PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mempelajari tentang perdarahan pasca persalinan dan perbandingan
antara teori dengan kasus nyata.
Klasifikasi
PPH kemudian dibagi menjadi dua berdasarkan waktu. American College
of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) menetapkan PPH primer berat
sebagai kehilangan darah lebih dari 1000 ml dalam 24 jam setelah proses
kelahiran disertai dengan tanda dan gejala hipovolemia. PPH sekunder,
didefinisikan sebagai perdarahan vagina abnormal yang terjadi setelah 24 jam
hingga 6 minggu setelah melahirkan (Borovac-Pinheiro et al., 2019). PPP dapat
pula dibagi berdasarkan jumlah perdarahan dan manifestasi klinis yang muncul,
yaitu
Epidemiologi
Di Amerika Serikat, kematian ibu meningkat lebih dari dua kali lipat
selama 30 tahun terakhir, dan perdarahan post partum menyumbang 11% dari
kematian terkait kehamilan ini. Penyebab umum kematian ibu lainnya termasuk
infeksi dan komplikasi akibat kejadian kardiovaskular. Perdarahan postpartum
adalah penyebab utama kematian ibu secara global, menyebabkan hampir 25%
dari semua kematian terkait kehamilan. Wanita yang tinggal di negara
berpenghasilan rendah sangat berisiko mengalami kematian akibat perdarahan
pascapersalinan (Watkins & Stem, 2020).
Insiden PPH sangat bervariasi tergantung pada kriteria apa yang
digunakan untuk mendefinisikannya. Namun, perkiraan tipikal telah dilaporkan
sekitar 4% sampai 6%. Insiden PPH sangat bervariasi tergantung pada kriteria apa
yang digunakan untuk mendefinisikannya. Namun, perkiraan khas telah
dilaporkan sekitar 4% sampai 6% (Oyelese & Ananth, 2010).
Patogenesis
Dalam memahami penyebab dan faktor risiko PPH, pertama-tama penting
untuk mengetahui proses fisiologis yang mencegah perdarahan berlebihan setelah
melahirkan. Penyebab paling umum dari perdarahan setelah melahirkan adalah
tempat implantasi plasenta (Oyelese & Ananth, 2010)
Ketika kehamilan memasuki akhir bulan, aliran darah yang mengalir
melalui low-resistance placental bed uterus dapat mencapai sekitar 500–800
ml/menit. Pembuluh darah yang mensuplai aliran darah ke placental bed melewati
sela-sela serabut miometrium yang berbentuk anyaman. Kontraksi miometrium
setelah terjadi persalinan akan diikuti retraksi miometrium. Retraksi miometrium
merupakan karakteristik unik otot polos uterus yang ditandai dengan ukuran
serabut otot yang lebih pendek dari panjang semula setelah terjadi kontraksi.
Pembuluh darah yang terletak diantara serabut miometrium akan terjepit dan
terbuntu saat terjadi kontraksi dan retraksi sehingga aliran darah terhenti. Susunan
serabut miometrium yang berbentuk anyaman uterus ini disebut the living
ligatures atau physiologic sutures (Gumilar et al., 2018)
Mekanisme penghentian perdarahan pascapersalinan berbeda dengan
tempat lain yang peran faktor vasospasme dan pembekuan darah sangat penting,
pada perdarahan pascapersalinan penghentian perdarahan pada bekas implantasi
plasenta terutama karena adanya kontraksi dan retraksi miometrium sehingga
menyempitkan dan membuntu lumen pembuluh darah. Adanya sisa plasenta atau
bekuan darah dalam jumlah yang banyak dapat mengganggu efektivitas kontraksi
dan retraksi miometrium sehingga dapat menyebabkan perdarahan tidak berhenti.
Kontraksi dan retraksi miometrium yang kurang baik dapat mengakibatkan
perdarahan walaupun sistem pembekuan darahnya normal, sebaliknya walaupun
sistem pembekuan darah abnormal asalkan kontraksi dan retraksi miometrium
baik dapat menghentikan perdarahan (Gumilar et al., 2018)
Jadi, mekanisme utama untuk mencegah perdarahan yang berlebihan
adalah kontraksi uterus; PPH terjadi setelah kegagalan mekanisme ini. Mekanisme
sekunder pencegahan PPP adalah pembentukan bekuan darah. Namun, karena
kontraksi uterus merupakan mekanisme pencegahan utama, PPH jarang terjadi
jika uterus berkontraksi dengan baik, bahkan jika terdapat defek koagulasi.
Sebaliknya, PPP akan terjadi dengan adanya atonia uteri, bahkan dengan adanya
sistem koagulasi ibu yang normal. Kehamilan merupakan keadaan hiperkoagulasi,
terutama untuk mencegah perdarahan masif setelah melahirkan. Defek pada jalur
koagulasi juga dapat menyebabkan PPP, tetapi perdarahan ini sering tertunda
(Oyelese & Ananth, 2010)
Thrombin
Kausal PPP karena gangguan pembekuan darah baru dicurigai bila
penyebab yang lain dapat disingkirkan apalagi disertai adanya riwayat pernah
mengalami hal yang sama pada persalinan sebelumnya. Akan ada tendensi mudah
terjadi perdarahan setiap dilakukan penjahitan dan perdarahan akan merembes
atau timbul hematoma pada bekas jahitan, suntikan, perdarahan dari gusi, rongga
hidung dan lain-lain (Sarwono, 2011).
Koagulopati merupakan penyebab lain dari perdarahan postpartum dan
dapat diturunkan (inherited) atau didapat (acquired). Penyakit Von Willebrand
adalah salah satu koagulopati bawaan yang lebih umum yang dapat menyebabkan
perdarahan postpartum. Koagulopati didapat termasuk sindrom HELLP
(hemolisis, peningkatan enzim hati, dan trombosit rendah) dan koagulopati
intravaskular diseminata (DIC). Solusio plasenta, emboli cairan ketuban, sepsis,
kematian janin, dan sindrom HELLP dapat menyebabkan DIC. Pada pasien
dengan gangguan koagulasi akut dan perdarahan postpartum, dua penyebab paling
umum adalah solusio plasenta dan emboli cairan ketuban. Pasien dengan solusio
plasenta akan mengalami nyeri panggul. Pendarahan vagina mungkin tidak selalu
ada jika perdarahan intrauterin, dan jika pasien dipantau dengan
tokodinamometer, takisistol uterus (kontraksi cepat) akan terlihat jelas. Pasien
dengan emboli cairan ketuban mengalami gangguan pernapasan dan hemodinamik
yang cepat dan DIC (Watkins & Stem, 2020)
Pada pemeriksaan penunjang ditemukan hasil pemeriksaan faal hemostasis
yang abnormal. Waktu perdarahan dan waktu pembekuan memanjang,
trombositopenia, terjadi hypofibrinogenemia dan terdeteksi adanya FDP (fibrin
degradation product) serta perpanjangan tes prothrombin dan PTT (partial
thromboplastin time)(Sarwono, 2011).
Diagnosis
Temuan Laboratorium pada PPP
(Watkins & Stem, 2020)