MIASTENIA GRAVIS
OLEH:
MAHMUDAH
NO.BP: 1010313027
PRESEPTOR:
1. dr. Hj. Meiti Frida, Sp.S (K)
2. dr. Hendra Permana, Sp.S. M.Biomed
PERIODE:
7 MARET 2016-7 APRIL 2016
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................
DAFTAR ISI....................................................................................................
BAB 1 TINJAUAN PUSTAKA................................................................
1.1 Anatomi Neuromuscular Junction..................................................
1.2 Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular Junction...........................
1.3 Miastenia Gravis.............................................................................
1.3.1 Definisi Miastenia Gravis...........................................................
1.3.2 Klasifikasi Miastenia Gravis......................................................
1.3.3 Epidemiologi..............................................................................
1.3.4 Etiologi.......................................................................................
1.3.5 Patofisiologi...............................................................................
1.3.6 Manifestasi Klinis......................................................................
1.3.7 Diagnosis....................................................................................
1.3.8 Diagnosis Banding.....................................................................
1.3.9 Penatalaksanaan.........................................................................
1.3.10 Komplikasi dan Prognosis..........................................................
BAB 2
LAPORAN KASUS .....................................................................
2.1 Identitas Pasien ..............................................................................
2.2 Anamnesis ......................................................................................
2.3 Pemeriksaan Fisik...........................................................................
2.4 Pemeriksaan Laboratorium.............................................................
2.5 Pemeriksaan Penunjang .................................................................
2.6 Diagnosis........................................................................................
2.7 Penatalaksanaan...............................................................................
2.8 Prognosis.........................................................................................
BAB 3
DISKUSI .......................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
ii
iii
11
12
15
16
21
22
22
22
23
29
29
30
30
30
31
BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA
1.1.
berikut ini:
Asetil-KoA + Kolin Asetilkolin + KoA
2. Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikat-membran
yang disebut vesikel sinap dan disimpan di dalam vesikel ini.
3. Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan tahap
berikutnya. Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang melibatkan fusi
vesikel dengan membran presinaptik. Dalam keadaan istirahat, kuanta
tunggal (sekitar 10.000 molekul transmitter yang mungkin sesuai dengan
isi satu vesikel sinaps) akan dilepaskan secara spontan sehingga
menghasilkan potensial endplate miniature yang kecil. Kalau sebuah akhir
saraf mengalami depolarisasi akibat transmisi sebuah impuls saraf, proses
ini akan membuka saluran Ca2+ yang sensitif terhadap voltase listrik
sehingga memungkinkan aliran masuk Ca2+ dari ruang sinaps ke terminal
saraf. Ion Ca2+ ini memerankan peranan yang esensial dalam eksositosis
yang melepaskan asetilkolin (isi kurang lebih 125 vesikel) ke dalam
rongga sinaps.
4. Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah
sinaps ke dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold),
merupakan bagian yang menonjol dari motor end plate yang mengandung
reseptor asetilkolin (AChR) dengan kerapatan yang tinggi dan sangat rapat
dengan terminal saraf. Kalau 2 molekul asetilkolin terikat pada sebuah
reseptor, maka reseptor ini akan mengalami perubahan bentuk dengan
membuka saluran dalam reseptor yang memungkinkan aliran kation
melintasi membran. Masuknya ion Na+ akan menimbulkan depolarisasi
membran otot sehingga terbentuk potensial end plate. Keadaan ini
3
Miastenia Gravis
1.3.1
akan pulih kekuatannya setelah beberapa saat yaitu dari beberapa menit
sampai beberapa jam.4
Kata miastenia gravis, menurut Bahasa latin dan Yunani berarti grave
muscle weakness. Tetapi jika diberikan terapi secara tepat, penderita
miastenia gravis tidak berakhir dengan kematian sesuai dengan implikasi
namanya yaitu kuburan.5 Jolly (1895) adalah orang yang pertama kali
menggunakan istilah miastenia gravis dan ia juga yang mengusulkan
pemakaian fisostigmin sebagai obatnya namun tidak berlanjut. Kemudian
Remen (1932) dan Walker (1934) menyatakan bahwa fisostigmin merupakan
obat yang baik untuk miastenia gravis.4
1.3.2
IV
IVa
IVb
terdapat
keadaan
yang
berkembang
menjadi
Hal ini merupakan keadaan darurat medik. Krisis miastenia dapat terjadi pada
penderita golongan III yang kebal terhadap obat-obat antikolinesterase yang
pada saat yang sama menderita infeksi lain. Keadaan lain yang berkembang
menjadi kelumpuhan otot-otot pernafasan adalah disebabkan oleh banyaknya
dosis pengobatan dengan antikolinesterase yang disebut krisis kolinergik. Ada
beberapa faktor yang mempengaruhi perjalanan penyakit ini, penderita akan
bertambah lemah pada waktu menderita demam, pada golongan III biasanya
akan terjadi krisis miastenia pada waktu adanya infeksi saluran nafas bagian
atas, pada kebanyakan wanita akan terjadi peningkatan kelemahan pada saat
menstruasi.4
1.3.3
Epidemiologi
Di Amerika serikat, miastenia gravis jarang ditemukan. Kejadiannya
sekitar 2 dari 1.000.000 penduduk per tahun. Prevalensinya berkisar antara 0,5
14,2 kasus per 100.000 penduduk. Angka kejadian miastenia gravis
meningkat sejak 2 dekade terakhir. Hal ini disebabkan oleh peningkatan umur
pasien miastenia gravis dan karena diagnosis miastenia gravis yang dilakukan
lebih awal.6,7
Tingkat keparahan penyakit miastenia gravis dikelompokkan menjadi
dua yaitu miastenia gravis umum dan ocular. 20 25% pasien hanya
mengalami kelemahan pada otot ocular. Pada pasien miastenia gravis umum,
84,8% ditemukan antibody terhadap reseptor asetilkolin (AchR) dan hanya
14,3% pada pasien yang hanya terkena otot ocular.7 Miastenia gravis dapat
mengenai segala umur. Puncak kejadian pada perempuan pada usia dekade ke
3 kehidupan, sedangkan pada laki-laki pada usia 6 7 dekade kehidupan. Usia
rata-rata adalah 28 tahun pada perempuan dan 42 tahun pada laki-laki.6
Dapat terjadi transient neonatal miastenia gravis pada bayi yang
dilahirkan oleh perempuan yang memiliki antibodi terhadap AchR. Sekitar
10-20% ditemukan kejadian neonatus yang dilahirkan oleh ibu yang memiliki
antibodi terhadap AchR yang mengalami miastenia gravis.6
1.3.4
Etiologi
seperti
tirotoksikosis,
halnya
pada
miksedema,
penderita
lupus
penyakit Addison
eritematosus
dan
anemia
sistemik,
hemolitik
maka akan memicu timbulnya potensial aksi, yang bergerak sepanjang serat
otot untuk menghasilkan kontraksi.10
Pada miastenia gravis, ada pengurangan jumlah AchRs yang tersedia
di motor end plate atau mendatarnya lipatan pada membran postsinaptik yang
menyebabkan pengurangan jumlah reseptor pada motor end plates, sehingga
depolarisasi yang terjadi pada motor end plate lebih sedikit dan tidak
terkumpul menjadi potensial aksi. Hasilnya adalah sebuah transmisi
neuromuskuler yang tidak efisien. Tiga mekanisme yang didapatkan dari
penelitian antara lain: auto antibodies terhadap reseptor AChR dan
menginduksi endositosis, sehingga terjadi deplesi AChR pada membran
postsinaptik,
autoantibodi
sendiri
menyebabkan
gangguan
fungsi
menyebabkan
kerusakan
pada
motor
endplates
sehingga
Manifestasi Klinis
Gambaran klinis miastenia gravis sangat jelas yaitu dari kelemahan
lokal yang ringan sampai pada kelemahan tubuh secara menyeluruh yang
fatal. 33% kasus hanya terdapat gejala kelainan otot ocular disertai dengan
kelemahan otot lainnya. Kelemahan ekstremitas tanpa disertai dengan
kelemahan otot ocular jarang terjadi, hanya sekitar 15%.selebihnya (sekitar
20% kasus) didapatkan mengalami kesulitan menelan dan mengunyah.4
10
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis yang seksama dan
pemeriksaan fisik sederhana untuk menilai berkurangnya kekuatan otot
setelah aktivitas ringan tertentu, kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan
farmakologik yaitu tes endrofonium atau tes neostigmin. dapat juga dilakukan
pemeriksaan penunjang lain seperti electromyography (EMG) dan rontgen
thoraks.4
11
1. Anamnesis
Perlu ditanyakan adanya gejala yang khas pada penderita miastenia
gravis yaitu berupa kelemahan otot yang bersifat fluktuatif. Kelemahan akan
terasa pada saat beraktivitas dan membaik setelah istirahat. 11 Pada pasien
dengan miastenia gravis ocular penting ditanyakan mengenai gejala klasik
pada pasien miastenia gravis tipe ocular yaitu gejala diplopia saat sore hari
dan menghilang pada pagi hari. Serta ptosis dan suara yang semakin lama
semakin mengecil jika pasien berbicara dalam waktu yang cukup lama.4
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan berdasarkan pada kelelahan otot-otot
yang terkena. Caranya antara lain:4
a. Meminta pasien untuk melihat objek di atas level bola mata akan timbul ptosis
pada miastenia ocular.
b. Mengangkat lengan akan mengakibatkan jatuhnya lengan bila otot-otot bahu
terkena.
c. Pada kasus-kasus bulbar, pasien diminta untuk menghitung dari angka 1
sampai 100, maka volume suara akan menghilang atau timbul disartria.
d. Sulit menelan barium bila terdapat gejala disfagia.
3. Pemeriksaan farmakologi
Pemeriksaan farmakologi yang dapat dilakukan untuk menegakkan
diagnosis miastenia gravis yaitu:
ini
dapat
digunakan
untuk
13
Percent Positive
24
55
80
100
100
89
anti-AChR
Ab
negatif (miastenia
gravis
seronegarif),
dilakukan
dalam
posisi
14
Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari penyakit miastenia gravis antara lain:2
1.
2.
3.
4.
Tirotoksikosis.
Lupus eritematosus.
Sindrom Fischer.
Sindroma Eaton-Lambert,
ditemukan
gejala-gejala
miastenia
gravis.
Disamping itu akan tampak pula adanya suatu small cell bronchus
carcinoma.14
5. Bila tampak ada ptosis atau strabismus maka hendaknyalah kita ingat akan
kemungkinan adanya lesi N.III yang dpat ditimbulkan oleh :
a. Meningitis basalis (tuberkulosa atau leutika).
b. Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring.
c. Aneurisma di sirkulus arteriosus willisii.
d. Paralisis pasca difteri.
e. Pseudoptosis pada trakhoma.
1.3.9
Penatalaksanaan
15
obat-obat
menghambat
kolinesterase
yang
kerjanya
menghancurkan
16
17
memasuki
atau
sedang
mengalami
masa
krisis.
PE
dapat
18
muncul sekitar 3-4 hari setelah memulai terapi. IVIG diindikasikan pada
pasien yang juga menggunakan terapi PE, karena kedua terapi ini memiliki
onset yang cepat dengan durasi yang hanya beberapa minggu.
Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama,
dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki
keuntungan klinis berupa penurunan level anti-asetilkolin reseptor yang
dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan pemasangan infus. Efek
samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah nyeri kepala yang
hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus, sehingga tetesan infus
menjadi lebih lambat. Flulike symdrome seperti demam, menggigil, mual,
muntah, sakit kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24 jam pertama.
Pengobatan Farmakologi Jangka Panjang
1.
Kortikosteroid
Respon terhadap pengobatan kortikosteroid mulai tampak dalam
waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi. Durasi kerja kortikosteroid dapat
berlangsung hingga 18 bulan, dengan rata-rata selama 3 bulan. Kortikosteroid
memiliki efek yang kompleks terhadap sistem imun dan efek terapi yang
pasti terhadap miastenia gravis masih belum diketahui. Kortikosteroid
diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T helper dan pada fase
proliferasi dari sel B.
Sel T serta antigen-presenting cell yang teraktivasi diperkirakan
memiliki peran yang menguntungkan dalam memposisikan kortikosteroid di
tempat kelainan imun pada miastenia gravis. Pasien yang berespon terhadap
kortikosteroid akan mengalami penurunan dari titer antibodinya.
Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang
sangat mengganggu, yang tidak dapat dikontrol dengan antikolinesterase.
Dosis maksimal penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian
19
Azathioprine
Azathioprine digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara
dibandingkan
dengan
obat
imunosupresif
lainnya.
Respon
Azathioprine sangant lambat, dengan respon maksimal didapatkan dalam 1236 bulan. Kekambuhan dilaporkan terjadi pada sekitar 50% kasus, kecuali
penggunaannya juga dikombinasikan dengan obat imunomodulasi yang lain.
3.
Cyclosporine
Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2
dari sel T-helper. Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek
pada produksi antibodi. Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5
mg/kgbb/hari terbagi dalam dua atau tiga dosis. Respon terhadap
Cyclosporine lebih cepat dibandingkan azathioprine. Cyclosporine dapat
menimbulkan efek samping berupa nefrotoksisitas dan hipertensi.
Terapi pembedahan yang dapat dilakukan pada pasien miastenia gravis
adalah operasi timektomi. Tindakan ini diindikasikan pada penderita-penderita
20
wanita muda dengan riwayat yang kurang dari 5 tahun menderita miastenia
gravis. Prognosis pada kelompok ini biasanya jelek. Pada wanita muda tanpa
timoma kira-kira 80%-90% penderita akan membaik atau akan terjadi remisi
yang sempurna dalam beberapa tahun. Persiapan yang harus dilakukan
sebelum tindakan timektomi antara lain:
1. Terapi antikolinesterase dengan neostigmin atau piridostigmin yang
optimal dilanjutkan sampai saat operasi.
2. Harus dilakukan tes fungsi paru, bila kapasitas vital sangat menurun maka
harus dilakuka trakeotomi pada saat dilakukan timektomi supaya bantuan
respirasi dapat diberikan pada saat pascabedah.
3. Pada pascabedah, terapi antikolinesterase dimulai dengan memberikan
dosis rendah dn disesuaikan dnegan kebutuhan penderita.
Secara umum, kebanyakan pasien mulai mengalami perbaikan dalam
waktu satu tahun setelah thymektomi dan tidak sedikit yang menunjukkan
remisi yang permanen (tidak ada lagi kelemahan serta obat-obatan). Beberapa
ahli percaya besarnya angka remisi setelah pembedahan adalah antara 20-40%
tergantung dari jenis thymektomi yang dilakukan. Ahli lainnya percaya bahwa
remisi yang tergantung dari semakin banyaknya prosedur ekstensif adalah
antara 40-60% lima hingga sepuluh tahu setelah pembedahan.
1.3.10 Komplikasi dan Prognosis
Tanpa pengobatan angka kematian miastenia gravis adalah 25-31%.
Miastenia gravis yang mendapat pengobatan, angka kematian 4%. Kasus yang
hanya mengalami gejala okuler sebesar 40%. miastenia gravis okuler >50%
berkembang menjadi miastenia gravis umum dalam waktu satu tahun, remisi
spontan <10%. Sekitar 15-17% pasien akan tetap mengalami gejala okular
selama masa tindak lanjut rata-rata hingga 17 tahun. Pasien-pasien ini disebut
sebagai miastenia gravis okular. Sisanya mengembangkan kelemahan umum
dan disebut sebagai miastenia gravis generalisata. Sebuah studi dari 37 pasien
miastenia gravis dengan timoma memiliki gejala yang lebih buruk.6
21
BAB 2
LAPORAN KASUS
2.1
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny.R.M
Jenis kelamin
: Perempuan
Umur
: 31 tahun
Alamat
: Pesisir selatan
Pekerjaan
Agama
: Islam
ANAMNESIS
Seorang pasien perempuan, umur 31 tahun, dirawat di bangsal saraf
RSUP Dr.M.Djamil Padang pada tanggal 17 Maret 2016 dengan:
Auto anamnesis
Keluhan Utama :
Susah menelan
Riwayat Penyakit Sekarang :
-
Susah menelan sejak 1 minggu yang lalu. Pasien sulit menelan makanan
lunak seperti bubur, namun masih dapat menelan makanan cair. Keluhan
dirasakan fluktuatif. Keluhan muncul jika pasien merasa kelelahan dan
banyak beraktifitas. Keluhan dirasakan membaik di pagi hari, setelah
22
Keluhan ini sudah dirasakan sejak 3 tahun yang lalu. Awalnya pasien
merasa kesulitan menelan, kemudian suaranya menjadi semakin kecil
jika pasien kelelahan. Keluhan membaik bila pasien beristirahat, namun
muncul lagi jika pasien beraktivitas berat. Keluhan yang kedua kali
disertai dengan sesak nafas sehingga pasien harus dirawat di ICU RSUP
Dr.M.Djamil Padang dan dilakukan trakeostomi. Saat itu pasien rutin
PEMERIKSAAN FISIK
Status generalis:
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran
Tekanan Darah
: 120/80 mmHg
Nadi
Nafas
Suhu
: 36,8 oC
Keadaan gizi
: baik
Tinggi Badan
: 158 cm
Berat Badan
: 54 kg
Status Internus:
Rambut
23
Leher
Aksila
Inguinal
Kepala
Mata
Hidung
Telinga
Leher
Paru
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: sonor.
Auskultasi
Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: timpani.
: (-)
Tanda Kernig
: (-)
Brudzinski I
: (-)
Tanda Laseque
: (-)
Brudzinki II
: (-)
Pupil
Kanan
Kiri
baik
baik
Tidak dilakukan pemeriksaan
N.II (Optikus)
Penglihatan
Tajam Penglihatan
Lapangan Pandang
Melihat warna
Funduskopi
Kanan
Kiri
5/5
5/5
baik
baik
baik
baik
Tidak dilakukan pemeriksaan
N.III (Okulomotorius)
Bola Mata
Ptosis
Gerakan Bulbus
Strabismus
Nistagmus
Ekso/Endopthalmus
Pupil
- Bentuk
- Refleks Cahaya
- Refleks Akomodasi
- Refleks Konvergensi
Kanan
Bulat
Tidak ada
Bebas
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Kiri
Bulat
Tidak ada
Bebas
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Bulat
(+)
(+)
(+)
Bulat
(+)
(+)
(+)
Kanan
+
Ortho
Tidak ada
Kiri
+
Ortho
Tidak ada
Kanan
+
Kiri
+
N. IV (Troklearis)
Gerakan mata ke bawah
Sikap bulbus
Diplopia
N. VI (Abdusens)
Gerakan mata ke lateral
25
Sikap bulbus
Diplopia
Ortho
Tidak ada
Ortho
Tidak ada
Kanan
Kiri
N. V (Trigeminus)
Motorik
Membuka mulut
Menggerakan rahang
Menggigit
Mengunyah
Sensorik
- Divisi Opthalmika
Refleks Kornea
Sensibilitas
- Divisi Maksila
Refleks Masseter
Sensibilitas
- Divisi Mandibula
Sensibilitas
+
+
+
+
Baik
Dalam batas normal
+
+
+
+
Dalam batas normal
+
+
+
+
Dalam batas normal
N. VII (Fasialis)
Raut wajah
Sekresi air mata
Fisura palpebra
Menggerakan dahi
Menutup mata
Mencibir/bersiul
Memperlihatkan gigi
Sensasi lidah 2/3 depan
Hiperakusis
Kanan
Plika nasolabialis simetris
+
+
Simetris
+
+
+
Baik
Tidak ada
Kiri
Plika nasolabialis simetris
+
+
Simetris
+
+
+
Baik
Tidak ada
Kanan
+
+
Normal
Normal
Sama dengan pemeriksa
Tidak ada
Kiri
+
+
Normal
Normal
Sama dengan pemeriksa
Tidak ada
N. VIII (Vestibularis)
Suara berbisik
Detik Arloji
Rinne test
Weber test
Scwabach
- Memanjang
- Memendek
Nistagmus
26
- Pendular
- Vertikal
- Siklikal
Pengaruh posisi kepala
Tidak ada
Tidak ada
N.IX (Glosofaringeus)
Sensasi Lidah 1/3 belakang
Refleks muntah /gag refleks
Kanan
Baik
+
Kiri
baik
+
Kanan
Simetris
Kiri
Simetris
N.X (Vagus)
Arkus faring
Uvula
Menelan
Artikulasi
Suara
Nadi
Di tengah
+, menurun
+, menurun
Jelas
+
Teraba kuat, teratur
N. XI (Asesorius)
Kanan
+
+
+
+
Menoleh ke kanan
Menoleh ke kiri
Mengangkat bahu ke kanan
Mengangkat bahu ke kiri
Kiri
+
+
+
+
N. XII (Hipoglosus)
Kanan
Kedudukan lidah dalam
Kedudukan lidah dijulurkan
Tremor
Fasikulasi
Atropi
Kiri
Ditengah
Ditengah
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
4. Pemeriksaan Koordinasi
Cara Berjalan
Normogait
Romberg test
Ataksia
Rebound Phenomen
Tes Tumit Lutut
-
Disarthia
Disgrafia
Supinasi-pronasi
Test jari hidung
Test hidung jari
27
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak terganggu
Tidak terganggu
Tidak terganggu
A. Badan
Respirasi
Duduk
B.Berdiri dan berjalan
Gerakan spontan
Tremor
Atetosis
Mioklonik
Khorea
C.Ekstermitas
Superior
Kanan
Kiri
Gerakan
Aktif
Aktif
Kekuatan
555
555
Tropi
Eutropi
Eutropi
Tonus
Eutonus Eutonus
Torakoabdominal
+
+
+
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Inferior
Kanan
Kiri
aktif
Aktif
555
555
Eutropi
Eutropi
Eutonus
Eutonus
6. Pemeriksaan Sensibilitas
Kanan
Sensibilitas taktil Tangan dan kaki berkurang
Sensibilitas nyeri Tangan dan kaki berkurang
Sensibilitas
Tangan dan kaki berkurang
termis
Stereognosis
Berkurang
Berkurang
Pengenalan 2 titik Tangan dan kaki berkurang
7. Sistem Refleks
A. Fisiologis
Kornea
Berbangkis
Laring
Masseter
B. Patologis
Lengan
Hofmann Tromner
Kana
n
+
-
Kir
i
+
-
+
+
Kana
n
+
+
Kir
i
8. Fungsi Otonom
28
Kiri
Tangan dan kaki berkurang
Tangan dan kaki berkurang
Tangan dan kaki berkurang
Berkurang
Berkurang
Tangan dan kaki berkurang
Biseps
Triseps
KPR
APR
Tungkai
Babinski
Chaddoks
Oppenheim
Gordon
Schaeffer
Kana
n
++
++
Kiri
++
++
Kana
n
++
++
Kiri
++
++
Tanda Demensia
Refleks glabela
Refleks Snout
Refleks Menghisap
Refleks Memegang
Refleks palmomental
+
+
+
PEMERIKSAAN LABORATORIUM :
Darah rutin:
-
Hemoglobin: 11 gr/dl
Hematokrit: 33%
Leukosit : 12.700/mm3
Trombosit
: 205.000/mm3
Kesan: leukositosis
Kimia klinik:
-
Ureum: 25 mg/dl
Kreatinin: 0,8 mg/dl
Natrium: 138 mmol/L
Kalium:3,8 mmol/L
Chlorida: 105 mmol/L
Kalsium: 9,7 mg/dl.
Kesan: dalam batas normal
2.5
PEMERIKSAAN PENUNJANG :
a. EKG
b. EMG
2.6
2.7
DIAGNOSIS
Diagnosa Klinis
Diagnosa Topik
: Neuromuscular junction
Diagnosa Etiologi
: autoimun
PENATALAKSANAAN :
29
a. Terapi umum:
- IVFD Ringer Laktat 12 jam/kolf.
- NGT
b. Terapi khusus:
- Mestinon 4x60 mg (p.o)
- Metil prednisolone 4x125 mg (i.v) tap off.
- Ranitidin 2x50 mg (i.v)
2.8
PROGNOSIS
-
BAB 3
DISKUSI
Seorang pasien perempuan, umur 31 tahun, dirawat dibangsal saraf RSUP
Dr.M.Djamil Padang dengan diagnosis miastenia gravis grade IIb. Dari anamnesis
didapatkan keluhan utama sulit menelan. Riwayat penyakit sekarang didapatkan
informasi bahwa susah menelan sudah dirasakan sejak 1 minggu yang lalu. Pasien
30
sulit menelan makanan lunak seperti bubur, namun masih dapat menelan makanan
cair. Keluhan dirasakan fluktuatif. Keluhan muncul jika pasien merasa kelelahan dan
banyak beraktifitas. Keluhan dirasakan membaik di pagi hari, setelah bangun tidur
dan setelah beristirahat. Keluhan disertai dengan suara yang semakin lama semakin
mengecil, terutama jika pasien banyak berbicara. Kelopak mata dirasakan semakin
bertambah berat dan tampak jatuh di sore hari. Akibat keluhan ini pasien lebih banyak
beristirahat.
Gejala yang dialami pada pasien dalam kasus ini khas ditemukan pasien
dengan miastenia gravis dimana pada penderita miastenia gravis tipe ocular dapat
ditemukan adanya diplopia ataupun ptosis yang timbul pada sore hari atau pada
waktu magrib dan menghilang pada waktu pagi harinya. Bila otot-otot bulbar terkena,
suaranya menjadi suara basal yang cenderung berfluktuasi dan suara akan memburuk
bila percakapan berlangsung terus. Pada kasus yang berat akan terjadi afoni temporer.
Adanya kelemahan rahang yang progresif pada waktu mengunyah dan penderita
sering kali menunjang rahangnya dengan tangan saat mengunyah. Keluhan lain
adalah adanya disfagia dan regurgitasi makanan sewaktu makan.4
Gejala kelemahan miastenia gravis sangat khas dimana kelemahan tersebut
bersifat fluktuatif. Kelemahan akan meningkat apabila sedang beraktivitas. Penderita
akan merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan kelemahan ini akan berkurang
apabila penderita beristirahat.13
Dari pemeriksaan fisik ditemukan pada tes watenberg terganggu dan tes
berhitung juga terganggu. Pada pemeriksaan nervus kranialis ditemukan adanya
parese N.IX dan X dimana reflek menelan menurun. Oleh karena itu pasien harus
dipasang NGT untuk mencegah terjadinya aspirasi jika pasien makan dan agar
kebutuhan nutrisi pasien dapat terpenuhi dengan baik.
Pada kasus ini, pasien mendapat terapi mestinon 4x60 mg (p.o), metil
prednisolon 4x125 mg (i.v) tap off dan ranitidin 2x50 mg (i.v). Mestinon adalah
obat yang mengandung pyridostigmin bromide. Obat ini adalah kolinesterase
inhibitor. Bekerja menghambat destruksi asetilkolin oleh kolinesterase. Mestinon
adalah analog dari neostigmine. Tetapi para klinisi lebih memilih menggunakan
31
mestinon karena waktu paruhnya lebih lama dibandingkan dengan neostigmine dan
efek samping terhadap saluran cernanya lebih rendah.
Pasien ini juga mendapatkan metilprednisolon 4x125 mg (tap off). Hal ini
dikarenakan pasien ini tidak memberikan respon perbaikan yang cukup signifikan
dengan terapi yang didapatkannya sebelumnya yaitu dengan mestinon 4x60 mg.
Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang sangat
mengganggu, yang tidak dapat dikontrol dengan antikolinesterase.
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Snell, Richard S., 2007. Neuro Anatomi Klinik ed. 5. EGC. Jakarta.
2. Murray, R.K, Granner, D.K, Mayes, P.A.2008. Biokimia Harper: Dasar Biokimia
Beberapa Kelainan Neuropsikiatri. Edisi 29. EGC. Jakarta.
3. Audrey S.P dan Lewis P.R. Disorder of neuromuscular junction. Dalam