Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut data World Health Organization (WHO) pada tahun 2015

setidaknya 303.000 wanita di seluruh dunia meninggal menjelang dan selama

proses persalinan. Hampir 99% dari keseluruhan kasus mortalitas ibu yang

dilaporkan oleh WHO berasal dari negara-negara berkembang yang memiliki

pengaturan sumber daya rendah. Perdarahan tetap menjadi penyebab utama

kematian ibu, terhitung lebih dari seperempat (27%) kematian dalam distribusi

global. Proporsi kematian ibu lainnya disebabkan secara tidak langsung oleh

kondisi medis yang sudah ada sejak kehamilan.

Penelitian dari 417 dataset dari 115 negara sekitar 73% dari semua

kematian ibu antara 2003 dan 2009 adalah karena penyebab obstetrik langsung dan

kematian karena penyebab tidak langsung menyumbang 27,5% dari semua

kematian. Perdarahan menyumbang 27,1%, gangguan hipertensi 14,0%, dan sepsis

10,7% kematian ibu. Prevalensi kematian ibu tertinggi yang disebabkan oleh

perdarahan di negara berkembang 27,1% dan di negara maju 16,3%.

Perdarahan merupakan penyebab utama kematian ibu di Asia Tenggara

dengan prevalensi 29,9% dari total kasus. Kejadian perdarahan postpartum sekitar

23,1%, perdarahan antepartum 4,7% dan perdarahan intrapartum 2,1%. Semua

dikarenakan sebagian besar negara di Asia Tenggara adalah negara yang sedang

berkembang.

Indonesia menempati urutan ketiga untuk kematian ibu tertinggi di wilayah

Asia Tenggara setelah Laos dan Myanmar. Angka Kematian Ibu (AKI) di
Indonesia sebesar 190 per 100.000 kelahiran hidup. Angka tersebut masih sangat

jauh dibandingkan dengan Singapura yang hanya mencapai 3 per 100.000 kelahiran

hidup.

Berdasarkan evaluasi Millennium Development Goals (MDGs) pada tahun

2015, AKI di Indonesia masih pada posisi 305 per 100.000 kelahiran. Target global

Suitainable Development Goals (SDGs) adalah menurunkan AKI menjadi 70 per

100.000 kelahiran. Kasus kematian pada ibu utamanya disebabkan oleh perdarahan

37%, infeksi 22%, dan tekanan darah tinggi saat kehamilan 14%.

Menurut Driessen faktor risiko perdarahan postpartum berupa Indeks

Massa Tubuh (IMT) dan paritas. Perdarahan postpartum lebih sering terjadi pada

ibu yang kelebihan berat badan. Ada peningkatan risiko untuk terjadi perdarahan

postpartum pada ibu dengan IMT >25. Prevalensi kejadian perdarahan postpartum

juga meningkat pada wanita multipara. Semakin banyak paritas, semakin tinggi

pula risiko kejadian perdarahan postpartum sebesar 3,3 kali.

Faktor risiko yang juga dinyatakan Biguzzi sebagai variabel lanjutan

adalah berat lahir neonatal dan anemia. Berat lahir bayi juga memberikan

kontribusi tertinggi terhadap kemungkinan perdarahan postpartum. Melahirkan bayi

dengan berat lahir >4000 gram meningkatkan terjadinya komplikasi ibu termasuk

perdarahan. Makrosomia berpeluang 2 kali lipat menyebabkan terjadinya

perdarahan postpartum. Ibu dengan anemia memiliki 4 kali risiko untuk terjadi

perdarahan postpartum. Elmeida juga mengatakan bahwa anemia memiliki

pengaruh utama terjadinya perdarahan postpartum dengan risiko sebesar 7,2 kali.

Selama kehamilan faktor risiko yang diidentifikasi adalah usia dan jarak

kelahiran. 18 Usia berisiko memiliki peluang 2 kali untuk mengalami perdarahan

postpartum dibandingkan dengan usia tidak berisiko.17 Penelitian juga menyatakan


usia 35 tahun berpengaruh untuk terjadi perdarahan postpartum sebesar 5,3 kali. 19

Sementara itu, jarak kelahiran yang terlalu pendek dan panjang dapat meningkatkan

risiko komplikasi kehamilan dan persalinan termasuk perdarahan postpartum. 20

Ada perbedaan yang signifikan dalam kejadian perdarahan postpartum di antara

kelompok dengan interval kelahiran 2 tahun (2,0%).

Saat menjelang persalinan faktor yang mendukung terjadinya perdarahan

postpartum adalah preeklampsia dan induksi persalinan. Pada perempuan dengan

preeklampsia terjadi trombositopenia, penurunan kadar beberapa faktor pembekuan

sehingga dapat terjadi perdarahan. Perdarahan 4 postpartum dapat terjadi karena

obat yang digunakan untuk menginduksi persalinan mungkin memiliki efek

langsung pada otot rahim dan faktor kelelahan pada otot miometrium sehingga

menyebabkan atonia uteri. Dari beberapa penelitian dapat disimpulkan bahwa

faktor-faktor yang mempengaruhi perdarahan postpartum adalah usia, paritas, jarak

kelahiran, anemia, IMT, berat lahir, preeklampsia dan induksi persalinan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah

dari penelitian ini sebagai berikut “Apa saja penyebab tidak langsung yang

berhubungan dengan kejadian perdarahan postpartum.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Diketahui penyebab tidak langsung yang berhubungan dengan kejadian

perdarahan postpartum di RSUD Wonosari Gunungkidul.


2. Tujuan Khusus

a. Diketahui gambaran penyebab tidak langsung perdarahan postpartum

b. Diketahui proporsi kejadian perdarahan postpartum

c. Diketahui hubungan usia, paritas, jarak kelahiran, anemia, IMT, berat lahir,

preeklampsia dan induksi persalinan dengan kejadian perdarahan

postpartum

d. Diketahui faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian perdarahan

postpartum

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Diharapakan dapat menjadi suatu referensi dan sumbangan

pengetahuan serta bahan evaluasi tentang penyebab tidak langsung yang

berhubungan dengan kejadian perdarahan postpartum.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Bidan dan Tenaga Kesehatan yang Terkait

Dapat memberikan masukan dan informasi dari beberapa faktor risiko

yang berhubungan dengan kejadian perdarahan postpartum sehingga dapat

melakukan promosi kesehatan, pencegahan, serta deteksi dini terhadap

faktor risiko tersebut.

b. Bagi Peneliti Selanjutnya

Diharapkan dapat menjadi referensi tambahan dalam memperkuat hasil-

hasil studi yang berkaitan dengan kejadian perdarahan postpartum.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori

1. Pendarahan Postpartum

A. Definisi

Perdarahan postpartum adalah perdarahan pervaginam 500 cc atau

lebih setelah kala III selesai setelah plasenta lahir). Fase dalam persalinan

dimulai dari kala I yaitu serviks membuka kurang dari 4 cm sampai

penurunan kepala dimulai, kemudian kala II dimana serviks sudah

membuka lengkap sampai 10 cm atau kepala janin sudah tampak, kemudian

dilanjutkan dengan kala III persalinan yang dimulai dengan lahirnya bayi

dan berakhir dengan pengeluaran plasenta. Perdarahan postpartum terjadi

setelah kala III persalinan selesai (Saifuddin, 2014).

Perdarahan postpartum ada kalanya merupakan perdarahan yang

hebat dan menakutkan sehingga dalam waktu singkat wanita jatuh ke dalam

syok, ataupun merupakan perdarahan yang menetes perlahan-lahan tetapi

terus menerus dan ini juga berbahaya karena akhirnya jumlah perdarahan

menjadi banyak yang mengakibatkan wanita menjadi lemas dan juga jatuh

dalam syok (Saifuddin, 2014).

B. Jenis Perdarahan Perdarahan postpartum dibagi menjadi dua, yaitu

perdarahan postpartum primer/dini dan perdarahan postpartum sekunder/lanjut.


1. Perdarahan postpartum primer yaitu perdarahan postpartum yang terjadi

dalam 24 jam pertama kelahiran. Penyebab utama perdarahan postpartum

primer adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta, robekan jalan lahir,

dan inversio uteri.

2. Perdarahan postpartum sekunder yaitu perdarahan postpartum yang terjadi

setelah 24 jam pertama kelahiran. Perdarahan postpartum sekunder disebabkan

oleh infeksi, penyusutan rahim yang tidak baik, atau sisa plasenta yang

tertinggal (Manuaba, 2014).

C. Etiologi

Perdarahan postpartum disebabkan oleh banyak faktor. Beberapa

faktor predisposisi adalah anemia, yang berdasarkan prevalensi di negara

berkembang merupakan penyebab yang paling bermakna. Penyebab

perdarahan postpartum paling sering adalah atonia uteri serta retensio

plasenta, penyebab lain kadang-kadang adalah laserasi serviks atau vagina,

ruptur uteri, dan inversi uteri (Saifuddin, 2014).

Sebab-sebab perdarahan postpartum primer dibagi menjadi empat

kelompok utama :

1) Tone (Atonia Uteri)

Atonia uteri menjadi penyebab pertama perdarahan postpartum.

Perdarahan postpartum bisa dikendalikan melalui kontraksi dan retraksi

serat-serat miometrium. Kontraksi dan retraksi ini menyebabkan

terlipatnya pembuluh- pembuluh darah sehingga aliran darah ke tempat

plasenta menjadi terhenti. Kegagalan mekanisme akibat gangguan fungsi

miometrium dinamakan atonia uteri (Oxorn, 2010).


Diagnosis ditegakkan bila setelah bayi dan plasenta lahir perdarahan

masih ada dan mencapai 500-1000 cc, tinggi fundus uteri masih setinggi

pusat atau lebih dengan kontraksi yang lembek (Saifuddin, 2014).

Pencegahan atonia uteri adalah dengan melakukan manajemen aktif

kala III dengan sebenar-benarnya dan memberikan misoprostol peroral 2-3

tablet (400-600 mcg) segera setelah bayi lahir (Oxorn, 2010).

2) Trauma dan Laserasi

Perdarahan yang cukup banyak dapat terjadi karena robekan pada

saat proses persalinan baik normal maupun dengan tindakan, sehingga

inspeksi harus selalu dilakukan sesudah proses persalinan selesai sehingga

sumber perdarahan dapat dikendalikan. Tempat-tempat perdarahan dapat

terjadi di vulva, vagina, servik, porsio dan uterus (Oxorn, 2010).

3) Tissue (Retensio Plasenta)

Retensio sebagian atau seluruh plasenta dalam rahim akan

mengganggu kontraksi dan retraksi, sinus-sinus darah tetap terbuka,

sehingga menimbulkan perdarahan postpartum. Perdarahan terjadi pada

bagian plasenta yang terlepas dari dinding uterus. Bagian plasenta yang

masih melekat merintangi retraksi miometrium dan perdarahan berlangsung

terus sampai sisa organ tersebut terlepas serta dikeluarkan (Oxorn, 2010).

Retensio plasenta, seluruh atau sebagian, lobus succenturiata, sebuah

kotiledon, atau suatu fragmen plasenta dapat menyebabkan perdarahan

plasenta akpostpartum. Retensio plasenta dapat disebabkan adanya plasenta

akreta, perkreta dan inkreta. Faktor predisposisi terjadinya plasenta akreta

adalah plasenta previa, bekas seksio sesarea, pernah kuret berulang, dan

multiparitas (Saifuddin, 2014).


4) Thrombophilia (Kelainan Perdarahan)

Afibrinogenemia atau hipofibrinogenemia dapat terjadi setelah

abruption placenta, retensio janin-mati yang lama di dalam rahim, dan pada

emboli cairan ketuban. Kegagalan mekanisme pembekuan darah

menyebabkan perdarahan yang tidak dapat dihentikan dengan tindakan yang

biasanya dipakai untuk mengendalikan perdarahan. Secara etiologi bahan

thromboplastik yang timbul dari degenerasi dan autolisis 14 decidua serta

placenta dapat memasuki sirkulasi maternal dan menimbulkan koagulasi

intravaskuler serta penurunan fibrinogen yang beredar (Oxorn, 2010).

D. Gejala Klinis Perdarahan Postpartum

Efek perdarahan banyak bergantung pada volume darah sebelum

hamil, derajat hipervolemia-terinduksi kehamilan, dan derajat anemia saat

persalinan. Gambaran PPP yang dapat mengecohkan adalah kegagalan nadi

dan tekanan darah untuk mengalami perubahan besar sampai terjadi

kehilangan darah sangat banyak. Kehilangan banyak darah tersebut

menimbulkan tandatanda syok yaitu penderita pucat, tekanan darah rendah,

denyut nadi cepat dan kecil, ekstrimitas dingin, dan lain-lain (Wiknjosastro,

2012)

Gambaran Klinis pada hipovolemia dapat di lihat pada tabel berikut :


sumber : beranisehat.com

E. Diagnosis Pendarahan Postparfum

Tabel 2. Diagnosis pendarahan postpartum

F. Penatalaksanaan

Penanganan pasien dengan PPP memiliki dua komponen utama

yaitu resusitasi dan pengelolaan perdarahan obstetri yang mungkin disertai

syok hipovolemik dan identifikasi serta pengelolaan penyebab dari


perdarahan. Keberhasilan pengelolaan perdarahan postpartum mengharuskan

kedua komponen secara simultan dan sistematis ditangani (Edhi, 2013).

Penggunaan uterotonika (oksitosin saja sebagai pilihan pertama)

memainkan peran sentral dalam penatalaksanaan perdarahan postpartum.

Pijat rahim disarankan segera setelah diagnosis dan resusitasi cairan

kristaloid isotonik juga dianjurkan. Penggunaan asam traneksamat disarankan

pada kasus perdarahan yang sulit diatasi atau perdarahan tetap terkait trauma.

Jika terdapat perdarahan yang terusmenerus dan sumber perdarahan

diketahui, embolisasi arteri uterus harus dipertimbangkan. Jika kala tiga

berlangsung lebih dari 30 menit, peregangan tali pusat terkendali dan

pemberian oksitosin (10 IU) IV/IM dapat digunakan untuk menangani

retensio plasenta. Jika perdarahan berlanjut, meskipun 17 penanganan dengan

uterotonika dan intervensi konservatif lainnya telah dilakukan, intervensi

bedah harus dilakukan tanpa penundaan lebih lanjut (WHO, 2012).

G. Pencegahan

Klasifikasi kehamilan risiko rendah dan risiko tinggi akan

memudahkan penyelenggaraan pelayanan kesehatan untuk menata strategi

pelayanan ibu hamil saat perawatan antenatal dan melahirkan. Akan tetapi,

pada saat proses persalinan, semua kehamilan mempunyai risiko untuk

terjadinya patologi persalinan, salah satunya adalah PPP (Prawirohardjo,

2014).

Pencegahan PPP dapat dilakukan dengan manajemen aktif kala III.

Manajemen aktif kala III adalah kombinasi dari pemberian uterotonika

segera setelah bayi lahir, peregangan tali pusat terkendali, dan melahirkan
plasenta. Setiap komponen dalam manajemen aktif kala III mempunyai peran

dalam pencegahan perdarahan postpartum (Edhi, 2013).

Semua wanita melahirkan harus diberikan uterotonika selama kala

III persalinan untuk mencegah perdarahan postpartum. Oksitosin (IM/IV 10

IU) direkomendasikan sebagai uterotonika pilihan. Uterotonika injeksi

lainnya dan misoprostol direkomendasikan sebagai alternatif untuk

pencegahan perdarahan postpartum ketika oksitosin tidak tersedia.

Peregangan tali pusat terkendali harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang

terlatih 18 dalam menangani persalinan. Penarikan tali pusat lebih awal yaitu

kurang dari satu menit setelah bayi lahir tidak disarankan (WHO, 2012).

H. Faktor Predisposisi

Faktor yang mempengaruhi perdarahan post partum adalah :

1) Usia

Wanita yang melahirkan anak pada usia lebih dari 35 tahun

merupakan faktor predisposisi terjadinya perdarahan post partum yang

dapat mengakibatkan kematian maternal. Hal ini dikarenakan pada usia

diatas 35 tahun fungsi reproduksi seorang wanita sudah mengalami

penurunan dibandingkan fungsi reproduksi normal (Saifuddin, 2014).

2) Paritas

Salah satu penyebab perdarahan postpartum adalah multiparitas.

Paritas menunjukan jumlah kehamilan terdahulu yang telah mencapai batas

viabilitas dan telah dilahirkan. Primipara adalah seorang yang telah pernah

melahirkan satu kali satu janin atau lebih yang telah mencapai batas

viabilitas, oleh karena itu berakhirnya setiap kehamilan melewati tahap


abortus memberikan paritas pada ibu. Seorang multipara adalah seorang

wanita yang telah menyelesaikan dua atau lebih kehamilan hingga

viabilitas. Hal yang menentukan paritas adalah jumlah kehamilan yang

mencapai viabilitas, bukan jumlah janin yang 19 dilahirkan. Paritas tidak

lebih besar jika wanita yang 23 bersangkutan melahirkan satu janin, janin

kembar, atau janin kembar lima, juga tidak lebih rendah jika janinnya lahir

mati. Uterus yang telah melahirkan banyak anak, cenderung bekerja tidak

efisien dalam semua kala persalinan (Saifuddin, 2014).

3) Anemia dalam kehamilan

Anemia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan penurunan nilai

hemoglobin dibawah nilai normal, dikatakan anemia jika kadar hemoglobin

kurang dari 11g/dL. Kekurangan hemoglobin dalam darah dapat

menyebabkan komplikasi lebih serius bagi ibu baik dalam kehamilan,

persalinan, dannifas. Oksigen yang kurang pada uterus akan menyebabkan

otot-otot uterus tidak berkontraksi dengan adekuat sehingga dapat timbul

atonia uteri yang mengakibatkan perdarahan post partum (Manuaba, 2014).

4) Riwayat persalinan

Riwayat persalinan dimasa lampau sangat berhubungan dengan hasil

kehamilan dan persalinan berikutnya. Bila riwayat persalinan yang lalu

buruk petugas harus waspada terhadap terjadinya komplikasi dalam

persalinan yang akan berlangsung. Riwayat persalinan buruk ini dapat

berupa abortus, kematian janin, eklampsi dan preeklampsi, sectio caesarea,

persalinan sulit atau lama, janin besar, infeksi dan pernah mengalami

perdarahan antepartum dan postpartum.

5) Bayi makrosomia
Bayi besar adalah bayi lahir yang beratnya lebih dari 4000 gram.

Menurut kepustakaan bayi yang besar baru dapat menimbulkan dystosia

kalau beratnya melebihi 4500 gram. Kesukaran yang ditimbulkan dalam

persalinan adalah karena besarnya kepala atau besarnya bahu.Karena

regangan dinding rahim oleh anak yang sangat besar dapat menimbulkan

inertia dan kemungkinan perdarahan postpartum lebih besar.

6) Kehamilan ganda

Kehamilan ganda dapat menyebabkan uterus terlalu meregang,

dengan overdistensi tersebut dapat menyebabkan uterus atonik atau

perdarahan yang berasal dari letak plasenta akibat ketidak mampuan uterus

berkontraksi dengan baik.

A. Sepsis Neonatorum

1. Definisi sepsis neonatorum

Sepsis pada bayi baru lahir (BBL) adalah infeksi aliran darah yang bersifat

invasif dan ditandai dengan ditemukannya bakteri dalam cairan tubuh seperti darah,

cairan sum-sum tulang atau air kemih yang terjadi pada bulan pertama kehidupan

(Kosim, 2014). Sejak adanya konsensus dari American College of Chest

Physicians/ Society of Critical Care Medicine(ACCP/SCCM) telah timbul berbagai

istilah dan definisi di bidang infeksi yang banyak pula dibahas pada kelompok BBL

dan penyakit anak (Cunningham et al., 2012). Istilah atau definisi tersebut antara

lain (Kosim, 2014) :

a. Sepsis merupakan sindrom respon inflamasi sistemik (Systemic Inflammatory

Respons Syndrome - SIRS) yang terjadi sebagai akibat infeksi bakteri, virus,

jamur, ataupun parasit.


b. Sepsis berat adalah keadaan sepsis yang disertai disfungsi organ kardiovaskular dan

gangguan napas akut atau terdapat gangguan dua organ lain (seperti gangguan

neurologi, hematologi, urogenital, dan hepatologi).

c. Syok sepsis terjadi apabila bayi masih dalam keadaan hipotensi walaupun telah

mendapatkan cairan adekuat.

d. Sindroma disfungsi multi organ terjadi apabila bayi tidak mampu lagi

mempertahankan homeostasis tubuh sehingga terjadi perubahan fungsi dua atau

lebih organ tubuh.

2. Faktor resiko

Menurut Kosim (2014), pada sepsis awitan dini faktor resiko dikelompokkan menjadi

: a. Faktor Ibu :

1) Persalinan dan kelahiran kurang bulan.

2) Ketuban pecah lebih dari 18-24 jam.

3) Korioamnionitis.

4) Demam intrapartum pada ibu (≥38,4oC).

5) Infeksi saluran kencing pada ibu.

6) Faktor sosial ekonomi dan gizi ibu yang rendah.

b. Faktor Bayi :

1) Asfiksia perinatal.

2) Berat badan lahir rendah.

3) Bayi kurang bulan.

4) Kelainan bawaan.

Semua faktor di atas sering dijumpai dalam praktik sehari-hari dan sampai saat ini

masih menjadi masalah yang belum terselesaikan. Hal ini merupakan salah satu faktor
penyebab mengapa angka kejadian sepsis neonatal tidak banyak mengalami

perubahan dalam dekade terakhir ini (Kosim, 2014).

3. Klasifikasi sepsis neonatorum

Sepsis neonatal biasanya dibagi dalam dua kelompok yaitu Sepsis

Neonatorum Awitan Dini (SNAD) dan Sepsis Neonatorum Awitan Lanjut (SNAL).

Pada awitan dini kelainan ditemukan pada hari-hari pertama kehidupan (umur

dibawah 3 hari). Infeksi terjadi secara vertikal karena penyakit ibu atau infeksi

yang diderita ibu selama persalinan atau kelahiran. Berlainan dengan kelompok

awitan dini, penderita awitan lambat terjadi disebabkan mikroorganisme yang

berasal dari lingkungan di sekitar bayi setelah hari ke-3 lahir. Proses infeksi

semacam ini disebut juga infeksi dengan transmisi horizontal dan termasuk

didalamnya ada infeksi nosokomial. Selain perbedaan waktu paparan kuman, kedua

bentuk infeksi juga berbeda dalam macam kuman penyebab infeksi. Selanjutnya

baik patogenesis, gambaran klinis ataupun penatalaksanaan penderita tidak banyak

berbeda dan sesuai dengan perjalanan sepsisnya dikenal dengan cascade sepsis

(Kosim, 2014).

4. Etiologi sepsis neonatorum

Mikroorganisme penyebab sepsis: organisme penyebab sepsis primer

berbeda dengan sepsis nosokomial.Sepsis primer biasanya disebabkan:

Streptokokus Group B (GBS), bakteri usus Gram negatif, terutama Escherisia coli,

Listeria monocytogenes,Stafilokokus,Streptokokus lainnya (termasuk

Enterokokus), bakteri anaerob, dan Haemophilus influenzae. (Kardana, 2011).


5. Manifestasi klinis sepsis neonatorum

Diagnosis dini sepsis ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan terapi

diberikan tanpa menunggu hasil kultur. Tanda dan gejala sepsis neonatal tidak

spesifik dengan diagnosis banding yang sangat luas, termasuk gangguan napas,

penyakit metabolik, penyakit hematologik, penyakit susunan syaraf pusat, penyakit

jantung, dan proses penyakit infeksi (misalnya infeksi TORCH = Toksoplasma,

Rubela, Cytomegalo Virus, Herpes) (Kardana, 2011).

6. Patofisiologi sepsis neonatorum

Selama dalam kandungan janin relatif aman terhadap kontaminasi

mikroorganisme karena telah terlindungi oleh berbagai organ tubuh seperti

plasenta, selaput amnion, khorion, dan beberapa faktor anti infeksi pada cairan

amnion. Walaupun demikian kemungkinan kontaminasi kuman dapat timbul

melalui berbagai jalan yaitu salah satunya pada ketuban pecah, paparan kuman

yang berasal dari vagina akan lebih berperan dalam infeksi janin. Pada keadaan ini

kuman vagina masuk ke dalam rongga uterus dan bayi dapat terkontaminasi kuman

melalui saluran pernafasan ataupun saluran cerna. Kejadian kontaminasi kuman

pada bayi yang belum lahir akan meningkat apabila ketuban pecah lebih dari 18-24

jam (Kosim, 2014).

Sesuai dengan patogenesis, secara klinik sepsis neonatal dapat

dikategorikan dalam (Kardana, 2011) :

a. Sepsis dini : terjadi pada 0-3 hari pertama, tanda distres pernapasan lebih mencolok,

organisme penyebab penyakit didapat dari intra partum, atau melalui saluran

genital ibu. Pada keadaan ini kolonisasi patogen terjadi pada periode perinatal.
Beberapa mikroorganisme penyebab, seperti Treponema, Virus, Listeria dan

Candida, transmisi ke janin melalui plasenta secara hematogenik. Cara lain

masuknya mikroorganisme, dapat melalui proses persalinan. Dengan pecahnya

selaput ketuban, mikroorganisme dalam flora vagina atau bakteri patogen lainnya

secara asendens dapat mencapai cairan amnion dan janin. Hal ini memungkinkan

terjadinya khorioamnionitis atau cairan amnion yang telah terinfeksi kemudian

teraspirasi oleh janin atau neonatus, yang kemudian berperan sebagai penyebab

kelainan pernapasan. Adanya vernix atau 10 mekoneum merusak peran alami

bakteriostatik cairan amnion. Akhirnya bayi dapat terpapar flora vagina waktu

melalui jalan lahir. Kolonisasi terutama terjadi pada kulit, nasofaring, orofaring,

konjungtiva, dan tali pusat. Trauma pada permukaan ini mempercepat proses

infeksi. Penyakit dini ditandai dengan kejadian yang mendadak dan berat, yang

berkembang dengan cepat menjadi syok sepsis dengan angka kematian tinggi.

Insiden syok septik 0,1-0,4% dengan mortalitas 15-45% dan morbiditas kecacatan

saraf.

b. Sepsis lambat : umumnya terjadi setelah bayi berumur 4 hari atau lebih mudah

menjadi berat, tersering menjadi meningitis. Bakteri penyebab sepsis dan

meningitis, termasuk yang timbul sesudah lahir yang berasal dari saluran genital

ibu, kontak antar manusia atau dari alat-alat yang terkontaminasi. Di sini transmisi

horizontal memegang peran. Insiden sepsis lambat sekitar 5-25%, sedangkan

mortalitas 10-20%namun pada bayi kurang bulan mempunyai risiko lebih mudah

terinfeksi, disebabkan penyakit utama dan imunitas yang imatur.

7. Diagnosis sepsis neonatorum


Diagnosis dini sepsis neonatal penting artinya dalam penatalaksanaan dan

prognosis pasien. Keterlambatan diagnosis berpotensi mengancam kelangsungan

hidup bayi dan memperburuk prognosis pasien. Seperti telah dikemukakan

terdahulu, diagnosis sepsis neonatal sulit karena gambaran klinis pasien tidak

spesifik. Gejala sepsis klasik yang ditemukan pada anak lebih besar jarang

ditemukan pada BBL. Tanda dan gejala sepsis neonatal tidak berbeda dengan gejala

penyakit non infeksi berat pada BBL. Selain itu tidak ada satupun pemeriksaan

penunjang yang dapat dipakai sebagai pegangan tunggal dalam diagnosis pasti

pasien sepsis. Dalam menentukan diagnosis diperlukan berbagai informasi antara

lain (Kosim, 2014) :

a. Faktor risiko

b. Gambaran klinik

c. Pemeriksaan penunjang

Ketiga faktor ini perlu dipertimbangkan saat menghadapi pasien karena

salah satu faktor saja tidak mungkin dipakai sebagai pegangan dalam menegakkan

diagnosis pasien. Faktor risiko sepsis dapat bervariasi tergantung awitan sepsis

yang diderita pasien. Pada awitan dini berbagai faktor yang terjadi selama

kehamilan, persalinan atau kelahiran dapat dipakai sebagai indikator untuk

melakukan elaborasi lebih lanjut sepsis neonatal. Berlainan dengan sepsis awitan

dini, pada pasien awitan lambat, infeksi terjadi karena sumber infeksi yang

terdapat dalam lingkungan pasien (Kosim, 2014).

Diagnosis dini sepsis merupakan faktor penentu dalam keberhasilan

penatalaksanaan sepsis neonatal (Kosim, 2014).Salah satu upaya yang dilakukan

akhirakhir ini dalam menentukan diagnosis dini sepsis adalah pemeriksaan

biomolekuler. Dibandingkan dengan biakan darah, pemeriksaan ini dilaporkan


mampu lebih cepat memberikan informasi jenis kuman. Di beberapa kota besar di

Inggris, pemeriksaan cara ini telah dilakukan pada semua fasilitas laboratorium

untuk mendeteksi kuman tertentu antara lain N.meningitidis dan S.pneumoniae.

Selain manfaat untuk deteksi dini, Polymerase Chain Reaction (PCR) mempunyai

kemampuan pula untuk menentukan prognosis pasien sepsis neonatal (Kosim,

2014)

8. Pemeriksaan penunjang sepsis neonatorum

Pemeriksaan laboratorium neonatus tersangka sepsis awitan dari darah

perifer lengkap, hitung jenis, dan biakan darah. Pada umumnya ditemukan

peningkatan leukosit yang didominasi oleh sel PMN, penurunan leukosit

(30.000/μL), trombositopenia (<1500).Saat ini beberapa peneliti berpendapat

bahwa adanya satu tanda klinis yang sesuai dengan infeksi disertai nilai CRP >10

mg/dl cukup untuk menegakkan diagnosis sepsis awitan dini dan sepsis awitan

lambat pada sepsis neonatorum. Sebaliknya, untuk menentukan kriteria standar

yang seragam pada sepsis, beberapa peneliti menggabungkan antara nilai CRP>10

mg/dl dengan rasio neutrofil imatur terhadap netrofil total (IT ratio) ≥0,25 sebagai

kriteria untuk pemberian antibiotic meskipun belum ditemukan gejala sepsis

(Kosim, 2014).

9. Penatalaksanaan sepsis neonatorum

Eliminasi kuman merupakan pilihan utama dalam manajemen sepsis

neonatal. Pemberian antibiotika empiris harus memperhatikan pola kuman

penyebab tersering ditemukan diklinik tadi. Selain pola kuman hendaknya

diperhatikan pula resistensi kuman. Segera setelah didapatkan hasil kultur darah,
jenis antibiotika yang dipakai disesuaikan dengan kuman penyebab dan pola

resistensinya (Kosim, 2014).

Pemberian pengobatan pasien biasanya dengan memberikan antibiotik

kombinasi yang bertujuan untuk memperluas cakupan mikroorganisme patogen

yang mungkin diderita pasien. Diupayakan kombinasi antibiotik tersebut

mempunyai sensitifitas yang baik terhadap kuman gram positif ataupun gram

negative (Kosim, 2014).

a. Tatalaksana Komplikasi (Kardana, 2011) :

1. Pernapasan : kebutuhan oksigen meningkat, yang harus dipenuhi dengan

pemberian oksigen atau kemudian dengan ventilator.

2. Kardiovaskular: menunjang tekanan darah dan perfusi jaringan, mencegah syok

dengan pemberian volume ekspander 10-20ml/kg (NaCl 0,9%, albumin dan

darah). Catat pemasukan cairan dan pengeluaran urin.

3. Hematologi: untuk DIC (trombositopeni, protrombin time memanjang,

tromboplastin time meningkat), sebaiknya diberikan FFP 10 ml/kg, vit K,

suspensi trombosit, dan kemungkinan transfusi tukar. Apabila terjadi neutropenia,

diberikan transfusi neutrofil.

4. Susunan syaraf pusat: bila kejang beri Fenobarbital (20mg/kg loading dose) dan

monitor timbulnya Syndrome Inappropriate Anti Diuretic Hormon (SIADH),

ditandai dengan ekskresi urin turun, hiponatremi, osmolaritas serum turun,

naiknya berat jenis urin dan osmolaritas.

5. Metabolik: monitor dan terapi hipoglikemia dan hiperglikemia. Koreksi asidosis

metabolik dengan bikarbonat dan cairan. Pada saat ini imunoterapi telah

berkembang sangat pesat dengan ditemukannya berbagai jenis globulin

hiperimun, antibodi monoklonal untuk patogen spesifik penyebab sepsis neonatal.


10. Pencegahan sepsis neonatorum

Penatalaksanaan yang agresif diberikan pada ibu yang dicurigai menderita

korioamnionitis dengan antibiotika sebelum persalinan, persalinan yang cepat bagi

bayi baru lahir, dan kemoprofilaksis intrapartum selektif nampak dapat

menurunkan tingkat morbiditas dan mortalitas pada infeksi bayi baru lahir.

Pencegahan infeksi nosokomial neonatus ini kompleks dan meliputi mencuci

tangan 2 menit sebelum memasuki ruangan perawatan, 15 detik mencuci tangan

selang setiap penderita, memastikan pakaian perawat dan residen bersih. Jumlah

staf perawat yang cukup, penghindaran keadaan penuh sesak (Behrman, 2015).

Kontrol wabah tergantung pada patogen dan epidemiologi. Ukuran-ukuran

yang biasa digunakan termasuk penelitian perluasan kolonisasi pada bayi dan

perawat, pencarian sumber-sumber umum atau reservoir, pengelompokkan bayi dan

perawat, 14 penggantian cairan pencuci tangan dan protokolnya, dan profilaksis

antimikroba. Perawatan tali pusat, sterilisasi peralatan, dan pencucian tangan adalah

hal yang sangat penting, sedang jas praktek tidak secara konsisten selalu

menunjukkan efektivitasnya (Behrman, 2015).


BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Perdarahan postpartum adalah perdarahan pervaginam 500 cc atau lebih

setelah kala III selesai setelah plasenta lahir). Fase dalam persalinan dimulai dari

kala I yaitu serviks membuka kurang dari 4 cm sampai penurunan kepala dimulai,

kemudian kala II dimana serviks sudah membuka lengkap sampai 10 cm atau

kepala janin sudah tampak, kemudian dilanjutkan dengan kala III persalinan yang

dimulai dengan lahirnya bayi dan berakhir dengan pengeluaran plasenta.

Perdarahan postpartum terjadi setelah kala III persalinan selesai (Saifuddin, 2014).

Perdarahan postpartum ada kalanya merupakan perdarahan yang hebat dan

menakutkan sehingga dalam waktu singkat wanita jatuh ke dalam syok, ataupun

merupakan perdarahan yang menetes perlahan-lahan tetapi terus menerus dan ini

juga berbahaya karena akhirnya jumlah perdarahan menjadi banyak yang

mengakibatkan wanita menjadi lemas dan juga jatuh dalam syok.

2. Saran

Diharapkan bagi masyarakat khususnya ibu hamil untuk menjaga

kehamilannya dengan baik, mengingat kondisi kehamilan dapat memengaruhi

luaran janin yang dikandung. Menjaga agar kehamilan tetap sehat dapat dilakukan

dengan disiplin dalam program antenatal care dan menerapkan anjuran atau edukasi

kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan dan medis seperti perawat, bidan

dan dokter
DAFTAR PUSTAKA

WHO. Maternal Mortality Ratio. 2015. (Diunduh tanggal 22 September 2018).

Tersedia dari: http://cirocare.com/berita/detail/penyebab-utamakematian-ibu-saat-

melahirkan-55764.html

UNICEF. Trends in Maternal Mortality. 2015. (Diunduh tanggal 28 September 2018).

Tersedia dari: https://data.unicef.org/topic/maternalhealth/maternal-mortality/

http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/3378/5/Chapter%202.pdf

Say L. Global Causes of Maternal Death: A WHO Systematic Analysis. Lanset

Global Health; 2014.

Ristanti AD. The Correlation Between Parity and Baby Weight to The Incidence of

Postpartum Hemorrhage. ICASH: International Conference on Applied Science and

Health Research; 2016.

Saifuddin A. Ilmu Kebidanan, Edisi.4. Jakarta: Bina Pustaka; 2010.

Wiknjosastro H. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Bina Pustaka; 2010.

Manuaba. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan KB untuk Pendidikan Bidan

Edisi 2. Jakarta: EGC; 2012.


Faisal. Pendarahan Pasca Persalinan. 2008. (Diunduh tanggal 22 November 2018).

Tersedia dari: https://www.scribd.com/doc/8649214/pendarahanpasca-persalinan

Nugroho T. Buku Ajar Asuhan Kebidanan 3 Nifas. Yogyakarta: Nuha Medika; 2014.

Anda mungkin juga menyukai