Anda di halaman 1dari 33

Makalah

Perdarahan Post Partum Konsep Medis

Disusun oleh :

Kelompok 5

Muammar 105111103921
Lindawati. S 105111101421
Putri wahyuni 105111101621
Sunarti 105111101221
Estepi 105111102121
Hafida naila inayah 105111104221
Rahdiastuti andi patangai 105111104021
St. khadijah 105111100621

PRODI DIII KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

TAHUN 2023
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur atas kehadirat Allah subhanahu wa ta`ala
yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas ini tepat waktu. Makalah ini berjudul
“PERDARAHAN POST PARTUM KONSEP MEDIS”.

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah keperawatan maternitas. Selanjutnya, kami ucapkan terima kasih
kepada dosen mata kuliah keperawatan maternitas yang telah banyak
memberi bantuan dengan arahan dan petunjuk yang jelas sehingga
mempermudah kami menyelesaikan makalah ini. Terima kasih juga
kepada teman-teman seperjuangan yang telah mendukung selesainya
tugas ini tepat waktu. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari sempurna. Oleh karena itu, kami sangat terbuka pada kritik dan saran
yang membangun sehingga makalah ini bisa lebih baik lagi. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan
khususnya dalam bidang keperawatan maternitas. Terima kasih.

Makassar, 09, april 2023

Penyusun

Kelompok 5
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... 2
DAFTAR ISI........................................................................Error! Bookmark not defined.
BAB I .................................................................................................................................. 4
PENDAHULUAN ............................................................................................................. 4
A. Latar belakang ......................................................................................................... 4
B. Tujuan ..................................................................................................................... 5
BAB II ................................................................................................................................ 7
PEMBAHASAN ................................................................................................................ 7
A. Defenisi Perdarahan Postpartum ............................................................................. 7
B. Etiologi Perdarahan Postpartum.............................................................................. 7
C. Klasifikasi Perdarahan Postpartum ....................................................................... 11
D. Patofisiologi Perdarahan Postpartum .................................................................... 12
E. Manifestasi klinik.................................................................................................. 13
F. Penatalaksanaan .................................................................................................... 18
G. Asuhan keperawatan............................................................................................... 21
BAB III............................................................................................................................. 32
PENUTUP........................................................................................................................ 32
A. Kesimpulan ........................................................................................................... 32
B. Saran ..................................................................................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 33
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Perdarahan postpartum merupakan penyebab utama tingginya
angka kematian ibu (AKI). Kira-kira 14 juta wanita menderita perdarahan
postpartum setiap tahunnya. Perdarahan postpartum menyebabkan

Pada tahun 2013, perdarahan yaitu terutama perdarahan postpartum


menyebabkan kematian ibu sebanyak 30,3% di Indonesia. Selain
perdarahan, penyebab kematian ibu tertinggi lainnya adalah hipertensi
dalam kehamilan, infeksi, partus lama dan abortus (Kemenkes RI, 2015).
Di Indonesia angka kematian ibu menurut Survey Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun 1991 dan 2007 adalah sebesar 390
dan 228 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini telah mengalami
penurunan namun belum mencapai target MDGs (Millennium
Development Goals/ Tujuan Pembangunan Milenium) yaitu sebesar 102
per 100.000 kelahiran hidup (BAPPENAS, 2011). Angka ini meningkat
pada SDKI 2012 menjadi 359 per 100.000 kelahiran hidup.
Perdarahan postpartum merupakan penyebab tersering dari
keseluruhan kematian akibat perdarahan obstetrik. Perdarahan postpartum
adalah perdarahan yang melebihi 500 ml setelah bayi lahir pada persalinan
per vaginam dan melebihi 1000 ml pada seksio sesarea (Chunningham,
2012), atau perdarahan yang lebih dari normal yang telah menyebabkan
perubahan tanda vital, seperti kesadaran menurun, pucat, limbung,
berkeringat dingin, sesak napas, serta tensi < 90 mmHg dan nadi >
100/menit (Karkata, 2010).
Faktor-faktor yang berhubungan dengan perdarahan postpartum
yaitu umur, jumlah paritas, jarak antar kelahiran, riwayat persalinan
sebelumnya, lama partus, lama lepasnya plasenta, anemia, pengetahuan
dan faktor fasilitas pelayanan kesehatan (Pardosi, 2006). Faktor lain yang
berhubungan dengan perdarahan postpartum yaitu pada keadaan
preeklamsia berat dimana bisa ditemukan defek koagulasi dan volume
darah ibu yang kecil yang akan memperberat penyebab perdarahan
postpartum (Chunningham, 2012). Berdasarkan berbagai penelitian yang
telah dilakukan sebelumnya, multiparitas merupakan salah satu yang
berperan penting sebagai faktor risiko terjadinya perdarahan postpartum
(Sosa, 2009).
Menurut data di berbagai negara paling sedikit seperempat dari
seluruh kematian ibu disebabkan oleh perdarahan, proporsinya berkisar
antara kurang dari 10 persen sampai hampir 60 persen (PP dan KPA, 2010).
Setiap tahunnya paling sedikit 128.000 perempuan mengalami pendarahan
sampai meninggal. Lebih dari separuh jumlah seluruh kematian ibu terjadi
dalam waktu 24 jam setelah melahirkan, sebagian besar karena terlalu
banyak mengeluarkan darah (Faisal, 2008).
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui defenisi post partum
2. Untuk mengetahui etiologi post partum
3. Untuk menegetahui klasifikasi post partum
4. Untuk mengetahui patofisiologi post partum
5. Untuk mengetahui manifestasi klinik post partum
6. Untuk mengetahui penatalaksanaan post partum
7. Untuk mengetahui pengkajian
8. Untuk mengetahui diagnosa keperawatan
9. Untuk mengetahui intervensi
10. Untuk mengetahui implementasi
11. Untuk mengetahui evaluasi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Defenisi Perdarahan Postpartum
Secara klasik, perdarahan postpartum didefinisikan sebagai perdarahan
terukur lebih dari 500 ml untuk persalinan pervaginam dan lebih dari 1000
ml untuk persalinan sesar, terjadi dalam 24 jam pertama persalinan. Namun,
definisi ini tidak berfokus pada tanda klinis dan gejala perdarahan, sehingga
mencegah deteksi dini dalam banyak kasus. Oleh karena itu, pada tahun
2017, American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG)
mengubah definisi menjadi kehilangan darah lebih dari atau sama dengan
1000 ml, atau kehilangan darah yang disertai dengan tanda atau gejala
hipovolemia yang terjadi dalam 24 jam setelah lahir, terlepas dari dari
metode kelahiran. Sebaliknya, Royal College of Obstetricians and
Gynecologists (RCOG) mendefinisikan PPH menurut volume darah yang
hilang: minor (antara 500 dan 1000 ml) dan mayor (>1000 ml). Perdarahan
postpartum primer terjadi dalam 24 jam pertama persalinan, sedangkan
perdarahan postpartum sekunder terjadi antara 24 jam dan 12 minggu
setelah melahirkan dan lebih jarang terjadi.
Beberapa alat untuk menilai kehilangan darah telah digunakan karena
estimasi yang akurat akan secara langsung mempengaruhi diagnosis dan
penatalaksanaan PPH. Banyak kelompok mengutip estimasi visual sebagai
bagian dari penilaian kehilangan darah, tetapi karena berpotensi tinggi
untuk meremehkan perdarahan, penggunaan alat tambahan untuk estimasi
yang lebih objektif, seperti pengukuran gravimetri, pengumpulan darah
Teknik langsung, dan evaluasi parameter klinis, telah diusulkan. Baru-baru
ini, beberapa pedoman telah memasukkan indeks syok dan sistem
peringatan dini kebidanan untuk mengevaluasi perdarahan.
B. Etiologi Perdarahan Postpartum
Meskipun terdapat beberapa faktor risiko yang dapat diidentifikasi
untuk PPH, sebagian besar kasus terjadi secara tidak terduga. Etiologi
umum perdarahan postpartum adalah empat T yaitu tone, tissue, trauma,
dan thrombosis:
1. Tonus (tone)
Pada kelompok tonus, PPH umumnya disebabkan oleh atoni uteri
yang disertai dengan kegagalan dalam kontraksi dan retraksi
miometrium dapat menyebabkan perdarahan yang cepat dan berat
hingga terjadi syok hipovolemik. Hingga kini, atoni uteri menjadi
penyebab paling sering postpartum hemorrhage dengan prevalensi
kasus sekitar 80%. Adanya distensi berlebih pada uterus menjadi
penyebab utama terjadinya atoni uteri yang bisa terjadi akibat
kehamilan multifetal, makrosomia janin, polihidramnion, atau kelainan
janin seperti hidrosefalus berat, kelainan struktural uterus, maupun
kegagalan untuk mengeluarkan plasenta atau distensi dengan darah
sebelum atau setelah pengeluaran plasenta. Kegagalan kontraksi
miometrium dapat pula dikarenakan kelelahan akibat persalinan yang
terlalu lama, obat penghambat kontraksi seperti agen anestesi
terhalogenasi, nitrat, obat antiinflamasi nonsteroid, magnesium sulfat,
betasimpatomimetik, dan nifedipine.
Penyebab lainnya dapat berupa implantasi plasenta di segmen
bawah uterus, toksin dari bakteri oleh penyakit infeksi seperti
korioamnionitis, endomiometritis, septicemia, hipoksia, dan
hipotermia. Uterus mendapat pasokan darah dari dua arteri uteri dan dua
arteri ovari yang mengalirkan darah antara 500 hingga 900 mL per
menit. Setelah persalinan selesai, terjadi peningkatan kadar oksitosin
dan prostaglandin F2-alpha yang menyebabkan adanya kontraksi uterus
dan vasokonstriksi.
Kontraksi tonus otot uterus menjadi mekanisme primer pasca
persalinan berlangsung dan apabila terjadi gangguan pada otot
miometrium dalam berkontraksi akan berujung pada terjadinya
postpartum hemorrhage. Hal ini dapat dicetuskan oleh beberapa hal
seperti induksi persalinan, kelahiran perabdominal, augmentasi
oksitosin, dan persalinan yang lama disebabkan oleh penurunan regulasi
dari reseptor oksitosin dan penurunan kontraksi uterus. Polihidromnion,
makrosomia, multiple pregnancy, dan multiparitas sebagai faktor
pencetus terjadi akibat terganggunya interaksi aktin-myosin pada otot
sedangkan korioamnitis disebabkan oleh inflamasi lokal yang terjadi
pada jaringan kontraksi yang rusak. Tanpa alasan yang diketahui
preeklamsia, obesitas, ras Hispanic, dan ras Kaukasian menjadi
pencetus dari atonia uterine. Pada ibu yang diberikan medikasi berupa
tokolitik seperti calcium channel blocker, magnesium, beta agonist, dan
anastesi volatil dapat mengganggu kontraksi uterus.
Atonia uteri dapat diantisipasi setelah persalinan lama terutama
dengan penggunaan oksitosin, pada kehamilan dengan komplikasi
korioamnionitis, paritas tinggi, anestesi umum, dan faktor lain yang
menyebabkan overdistensi uterus seperti kehamilan janin multipel,
polihidramnion, dan makrosomia janin.
2. Trauma
Terjadinya postpartum hemorrhage dapat disebabkan oleh trauma
pada traktus genitalia yang terjadi secara spontan maupun perlukaan
yang dibuat untuk memudahkan jalan lahir. Pada persalinan caesarean
menyebabkan jumlah perdarahan dua kali lipat dibandingkan dengan
persalinan pervagina.
Trauma dapat dalam bentuk laserasi di perineum, vagina, dan
serviks pada persalinan pervagina. Derajat laserasi dinilai dari
kedalamannya mulai dari derajat 1 hingga 4. Beberapa derajat laserasi
dapat mempersulit sebesar 60% dengan 80% diantaranya merupakan
kasus ringan namun pada derajat 3 hingga 4 dapat membahayakan
struktur disekitar traktus genitalia seperti uretra, arteri vagina, dan
sfingter anal. Pada laserasi berat memerlukan intervensi bedah serta
tranfusi darah (Medscape, 2018; Papazian dan Kacmar, 2017).
Trauma lainnya adalah ruptur uteri yang biasanya terjadi pada ibu
dengan riwayat persalinan perabdominal sebelumnya. Oleh karena itu,
kebiasaan palpasi transvaginal pada bekas luka tidak lagi
rekomendasikan. Setiap ibu hamil yang pernah menjalani prosedur
hingga mangkibatkan gangguan pada dinding uterus, akan dianggap
memiliki resiko terhadap ruptur uteri. Prosedur tersebut termasuk
myomektomi, uteroplasti, reseksi ektopik kornu, dan perforasi uterus
saat dilakukan laparotomi, histerektomi, biosi, dilatasi, kuretase, dan
penempatan alat kontrasepsi intrauteri. Prevalensi dari terjadinya ruptur
uteri sekitar 0,1% dengan faktor resiko utama riwayat persalinan
caesarean dikarenakan adanya peningkatan resiko hingga 40 kali lipat
dibandingkan dengan pasien bersalin pervaginal.
Pada percobaan persalinan melalui cesarean, tidak diperbolehkan
pemberian prostaglandin diakibatkan insiden rupture uteri meningkat
menjadi lebih dari 2% begitu pula dengan pemberian oksitosin dalam
jumlah besar. Kemungkinan terjadinya rupture uteri meningkat pada
persalinan dengan kontraksi kuat dan lama terutama pada kasus
chepalopelvic disproportion dan sudah diberikan prostaglandin atau
oksitosin. Bentuk trauma lainnya adalah laserasi serviks yang sering
terjadi akibat penanganan persalinan pervaginal menggunakan forceps
atau vacuum. Penggunaan forceps atau vacuum tidak dapat dilakukan
jika pelebaran serviks belum terjadi sepenuhnya sehingga penggunaan
forceps ataupun vacuum dengan kondisi serviks yang belum membuka
sempurna akan menyebabkan laserasi pada vagina. Pada kasus yang
sangat jarang, serviks sengaja diiris pada posisi arah jarum jam 2 atau
10 untuk membantu persalinan janin dengan kepala yang terperangkap
dalam posisi sungsang, sayatan ini disebut dengan sayatan Dührssen.
3. Jaringan (Tissue)
Pada kelompok tissue, PPH berkaitan dengan pelepasan dan
pengeluaran plasenta oleh kontraksi dan retraksi uterus. Retraksi
lanjutan dan oklusi pembuluh darah akan optimal pada pelepasan
plasenta secara menyeluruh sedangkan retensi dari pelepasan plasenta
lebih sering terjadi pada plasenta dengan bentuk lobus succenturiate
atau aksesoris. Plasenta pada kehamilan dengan masa preterm gestation
kurang dari 24 minggu memiliki kemungkinan yang signifikan untuk
terjadi perdarahan. Adanya plasenta yang tertahan memerlukan
intervensi pelepasan segara yang biasanya penanganan dilakukan
melalui operasi. Penelitian juga menunjukkan bahwa pemberian
uterotonic prostaglandine tidak memberikan dampak pada plasenta
yang tertahan dan apabila usaha untuk melepaskan plasenta gagal
dilakukan kemungkinan terjadi plasenta akreta. Pelepasan plasenta
secara parsial sering terjadi pada plasenta akreta dan sejenisnya yang
mana awalnya terjadi sedikit perdarahan namun menjadi perdarahan
hebat akibat usaha dalam pelepasannya. Sedangkan pada pasien dengan
plasenta previa harus diinformasikan mengenai resiko terjadinya PPH
yang memungkinkan dilakukannya transfusi darah dan histeroktomi.
4. Trombin (thrombosis)
Pada periode pasca persalinan, adanya gangguan pada faktor
koagulasi sesungguhnya tidak banyak mempengaruhi akibat dari
mekanisme penghentian perdarahan melalui kontraksi dan retraksi dari
uterus. Namun hal ini dapat berbahaya saat terjadi deposisi fibrin dan
bekuan darah pada pembuluh darah pada saat beberapa jam hingga
beberapa hari pasca persalinan. Trombositipenia dapat muncul akibat
dari penyakit yang sebelumnya sudah diderita oleh ibu seperti idiopathic
thrombocytopenic purpura, akibat dari sindrom HELLP (Hemolysis,
Elevated Liver Enzym, and Low Platelet count), disseminated
intravascular coagulation (DIC), dan sepsis. Hal ini biasanya telah
terdeteksi sebelumnya namun kadang juga tidak teridentifikasi. Kondisi
lain seperti familial hypofibrinogenemia dan von Willebrand disease
juga patut dipertimbangkan.
C. Klasifikasi Perdarahan Postpartum
1. Perdarahan Postpartum Primer
Perdarahan postpartum yang terjadi dalam 24 jam pertama kelahiran.
Penyebab utama perdarahan postpartum primer adalah atonia uteri,
retensio plasenta, sisa plasenta, robekan jalan lahir dan inversio uteri.
2. Perdarahan Postpartum Sekunder
Perdarahan postpartum yang terjadi setelah 24 jam pertama kelahiran
hingga 12 minggu setelah persalinan. Perdarahan postpartum sekunder
disebabkan oleh infeksi, penyusutan rahim yang tidak baik, atau sisa
plasenta yang tertinggal.
D. Patofisiologi Perdarahan Postpartum
Proses kembalinya uterus ke keadaan sebelum hamil setelah
melahirkan, proses ini dimulai segera setelah plasenta keluar akibat
kontraksi otot-otot polos uterus. Pada akhir tahap ketiga persalinan, uterus
berada di garis tengah, kira-kira 2 cm di bawah umbilikus dengan bagian
fundus bersandar pada promontorium sakralis. Dalam waktu 12 jam, tinggi
fundus mencapai kurang lebih 1 cm di atas umbilikus. Fundus turun kira-
kira 1 smpai 2 cm setiap 24 jam. Pada hari pasca partum keenam fundus
normal akan berada di pertengahan antara umbilikus dan simpisis pubis.
Uterus pada waktu hamil penuh baratnya 11 kali beratsebelum hamil.
Uterus akan mengalami proses involusiyangdimulai segera setelah plasenta
keluar akibat kontraksi otot-otot polos. Proses involusi yang terjadi
mempengaruhi perubahan dari berat uterus pasca melahirkan menjadi kira-
kira 500gram setelah 1 minggu pasca melahirkan dan menjadi 350gram
setelah 2 minggu pasca melahirkan. Satu minggusetelah melahirkan uterus
berada di dalam panggul. Pada minggu keenam, beratnya menjadi 50-60 gr.
Peningkatan esterogen danprogesteron bertanggung jawab untuk
pertumbuhan masif uterus selama hamil. Pada masa pasca partum
penurunan kadar hormon menyebabkan terjadinya autolisis, perusakan
secara langsungjaringan hipertrofi yang berlebihan. Sel-sel tambahan yang
terbentuk selama masa hamil menetap. Inilah penyebap ukuran uterus
sedikit lebih besar setelah hamil. Intesitas kontraksi otot otot polos uterus
meningkat secara bermakna segera setelah bayi lahir, kondsi tersebut
sebagai respon terhadap penurunan volume intrauterin yang sangat besar.
Pada endometrium timbul trombosis, degenerasi dan nekrosis ditempat
implantasi plasenta. Pada hari pertama endometrium yang kira-kira setebal
2-5 mm mempunyai permukaan yang kasar akibat pelepasan desidua dan
selaput janin. Regenerasi endometrium terjadi dari sisa-sisa sel desidua
basalis yang memakaiwaktu 2 sampai 3 minggu.
Penurunan hormon human plasental lactogen, esterogen dan kortisol,
serta placental enzyme insulinase membalik efek diabetagenik kehamilan.
Sehingga kadar gula darah menurun secara bermakna pada masa
puerperium. Kadar esterogen dan progesteron menurun secara mencolok
setelah plasenta keluar, penurunan kadar esterogen berkaitan dengan
pembengkakan payudara dan diuresis cairan ekstra seluler berlebih yang
terakumulasi selama masa hamil.
Kadar prolaktin serum yang tinggi pada wanita menyusui berperan
dalam menekan ovulasi. Karena kadar follikel-stimulating hormone terbukti
sama pada wanita menyusui dan tidak menyusui di simpulkan ovarium tidak
berespon terhadap stimulasi FSH ketika kadar prolaktin meningkat.
E. Manifestasi klinik
Periode post partum ialah masa enam minggu sejak bayi lahir sampai organ-
organ reproduksi kembali ke keadaan normal sebelum hamil. Periode ini
kadang-kadang disebut puerperium atau trimester keempat kehamilan.
1. Sistem reproduksi
a. Proses involusi
Proses kembalinya uterus ke keadaan sebelum hamil setelah
melahirkan, proses ini dimulai segera setelah plasenta keluar
akibat kontraksi otot-otot polos uterus.
b. Kontraksi
Intensitas kontraksi uterus meningkat secara bermakna segera
setelah bayi lahir, hormon oksigen yang dilepas dari kelenjar
hipofisis memperkuat dan mengatur kontraksi uterus,
mengopresi pembuluh darah dan membantu hemostasis. Salama
1-2 jam pertama pasca partum intensitas kontraksi uterus bisa
berkurang dan menjadi tidak teratur. Untuk mempertahankan
kontraksi uterus, suntikan oksitosin secara intravena atau
intramuskuler diberikan segera setelah plasenta lahir.
c. Tempat plasenta
Segera setelah plasenta dan ketuban dikeluarkan, kontraksi
vaskular dan trombus menurunkan tempat plasenta ke suatu area
yang meninggi dan bernodul tidak teratur. Pertumbuhan
endometrium ke atas menyebapkan pelepasan jaringan nekrotik
dan mencegah pembentukan jaringan parut yang menjadi
karakteristik penyembuha luka. Regenerasi endometrum, selesai
pada akhir minggu ketiga masa pasca partum, kecuali pada
bekas tempat plasenta.
d. Lochea
Lochea rubra terutama mengandung darah dan debris desidua
dan debris trofoblastik. Lochea serosa terdiri dari darah lama,
serum, leukosit dan denrus jaringan. Sekitar 10 hari setelah bayi
lahir, cairan berwarna kuning atau putih. Lochea alba
mengandung leukosit, desidua, sel epitel, mukus, serum dan
bakteri. Lochea alba bisa bertahan 2-6 minggu setelah bayi lahir.
e. Serviks
Serviks setinggi segmen bawah uterus tetap edematosa, tipis,
dan rapuh selama beberapa hari setelah ibu melahirkan. 18 jam
pasca partum, serviks memendek dan konsistensinya menjadi
lebih padat dan kembali ke bentuk semula. Serviks setinggi
segmen bawah uterus tetap edematosa, tipis, dan rapuh selama
beberapa hari setelah ibu melahirkan.
f. Vagina dan perineum
Vagina yang semula sangat teregang akan kembali secara
bertahap ke ukuran sebelum hamil, 6-8 minggu setelah bayi lahir
2. Sistem endokrin
a. Hormon plasenta
Penurunan hormon human plasental lactogen, esterogen dan
kortisol, serta placental enzyme insulinase membalik efek
diabetagenik kehamilan. Sehingga kadar gula darah menurun
secara yang bermakna pada masa puerperium. Kadar esterogen
dan progesteron menurun secara mencolok setelah plasenta
keluar, penurunan kadar esterogen berkaitan dengan
pembengkakan payudara dan diuresis cairan ekstra seluler
berlebih yang terakumulasi selama masa hamil.
b. Hormon hipofisis
Waktu dimulainya ovulasi dan menstruasi pada wanita
menyusui dan tidak menyusui berbeda. Kadar prolaktin serum
yang tinggi pada wanita menyusui tampaknya berperan dalam
menekan ovulasi. Karena kadar follikel-stimulating hormone
terbukti sama pada wanita menyusui dan tidak menyusui di
simpulkan ovarium tidak berespon terhadap stimulasi FSH
ketika kadar prolaktin meningkat.
c. Abdomen
Apabila wanita berdiri di hari pertama setelah melahirkan,
abdomenya akan menonjol dan membuat wanita tersebut
tampak seperti masih hamil. Diperlukan sekitar 6 minggu untuk
dinding abdomen kembali ke keadaan sebelum hami.
d. Sistem urinarius
Fungsi ginjal kembali normal dalam waktu satu bulan setelah
wanita melahirkan. Diperlukan kira-kira dua smpai 8 minggu
supaya hipotonia pada kehamilan dan dilatasi ureter serta pelvis
ginjal kembali ke keadaan sebelum hamil.
e. Sistem cerna:
1) Nafsu makan
Setelah benar-benar pulih dari efek analgesia, anestesia, dan
keletihan, ibu merasa sangat lapar.
2) Mortilitas
Secara khas, penurunan tonus dan motilitas otot traktus
cerna menetap selam waktu yang singkat setelah bayi lahir.
3) Defekasi
Buang air besar secara spontan bias tertunda selama dua
sampai tiga hari setelah ibu melahirkan
f. Payudara
Konsentrasi hormon yang menstimulasai perkembangan
payudara selama wanita hamil (esterogen, progesteron, human
chorionik gonadotropin, prolaktin, krotison, dan insulin)
menurun dengan cepat setelah bayi lahir.
1) Ibu tidak menyusui
Kadar prolaktin akan menurun dengan cepat pada wanita
yang tidak menyusui. Pada jaringan payudara beberapa
wanita, saat palpasi dailakukan pada hari kedua dan ketiga.
Pada hari ketiga atau keempat pasca partum bisa terjadi
pembengkakan. Payudara teregang keras, nyeri bila ditekan,
dan hangat jika di raba.
2) Ibu yang menyusui
Sebelum laktasi dimulai, payudara teraba lunak dan suatu
cairan kekuningan, yakni kolostrum. Setelah laktasi dimula,
payudara teraba hangat dan keras ketika disentuh. Rasa nyeri
akan menetap selama sekitar 48 jam. Susu putih kebiruan
dapat dikeluarkan dari puting susu.
g. Sistem kardiovaskuler
1) Volume darah
Perubahan volume darah tergantung pada beberapa faktor
misalnya Kehilangan darah merupakan akibat penurunan
volume darah total yang cepat tetapi terbatas.
Setelah itu terjadi perpindahan normal cairan tubuh yang
menyebapkan volume darah menurun dengan lambat. Pada
minggu ketiga dan keempat setelah bayi lahir, volume darah
biasanya menurun sampai mencapai volume sebelum lahir.
2) Curah jantung
Denyut jantung volume sekuncup dan curah jantung
meningkat sepanjang masa hamil. Segera setelah wanita
melahirkan, keadaan ini akan meningkat bahkan lebih tinggi
selama 30 sampai 60 menit karena darah yang biasanya
melintasi sirkuit utero plasenta tiba - tiba kembali ke
sirkulasi umum
3) Tanda-tanda vital
Beberapa perubahan tanda-tanda vital bisa terlihat, jika
wanita dalam keadaan normal. Peningkatan kecil sementara,
baik peningkatan tekanan darah sistol maupun diastol dapat
timbul dan berlangsung selama sekitar empat hari setelah
wanita melahirkan
h. Sistem neurologi
Perubahan neurologis selama puerperium merupakan kebalikan
adaptasi neurologis yang terjadi saat wanita hamil dan
disebapkan trauma yang dialami wanita saat bersalin dan
melahirkan.
i. Sistem muskuluskeletal
Adaptasi sistem muskuluskeletal ibu yang terjadi selama masa
hamil Adaptasi ini mencakup hal-hal yang membantu relaksasi
dan hipermobilitas sendi dan perubahan pusat berat ibu akibat
pembesaran rahim.
j. Sistem integumen
Kloasma yang muncul pada masa hamil biasanya menghilang
saat kehamilan berakhir. Pada beberapa wanita, pigmentasi
pada daerah tersebut akan menutap. Kulit kulit yang meregang
pada payudara, abdomen, paha, dan panggul mungkin
memudar, tapi tidak hilang seluruhnya.
F. Penatalaksanaan
Algoritma penatalaksanaan yang disebut HAEMOSTASIS telah
diusulkan untuk membantu penatalaksanaan perdarahan postpartum yang
sistematis dan bertahap, dan studi observasi retrospektif baru-baru ini
menyarankan bahwa penggunaan algoritme ini telah membantu
meningkatkan hasil dan mengurangi kemungkinan histerektomi peripartum.
“HAEMO” mengacu pada tindakan segera yang harus diambil untuk
menahan perdarahan, sedangkan “STASIS” mewakili tindakan yang lebih
lanjut.

Tabel 4. Algoritma HAEMOSTASIS untuk penatalaksanaan


perdarahan postpartum.
Penting untuk mengidentifikasi faktor risiko antepartum dan
postpartum yang mungkin memengaruhi wanita untuk mengalami
perdarahan postpartum—seperti plasenta praevia, fibroid rahim, dan sisa
plasenta—sebagaimana diuraikan dalam infografik. Perencanaan ke depan
melibatkan masukan dari tim multidisiplin untuk memastikan bahwa dokter
yang berpengalaman hadir saat persalinan dan tersedia produk darah yang
sesuai. Manajemen aktif persalinan kala tiga adalah prosesnya dimana
pengeluaran plasenta dan selaput dicapai setelah melahirkan dengan pijat
rahim, traksi tali pusat terkontrol, dan penggunaan oksitosin serta obat-
obatan lainnya.
Apa pun penyebabnya, penting bagi seluruh tim untuk mengetahui
langkah-langkah awal perawatan. Langkah pertama adalah
mengomunikasikan diagnosis dengan jelas dan mengatur tim multidisiplin.
Untuk mengurangi perdarahan, kompresi uterus bimanual dimulai dengan
manuver Hamilton (pasien yang dianestesi atau pasien dengan tolerabilitas
lebih tinggi) atau Chantrapitak (Gambar 2). Ketika uterotonika dan pijat
uterus bimanual gagal untuk mempertahankan kontraksi uterus dan
mengontrol perdarahan secara memuaskan, penggunaan kompresi
(termasuk manual kompresi), tamponade intrauterin atau pengepakan dapat
efektif dalam mengurangi perdarahan sekunder akibat atonia uteri.

Gambar 2. Manuver kompresi uterus hamilton dan chantrapitak.

Seorang asisten harus bertanggung jawab untuk memantau pasien


secara terus menerus untuk menghitung indeks syok. Dua asisten lainnya
menyediakan dua akses vena besar (jelco 14 atau 16), yang akan
memberikan infus kristaloid dan obat-obatan serta pengambilan sampel
darah. Tes pelengkap harus mencakup golongan darah (jika tidak tersedia),
pencocokan silang, hitung darah lengkap, koagulogram, fibrinogen,
ionogram, tes bekuan darah (Wiener) dan, pada kasus yang parah, analisis
laktat dan gas darah. Oksigenasi dengan masker wajah (100% O2; aliran 8
sampai 10 liter per menit) harus dilakukan. Kateterisasi urin menetap,
elevasi tungkai bawah, pemanasan wanita nifas, penilaian profilaksis
antibiotik, estimasi kehilangan darah dan penilaian cepat etiologi (revisi
jalan lahir), dengan lokasi fokus hemoragik. Jika tersedia, Pakaian anti-
guncangan nonpneumatik (NASG) dapat disertakan dalam tindakan awal
ini. Selanjutnya, kehilangan volume dan reperkusi hemodinamik dinilai
kembali, dengan maksud untuk menentukan kebutuhan transfusi darah.
Oksitosin dan asam traneksamat harus menjadi obat pertama yang
diinfuskan. Asam traneksamat harus diberikan dengan dosis 1gram yang
diencerkan dalam 100 mL saline 0,9% dan dapat diulangi setelah 30 menit
jika kontrol perdarahan belum tercapai. Jika perdarahan berulang dalam 24
jam setelah pemberian awal, dosis lain 1gram dapat diinfuskan. Regimen
infus uterotonika bervariasi. Infus lambat awal (tiga menit) dari 5unit
oksitosin disarankan, diikuti oleh 20 sampai 40unit dalam 500 ml saline
diberikan pada 250 ml/jam. Berurutan jadwal pemeliharaan harus diberikan
pada 125 mL / jam selama empat jam. Pada kasus atonia uteri yang paling
parah, pemeliharaan oksitosin hingga 24 jam (67,5 mL/jam atau 3 unit/jam)
harus dipertimbangkan dengan pemantauan keracunan air. Mengingat
respons yang tidak memadai terhadap oksitosin, infus sekuensial
uterotonika lain diperlukan dan interval waktu pengambilan keputusan tidak
boleh lebih dari 15 menit, karena ini adalah obat yang bekerja cepat. Dengan
tidak adanya hipertensi arteri atau penggunaan protease inhibitor,
methylergometrin (0,2 mg intramuskular) harus diberikan uterotonika
kedua dan dapat diulang setelah 20 menit. Uterotonika baris terakhir adalah
prostaglandin. Pemberian rektal 800 sampai 1.000 mcg misoprostol atau
600 mcg sublingual disarankan. Pengurutan obat ini diarahkan ke atonia
uteri, etiologi PPH yang paling sering. Sejalan dengan institusinya, tes
bekuan darah dan revisi jalan lahir harus dilakukan dengan tujuan untuk
menyingkirkan etiologi lain (laserasi jalan lahir, ruptur atau inversi uterus,
sisa plasenta, koagulopati). Etiologi ini memerlukan perawatan khusus,
seperti kuretase uterus (sisa plasenta), jahitan (laserasi jalan lahir), manuver
reposisi uterus (inversi uterus), laparotomi untuk perbaikan atau
histerektomi (ruptur uterus) dan transfusi komponen darah (koagulopati).
Inisiasi terapi transfusi umumnya didasarkan pada perkiraan defisit
darah dan kehilangan darah yang sedang berlangsung. Namun, dalam
keadaan perdarahan postpartum, perubahan akut pada hemoglobin atau
hematokrit tidak akan mencerminkan kehilangan darah secara akurat.
Resusitasi awal yang tidak adekuat dan hipoperfusi dapat menyebabkan
asidosis laktat, sindrom respons inflamasi sistemik dengan disfungsi
multiorgan, dan koagulopati. Pada wanita dengan perdarahan berkelanjutan
yang setara dengan kehilangan darah sebanyak 1.500 mL atau lebih atau
pada wanita dengan tanda vital abnormal (takikardia dan hipotensi), segera
lakukan persiapan untuk transfusi harus dilakukan. Karena kehilangan
darah yang begitu besar termasuk penipisan faktor koagulasi, adalah umum
bagi pasien tersebut untuk mengembangkan koagulopati konsumtif,
umumnya diberi label sebagai koagulasi intravaskular diseminata, dan
pasien akan memerlukan trombosit dan faktor koagulasi selain sel darah
merah yang dikemas.
Transfusi masif biasanya didefinisikan sebagai transfusi dari 10 atau
lebih unit sel darah merah dikemas dalam waktu 24 jam, transfusi 4 unit sel
darah merah dikemas dalam waktu 1 jam ketika kebutuhan untuk darah
lebih lanjut diantisipasi, atau penggantian volume darah lengkap. Ketika
massif protokol transfusi diperlukan, rasio tetap dari packed red blood cells,
fresh frozen plasma, dan trombosit harus digunakan. Rasio transfusi awal
yang direkomendasikan untuk packed red blood cells: fresh frozen plasma:
trombosit berada dalam kisaran dan dirancang untuk meniru penggantian
darah utuh. Dalam survei baru-baru ini, lebih dari 80% institusi dilaporkan
menggunakan rasio sel darah merah: plasma.
G. Asuhan keperawatan
1. Pengkajian
a. Biodata yang mencakup identitas pasien menurut (Anggraini, 2012)
meliputi:
1) Nama: Untuk mengetahui nama jelas dan lengkap, bila perlu
nama panggilan sehari-hari agar tidak keliru dalam memberikan
penanganan.
2) Umur: Dicatat dalam tahun untuk mengetahui adanya resiko
seperti kurang dari 20 tahun, alat-alat reproduksi belum matang,
mental dan psikisnya belum siap. Sedangkan umur lebih dari 35
tahun rentan sekali untuk terjadi perdarahan dalam post partum.
Untuk respon nyeri, umur juga mempengaruhi karena pada umur
anak-anak belum bisa mengungkapkan nyeri, pada umur orang
dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan
mengalami kerusakan fungsi.
3) Agama: Untuk mengetahui keyakinan pasien tersebut untuk
membimbing atau mengarahkan pasien dalam berdoa.
4) Suku bangsa: Berpengaruh pada adat istiadat atau kebiasaan
seharihari. Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya
mereka berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah
menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus
diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak
megeluh jika ada nyeri.
5) Pendidikan: Berpengaruh dalam tindakan keperawatan untuk
mengetahui sejauh mana tingkat intelektualnya, sehingga
perawat dapat memberikan konseling sesuai dengan
pendidikannya. Bila pasien memiliki pengetahuan yang baik
terhadap perawatan luka maka luka akan sembuh pada hari ke
tujuh setelah persalinan dan bila tidak dirawat dengan baik maka
akan terjadi infeksi pada pasien post partum.
6) Pekerjaan: Untuk mengetahui dan mengukur tingkat sosial
ekonominya, karena ini juga mempengaruhi dalam gizi pasien
tersebut.
7) Alamat: Ditanyakan untuk mempermudah kunjungan rumah
bila diperlukan.
b. Keluhan utama
Untuk mengetahui masalah yang dihadapi yang berkaitan dengan
masa nifas, misalnya pasien merasa kontraksi, nyeri pada jalan lahir
karena adanya jahitan pada perineum. (Purwaningsih, W., 2015).
c. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum, meliputi tingkat energi, self esteem, tingkat
kesadaran, bb, tb, lila.
2) Tanda vital normal (rr konsisten, nadi cenderung bradikardia,
suhu 36,2°c-38°c, respirasi 16-24x/menit
3) Kepala: rambut, wajah, mata (konjungtiva), hidung, mulut,
fungsi pengecapan, pendengaran dan leher.
4) Payudara: pembesaran, simetris,pigmentasi, warna kulit,
keadaan areola dan putting susu, stimulation nipple erection,
kepenuhan atau pembengkakan, benjolan, nyeri, produksi
laktasi atau kolostrum, perabaan pembesaran kelenjar getah
bening di ketiak.
5) Abdomen: teraba lembut, tekstur kenyal, muskulus rektus
abdominal utuh atau terdapat diatasis, distensi, striae, tinggi
fundus uterus, konsistensi (keras,lunak, boggy), lokasi,
kontraksi uterus, nyeri, perabaan distensi blas.
6) Anogenital: lihat struktur, regangan, edema vagina, keadaan
liang vagina (licin, kendur atau lemah) adakah hematom, nyeri,
tegang.
7) Perineum: keadaan luka episiotomy, ekimosis, edema,
kemerahan, eritema, drainase.lochea (warna, jumlah, bau,
bekuan darah atau konsistensi, 1-3 hari lochea rubra, 4-10 hari
lochea serosa, >10 hari lochea alba). Anus: hemoroid dan
thrombosis pada anus
8) Muskuloskeletal : tanda homan, edema, tekstur kulit, nyeri bila
di palpasi, kekuatan otot.
d. Pemeriksaan laboratorium
1) Darah: hemoglobin dan hematokrit 12-24 jam postpartum (jika
hb < 10 g% dibutuhkan sumplemen fe), eritrosit, leukosit,
trombosit.
2) Klien dengan dower cateter diperlukan kultur urine.
e. Konsep diri
Sikap penerimaan ibu terhadap tubuhnya, keinginan ibu menyusui,
persepsi ibu tentang tubuhnya terutama perubahan-perubahan
selama kehamilan, perasaan klien bila mengalami operasi sc karena
cpd atau karena bentuk tubuh yang pendek (Kumalasari, 2015).
f. Seksual
Bagaimana pola interaksi dan hubungan dengan pasangan meliputi
frekuensi koitus atau hubungan intim, pengetahuan pasangan
tentang seks, keyakinan, kesulitan melakukan seks, kontinuitas
hubungan seksual. Pengetahuan pasangan kapan dimulai hubungan
intercouse pascapartum (dapat dilakukan setelak luka episiotomy
membaik dan lochea terhenti, biasanya pada akhir minggu ketiga)
(Kumalasari, 2015)
g. Kebiasaan sehari-hari
1) Pola nutrisi : pola menu makanan yang dikonsumsi, jumlah,
jenis makanan (kalori, protein, vitamin, tinggi serat), frekuensi,
konsumsi kudapan (makanan ringan), nafsu makan, pola
minum, jumlah, frekuensi (Kumalasari, 2015).
2) Pola istirahat dan tidur: lamanya, kapan (malam, siang), rasa
tidak nyaman yang menganggu istirahat, penggunaan selimut,
lampu terang, remang-remang, atau gelap,apakah mudah
terganggu dengan suara-suara, posisi saat tidur (penekanan pada
perineum) (Kumalasari, 2015).
3) Pola eliminasi: apakah terjadi diuresis, setelah melahirkan
adakah inkontinensia (hilangnya involunter pengeluaran urine),
hilangnya control blas, terjadi overdistensi blas atau tidak atau
retensi urine karena rasa takut luka episiotomy, apakah perlu
bantuan saat BAK. Pola BAB, frekuensi, konsistensi, rasa takut
BAB karena luka perineum, kebiasaan penggunaan toilet
(Kumalasari, 2015).
4) Personal hygiene: pola mandi, kebersihan mulut dan gigi,
penggunaan pembalut dan kebersihan genitalia, pola
berpakaian, tata rias rambut dan wajah (Kumalasari, 2015).
5) Aktivitas: kemampuan mobilisasi beberapa saat stelah
melahirkan, kemampuan merawat diri dan melakukan eliminasi,
kemampuan bekerja, dan menyusui (Kumalasari, 2015).
6) Rekreasi dan hiburan: situasi atau tempat yang menyenangkan,
kegiatan yang membuat fresh dan rileks (Kumalasari, 2015).
h. Profil keluarga
Kebutuhan informasi pada keluarga, dukungan orang terdekat,
sibling, tipe rumah, community seething, penghasilan keluarga,
hubungan sosial, dan keterlibatan dalam kegiatan masyarakat
(Kumalasari, 2015).
i. Riwayat penyakit sekarang
Kesehatan sekarang pada ibu nifas diperlukan untuk mengetahui
kemungkinan adanya penyakit yang diderita pada saat ini.
(Kumalasari, 2015).
j. Riwayat penyakit dahulu
Untuk mengetahui kemungkinan adanya riyawat atau penyakit akut
dan kronis, seperti: jantung, hipertensi, asma, diabetes yang
mempengaruhi pada masa nifas ibu (Kumalasari, 2015).
k. Riwayat kesehatan keluarga
Adakah anggota keluarga yang menderita penyakit yang diturunkan
secara genetic, menular, kelainan kongenital, atau gangguan
kejiwaan yang pernah diderita oleh keluarga (Kumalasari, 2015)..
l. Riwayat psikososial-kultural
Baby blues: perasaan sedih, kelelahan, kecemasan, bingung,
ketidakamanan, berpikir obsesif, rendahnya emosi yang positif,
perasaan tidak berguna (Kumalasari, 2015).
2. Diagnosa keperawatan
Menurut SDKI (2017):
a. Nyeri akut b.d agen pencedera fisik, luka episitomy post
spontan. (SDKI, 172)
b. Deficit nutrisi b.d peningkatan kebutuhan laktasi. (SDKI, 56)
c. Gangguan intregitas kulit b.d luka episiotomy perineum. (SDKI,
282)
d. Resiko infeksi b.d luka episiotomy post partum spontan. (SDKI,
304)
e. Deficit pengetahuan b.d kurang terpapar informasi. (SDKI, 246)
f. Menyusui tidak efektif b.d ketidakadekuatan suplai (SDKI, 76)
3. Intervensi
Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional
Nyeri akut Setelah 1. Identifikasi 1. untuk
b.d agen dilakukan lokasi, mengetahui
pencedera intervensi karakteristik, lokasi,
fisik, luka keperawatan durasi, karakteristik,
episitomy maka tingkat frekuensi, durasi,
post nyeri menurun kuantitas, frekuensi,
spontan. Kriteria Hasil: intesitas nyeri kuantitas,
Keluhan nyeri 2. Identifikasi intensitas nyeri
menurun, skala nyeri 2. untuk
meringis 3. Ajarkan mengetahui
menurun, Teknik non skala nyeri yang
gelisah farmakologis dirasa pasien
menurun, untuk 3. agar pasien
tekanan darah mengurangi mengetahui
rasa nyeri
membaik 4. Fasilitasi mengurangi rasa
(SLKI, 145) Istirahat dan nyeri
Tidur 4. untuk
5. Kolaborasi meningkatkan
pemberian kenyamanan
analgetic pasien
5. agar
mempercepat
pertumbuhan
Deficit Setelah 1. Identifikasi 1. untuk
nutrisi b.d dilakukan alergi atau mengetahui
peningkata intervensi intoleransi pasien alergi
n keperawatan makanan pada makanan
kebutuhan maka status 2. Identifikasi 2. meningkatkan
laktasi. nutrisi makanan nafsu makan
membaik disukai pasien
(SLKI, 120) 3. Monitor 3. untuk
Kriteria Hasil: asupan mengetahui
Porsi makanan makanan nutrisi yang di
yang butuhkan pasien
dihabiskan,
frekuensi
makan
membaik,
nafsu makan
membaik,
bising usus
membaik
Gangguan Setelah 1. Monitor 1. untuk
intregitas dilakukan karakteristik mengetahui
kulit b.d intervensi luka karakteristik
luka keperawatan 2. Monitor luka pada pasien
episiotomy maka tanda-tanda 2. untuk
perineum penyembuhan infeksi memonitor
luka 3. Jelaskan adanya tanda
meningkat tanda dan infeksi
Kriteria Hasil: gejala infeksi 3. agar pasien
Peredangan 4. Ajarkan memahami
luka menurun, prosedur tanda dan gejala
nyeri menurun, perawatan infeksi
infeksi luka secara 4. agar pasien
menurun mandiri melakukan
(SLKI, 78) perawatan luka
perineum
dengan mandiri
Resiko Setelah 1. Monitor TTV 1. untuk
infeksi b.d dilakukan 2. Monitor mengetahui
luka intervensi keadaan tekanan darah,
episiotomy keperawatan lochea nadi, suhu, dan
post maka control 3. Periksa respirasi pasien
partum resiko perineum 2. untuk
spontan meningkat 4. Ajarkan cara mengetahui
Kriteria Hasil: perawatan karakteristik
kemampuan perineum lochea normal
menghindari yang tepat atau abnormal
factor resiko 3. untuk
meningkat, mengetahui
kemampuan keadaan
mengenali perineum
status 4. agar pasien
kesehatan mengetahui cara
meningkat, perawatan
kemampuan perineum
melakukan dengan benar
strategi control
resiko (SLKI,
60)
Deficit setelah 1. Identifikasi 1. untuk
pengetahua dilakukan kesiapan dan mengetahui
n b.d intervensi kemampuan kesiapan dan
kurang keperawatan menerima kemampuan
terpapar maka tingkat informasi pasien menerima
informasi. pengetahuan 2. Berikan edukasi
membaik kesempatan kesehatan
Kriteria hasil: untuk 2. agar pasien
verbalisasi bertanya dapat
minat dalam 3. Jelaskan menanyakan
belajar factor resiko topik apa yang
meningkat, yang dapat belum diketahui
perilaku sesuai mempengaru 3. agar pasien
dengan hi kesehatan mengerti resiko
pengetahuan, apa saja yang
perilaku sesuai dapat
dengan anjuran mempengaruhi
meningkat kesehatan
(SLKI, 146)
Menyusui setelah 1. Identifikasi 1. untuk
tidak dilakukan permasalahan mengetahui
efektif b.d intervensi yang ibu permasalahan
ketidakade keperawatan alami selama apa yang ibu
kuatan maka status proses alami saat proses
suplai menyusui menyusui menyusui
meningkat 2. Berikan 2. agar pasien
Kriteria hasil: pujian mendapatkan
perlekatan bayi terhadap feedback
pada payudara perilaku yang 3. agar pasien
ibu meningkat, benar dapat menyusui
kemampuan 3. Ajarkan bayinya dengan
ibu teknik benar
memposisikan menyusui
bayi yang tepat
meningkat,
tetesan atau
pancaran asi
meningkat,
suplai asi
adekuat
meningkat
(SLKI, 119)

4. Implementasi
Pelaksanaan rencana keperawatan adalah tindakan yang
diberikan kepada klien dengan rencana keperawatan yang sudah
ditetapkan tergantung pada situasi dan kondisi klien saat itu.
5. Evaluasi
Evaluasi adalah suatu proses kontinyu yang setiap intervensi
dikaji efektifitasnya dan digunakan sesuai kebutuhan setiap ada
perubahan pada konsisi atau keluhan pasien. Pada bagian ini ditentukan
apakah perencanaan sudah tercapai atau belum. Jika didapatkan adanya
komplikasi, dapat timbul masalah keperawatan yang baru.
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara klasik, perdarahan postpartum didefinisikan sebagai
perdarahan terukur lebih dari 500 ml untuk persalinan pervaginam dan lebih
dari 1000 ml untuk persalinan sesar, terjadi dalam 24 jam pertama
persalinan. Namun, definisi ini tidak berfokus pada tanda klinis dan gejala
perdarahan, sehingga mencegah deteksi dini dalam banyak kasus.
Perdarahan postpartum merupakan penyebab utama tingginya
angka kematian ibu (AKI). Kira-kira 14 juta wanita menderita perdarahan
postpartum setiap tahunnya. Perdarahan postpartum menyebabkan
30% di negara berkembang (Sosa, 2009).
Perdarahan postpartum merupakan penyebab tersering dari keseluruhan
kematian akibat perdarahan obstetrik. Perdarahan postpartum adalah
perdarahan yang melebihi 500 ml setelah bayi lahir pada persalinan per
vaginam dan melebihi 1000 ml pada seksio sesarea (Chunningham, 2012),
atau perdarahan yang lebih dari normal yang telah menyebabkan
perubahan tanda vital, seperti kesadaran menurun, pucat, limbung,
berkeringat dingin, sesak napas, serta tensi < 90 mmHg dan nadi >
100/menit (Karkata, 2010).
B. Saran
Untuk mencapai hasil keperawatan yang diharapkan, di perlukan
hubungan yang baik dan keterlibatakan klien, keluarga dan tim kesehatan
lainnya. Pendidikan dan pengetahuan perawat secara berkelanjutan perlu
ditingkatkan secara formal maupun informal, khusunya di bidang
kesehatan. Mengkembang dan meningkatkan pemahaman perawat terhadap
konsep manusia secara komprehensif sehingga menerapkan asuhan
keperawatan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Borovac-Pinheiroa, et al. Postpartum hemorrhage: new insights for
definition and diagnosis. AJOG. 2018.
Escobar, et al. FIGO recommendations on the management of
postpartum hemorrhage 2022. Int J Gynecol Obstet. 2022.
Shields LE, Goffman D, Caughey AB. Postpartum Hemorrhage. ACOG.
2017:130(4).
Julieta MKN, Giri MKW. Postpartum Hemorrhage: Kegawatdaruratan
dalam Persalinan Ibu Hamil. 2021:1(1).
Markley, John C, Carusi, Daniela A. Postpartum Hemorrhage: What’s
New?. Current Obstetrics and Gynecology Reports. 2019.

Anda mungkin juga menyukai