Anda di halaman 1dari 36

RETENSIO PLASENTA

oleh :
dr. Reflina Saputri J

Preseptor:
dr. Pom Harry Satria, Sp. Og (K)

DOKTER INTERNSIP
RSUD SEI. DAREH DHARMASRAYA
2018-2019

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyebab klasik kematian ibu adalah infeksi, preeklampsia dan
perdarahan. Perdarahan post partum adalah perdarahan masif yang berasal dari
tempat implantasi plasenta, robekan pada jalan lahir dan jaringan sekitarnya dan
merupakan salah satu penyebab kematian ibu disamping perdarahan karena hamil
ektopik dan abortus. Perdarahan post partum bila tidak mendapat penanganan
yang semestinya akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu.1
Perdarahan post partum merupakan penyebab kematian maternal
terbanyak. Insiden perdarahan postpartum pada negara maju sekitar 5% dari
persalinan, sedangkan pada negara berkembang bisa mencapai 28% dari
persalinan dan menjadi masalah utama dalam kematian ibu. Penyebabnya 90%
adalah atonia uteri, 7% robekan jalan lahir, sisanya dikarenakan retensio plasenta
dan gangguan pembekuan darah.2
Angka kematian maternal merupakan indikator yang mencerminkan status
kesehatan ibu, terutama risiko kematian bagi ibu pada waktu hamil dan persalinan.
Setiap tahun diperkirakan 529.000 wanita didunia meninggal sebagai akibat
komplikasi yang timbul dari kehamilan dan persalinan. Sehingga diperkirakan
angka kematian maternal di seluruh dunia sebesar 400 per 100.000 kelahiran
hidup. 3
Definisi perdarahan post partum saat ini belum dapat ditentukan secara
pasti. Perdarahan post partum didefinisikan sebagai perdarahan lebih dari 500
mL setelah persalinan pervaginam atau lebih dari 1.000 mL setelah persalinan
abdominal. Perdarahan dalam jumlah ini dalam waktu kurang dari 24 jam
disebut sebagai perdarahan post partum primer, dan apabila perdarahan ini terjadi
lebih dari 24 jam disebut sebagai perdarahan post partum sekunder.4,5,6
Penanganan perdarahan post partum harus dilakukan dalam 2 komponen,
yaitu resusitasi dan penanganan perdarahan obstetri serta kemungkinan syok
hipovolemik dan identifikasi dan penanganan penyebab terjadinya perdarahan
post partum.6,7

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hemoragik Post partum (HPP)


2.1.1 Definisi
Perdarahan post partum atau perdarahan pasca persalinan atau post
partum haemorrhage (PPH) adalah perdarahan atau hilangnya darah 500 cc atau
lebih yang terjadi setelah anak lahir. Perdarahan dapat terjadi sebelum, selama,
atau sesudah lahirnya plasenta. Definisi lain menyebutkan perdarahan pasca
persalinan adalah perdarahan 500 cc atau lebih yang terjadi setelah plasenta
lahir. Menurut waktu terjadinya dibagi atas dua bagian:4,8
a. Perdarahan post partum primer (early postpartum hemorrhage) yang terjadi
dalam 24 jam setelah anak lahir.
b. Perdarahan post partum sekunder (late postpartum hemorrhage) yang
terjadi antara 24 jam sampai 6 minggu post partum (masa nifas).

2.1.2 Epidemiologi Perdarahan Postpartum


Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun
2012, angka kematian ibu di Indonesia masih tinggi sebesar 359 per 100.000
kelahiran hidup Angka ini sedikit menurun dibandingkan dengan SDKI tahun
1991, yaitu sebesar 390 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini sedikit menurun
meskipun tidak terlalu signifikan. Target global MDGs (Millenium Development
Goals) ke-5 adalah menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) menjadi 102 per
100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015. Penyebab terbesar kematian Ibu selama
tahun 2010-2013 masih tetap sama yaitu perdarahan.9

Gambar 1. Penyebab Kematian Ibu Tahun 2010-20139


2.1.3 Etiologi

3
Banyak faktor potensial yang dapat menyebabkan perdarahan
postpartum, faktor-faktor yang menyebabkan perdarahan postpartum adalah 4T
(Tonus, Tissue, Trauma, dan Trombin) dimana tonus paling banyak disebabkan
oleh atonia uteri, sedangkan tissue disebabkan oleh retensio plasenta, serta sisa
plasenta; trauma disebabkan salah satunya oleh perlukaan jalan lahir, serta
trombin biasanya akibat kelainan pembekuan darah.4,7

Tabel 1. Etiologi Perdarahan Post Partum10

2.1.4 Faktor Resiko


Riwayat perdarahan postpartum pada persalinan sebelumnya merupakan
faktor resiko paling besar untuk terjadinya perdarahan postpartum sehingga
segala upaya harus dilakukan untuk menentukan keparahan dan penyebabnya.
Beberapa faktor lain yang perlu kita ketahui karena dapat
menyebabkan terjadinya hemorraghe postpartum:10,11,12,13
1. Faktor Resiko Antenatal
a. Umur
Meningkatnya usia ibu merupakan faktor independen terjadinya PPH.
Jumlah perdarahan pada usia tua lebih besar pada persalinan sesar
dibanding persalinan pervaginam.
b. BMI
Perempuan obesitas akan memiliki komplikasi intrapartum dan post
partum lebih besar. BMI lebih dari 30 dikaitkan dengan perdarahan
yang lebih banyak.

4
c. Paritas
Paritas sering dikaitkan dengan resiko perdarahan postpartum. Namun
hingga sekarang, berbagai laporan studi tidak bisa membuktikan bahwa
multiparitas berhubungan dengan PPH. Studi yang melaporkan
hubungan tersebut juga gagal untuk mengendalikan faktor pengganggu
lain seperti usia ibu.
d. Penyakit Medis
Beberapa penyakit yang diderita ibu selama kehamilan berhubungan
erat dengan PPH. Diantaranya adalah DM tipe II, penyakit jaringan
konektif, penyakit darah seperti Von Willebrand dan Hemofilia.
e. Kehamilan Post-term
Penelitian menunjukkan hubungan antara kehamilan post-term dengan
terjadinya PPH.
f. Janin Besar
Ibu yang mengandung janin lebih dari 4kg memiliki kemungkinan besar
untuk mengalami PPH. Hal ini diperkuat oleh beberapa penelitian di
mancanegara.
g. Kehamilan Kembar
Secara konsisten penelitian menunjukkan bahwa ibu yang hamil
kembar memiliki 3-4x kemungkinan untuk mengalami PPH.
h. Fibroid
Fibroid membuat ibu mempunyai resiko mengalami PPH. Namun
demikian resiko terjadinya PPH lebih tinggi pada persalinan sesar
dibandingkan persalinan pervaginam.
2. Faktor Resiko Intrapartum
a. Induksi Persalinan
Metaanalisis menunjukkan bahwa induksi persalinan berkaitan dengan
perdarahan post-partum. Resiko terjadinya perdarahan adalah 1,5
hingga 1,7 kali dibandingkan tanpa induksi. Induksi yang telah diteliti
meningkatkan perdarahan post-partum adalah induksi yang
menggunakan medikamentosa. Sejauh ini data yang akurat tentang
resiko berbagai jenis metode induksi belum lengkap sehingga tidak

5
dapat disimpulkan secara definitif.
b. Durasi Persalinan
Lama kala I lebih dari 20 jam pada nulipara atau 14 jam pada multipara
memiliki 1-1,6 kali resiko perdarahan disbanding lama persalinan yang
lebih singkat. Kala II memiliki resiko 2,5 kali lebih besar bila
berlangsung lebih dari 3 jam. Dengan demikian persalinan dengan kala
II lama perlu diantisipasi lebih awal akan terjadinya PPH. Pada
umur kehamilan berapapun, perdarahan semakin meningkat bila durasi
kala III meningkat dengan puncaknya 40 menit. Resiko relatifnya
berkisar antara 2,1 hingga 6,2 dan semakin tinggi bila kala III
berlangsung semakin lama. Titik potong PPH terjadi pada lama kala
tiga lebih dari 18 menit.
c. Analgesia
Studi retrospektif menunjukkan bahwa penggunaan anestesi epidural
berkaitan dengan perdarahan intrapartum, sedangkan perdarahan post
partum meningkat resikonya menjadi 1,6 kali. Namun demikian bila
diperlukan operasi sesar maka analgesia regional menimbulkan
perdarahan lebih kecil dibandingkan anesthesia umum.
d. Metode Persalinan
Penelitian menunjukkan ada perbedaan resiko perdarahan pada
persalinan pervaginam operatif dan juga persalinan sesar. Kesimpulan
tentang ini belum definitif mengingat berbagai faktor perlu
diperhitungkan untuk menilai hubungan ini.
e. Episiotomi
Episiotomi jelas menimbulkan perdarahan lebih banyak dibanding
ruptur spontan. Namun selain itu ternyata episiotomi juga meningkatkan
resiko PPH 2-4,6 kali. Pada uji klinik terkendali terakhir ditunjukkan
juga bahwa episiotomi yang dilakukan pada saat kepala sudah
crowning tidak memberikan perbedaan signifikan terhadap terjadinya
PPH.
f. Korioamnionitis
Meningkatkan resiko PPH 1,3 kali bila persalinan pervaginam dan

6
hingga 2,7 kali bila persalinan sesar.

2.1.5 Diagnosis
Beberapa gejala yang bisa menunjukkan perdarahan postpartum:5
1. Perdarahan yang tidak dapat dikontrol
2. Penurunan tekanan darah
3. Peningkatan detak jantung
4. Penurunan hitung sel darah merah ( hematokrit)
5. Pembengkakan dan nyeri pada jaringan daerah vagina dan perineum.
Perdarahan hanyalah gejala, penyebabnya haruslah diketahui dan
ditatalaksana sesuai penyebabnya. Perdarahan postpartum dapat berupa
perdarahan yang hebat dan menakutkan sehingga dalam waktu singkat ibu dapat
jatuh kedalam keadaan syok. Atau dapat berupa perdarahan yang merembes
perlahan-lahan tapi terjadi terus menerus sehingga akhirnya menjadi banyak dan
menyebabkan ibu lemas ataupun jatuh kedalam syok.11
Pada perdarahan melebihi 20% volume total, timbul gejala penurunan tekanan darah, nadi dan napas cepat, pucat, extremitas dingin,

sampai terjadi syok.5,11

Volum Kehilangan Tekanan Darah


Gejala dan Tanda Derajat Syok
Darah Sistolik
500-1.000 mL Palpitasi, Takikardi, Terkompensa
Normal
(10-15%) Pusing si
1000-1500 mL Penurunan ringan Lemah,Takikardi,
Ringan
(15-25%) (80-100 mm Hg) Berkeringat
1500-2000 mL Penurunan scdang Gelisah, Pucat,
Sedang
(25-35%) (70-80 mm Hg) Oligouria
2000-3000 mL Penurunan tajam Pingsan, Hipoksia,
Berat
(35-50%) (50-70 mm Hg) Anuria

Tabel 2. Penilaian Klinik untuk Menentukan Derajat Syok11


Pada perdarahan sebelum plasenta lahir biasanya disebabkan retensio
plasenta atau laserasi jalan lahir, bila karena retensio plasenta maka
perdarahan akan berhenti setelah plasenta lahir. Pada perdarahan yang terjadi
setelah plasenta lahir perlu dibedakan sebabnya antara atonia uteri, sisa

7
plasenta, atau trauma jalan lahir. Pada pemeriksaan obstetrik kontraksi uterus
akan lembek dan membesar jika ada atonia uteri. Bila kontraksi uterus baik
dilakukan eksplorasi untuk mengetahui adanya sisa plasenta atau laserasi jalan
lahir. Berikut langkah-langkah sistematik untuk mendiagnosa perdarahan
postpartum:11,14
1. Palpasi uterus: bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri
2. Memeriksa plasenta dan ketuban : apakah lengkap atau tidak
3. Lakukan ekplorasi kavum uteri untuk mencari:
a. Sisa plasenta dan ketuban
b. Robekan Rahim
c. Plasenta seksenturiata adalah plasenta yang mempunyai satu kotiledon
tambahan yang timbul jauh dari struktur plasenta utama.
4. Inspekulo: untuk melihat robekan pada serviks, vagina, dan varises pecah.
5. Pemeriksaan laboratorium: peningkatan degradasi, kadar produk
fibrin/produk split fibrin (FDP/FSP), penurunan kadar fibrinogen
(PT/APTT)
6. Ultrasonografi : menentukan adanya jaringan plasenta yang tertahan.

Gejala dan Tanda Penyulit Diagnosis


Uterus tidak berkontraksi dan lembek Syok, Atonia Uteri
Perdarahan segera setelah anak lahir Bekuan darah pada serviks
atau posisi telentang akan
Darah segar mengalir segera setelah Pucat, Lemah, Menggigil Robekan Jalan
bayi lahir Lahir
Plasenta belum lahir setelah 30 menit Tali pusat putus akibat traksi Retensio
Perdarahan segera berlebihan Plasenta
Uterus berkontraksi dan keras Inversio uteri akibat tarikan
Plasenta atau sebagian selaput tidak Uterus berkontraksi
Perdarahan lanjutan tetapi Retensi Sisa
lengkap tinggi fundus tidak berkurang Plasenta
Uterus tidak teraba Neurogenik syok Inversio Uteri
Lumen vagina terisi massa Pucat dan limbung
Tampak tali pusat (plasenta belum
lahir)

8
Sub involusi uterus Anemia Demam Endometritis
Nyeri tekan perut bawah dan pada atau sisa
uterus Tabel 3. Gejala klinis perdarahan8 fragmen

2.2 Retensio Plasenta


2.2.1. Defenisi
Biasanya setelah janin lahir, beberapa menit kemudian mulailah proses
pelepasan plasenta disertai sedikit perdarahan (kira-kira 100 – 200 cc). Bila
plasenta sudah lepas dan turun ke bagian bawah rahim, maka uterus akan
berkontraksi (his pengeluaran plasenta) untuk mengeluarkan plasenta.15
Kadang-kadang, plasenta tidak segera terlepas. Suatu pertanyaan yang
belum mendapat jawaban yang pasti adalah berapa lama waktu berlalu pada
keadaan tanpa perdarahan sebelum plasenta harus dikeluarkan secara manual.
Bidang obstetri secara tradisional membuat batas-batas durasi kala tiga secara
agak ketat sebagai upaya untuk mendefinisikan retensio plasenta (abnormally
retained placenta) sehingga perdarahan akibat terlalu lambatnya pemisahan
plasenta dapat dikurangi. Combs dan Laros (1991) meneliti 12.275 persalinan
pervaginam tunggal dan melaporkan median durasi kala tiga adalah 6 menit, dan
3,3 persen berlangsung lebih dari 30 menit.6 Jadi istilah retensio plasenta
dipergunakan jika plasenta belum lahir ½ jam sesudah anak lahir. 15-16

2.2.2. Insidensi
Retensio plasenta adalah penyebab signifikan dari kematian maternal dan
angka kesakitan di seluruh negara berkembang. Kasus ini merupakan penyulit
pada 2 % dari semua kelahiran hidup dengan angka kematian hampir mencapai
10% di daerah pedesaan. Menurut studi lain, insidensi dari retensio plasenta
berkisar antara 1-2 % dari kelahiran hidup. Pada studi tersebut retensio plasenta
lebih sering muncul pada pasien yang lebih muda dengan multiparitas.17,18
Diperkirakan insidensi dari perlengketan abnormalitas sekitar 1 dari 2000
hingga 1 dari 7000 persalinan. Plasenta akreta meliputi 80% dari keseluruhan
perlengketan abnormal, plasenta inkreta 15 %, dan plasenta perkreta 5 %. Angka
ini meningkat tajam dalam dua dekade terakhir, sejalan dengan angka seksio
cesarean.29

9
2.2.3. Plasentasi
Pada hari keempat setelah fertilisasi hasil konsepsi mencapai stadium
blastula disebut blastokista (blastocyst), suatu bentuk yang dibagian luarnya
adalah trofoblas dan di bagian dalamnya disebut massa inner cell. Massa inner cell
ini berkembang menjadi janin dan trofoblas akan berkembang menjadi plasenta.
Nidasi (implantasi) diatur oleh suatu proses yang kompleks antara trofoblas dan
endometrium. Di satu sisi trofoblas mempunyai kemampuan invasif yang kuat,
disisi lain endometrium mengontrol invasi trofoblas dengan menyekresikan faktor
aktif lokal yaitu cytokines dan protease.15
Setelah implantasi, sel-sel trofoblas dapat berdiferensiasi menjadi 2 jenis
yakni:20,21
1. Ekstravili - sel sitotrofoblas berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel
invasif yang menginvasi (trofoblas interstitial) desidua maternal dan arteri
spiralis (trofoblas endovaskuler) miometrium.
2. Vili - sel sitotrofoblas berproliferasi dan bergabung membentuk sel
sinsisiotrofoblas multinukleus yang membentuk permukaan luar vili plasenta
janin.
Invasi trofoblas diatur oleh pengaturan kadar hCG. Sinsisiotrofoblas
menghasilkan hCG yang akan mengubah sitotrofoblas menyekresikan hormon
yang noninvasif. Trofoblas yang semakin dekat dengan endometrium
menghasilkan kadar hCG yang semakin rendah, dan membuat trofoblas
berdiferensiasi dalam sel jangkar yang menghasilkan protein perekat plasenta
yaitu trophouteronectin.21
Endometrium atau sel desidua dimana terjadi nidasi menjadi pucat dan
besar disebut reaksi desidua. Sebagian lapisan desidua mengalami fagositosis oleh
sel trofoblas. Reaksi desidua ini agaknya merupakan proses untuk menghambat
invasi, tetapi berfungsi sebagai pasokan makanan. Namun, ada juga sel-sel
desidua yang tidak dapat dihancurkan oleh trofoblas dan sel ini akhirnya
membentuk lapisan fibrinoid yang disebut lapisan Nitabuch. Ketika proses
melahirkan, plasenta terlepas dari endometrium pada lapisan Nitabuch ini.21

10
Gambar 13. Anatomi uterus dan plasentasi

Setelah nidasi embrio ke dalam endometrium, plasentasi dimulai dan


berlangsung sampai 12-18 minggu setelah fertilisasi. Plasentasi adalah proses
pembentukan struktur dan jenis plasenta. Dalam 2 minggu pertama perkembangan
hasil konsepsi, trofoblas invasif telah melakukan penetrasi ke arteri spiralis pada
lapisan basal endometrium. Pada usia kehamilan 8 minggu (6 minggu setelah
nidasi) telah terjadi invasi terhadap 40-60 arteri spiralis di daerah desidua basalis
yang menjadi tempat implantasi plasenta. Lalu terbentuklah sinus intertrofoblastik
yaitu ruangan yang berisi darah maternal dari pembuluh darah yang dihancurkan.
Pertumbuhan ini berjalan terus, sehingga timbul ruangan-ruangan interviler di
mana vili korialis seolah-olah terapung-apung di antara ruangan tersebut. Vili
korialis ini akan bertumbuh menjadi suatu massa jaringan yaitu plasenta.21
Plasenta berbentuk bundar atau oval; ukuran diameter 15-20 cm, tebal 2-3
cm, berat 500-600 gram. Biasanya plasenta atau uri akan berbentuk lengkap pada
kehamilan kira-kira 16 minggu; dimana ruang amnion telah mengisi seluruh
rongga rahim. Letak plasenta yang normal umumnya pada corpus uteri bagian
depan atau belakang agak kearah fundus uteri. 2 Plasenta normal menanamkan diri
sampai ke batas atas lapisan otot rahim.22
Plasenta terdiri atas tiga bagian yaitu :15,23
1) Bagian janin (fetal portion). Bagian janin terdiri dari korion frondosum dan
vili. Vili dari uri yang matang terdiri atas :
- Vili korialis
- Ruang-ruang interviler. Darah ibu yang berada dalam ruang interviler
berasal dari arteri spiralis yang berada di desidua basalis. Pada sistole,
darah dipompa dengan tekanan 70-80 mmHg kedalam ruang interviler

11
sampai lempeng korionik (chorionic plate) pangkal dari kotiledon-
kotiledon. Darah tersebut membanjiri vili korialis dan kembali perlahan ke
vena di desidua dengan tekanan 8 mmHg.
- Pada bagian permukaan janin uri diliputi oleh amnion yang licin, dibawah
lapisan amnion ini berjalan cabang-cabang pembuluh darah tali pusat. Tali
pusat akan berinsersi pada uri bagian permukaan janin.
2) Bagian maternal (maternal portion). Terdiri atas desidua kompakta yang
terbentuk dari beberapa lobus dan kotiledon (15-20 buah). Desidua basalis
pada uri yang matang disebut lempeng korionik (basal) dimana sirkulasi utero-
plasental berjalan keruang-ruang intervili melalui tali pusat.
3) Tali pusat merentang dari pusat janin ke uri bagian permukaan janin.
Panjangnya rata-rata 50-55 cm, sebesar jari (diameter 1- 2.5 cm), strukturnya
terdiri atas 2 arteri umbilikalis dan 1 vena umbilikalis serta jelly wharton.

Gambar 14. Struktur plasenta20

Supaya janin dapat tumbuh dengan sempurna, dibutuhkan penyaluran


darah dari ibu ke janin dan pembuangan limbah metabolisme ke sirkulasi ibu.
Berikut merupakan fungsi plasenta, yaitu :15,20

12
a. Nutrisasi, yakni alat pemberi makanan pada janin yang berasal dari sekitar
100-150 arteri spiralis maternal yang berlokasi pada lempeng basal.
b. Respirasi, yakni alat penyalur zat asam dan pembuangan CO2
c. Ekskresi, yakni alat pengeluaran sampah metabolisme
d. Produksi, yakni alat yang menghasilkan hormon
e. Imunisasi, yakni alat penyalur antibodi ke janin
f. Pertahanan (sawar), penyaring obat dan kuman yang bisa melewati
plasenta

2.2.4 Mekanisme Kala III


Kala III persalinan dimulai setelah lahirnya bayi dan berakhir dengan
lahirnya plasenta dan selaput ketuban.17 Lama kala tiga pada persalinan normal
ditentukan oleh lamanya fase kontraksi.1 Segera setelah bayi lahir, tinggi fundus
uteri dan konsistensinya hendaknya dipastikan. Selama uterus tetap kencang dan
tidak ada perdarahan yang luar biasa, menunggu dengan waspada sampai plasenta
terlepas biasa dilakukan. Jangan lakukan masase; tangan hanya diletakkan di atas
fundus untuk memastikan bahwa organ tersebut tidak menjadi atonik dan terisi
darah dan menggelembung di belakang plasenta yang sudah terlepas.24,25
Kala tiga yang normal dapat dibagi ke dalam 4 fase, yaitu :23,25,26
1. Fase laten, ditandai oleh menebalnya dinding uterus yang bebas dari plasenta,
namun dinding uterus tempat plasenta melekat masih tipis.
2. Fase kontraksi, ditandai oleh menebalnya dinding uterus tempat plasenta
melekat (dari ketebalan kurang dari 1 cm menjadi > 2 cm).
3. Fase pelepasan plasenta, fase dimana plasenta menyempurnakan
pemisahannya dari dinding uterus dan lepas.
4. Fase pengeluaran, dimana plasenta bergerak meluncur ke arah vagina.
Normalnya, pada saat bayi selesai dilahirkan, rongga uterus berupa suatu
massa otot yang hampir padat, dengan tebal beberapa sentimeter di atas segmen
bawah yang lebih tipis. Fundus uteri sekarang terletak di bawah batas ketinggian
umbilikus. Penyusutan ukuran uterus yang mendadak ini selalu disertai dengan
pengurangan bidang tempat implantasi plasenta. Agar plasenta dapat
mengakomodasikan diri terhadap permukaan yang mengecil ini, organ ini
memperbesar ketebalannya, tetapi karena elastisitas plasenta terbatas, plasenta
terpaksa menekuk. Tegangan yang dihasilkannya menyebabkan lapisan desidua

13
yang paling lemah- lapisan spongiosa, atau desidua spongiosa- mengalah, dan
pemisahan terjadi di tempat ini.21,24
Pemisahan plasenta amat dipermudah oleh sifat struktur desidua spongiosa
yang longgar. Ketika pemisahan berlangsung, terbentuk hematoma di antara
plasenta yang sedang terpisah dan desidua yang tersisa (hematoma
retroplasenta).15,21,24
Jika plasenta tidak lahir spontan, maka teknik Brandt-Andrews dilakukan.
24,27

1. Setelah bayi lahir, klem tali pusat mendekati vulva. Palpasi uterus dengan
hati-hati tanpa di masase untuk menilai kontraksi uterus.
2. Setelah muncul tanda pelepasan plasenta, pegang klem dekat vulva dengan
satu tangan, dan jari tangan lainnya pada abdomen, dan tekan antara
fundus dan simfisis untuk mengangkat uterus. Jika plasenta telah terlepas,
tali pusat akan meluncur ke arah vagina.
Berikut adalah tanda-tanda pelepasan dari plasenta : 24,16,27
a. Uterus menjadi globular, dan biasanya lebih kencang. Tanda ini terlihat
paling awal.
b. Sering ada pancaran darah mendadak.
c. Tali pusat keluar lebih panjang dari vagina ± 3 cm, yang menunjukkan
bahwa plasenta telah turun.
Tanda-tanda ini kadang-kadang terlihat dalam waktu satu menit setelah
bayi lahir dan biasanya dalam 5 menit.6
3. Setelah fundus terangkat, lakukan traksi lembut pada tali pusat, dan
lahirkan plasenta dari vagina.

Gambar15. Teknik Brandt-Andrews27

14
Manuver ini diulangi beberapa kali sampai plasenta mencapai introitus.
Saat plasenta melewati introitus, penekanan pada uterus dihentikan. Plasenta
kemudian secara perlahan dikeluarkan dari introitus. Tindakan hati-hati
diperlukan untuk mencegah membran supaya tidak terputus dan tertinggal. Jika
membran mulai robek, pegang robekan dengan klem dan tarik perlahan.
Permukaan maternal plasenta harus diperiksa secara hati-hati untuk memastikan
bahwa tidak ada fragmen plasenta tertinggal di uterus.21,24
Setelah lahirnya plasenta, hal ini umum dilakukan (walaupun tidak
diaplikasikan pada seluruh kasus) untuk memberikan oksitosin. Sebelumnya,
diberikan 5-10 IU IV setelah 5 menit untuk mengurangi perdarahan. Kini, lebih
sering diberikan 20 IU oksitosin dalam 1000 cc larutan IV 125-250 cc perjam.27

2.2.5 Etiologi
Etiologi retensio plasenta tidak diketahui dengan pasti sebelum tindakan.
Beberapa penyebab retensio plasenta adalah :15
1. Fungsional
a. His kurang kuat (penyebab terpenting). Plasenta sudah lepas tetapi belum
keluar karena atonia uteri dan akan menyebabkan perdarahan yang
banyak. Atau karena adanya lingkaran konstriksi pada bagian bawah
rahim (ostium uteri) akibat kesalahan penanganan kala III, yang akan
menghalangi plasenta keluar (plasenta inkarserata).
b. Plasenta sukar terlepas karena tempatnya (insersi di sudut tuba), bentuknya
(plasenta membranasea, plasenta anularis); dan ukurannya (plasenta yang
sangat kecil). Plasenta yang sukar lepas karena penyebab ini disebut
plasenta adhesiva.Plasenta adhesiva ialah jika terjadi implantasi yang kuat
dari jonjot korion plasenta sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme
perpisahan fisiologis.
2. Patologi-anatomi
Plasenta belum terlepas dari dinding rahim karena melekat dan tumbuh
lebih dalam. Menurut tingkat perlekatannya dibagi menjadi:
a. Plasenta akreta: vili korialis berimplantasi menembus desidua basalis dan
Nitabuch layer. Pada jenis ini plasenta melekat langsung pada
miometrium.

15
b. Plasenta inkreta: vili korialis sampai menembus miometrium, tapi tidak
menembus serosa uterus.
c. Plasenta perkreta: vili korialis sampai menembus serosa atau perimetrium.
Plasenta akreta ada yang kompleta, yaitu jika seluruh permukaannya
melekat dengan erat pada dinding rahim. Plasenta akreta yang parsialis, yaitu jika
hanya beberapa bagian dari permukaannya lebih erat berhubungan dengan dinding
rahim. Plasenta akreta yang kompleta, inkreta, dan perkreta jarang terjadi.

Gambar 16. Jenis-jenis perlengketan plasenta20


2.2.6 Faktor predisposisi
Perlengketan plasenta yang abnormal terjadi apabila pembentukan desidua
terganggu. Keadaan-keadaan tersebut mencakup implantasi di segmen bawah
rahim (plasenta previa), di atas jaringan parut SC atau insisi uterus lainnya; atau
setelah kuretase uterus dan multiparitas, kelahiran preterm, serta induksi
persalinan.8,9,5 Dalam ulasannya terhadap 622 kasus yang dikumpulkan antara
tahun 1945 dan 1969, Fox (1972) mencatat karakteristik berikut :24,28
1. Plasenta previa diidentifikasi pada sepertiga kehamilan yang terkena
2. Seperempat pasien pernah menjalani seksio sesarea
3. Hampir seperempat pernah menjalani kuretase
4. Seperempatnya adalah gravida 6 atau lebih

2.2.7 Patogenesis
Penyebab pasti tertundanya pelepasan setelah waktu 30 menit tidak selalu
jelas, tetapi tampaknya cukup sering disebabkan oleh kontraksi uterus yang tidak
adekuat.6,12 Penyebab dari disfungsi kontraksi ini belum diketahui pasti. Kecuali
pada fibroid uterus, dimana sumber distensi uterus tidak dapat dihilangkan dengan

16
kontraksi uterus, maka kontraksi uterus yang tidak adekuat muncul. Namun,
uterus tidak harus mengalami distensi selama kala III hingga menyebabkan
kontraksi yang tidak adekuat. Distensi sebelum kelahiran bayi, seperti pada
kehamilan ganda dan polihidramnion, juga mempengaruhi kemampuan rahim
untuk berkontraksi secara efisien setelah kelahiran bayi, dan dengan demikian
keduanya menjadi faktor risiko lain untuk perdarahan postpartum karena atonia.19
Walaupun sangat jarang, plasenta dapat melekat erat ke tempat implantasi,
baik karena penetrasi berlebihan dari trofoblas maupun desidua basalis yang
sedikit (tipis) atau tidak ada sama sekali dan kelainan perkembangan lapisan
fibrinoid (lapisan Nitabuch) secara parsial atau total, sehingga tidak terdapat garis
pemisah fisiologis melalui lapisan spongiosa desidua. Akibatnya, satu atau lebih
kotiledon melekat erat ke desidua basalis yang cacat atau bahkan ke miometrium.
Kasus perlengketan plasenta ini dapat dilihat pada trimester pertama, yang
mengindikasikan bahwa proses patologinya mungkin muncul pada saat implantasi
dan bukan setelah masa gestasional.24
Pengalaman klinis juga menunjukkan bahwa kita tidak dapat
mengasumsikan bahwa perdarahan postpartum lebih umum terjadi pada
implantasi segmen bawah rahim, murni terjadi karena otot segmen bawah rahim
tidak memadai untuk berkontraksi. Dalam kasus plasenta previa dan plasenta
akreta, segmen bawah rahim terlihat lebih tipis dari lapisan normal. Peneliti
berhipotesis bahwa sifat kontraktil otot segmen bawah rahim, yang sudah lebih
kecil dari segmen atas, selanjutnya diturunkan oleh kehadiran plasenta. Ini berarti
bahwa implantasi sendiri memiliki efek buruk pada miometrium segmen bawah.
Selain itu, ada bukti yang bersifat anekdot yang menunjukkan bahwa invasi
trofoblas lebih cenderung pada daerah jaringan desidua yang sedikit (tipis),
termasuk implantasi pada bekas luka dan kehamilan ektopik. Peneliti berhipotesis
bahwa trofoblas akan lebih mudah menginvasi ke segmen bawah rahim dengan
lapisan desidua yang abnormal, dan meningkatkan kemungkinan plasenta akreta
untuk berkembang.19
Patofisiologi retensio plasenta ini juga bisa berarti plasenta telah terpisah
akan tetapi masih tertinggal akibat ketegangan tali plasenta atau leher rahim yang
tertutup.12 Faktor ini dapat muncul akibat kesalahan penanganan kala III

17
persalinan dan manipulasi yang berlebihan. 14 Pemijatan dan penekanan secara
terus-menerus terhadap uterus yang sudah berkontraksi dapat mengganggu
mekanisme fisiologis pelepasan plasenta sehingga pemisahan plasenta tidak
sempurna dan pengeluaran darah meningkat.24

2.2.8 Diagnosis
a) Gejala Klinis
Dari anamnesis, meliputi pertanyaan tentang periode prenatal, meminta
informasi mengenai episode perdarahan postpartum sebelumnya, paritas, serta
riwayat multipel fetus dan polihidramnion. Serta riwayat pospartum sekarang
dimana plasenta tidak lepas secara spontan atau timbul perdarahan aktif setelah
bayi dilahirkan.25

Gejala Akreta parsial Inkarserata Akreta


Konsistensi Kenyal Keras Cukup
uterus
Tinggi fundus Sepusat 2 jari bawah Sepusat
pusat
Bentuk uterus Diskoid Agak globuler Diskoid
Perdarahan Sedang- banyak Sedang Sedikit/ tidak ada
Tali pusat Terjulur Terjulur Tidak terjulur
sebagian
Ostium uteri Terbuka Konstriksi Terbuka
Pelepasan Lepas sebagian Sudah lepas Melekat seluruhnya
plasenta
Syok Sering Jarang Jarang sekali,
kecuali akibat
inversio oleh
tarikan kuat pada
tali pusat

Tabel 6. Identifikasi jenis retensio plasenta dan gambaran klinisnya

b) Pemeriksaan pervaginam

18
Pada pemeriksaan pervaginam, plasenta tidak ditemukan di dalam kanalis
servikalis tetapi secara parsial atau lengkap menempel di dalam uterus. 4 Pada
pemeriksaan plasenta yang lahir menunjukkan bahwa ada bagian tidak ada atau
tertinggal, dan pada eksplorasi secara manual terdapat kesulitan dalam pelepasan
plasenta atau ditemukan sisa plasenta.27
c) Pemeriksaan Penunjang29
1. Pemeriksaan darah untuk menilai peningkatan alfa fetoprotein.
Peningkatan alfa fetoprotein berhubungan dengan plasenta akreta
2. USG
Diagnosis plasenta akreta melalui pemeriksaan USG menjadi lebih
mudah bila implantasi plasenta berada di SBU bagian depan. Lapisan
miometrium dibagian basal plasenta terlihat menipis atau menghilang.
Pada plasenta perkreta vena-vena subplasenta terlihat berada di bagian
dinding kandung kemih.
3. MRI
Yang lebih baru adalah pemakaian magnetic resonance imaging (MRI)
untuk mendiagnosis plasenta akreta (Maldjian dkk., 1990). Diagnosis
lebih mudah ditegakkan jika tidak ada pendataran antara plasenta atau
bagian sisa plasenta dengan miometrium pada perdarahan postpartum.
4. Histologi
Menurut Bernischke dan Kaufmann (2000), diagnosis histologis
plasenta akreta tidak dapat ditegakkan hanya dari plasenta saja
melainkan dibutuhkan keseluruhan uterus atau kuretase miometrium.
Pada pemeriksaan histologi ini tempat implantasi plasenta selalu
menunjukkan desidua dan lapisan Nitabuch yang menghilang.

2.2.9 Tatalaksana

19
Pada retensio plasenta, sepanjang plasenta belum terlepas, maka tidak akan
menimbulkan perdarahan.9 Bila terjadi banyak perdarahan atau bila pada
persalinan-persalinan yang lalu ada riwayat perdarahan postpartum, maka tak
boleh menunggu, sebaiknya plasenta langsung dikeluarkan dengan tangan. Juga
kalau perdarahan sudah lebih dari 500 cc atau satu nierbekken, sebaiknya plasenta
langsung dikeluarkan secara manual dan diberikan uterus tonika, meskipun kala
III belum lewat setengah jam.9,2 Plasenta mungkin pula tidak keluar karena
kandung kemih atau rektum penuh, karena itu keduanya harus dikosongkan.20
Tindakan yang dapat dikerjakan pada retensio plasenta adalah : 15
a) Coba 1 - 2 kali dengan perasat Crede
Perasat Crede’ bermaksud melahirkan plasenta yang belum terlepas
dengan ekspresi. Syaratnya yaitu uterus berkontraksi baik dan vesika urinaria
kosong. Pelaksanaan :
1. Fundus uterus dipegang oleh tangan kanan sedemikian rupa, sehingga ibu jari
terletak pada permukaan depan uterus sedangkan jari lainnya pada fundus dan
permukaan belakang. Bila ibu gemuk hal ini tidak dapat dilaksanakan dan
sebaiknya langsung dikeluarkan secara manual. Setelah uterus dengan
rangsangan tangan berkontraksi baik, maka uterus ditekan ke arah jalan lahir.
Gerakan jari-jari seperti memeras jeruk. Perasat Crede’ tidak boleh dilakukan
pada uterus yang tidak dilakukan pada uterus yang tidak berkontraksi karena
dapat menimbulkan inversio uteri.
2. Perasat Crede’ dapat dicoba sebelum meningkat pada pelepasan plasenta
manual.

b) Keluarkan plasenta dengan tangan (manual plasenta)

20
Manual plasenta adalah tindakan invasif dan, kadang memerlukan
anestesia. Manula plasenta harus dilakukan sesuai indikasi dan oleh operator
berpengalaman. Indikasi manual plasenta meliputi: retensio plasenta dan
perdarahan banyak pada kala III yang tidak dapat dihentikan dengan uterotonika
dan masase, suspek ruptur uterus, dan retensi sisa plasenta.

Gambar 17. Manual plasenta


Pelaksanaan :
1. Sebaiknya pelepasan plasenta secara manual dilakukan dalam narkosis,
karena relaksasi otot memudahkan pelaksanaannya. Sebaiknya juga dipasang
infus garam fisiologik sebelum tindakan dilakukan. Setelah memakai sarung
tangan dan disinfeksi tangan dan vulva, termasuk daerah sekitarnya, maka
labia dibeberkan dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan dimasukkan
secara obstetrik ke dalam vagina.
2. Tangan kiri sekarang menahan fundus untuk mencegah kolpaporeksis. Tangan
kanan dengan gerakan memutar-mutar menuju ostium uteri dan terus ke
lokasi plasenta; tangan dalam ini menyusuri tali pusat agar tidak terjadi false
route.
3. Supaya tali pusat mudah teraba, dapat diregangkan oleh asisten. Setelah
tangan dalam sampai ke plasenta maka tangan tersebut pergi ke pinggir
plasenta dan mencari bagian plasenta yang sudah lepas untuk menentukan
bidang pelepasan yang tepat. Kemudian dengan sisi tangan sebelah
kelingking plasenta dilepaskan pada bidang antara bagian plasenta yang
sudah terlepas dan dinding rahim dengan gerakan yang sejajar dengan

21
dinding rahim. Setelah seluruh plasenta terlepas, plasenta dipegang dan
dengan perlahan-lahan ditarik ke luar.
4. Periksa cavum uterus untuk memastikan bahwa seluruh plasenta telah
dikeluarkan.
5. Lakukan masase untuk memastikan kontraksi tonik uterus.
6. Setelah plasenta dilahirkan dan diperiksa bahwa plasenta lengkap, sementara
kontraksi uterus belum baik segera dilakukan kompresi bimanual uterus dan
disuntikkan ergometrin 0,2 mg IM atau IV sampai kontraksi uterus baik. Pada
retensio plasenta, risiko atonia uteri tinggi oleh karena itu harus segera
dilakukan tindakan pencegahan perdarahan postpartum. Apabila kontraksi
uterus tetap buruk setelah 15 detik, dilanjutkan dengan tindakan sesuai
prosedur tindakan pada atonia uteri.22
7. Kesulitan yang mungkin dijumpai pada manual plasenta ialah adanya
lingkaran konstriksi, yang hanya dapat dilalui dengan dilatasi oleh tangan
dalam secara perlahan-lahan dan dalam narkosis yang dalam. Lokasi plasenta
pada dinding depan rahim juga sedikit lebih sukar dilepaskan daripada lokasi
pada dinding belakang.
c) Kuretase
Seringkali pelepasan sebagian plasenta dapat dilakukan dengan manual
plasenta dan kuretase digunakan untuk mengeluarkan sebanyak mungkin jaringan
yang tersisa. Kuretase mungkin diperlukan jika perdarahan berlanjut atau
pengeluaran manual tidak lengkap.

d) Tindakan bedah
Jika faktor risiko dan gambaran prenatal sangat mendukung diagnosis
perlengketan plasenta, Cesarean hysterectomy umumnya di rencanakan, terutama
pada pasien yang tidak berharap untuk mempertahankan kehamilan. Jika plasenta
akreta ditemukan setelah melahirkan bayi, plasenta sesegera mungkin dikeluarkan
untuk mengosongkan cavum uteri. Walaupun dalam banyak kasus pengeluaran
plasenta akan menimbulkan perdarahan massif yang akan berakhir dengan
histerktomi. Pada kasus plasenta akreta kompleta, tindakan terbaik ialah

22
histerektomi. Jika perlengketan tidak terdiagnosis sebelum melahirkan dan
perdarahan postpartum terjadi saat manual plasenta, beberapa tindakan dapat
menjadi pilihan, tergantung keinginan pasien dan keadaan cerviks. Jika tidak ada
kemungkinan untuk meneruskan persalinan atau hemodinamik tidak stabil,
histerektomi harus dilakukan. Disisi lain, beberapa usaha dapat dilakukan untuk
mempertahankan uterus dengan tindakan bedah (ligasi arteri hipogastrika) atau
secara radiologik (teknik embolisasi dari arteri uterina). Kayem menjelaskan
dalam sebuah kasus terjadi resorpsi spontan dari plasenta setelah 6 bulan
embolisasi arteri uterina.19

Gambar 18. Ligasi arteri hipogastrika19

Dalam kasus plasenta perkreta, darah akan terus mengalir melalui daerah
invasi ketika sebagian plasenta dilepaskan karena tidak adanya ligasi fisiologis
miometrium yang biasanya akan membendung aliran darah. Jika kasus ini
ditemukan saat operasi caesar maka hemostasis dapat dicapai melalui jahitan pada
miometrium, atau melalui ligasi arteri uterina maupun arteri iliaka interna.
Namun, histerektomi pun biasanya diperlukan.17
e) Bila perdarahan banyak berikan transfusi darah
f) Terapi konservatif
Terapi konservatif diberikan tergantung pada penemuan plasenta akreta,
terdapat 2 tipe terapi konservatif :19
1. Ketika terdiagnosis selama kala III persalinan, pengeluaran plasenta tidak
disarankan; terapi konservatif ialah dengan meninggalkan plasenta, sebagian

23
atau keseluruhan, dalam uterus ketika hemodinamik pasien dianggap stabil
dan tidak ada risiko septik.
2. Ketika plasenta akreta disuspek sebelum melahirkan (berdasarkan riwayat
dan USG dan atau MRI), kasus dibahas dalam pertemuan obstetrik harian dan
terapi konservatif disarankan kepada pasien. Pada kasus ini tindakan meliputi
beberapa tahap. Letak plasenta dipastikan dengan USG. Seksio sesarean di
rencanakan, dengan insisi abdominal pada midline infraumbilikus, dan insisi
vertikal pada uterus sepanjang insersi plasenta. Setelah pengeluaran janin,
plasenta dilahirkan secara hati-hati, dengan injeksi 5 IU oksitosin dan traksi
tali pusat. Jika gagal, plasenta dipertimbangkan sebagai “akreta”. Tali pusat
dipotong pada insersinya dan plasenta dibiarkan dalam cavum uteri; insisi
uterus di tutup. Terapi antibiotik profilaksis (amoksisilin dan asam clavulanik)
diberikan selama 10 hari.
Jika diagnosis dari plasenta perkreta dapat ditegakkan sebelum plasenta
dikeluarkan (dapat dilakukan dengan USG antenatal) maka pasien dapat
diterapi konservatif. Bayi dilahirkan secara normal lalu plasenta dibiarkan in
situ jika tidak ada perdarahan. Kadar β-HCG diperiksa dan manual plasenta
serta kuterase dilakukan ketika tidak terdeteksi. Metotreksat dapat digunakan
pada situasi ini. Dalam penelitian lain mengemukakan bahwa penggunaan
metotreksat menyebabkan pengeluaran spontan plasenta setelah 4 minggu.19

g) Berikan juga obat-obatan seperti uterotonika dan antibiotika


Jenis dan Oksitosin Ergometrin Misoprostol
Cara
Dosis dan IV : 20 IU dalam 1 L IM atau IV Oral atau rektal
cara larutan garam fisiologis (lambat) : 0,2 mg 400 μg dapat
pemberian dengan tetesan cepat diulang sampai
IM : 10 IU 1200 μg
Dosis IV : 20 IU dalam 1 L Ulangi 0,2 mg IM 400 μg 2-4 jam
lanjutan larutan garam fisiologis setelah 15 menit setelah dosis awal
dengan 40 tetes/menit
Dosis Tidak lebih dari 3 L Total 1 mg atau 5 Total 1200 μg
maksimal larutan dengan oksitosin dosis atau 3 dosis

24
perhari

kontraindikasi Pemberian IV secara Preeklampsia, Nyeri kontraksi,


cepat atau bolus vitium cordis, asma
hipertensi

Tabel 7. Jenis uterotonika dan cara pemberiannya40

Retensio plasenta

Penanganan umum :
Infus transfusi darah
Pertimbangkan untuk rujuk
RSU C

Perdarahan banyak Perdarahan sedikit


300 – 400 cc Anemia dan syok
Perlengketan plasenta

Plasenta manual
Indikasi
Perdarahan 400 cc
Pascaoperasi vaginal
Pascanarkose
Habitual HPP
Teknik
Telusuri tali pusat
Dengan ulner tangan
Masase intrauterin
Uterotonika IM-IV

Plasenta rest : Plasenta melekat :


Berhasil baik : Kuretase tumpul Akreta
Observasi : Utero-vaginal tampon Inkreta
Keadaan umum Masase Perkreta
Perdarahan Adesiva
Obat profilaksis :
Vitamin
Fe preprat
Antibiotika Perdarahan terus : Histerektomi
Uterotonika Tampon bedah Pertimbangan :
25
Atonia uteri Keadaan umum
Umur penderita
Paritas penderita
Ligasi arteri hipogastrika
Gambar 19. Penatalaksanaan retensio plasenta26

BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Nama : Ny. Ss
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 35 Tahun
Alamat : Koto Baru
Pekerjaan : Swasta
Status : Menikah
Tanggal Masuk RS : 11-111-2018

II. ANAMNESIS
Seorang pasien, wanita, umur 35 tahun, masuk KB IGD RSU Sungai Dareh
tanggal 11 – 11 – 20018 jam 00.20 WIB diantar bidan dengan
Keluhan Utama
Plasenta masih tetrtahan di dalam cavum uteri sejak 2 jam yang lalu
Riwayat Penyakit Sekarang :
 Keluar darah yang banyak dari kemaluan sejak 2 jam yang lalu
 Sebelumnya pasien melahirkan anak ke 2, lahir anak laki-laki, spontan,
BB 3300 gr, PB = 50 cm, langsung menangis di bidan, dengan plasenta

26
tertahan di dalam cavum uteri, kontraksi lemah, pada pasien sudah
dilakukan manajemen tali pusat terkendali selama ± 30 menit tapi plasenta
belum keluar.
 Perdarahan banyak dari kemaluan (+) bewarna merah terang.

Riwayat Penyakit Dahulu :


 Tidak ada riwayat tali pusat anak tertinggal sebelumnnya pada anak
pertama.
 Hipertensi (-) DM (-).

Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit keturunan, menular dan
kejiwaan.

Riwayat Perkawinan : 1 x tahun 2010

Riwayat Kehamilan/abortus/persalinan : 2/0/2


1. 2011, perempuan, 3100 gr, aterm, rumah sakit (dokter), spontan, hidup
2. Sekarang, perempuan, 3300 gr, aterm, bidan, spontan, hidup

I. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalisata
KU : Berat Kesadaran : CMC
TD : 80/pulse Gizi : sedang
Nadi : 100x/m TB : 160 cm
Suhu : 36,50C BB : 60 kg
Nafas : 22x/m Edema : -
Anemis : +/+ Sianosis : -
Ikterus : -
Kepala : Conjungtiva anemis +/+, sceleraikterik -/-

27
Leher : JVP 5-2 cmH20
Dada : Pulmo : Vesikuler, RH -/-, WH -/-
Cor : BJ 1 dan BJ 2 reguler, murmur (-)
Angg. Gerak : akral dingin +/+, CRT <3 detik

Status Obstetrikus
Abdomen :
I. tampak agak membuncit
P. FUT teraba setinggi pusat
NT (-), NL (-), kontraksi lemah
Pk. Tympani
A. BU (+), Normal
Genitalia :
I. V/U tenang
PPV (+) aktif
Tampak tali pusat menjulur dari introitus vagina

II. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium
Jenis Pemeriksaan HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN
Hemoglobin 3,3 gr/dl 13.0-18,0
Hematokrit 10% % 40.0-48,0
Lekosit 9.740 /mm3 5.000-10.000
Trombosit 87.000 /mm3 150.000-400.000
Glukosa sewaktu 70 mg/dl 70-140
Gol. Darah : o
HbsAg : non Reaktif

III. DIAGNOSA KERJA :


Syok hemoragik ec Early HPP ec retensio plasenta pada P2A0H2 post
partus spontan pervaginam dari luar + anemia berat

IV. TATALAKSANA :
 Explorasi

28
 Resusitasi
 O2 3-4 L/i
 IVFD RL guyur 4 kolf
 IVFD RL +Drip oxytocin +metergin : 1:1
 Inj. Cefotaxim 2x1 gr
 Inj. As.Traneksamat 3x1
 Inj. Vitamin K 3x1
 Pasang kateter urin
 Transfusi PRC 1 kantong

Rencana :
- Manual Plasenta
- Transfuse PRC 4 kantong
Jam 00.40 WIB
- Dilakukan manual plasenta dan keluar plasenta lengkap
- Transfuse PRC 1 kantong
- KU: sedang TD : 100/70 mmHg Nf : 22 x/i
Kesadaran CMC Nd : 78 X/i T : 37 c
- TFU : 2 jari di bawah pusat
Kontraksi: baik
PPV : V/U tenang, perdarahan (+) sedikit
- Rencana transfusi PRC 1 kantong lagi di rawatan

Follow up
Tanggal Subjektif Objektif Assesment Planning
11-10-18 PPV (-) TD: 110/70 mmHg Early HPP  IVFD RL 12
pusing (-) HR : 80 x/menit ec retensio jam/kolf
Demam (-) RR : 20 x/menit plasenta  Inj.Cefotaxim 2x1
BAK (+) S : 36,7 °C pada gr
Mata : CA (+/ P2A0H2  SF 2x180 mg
+),SI (-/-) post partus  Vit C 3x50 mg
Abd : FUT 2 jari spontan  As. Mefenamat
bawah pusat, pervagina 3x500 mg
kontraksi baik m dari luar  Transfusi PRC 1
Genitalia : V/U + anemia

29
tenang, PPV (-) berat kantong lagi
+syok
hemoragik
dalam
perbaikan
12-10-18 PPV (-) TD: 110/70 mmHg Early HPP  IVFD RL 12
08.00 pusing (-) HR : 86 x/menit ec retensio jam/kolf
Demam (-) RR : 20 x/menit plasenta  Inj.Cefotaxim 2x1
BAK (+) S : 36,8 °C pada gr
P2A0H2  SF 2x180 mg
Mata : CA (+/ post partus  Vit C 3x50 mg
+),SI (-/-) spontan  As. Mefenamat
Abd : FUT 2 jari pervagina 3x500 mg
bawah pusat, m dari luar  Transfusi PRC 1
kontraksi baik + anemia kantong lagi
Genitalia : V/U berat
 Cek labor 6 jam
tenang, PPV (-) +syok
post transfusi
hemoragik
dalam
perbaikan

19.30 PPV (-) TD: 110/70 mmHg Early HPP


 IVFD RL 12
HR : 86 x/menit ec retensio
RR : 20 x/menit jam/kolf
plasenta
S : 36,8 °C pada  Inj.Cefotaxim 2x1
P2A0H2 gr
Abd : FUT 2 jari post partus  SF 2x180 mg
bawah pusat, spontan  Vit C 3x50 mg
kontraksi baik pervagina  As. Mefenamat
Genitalia : V/U m dari 3x500 mg
tenang, PPV (-) luar+
anemia
Hasil lab: berat
Hb: 13,1 g/dl +syok
Leukosit : hemoragik
15.790/mm dalam
Trombosit : perbaikan
198.000/mm
Ht: 38 %

30
13-10-18 PPV (-) TD: 110/70 mmHg Early HPP  IVFD RL 12
pusing (-) HR : 85 x/menit ec retensio jam/kolf
Demam (-) RR : 20 x/menit plasenta  Inj.Cefotaxim 2x1
BAK (+) S : 36,5 °C pada gr
P2A0H2  SF 2x180 mg
Mata : CA (-/-),SI post partus  Vit C 3x50 mg
(-/-) spontan  As. Mefenamat
Abd : FUT 3 jari pervagina 3x500 mg
bawah pusat, m dari luar
kontraksi baik + anemia
Genitalia : V/U berat Obat pulang
tenang, PPV (-) +syok - Cefixime 2x100 mg
hemoragik - Sf 2x180 mg
dalam - Vit c 3x50 mg
perbaikan - As. Mefenamat
3x500 mg

Kontrol ke poli KB 1
minggu lagi.

BAB IV
DISKUSI

Seorang pasien perempuan berusia 35 tahun datang ke KB IGD RSU


Sungai Dareh Padang rujukan dari bidan, pada tanggal 11-11-2018 Pukul 00.20
dengan P2A0H0 post partum + retensio plasenta.

Dari anamnesis didapatkan Keluar darah yang banyak dari kemaluan sejak
2 jam yang lalu , Sebelumnya pasien melahirkan anak ke 2, lahir anak laki-laki,
spontan, BB 3300 gr, PB = 50 cm, langsung menangis di bidan, dengan plasenta
tertahan di dalam cavum uteri, kontraksi lemah, pada pasien sudah dilakukan
manajemen tali pusat terkendali selama ± 30 menit tapi plasenta belum keluar,
Perdarahan banyak dari kemaluan (+) bewarna merah terang . Berdasarkan
anamnesis hal ini sesuai dengan pengertian dengan perdarahan post partum yaitu
perdarahan pasca persalinan atau post partum haemorrhage (PPH) adalah
perdarahan atau hilangnya darah 500 cc atau lebih yang terjadi setelah anak lahir

31
dan di dukung dengan defenisi retenso plasenta yaitu plaseta tertinggal di dalam
cavum uteri setelah dilakukan manajemen tali pusat terkendali.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan TD 80/pulse, nd 100x/I, nf : 22x/I, suhu
36,50C pasien tampak anemis,konjungtiva anemis, abdomen teraba setinggi
pusat, kontraksi lemah, pada genitalia didapatkan V/U tenang, PPV (+) aktif,
tampak tali pusat menjulur dari introitus vagina. Hal ini menandakan sudah terjadi
gejala syok hemoragik pada pasien dan mengeluarkan darah banyak sehingga
tampak anemis.

Pada pasien dilakukan resusitasi dengan cara memasang 2 line yaitu guyur RL
4 kolf dan RL RL +Drip oxytocin +metergin : 1:1 untuk memperbaiki kontraksi,
kemudian pasang kateter urin dan medikamentosa lainnya dan transfuse PRC 1
kantong, kemudian dilakukan manual plasenta pada pasien, plasenta lahir dengan
lengkap keadaan syok membaik, pasien di evaluasi di IGD dengan vital sign TD
100/70 mmHg, Nd : 78 X/I, Nf : 22 x/I, T : 37 c, pada pemeriksaan abdomen
teraba 2 jari dibawah pusat, kontraksi baik, perdarahan (+) sedikit. Pasien dikirim
ke rawatan dan di rencanakan masuk PRC 3 Kantong lagi, setelah rawatan 3 hari
dan sudah masuk PRC 4 kantong, perdarahan (-) dan berdasarkan pemeriksaan lab
di dapatkan Hb 13,1 g/dl pasien di pulangkan dengan obat cefixime 2x100 mg, sf
Sf 2x180 mg, Vit c 3x50 mg, As. Mefenamat 3x500 mg. pasien diminta kontrol
kembali 1 minggu lagi.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Hanifa W. Ilmu Bedah Kebidanan Edisi Keempat Cetakan Ketiga. Jakarta:


Yayasan Bina Pustaka sarwono Prawirohardjo; 2013.
2. Parisei, Maryam, Shailendra, Archana, Dutta, Ruma, Broadbent, J A Mark.
2008. Obstetrics and gynecology. Ed 2. Elsevier.
3. Gondo, Harry Kurniawan.Penanganan Perdarahan Post Partum, Lecturer
4. Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya.2010
5. Shane, B. Mencegah Pcrdarahan Pasca Persalinan: Menangani Persalinan
Kala Tiga. Outlook, [online]. 2002. Juni. [cited 2012 Januari 28]. Volume
19, Hal. 1-9. Available from: URL: http://www.path.org.
6. Hanifa Wiknjosastro. Gangguan dalam kala III persalinan. Dalam :
Abdul, Trijatmo, eds. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo; 1999. Hal. 653.
7. Joko, ed. Dasar-dasar obstetri dan ginekologi Jakarta: Hipokrates; 2001.
8. Mike, ed. Buku panduan high risks obstetrics: firedrills and

33
workshop. Jakarta: the Royal College of Obstetricians and Gynaecologists;
2001.
9. Badriyah. Pengaruh faktor resiko terhadap perdarahan ibu post partum di
RS Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan. Jurnal penelitian kesehatan
suara forikes. [online]. 2011. Januari. [cited 2012 Januari 30]. Volume 11.
Hal. 31. Available from. URL: http://www. google.com
10. Angka Kematian Ibu. 2012. Available in URL: www.menegpp.go.id
11. Emilia, O. Etiologi dan Faktor Resiko PPH. [online] 2011. [cited 2012
Maret 15]. Available from : https://docs.google.com/viewer?
a=v&q=cache:ri08 yAqykogJ:obginugm.com/index.php
12. Smith, J. R., Brerman, B. G., Postpartum Hemorrhage, [online]. 2004.
[cited 2012 Januari 30]. Available from: URL: http://www.emedicine.com
13. Alan, Lauren, eds. Postpartum hemorrhage. United States of America:
McGraw Hill Company; 2007.
14. Errol, ed. Obstetrics and gynecology at a glance. Oxford: Blackwell; 2001
15. C. V-Lynch, L. G. Keith,A. B. Lalonde, and M. Karoshi, Eds. A Textbook of
Postpartum Hemorrhage. A Comprehensive Guide to Evaluation
16. Hanifa W. Ilmu Bedah Kebidanan Edisi Pertama Cetakan Ketujuh. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka sarwono Prawirohardjo; 2007
17. Jevuska. Patofisiologi Retensio Plasenta. 2013 Diakses pada tanggal 28
September 2013 dari http://www.jevuska.com/2011/09/10/patofisiologi-
retensio-plasenta
18. Weeks AD. The Retained Placenta. USA: National Center for
Biotechnology Information, U.S. National Library of Medicine from African
Health Sciences Makerere Medical School; 2001. Diakses pada tanggal 28
September 2013 dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2704447/

19. Memon SR, Talpur NN, Korejo RK. Rawal Medical Journal Volume 36
Number 4 : Outcome of Patients Presenting With Retained Placenta.
Pakistan: Departemen of Obstetrics and Ginecology; 2011. Diakses pada
tanggal 24 September 2013 dari www.scopemed.org/fulltextpdf.php?
mno=12733

34
20. DeCherney AH, Nathan L. Curren. Obstetric & Gynecologic Diagnosis &
Treatment, Ninth Edition: Postpartum Hemorrhage & Abnormal
Puerperium: Retained Placenta Tissue. California: The McGraw-Hill
Companies, Inc; 2003. 28:323-327.
21. Rohani, Sasmita R, Marisah. Asuhan Kebidanan Pada Masa Persalinan.
Jakarta: Salemba Medika; 2011.

22. Hill M. Placental Development. UNSW Embryology; 2013. Diakses pada


tanggal 27 September 2013 dari
http://php.med.unsw.edu.au/embryology/index.php?
title=Placenta_Development
23. Sastrawinata S, Martaadisoebrata D, Wirakusumah FF. Obstetri Patologi
Ilmu Kesehatan Reproduksi Edisi 2. Jakarta: EGC; 2004.
24. Anonim. Perdarahan Post Partum Akibat Plasenta Rest. 2012. Diakses
pada tanggal 28 September 2013 dari
http://www.scribd.com/doc/135982233/Plasenta-Rest-Edit
25. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap III LG, Hauth JC,
Wenstrom KD. Obstetri Williams Volume 1 Edisi 21. Jakarta: EGC; 2005.
26. Prabowo E. Retensio Plasenta. Jakarta:
http://samoke2012.files.wordpress.com/2012/10/retensio-plasenta.pdf
27. Weeks AD. The Retained Placenta. USA: National Center for
Biotechnology Information, U.S. National Library of Medicine from African
Health Sciences Makerere Medical School; 2001. Diakses pada tanggal 28
September 2013 dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2704447/
28. Pernoll ML. Benson & Pernonoll’s Handbook of Obstetrics & Gynecology
Tenth Edition. New York: McGraw-Hill; 2001. 6:173-177; 11:341-342.
29. Memon SR, Talpur NN, Korejo RK. Rawal Medical Journal Volume 36
Number 4 : Outcome of Patients Presenting With Retained Placenta.
Pakistan: Departemen of Obstetrics and Ginecology; 2011. Diakses pada
tanggal 24 September 2013 dari www.scopemed.org/fulltextpdf.php?
mno=12733
30. Committee Opinion. Placenta Accreta. Washington DC: American Congress
of Obstetricians and Gynecologists; 2012. Diakses pada tanggal 26
September 2013 dari http://www.acog.org/Resources%20And

35
%20Publications/Committee%20Opinions/Committee%20on%20Obstetric
%20Practice/Placenta%20Accreta.aspx

36

Anda mungkin juga menyukai