benar
disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini
kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena
efektivitas tensilon sangat singkat. Pada tes Prostigmin suntikkan 3 cc atau 1,5 mg
prostigmin methylsulfat secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin
atau mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejalagejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian
akan lenyap.9
b. Uji Kinin
Diberikan 3 tablet kinin masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3 tablet
lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh
miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan
bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar
gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.9
C. Pemeriksaan Laboratorium
a. Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia
gravis, dimana terdapat hasil yang positif pada 74% pasien. 80% dari penderita
18
miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni
menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada pasien
thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR
antibodi.
b. Antistriated muscle (anti-SM) antibodi
Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini
menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma dalam
usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari 40
tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif.
c. Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.
Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab
negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk antiMuSK Ab.1
d. Antistriational antibodies
Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya
antibodi yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot
jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan
ryanodine (RyR). Antibodi ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma dengan
miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibodi merupakan suatu
kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada pasien muda dengan miastenia
gravis.1
D. Imaging
a. Chest x-ray
Foto roentgen thorak dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada
roentgen thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian
anterior mediastinum.7 Hasil roentgen belum tentu dapat menyingkirkan adanya
thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest CT-scan untuk
mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis, terutama pada
penderita dengan usia tua.7
b. MRI
Pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI
dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan
dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada
saraf otak.7
E. Pendekatan Elektrodiagnostik
Pendekatan
elektrodiagnostik
dapat
memperlihatkan
defek
pada
transmisi
diperlukan.
menyebabkan
Kelemahan
retensi
otot-otot
karbondioksida
interkostal
sehingga
serta
akan
diafragma
berakibat
dapat
terjadinya
detik awal suatu kontraksi volunter, terjadi hiporefleksia, mulut kering, dan
sering kali dihubungkan dengan suatu karsinoma terutama oat cell carcinoma
pada paru. EMG pada LEMS sangat berbeda dengan EMG pada miastenia
gravis. Defek pada transmisi neuromuscular terjadi pada frekuensi renah (2Hz)
tetapi akan terjadi ahmbatan stimulasi pada frekuensi yang tinggi (40 Hz).
Kelainan pada miastenia gravis terjadi pada membran postsinaptik sedangkan
kelainan pada LEMS terjadi pada membran pre sinaptik, dimana pelepasan
asetilkolin tidak berjalan dengan normal, sehingga jumlah asetilkolin yang
akhirnya
menimbulkan depolarisasi.
h. Botulisme
Efek dari racun ini terbatas untuk blokade terminal perifer saraf kolinergik,
termasuk neuromuskuler junction, postganglionik ujung saraf parasimpatik,
dan ganglia perifer. Blokade ini menghasilkan karakteristik penurunan
kelumpuhan bilateral dari otot yang diinervasi oleh saraf otonom cranial,
tulang spinal, dan kolinergik tetapi tidak terdapat penurunan saraf adrenergik
atau sensoris. Botulisme memiliki pola berat, progresif, dan simetris.4
9. Penatalaksanaan
Meskipun tidak ada penelitian tentang obat yang telah dilaporkan dan tidak ada
konsensus yang jelas pada strategi pengobatan, myasthenia gravis (MG) adalah salah
satu gangguan neurologis yang paling dapat diobati. Beberapa faktor (misalnya,
tingkat
keparahan,
distribusi,
kecepatan
perkembangan
penyakit)
harus
MG okular
MG
22
generalisata
MG krisis
MRI kepala
(+)reasses
Antikolinestera
se
(pyridostigmin
Antikolinestera
se
(pyridostigmin
Evaluasi untuk
thimektomi
Indikasi : thimoma
atau MG generalisata
Evaluasi resiko
Jika tidak
memuaskan
Resiko
bagus
FVC bagus
Resiko jelek
FVC jelek
Thimektomi
Intensive care
unit
Plasmaparesis
atau IVIg
perbaika
n
23
Tidak
ada
perbaika
Antikolinesterase
Pyridostigmine bekerja pada otot polos, sistem saraf pusat (SSP), dan kelenjar
sekretori, kerjanya memblok AChE. Agen intermediate-acting, lebih disukai dalam
penggunaan klinis daripada short-acting bromida neostigmine dan long acting
klorida ambenonium. Bekerja dalam 30-60 menit, efek berlangsung 3-6 jam. MG
tidak mempengaruhi semua otot rangka yang sama, dan semua gejala mungkin
tidak dapat dikendalikan tanpa efek samping. Pada pasien kritis atau pasca operasi,
obat diberikan secara intravena (IV). Di Amerika Serikat, pyridostigmine tersedia
dalam 3 bentuk: 60-mg tab, 180-mg timespan tablet, dan 60 mg/5 ml sirup. Efek
dari tablet timespan bertahan 2,5 kali lebih lama. Bentuk timespan adalah sebagai
adjuvan pyridostigmine reguler untuk mengontrol gejala myasthenic pada malam
hari. Penyerapan dan bioavailabilitas tablet timespan bervariasi antara pasien.
24
Dapat diberikan piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau neostigmin
bromida 15-45 mg per oral tiap 3 jam. Piridostigmin biasanya bereaksi secara
lambat. Terapi kombinasi tidak menunjukkan hasil yang menyolok.
Pemberian antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada miastenia gravis
golongan IIA dan IIB. Efek samping pemberian antikolinesterase disebabkan oleh
stimulasi parasimpatis,termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan,
berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek samping gastro
intestinal (efek samping muskarinik) berupa kram atau diare dapat diatasi dengan
pemberian propantelin bromida atau atropin. Penting sekali bagi pasien-pasien
untuk menyadari bahwa gejala-gejala ini merupakan tanda terlalu banyak obat
yang diminum, sehingga dosis berikutnya harus dikurangi untuk menghindari krisis
kolinergik.
b.
Neostigmine
Neostigmine menghambat penghancuran AcH oleh AChE, sehingga memfasilitasi
transmisi impuls di NMJ. Ini adalah AChE inhibitor short-acting yang tersedia
dalam bentuk oral (15 mg tablet) dan bentuk yang sesuai untuk jalur IV,
intramuskular (IM), atau subkutan (SC). Waktu paruhnya 45-60 menit. Obat ini
sulit diserap dalam saluran gastrointestinal (GI) dan harus digunakan hanya jika
pyridostigmine tidak ada.1
Apabila diperlukan, neostigmin metilsulfat dapat diberikan secara subkutan atau
intramuskularis (15 mg per oral setara dengan 1 mg subkutan/intramuskularis),
didahului dengan pemberian atropin 0,5-1,0 mg. Neostigmin dapat menginaktifkan
atau menghancurkan kolinesterase sehingga asetilkolin tidak segera dihancurkan.
Akibatnya aktifitas otot dapat dipulihkan mendekati normal, sedikitnya 80-90%
dari kekuatan dan daya tahan semula. Karena neostigmin cenderung paling mudah
menimbulkan efek muskarinik, maka obat ini dapat diberikan lebih dulu agar
pasien mengerti bagaimana sesungguhnya efek samping tersebut.
c.
Steroid
Kortikosteroid adalah agen anti-inflamasi dan imunomodulasi digunakan untuk
mengobati idiopatik dan gangguan autoimun. Obat ini termasuk di antara para agen
imunomodulasi yang pertama kali digunakan untuk mengobati MG dan masih
25
sering digunakan dan efektif. Obat ini biasanya digunakan dalam kasus sedang atau
berat yang tidak merespon terhadap AChE inhibitor dan thymectomy. Pengobatan
jangka panjang dengan kortikosteroid efektif dan dapat menyebabkan remisi atau
menyebabkan perbaikan pada kebanyakan pasien. Perburukan mungkin terjadi
awalnya, perbaikan klinis ditunjukkan setelah 2-4 minggu.Agen ini biasanya
diberikan lebih dari 1 atau 2 tahun. Remisi didapatkan 30% dan perbaikan
40%.Kortikosteroid bekerja di kedua MG baik ocular MG maupun MG
generalisata. Mereka dapat dikombinasikan dengan obat imunosupresif lainnya
untuk efek yang lebih baik dengan dosis lebih rendah dan durasi yang lebih
singkat.1
1.
Prednisone
Prednisone adalah kortikosteroid yang paling umum digunakan di Amerika
Serikat. Beberapa ahli percaya bahwa administrasi jangka panjang dari
prednison bermanfaat, tetapi yang lain menggunakan obat hanya selama
eksaserbasi akut untuk membatasi efek yang merugikan dari penggunaan
steroid lama. Prednisone efektif dalam mengurangi eksaserbasi MG dengan
menekan pembentukan autoantibodi. Namun, efek klinis sering tidak terlihat
selama beberapa minggu. Peningkatan signifikan, yang mungkin berhubungan
dengan titer antibodi menurun, biasanya terjadi pada 1-4 bulan.1
2.
Methylprednisolone
Methylprednisolone dapat digunakan pada pasien yang diintubasi dan pada
mereka tidak dapat mentoleransi asupan oral. Ini mengurangi inflamasi dengan
menekan migrasi sel polimorfonuklear (PMN) dan membalikkan peningkatan
permeabilitas kapiler.1
Di antara preparat steroid, prednisolon paling sesuai untuk miastenia gravis, dan
diberikan sekali sehari secara selang-seling (alternate days) untuk menghindari
efek samping. Dosis awalnya harus kecil (10 mg) dan dinaikkan secara bertahap
(5-10 mg/minggu) untuk menghindari eksaserbasi sebagaimana halnya apabila obat
dimulai dengan dosis tinggi. Peningkatan dosis sampai gejala-gejala terkontrol atau
dosis mencapai 120 mg secara selang-seling. Pada kasus yang berat, prednisolon
dapat diberikan dengan dosis awal yang tinggi, setiap hari, dengan memperhatikan
efek samping yang mungkin ada. Hal ini untuk dapat segera memperoleh perbaikan
klinis. Disarankan agar diberi tambahan preparat kalium. Apabila sudah ada
perbaikan klinis maka dosis diturunkan secara perlahan-lahan (5 mg/bulan) dengan
26
Imunosupresan
Azatioprin
Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang
baik, efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan terutama
berupa gangguan saluran cerna, peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat
ini diberikan dengan dosis 2,5 mg/kg BB selama 8 minggu pertama. Setiap
minggu harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati. Sesudah
itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali. Pemberian
prednisolon bersama-sama dengan azatioprin sangat dianjurkan. Karena efek
samping kortikosteroid, klinisi dan dokter seringkali menggunakan steroidsparing medications, misalnya: azathioprine, dengan dosis yang ditingkatkan
secara bertahap sampai 2-3 mg/KgBB/hari PO. Perbaikan maksimal dicapai
dalam waktu 1-2 tahun, karena kerja azathioprine yang lebih lambat daripada
kortikosteroid. Azathioprine digunakan bersama-sama dengan kortikosteroid,
bulan pertama terapi, lalu setiap bulan jika pasien sudah stabil).1
Imunoglobulin
27
autoimun.
Thimectomi
direkomendasikan
sebagai
pilihan
untuk
DAFTAR PUSTAKA
1. Goldenberg,
William.
Myasthenia
Gravis.
20
Januari
2012.
Diunduh
5. Keesey, John. Clinical Evaluation and Management of Myasthenia Gravis. Muscle& Nerve.
2004; 29:505-484.
6. Kumala P, Komala S, Santoso AH, Sulaiman JR, Rienita Y. Kamus saku Kedokteran Dorland.
25 ed.EGC. 1998: 723.
7. Burns et al. Myasthenia Gravis. In Netter`s Neurology2 nd Edition. 2012; 73: 684-702.
8. Drachman DB. Myasthenia Gravis and Other Diseases of The Neuromuscular Junction
Kasper. In: Braunwald, Fauci, Hauser, Longo, Jameson. Harrisons : Principle of Internal
Medicine 18th ed. McGraw Hill. 2012; 366: 2523-2518.
9. Burmester GR, Pezzutto A. Color Atlas of Immunology. 1sted. Thieme. 2003: 239-238
10. Myasthenia
Gravis
&Neuromuscular
Junction
(NMJ)
Disorders.
Diunduh
darihttp://neuromuscular.wustl.edu/synmg.html#acquiredmg, 07 Juni 2012.
11. Murray, R.K, Granner, D.K, Mayes, P.A.2008. Biokimia Harper: Dasar Biokimia Beberapa
Kelainan Neuropsikiatri. Edisi 29. EGC. Jakarta.
12. Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M., 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
30