Anda di halaman 1dari 20

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perdarahan postpartum (PPH) adalah penyebab utama morbiditas dan
mortalitas ibu di seluruh dunia, dan mempengaruhi hingga 10% dari semua
persalinan. Meskipun secara historis banyak definisi telah digunakan, program
American College of Obstetricians and Gynecologists, dalam upaya untuk
menstandardisasi definisi klinis dalam kebidanan, mendefinisikan perdarahan
postpartum sebagai kehilangan darah lebih besar atau sama dengan 1.000 mL atau
kehilangan darah dengan tanda atau gejala hipovolemia dalam waktu 24 jam
setelah melahirkan baik dalam operasi caesar atau persalinan pervaginam
(Andrikopoulou & D’Alton, 2019). Pada sumber lain dijelaskan perdarahan pasca
persalinan adalah perdarahan > 500 ml yang didapat setelah persalinan
pervaginam atau > 1000ml setelah persalinan per abdominam (cesarean section)
(Gumilar et al., 2018)
Pada tahun 2015 terdapat >80.000 kematian ibu yang disebabkan oleh
perdarahan obstetrik di seluruh dunia. Meskipun telah terjadi penurunan jumlah
absolut kematian ibu yang disebabkan oleh perdarahan selama 25 tahun terakhir,
hal ini tetap menjadi penyebab langsung utama kematian ibu kebidanan. Variasi
besar ada secara regional; Perdarahan menyumbang 9,3% kematian di negara-
negara dengan indeks sosiodemografi tinggi dan 45,7% di negara-negara dengan
indeks sosiodemografi rendah (Borovac-Pinheiro et al., 2019). Angka kematian
ibu di Indonesia sendiri masih tinggi yaitu sebesar 305/100.000 lahir hidup pada
tahun 2015, menurun dibandingkan tahun 2012 sebesar 359 /100.000 lahir hidup
tetapi meningkat dibandingkan tahun 2007 yaitu 228/100.000 lahir hidup dengan
penyebab kematian maternal adalah perdarahan 30%, eklampsia 25%, infeksi
12%, komplikasi masa nifas 8%, abortus 5%, partus macet 5%, emboli 3% dan
penyebab lainnya 12% (Simanjuntak, 2020)
Penyebab perdarahan postpartum dapat diklasifikasikan oleh 4 yaitu:
tonus, trauma, jaringan, dan trombin. Atonia uteri adalah penyebab paling umum
dari perdarahan postpartum, menyebabkan hingga 80% dari semua kasus
(Watkins & Stem, 2020)
Identifikasi dini dan intervensi sangat penting untuk membantu
mengurangi morbiditas dan mortalitas. Penggunaan oksitosin, pijat rahim, dan
traksi tali pusat terkontrol adalah tiga komponen penting dari manajemen aktif
kala tiga persalinan dan dapat membantu mengurangi kejadian perdarahan
postpartum. Menggunakan pendekatan berbasis tim untuk perawatan wanita
bersalin dan menerapkan protokol khusus rumah sakit akan membantu
mengurangi kematian yang terkait dengan perdarahan postpartum (Watkins &
Stem, 2020)

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mempelajari tentang perdarahan pasca persalinan dan perbandingan
antara teori dengan kasus nyata.

1.2.2 Tujuan Khusus


1. Mengetahui teori tentang perdarahan pasca persalinan yang mencakup
definisi, etiologi, klasifikasi, tanda dan gejala, diagnosis,
penatalaksanaan, komplikasi, dan prognosis.
2. Mengetahui perbandingan antara teori dengan kasus nyata perdarahan
pasca persalinan pada pasien RSUD Abdul Wahab Syahranie
Samarinda.
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Perdarahan Pasca Persalinan


Perdarahan postpartum (PPH) adalah penyebab utama morbiditas dan
mortalitas ibu di seluruh dunia, dan mempengaruhi hingga 10% dari semua
persalinan. American College of Obstetricians and Gynecologists, dalam upaya
untuk menstandarisasi definisi klinis dalam kebidanan, mendefinisikan perdarahan
postpartum sebagai kehilangan darah lebih besar atau sama dengan 1.000 mL atau
kehilangan darah dengan tanda atau gejala. hipovolemia dalam waktu 24 jam
setelah melahirkan apakah operasi caesar atau persalinan pervaginam (Evensen &
Anderson, 2017). Definisi terbaru oleh WHO tentang PPH (2012) mencerminkan
definisi tahun 1990. Untuk kelahiran pervaginam, PPH didefinisikan sebagai
kehilangan darah >500 mL,15,16 dan PPH berat didefinisikan sebagai kehilangan
>1000 mL. Dalam kasus kelahiran sesar, standar untuk PPH dinaikkan menjadi
1000 mL dalam beberapa pedoman (Borovac-Pinheiro et al., 2019).

Klasifikasi
PPH kemudian dibagi menjadi dua berdasarkan waktu. American College
of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) menetapkan PPH primer berat
sebagai kehilangan darah lebih dari 1000 ml dalam 24 jam setelah proses
kelahiran disertai dengan tanda dan gejala hipovolemia. PPH sekunder,
didefinisikan sebagai perdarahan vagina abnormal yang terjadi setelah 24 jam
hingga 6 minggu setelah melahirkan (Borovac-Pinheiro et al., 2019). PPP dapat
pula dibagi berdasarkan jumlah perdarahan dan manifestasi klinis yang muncul,
yaitu
Epidemiologi
Di Amerika Serikat, kematian ibu meningkat lebih dari dua kali lipat
selama 30 tahun terakhir, dan perdarahan post partum menyumbang 11% dari
kematian terkait kehamilan ini. Penyebab umum kematian ibu lainnya termasuk
infeksi dan komplikasi akibat kejadian kardiovaskular. Perdarahan postpartum
adalah penyebab utama kematian ibu secara global, menyebabkan hampir 25%
dari semua kematian terkait kehamilan. Wanita yang tinggal di negara
berpenghasilan rendah sangat berisiko mengalami kematian akibat perdarahan
pascapersalinan (Watkins & Stem, 2020).
Insiden PPH sangat bervariasi tergantung pada kriteria apa yang
digunakan untuk mendefinisikannya. Namun, perkiraan tipikal telah dilaporkan
sekitar 4% sampai 6%. Insiden PPH sangat bervariasi tergantung pada kriteria apa
yang digunakan untuk mendefinisikannya. Namun, perkiraan khas telah
dilaporkan sekitar 4% sampai 6% (Oyelese & Ananth, 2010).

Patogenesis
Dalam memahami penyebab dan faktor risiko PPH, pertama-tama penting
untuk mengetahui proses fisiologis yang mencegah perdarahan berlebihan setelah
melahirkan. Penyebab paling umum dari perdarahan setelah melahirkan adalah
tempat implantasi plasenta (Oyelese & Ananth, 2010)
Ketika kehamilan memasuki akhir bulan, aliran darah yang mengalir
melalui low-resistance placental bed uterus dapat mencapai sekitar 500–800
ml/menit. Pembuluh darah yang mensuplai aliran darah ke placental bed melewati
sela-sela serabut miometrium yang berbentuk anyaman. Kontraksi miometrium
setelah terjadi persalinan akan diikuti retraksi miometrium. Retraksi miometrium
merupakan karakteristik unik otot polos uterus yang ditandai dengan ukuran
serabut otot yang lebih pendek dari panjang semula setelah terjadi kontraksi.
Pembuluh darah yang terletak diantara serabut miometrium akan terjepit dan
terbuntu saat terjadi kontraksi dan retraksi sehingga aliran darah terhenti. Susunan
serabut miometrium yang berbentuk anyaman uterus ini disebut the living
ligatures atau physiologic sutures (Gumilar et al., 2018)
Mekanisme penghentian perdarahan pascapersalinan berbeda dengan
tempat lain yang peran faktor vasospasme dan pembekuan darah sangat penting,
pada perdarahan pascapersalinan penghentian perdarahan pada bekas implantasi
plasenta terutama karena adanya kontraksi dan retraksi miometrium sehingga
menyempitkan dan membuntu lumen pembuluh darah. Adanya sisa plasenta atau
bekuan darah dalam jumlah yang banyak dapat mengganggu efektivitas kontraksi
dan retraksi miometrium sehingga dapat menyebabkan perdarahan tidak berhenti.
Kontraksi dan retraksi miometrium yang kurang baik dapat mengakibatkan
perdarahan walaupun sistem pembekuan darahnya normal, sebaliknya walaupun
sistem pembekuan darah abnormal asalkan kontraksi dan retraksi miometrium
baik dapat menghentikan perdarahan (Gumilar et al., 2018)
Jadi, mekanisme utama untuk mencegah perdarahan yang berlebihan
adalah kontraksi uterus; PPH terjadi setelah kegagalan mekanisme ini. Mekanisme
sekunder pencegahan PPP adalah pembentukan bekuan darah. Namun, karena
kontraksi uterus merupakan mekanisme pencegahan utama, PPH jarang terjadi
jika uterus berkontraksi dengan baik, bahkan jika terdapat defek koagulasi.
Sebaliknya, PPP akan terjadi dengan adanya atonia uteri, bahkan dengan adanya
sistem koagulasi ibu yang normal. Kehamilan merupakan keadaan hiperkoagulasi,
terutama untuk mencegah perdarahan masif setelah melahirkan. Defek pada jalur
koagulasi juga dapat menyebabkan PPP, tetapi perdarahan ini sering tertunda
(Oyelese & Ananth, 2010)

Faktor Risiko dan Penyebab PPH


Faktor risiko dari PPP dapat ditinjau dari riwayat medis atau pembedahan,
hal terkait fetal,hal terkait maternal dan hal terkait plasenta atau uterine. Berikut
adalah table factor risiko dari terjadinya PPP (Watkins & Stem, 2020)

Terdapat 4 penyebab utama terjadinya PPP yaitu; 4 T: Tone, Tissue,


Trauma, Thrombin (Gumilar et al., 2018)
1. Tone, terjadi karena lemahnya kontraksi (hipotoni) bahkan hilangnya
kontraksi (atonia) uterus pasca persalinan.
2. Tissue yaitu adanya jaringan plasenta yang tertinggal sebagian maupun
seluruhnya (retensio plasenta) di dalam uterus.
3. Trauma, karena adanya perlukaan jalan lahir mulai dari perineum,
vagina, serviks (laserasi) sampai dengan robeknya dinding uterus
(ruptura uteri).
4. Thrombin, yaitu adanya gangguan hemostasis yang dapat terjadi sejak
sebelum persalinan maupun setelahnya.
Atonia uteri merupakan penyebab utama perdarahan postpartum yaitu
sebesar 70% dan sekaligus penyebab utama kematia maternal. Trauma seperti
laserasi, ruptura uteri dll. sebesar 20%, tisuue (jaringan) seperti retensio plasenta,
sisa plasenta sebesar 10% serta thrombin (koagulopati) atau gangguan pembekuan
darah seperti idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP), thombotic
thrombocytopenic purpura, penyakit von Willebrand dan hemofilia, menyumbang
1% sebagai penyebab PPP (Simanjuntak, 2020)
Lier kemudian membagi factor risiko berdasarkan 4 penyebab utama PPP
di atas sebagai berikut (Lier et al., 2018):
Trauma
Pada umummnya, robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan
trauma.pertolongan persalinan yang semakin manipulative dan traumatic akan
memudahkan robekan jalan lahir dan karena itu dihindarkan memimpin persalinan
pada saat pembukaan serviks belum lengkap. Robekan jalan lahir biasanya akibat
episiotomy, robekan spontan perineum, trauma forceps atau vakum ekstraksi atau
karena versi ektraksi (Sarwono, 2011).
Trauma dari instrumentasi untuk membantu persalinan juga dapat
menyebabkan perdarahan postpartum. Pasien yang mengalami persalinan lama,
terutama ketika stimulan uterus seperti oksitosin IV dan prostaglandin vagina
digunakan, dapat mengalami perdarahan postpartum. Ruptur uteri dapat terjadi
pada pasien yang menjalani percobaan persalinan setelah sesar, dan risikonya
meningkat secara signifikan jika pasien pernah mengalami insisi uterus vertikal
rendah atau vertikal tinggi dengan persalinan sesar sebelumnya (Watkins & Stem,
2020)
Umumnya, jika PPH bukan karena atonia uteri, trauma traktus genitalis
kemungkinan besar menjadi penyebab perdarahan yang berlebihan (Oyelese &
Ananth, 2010). Sehingga perdarahan yang terjadi saat kontraksi uterus baik,
biasanya karena ada robekan atau sisa plasenta. Pemeriksaan dapat dilakukan
dengan cara melakukan inspeksi pada vulva, vagina dan serviks dengan memakai
speculum untuk mencari sumber perdarahan dengan ciri warna darah merah segar
dan pulsatil sesuai denyut nadi. Robekan yang terjadi bisa ringan (lecet, laserasi),
luka episiotomy, robekan perineum spontan derajat ringan sampai rupture perinei
totalis (sfingter ani terputus), robekan pada dinding vagina, forniks uteri, serviks,
daerah sekitar klitoris dan utetra bahkan yang terberat rupture uteri (Sarwono,
2011).

Thrombin
Kausal PPP karena gangguan pembekuan darah baru dicurigai bila
penyebab yang lain dapat disingkirkan apalagi disertai adanya riwayat pernah
mengalami hal yang sama pada persalinan sebelumnya. Akan ada tendensi mudah
terjadi perdarahan setiap dilakukan penjahitan dan perdarahan akan merembes
atau timbul hematoma pada bekas jahitan, suntikan, perdarahan dari gusi, rongga
hidung dan lain-lain (Sarwono, 2011).
Koagulopati merupakan penyebab lain dari perdarahan postpartum dan
dapat diturunkan (inherited) atau didapat (acquired). Penyakit Von Willebrand
adalah salah satu koagulopati bawaan yang lebih umum yang dapat menyebabkan
perdarahan postpartum. Koagulopati didapat termasuk sindrom HELLP
(hemolisis, peningkatan enzim hati, dan trombosit rendah) dan koagulopati
intravaskular diseminata (DIC). Solusio plasenta, emboli cairan ketuban, sepsis,
kematian janin, dan sindrom HELLP dapat menyebabkan DIC. Pada pasien
dengan gangguan koagulasi akut dan perdarahan postpartum, dua penyebab paling
umum adalah solusio plasenta dan emboli cairan ketuban. Pasien dengan solusio
plasenta akan mengalami nyeri panggul. Pendarahan vagina mungkin tidak selalu
ada jika perdarahan intrauterin, dan jika pasien dipantau dengan
tokodinamometer, takisistol uterus (kontraksi cepat) akan terlihat jelas. Pasien
dengan emboli cairan ketuban mengalami gangguan pernapasan dan hemodinamik
yang cepat dan DIC (Watkins & Stem, 2020)
Pada pemeriksaan penunjang ditemukan hasil pemeriksaan faal hemostasis
yang abnormal. Waktu perdarahan dan waktu pembekuan memanjang,
trombositopenia, terjadi hypofibrinogenemia dan terdeteksi adanya FDP (fibrin
degradation product) serta perpanjangan tes prothrombin dan PTT (partial
thromboplastin time)(Sarwono, 2011).

Diagnosis
Temuan Laboratorium pada PPP
(Watkins & Stem, 2020)

Diagnosis Banding PPP


Diagnosis Banding PPP (Saifuddin, Rachimhadhi, T, & Wiknjosastro, 2014)
Gejala dan tanda
Gejala dan tanda yang Diagnosis
No. yang kadang-
selalu ada kemungkinan
kadang ada
- Uterus tidak - Syok Atonia Uteri
berkontraksi dan lembek
- Perdarahan segera
1. setelah anak lahir
(Perdarahan
Pascapersalinan Primer
atau P3)
2. - Perdarahan segera (P3) - Pucat Robekan jalan
- Darah segar yang - Lemah lahir
mengalir segera setelah - Menggigil
bayi lahir (P3)
- Uterus kontraksi baik
- Plasenta lengkap
- Plasenta belum lahir - Tali pusat putus Retensio Plasenta
setelah 30 menit akibat traksi
- Perdarahan segera (P3) berlebihan
3. - Uterus kontraksi baik - Inversio uteri
akibat tarikan
- Perdarahan
lanjutan
- Plasenta atau sebagian - Uterus Tertinggalnya
selaput (mengandung berkontraksi sebagian plasenta
4. pembuluh darah) tidak tetapi tinggi
lengkap fundus tidak
- Perdarahan segera (P3) berkurang
- Uterus tidak teraba - Syok neurogenik Inversio uteri
- Lumen vagina terisi - Pucat dan
massa limbung
5. - Tampak tali pusat (jika
plasenta belum lahir)
- Perdarahan segera (P3)
- Nyeri sedikit atau berat
- Sub-involusi uterus - Anemia - Perdarahan
- Nyeri tekan perut bawah - Demam terlambat
- Perdarahan lebih dari 24 - Endometritis
jam setelah persalinan. atau sisa
6.
Perdarahan sekunder plasenta
atau P2S. (terinfeksi atau
- Perdarahan bervariasi tidak)
(ringan atau berat, terus
- Perdarahan segera (P3) - Syok - Robekan
(Perdarahan - Nyeri tekan perut dinding uterus
7. intraabdominal dan atau - Denyut nadi ibu (ruptura uteri)
vaginum) cepat
- Nyeri perut berat

Tatalaksana dan Pencegahan PPP


Meskipun telah dilakukan usaha untuk mencegah PPS, akhirnya beberapa
perempuan tetap memerlukan terapi untuk perdarahan yang berlebihan. Intervensi
multipel (medis, mekanik, invasif pembedahan, dan non-pembedahan) yang
memerlukan teknik dan keahlian yang berbeda-beda mungkin diperlukan untuk
mengontrol perdarahan. Bila PPS terjadi, harus ditentukan dulu kausa perdarahan,
kemudian penatalaksanaannya dilakukan secara simultan, meliputi perbaikan
tonus uterus, evakuasi jaringan sisa, dan penjahitan luka terbuka disertai dengan
persiapan koreksi faktor pembekuan. Tahapan penatalaksanaan PSS berikut ini
dapat disingkat dengan istilah HAEMOSTASIS (PNPK, 2016)

Penatalaksanaan dilakukan dengan prinsip “HAEMOSTASIS”, yaitu


(PNPK, 2016):
1. Ask for HELP
Segera meminta pertolongan atau dirujuk ke rumah sakit bila
persalinan di bidan/PKM. Kehadiran ahli obstetri, bidan, ahli anestesi,
dan hematologis menjadi sangat penting. Pendekatan multidisipliner
dapat mengoptimalkan monitoring dan pemberian cairan. Monitoring
elektrolit dan parameter koagulasi adalah data yang penting untuk
penentuan tahap tindakan berikutnya.
2. Assess (vital parameter, blood loss) and Resuscitate
Penting sekali segera menilai jumlah darah yang keluar seakurat
mungkin dan menentukan derajat perubahan hemodinamik. Lebih baik
overestimate jumlah darah yang hilang dan bersikap proaktif daripada
underestimate dan bersikap menunggu/pasif. Nilai tingkat kesadaran,
nadi, tekanan darah, dan bila fasilitas memungkinkan, saturasi oksigen
harus dimonitor. Saat memasang jalur infus dengan abocath 14G-16G,
harus segera diambil spesimen darah untuk memeriksa hemoglobin,
profil pembekuan darah, elektrolit, penentuan golongan darah, serta
crossmatch (RIMOT = Resusitasi, Infus 2 jalur, Monitoring keadaan
umum, nadi dan tekanan darah, Oksigen, dan Team approach).
Diberikan cairan kristaloid dan koloid secara cepat sambil menunggu
hasil crossmatch.
3. Establish Aetiology, Ensure Availability of Blood, Ecbolics (Oxytocin,
Ergometrin or Syntometrine bolus IV/ IM
Sementara resusitasi sedang berlangsung, dilakukan upaya
menentukan etiologi PPS. Nilai kontraksi uterus, cari adanya cairan
bebas di abdomen, bila ada risiko trauma (bekas seksio sesarea, partus
buatan yang sulit) atau bila kondisi pasien lebih buruk daripada jumlah
darah yang keluar. Harus dicek ulang kelengkapan plasenta dan selaput
plasenta yang telah berhasil dikeluarkan. Bila perdarahan terjadi akibat
morbidly adherent placentae saat seksio sesarea dapat diupayakan
haemostatic sutures, ligasi arteri hipogastrika dan embolisasi arteri
uterina. Morbidly adherent placentae sering terjadi pada kasus plasenta
previa pada bekas seksio sesarea. Bila hal ini sudah diketahui
sebelumnya, dr. Sarah P. Brown dan Queen Charlotte Hospital (Labour
ward course) menyarankan untuk tidak berupaya melahirkan plasenta,
tetapi ditinggalkan intrauterin dan kemudian dilanjutkan dengan
pemberian metotreksat seperti pada kasus kehamilan abdominal. Bila
retensio plasenta/sisa plasenta terjadi setelah persalinan pervaginam,
dapat digunakan tamponade uterus sementara menunggu kesiapan
operasi/laparotomi.
4. Massage the uterus
Perdarahan banyak yang terjadi setelah plasenta lahir harus segera
ditangani dengan masase uterus dan pemberian obat-obatan
uterotonika. Bila uterus tetap lembek harus dilakukan kompresi
bimanual interna dengan menggunakan kepalan tangan di dalam untuk
menekan forniks anterior sehingga terdorong ke atas dan telapak
tangan di luar melakukan penekanan pada fundus belakang sehingga
uterus terkompresi.
5. Oxytocin infusion/ prostaglandins – IV/ per rectal/ IM/
intramyometrial
Dapat dilakukan pemberian oksitosin 40 unit dalam 500 cc normal
salin dengan kecepatan 125 cc/jam (peringkat bukti IA, rekomendasi
A). Hindari kelebihan cairan karena dapat menyebabkan edema
pulmoner hingga edema otak yang pada akhimya dapat menyebabkan
kejang karena hiponatremia. Hal ini timbul karena efek antidiuretic
hormone (ADH) - like effect dan oksitosin; sehingga monitoring ketat
masukan dan keluaran cairan sangat esensial dalam pemberian
oksitosin dalam jumlah besar. Pemberian ergometrin sebagai lini
kedua dari oksitosin dapat diberikan secara intramuskuler atau
intravena. Dosis awal 0,2 mg (secara perlahan), dosis lanjutan 0,2 mg
setelah 15 menit bila masih diperlukan. Pemberian dapat diulang setiap
2-4 jam bila masih diperlukan. Dosis maksimal adalah 1 mg atau 5
dosis per hari. Kontraindikasi pada pemberian ergometrin yaitu
preeklampsia, vitiumcordis, dan hipertensi (peringkat bukti IA,
rekomendasi A). Bila PPS masih tidak berhasil diatasi, dapat diberikan
misoprostol per rektal 800-1000ug. Pada perdarahan masif perlu
diberikan transfusi darah, bahkan juga diperlukan pemberian fresh
frozen plasma (FFP) untuk menggantikan faktor pembekuan yang turut
hilang. Direkomendasikan pemberian 1 liter FFP (15 mL/kg) setiap 6
unit darah. Pertahankan trombosit di atas 50.000, bila perlu diberikan
transfusi trombosit. Kriopresipitat direkomendasikan bila terjadi DIC
yang ditandai dengan kadar fibrinogen <1 gr/dl (10 gr/L).

6. Shift to theatre – exclude retained products and trauma/ bimanual


compression (konservatif; non-pembedahan)
Bila perdarahan masif masih tetap terjadi, segera evakuasi pasien ke
ruang operasi. Pastikan pemeriksaan untuk menyingkirkan adanya sisa
plasenta atau selaput ketuban. Bila diduga ada sisa jaringan, segera
lakukan tindakan kuretase. Kompresi bimanual dapat dilakukan selama
ibu dibawa ke ruang operasi
7. Tamponade balloon/ uterine packing (konservatif; non-pembedahan)
(peringkat bukti II, rekomendasi B)
Bila perdarahan masih berlangsung, pikirkan kemungkinan adanya
koagulopati yang menyertai atonia yang refrakter. Tamponade uterus
dapat membantu mengurangi perdarahan. Tindakan ini juga dapat
memberi kesempatan koreksi faktor pembekuan. Dapat dilakukan
tamponade test dengan menggunakan Tube Sengstaken yang
mempunyai nilai prediksi positif 87% untuk menilai 19 keberhasilan
penanganan PPS. Bila pemasangan tube tersebut mampu
menghentikan perdarahan berarti pasien tidak memerlukan tindakan
bedah lebih lanjut. Akan tetapi, bila setelah pemasangan tube,
perdarahan masih tetap masif, maka pasien harus menjalani tindakan
bedah. Pemasangan tamponade uterus dengan menggunakan baloon
relatif mudah dilaksanakan dan hanya memerlukan waktu beberapa
menit. Tindakan ini dapat menghentikan perdarahan dan mencegah
koagulopati karena perdarahan masif serta kebutuhan tindakan bedah.
Hal ini perlu dilakukan pada pasien yang tidak membaik dengan terapi
medis. Pemasangan tamponade uterus dapat menggunakan Bakri SOS
baloon dan tampon balon kondom kateter. Biasanya dimasukkan 300-
400 cc cairan untuk mencapai tekanan yang cukup adekuat sehingga
perdarahan berhenti. Balon tamponade Bakri dilengkapi alat untuk
membaca tekanan intrauterin sehingga dapat diupayakan mencapai
tekanan mendekati tekanan sistolik untuk menghentikan perdarahan.
Segera libatkan tambahan tenaga dokter spesialis kebidanan dan
hematologis sambil menyiapkan ruang ICU.
8. Apply compression sutures – B-Lynch/ modified (pembedahan
konservatif)
Dalam menentukan keputusan, harus selalu dipertimbangkan antara
mempertahankan hidup dan keinginan mempertahankan fertilitas.
Sebelum mencoba setiap prosedur bedah konservatif, harus dinilai
ulang keadaan pasien berdasarkan perkiraan jumlah darah yang keluar,
perdarahan yang masih berlangsung, keadaan hemodinamik, dan
paritasnya. Keputusan untuk melakukan laparotomi harus cepat setelah
melakukan informed consent terhadap segala kemungkinan tindakan
yang akan dilakukan di ruang operasi. Penting sekali kerja sama yang
baik dengan ahli anestesi untuk menilai kemampuan pasien bertahan
lebih lanjut pada keadaan perdarahan setelah upaya konservatif gagal.
Apabila tindakan B-Lynch tidak berhasil, dipertimbangkan untuk
dilakukan histerektomi. Ikatan kompresi yang dinamakan Ikatan B-
Lynch (B-Lynch suture) pertama kali diperkenalkan oleh Christopher
B-Lynch. Benang yang dapat dipakai adalah kromik catgut no.2,
Vicryl 0 (Ethicon), chromic catgut 1 dan PDS 0 tanpa adanya
komplikasi. Akan tetapi, perlu diingat bahwa tindakan B-Lynch ini
harus didahului tes tamponade yaitu upaya menilai efektifitas tindakan
B- Lynch dengan 20 cara kompresi bimanual uterus secara langsung di
meja operasi. Teknik penjahitan uterus metode B-lynch& B-lynch
Modifikasi (Metode Surabaya) dapat dilihat pada Lampiran 1.
Prosedur Penjahitan Uterus Metode Surabaya dan Lampiran 2.
Prosedur Penjahitan Uterus Metode Surabaya prosedur Penjahitan
Uterus Metode Surabaya.
9. Systematic pelvic devascularization – uterine/ ovarian/ quadruple/
internal iliac (pembedahan konservatif)
Ligasi a. uterina dan ligasi a. Hipogastrika. Teknik ligasi (checklist,
gambar)
10. Interventional radiologis, if appropriate, uterine artery embolization
(pembedahan konservatif) (peringkat bukti II, rekomendasi B)
11. Subtotal/ total abdominal hysterectomy (non-konservatif) (peringkat
bukti II, rekomendasi B)
(PNPK, 2016)
Semua sumber perdarahan akibat trauma jalan lahir yang terbuka harus
diklem, diikat dan luka ditutup dengan jahitan catgut lapis demi lapis sampai
perdarahan berhenti (Sarwono, 2011). Untuk perdarahan akibat gangguan
pembekuan darah dapat dilakukan terapi yaitu transfuse darah dan produknya
seperti plasma beku segar, trombosit, fibrinogen dan heparinisasi atau pemberian
EACA (epsilon amino capronic acid) (Sarwono, 2011)
BAB 5
PENUTUP

Perdarahan paska persalinan adalah kehilangan darah lebih besar atau


sama dengan 1.000 mL atau kehilangan darah dengan tanda atau gejala.
hipovolemia dalam waktu 24 jam setelah melahirkan apakah operasi caesar atau
persalinan pervaginam. Perdarahan postpartum (PPH) adalah penyebab utama
morbiditas dan mortalitas ibu di seluruh dunia, dan mempengaruhi hingga 10%
dari semua persalinan.
Telah dilaporkan sebuah kasus atas pasien Ny. H yang berusia 28 tahun
datang ke Rumah Sakit dengan keluhan utama perdarahan dari jalan lahir setelah
persalinan spontan pada pukul 21.13 WITA. Setelah melakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, maka didapatkan diagnosis P3A0
post persalinan spontan + Hemoragik post partum + Syok Hipovolemik +
Anemia. Pada pasien ini dilakukan tindakan observasi keadaan umum dan tanda-
tanda vital, pemberian cairan RL 1000 cc, dan transfuse PRC 2 kolf. Secara umum
penegakkan diagnosis maupun penatalaksanaan pada pasien ini sudah tepat dan
sesuai dengan teori.
Andrikopoulou, M., & D’Alton, M. E. (2019). Postpartum hemorrhage: early
identification challenges. In Seminars in Perinatology (Vol. 43, Issue 1, pp. 11–
17). W.B. Saunders. https://doi.org/10.1053/j.semperi.2018.11.003
Borovac-Pinheiro, A., Pacagnella, R. C., Cecatti, J. G., Miller, S., el Ayadi, A. M.,
Souza, J. P., Durocher, J., Blumenthal, P. D., & Winikoff, B. (2019). Postpartum
Hemorrhage: New Insights for Definition and Diagnosis. Obstetric Anesthesia
Digest, 39(2), 67–67. https://doi.org/10.1097/01.aoa.0000557648.35006.16
Evensen, A., & Anderson, J. M. (2017). Postpartum Hemorrhage: Prevention and
Treatment (Vol. 95). http://online.lexi.com/action/home
Gumilar, K. E., Andriya, R., Mulawardhana, P., Laksamana, M. A., & Akbar, M. I.
(2018). Perdarahan Pasca Persalinan. In Gawat Darurat Medis Bedah.
https://www.researchgate.net/publication/326694371
Lier, H., von Heymann, C., Korte, W., & Schlembach, D. (2018). Peripartum
Haemorrhage: Haemostatic Aspects of the New German PPH Guideline. In
Transfusion Medicine and Hemotherapy (Vol. 45, Issue 2, pp. 127–135). S.
Karger AG. https://doi.org/10.1159/000478106
Oyelese, Y., & Ananth, C. v. (2010). Postpartum Hemorrhage: Epidemiology, Risk
Factors, and Causes. www.clinicalobgyn.com
PNPK. (2016). PERDARAHAN PASCA-SALIN.
Sarwono. (2011). Ilmu Kandungan (M. Anwar, A. Baziad, & P. Prabowo, Eds.; 3rd
ed.). Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Simanjuntak, L. (2020). PERDARAHAN POSTPARTUM (PERDARAHAN
PASKASALIN). In Jurnal Visi Eksakta (JVIEKS) (Vol. 1, Issue 1).
Watkins, E. J., & Stem, K. (2020). Postpartum hemorrhage. Journal of the American
Academy of Physician Assistants, 33(4), 29–33.
https://doi.org/10.1097/01.JAA.0000657164.11635.93
 

Anda mungkin juga menyukai