BAB 1
PENDAHULUAN
Dalam rangka percepatan penurunan angka kematian ibu dan angka kematian bayi, pemerintah telah melaksanakan berbagai
upaya dibidang kesehatan, diantaranya dengan peningkatan mutu pelayanan dan pengelolaan manajemen program kesehatan ibu dan anak
(KIA). Namun ternyata masih perlu adanya peningkatan keterlibatan masyarakat dalam perhatian dan pemeliharaan kesehatan ibu dan bayi
baru lahir. Seperti kita ketahui bersama bahwa ditingkat masyarakat masalah keterlambatan, utamanya keterlambatan mengenal tanda
bahaya dan mengambil keputusan, terlambat mencapai fasilitas kesehatan, terlambat mendapatkan pertolongan di fasilitas kesehatan, serta
masalah 4 terlalu yaitu terlalu muda punya anak(<20 tahun), terlalu banyak melahirkan(>3 anak), terlalu rapat jarak kelahiran (<2 tahun),
terlalu tua (>35 tahun), masih dilatarbelakangi oleh rendahnya pengetahuan (Kemenkes RI, 2009).
Untuk menanggulangi permasalahan tersebut, telah dilkukan upaya percepatan AKI. Pada tahun 2000 Departemen kesehatan
telah merancangkan Strategi Making Pregnancy Safer (MPS) yang merupakan strategi terfokus dalam penyediaan dan pemantapan
pelayanan kesehatan, dengan 3 pesan kunci MPS, yaitu: (1) setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih, (2) setiap konflikasi
obstetri dan neonatal mendapat pelayanan yang adekuat, dan (3) setiap wanita usia subur mempunyai askes terhadap pencegahan kehamilan
yang tidak diinginkan dan penanganan komflikasi keguguran. Upaya percepatan penurunan AKI tersebut dilaksanakan melalui empat
strategi, yaitu: (1) peningkatan kualitas dan akses pelayanan kesehatan ibu dan bayi,(2) kerjasama lintas program,lintas sektor terkait dan
masyarakat termasuk swasta (3) pemberdayaan perempuan, keluarga dan pemberdayaan masyarakat, dan (4) meningkatkan survailance,
monitoring-evaluasi KIA dan pembiayaan.
Berdasarkan profil Dinas Kesehatan Kota Mataram selama tahun 2012 tercatat 261 yang mengalami Perdarahan Post Partum
(HPP). Berdasarkan data register rekapan persalinan dari Puskesmas Tanjung Karang terhitung dari tahun 2012, terdapat jumlah persalinan
sebanyak 1.335 persalinan. Sedangkan yang disertai perdarahan setelah melahirkan terdapat 50 orang (Anonim, 2012).
Melihat masih tingginya angka kematian ibu akibat perdarahan peneliti tertarik untuk meneliti Karakteristik ibu dan Penyebab
Kejadian Perdarahan Post Partum Di Puskesmas Tanjung Karang Kota Mataram NTB Tahun 2012”.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah Karakteristik ibu dan Penyebab terjadinya Perdarahan Post Partum Di Puskesmas Tanjung Karang Kota Mataram
NTB Tahun 2012?”.
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui landasan teori serta konsep asuhan keperawatan dari perdarahan post partum.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Agar mahasiswa mampu mengetahui tentang definisi dari perdarahan post partum.
2. Agar mahasiswa mampu mengetahui etiologi dari perdarahan post partum.
3. Agar mahasiswa mampu memahami serta mampu menguraikan patofiologi dari perdarahan post partum.
4. Agar mahasiswa mampu memahami tentang factor predisposisi dari perdarahan post partum.
5. Agar mahasiswa mampu memahami manifestasi klinis dari perdarahan post partum.
6. Agar mahasiswa mampu mengetahui serta memahami penatalaksanaan dari perdarahan post partum.
7. Agar mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada pasien dengan paerdarahan post partum.
8. Agar mahasiswa mampu merumuskan diagnose serta membuat rencana tindakan keperawatan pada pasien dengan peradarahan post
partum.
9. Agar mahasiswa mampu mengevaluasi pada pasien dengan perdarahan post partum.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Institusi Pendidikan
Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat khususnya dalam memperbanyak referensi tentang penyebab perdarahan
post partum sebagai acuan bagi peneliti selanjutnya.
d. Penatalaksanaanya
1) Pencegahan:
a) Melakukan secara rutin manajemen aktif kala III pada semua wanita yang bersalin karena hal ini dapat menurunkan insidens perdarahan
pascapersalinan akibat atonia uteri
b) Pemberian misoprostol peroral 2 – 3 tablet (800 – 1.000 g) segera setelah bayi lahir (Prawirohardjo, 2011).
2) Penanganan:
a) Rangsangan taktil (pemijatan). Fundus uteri segera setelah lahirnya plasenta (maksimal 15 menit).
a) Bersihkanlah bekuan darah dan/atau selaput ketuban dari vagina dan lubang serviks.
b) Pastikan bahwa kandung kemih telah kosong.
Jika penuh atau dapat dipalpasi, kateterisasi kandung kemih menggunakan teknik aseptik. Lakukan kompresi bimanual internal
(KB1) selama 5 menit dengan cara:
(1) Cuci tangan dengan sabun dan air bersih, lalu keringkan dengan handuk bersih.
(2) Gunakan sarung tangan yang steril DTT.
(3) Letakkan tangan kiri seperti di atas (menekan fundus uteri dan luar)
(4) Masukkan tangan kanan dengan hati-hati ke dalam vagina dan buat kepalan tinju.
(5) Kedua tangan didekatkan dan secara bersama-sama menekan uterus.
(6) Lakukan tindakan ini sampai diperoleh pertolongan lebih lanjut, bila diperlukan.
Prinsipnya adalah menekan uterus dengan cara manual agar terjadi hemostasis.
Pantau kembali apakah uterus herkoitr
JikaYa
1) Anjurkan keluarga untuk mulai melakukan kompresi bimanual eksternal dengan cara:
a) Letakkan satu tangan pada abdomen di depan uterus, tepat di atas symphisis pubis.
b) Letakkan tangan yang lain pada dinding abdomen (dibelakang korpus uteri), usahakan memegang bagian belakang uterus seluas mungkin).
c) Lakukan gerakan saling merapatkan kedua tangan untuk melakukan kompresi pembuluh darah di dinding uterus dengan cara menekan
uterus di antara kedua tangan tersebut. Ini akan membantu uterus berkontraksi dan menekan pembuluh darah.
2) Keluarkan tangan perlahan - lahan.
3) Berikan ergometrin 0,2 mg IM (jangan diberikan jika hipertensi).
4) Pasang infus menggunakan jarum ukuran 16 atau 18 dan berikan 500 ini Ringer Laktat +20 unit oksitosin. Habiskan 500 ini pertama secepat
mungkin.
5) Ulangi KB 1.
Pantau kembali apakah uterus berkontraksi?
Jika Ya pantau ibu dengan seksama selama kala empat persalinan.
Jika Tidak lanjutkan langkah berikutnya
a) Rujuk segera
b) Dampingi ibu ke tempat rujukan.
Lanjutkan infus Ringer Laktat + 20 unit oksitosin dalam 500 ini larutan dengan laju 500 mI/jam hingga tiba di tempat rujukan
atau hingga menghabiskan 1,5 1 infus. Kemudian berikan 125 mI/jam. Jika tidak tersedia cairan yang cukup, berikan 500 ini kedua dengan
perlahan dan berikan minuman untuk rehidrasi (Prawirohardjo, 2007).
2. Robekan Jalan Lahir
a. Definisi
Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan trauma. Pertolongan persalinan yang semakin manipulatif dan
traumatik akan memudahkan robekan jalan lahir dan karena itu dihindarkan memimpin persalinan pada saat pembukaan serviks belum
lengkap. Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomi, robekan spontan perineum, truama forseps atau vakum ekstraksi, atau karena versi
ekstraksi (Prawirohardio, 2011).
b. Tanda/Gejala
Gejala yang selalu ada yaitu perdarahan segera, darah segar mengalir segera setelah bayi lahir, kontraksi uterus baik, keadaan
plasenta baik (Wiknjosatro, 2006)
c. Etiologi
1) Episiotomi yang terlalu lebar
2) Robekan servik yang luas menimbulkan perdarahan dan dapat menjalar ke segmen bawah uterus. Apabila terjadi perdarahan yang tidak
berhenti, meskipun plasenta sudah lahir lengkap dan uterus sudah berkontraksi dengan baik. perlu dipikirkan perlukaan jalan lahir,
khususnya robekan servik uteri.
3) Perlukaan vagina yang tidak berhubungan dengan luka perineum tidak sering dijumpai. Mungkin ditemukan setelah persalinan biasa, tetapi
lebih sering terjadi sebagai akibat ekstraksi dengan cunam, terlebih apabila kepala janin harus diputar. Robekan terdapat pada dinding
lateral dan baru terlihat pada pemeriksaan speculum.
4) Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan perineum
umumnya terjadi di garis tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada biasa,
kepala janin melewati pintu panggul bawah dengan ukuran yang lebih besar daripada sirkum ferensia suboksipitobregmatika Laserasi pada
traktus genitalia sebaiknya dicurigai, ketika terjadi perdarahan yang berlangsung lama yang menyertai kontraksi uterus yang kuat
(Prawirohardjo, 2007).
d. Penatalaksanaan
1) Pencegahan
a) Lakukan episotomi
b) Pemijitan perineum (perineum masage)
c) Posisi meneran yang benar.
2) Penanganan
a) Periksalah dengan seksama keadaan jalan lahir, dan periksa robekan pada serviks, vagina dan perineum.
b) Tentukan tingkatan robekan jalan lahir yaitu:
(1) Robekan tingkat 1 yang mengenai mukosa vagina dan jaringan ikat, robekan ini dapat sembuh sendiri tidak perlu di jahit.
(2) Robekan tingkat II yang mengenai mukosa vagina dan kulit perineum, lakukan heating dengan jahitan pada mukos vagina secara jelujur
menggunakan catgut chromic 2-0 selanjutnya dilakukan jahitan otot perineum dan jahitan kulit.
(3) Robekan tingkat III dan IV yang mengenai rectum dan spingter ani, dilakukan jabitan pada spingter ani mengunakan catgut chromic 3-0 atau
4-0 secara interuptus dengan 0,5 cm antara jahitan (Prawirohardjo, 2007)
3. Retensio Placenta
a. Definisi
Retensio placenta adalah keadaan dimana plasenta belum lahir selama 30 menit setelah bayi lahir (Prawirohardjo, 2007).
b. Tanda/Gejala
1) Gejala yang selalu ada: plasenta belum lahir setelah 30 menit, perdarahan segera, kontraksi uterus baik.
2) Gejala yang kadang-kadang timbul: tali pusat putus akibat kontraksi berlebihan, inversi uteri akibat tarikan, perdarahan lanjutan (Salemba,
2010).
c. Etiologi
1) Plasenta belum terlepas dan dinding rahim karena melekat dan tumbuh dalam. Menurut tingkat perlekatannya:
2) Plasenta adhesiva : plasenta yang melekat pada desidua endometrium lebih dalam.
3) Plasenta inkreta : vili khorialis tumbuh lebih dalam dan menembus desidua endometrium sampai ke miometrium.
4) Plasenta akreta : vili khorialais tumbuh menembus miometrium sampai ke serosa.
5) Plasenta perkreta : vili khorialis tumbuh menembus serosa atau peritoneumdinding rahim.
6) Plasenta sudah terlepas dan dinding rahim namun belum keluar karena atonia uteri atau adanya lingkaran konstriksi pada bagian bawah
rahim yang akan menghalangi plasenta keluar (plasenta inkarserata).
Bila plasenta belum lepas sama sekali tidak akan terjadi perdarahan tetapi bila sebagian plasenta sudah lepas maka akan terjadi
perdarahan. Ini merupakan indikasi untuk segera mengeluarkannya (WHO, 2003).
d. Penatalaksanaan
1) Pencegahan:
Upaya pencegahan retensio plasenta yaitu dengan cara mempercepat proses separasi dan kelahiran plasenta dengan cara
memberikan uterotonika segera setelah bayi lahir dan melakukan peregangan tali pusat terkendali. Upaya ini juga disebut penatalaksanaan
aktif kala III.
2) Penanganan
a) Jika placenta terlihat didalam vagina, mintalah ibu untuk mengedan. jika anda dapat merasakan placenta dalam vagina, keluarkan placenta
tersebut.
b) Pastikan kandung kemih kosong bila diperlukan lakukan kateterisasi.
c) Jika placenta belum keluar. Berikan oksitosin 10 U LM, jika belum dilakukan pada penanganan aktif kala tiga, jangan berikan ergometrin
karena dapat menyebabkan kontraksi uterus yang tonik yang bisa memperlambat pengeluaran placenta.
d) Jika placenta belum lahir setelah 30 menit pemberian oksitosin dan uterus terasa berkontraksi, lakukan peregangan tali pusat terkendali,
hindari penarikan tali pusat dan penekanan nindus yang yang terlalu kuat karena dapat menyebabkan inversi uterus.
e) Jika traksi tali pusat terkendali belum berhasil, cobaiah untuk melakukan pengeluaran placenta secara manual dengan cara mengeluarkan
plasenta secara manual yang merupakan tindakan darurat untuk mengatasi perdarahan pasca persaiinan cian mencegah kematian ibu.
Waktu sangat menentukan, dan kebersihan mutlak perlu. Cuci tangan sebelum memulai tindakan.
f) Peralatan yang diperlukan adalah:
(1) Alat dan bahan untuk pemberian cairan intravena
(2) Kateter
(3) Analgesia atau anastesia
(4) Kocher
(5) Sarung tangan steril
(6) Desinfektan
(7) Partus set
g) Prosedur yang diiakukan adaiah:
(1) Berikan analgesia secara intramuskuler (misalnya pethidin 25 mg) dan sedatif (misalnya diazepam 10 mg i.m, fenobarbital 30 mg atau
fènergan 50 mg melaiui karet infus) untuk menenangkan ibu. Jika obat tersebut tidak tersedia, langsung lakukan pengeluaran plasenta
secara manual. Ibu mungkin tidak tenang dan tidak nyaman, tetapi tindakan ini dilakukan untuk menyelamatkan nyawanya.
Catatan : ibu sudah datang dalam keadaan perdarahan dan janin telah lahir.
(2) Pasang infus 5% Dextrose dalam cairan NaC1 0,9 % atau cairan infus apapun yang tersedia. Cairan infus kan menggantikan sebagian cairan
yang hilang akibat perdarahan. Hal ini dapat mencegah syok.
Catatan : ibu sudah datang dalam keadaan perdarahan dan janin telah lahir.
(3) Beritahu ibu tentang apa yang akan dilakukan. Baringkan ibu terlentang dengan kedua lututnya ditekuk. Jika ia tidak dapat buang air kecil
sendiri, pasang kateter dengan benar dan kosongkan kandung kencingnya. Kandung kencing yang penuh dapat menahan lahirnya plasenta.
Cabut kateter setelah kandung kemih dikosongkan. Jika plasenta terlihat dalam vagina, mintalah ibu untuk mengedan sedikit. Jika plasenta
belum keluar dalam 15 menit, berikan oksitosin 10 unit I.M sekali lagi. Dan minta suami untuk memilin-milin putting susu ibu dan meminta
keluarga menyiapkan surat rujukan.
(4) Lakukan masase uterus agar berkontraksi. Jepit tali pusat dengan kocher kemudian tegangkan tali pusat sejajar lantai. Jika plasenta belum
dilahirkan setelah 30 menit cobalah untuk melakukan pengeluaran plasenta secara manual.
(5) Cuci tangan dengan 6 langkah. Kenakan sarung tangan steril, waktu sangat menentukan, lanjutkan prosedur.
(6) Bersihkan vulva dan perineum dengan cairan antiseptic kemudian jari tangan kiri membuka labia minora.
(7) Kemudian masukkan tangan dengan posisi obstetrik (ibu ditekuk ke dalam telapak tangan dengan punggung tangan ke bawah) ke dalam
vagina. Telusuri tali pusat bagian bawah sampai ke plasenta. Jika tangan sudah, dimasukkan ke dalam uterus, jangan mengeluarkannya
sampai plasenta berhasil dilepaskan dan dikeluarkan. Tangan tidak boleh keluar masuk dan uterus, karena hal ini dapat memperbesar resiko
infeksi.
(8) Setelah tangan mencapai pembukaan serviks, minta asisten untuk memegang kocher, kemudian tangan lain penolong menahan fundus uteri.
Hal ini akan mencegah uterus bergerak dan membantu kontraksi uterus.
(9) Sambil menahan rundus uteri, masukkan tangan dalam ke kavum uteri sehingga mencapai tempat implantasi plasenta.
Melepas Plasenta Dari Dinding Uterus
a) Buka tangan obstetric menjadi seperti memberi salam (ibu jari merapat ke pangkai jari telunjuk. Jaringan terasa seperti spons (bahan busa)
yang terlepas ketika plasenta terpisah dan uterus. Tentukan implantasi plasenta, temukan tepi plasenta yang paling bawah.
b) Bila berada di belakang, tali pusat tetap di sebelah atas. Bila di bagian depan, pindahkan tangan ke bagian depan tali pusat dengan punggung
tangan menghadap ke atas.
c) Bila plasenta di bagian belakang, lepaskan plasenta dari tempat implantasinya dengan jalan menyelipkan ujung jari di antara plasenta dan
dinding uterus, dengan punggung tangan menghadap ke dinding dalam uterus.
d) Bila plasenta di bagian depan, lakukan hal yang sama (punggung tangan pada dinding kavurn uteri) tetapi tali pusat berada di bawah telapak
tangan kanan.
e) Kemudian gerakkan tangan kanan ke kiri dan kanan sambil bergeser ke kranial sehingga semua permukaan maternal plasenta dapat
dilepaskan.
Catatan: Sambil melakukan tindakan, perhatikan keadaan ibu (pasien), lakukan penanganan yang sesuai bila terjadi penyulit.
Mengeluarkan Plasenta
a) Sementara satu tangan masih di dalam kavum uteri, lakukan eksplorasi ulangan untuk memastikan tidak ada bagian plasenta yang masih
melekat pada dinding uterus.
b) Pindahkan tangan luar ke supra sinifisis untuk menahan uterus pada saat plasenta dikeluarkan.
c) Instruksikan asisten yang memegang kocher untuk menarik tali pusat sambil tangan dalam menarik plasenta keluar (hindari percikan darah).
d) Keluarkan plasenta dengan hati-hati pada saat uterus berkontraksi. Jangan hanya menarik sebagian plasenta karena plasenta dapat robek.
Selaput ditarik keluar secara perlahan dan hati-hati, dengan cara yang sama seperti mengeluarkan plasenta. Ingat, selaput sekecil apapun
yang tertinggal di dalam uterus dapat menyebabkan perdarahan pasca persalinan dan/atau inteksi.
e) Letakkan plasenta ke dalam tempat yang telah disediakan.
f) Lakukan sedikit pendorongan uterus (dengan tangan luar) ke dorsokranial setelah plasenta lahir.
g) Perhatikan kontraksi uterus dan jumlah perdarahan yang keluar tidak lebih dari 500 cc
h) Dekontaminasi pasca tindakan, cuci tangan pasca tindakan.
Perawatan Pascatindakan
a) Periksa kembali tanda vital pasien, segera lakukan tindakan dan instruksi apabila masih diperlukan.
b) Catat kondisi pasiendan buat laporan tindakan di dalam kolom yang tersedia.
c) Buat instruksi pengobatan lanjutan dan hal-hal penting untuk dipantau.
d) Beritahukan kepada pasien dan keluarganya bahwa tindakan telah selesai tetapi pasien masih memerlukan perawatan.
e) Jelaskan pada petugas tentang perawatan apa yang masih diperlukan, lama perawatan dan apa yang perlu dilaporkan (Anggraini, 2010).
4. Rest Placenta
a. Definisi
Adalah tertinggalnya sisa-sisa plasenta atau sebagian selaput mengandung pembuluh darah (Prawirohardio, 2011).
b. Tanda dan gejala
1) Gejala yang selalu ada yaitu plasenta atau sebagian selaput (mengandung pembuluh darah) tidak lengkap dan perdarahan segera
2) Gejala yang kadang-kadang timbul yaitu uterus berkontraksi baik tetapi tinggi fundus tidak berkurang (WHO, 2003).
c. Etiologi
1) Kesalahan penatalaksanaan kala tiga
2) Potongan-potongan placenta yang ketinggalan tanpa diketahui
3) Jaringan yang melekat dengan kuat
d. Penatalaksanaan
1) Pencegahan
Penemuan secara dini, hanya dimungkinkan dengan melakukan pemeriksaan kelengkapan plasenta setelah dilahirkan. Pada kasus
sisa plasenta dengan perdarahan pasca persalinan lanjut, sebagian besar pasien-pasien akan kembali lagi ke tempat bersalin dengan keluhan
perdarahan setelah 6-10 hari pulang ke rumah dan sub-involusi uterus.
2) Penanganan
a) Berikan antibiotika karena perdarahan juga merupakan gejala metritis. Antibiotika yang dipilih adalah ampisilin dengan dosis awal 1 G
intravena dilanjutkan dengan 3 x 1 G oral dikombinasi dengan metronidazole 1 G supositoria dilanjutkan 3 x 500 mg oral.
b) Dengan dipayungi antibiotika tersebut, lakukan eksplorasi digital (bila serviks terbuka) dan mengeluarkan bekuan darah atau jaringan. Bila
serviks hanya dapat dilalui oleh instrumen, lakukan evakuasi sisa plasenta dengan AVM atau D&K.
c) Bila kadar Hb < 8 gr% berikan tranfusi darah. Bila kadar HB 8 gr %, berikan Sulfas Ferosus 600 mg/hari selama 10 hari.
5. Robekan Servik
a. Konsep Dasar
Persalinan selalu mengakibatkan robekan serviks, sehingga serviks seorang multipara berbeda dengan yang belum pernah
melahirkan pervaginam. Robekan serviks yang luas menimbulkan perdarahan dan dapat menjalar ke segmen bawah uterus. Apabila terjadi
rahan yang tidak berhenti walaupun plasenta sudah lahir lengkap dan uterus berkontraksi baik, perlu dipikirkan adanya perlukan jalan lahir
khususnya robekan serviks uteri. Dalam keadaan ini serviks harus diperiksa dengan spekulum. Pemeriksaan juga harus dilakukan secara
rutin setelah tindakan obstetrik yang sulit (Sumarah, 2009).
Perdarahan pasca persalinan pada uterus yang berkontraksi baik harus memaksa kita untuk memeriks aserviks uteri dengan
pemeriksaan spekulum sebagai profilaksis sebaiknya semua persalinan buatan yang sulit menjadi indikasi untuk pemeriksaan spekulum
(obstetric patologi Unpad, edisi 2, 2005).
b. Diagnosa
Jika perdarahan post partum pada uterus yang berkontraksi baik harus idlakukan pemeriksaan serviks secara inspekulo. Sebagai
profilaksis sebaiknya semua pesalinan buatan yang sulit menjadi indikasi untuk pemeriksaan inspekulo.
c. Etiologi
Etiologi robekan serviks yaitu : partus presipitatus, trauma karena pemakaian alat seperti cunam, vakum ekstraktor, melahirkan
kepala janin dengan letak sungsang secara paksa padahal pembukaan serviks uteri belum lengkap, partus lama dimana telah terjadi serviks
edem sehingga jaringan serviks sudha menjadi rapuh dan mudah robek.
d. Pencegahan
Tindakan : siapkan pasiend alam posisi lithotomic, bila penderita tidak dapat berkemih, lakukan kateterisasi; cabut kateter setelah
kandung kemih dikosongkan; masukkan kateter di tempat yang tersedia (dekontaminasi); pasang bilah spekulum bawah secara vertikal,
kemudian putar gagang speculum ke bawah; pasang speculum atas, atur sedemikian rupa sehingga dinding vagina dan porsio tampak
dengan jelas.
e. Penanganan
1) Ambil kedua klem yang menandai tempat robekan
2) Perbaiki posisi klem kiri dan kanan (di antara tempat robekan) dengan memindahkan masing-masing klem ke lateral kiri dan kanan (dengan
jarak 2,5 cm dari tepi robekan kiri dan kanan).
3) Upayakan agar cakupan jepitan klem dapat mencapai garis yang malaluyi titik paling ujung dari robekan.
4) Bila pasien mengeluhkan adanya rasa nyeri yang disebabkan oleh penjepitan atau pasien tidak kooperatif (gelisah), instruksikan asisten
untuk menyuntikkan sedatif dan analgetika
5) Bila ujung robekan dapat dicapai, teruskan jarum dimulai dari 1 cm di atas luka, ikat dengan jahitan angka delapan.
6) Operator sebagai patokan arah: mulai penjahitan dari bagian paling distal terhadap operator, tusukkan jarum pada bagian luar karena porsio
tembuskan ke dalam dan silangkan ke dalam kiri, tembuskan ke kiri luar distal, menyeberangi garis robekan ke luar kanan distal menembus
dalam kanan distal, silangkah ke kiri dalam proksimal kemudian menembus ke kiri luar proksimal, buat simpul kunci dan jepit sisa benar
sebagai panduan jahitan berikut : lanjutkan penjahitan dengan cara yang sama hingga ke ujung luar robekan hingga seluruh robekan porsio
terjahit dengan baik dan perdarahan dapat diatasi.
f. Perawatan pasca tindakan
1) Periksa kembali tanda vital pasien, segera lakukan tindakan dan buat instruksi, apabila diperlukan
2) Catat kondisi pasien pasca tindakan dan buat laporan tindakan di dalam kolom yang tersedia pada status penderita
3) Buat instruksi pengobatan lanjutan, pemantauankondisi pasien dan kondisi yang harus segera dilaporkan.
6. Robekan Uteri (Ruptur Uteri)
a. Konsep Dasar
Faktor predisposisi yang menyebabkan ruptur uteri yaitu multiparitas hal ini disebabkan karena dinding perut yang lembek
dengan kedudukan uterus dalam posisi antefleksi sehingga terjadi kelainan letak dan posisi janin, janin sering lebih besar, sehingga dapat
menimbulkan CPD, pemakaian oksitosin untuk induksi persalinan yang tidak tepat, kelainan letak dan implantasi plasenta umpamnya pada
plasenta akreta, plasenta inkreta atau perkreta, kelainan bentuk uterus, hidramnion.
b. Jenis
Jenis ruptur uteri yaitu meliputi:
1) Ruptur uteri spontan ; terjadi pada keadaan dimana terdapat rintangan pada waktu persalinan yaitu pada kelainanletak dan persentasi janin,
panggul sempit, kelainan panggul, tumor jalan lahir.
2) Ruptur uteri traumatik; terjadi karena ada dorongan pada uterus misalnya fundus akibat melahirkan anak pervaginam seperti ekstraksi, p
enggunaan cunam, manual plasenta.
3) Ruptur uteri jaringan parut; terjadi karena bekas operasi sebelumnya pada uterus seperti bekas SC.
4) Pembagian jenis menurut anatomik: ruptur uteri komplit : dimana dinding uterus robek, lapisan serosa (peritoneum) robek sehinga janind
apat berada dalam rongga perut dan ruptur uteri inkomplit: dinding uterus robek sedangkan lapisan serosa tetap utuh.
c. Gejala
His kuat dan terus-menerus, rasa nyeri perut yang hebat di perut bagian bawah, nyeri waktu ditekan, gelisah atau ketakutan, nadi
dan pernafasan cepat, cincin cvan Bandl meninggi. Setelah terjadi ruptur uteri dijumpai gejala syok (akral dan ekstremitas dingin, nadi
melemah, kadang hilang kesadaran), perdarahan (bisa keluar dari vagina atau dalam rongga perut), pucat, nadi cepat dan halus, pernafasan
cepat dan dangkal, tekanan darah turun. Pada palpasi sering bagian bawah janin teraba langsung dibawah dinding perut, ada nyeri tekan,
dan dibagianbawah teraba uterus kira-kira sebesar kepala bayi. Umumnya janin sudah meninggal.
d. Penanganan
Penanganan pad aruptur uteri yaitu :
1) Melakukan laparotomi. Sebelumnya penderita diberi transfuse darah sekurang-kurangnya infus RL untuk mencegah syok hipovolemik.
2) Umumnya histerektomi dilakukan setelah janin yang berada di dalam rognga perut dikeluarkan, penjahitan luka robekan hanya dilakukan
pada kasus-kasus khusus, dimana pinggir robekan masih segera dan rata serta tidak terlihat adanya tanda-tanda infeksi dan tidak terdapat
jaringan yang rapuh dan nekrosis.
7. Inversio Uteri
a. Definis
Suatu keadaan dimana fundus uteri mausk ke dalam kavum uteri, dapat secara mendadak atau terjadi perlahan, selain dari pada
itu pertolongan pesalinan yang makin banyak dilakukan tenaga terlatih maka kejadian inversio uteripun makin berkurang.
b. Diagnosa untuk menentukan keadaan inversio uteri
Untuk menegakan diagnosa, maka periksa fundus dan hasilnya adalah fundus uteri menghilang dari abdomen; pemeriksaan
dalam; fundis uteri di dalam lingkungan/ruangan rahim dapat dengan atau tanpa plasenta, disertai rahim.
c. Penanganan (dilakukan oleh dokter)
1) Jika ibu kesakitan, berikan petidin 1 mg/kg BB (tetapi jangan lebihd ari 100 mg) I.M. atau I.V secara perlahan atau berikan Morfin 0.1 mg/kg
Bb I.M.
2) Catatan jangan diberikan oksitosi sampai inversi telah direposisi
3) Jika perdarahan berlanjut, l akukan uji pembekuan darah dengan cara sederhana
4) Berikan antibiotik profilaksis dosis tunggal setelah mereposisi uterus misal : ampisilin 2g I.V ditambah metronidazol 500 mg I.V. atau
sefazolin 1 gr I.V ditambah metronidazol 500 mg I.V.
5) Jika terdapat tanda-tanda infeksi berikan antibiotik untuk metritis
6) Jika dicurigai terjadi nekrosis, lakukan histerektomi vaginal. Hal ini mungkin membutuhkan rujukan ke pusat pelayanan kesehatan primer.
7) Cara melakukan reposisi inversio uteri: pasang infus, masukkan tangan ke vagina, fundus didorong ke atas berikan uterotonika, lakukan
plasenta manual.
8. Pembekuan Darah
a. Definisi
Adalah kegagalan terbentuknya pembekuan setelah 7 menit atau adanya bekuan lunak yang dapat pecah dengan mudah
(Anggraini, 2010).
b. Tanda dan gejala
1) Perdarahan tidak berhenti setelah placenta lahir, dan perdarahar terjadi secara terus menerus padahal tidak terdapat robekan jalan lahir dan
tidak ada sisa placenta, serta bekuan lunak darah cepat pecah dengan mudah.
2) Perdarahan hebat dengan atau tanpa komplikasi trombosis sampai keadaan klinis yang stabil dan hanya terdeteksi oleh tes laboratorium
(Prawirohardjo, 2007).
c. Etiologi
Sering disebabkan oleh:
1) Solusio placenta
2) Kematian janin dalam uterus
3) Eklampsia
4) Emboli air ketuban
5) Penyakit darah
6) Kelainan pembekuan darah
7) Afibrinogenemia/hipofibrinogenemia (Prawirohardjo, 2007)
d. Penatalaksanaan
1) Pencegahan
a) Perbaiki keadaan umum ibu jangan sampai anemia.
b) Pemberian vitamin K.
2) Penanganan
a) Bila dicurigai adanya koagulapati maka tangani kemungkinan penyebab kegagalan pembekuan ini.
b) Gunakan produk darah untuk mengontrol perdarahan:
(1) Berikan darah lengkap segar, jika tersedia untuk menggantikan faktor pembekuan dan sel darah merah.
(2) Jika darah lengkap segar tidak tersedia, sediakan Plasma beku segar untuk menggantikan faktor pembekuan (15 ml/kg BB) atau sel darah
merah packed (yang tersedimentasi) untuk penggantian sel darah merah. Kriopresipitat untuk menggantikan fibrinogen dan konsentrasi
trombosit (jika perdarahan berlanjut dan trombosit dibawah 20.000) (Prawirohardjo, 2007).
9. Manual Plasenta
a. Pengertian
Manual plasenta adalah prosedur pelepasan plasenta dari tempat implantasinya pada dinding uterus dan mengeluarkannya dari
kavum uteri secara manual yaitu dengan melakukan tindakan invasi dan manipulasi tangan penolong persalinan yang dimasukkan langsung
kedalam kavum uteri. Pada umumnya ditunggu sampai 30 menit dalam lahirnya plasenta secara spontan atau dengan tekanan ringan pada
fundus uteri yang berkontraksi. Bila setelah 30 mnenit plasenta belum lepas sehingga belum dapat dilahirkan atau jika dalam waktu
menunggu terjadi perdarahan yang banyak, pasenta sebaiknya dikeluarkan dengan segera.
Manual plasenta merupakan tindakan operasi kebidanan untuk melahirkan retensio plasenta. Teknik operasi plasenta manual
tidaklah sukar, tetapi harus diperkirakan bagaimana persiapkan agar tindakan tersebut dapat menyelamatkan jiwa penderita.
b. Etiologi
Indikasi pelepasan plasenta secara manual adalah pada keadaan perdarahan pada kala tiga persalinan kurang lebih 400 cc yang
tidak dapat dihentikan dengan uterotonika dan masase, retensio plasenta setelah 30 menit anak lahir, setelah persalinan buatan yang sulit
seperti forsep tinggi, versi ekstraksi, perforasi, dan dibutuhkan untuk eksplorasi jalan lahir dan tali pusat putus.
Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga atau melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir.
Hampir sebagian besar gangguan pelepasan plasenta disebabkan oeh gangguan kontraksi uterus.
Manual plasenta dilakukan karena indikasi retensio plasenta yang berkaitan dengan :
1) Plasenta belum lepas dari dinding uterus dikarenakan:
a) Plasenta adhesive yaitu kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta
b) Plasenta akreta yaitu implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki sebagian lapisan miometrium
c) Plasenta inkreta, yaitu implantasi jonjot korion placenta hingga mencapai/memasuki miometrium
d) Plasenta perkreta, yaitu implantasi jonjot korion plasenta yang menembus lapisan otot hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus.
e) Plasenta inkarserata, yaitu tertahannya plasenta didalam kavum uteri yang disebabkan oleh konstriksi ostium uteri.
2) Plasenta sudah lepas, akan tetapi belum dilahirkan dan dapat terjadi perdarahan yang merupakan indikasi untuk mengeluarkannya
3) Mengganggu kontraksi otot rahim dan menimbulkan perdarahan.
4) Retensio plasenta tanpa perdarahan dapat diperkirakan
a) Darah penderita terlalu banyak hilang,
b) Keseimbangan baru berbentuk bekuan darah, sehingga perdarahan tidak terjadi,
c) Kemungkinan implantasi plasenta terlalu dalam.
c. Patofisiologi
Manual plasenta dapat segera dilakukan apabila :
1) Terdapat riwayat perdarahan postpartum berulang.
2) Terjadi perdarahan postpartum melebihi 400 cc
3) Pada pertolongan persalinan dengan narkosa.
4) Plasenta belum lahir setelah menunggu selama setengah jam.
Manual plasenta dalam keadaan darurat dengan indikasi perdarahan di atas 400 cc dan teriadi retensio plasenta (setelah
menunggu ½ jam). Seandainya masih terdapat kesempatan penderita retensio plasenta dapat dikirim ke puskesmas atau rumah sakit
sehingga mendapat pertolongan yang adekuat.
Dalam melakukan rujukan penderita dilakukan persiapan dengan memasang infuse dan memberikan cairan dan dalam persalinan
diikuti oleh tenaga yang dapat memberikan pertolongan darurat.
d. Tanda dan Gejala Manual Plasenta
1) Anamnesis, meliputi pertanyaan tentang periode prenatal, meminta informasi mengenai episode perdarahan postpartum sebelumnya,
paritas, serta riwayat multipel fetus dan polihidramnion. Serta riwayat pospartum sekarang dimana plasenta tidak lepas secara spontan atau
timbul perdarahan aktif setelah bayi dilahirkan.
2) Pada pemeriksaan pervaginam, plasenta tidak ditemukan di dalam kanalis servikalis tetapi secara parsial atau lengkap menempel di dalam
uterus.
3) Perdarahan yang lama > 400 cc setelah bayi lahir.
4) Placenta tidak segera lahir > 30 menit.
2.1.6. Patofisiologi
Pada dasarnya perdarahan terjadi karena pembuluh darah didalam uterus masih terbuka. Pelepasan plasenta memutuskan
pembuluh darah dalam stratum spongiosum sehingga sinus-sinus maternalis ditempat insersinya plasenta terbuka.
Pada waktu uterus berkontraksi, pembuluh darah yang terbuka tersebut akan menutup, kemudian pembuluh darah tersumbat
oleh bekuan darah sehingga perdarahan akan terhenti. Adanya gangguan retraksi dan kontraksi otot uterus, akan menghambat penutupan
pembuluh darah dan menyebabkan perdarahan yang banyak. Keadaan demikian menjadi faktor utama penyebab perdarahan paska
persalinan. Perlukaan yang luas akan menambah perdarahan seperti robekan servix, vagina dan perinium.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Kekurangan volume cairan s/d perdarahan pervaginam
2. Gangguan perfusi jaringan s/d perdarahan pervaginam
3. Cemas/ketakutan s/d perubahan keadaan atau ancaman kematian
4. Resiko infeksi s/d perdarahan
5. Resiko shock hipovolemik s/d perdarahan.
D. Evaluasi
Semua tindakan yang dilakukan diharapkan memberikan hasil :
Tanda vital dalam batas normal :
a. Tekanan darah : 110/70-120/80 mmHg
b. Denyut nadi : 70-80 x/menit
c. Pernafasan : 20 – 24 x/menit
d. Suhu : 36 – 37 oc
Kadar Hb : Lebih atau sama dengan 10 g/dl
Gas darah dalam batas normal
Klien dan keluarganya mengekspresikan bahwa dia mengerti tentang komplikasi dan pengobatan yang dilakukan
Klien dan keluarganya menunjukkan kemampuannya dalam mengungkapkan perasaan psikologis dan emosinya
Klien dapat melakukan aktifitasnya sehari-hari
Klien tidak merasa nyeri
Klien dapat mengungkapkan secara verbal perasaan cemasnya
daftar Pustaka
Brunner & Suddart,s (1996), Textbook of Medical Surgical Nursing –2, JB. Lippincot Company, Pholadelpia.
Lowdermilk. Perry. Bobak (1995), Maternity Nuring , Fifth Edition, Mosby Year Book, Philadelpia.
RSUD Dr. Soetomo (2001), Perawatan Kegawat daruratan Pada Ibu Hamil, FK. UNAIR, Surabaya