S1 Keperawatan
2018
A. Pengertian HPP
Perdarahan postpartum adalah perdarahan lebih dari 500-600 ml selama 24 jam
setelah anak lahir. Termasuk perdarahan karena retensio plasenta. Perdarahan post partum
adalah perdarahan dalam kala IV lebih dari 500-600 cc dalam 24 jam setelah anak dan
plasenta lahir (Prof. Dr. Rustam Mochtar, MPH, 1998).
Haemoragic Post Partum (HPP) adalah hilangnya darah lebih dari 500 ml dalam
24 jam pertama setelah lahirnya bayi (Williams, 1998).
HPP biasanya kehilangan darah lebih dari 500 ml selama atau setelah kelahiran (Marylin
E Dongoes, 2001).
Tiga hal yang harus diperhatikan dalam menolong persalinan dengan komplikasi
perdarahan post partum :
Menghentikan perdarahan.
Mencegah timbulnya syok.
Mengganti darah yang hilang.
B. Prevalensi
Perdarahan post partum merupakan perdarahan yang terjadi karena hilangnya
darah sebanyak 500 ml atau lebih dari organ organreproduksi setelah selesainya kala dua
persalinan. Perdarahan post partum merupakan salah satu penyebab langsung kematian
ibu dan menempati persentase tertinggi sebesar 28%. Di berbagai negara, paling sedikit
seperempat dari seluruh kematian ibu disebabkan oleh perdarahan, proporsinya berkisar
antara kurang dari 10-60% (WHO, 2010).
Di Amerika serikat kehamilan yang berhubungan dengan kematian maternal
secara langsung diperkirakan terjadi 710 wanita tiap 100.000 kelahiran hidup. Data
statistik nasional Amerika Serikat menyebutkan sekitar 8% dari kematian ibu disebabkan
oleh perdarahan post partum. Di Inggris 50% kematian ibu hamil di akibatkan karena
perdarahan post partum (Erawati, 2012). Penyebab langsung kematian ibu di Indonesia
yaitu perdarahan sebesar 28%, eclampsia sebesar 24%, infeksi sebesar 11%, komplikasi
nifas sebesar 11%, abortus sebesar 5%, partus lama sebesar 5% dan penyebab lainnya
adalah sebesar 11%. (Depkes RI, 2010).
Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara penyebab utama kematian ibu
di Sumatera Utara belum ada surve khusus, tetapi secara nasional disebabkan karena
komplikasi persalinan 45%, retensio plasenta 20%, robekan jalan lahir 19%,12 partus
lama 11%, perdarahan dan eklampsia masing-masing 10%, komplikasi selama nifas 5%,
dan demam nifas 4% (Depkes RI, 2011). Perdarahan post partum terjadi secara mendadak
dan lebih berbahaya apabila terjadi pada wanita yang menderita komplikasi kehamilan.
Seorang ibu dengan perdarahan dapat meninggal dalam waktu kurang dari satu jam.
Kondisi kematian ibu keseluruhan diperberat oleh tiga terlambatan yaitu terlambat dalam
pengambilan keputusan, terlambat mencapai tempat rujukan dan terlambat mendapatkan
pertolongan yang tepat di fasilitas kesehatan (Kemenkes RI, 2011).
Walaupun seorang perempuan bertahan hidup setelah mengalami perdarahan post
partum, namun ia akan mengalami kekurangan darah yang berat (anemia berat) dan akan
mengalami masalah kesehatan yang berkepanjangan (Marlina, 2011). Banyak faktor yang
mempengaruhi terjadinya perdarahan post partum salah satu yang menjadi penyebab
terjadinya perdarahan post partum adalah atonia uteri, retensio plasenta, laserasi jalan
lahir, plasenta resdan penyakit pembekuan darah (Puspita, 2012).
Pada dasarnya perdarahan post partum merupakan penjelasan suatu kejadian dan
bukan diagnosis. Perdarahan post partum dapat dicegah atau diantisipasi jika tenaga
kesehatan telah memperkirakan resiko kejadian tersebut dengan cara menganamnesa saat
masa kehamilan apakah ibu memiliki faktor resiko mengalami perdarahan post partum
(Prawirohardjo, 2010)Perdarahan post partum dapat ditangani dengan perawatan
kebidanan dasar, namun keterlambatan dapat mengakibatkan komplikasi lebih lanjut
sehingga 3 memerlukan pelayanan kebidanan darurat yang komprehensif.
Bukti dan penelitian menunjukkan bahwa penanganan aktif pada persalinan kala
III dapat menurunkan insidensi dan tingkat perdarahan post partum. Tindakan
pencegahan tidak saja dilakukan sewaktu bersalin, namun juga dimulai sejak ibu hamil
dengan melakukan antenatal care yang baik. Semua ibu hamil harus didorong untuk
mempersiapkan kelahiran dan kesiagaan terhadap komplikasi dan agar melahirkan
dengan bantuan seorang bidan yang dapat memberikan perawatan pencegahan
perdarahan postpartum (Sarwono, 2008).
Menurut penelitian Shane (2009) di RSUD Dr. Pirngadi Medan diketahui bahwa
penyebab utama perdarahan post partum adalah retensio plasenta yaitu sebesar 53,7%
diikuti laserasi jalan lahir sebesar 29,3%, atonia uteri 14,6 % dan inversion uteri sebesar
2,4%. Menurut penelitian Erawaty (2012) tentang faktor-faktor yang berhubungan
dengan perdarahan post partum Di Puskesmas Limba B Kota Selatan, terdapat 80% ibu
mengalami perdarahan, dengan penyebab yang berbeda-beda yaitu 36% diantaranya
disebabkan oleh retensio plasenta, 20% disebabkan oleh atonia uteri, 15% disebabkan
oleh robekan jalan lahir, 10% disebabkan oleh anemia.
Menurut penelitian Micky (2012) tentang asuhan kebidanan pada ibu nifas Ny D
P1A0 Dengan Perdarahan Karena Atonia Uteri Di Rumah Sakit Kasih Ibu Surakarta.
Dengan kejadian ibu nifas dengan komplikasi 32,5%, dengan penyebab laserasi jalan
lahir 15%, retensio plasenta 12,5% dan atonia uteri 5%. Berdasarkan survei awal yang
dilakukan oleh peneliti di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam pada bulan Januari-April
2014 didapatkan jumlah persalinan pada tahun 2014 sebanyak 120 persalinan dengan
jumlah persalinan sepontan 70 orang (58,3%), 50 (41,6%) dengan Secio Cesaria, dengan
kejadian perdarahan post partum 25 orang (45,5%) dan faktor yang menyebabkan
perdarahan post partum adalah berhubungan dengan atonia uteri, retensio plasenta,
laserasi jalan lahir dan plasenta res.
Kematian dan kesakitan ibu masih merupakan masalah kesehatan yang serius di
negara berkembang. Menurut laporan World Health Organization (WHO) tahun 2014
Angka Kematian Ibu (AKI) di dunia yaitu 289.000 jiwa. Beberapa negara memiliki AKI
cukup tinggi seperti Afrika Sub-Saharan 179.000 jiwa, Asia Selatan 69.000 jiwa,dan Asia
Tenggara 16.000 jiwa. Angka kematian ibu di negara-negara Asia Tenggara yaitu
Indonesia 190 per 100.000 kelahiran hidup, Vietnam 49 per 100.000 kelahiran hidup,
Thailand 26 per 100.000 kelahiran hidup, Brunei 27 per 100.000 kelahiran hidup, dan
Malaysia 29 per 100.000 kelahiran hidup (WHO, 2014). Berdasarkan data tersebut, AKI
di Indonesia masih tinggi dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya.
Menurut data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007, AKI di
Indonesia menurun dari 307/100.000 kelahiran hidup pada tahun 2002 menjadi
228/100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007. Sedangkan target yang diharapkan
berdasarkan Melenium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015 yaitu 102/100.000
kelahiran 2hidup. Hal ini berarti bahwa AKI di Indonesia jauh di atas target yang
ditetapkan WHO atau hampir dua kali lebih besar dari target WHO (Kementerian
Kesehatan, 2011). Hal ini dapat terjadi karena adanya kelompok kehamilan berisiko.
Kelompok kehamilan risiko tinggi di Indonesia pada tahun 2007 sekitar 34%. Kategori
dengan risiko tinggi tunggal mencapai 22,4%, dengan rincian umur ibu <18 tahun sebesar
4,1%, umur ibu > 34 tahun sebesar 3,8%, jarak kelahiran < 24 bulan sebesar 5,2%, dan
jumlah anak yang terlalu banyak (>3 orang) sebesar 9,4% (BKKBN, 2008). Berdasarkan
Data Profil Kesehatan Provinsi Lampung terlihat bahwa kasus kematian ibu dapat terjadi
pada saat hamil, melahirkan, dan nifas yaitu sebanyak 179 kasus. Kasus kematian ibu
terbesar (59,78%) terjadi pada saat persalinan (Profil Kesehatan Lampung, 2012).
Menurut Kementerian Kesehatan tahun 2010, tiga faktor utama penyebab
kematian ibu melahirkan adalah perdarahan (28%), eklampsia (24%), dan infeksi (11%).
Penyebab kasus kematian ibu di Provinsi Lampung tidak jauh berbeda yaitu perdarahan
(40,23%), eclampsia (59,33%), infeksi (4,2%), dan lain-lain (75,42%) (Kementerian
Kesehatan, 2010; Profil Kesehatan Lampung, 2012). 3 Perdarahan postpartum adalah
kehilangan darah antara 500 ml atau lebih selama bersalin ataupun masa nifas.
Perdarahan postpartum pada 24 jam pertama menyebabkan kematian ibu sebesar 45%,
68-73% dalam satu minggu setelah bayi lahir, dan 82-88% dalam dua minggu setelah
bayi lahir (Prawirohardjo, 2010).
Berdasarkan hasil prasurvei angka kejadian perdarahan post partum di RSUD Dr.
H. Abdul Moeloek (RSAM) Lampung tahun 2013 terdapat 155 kasus (4,6%) dari 3.354
persalinan. Pada tahun 2014 terjadi peningkatan yaitu terdapat 119 kasus (10,5%) dari
1.130 persalinan. Penyebab perdarahan postpartum tersebut adalah retensio plasenta
3,2%, atonia uteri 0,5%, laserasi jalan lahir 1,2% dan sisa plasenta 5,6% (Data Statistik
RSAM Lampung, 2014). Perdarahan postpartum dipengaruhi oleh beberapa faktor antara
lain perdarahan dari tempat implantasi plasenta yang terdiri dari hipotoni akibat anestesi,
distensi berlebihan, atonia uteri, multiparitas, dan sisa plasenta.
Perdarahan postpartum juga disebabkan oleh faktor robekan jalan lahir, ruptura
uteri, preeklampsia, kasus trombofilia, solusio plasenta, kematian janin dalam kandungan
dan emboli air ketuban (Astuti, Mifbakhuddin dan Meikawati, 2014). Preeklampsia
merupakan suatu penyakit kehamilan yang ditandai dengan hipertensi dan proteinuria.
Penyebab preeklampsia sampai saat ini masih 4 belum dapat diketahui secara pasti
sehingga preeklampsia disebut sebagai “the disease of theories”. Pada beberapa
penelitian yang ada, dikemukakan bahwa terjadi peningkatan risiko yang merugikan dari
keluaran persalinan pada wanita yang mengalami hipertensi dalam kehamilan yang
kronik (Raras, 2010). Preeklampsia merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
perdarahan postpartum dimana wanita dengan preeklampsia menghadapi risiko
perdarahan yang meningkat. Preeklampsia dapat terjadi pada masa antenatal, intranatal,
dan postnatal. Ibu yang mengalami hipertensi akibat kehamilan berkisar 10%, 3-4 %
diantaranya mengalami preeklampsia, 5% mengalami hipertensi dan 1-2% mengalami
hipertensi kronik (Robson dan Jason, 2012).
Telah dilaporkan bahwa insidensi preeklampsia terjadi sekitar 2-10%pada
kehamilan di dunia. Preeklampsia merupakan penyakit yang angka kejadiannya di setiap
negara berbeda-beda. World Health Organization memperkirakan angka kejadian
preeklampsia tujuh kali lebih tinggi di negara berkembang (2,8%) dibanding pada negara
maju (0,4%) (Osungbade, 2011). Prevalensi preeklampsia di Amerika meningkat dari
3,4% di tahun 1980 menjadi 3,8% di tahun 2010. Pada tahun 2014, preeklampsia terjadi
sebanyak 28,7% di India. Di Indonesia, data kejadian preeklampsia masih 5 terbatas,
terutama pada tingkat nasional. Insidensi preeklampsia di Indonesia yaitu sekitar 3-10%
(Opitasari, 2014).
Berdasarkan studi pendahuluan yang peneliti lakukan di RSAM Lampung
menunjukkan bahwa pada tahun 2013 terdapat 481 ibu yang mengalami preeklampsia,
sedangkan pada tahun 2014 terdapat 337 ibu dengan preeklampsia. Meskipun terjadi
penurunan, angka kejadian preeklampsia masih tinggi di RSAM Lampung (Data Statistik
RSAM Lampung, 2014). Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka
peneliti tertarik untuk meneliti sejauh mana hubungan preeklampsia terhadap kejadian
perdarahan postpartum pada ibu bersalin di RSAM Provinsi Lampung.
C. Faktor Resiko
Faktor yang mempengaruhi perdarahan post partum adalah :
1. Usia
Wanita yang melahirkan anak pada usia dibawah 20 tahun atau lebih dari 35 tahun
merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan pascapersalinan yang dapat
mengakibatkan kematian maternal.
Pada usia dibawah 20 tahun fungsi reproduksi seorang wanita belum
berkembang dengan sempurna jalan lahir mudah robek, kontraksi uterus masih
kurang baik rentan terjadi perdarahan
Pada usia diatas 35 tahun fungsi reproduksi seorang wanita mengalami
penurunan kemungkinan komplikasi pascapersalinan terutama perdarahan
lebih besar.
2. Paritas
Salah satu penyebab perdarahan post partum adalah multiparitas.Paritas
menunjukan jumlah kehamilan terdahulu yang telah mencapai batas viabilitas dan
telah dilahirkan.Primipara adalah seorang yang telah pernah melahirkan satu kali satu
janin atau lebih yang telah mencapai batas viabilitas, oleh karena itu berakhirnya
setiap kehamilan melewati tahap abortus memberikan paritas pada ibu.Seorang
multipara adalah seorang wanita yang telah menyelesaikan dua atau lebih kehamilan
hingga viabilitas. Hal yang menentukan paritas adalah jumlah kehamilan yang
mencapai viabilitas, bukan jumlah janin yang dilahirkan. Paritas tidak lebih besar jika
wanita yang bersangkutan melahirkan satu janin, janin kembar, atau janin kembar
lima, juga tidak lebih rendah jika janinnya lahir mati.Uterus yang telah melahirkan
banyak anak, cenderung bekerja tidak efisien dalam semua kala persalinan.
3. Anemia
Anemia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan penurunan nilaihemoglobin
di bawah nilai normal, dikatakan anemia jika kadar hemoglobin kurang dari 11g/dL.
Kekurangan hemoglobin dalam darah dapat menyebabkan komplikasi lebih serius
bagi ibu baik dalam kehamilan, persalinan, dan nifas. Oksigen yang kurang pada
uterus akan menyebabkan otot-otot uterus tidak berkontraksi dengan adekuat
sehingga dapat timbul atonia uteri yang mengakibatkan perdarahan post partum.
4. Riwayat persalinan
Riwayat persalinan di masa lampau sangat berhubungan dengan hasil kehamilan
dan persalinan berikutnya. Bila riwayat persalinan yang lalu buruk petugas harus
waspada terhadap terjadinya komplikasi dalam persalinan yang akan berlangsung.
Riwayat persalinan buruk ini dapat berupa abortus, kematian janin, eklampsi dan
preeklampsi, sectio caesarea, persalinan sulit atau lama, janin besar, infeksi dan
pernah mengalami perdarahan ante partum dan post partum.
5. Bayi makrosomia
Bayi besar adalah bayi lahir yang beratnya lebih dari 4000 gram. Menurut
kepustakaan bayi yang besar baru dapat menimbulkan dytosia kalau beratnya
melebihi 4500 gram. Kesukaran yang ditimbulkan dalam persalinan adalah karena
besarnya kepala atau besarnya bahu. Karena regangan dinding rahim oleh anak yang
sangat besar dapat menimbulkan inertia dan kemungkinan perdarahan postpartum
lebih besar.
6. Kehamilan ganda
Kehamilan ganda dapat menyebabkan uterus terlalu meregang, dengan
overdistensi tersebut dapat menyebabkan uterus atonik atau perdarahan yang berasal
dari letak plasenta akibat ketidakmampuan uterus berkontraksi dengan baik.
E. Etiologi
1. Atonia uteri
Atonia uteri adalah ketidakmampuan uterus khususnya myometrium untuk
berkontraksi setelah plasenta lahir. Perdarahan postpartum secara fisiologis dikontrol
oleh kontraksi serat-serat miometrium terutama yang berada disekitar pembuluh
darah yang mensuplai darah pada tempat perlengketan plasenta(Wiknjosastro, 2006).
Kegagalan kontraksi dan retraksi dari serat miometrium dapat menyebabkan
perdarahan yang cepat dan parah serta syok hipovolemik. Kontraksi miometrium
yang lemah dapat diakibatkan oleh kelelahan karena persalinan lama atau persalinan
yang terlalu cepat, terutama jika dirangsang. Selain itu, obat-obatan seperti obat anti-
inflamasi nonsteroid, magnesium sulfat, beta-simpatomimetik, dan nifedipin juga
dapat menghambat kontraksi miometrium. Penyebab lain adalah situs implantasi
plasenta di segmen bawah rahim, korioamnionitis, endomiometritis, septikemia,
hipoksia pada solusio plasenta, dan hipotermia karena resusitasi massif (Rueda et al.,
2013).
Atonia uteri merupakan penyebab paling banyak PPP, hingga sekitar 70%
kasus. Atonia dapat terjadi setelah persalinan vaginal, persalinan operatif ataupun
persalinan abdominal. Penelitian sejauh ini membuktikan bahwa atonia uteri lebih
tinggi pada persalinan abdominal dibandingkan dengan persalinan vaginal (Edhi,
2013).
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Golongan darah
Menentukan Rh, ABO dan percocokan silang
2. Pemeriksaan Laboratorium
Jumlah darah lengkap : menunjukkan penurunan Hb/Ht dan peningkatan jumlah sel
darah putuih (SDP). (Hb saat tidak hamil:12-16gr/dl, saat hamil: 10-14gr/dl. Ht saat
tidak hamil:37%-47%, saat hamil:32%-42%. Total SDP saat tidak hamil 4.500-
10.000/mm3. saat hamil 5.000-15.000)
3. Pemeriksaan Radiologi
Onset perdarahan post partum biasanya sangat cepat. Dengan diagnosis dan
penanganan yang tepat, resolusi biasa terjadi sebelum pemeriksaan laboratorium atau
radiologis dapat dilakukan.
4. Kultur uterus dan vagina
Mengesampingkan infeksi pasca partum
5. Pemeriksaan USG
Hal ini dilakukan bila perlu untuk melakukan adanya sisa jaringan konsepsi
intrauterin.
6. Urinalisis
Memastikan kerusakan kandung kemih
7. Profil koagulasi
Peningkatan degradasi, kadar produk fibrin/produk split fibrin (FDP/FSP), penurunan
kadar fibrinogen: masa tromboplastin partial diaktivasi, masa tromboplastin partial
(APT/PTT), masa protrombin memanjang pada KID
8. Sonografi
Menentukan adanya jaringan plasenta yang tertahan.
G. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksaan medis menurut (Mansjoer, 2002):
1. Pada retensio plasenta, bila plasenta belum lahir dalam 30 menit, lahirkan plasenta
dengan plasenta manual dan lakukan histerektomi. Bila hanya sisa plasenta, lakukan
pengeluaran plasenta dengan digital/ kuretase, sementara infuse oksitosin diteruskan.
2. Pada trauma jalan lahir, segera lakukan reparasi, perlukaan jalan lahir sebagai
penyebab perdarahan apabila uterus sudah berkontraksi dengan baik tapi perdarahan
terus berlanjut. Lakukan eksplorasi jalan lahir untuk mencari perlukaan jalan lahir
dengan penerangan yang cukup. Lakukan reparasi penjahitan setelah diketahui
sumber perdarahan, pastikan penjahitan dimulai diatas puncak luka dan berakhir
dibawah dasar luka. Lakukan evaluasi perdarahan setelah penjahitan selesai.
3. Pada atonia uteri, lakukan masase uterus dan penyuntikan 0,2 mg ergometrin
intavena atau prostaglandin parenteral. Jika tidak berhasil, lakukan kompresi
bimanual pada uterus dengan cara memasukkan tangan kiri kedalam vagina dan
dalam posisi mengepal diletakkan di forniks anterior, tangan kanan diletakkan di
dinding perut memegang fundus uteri. Bila tetap gagal, dapat dipasang tampon
uterovaginal, dengan cara mengisi kavum uteri dengan kasa sampai padat selama 24
jam, atau dipasang kateter folley. Bila tindakan tersebut tidak dapat menghentikan
perdarahan juga, terapi definitive yang diberikan adalah histerektomi atau ligasi
arteri uterine.
4. Bila disebabkan gangguan pembekuan darah, berikan transfuse plasma segar.
H. Asuhan Keperawatan
ASKEP KASUS 5 (PASIEN DENGAN GANGGUAN HEMORARGI POST PARTUM)
PENGKAJIAN
a. Identitas klien
Data diri klien meliputi : nama, umur, pekerjaan, pendidikan, alamat, medical record
dan lain – lain
b. Riwayat kesehatan :
Keluhan yang dirasakan saat ini yaitu: kehilangan darah dalam jumlah banyak (>500ml),
Nadi lemah, pucat, lokea berwarna merah, haus, pusing, gelisah, letih, tekanan darah
rendah, ekstremitas dingin, dan mual.
Adanya riwayat keluarga yang pernah atau sedang menderita hipertensi, penyakit
jantung, dan pre eklampsia, penyakit keturunan hemopilia dan penyakit menular.
4. Riwayat obstetri:
b. Riwayat perkawinan meliputi : Usia kawin, kawin yang keberapa, Usia mulai hamil
Riwayat hamil meliputi: Waktu hamil muda, hamil tua, apakah ada abortus,
retensi plasenta
Riwayat nifas meliputi: Keadaan lochea, apakah ada pendarahan, ASI cukup
atau tidak dan kondisi ibu saat nifas, tinggi fundus uteri dan kontraksi
Hamil tua, keluhan selama hamil tua, peningkatan berat badan, tinggi badan,
suhu, nadi, pernafasan, peningkatan tekanan darah, keadaan gizi akibat mual,
keluhan lain
5. Riwayat antenatal care meliputi : Dimana tempat pelayanan, beberapa kali, perawatan
serta pengobatannya yang didapat
b. Eliminasi, meliputi :
Pola dan defekasi, jumlah warna, konsistensi. BAB harus ada 3-4 hari post partum
Gangguan pola tidur karena perubahan peran dan melaporkan kelelahan yang
berlebihan.
Pola atau frekuensi mandi, menggosok gigi, keramas, baik sebelum dan selama
dirawat serta perawatan mengganti balutan atau duk.
DATA FOKUS
DIAGNOSA KEPERAWATAN
No. Diagnosa Nanda
1. Kekurangan volume cairan b/d kehilangan cairan aktif (Hal.193)
2. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b/d hipovolemia (Hal.253)
3. Ansietas b/d krisis situasi, ancaman kematian, respon fisiologis (pelepasan
katekolamin) (Hal.343)
INTERVENSI KEPERAWATAN
Intervensi Kolaborasi :
1. Pemberian infus melalui vena.
Berikan darah lengkap/produk
darah (Hal.278)
R/: Cairan darah dapat
meningkatkan volume
sirkulasi dan mencegah
pembekuan.
2. Berikan oksitosin IV atau IM
sesuai order dokter (Hal.278)
R/: Untuk meningkatkan
kontraktilitas dari uterus yang
menonjol dan myometrium,
menutup sinus vagina yang
terpajan dan menghentikan
perdarahan.
3. Pantau pemeriksaan
laboratorium sesuai indikasi :
Hb dan Ht (Hal.278)
R/: membantu
dalam menentukan kehilangan
darah
2. Setelah dilakukan tindakan keperawatan Intervensi Mandiri :
selama 1 x 24 jam, maka diharapkan 1. Perhatikan Hb & Ht sebelum
perfusi jaringan ibu kembali adekuat, dan sesudah kehilangan darah
dengan kriteria hasil : (Hal.278)
R/: Nilai banding membantu
1. TTV dalam batas normal (Hal.563)
TD = 100-120/60-80 mmHg dalam menentukan beratnya
S = 36-37 °C
kehilangan darah
N = 60-100x/mnt
2. Pantau TTV, catat derajat &
RR = 16-24x/mnt
2. Perfusi Jaringan (Hal.445) durasi hipovolemik (Hal.183)
AGD Normal = PH : 7,35- R/: Peningkatan frekuensi
7,45, PO2 : 80-100 mmHg, pernafasan dalam
PCO2 : 35-45 mmHg menunjukkan upaya untuk
Hb Normal = 12-14 gr %
mengatasi asidosis metabolic
Ht Normal = 35-54 gr %
3. Kaji payudara setiap hari,
3. Integritas Jaringan : Kulit &
perhatikan ada atau tidaknya
membran mukosa (Hal.107)
Membran mukosa & kulit laktasi dan perubahan pada
lembab, skala 3 ukuran payudara (Hal.383)
Wajah tidak pucat, skala 3 R/: Kerusakan atau
Tidak ada sianosis, skala 4
keterlibatan hipofisis anterior
menurunkan kadar prolactin,
mengakibatkan tidak adanya
produksi asi & akhirnya
menurunkan jaringan
payudara.
Intervensi Kolaborasi :
1. Pantau AGD dan Kadar PH
(Hal.278)
R/: Membantu dalam
mendiagnosa derajat hipoksia
jaringan atau asidosis yang
diakibatkan dari terbentuknya
asam laktat dari metabolisme
anaerobic
2. Berikan terapi oksigen sesuai
kebutuhan (Hal.444)
R/: Memaksimalkan
ketersediaan oksigen untuk
transport sirkulasi ke jaringan
3. Setelah dilakukan tindakan keperawatan Intervensi Mandiri :
selama 1 x 24 jam, maka diharapkan 1. Evaluasi respon psikologis
ansietas klien berkurang/hilang, dengan serta persepsi klien terhadap
kriteria hasil : kejadian hemorargi post
1. Tingkat kecemasan (Hal.572) partum (Hal.319)
Tidak gelisah, skala 4 R/: Membantu dalam
Klien tampak rileks, skala 3
membentuk rencana
Rasa takut berkurang, skala
perawatan, sehingga
3
2. TTV dalam batas normal (Hal.563) membantu mengurangi
TD = 100-120/60-80 mmHg
ansietasnya.
S = 36-37 °C
2. Evaluasi respon fisiologis
N = 60-100x/mnt
RR = 16-24x/mnt pada HPP. Mis : Takikardi,
takipneau, gelisah atau
iritabilitas (Hal.319)
R/: Meskipun perubahan pada
TTV, mungkin karena respon
fisiologis ini dapat
diperberat/dikomplikasi oleh
factor factor psikologis.
3. Sampaikan sikap tenang,
empati dan mendukung
(Hal.319)
R/: Dapat menurunkan tingkat
kecemasan.
4. Bantu klien dalam
mengidentifikasi perasaan
ansietas : berikan kesempatan
pada klien untuk
mengungkapkan perasaan
(Hal.319)
R/: Memudahkan proses
pemecahan masalah
Intervensi Kolaborasi :
1. Rujuk klien/pasangan untuk
konseling atau keluarga
pendukung komunitas
(Hal.128)
R/: Membantu menurunkan
ansietas melalui dukungan
professional dan interaksi.