Oleh:
Preseptor:
dr. Syamel Muhammad, Sp.OG (K)
PADANG
2019
BAB 1
PENDAHULUHAN
2.1. Definisi
Perdarahan post partum atau perdarahan pasca persalinan atau post
partum haemorrhage (PPH) adalah Perdarahan dapat terjadi sebelum, selama,
atau sesudah lahirnya plasenta. Definisi lain menyebutkan perdarahan pasca
persalinan adalah perdarahan 500 cc atau lebih yang terjadi setelah
plasenta lahir. Perdarahan post partum dapat bersifat minor (500-1000 ml) atau
pun mayor (>1000 ml). Perdarahan mayor dapat dibagi menjadi sedang (1000-
2000 ml) atau berat (>2000 ml). Perdarahan mayor pun juga dibedakan menjadi
sedang (Menurut waktu terjadinya dibagi atas dua bagian:4,8
a. Perdarahan post partum primer (early postpartum hemorrhage) yang terjadi
dalam 24 jam setelah anak lahir.
b. Perdarahan post partum sekunder (late postpartum hemorrhage) yang
terjadi antara 24 jam sampai 6 minggu post partum (masa nifas).
2.3. Etiologi
Faktor-faktor yang menyebabkan perdarahan postpartum adalah 4T
(Tonus, Tissue, Trauma, dan Trombin) dimana tonus paling banyak disebabkan
oleh atonia uteri, sedangkan tissue disebabkan oleh retensio plasenta, serta sisa
plasenta; trauma disebabkan salah satunya oleh perlukaan jalan lahir, serta
trombin biasanya akibat kelainan pembekuan darah.4,7
2.6.3. Patofisiologi
Pada awal persalinan, estrogen akan meningkat dalam darah. Hal ini
menyebabkan uterus menjadi lebih mudah terangsang, dan pembentukan
prostaglandin lebih banyak lagi, yang kemudian menyebabkan kontraksi uterus.
Jumlah reseptor oksitosin lebih banyak lagi, yang kemudian menyebabkan
kontraksi uterus. Jumlah reseptor oksitosin di miometrium dan desidua
(endometrium kehamilan) meningkat lebih dari 100 kali selama kehamilan dan
mencapai puncaknya selama awal persalinan. Estrogen meningkatkan jumlah
reseptor oksitosin, dan peregangan uterus pada akhir kehamilan juga dapat
meningkatkan pembentukan uterus berespon terhadap konsentrasi oksitosin
plasma yang normal. Begitu persalinan dimulai, kontraksi uterus menyebabkan
dilatasi serviks, dilatasi ini selanjutnya menimbulkan sinyal pada saraf aferen
yang dipancarkan ke nukleus supraoptik dan paraventrikel meningkatkan sekresi
oksitosin. Kadar oksitosin plasma meningkat dan lebih banyak oksitosin tersedia
untuk bekerja pada uterus. Dengan demikian, terjadi umpan balik positif yang
membantu persalinan dan berakhir setelah hasil konsepsi dikeluarkan. Oksitosin
meningkatkan kontraksi uterus dengan dua cara: 1) bekerja langsung pada sel otot
polos uterus untuk membuatnya berkontraksi, dan 2) merangsang pembentukan
prostaglandin di desidua.15
Dalam persalinan, pembuluh darah yang ada di uterus melebar untuk
meningkatkan sirkulasi ke sana. Setelah persalinan, kontraksi uterus merupakan
mekanisme utama untuk mengontrol perdarahan setelah melahirkan.15
10. Setelah perdarahan teratasi (24 jam setelah perdarahan berhenti), periksa
kadar hemoglobin:
a. Jika Hb kurang dari 7 g/dl atau hematokrit kurang dari 20%( anemia
berat):berilah sulfas ferrosus 600 mg atau ferous fumarat 120 mg
ditambah asam folat 400 mcg per oral sekali sehari selama 6 bulan;
b. Jika Hb 7-11 g/dl: beri sulfas ferrosus 600 mg atau ferous fumarat 60
mg ditambah asam folat 400 mcg per oral sekali sehari selama 6
bulan;
b) Penanganan Khusus18
1. Kenali dan tegakkan diagnosis kerja atonia uteri.
2. Teruskan pemijatan uterus. Masase uterus akan menstimulasi kontraksi
uterus untuk menghentikan perdarahan.
3. Oksitosin dapat diberikan bersamaan atau berurutan
4. Jika uterus berkontraksi. Evaluasi, jika uterus berkontraksi tapi perdarahan
uterus berlangsung, periksa apakah perineum/vagina dan serviks
mengalami laserasi dan jahit atau rujuk segera.
5. Jika uterus tidak berkontraksi maka: Bersihkan bekuan darah atau selaput
ketuban dari vagina & ostium serviks. Pastikan bahwa kandung kemih
telah kosong
Masase fundus uteri segera setelah
plasenta lahir (maksimal 15 detik)
Ya
Uterus kontraksi ? Evaluasi rutin
Tidak
Ya
Uterus kontraksi ? Pengawasan kala IV
Tidak
tetap
Perdarahan ? Histerektomi
berhenti
Pertahankan Uterus
Peralatan : sarung tangan steril; dalam keadaan sangat gawat; lakukan dengan
tangan telanjang yang telah dicuci.
Teknik:
1. Basuh genetalia eksterna dengan larutan disinfektan; dalam kedaruratan
tidak diperlukan
2. Eksplorasi dengan tangan kiri
3. Sisipkan tinju kedalam forniks anterior vagina
4. Tangan kanan (luar) menekan dinding abdomen diatas fundus uteri dan
menangkap uterus dari belakang atas
5. Tangan dalam menekan uterus keatas terhadap tangan luar
6. Bila uterus refrakter oksitosin, dan perdarahan tidak berhenti setelah
kompresi bimanual, maka histerektomi tetap merupakan tindakan terakhir.
d) Penggunaan Balon Kateter dan Kondom Kateter18
Pada kondisi di mana rujukan tidak memungkinkan dan semua upaya
menghentikan perdarahan tidak berhasil maka alternativ yang mungkin dapat
dilakukan adalah pemasangan balon kateter dengan menggunakan Sengstaken-
Blakemore tube, Rusch hidrostatik balloon kateter (Folley catheter) atau SOS
Bakri tamponade balloon catheter. Cara penggunaannya adalah dengan
menginsersikan balon pada uterus kemudian dikembangkan dengan menggunakan
cairan saline sebanyak 500 ml lalu dapat dipasang tampon kasa pada vagina untuk
menjaga balon tetap berada dalam uterus serta untuk mengevaluasi perdarahan,
dan dilepas 24-48 jam kemudian.
Gambar 8. Bakri ballon, Rusch hidrostatik balloon kateter (Folley catheter), dan
Sengstaken-Blakemore tube
Pada tahun 2003 Sayeba Akhter dkk mengajukan alternatif baru dengan
pemasangan kondom yang diikatkan pada kateter. Dari penelitiannya disebutkan
angka keberhasilannya 100% ( 23 berhasil dari 23 PPH ), kondom dilepas 24 – 48
jam kemudian dan tidak didapatkan komplikasi yang berat. Indikasi pemasangan
kondom sebagai tampon tersebut adalah untuk PPH dengan penyebab Atonia
Uteri. Cara ini kemudian disebut dengan Metode Sayeba. Metode ini digunakan
sebagai alternatif penanganan HPP terutama sambil menunggu perbaikan keadaan
umum, atau rujukan.
Cara pemasangan tampon kondom menurut Metode Sayeba adalah secara
aseptik kondom yang telah diikatkan pada kateter dimasukkan kedalam cavum
uteri. Kondom diisi dengan cairan garam fisiologis sebanyak 250-500 cc sesuai
kebutuhan. Dilakukan observasi perdarahan dan pengisian kondom dihentikan
ketika perdarahan sudah berkurang. Untuk menjaga kondom agar tetap di cavum
uteri, dipasang tampon kasa gulung di vagina. Bila perdarahan berlanjut tampon
kassa akan basah dan darah keluar dari introitus vagina. Kontraktilitas uterus
dijaga dengan pemberian drip oksitosin paling tidak sampai dengan 6 jam
kemudian. Diberikan antibiotika tripel, Amoksisilin, Metronidazol dan
Gentamisin. Kondom kateter dilepas 24 – 48 jam kemudian, pada kasus dengan
perdarahan berat kondom dapat dipertahankan lebih lama.
Gambar 9. Kondom Kateter
e) Operatif19
1. Ligasi Arteri Uterina
Beberapa penelitian tentang ligasi arteri uterina menghasilkan angka
keberhasilan 80-90%. Pada teknik ini dilakukan ligasi arteri uterina yang berjalan
disamping uterus setinggi batas atas segmen bawah rahim. Jika dilakukan SC,
ligasi dilakukan 2-3 cm dibawah irisan segmen bawah rahim. Untuk melakukan
ini diperlukan jarum atraumatik yang besar dan benang absorbable yang sesuai.
Arteri dan vena uterina diligasi dengan melewatkan jarum 2-3 cm medial vasa
uterina, masuk ke miometrium keluar di bagian avaskular ligamentum latum
lateral vasa uterina. Saat melakukan ligasi hindari rusaknya vasa uterina dan ligasi
harus mengenai cabang asenden arteri miometrium, untuk itu penting untuk
menyertakan 2-3 cm miometrium. Jahitan kedua dapat dilakukan jika langkah
diatas tidak efektif dan jika terjadi perdarahan pada segmen bawah rahim. Dengan
menyisihkan vesika urinaria, ligasi kedua dilakukan bilateral pada vasa uterina
bagian bawah, 3-4 cm dibawah ligasi vasa uterina atas. Ligasi ini harus mengenai
sebagian besar cabang arteri uterina pada segmen bawah rahim dan cabang arteri
uterina yang menuju ke servik, jika perdarahan masih terus berlangsung perlu
dilakukan bilateral atau unilateral ligasi vasa ovarian.
Gambar 10. Tempat Ligasi A. Uterina
3. Teknik B-Lynch
Teknik B-Lynch dikenal juga dengan “brace suture”, ditemukan oleh
Christopher B Lynch 1997, sebagai tindakan operatif alternative untuk mengatasi
perdarahan pospartum akibat atonia uteri.
4. Histerektomi
Histerektomi peripartum merupakan tindakan yang sering dilakukan jika
terjadi perdarahan pospartum masif yang membutuhkan tindakan operatif.
Insidensi mencapai 7-13 per 10.000 kelahiran, dan lebih banyak terjadi pada
persalinan abdominal dibandingkan vagina.
1. Setelah bayi lahir, klem tali pusat mendekati vulva. Palpasi uterus dengan
hati-hati tanpa di masase untuk menilai kontraksi uterus.
2. Setelah muncul tanda pelepasan plasenta, pegang klem dekat vulva dengan
satu tangan, dan jari tangan lainnya pada abdomen, dan tekan antara
fundus dan simfisis untuk mengangkat uterus. Jika plasenta telah terlepas,
tali pusat akan meluncur ke arah vagina.
Berikut adalah tanda-tanda pelepasan dari plasenta : 33,26,36
a. Uterus menjadi globular, dan biasanya lebih kencang. Tanda ini terlihat
paling awal.
b. Sering ada pancaran darah mendadak.
c. Tali pusat keluar lebih panjang dari vagina ± 3 cm, yang menunjukkan
bahwa plasenta telah turun.
Tanda-tanda ini kadang-kadang terlihat dalam waktu satu menit setelah
bayi lahir dan biasanya dalam 5 menit.6
3. Setelah fundus terangkat, lakukan traksi lembut pada tali pusat, dan
lahirkan plasenta dari vagina.
b) Pemeriksaan pervaginam
Pada pemeriksaan pervaginam, plasenta tidak ditemukan di dalam kanalis
servikalis tetapi secara parsial atau lengkap menempel di dalam uterus.4 Pada
pemeriksaan plasenta yang lahir menunjukkan bahwa ada bagian tidak ada atau
tertinggal, dan pada eksplorasi secara manual terdapat kesulitan dalam pelepasan
plasenta atau ditemukan sisa plasenta.36
c) Pemeriksaan Penunjang38
1. Pemeriksaan darah untuk menilai peningkatan alfa fetoprotein.
Peningkatan alfa fetoprotein berhubungan dengan plasenta akreta
2. USG
Diagnosis plasenta akreta melalui pemeriksaan USG menjadi lebih
mudah bila implantasi plasenta berada di SBU bagian depan. Lapisan
miometrium dibagian basal plasenta terlihat menipis atau menghilang.
Pada plasenta perkreta vena-vena subplasenta terlihat berada di bagian
dinding kandung kemih.
3. MRI
Yang lebih baru adalah pemakaian magnetic resonance imaging (MRI)
untuk mendiagnosis plasenta akreta (Maldjian dkk., 1990). Diagnosis
lebih mudah ditegakkan jika tidak ada pendataran antara plasenta atau
bagian sisa plasenta dengan miometrium pada perdarahan postpartum.
4. Histologi
Menurut Bernischke dan Kaufmann (2000), diagnosis histologis
plasenta akreta tidak dapat ditegakkan hanya dari plasenta saja
melainkan dibutuhkan keseluruhan uterus atau kuretase miometrium.
Pada pemeriksaan histologi ini tempat implantasi plasenta selalu
menunjukkan desidua dan lapisan Nitabuch yang menghilang.
2.7.9. Tatalaksana
Pada retensio plasenta, sepanjang plasenta belum terlepas, maka tidak akan
menimbulkan perdarahan.9 Bila terjadi banyak perdarahan atau bila pada
persalinan-persalinan yang lalu ada riwayat perdarahan postpartum, maka tak
boleh menunggu, sebaiknya plasenta langsung dikeluarkan dengan tangan. Juga
kalau perdarahan sudah lebih dari 500 cc atau satu nierbekken, sebaiknya plasenta
langsung dikeluarkan secara manual dan diberikan uterus tonika, meskipun kala
III belum lewat setengah jam.9,2 Plasenta mungkin pula tidak keluar karena
kandung kemih atau rektum penuh, karena itu keduanya harus dikosongkan.20
Tindakan yang dapat dikerjakan pada retensio plasenta adalah : 20,24,25
a) Coba 1 - 2 kali dengan perasat Crede
Perasat Crede’ bermaksud melahirkan plasenta yang belum terlepas
dengan ekspresi. Syaratnya yaitu uterus berkontraksi baik dan vesika urinaria
kosong. Pelaksanaan :
1. Fundus uterus dipegang oleh tangan kanan sedemikian rupa, sehingga ibu jari
terletak pada permukaan depan uterus sedangkan jari lainnya pada fundus dan
permukaan belakang. Bila ibu gemuk hal ini tidak dapat dilaksanakan dan
sebaiknya langsung dikeluarkan secara manual. Setelah uterus dengan
rangsangan tangan berkontraksi baik, maka uterus ditekan ke arah jalan lahir.
Gerakan jari-jari seperti memeras jeruk. Perasat Crede’ tidak boleh dilakukan
pada uterus yang tidak dilakukan pada uterus yang tidak berkontraksi karena
dapat menimbulkan inversio uteri.
2. Perasat Crede’ dapat dicoba sebelum meningkat pada pelepasan plasenta
manual.
b) Keluarkan plasenta dengan tangan (manual plasenta)
Manual plasenta adalah tindakan invasif dan, kadang memerlukan
anestesia. Manula plasenta harus dilakukan sesuai indikasi dan oleh operator
berpengalaman. Indikasi manual plasenta meliputi: retensio plasenta dan
perdarahan banyak pada kala III yang tidak dapat dihentikan dengan uterotonika
dan masase, suspek ruptur uterus, dan retensi sisa plasenta.
Dalam kasus plasenta perkreta, darah akan terus mengalir melalui daerah
invasi ketika sebagian plasenta dilepaskan karena tidak adanya ligasi fisiologis
miometrium yang biasanya akan membendung aliran darah. Jika kasus ini
ditemukan saat operasi caesar maka hemostasis dapat dicapai melalui jahitan pada
miometrium, atau melalui ligasi arteri uterina maupun arteri iliaka interna. Namun,
histerektomi pun biasanya diperlukan.27
e) Bila perdarahan banyak berikan transfusi darah
f) Terapi konservatif
Terapi konservatif diberikan tergantung pada penemuan plasenta akreta,
terdapat 2 tipe terapi konservatif :19
1. Ketika terdiagnosis selama kala III persalinan, pengeluaran plasenta tidak
disarankan; terapi konservatif ialah dengan meninggalkan plasenta, sebagian
atau keseluruhan, dalam uterus ketika hemodinamik pasien dianggap stabil
dan tidak ada risiko septik.
2. Ketika plasenta akreta disuspek sebelum melahirkan (berdasarkan riwayat
dan USG dan atau MRI), kasus dibahas dalam pertemuan obstetrik harian dan
terapi konservatif disarankan kepada pasien. Pada kasus ini tindakan meliputi
beberapa tahap. Letak plasenta dipastikan dengan USG. Seksio sesarean di
rencanakan, dengan insisi abdominal pada midline infraumbilikus, dan insisi
vertikal pada uterus sepanjang insersi plasenta. Setelah pengeluaran janin,
plasenta dilahirkan secara hati-hati, dengan injeksi 5 IU oksitosin dan traksi
tali pusat. Jika gagal, plasenta dipertimbangkan sebagai “akreta”. Tali pusat
dipotong pada insersinya dan plasenta dibiarkan dalam cavum uteri; insisi
uterus di tutup. Terapi antibiotik profilaksis (amoksisilin dan asam clavulanik)
diberikan selama 10 hari.
Jika diagnosis dari plasenta perkreta dapat ditegakkan sebelum plasenta
dikeluarkan (dapat dilakukan dengan USG antenatal) maka pasien dapat
diterapi konservatif. Bayi dilahirkan secara normal lalu plasenta dibiarkan in
situ jika tidak ada perdarahan. Kadar β-HCG diperiksa dan manual plasenta
serta kuterase dilakukan ketika tidak terdeteksi. Metotreksat dapat digunakan
pada situasi ini. Dalam penelitian lain mengemukakan bahwa penggunaan
metotreksat menyebabkan pengeluaran spontan plasenta setelah 4 minggu.19
g) Obat-obatan seperti uterotonika dan antibiotika
Dosis dan cara IV : 20 IU dalam 1 L larutan IM atau IV (lambat) : Oral atau rektal 400
pemberian garam fisiologis dengan 0,2 mg μg dapat diulang
tetesan cepat sampai 1200 μg
IM : 10 IU
Dosis maksimal Tidak lebih dari 3 L larutan Total 1 mg atau 5 dosis Total 1200 μg atau 3
perhari dengan oksitosin dosis
Penanganan umum :
Infus transfusi darah
Pertimbangkan untuk rujuk
RSU C
Plasenta manual
- Indikasi
Perdarahan 400 cc
Pascaoperasi vaginal
Pascanarkose
Habitual HPP
- Teknik
Telusuri tali pusat
Dengan ulner tangan
Masase intrauterin
Uterotonika IM-IV
Jika keadaan ini berlanjut terjadilah ruptur uteri. Gejala-gejala rupture uteri adalah:
- Sewaktu kontraksi yang kuat pasien tiba-tiba merasa nyeri yang menyayat
dibagian bawah
- Segmen bawah rahim nyeri sekali pada saat dilakukan palpasi
- HIS berhenti/ hilang
- Ada perdarahan pervaginam walaupun biasanya tidak banyak
- Bagian-bagian anak mudah diraba jika anak masuk ke dalam rongga perut
- Kadang-kadang disamping anak teraba tumor yaitu rahim yang telah mengecil
- Pada pemeriksaan dalam ternyata bagian depan mudah ditolak ke atas bahkan
terkadang tidak teraba lagi karena masuk ke rongga perut
- Bunyi jantung anak tidak ada/tidak didengar
- Biasanya pasien jatuh dalam syok
- Jika sudah lama terjadi seluruh perut nyeri dan kembung
- Adanya kencing berdarah
- Adapun diagnose banding dari rupture uteri adalah solusio plasenta dan
kehamilan abdominal
2) Robekan violent
Dapat terjadi karena kecelakaan akan tetapi lebih sering disebabkan versi
dan ekstrasi. Kadang-kadang disebabkan oleh dekapitasi versi secara baxton hicks,
ektrasi bokong atau forcep yang sulit. Oleh karena itu sebaiknya setiap versi dan
ekstrasi dan operasi kebidanan lainnya yang sulit dilakukan eksplorasi kavum
uteri.
3) Robekan bekas luka seksio
Rupture uteri karena bekas seksio makin sering terjadi dengan
meningkatnya tindakan SC. Rupture uteri semacam ini lebih sering terjadi pada
luka bekas SC yang klasik dibandingkan dengan luka SC profunda.
Rupture uteri ini sering sukar didiagnosis. Tidak ada gejala-gejala yang
khas, mungkin hanya perdarahan yang lebih dari perdarahan pembukaan atau ada
perasaan nyeri pada daerah bekas luka.
Kalau hanya fundus menekuk ke dalam dan tidak keluar ostium uteri,
disebut inversio uteri incompleta. Kalau uterus yang berputar balik itu keluar dari
vulva, disebut inversio prolaps.
2.9.2. Epidemiologi
Inversio uteri adalah suatu kejadian emergency obstetrik yang sangat
jarang terjadi. Insiden dalam terjadinya inversio uteri adalah sebanyak 1 : 20.000
persalinan. Jika ianya tejadi haruslah di tangani dengan cepat karena dapat
menyebabkan terjadinya kematian akibat pendarahan yang banyak.42,43 Walaupun
kejadian inversio uteri sangat jarang, tetapi merupakan komplikasi persalinan
yang serius. Hal ini terjadi karena inversio uteri dapat mengancam kehidupan
dengan adanya perdarahan sampai syok, sepsis, bahkan kematian. Dilaporkan
90% kematian terjadi dalam 2 jam post partum akibat perdarahan atau syok.41
2.9.3. Etiologi
Etiologi inversio uteri terbanyak adalah kombinasi antara implantasi
plasenta di fundus yang abnormal dan atoni uterus. Faktor-faktor predisposisinya
adalah: plasenta akreta, tali pusat pendek, implantasi plasenta di fundus,
penekanan pada fundus sewaktu melahirkan plasenta, tarikan berlebihan pada tali
pusat, gangguan kontraksi uterus, kelainan kongenital uterus. Banyak klasifikasi
inversio uteri yang dikemukakan penulis, akan tetapi umumnya klasifikasi
berdasarkan waktu kejadian dan derajat kelainannya.
Berdasarkan waktu kejadian :42
1. Inversio akut, terjadi segera setelah persalinan.
2. Inversio subakut, terbentuknya cincin kontriksi pada servik.
3. Inversio kronik, lebih dari 4 minggu pasca persalinan.
Berdasarkan Penyebab :41
1. Inversio Uteri Non Obstetri
Biasanya disebabkan oleh mioma uteri submukosum atau neoplasma yang
lain
2. Inversio Uteri Obstetri
Merupakan inversio uteri tersering yang terjadi setelah persalinan.
3. Spontan : grande multipara, atoni uteri, kelemahan alat kandungan,
tekanan intra abdominal yang tinggi (mengejan dan batuk).
4. Tindakan : cara Crade yang berlebihan, tarikan tali pusat, manual plasenta
yang dipaksakan, perlekatan plasenta pada dinding rahim.
Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya inversio uteri :44
1. Tonus otot rahim yang lemah, yaitu uterus yang lembek, lemah, tipis
dindingnya.
2.9.4. Klasifikasi
Berdasarkan derajat kelainan :41
Derajat Keterangan
Pertama - Inversio uteri hanya sampai ostium uteri internum.
- Masih teraba sedikit fundus uteri atau terdapat lekukan.
Kedua - Seluruh endometrium terbalik tetapi tidak sampai di luar perineum
- Sewaktu palpasi tinggi fundus uteri sudah tidak dapat di raba/
hilang
Ketiga - Seluruh dinding endometrium terbalik sampai tampak di luar
perineum.
- Fundus uteri sama sekali tidak dapat di raba.
Keempat - Vagina juga ikut keluar bersama inversio uteri yaitu keluar
bersama melalui vulva.
2.9.5. Patofisiologi
Mekanisme patofisiologis yang mendasari inversio uteri yang sebenarnya
masih belum diketahui. Secara klinis, faktor utama yang mempengaruhi untuk
inversi uteri adalah plasenta yang berimplantasi di fundus, lemah dan lunaknya
endometrium di lokasi implantasi plasenta, serta dilatasi serviks segera post
partum. Dalam beberapa kasus, terdapatnya tali pusat yang pendek dan tarikan tali
pusat yang berlebihan juga berkontribusi untuk inversi uteri.43
Inversio uteri adalah keadaan dimana fundus uteri terbalik sebagian atau
seluruhnya masuk.Ini adalah merupakan komplikasi kala III persalinan yang
sangat ekstrem. Inversio uteri terjadi dalam beberapa tingkatan, mulai dari bentuk
ekstrem berupa terbaliknya terus sehingga bagian dalam fundus uteri keluar
melalui servik dan berada diluar seluruhnya ke dalam kavum uteri.44
Untuk menghasilkan suatu inversi, uterus harus melanjutkan kontraksi
pada waktu yang tepat untuk memaksa fundus sebelumnya terbalik atau massa
fundus plasenta, terbalik ke arah segmen bawah uterus. Jika serviks berdilatasi
kekuatan kontraksi cukup dan cukup kuat, dinding endometrium melalui itu,
menghasilkan inversi lengkap.Jika situasi kurang ekstrem dari dinding itu, fundus
sendiri terjebak dalam rongga rahim, menghasilkan inversi parsial.43,44
Dalam inversi lengkap pada fundus melalui serviks, jaringan serviks
berfungsi sebagai band konstriksi dan edema cepat bentuk. Massa kemudian
tumbuh semakin prolaps dan akhirnya menghalangi aliran vena dan arteri,
menyebabkan terjadinya edema. Jadi, penanganan inversi uteri menjadi lebih sulit.
Dalam kasus-kasus kronis atau yang lambat ditangani, bisa menyebabkan nekrosis
jaringan.44
Oleh karena servik mendapatkan pasokan darah yang sangat banyak, maka
inversio uteri yang total dapat menyebabkan renjatan vasovagal dan memicu
terjadinya perdarahan pasca persalinan yang masif akibat atonia uteri yang
menyertainya. Inversio Uteri dapat terjadi pada kasus pertolongan persalinan kala
III aktif khususnya bila dilakukan tarikan talipusat terkendali pada saat masih
belum ada kontraksi uterus dan keadaan ini termasuk klasifikasi tindakan
iatrogenik.43,44
2.9.6. Diagnosis Dan Gejala Klinis 43
Inversio uteri sering kali tidak menampakkan gejala yang khas, sehingga
diagnosis sering tidak dapat ditegakkan pada saat dini.Syok merupakan gejala
yang sering menyertai suatu inversio uteri.
Syok atau gejala-gejala syok terjadi tidak sesuai dengan jumlah perdarahan
yang terjadi, oleh karena itu sangat bijaksana bila syok yang terjadi setelah
persalinan tidak disertai dengan perdarahan yang berarti untuk memperkirakan
suatu inversio uteri. Syok dapat disebabkan karena nyeri hebat,akibat ligamentum
yang terjepit di dalam cincin serviks dan rangsangan serta tarikan pada
peritoneum atau akibat syok kardiovaskuler.
Perdarahan tidak begitu jelas, kadang-kadang sedikit, tetapi dapat pula
terjadi perdarahan yang hebat, menyusul inversio uteri prolaps dimana bila
plasenta lepas atau telah lepas perdarahan tidak berhenti karena tidak ada
kontraksi uterus.Perdarahan tersebut dapat memperberat keadaan syok yang telah
ada sebelumnya bahkan dapat menimbulkan kematian. Dilaporkan 90% kematian
terjadi dalam dua jam postpartum akibat perdarahan atau syok.
Pada pemeriksaan palpasi, didapatkan cekungan pada bagian fundus uteri,
bahkan kadang-kadang fundus uteri tidak dijumpai dimana seharusnya fundus
uteri dijumpai pada pemeriksaan tersebut.Pada pemeriksaan dalam teraba tumor
lunak di dalam atau di luar serviks atau di dalam rongga vagina, pada keadaan
yang berat (komplit).tampak tumor berwarna merah keabuan yang kadang-kadang
plasenta masih melekat dengan ostium tuba dan endometrium berwarna merah
muda dan kasar serta berdarah.
Tetapi hal ini dibedakan dengan tumor / mioma uteri submukosa yang
terlahir, pada mioma uteri.fundus uteri masih dapat diraba dan berada pada
tempatnya serta jarang sekali mioma submukosa ditemukan pada kehamilan dan
persalinan yang cukup bulan atau hampir cukup bulan. Pada kasus inversio uteri
yang kronis akan didapatkan gangren dan strangulasi jaringan inversio oleh cincin
serviks.
2.9.7. Diagnosis43
Untuk menegakkan diagnosis inversio uteri dilakukan palpasi abdomen
dan pemeriksaan dalam.
1. Dijumpai pada kala III atau post partum dengan gejala nyeri yang hebat,
perdarahan yang banyak sampai syok. Apalagi bila plasenta masih melekat
dan sebagian sudah ada yang terlepas dan dapat terjadi strangulasi dan
nekrosis.
2. Pemeriksaan dalam :
- Bila masih inkomplit maka pada daerah simfisis uterus teraba fundus uteri
cekung ke dalam.
- Bila komplit, fundus uteri tidak dapat diraba, di atas simfisis uterus teraba
kosong dan dalam vagina teraba tumor lunak.
- Kavum uteri sudah tidak ada (terbalik).
2.9.8. Penatalaksanaan43
Tindakan yang dapat dilakukan sebagi berikut:
1. Memanggil bantuan anestesi dan memasang infus untuk cairan/darah
penganti dan pemberian obat.
2. Beberapa memberikan tokolitik/MgSO4 untuk melemaskan uterus
yang terbalik sebelum dilakukan reposisi manual yaitu-mendorong
endometrium ke atas masuk ke dalam vagina dan terus melewati serviks
sampai tangan masuk ke dalam uterus pada posisi normal. Hai itu dapat
dilakukan sewaktu plasenta sudah terlepas atau tidak.
destruksi trombosit.47
Kriteria diagnosis sindrom HELLP terdiri: Hemolisis, kelainan apus
darah tepi, total bilirubin >1,2mg/dl, laktat dehidrogenase (LDH)
>600U/L. Peningkatan fungsi hati, serum aspartat aminotransferase
(AST) >70U/L, laktat dehidrogenase (LDH) >600 U/L. Jumlah trombosit
<100.000/mm3.48
e. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
Adalah suatu keadaan dimana bekuan-bekuan darah kecil tersebar di
seluruh aliran darah, menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah
kecil dan berkurangnya faktor pembekuan yang diperlukan untuk
mengendalikan perdarahan. Orang-orang yang memiliki resiko paling
49
tinggi untuk menderita DIC:
- Wanita yang telah menjalani pembedahan kandungan atau persalinan
disertai komplikasi, dimana jaringan rahim masuk ke dalam aliran
darah.
- Penderita infeksi berat, dimana bakteri melepaskan endotoksin (suatu zat
yang menyebabkan terjadinya aktivasi pembekuan).
- Penderita leukemia tertentu atau penderita kanker lambung, pankreas
maupun prostat.
DIC biasanya muncul tiba-tiba dan bisa bersifat sangat berat. Jika
keadaan ini terjadi setelah pembedahan atau persalinan, maka
permukaan sayatan atau jaringan yang robek bisa mengalami perdarahan
hebat dan tidak terkendali. Perdarahan bisa menetap di daerah tempat
penyuntikan atau tusukan. Perdarahan masif bisa terjadi di dalam otak,
saluran pencernaan, kulit, otot dan rongga tubuh. Bekuan darah di dalam
pembuluh darah yang kecil bisa merusak ginjal (kadang sifatnya
menetap) sehingga tidak terbentuk air kemih.49
f. Dilutional coagulopathy bisa terjadi pada transfusi darah lebih dari 8 unit
karena darah donor biasanya tidak fresh sehingga komponen fibrin dan
trombosit sudah rusak.25
Jika tes koagulasi darah menunjukkan hasil abnormal dari onset
terjadinya perdarahan post partum, perlu dipertimbangkan penyebab yang
mendasari terjadinya perdarahan post partum, seperti solutio plasenta, sindroma
HELLP, fatty liver pada kehamilan, IUFD, emboli air ketuban dan septikemia.
Ambil langkah spesifik untuk menangani penyebab yang mendasari dan kelainan
hemostatik. 47
Penanganan DIC identik dengan pasien yang mengalami koagulopati
dilusional. Restorasi dan penanganan volume sirkulasi dan penggantian produk
darah bersifal sangat esensial. Perlu saran dan ahli hematologi pada kasus
transfusi masif dan koagulopati.47
Konsentrat trombosit yang diturunkan dari darah donor digunakan
pada pasien dengan trombositopenia kecuali bila terdapat penghancuran
trombosit dengan cepat. Satu unit trombosit biasanya menaikkan trombosit
Identitas Pasien
Nama : Ny. VO
Umur : 29 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : IRT
Tanggal periksa : 20 Desember 2019
Alamat : Padang
1. Laki-laki, 15 bulan, SC
2. Laki-laki, BBL= 3100 gram PB=50 cm, A/S: 8/9
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak ada riwayat penyakit jantung, paru, hati, ginjal, DM, dan
tekanan darah tinggi
Pasien riwayat SC ai plasenta akreta Oktober tahun 2019.
Kepala : normocephal
Thorax
Paru
Inspeksi : paru simetris kiri dan kanan dalam keadaan statis dan dinamis
Jantung
Perkusi : batas jantung atas: RIC II, kanan: LSD, kiri: 1 jari medial
LMCS RIC V
Anus : tenang
Status Obstetri
Abdomen
Palpasi : Nyeri tekan (-), Nyeri lepas (-), Defenase muscular (-)
Perkusi : Timpani
Genitalia
Laboratorium
Hb : 10,5 g/dl
Ht : 35%
Trombosit : 708.000/ mm3
Leukosit : 11.700/ mm3
PT : 10,1 detik
APTT : 25,7 detik
Total protein : 6,7 g/dl
Albumin : 3,8 g/dl
Globulin : 2,9 g/dl
SGOT : 6 U/L
SGPT : 3 U/L
Natrium : 145 mmol/L
Kalium : 3,7 mmol/L
Kalsium : 9,6 mmol/L
Klorida : 107 mmol/L
Ureum : 5 mg/dl
Kreatinin : 0,6 mg/dl
Ca-125 : 8,22 u/ml
BHCG : < 1,2 mIU/ml
Kesan : anemia ringan, leukositosis, trombositosis, globulin meningkat
Pemeriksaan Urinalisis (Tanggal 11/11/2019)
Makroskopis
Jenis Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Nilai rujukan
Warna Kuning kemerahan Kuning-coklat
Kekeruhan Positif Negatif
BJ - 1,003-1,030
pH 6 6-8
Mikroskopis
Leukosit 40-50/ LPB <5/LPB
Eritrosit 8-10/ LPB <1/LPB
Silinder Negatif Negatif
Kristal Negatif Negatif
Epitel Gepeng + Positif
Kimia
Protein Positif ++ Negatif
Glukosa Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Urobilinogen Positif Positif
Kesan : Hematuria, Proteinuria
USG :
Kesan : Tidak tampak gambaran uterus, tidak tampak hematom subfasia atau
subkutis.
CT-Scan
Kesan: Massa pada heterogen di rongga pelvis sugestif berasal dari uterus dengan
curiga menginfiltrasi dinding posterior vesika urinaria disertai
limfadenopati inguinal bilateral.
Diagnosa Kerja
Terapi
- IVFD RL 20 tpm
- Injeksi Ceftriaxon 1 gr (iv)
- Kontrol KU dan VS
- Informed Consent
- Puasa
Rencana Terapi
- Sistoskopi + Histeroskopi
20 Desember 2019
Kontrol KU dan VS
Follow up pasien :
Sabtu 21-12-2019
- Cefixime 2x200 mg
-Paracetamol 3x500 mg
- SF 2x180 g
- Vit C 3x50 g
BAB 4
PEMBAHASAN
29. Memon SR, Talpur NN, Korejo RK. Rawal Medical Journal Volume 36
Number 4 : Outcome of Patients Presenting With Retained Placenta.
Pakistan: Departemen of Obstetrics and Ginecology; 2011. Diakses pada
tanggal 24 September 2013 dari
www.scopemed.org/fulltextpdf.php?mno=12733
30. DeCherney AH, Nathan L. Curren. Obstetric & Gynecologic Diagnosis &
Treatment, Ninth Edition: Postpartum Hemorrhage & Abnormal Puerperium:
Retained Placenta Tissue. California: The McGraw-Hill Companies, Inc;
2003. 28:323-327.
31. Hill M. Placental Development. UNSW Embryology; 2013. Diakses pada
tanggal 27 September 2013 dari
http://php.med.unsw.edu.au/embryology/index.php?title=Placenta_Develop
ment
32. Sastrawinata S, Martaadisoebrata D, Wirakusumah FF. Obstetri Patologi
Ilmu Kesehatan Reproduksi Edisi 2. Jakarta: EGC; 2004.
33. Anonim. Perdarahan Post Partum Akibat Plasenta Rest. 2012. Diakses
pada tanggal 28 September 2013 dari
http://www.scribd.com/doc/135982233/Plasenta-Rest-Edit
34. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap III LG, Hauth JC,
Wenstrom KD. Obstetri Williams Volume 1 Edisi 21. Jakarta: EGC; 2005.
35. Prabowo E. Retensio Plasenta. Jakarta:
http://samoke2012.files.wordpress.com/2012/10/retensio-plasenta.pdf
36. Weeks AD. The Retained Placenta. USA: National Center for
Biotechnology Information, U.S. National Library of Medicine from
African Health Sciences Makerere Medical School; 2001. Diakses pada
tanggal 28 September 2013 dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2704447/
37. Pernoll ML. Benson & Pernonoll’s Handbook of Obstetrics & Gynecology
Tenth Edition. New York: McGraw-Hill; 2001. 6:173-177; 11:341-342.
38. Memon SR, Talpur NN, Korejo RK. Rawal Medical Journal Volume 36
Number 4 : Outcome of Patients Presenting With Retained Placenta.
Pakistan: Departemen of Obstetrics and Ginecology; 2011. Diakses pada
tanggal 24 September 2013 dari
www.scopemed.org/fulltextpdf.php?mno=12733
39. Committee Opinion. Placenta Accreta. Washington DC: American
Congress of Obstetricians and Gynecologists; 2012. Diakses pada tanggal
26 September 2013 dari
http://www.acog.org/Resources%20And%20Publications/Committee%20O
pinions/Committee%20on%20Obstetric%20Practice/Placenta%20Accreta.a
spx
40. Anonim. Buku Acuan Pelayanan Obstetri Emergensi Dasar: Retensio
Plasenta. Bab 4-10.
41. Sarwono 2006
42. KA. Rana, P.S. Patel. Complete uterine inversion. American Institute of
Ultrasound in Medicine .J Ultrasound Med 2009; 28:1719–1722
43. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, et all. Obstetrical Hemorrhage.
Dalam: Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, et all. Williams Obstetrics.
Edisi ke-23. New York. McGraw Hill,2010; 757 – 801
44. MK Karkata. Pendarahan Pasca Persalinan. Dalam: Prawihardjo S. Ilmu
Kebidanan. Edisi ke-4. Jakarta. PT Bima Pustaka,2010; 522 – 29
45. JP O’Grady, ME Rivlin. Uterine Inversion, Malposition of the Uterus.
Dalam :Obstetric Syndromes and Conditions. New York, NY: Parthenon;
2006
46. RS Gibbi, BY Karlan, AF Harney et all. Post Partum Hemorrhage. Dalam :
RS Gibbi, BY Karlan, AF Harney et all. Danforth's Obstetrics and
Gynecology. Edisi ke-10. New York. Lippincott Williams & Wilkins, 2008
47. Hanretty, ed. Obstetrics illustrated. London: Churchill; 2003.
48. ITP.Available from: URL: http://www.forbetterhealth.wordpress.com
49. John R. Sindrom HELLP. Cermin dunia kedokteran. [online]. 2006.
[cited 2012 Februari 20]: Volume 151. Hal. 24. Available from: URL:
http://www. google com
50. DIC.Available from: URL: http://www.medicastore.com