Anda di halaman 1dari 26

Case Report Session

MIASTENIA GRAVIS

OLEH

Tri Furqanawanti 1840312214

PRESEPTOR
dr. Restu Susanti, Sp.S, M. Biomed

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2019
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Miastenia Gravis merupakan Penyakit autoimun pada neuromuscular
junction yang disebabkan oleh antibodi yang menyerang komponen membran post
sinaps, sehingga mengganggu transmisi neuromuskular.1,2
Prevalensi penyakit miastenia gravis di United States yaitu sebesar 14-20
per 100.000 penduduk. Diperkirakan sekitar 36.000-60.000 kasus di Amerika
Serikat. Walapun sebenarnya miastenia gravis ini sering terdiagnosa sehingga
prevalensinya seharusnya lebih tinggi. Penelitian sebelumnya menunjukkan
bahwa laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Usia tersering mengenai
penyakit ini adalah decade kedua dan ketiga pada perempuan dan decade ketujuh
dan kedelapan pada laki-laki. Namun sekarang laki-laki lebih sering terkena
penyakit ini daripada perempuan dan biasanya pada onset 50 tahun.3

1.2 Batasan Masalah


Batasan masalah dalam penulisan case report ini adalah definisi,
epidemiologi, etiologi, patofisiologi, klasifikasi, manifestasi klinis, diagnosis,
diagnosis banding, tatalaksana, dan prognosis dari miastenia gravis.

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan case report ini adalah sebagai salah satu syarat dalam
menjalani kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Saraf di RSUP Dr. M.
Djamil Padang dan sebagai bahan referensi untuk menambah wawasan penulis
mengenai miastenia gravis.

1.4 Metode Penulisan


Metode penulisan pada Case report ini adalah tinjauan pustaka yang
merujuk pada berbagai literatur.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Neuromuscular Junction


Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang
anatomi dan fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting.
Tiap-tiap serat saraf secara normal bercabang beberapa kali dan merangsang
tiga hingga beberapa ratus serat otot rangka. Ujung-ujung saraf membuat suatu
sambungan yang disebut neuromuscular junction atau sambungan
neuromuskular.1
Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang
disebut terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di
sepanjang serat saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post
sinaptik (membran otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian
pembentuk neuromuscular junction.1

Gambar 1 neuromuscular junction normal 6


Gambar 2 Reseptor asetilkolin
6
1.2. Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular Junction
Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan
membran post sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nanometer dan terisi
oleh suatu lamina basalis, yang merupakan lapisan tipis dengan serat retikular
seperti busa yang dapat dilalui oleh cairan ekstraselular secara difusi.1,2
Terminal presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya berisi
asetilkolin (ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian terminal
namun dengan cepat diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil,
yang dalam keadaan normal terdapat di bagian terminal suatu lempeng akhir
motorik (motor end plate).1,2
Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125
kantong asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps. Bila
potensial aksi menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-ion
kalsium ke bagian dalam terminal. Ion-ion kalsium ini kemudian diduga
mempunyai pengaruh tarikan terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel akan
bersatu ke membran saraf dan mengeluarkan asetilkolinnya ke dalam
celah sinaps. Asetilkolin yang dilepaskan berdifusi sepanjang sinaps dan
berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChRs) pada membran post sinaptik.1,2
Secara biokimiawi keseluruhan proses pada neuromuscular junction
dianggap berlangsung dalam 6 tahap, yaitu:2
1. Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan
menggunakan enzim kolin asetiltransferase yang mengkatalisasi reaksi
berikut ini:

Asetil-KoA + Kolin à Asetilkolin + KoA

2. Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikat-membran


yang disebut vesikel sinap dan disimpan di dalam vesikel ini.
3. Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan tahap
berikutnya. Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang melibatkan fusi
vesikel dengan membran presinaptik. Dalam keadaan istirahat, kuanta
tunggal (sekitar 10.000 molekul transmitter yang mungkin sesuai dengan
isi satu vesikel sinaps) akan dilepaskan secara spontan sehingga
menghasilkan potensial endplate miniature yang kecil. Kalau sebuah akhir
saraf mengalami depolarisasi akibat transmisi sebuah impuls saraf, proses

ini akan membuka saluran Ca2+ yang sensitif terhadap voltase listrik
sehingga memungkinkan aliran masuk Ca2+ dari ruang sinaps ke terminal
saraf. Ion Ca2+ ini memerankan peranan yang esensial dalam eksositosis
yang melepaskan asetilkolin (isi kurang lebih 125 vesikel) ke dalam rongga
sinaps.
4. Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah sinaps
ke dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold), merupakan bagian
yang menonjol dari motor end plate yang mengandung reseptor asetilkolin
(AChR) dengan kerapatan yang tinggi dan sangat rapat dengan terminal saraf.
Kalau 2 molekul asetilkolin terikat pada sebuah reseptor, maka reseptor ini
akan mengalami perubahan bentuk dengan membuka saluran dalam reseptor
yang memungkinkan aliran kation melintasi
membran. Masuknya ion Na+ akan menimbulkan depolarisasi membran
otot sehingga terbentuk potensial end plate. Keadaan ini selanjutnya akan
menimbulkan depolarisasi membran otot di dekatnya dan terjadi potensial
aksi yang ditransmisikan disepanjang serabut saraf sehingga timbul
kontraksi otot.
5. Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis
oleh enzim asetilkolinesterase yang mengkatalisasi reaksi berikut:

Asetilkolin + H2O à Asetat + Kolin

Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam lamina
basalis rongga sinaps.
6. Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme transport
aktif di mana protein tersebut dapat digunakan kembali bagi sintesis
asetilkolin.

Setiap reseptor asetilkolin merupakan kompleks protein besar dengan


saluran yang akan segera terbuka setelah melekatnya asetilkolin. Kompleks ini
terdiri dari 5 protein subunit, yatiu 2 protein alfa, dan masing-masing satu
protein beta, delta, dan gamma. Melekatnya asetilkolin memungkinkan natrium
dapat bergerak secara mudah melewati saluran tersebut, sehingga akan terjadi
depolarisasi parsial dari membran post sinaptik. Peristiwa ini akan
menyebabkan suatu perubahan potensial setempat pada membran serat otot
yang disebut excitatory postsynaptic potential (potensial lempeng akhir).
Apabila pembukaan gerbang natrium telah mencukupi, maka akan terjadi suatu
potensial aksi pada membran otot yang selanjutnya menyebabkan kontraksi
otot.2
1.3 Miastenia Gravis
1.3.1 Definisi Miastenia Gravis
Miastenia gravis (MG) adalah penyakit yang disebabkan oleh defek
pada transmisi neuromuscular yang dimediasi oleh antibodi (autoimun) pada
reseptor nikotinik asetilkolin (Ach) di neuromuscular junction. Penyakit ini
ditandai dengan kelemahan yang fluktuatif. Penyakit ini ditandai dengan
kelemahan atau kelumpuhan otot-otot lurik setelah melakukan aktivitas, dan
akan pulih kekuatannya setelah beberapa saat yaitu dari beberapa menit
sampai beberapa jam.4
Kata miastenia gravis, menurut Bahasa latin dan Yunani berarti “grave
muscle weakness”. Tetapi jika diberikan terapi secara tepat, penderita miastenia
gravis tidak berakhir dengan kematian sesuai dengan implikasi namanya yaitu
“kuburan”.5 Jolly (1895) adalah orang yang pertama kali menggunakan istilah
miastenia gravis dan ia juga yang mengusulkan pemakaian fisostigmin sebagai
obatnya namun tidak berlanjut. Kemudian Remen (1932) dan Walker (1934)
menyatakan bahwa fisostigmin merupakan obat yang baik untuk miastenia
gravis.4
1.3.2 Klasifikasi Miastenia Gravis
Miastenia Gravis Foundation of America Clinical mengklasifikasikan
miastenia gravis menjadi 5 yaitu:6
Tabel 1 Klasifikasi miastenia gravis menurut Miastenia Gravis Foundation of
America Clinical.6
Derajat Gejala
I Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat
menutup mata, dan kekuatan otot-otot lain normal
II Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta
adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular
IIa Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau
keduanya. Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal
yang ringan
IIb Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau
keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-
otot aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa
III Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular.
Sedangkan otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami
kelemahan tingkat sedang
IIIa Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau
keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot
orofaringeal yang ringan
IIIb Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau
keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot
anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dalam derajat
ringan
IV Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan
dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular
mengalami kelemahan dalam berbagai derajat
IVa Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh
dan atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami
kelemahan dalam derajat ringan
IVb Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau
keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat
kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau
keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan
feeding tube tanpa dilakukan intubasi
V Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik

Untuk menentukan prognosis dan pengobatannya, penderita miastenia


gravis dibagi atas 4 golongan yaitu antara lain :4
Golongan I : Miastenia Okular
Pada kelompok ini terdapat gangguan pada satu atau beberapa otot
okular yang menyebabkan timbulnya gejala ptosis dan diplopia, seringkali
ptosis unilateral. Bentuk ini biasanya ringan akan tetapi seringkali resisten
terhadap pengobatan.4
Golongan II : Miastenia bentuk umum yang ringan
Timbulnya gejala perlahan-lahan dimulai dengan gejala okular yang
kemudian menyebar mengenai wajah, anggota badan dan otot-otot bulbar.
Otot- otot respirasi biasanya tidak terkena. Perkembangan ke arah golongan III
dapat terjadi dalam dua tahun pertama dari timbulnya penyakit miastenia
gravis.4
Golongan III : Miastenia bentuk umum yang berat
Pada kasus ini timbulnya gejala biasanya cepat, dimulai dari gangguan
otot okular, anggota badan dan kemudian otot pernafasan. Kasus-kasus yang
mempunyai reaksi yang buruk terhadap terapi antikolinesterase berada dalam
keadaan bahaya dan akan berkembang menjadi krisis miastenia.4
Golongan IV : Krisis miastenia
Kadang-kadang terdapat keadaan yang berkembang menjadi kelemahan
otot yang menyeluruh disertai dengan paralisis otot pernafasan. Hal ini
merupakan keadaan darurat medik. Krisis miastenia dapat terjadi pada
penderita golongan III yang kebal terhadap obat-obat antikolinesterase yang
pada saat yang sama menderita infeksi lain. Keadaan lain yang berkembang
menjadi kelumpuhan otot-otot pernafasan adalah disebabkan oleh banyaknya
dosis pengobatan dengan antikolinesterase yang disebut krisis kolinergik. Ada
beberapa faktor yang mempengaruhi perjalanan penyakit ini, penderita akan
bertambah lemah pada waktu menderita demam, pada golongan III biasanya
akan terjadi krisis miastenia pada waktu adanya infeksi saluran nafas bagian
atas, pada kebanyakan wanita akan terjadi peningkatan kelemahan pada saat
menstruasi.4
1.3.3 Epidemiologi
Di Amerika serikat, miastenia gravis jarang ditemukan. Kejadiannya
sekitar 2 dari 1.000.000 penduduk per tahun. Prevalensinya berkisar antara 0,5
– 14,2 kasus per 100.000 penduduk. Angka kejadian miastenia gravis
meningkat sejak 2 dekade terakhir. Hal ini disebabkan oleh peningkatan umur
pasien miastenia gravis dan karena diagnosis miastenia gravis yang dilakukan

lebih awal.6,7
Tingkat keparahan penyakit miastenia gravis dikelompokkan menjadi dua
yaitu miastenia gravis umum dan ocular. 20 – 25% pasien hanya mengalami
kelemahan pada otot ocular. Pada pasien miastenia gravis umum, 84,8% ditemukan
antibody terhadap reseptor asetilkolin (AchR) dan hanya 14,3%

pada pasien yang hanya terkena otot ocular.7 Miastenia gravis dapat mengenai
segala umur. Puncak kejadian pada perempuan pada usia dekade ke 3
kehidupan, sedangkan pada laki-laki pada usia 6 – 7 dekade kehidupan. Usia
rata-rata adalah 28 tahun pada perempuan dan 42 tahun pada laki-laki.6 Dapat
terjadi transient neonatal miastenia gravis pada bayi yang
dilahirkan oleh perempuan yang memiliki antibodi terhadap AchR. Sekitar 10-
20% ditemukan kejadian neonatus yang dilahirkan oleh ibu yang memiliki
antibodi terhadap AchR yang mengalami miastenia gravis.6
1.3.4 Etiologi
Miastenia gravis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh autoimun.
Penyakit ini berhubungan dengan penyakit lain yaitu tirotoksikosis,
miksedema, rheumatoid artritis dan lupus eritematosus sistemik. Dulu, IgG
merangsang pelepasan thymin, suatu hormone dari kelenjar timus yang
mempunyai kemampuan mengurangi jumlah asetilkolin. Sekarang, penyebab
miastenia gravis adalah kerusakan reseptor asetilkolin neuromuscular junction
akibat penyakit autoimun.4
Antibodi yang menyebabkan terjadinya miastenia gravis dikenal sebagai
antiacetylcholine reseptor antibodi. Antibodi ini diproduksi oleh kelenjar timus.
Hal tersebut dibuktikan dengan adanya perbaikan pada pasien miastenia gravis
yang dilakukan pengangkatan kelenjar timus (timektomi). Selain itu, 80% pasien
miastenia gravis didapatkan mengalami pembesaran timus dan 10% diantaranya
memperlihatkan gambaran timoma. Sedangkan sisanya ditemukan adanya infiltrat
limfosit pada pusat germinativa kelenjar timus seperti halnya pada penderita lupus
eritematosus sistemik, tirotoksikosis, miksedema, penyakit Addison dan anemia

hemolitik eksperimental pada tikus.8

Beberapa obat yang dapat menimbulkan kekambuhan gejala pada


miastenia gravis antara lain:6
1. Antibiotik, missal: golongan aminoglikosida, polimiksin, ciprofloxacin,
eritromisin dan ampisilin.
2. Penisilamin. Obat ini dapat menginduksi terjadinya miastenia gravis
dengan meningkatkan titer antibodi terhadap AChR pada 90% kasus.
Bagaimanapun, kelemahannya ringan. Gejalanya akan hilang setelah
penghentian pemakaian obat selama beberapa minggu hingga beberapa
bulan.
3. Beta bloker, misal: propranolol.
4. Litium,
5. Magnesium,
6. Procainamid,
7. Verapamil
8. Quinidine
9. Klorokuin
10. Prednison
11. Timolol (beta bloker topikal yang digunakan pada glaukoma)
12. Antikolinergik, misal: triheksifenidil.
1.3.5 Patofisiologi
Kelemahan otot pada miastenia gravis dan meningkatnya kelemahan
otot pada saat melakukan kegiatan fisik disebabkan oleh penurunan jumlah
reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction. Pada orang normal waktu
untuk kegiatan fisik lebih lama dibandingkan waktu yang dibutuhkan untuk
pemulihan kekuatan otot atau istirahat, sebaliknya pada miastenia gravis justru
waktu yang dibutuhkan untuk istirahat adalah lebih lama dibandingkan dengan
waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan fisik.4

Gambar 3 Patofisiologi terjadinya Miastenia Gravis karena terjadi


penghancuran autoantibodi terhadap AChR 9
Ketika sebuah potensial aksi bergerak ke motor neuron dan mencapai
motor end plate, molekul asetilkolin (Ach) dilepaskan dari vesikel presinaptik,
melalui neuromuscular junction dan kemudian akan berinteraksi dengan
reseptor Ach (AchRs) di membran postsinaptik. Kanal-kanal di AchRs terbuka,
memungkinkan Na+ dan kation lain untuk masuk ke dalam serat otot dan
menimbulkan depolarisasi. Depolarisasi yang terus menerus terjadi akan
berkumpul menjadi satu, dan jika depolarisasi yang terkumpul cukup besar,
maka akan memicu timbulnya potensial aksi, yang bergerak sepanjang serat
otot untuk menghasilkan kontraksi.10
Pada miastenia gravis, ada pengurangan jumlah AchRs yang tersedia di
motor end plate atau mendatarnya lipatan pada membran postsinaptik yang
menyebabkan pengurangan jumlah reseptor pada motor end plates, sehingga
depolarisasi yang terjadi pada motor end plate lebih sedikit dan tidak terkumpul
menjadi potensial aksi. Hasilnya adalah sebuah transmisi neuromuskuler yang
tidak efisien. Tiga mekanisme yang didapatkan dari penelitian antara lain: auto
antibodies terhadap reseptor AChR dan menginduksi endositosis, sehingga terjadi
deplesi AChR pada membran postsinaptik, autoantibodi sendiri menyebabkan
gangguan fungsi AChR dengan memblokir situs-situs tempat terikatnya asetilkolin
dan auto antibodi menyebabkan kerusakan pada motor endplates sehingga

menyebabkan hilangnya sejumlah AChR.10

Konsentrasi antibodi AChR tidak berkolerasi terhadap tingkat


keparahan MG. Miopati inflammatory dapat terjadi pada pasien miastenia
gravis dan diassumsi disebabkan oleh polimiositis.11 Antibodi poliklonal IgG
terhadap AChR diproduksi oleh sel plasma di organ limfoid perifer, sum-sum
tulang dan timus.611,12 Sel ini berasal dari sel B yang telah diaktivasi oleh sel
T yang antigen spesifik. Sel T juga telah diaktivasikan, pada kasus ini dengan
berikatan dengan urutan peptide antigen AChR (epitop) yang terdapat di dalam
histocompatibility antigen pada permukaan sel antigen-presenting.12
1.3.6 Manifestasi Klinis

Gambaran klinis miastenia gravis sangat jelas yaitu dari kelemahan


lokal yang ringan sampai pada kelemahan tubuh secara menyeluruh yang fatal.
33% kasus hanya terdapat gejala kelainan otot ocular disertai dengan
kelemahan otot lainnya. Kelemahan ekstremitas tanpa disertai dengan
kelemahan otot ocular jarang terjadi, hanya sekitar 15%.selebihnya (sekitar
20% kasus) didapatkan mengalami kesulitan menelan dan mengunyah.4
Gejala kelemahan miastenia gravis sangat khas dimana kelemahan
tersebut bersifat fluktuatif. Kelemahan akan meningkat apabila sedang
beraktivitas. Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan
kelemahan ini akan berkurang apabila penderita beristirahat.13
Anamnesis yang klasik pada penderita miastenia gravis tipe ocular
adalah adanya gejala diplopia yang timbul pada sore hari atau pada waktu
magrib dan menghilang pada waktu pagi harinya. Dapat pula timbul ptosis pada
otot kelopak mata. Bila otot-otot bulbar terkena, suaranya menjadi suara basal
yang cenderung berfluktuasi dan suara akan memburuk bila percakapan
berlangsung terus. Pada kasus yang berat akan terjadi afoni temporer. Adanya
kelemahan rahang yang progresif pada waktu mengunyah dan penderita sering
kali menunjang rahangnya dengan tangan saat mengunyah. Keluhan lain adalah

adanya disfagia dan regurgitasi makanan sewaktu makan.4

Gambar 1 pasien miastenia gravis yang mengalami ptosis13


1.3.7 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis yang seksama dan
pemeriksaan fisik sederhana untuk menilai berkurangnya kekuatan otot setelah
aktivitas ringan tertentu, kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan
farmakologik yaitu tes endrofonium atau tes neostigmin. dapat juga dilakukan
pemeriksaan penunjang lain seperti electromyography (EMG) dan rontgen
thoraks.4
1. Anamnesis
Perlu ditanyakan adanya gejala yang khas pada penderita miastenia
gravis yaitu berupa kelemahan otot yang bersifat fluktuatif. Kelemahan akan
terasa pada saat beraktivitas dan membaik setelah istirahat.11 Pada pasien
dengan miastenia gravis ocular penting ditanyakan mengenai gejala klasik pada
pasien miastenia gravis tipe ocular yaitu gejala diplopia saat sore hari dan
menghilang pada pagi hari. Serta ptosis dan suara yang semakin lama semakin
mengecil jika pasien berbicara dalam waktu yang cukup lama.4
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan berdasarkan pada kelelahan otot-otot
yang terkena. Caranya antara lain:4
a. Meminta pasien untuk melihat objek di atas level bola mata akan timbul
ptosis pada miastenia ocular.
b. Mengangkat lengan akan mengakibatkan jatuhnya lengan bila otot-otot
bahu terkena.
c. Pada kasus-kasus bulbar, pasien diminta untuk menghitung dari angka 1
sampai 100, maka volume suara akan menghilang atau timbul disartria.
3. Pemeriksaan farmakologi
Pemeriksaan farmakologi yang dapat dilakukan untuk menegakkan
diagnosis miastenia gravis yaitu:
a. Uji Tensilon (edrophonium chloride),
Tes ini dilakukan dengan cara menyuntikkan 2 mg tensilon secara
intravena, bila tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg
tensilon secara intravena. Segera sesudah tensilon disuntikkan hendaknya
diperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata yang
memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia
gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang
lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas
tensilon sangat singkat.4
b. Uji Prostigmin (neostigmin)
Pada tes ini, disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat secara
intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin ¼ atau ½ mg). Bila
kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-gejala
seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama
kemudian akan lenyap.4
c. Uji Kinin
Caranya adalah dengan memberikan 3 tablet kinin, masing-masing 200 mg. 3
jam kemudian diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila
kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti
ptosis, strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya
disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala miastenik
tidak bertambah berat.
4. Pemeriksaan Laboratorium
a.Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis
suatu miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74%
pasien. 80% dari penderita miastenia gravis generalisata dan 50% dari
penderita dengan miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-
asetilkolinreseptor antibodi yang positif. Pada pasien thymoma tanpa
miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR antibodi. Rata-
rata titer antibodi pada pemeriksaan anti-asetilkolin reseptor antibodi, yang

dilakukan oleh Tidall, di sampaikan pada tabel berikut: 6


Tabel 2. Prevalensi dan Titer Anti-AChR Ab pada Pasien Miastenia
Gravis.6
Osserman Class Mean antibodi Titer Percent Positive
R 0.79 24
I 2.17 55
IIA 49.8 80
IIB 57.9 100
III 78.5 100
IV 205.3 89

Keterangan: R = remission, I = ocular only, IIA = mild generalized,


IIB = moderate generalized,III = acute severe, IV =
chronic severe

Pada tabel 2 dapat dilihat bahwa titer antibodi lebih tinggi pada
penderita miastenia gravis dalam kondisi yang parah, walaupun titer
tersebut tidak dapat digunakan untuk memprediksikan derajat penyakit
miastenia gravis.6
b. Anti striated muscle (anti-SM) antibodi
Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia
gravis. Tes ini menunjukkanhasil positif pada sekitar 84% pasien yang
menderita thymoma dalam usia kurang dari 40 tahun.Pada pasien tanpa
thymoma dengan usia lebih dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat
menunjukkanhasil positif..6
c. Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.
Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan
hasil anti-AChR Ab negatif (miastenia gravis seronegarif),
menunjukkan hasil yang positif untuk anti-MuSK Ab.6
d. Anti striational antibodies
Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis
menunjukkan adanya antibodi yang berikatan dalam pola cross-
striational pada notot rangka dan otot jantung penderita. Antibodi ini
bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan ryanodine (RyR).
Antibodi ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma dengan
miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibodi
merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada
pasienmuda dengan miastenia gravis.6
5. Imaging
a.Chest x-ray
Foto rontgen thorak dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior
dan lateral. Pada rontgen thorak, timoma dapat diidentifikasi sebagai suatu
massa pada bagian anterior mediastinum.10 Hasil rontgen yang negatif
belum tentu dapat menyingkirkan adanya timoma ukuran kecil, sehingga
terkadang perlu dilakukan CT-scan thoraks untuk mengidentifikasi timoma
pada semua kasus miastenia gravis, terutama pada penderita dengan usia
tua. 6,10
b. MRI
Pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai
pemeriksaan rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis miastenia
gravis tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya
dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak. 10
1.3.8 Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari penyakit miastenia gravis antara lain:2
1. Tirotoksikosis.
2. Lupus eritematosus.
3. Sindrom Fischer.
4. Sindroma Eaton-Lambert, ditemukan gejala-gejala miastenia gravis.
Disamping itu akan tampak pula adanya suatu small cell bronchus
carcinoma.14
5. Bila tampak ada ptosis atau strabismus maka hendaknyalah kita ingat akan
kemungkinan adanya lesi N.III yang dpat ditimbulkan oleh :
a. Meningitis basalis (tuberkulosa atau leutika).
b. Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring.
c. Aneurisma di sirkulus arteriosus willisii.
d. Paralisis pasca difteri.
e. Pseudoptosis pada trakhoma.
1.3.9 Penatalaksanaan

Gambar 4 Alur penatalaksanaan Miastenia Gravis.10


Dasar pengobatan adalah dengan menggunakan obat-obat
antikolinesterase misalnya neostigmin dan piridostigmin. Obat-obat ini berperan
menghambat kolinesterase yang kerjanya menghancurkan asetilkolin. Biasanya
dimulai dengan 1 tablet neostigmin atau piridostigmin 3 kali perhari, kemudian
dosisnya ditingkatkan bergantung pada reaksi penderita. Obat-obat
antikolinesterase ini mempunyai aktivitas muskarinik dan nikotinik. Efek
muskarinik yaitu mempengaruhi otot polos dan kelenjar, sedangkan efek
nikotinik yaitu mempengaruhi ganglion autonom dan myoneural junction. Efek
muskarinik seperti koli abdomen, diare dan hiperhidrosis dapat diatasi dengan
pemberian atropin.
Pada penderita usia tua atau penderita dengan kontraindikasi untuk
dilakukan timektomi. Karena terapi steroid dapat menimbulkan efek samping
selam 2 minggu pengobatan, maka perlu perawatan di rumah sakit, terutama
bila timbul gejala-gejala bulbar. Obat antikolinesterase harus diteruskan dan
prednison diberikan serta ditingkatkan perlahan-lahan dari dosis inisial 25 mg
sampai 100 mg perhari dan diberikan selang satu hari, tergantung pada reaksi
penderita. Setelah ada perbaikan, dosis neostigmin dan piridostigmin dapat
diturunkan perlahan-lahan. Kombinasi baik piridostigmin dan prednison yang
diberikan selang 1 hari merupakan terapi inisial pilihan untuk penderita dengan
timoma1.
Dalam penatalaksanaan pada miastenia gravis dapat diberikan terapi
sebagai berikut :
1. Neostigmin bromide (prostigmin) 15 mg per tab.(per os). Biasanya
diberikan 3x1 tab sehari ) dapat ditingkatkan menjadi 3x2 tab). Untuk
menghindari timbulnya nyeri perut sebaiknya diberikan pula atropin atau
ext. Belladonnae.
2. Neostigmin methylsulfat (prostigmin) 0,5 mgr/amp (i.m / i.v). Bila perlu
diberikan 0,5 mgr prostigmin secara i.m (dapat ditingkatkan sampai 1,5
mgr. Prostigmin secara i.m).
3. Endrophonium chloride (tensilon) 10 mg per amp. (i.v).
4. Pyridostigmin bromide (mestinon) 60 mg per tab (per os).
5. Pyridostigmin bromide (mestinon time span) 180 mg per tab (per os).

Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang pasti,


tetapi miastenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati.
Antikolinesterase inhibitor dan terapi imunomudulasi merupakan penatalaksanaan
utama pada miastenia gravis. Antikolinesterase biasanya
digunakan pada miastenia gravis yang ringan. Sedangkan pada psien dengan
miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi imunomudulasi yang rutin.
Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombinasikan dengan
pemberian antibiotik dan penunjang ventilasi, mampu menghambat terjadinya
mortalitas dan menurunkan morbiditas pada penderita miastenia gravis.
Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat memulihkan
kekuatan otot secara cepat dan terapi yang memiliki onset lebih lambat tetapi
memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya
kekambuhan.5
Terapi Jangka Pendek untuk Intervensi Keadaan Akut
1. Plasma Exchange (PE)
Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-asetilkolin secara
efektif. Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi. PE paling
efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek yang
menguntungkan menjadi prioritas. Terapi ini digunakan pada pasien yang akan
memasuki atau sedang mengalami masa krisis. PE dapat memaksimalkan
tenaga pasien yang akan menjalani thymektomi atau pasien yang kesulitan
menjalani periode postoperative. Belum ada regimen standar untuk terapi ini,
tetapi banyak pusat kesehatan yang mengganti sekitar satu volume plasma tiap
kali terapi untuk 5 atau 6 kali terapi setiap hari. Albumin (5%) dengan larutan
salin yang disuplementasikan dengan kalsium dan natrium dapat digunakan
untuk replacement.
Efek PE akan muncul pada 24 jam pertama dan dapat bertahan hingga
lebih dari 10 minggu. Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadinya
pergeseran cairan selama pertukaran berlangsung. Terjadi retensi kalsium,
magnesium, dan natrium yang dpat menimbulkan terjadinya hipotensi.
Trombositopenia dan perubahan pada berbagai faktor pembekuan darah dapat
terjadi pada terapi PE berulang. Tetapi hal itu bukan merupakan suatu keadaan
yang dapat dihubungkan dengan terjadinya perdarahan, dan pemberian fresh-
frozen plasma tidak diperlukan
2. Intravenous Immunoglobulin (IVIG)
Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG
diperkirakan mampu memodulasi respon imun. Reduksi dari titer antibodi tidak
dapat dibuktikan secara klinis, karena pada sebagian besar pasien tidak terdapat
penurunan dari titer antibodi. Efek dari terapi dengan IVIG dapat muncul
sekitar 3-4 hari setelah memulai terapi. IVIG diindikasikan pada pasien yang
juga menggunakan terapi PE, karena kedua terapi ini memiliki onset yang cepat
dengan durasi yang hanya beberapa minggu.
Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama,
dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki
keuntungan klinis berupa penurunan level anti-asetilkolin reseptor yang
dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan pemasangan infus. Efek
samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah nyeri kepala yang hebat,
serta rasa mual selama pemasangan infus, sehingga tetesan infus menjadi lebih
lambat. Flulike symdrome seperti demam, menggigil, mual, muntah, sakit
kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24 jam pertama.
Pengobatan Farmakologi Jangka Panjang
1. Kortikosteroid
Respon terhadap pengobatan kortikosteroid mulai tampak dalam waktu 2-
3 minggu setelah inisiasi terapi. Durasi kerja kortikosteroid dapat berlangsung
hingga 18 bulan, dengan rata-rata selama 3 bulan. Kortikosteroid memiliki efek
yang kompleks terhadap sistem imun dan efek terapi yang pasti terhadap miastenia
gravis masih belum diketahui. Kortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada
aktivasi sel T helper dan pada fase proliferasi dari sel B.
Sel T serta antigen-presenting cell yang teraktivasi diperkirakan
memiliki peran yang menguntungkan dalam memposisikan kortikosteroid di
tempat kelainan imun pada miastenia gravis. Pasien yang berespon terhadap
kortikosteroid akan mengalami penurunan dari titer antibodinya.
Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang
sangat mengganggu, yang tidak dapat dikontrol dengan antikolinesterase.
Dosis maksimal penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian
dilakukan tapering off pada pemberiannya. Pada penggunaan dengan dosis
diatas 30 mg setiap harinya, akan timbul efek samping berupa osteoporosis,
diabetes, dan komplikasi obesitas serta hipertensi.
2. Azathioprine
Azathioprine digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara relatif
terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi.
Azathioprine dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog dari purin
yang memiliki efek terhadap penghambatan sintesis nukleotida pada DNA dan
RNA. Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3
mg/kgbb/hari. Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-50 mg/hari hingga dosis
optimal tercapai.
Azathioprine merupakan obat yang secara relatif dapat ditoleransi
dengan baik oleh tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang lebih
sedikit dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya. Respon
Azathioprine sangant lambat, dengan respon maksimal didapatkan dalam 12-
36 bulan. Kekambuhan dilaporkan terjadi pada sekitar 50% kasus, kecuali
penggunaannya juga dikombinasikan dengan obat imunomodulasi yang lain.
3. Cyclosporine
Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2
dari sel T-helper. Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek
pada produksi antibodi. Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5
mg/kgbb/hari terbagi dalam dua atau tiga dosis. Respon terhadap Cyclosporine
lebih cepat dibandingkan azathioprine. Cyclosporine dapat menimbulkan efek
samping berupa nefrotoksisitas dan hipertensi.
Terapi pembedahan yang dapat dilakukan pada pasien miastenia gravis
adalah operasi timektomi. Tindakan ini diindikasikan pada penderita-penderita
wanita muda dengan riwayat yang kurang dari 5 tahun menderita miastenia gravis.
Prognosis pada kelompok ini biasanya jelek. Pada wanita muda tanpa timoma kira-
kira 80%-90% penderita akan membaik atau akan terjadi remisi
yang sempurna dalam beberapa tahun. Persiapan yang harus dilakukan
sebelum tindakan timektomi antara lain:
1. Terapi antikolinesterase dengan neostigmin atau piridostigmin yang
optimal dilanjutkan sampai saat operasi.
2. Harus dilakukan tes fungsi paru, bila kapasitas vital sangat menurun maka
harus dilakuka trakeotomi pada saat dilakukan timektomi supaya bantuan
respirasi dapat diberikan pada saat pascabedah.
3. Pada pascabedah, terapi antikolinesterase dimulai dengan memberikan
dosis rendah dn disesuaikan dnegan kebutuhan penderita.
Secara umum, kebanyakan pasien mulai mengalami perbaikan dalam
waktu satu tahun setelah thymektomi dan tidak sedikit yang menunjukkan
remisi yang permanen (tidak ada lagi kelemahan serta obat-obatan). Beberapa
ahli percaya besarnya angka remisi setelah pembedahan adalah antara 20-40%
tergantung dari jenis thymektomi yang dilakukan. Ahli lainnya percaya bahwa
remisi yang tergantung dari semakin banyaknya prosedur ekstensif adalah
antara 40-60% lima hingga sepuluh tahu setelah pembedahan.
1.3.10 Komplikasi dan Prognosis
Tanpa pengobatan angka kematian miastenia gravis adalah 25-31%.
Miastenia gravis yang mendapat pengobatan, angka kematian 4%. Kasus yang
hanya mengalami gejala okuler sebesar 40%. miastenia gravis okuler >50%
berkembang menjadi miastenia gravis umum dalam waktu satu tahun, remisi
spontan <10%. Sekitar 15-17% pasien akan tetap mengalami gejala okular
selama masa tindak lanjut rata-rata hingga 17 tahun. Pasien-pasien ini disebut
sebagai miastenia gravis okular. Sisanya mengembangkan kelemahan umum
dan disebut sebagai miastenia gravis generalisata. Sebuah studi dari 37 pasien

miastenia gravis dengan timoma memiliki gejala yang lebih buruk.6


BAB 3

LAPORAN KASUS
DAFTAR PUSTAKA

1. Snell, Richard S., 2007. Neuro Anatomi Klinik ed. 5. EGC. Jakarta.
2. Murray, R.K, Granner, D.K, Mayes, P.A.2008. Biokimia Harper: Dasar
Biokimia Beberapa Kelainan Neuropsikiatri. Edisi 29. EGC. Jakarta.
3. Audrey S.P dan Lewis P.R. Disorder of neuromuscular junction. Dalam
Rowland L.P. Merrit’s Neurology Edisi 10. Philladelphia:Lippincott; 2000.
4. Harsono. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta: Gajah mada university
press; 2005.
5. Public Health Service National Institutes of Health. Miastenia Gravis.
United States: Department of health and human service; 2016.
6. Aashit K.S dan Nicholas L. Myasthenia Gravis. Tersedia dalam
< http://emedicine.medscape.com/article/1171206-overview> [diakses
pada 26 Maret 2016].
7. Kaminski.J.K. Myasthenia gravis and related disorders edisi 2. New York:
Humana Press; 2009.
8. Sidharta P dan Mahar M. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat;
2006.
9. Burmester, Color atlas of immunology. New York: Thieme; 2003.
10. Drachman DB. Myasthenia Gravis and Other Diseases of The Neuromuscular
Junction Kasper. Dalam Braunwald, Fauci, Hauser, Longo,
Jameson. Harrison’s. Principle of Internal Medicine edisi 16. McGraw Hill;
2005.
11. Sanders D.B., Generalized myasthenia gravis: clinical presentation and

diagnosis. 56th Annual Meeting. San Francisco, CA: American Academy


of Neurology, 2004.
12. Bromberg M.B. Myasthenia gravis and myasthenia syndromes. Dalam
Lippincott Williams & Wilkins. Motor disorders. Philadelphia:
Pennsylvania; 2005.
13. Howard, J.F. Myasthenia Gravis. Tersedia dalam
<http://www.ninds.nih.gov
/disorders/myasthenia_gravis/detail_myasthenia_gravis.htm> [diakses
pada: 26 Maret 2016].
14. Ngoerah Gd. Ng. Gst. I, Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlangga
University Press. 1991.

Anda mungkin juga menyukai