Anda di halaman 1dari 12

PENGGUNAKAN KONDOM KATETER

PADA PENANGANAN PERDARAHAN POSTPARTUM


Adjar Wibowo
Divisi Fetomaternal
Departemen Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran Unlam/RSUD ulin Banjarmasin

PENDAHULUAN
Perdarahan pasca persalinan ( Postpartum Hemorrhage = PPH ) sampai saat ini masih merupakan
penyebab utama morbiditas dan mortalitas maternal baik di Negara maju maupun di Negara
berkembang.Kelahiran bayi adalah suatu proses normal, tetapi adakalanya ditemui kejadian
morbiditas dan mortalitas maternal yang berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi pada kala
ketiga persalinan. Kematian maternal adalah suatu tragedi dan merupakan kerugian besar bagi
masyarakat dan suatu bangsa. Sekitar setengah juta wanita mati tiap tahun akibat proses kelahiran
bayi dan kehamilan. Sekitar seperempat di antara mereka mengalami komplikasi yang terjadi pada
kala ketiga persalinan. Di Inggris risiko kematian maternal akibat postpartum hemorrhage adalah satu
per 100.000 kelahiran, sedangkan di negara berkembang adalah satu per 1000 kelahiran. Di Malaysia
dari tahun 1995-1996 menunjukkan bahwa postpartum hemorrhage sebagai penyebab utama dari
kematian maternal. Kala ketiga persalinan digambarkan sebagai suatu proses berlanjut yang mulai
dengan lahirnya janin dan berakhir dengan lahirnya plasenta. Umumnya sekitar 5 sampai 10 beberapa
menit, tetapi tidak sampai melebihi dari 30 menit.
Angka kematian maternal ( Maternal Mortality Rate = MMR ) di Amerika Serikat pada tahun 1995
sebanyak 7,1/100.000 kelahiran hidup. Penyebab terbanyak dari MMR tersebut adalah perdarahan,
emboli, hipertensi dalam kehamilan, kardiomiopati serta karena komplikasi anastesi. Sedang di
Amerika Tengah, yaitu di Meksiko dan sekitarnya, MMR terrendah adalah di Kostarika sebanyak
29/100.000dan tertinggi di Guatemala yaitu 190/100.000. Penyebab kematian terbanyak juga adalah
perdarahan. Sedang di Asia Tenggara Negara kita masih menduduki angka tertinggi yaitu sebanyak
307/100.000 ( SDKI tahun 1998-2002 ), penyebab kematian tertinggi juga sama, yaitu perdarahan
( 28% ) disusul Preeklamsia-eklamsia dan infeksi masing-masing sebanyak 13% dan 10%. Secara
keseluruhan di seluruh dunia ini kematian maternal sebanyak 600.000 pertahun dan yang disebabkan
oleh PPH sebanyak 125.000 wanita pertahun.
Penanganan ada dua bagian, yaitu suportif dengan perbaikan keadaan umum, penambahan cairan,
darah serta komponen-komponennya. Yang kedua adalah penanganan kausatif, yaitu melakukan
identifikasi penyebab perdarahan dan usaha untuk menghentikannya. Ada beberapa cara untuk
menghentikan perdarahan yaitu, pertama: pemberian uterotonika dengan oksitosin, metil ergometrin
atau prostaglandin. Kedua: hemostasis secara mekanis dengan manual atau digital plasenta, kuret sisa
plasenta, kompresi manual ataupun packing. Ketiga: dengan cara pembedahan, yaitu penjahitan
laserasi, ligasi pembuluh darah ataupun dilakukan histerektomi.
PATOFISIOLOGI PPH
Perdarahan postpartum / Postpartum Hemorrhage ( PPH ) terjadi karena adanya perdarahan yang
banyak yang pada umumnya berasal dari tempat implantasi plasenta atau adanya laserasi jalan
lahir.Penyebab PPH terbanyak adalah atonia uteri, kelainan imlantasi plasenta dan laserasi jalan lahir.
Pada PPH yang penting adalah menentukan etiologinya dan memberikan penanganan yang sesuai.

Walaupun pengetahuan tentang penyebab perdarahan pasca persalinan telah banyak diketahui dan
darah sudah banyak tersedia tetapi kematian yang disebabkan oleh PPH ini masih menduduki tempat
yang tinggi baik di Negara maju maupun di Negara-negara berkembang.
PPH dapat terjadi langsung yang disebut PPH primer / dini dan dapat pula terjadi setelah 24 jam
kemudian yang disebut PPH sekunder / lambat. Definisi PPH tergantung dari jenis persalinan yang
terjadi. Pada persalinan pervaginam, PPH didefinisikan sebagai terjadinya perdarahan > 500 cc,
sedangkan pada seksio sesarea sebanyak > 1000 cc. PPH seringkali tidak dilaporkan, karena penilaian
jumlah perdarahan cenderung under-estimated, terutama bila keadaan ibu pasca salin dalam keadaan
baik. Karena sukar untuk menilai berapa banyak insidens PPH yang sebenarnya, American College of
Obstetricians and Gynecologist yaitu menetapkan kriteria penurunan > 10% dari kadar hematokrit
sebelum dan sesudah persalinan. secara garis besar PPH mengenai 4 6% dari seluruh persalinan.
Dengan adanya peningkatan jumlah volume plasma dan sel darah merah yang meningkat pada wanita
hamil ( 30 50% ) serta adanya peningkatan cardiac output, maka dibandingkan wanita tidak hamil,
wanita hamil lebih mudah berkompensasi terhadap adanya perdarahan dengan cara meningkatkan
tahanan vaskuler perifer sehingga tekanan darah tidak menurun dan dapat menjamin kelancaran
perfusi organ. Baru setelah kemampuan peningkatan vaskuler terlampaui maka terjadilah penurunan
tekanan darah, cardiac output dan perfusi organ sehingga menimbulkan gejala klinis dari PPH.
Mekanisme penghentian perdarahan pasca persalinan berbeda dengan tempat lain dimana faktor
vasospasme dan pembekuan darah sangat penting, pada perdarahan pasca persalinan penghentian
perdarahan pada bekas implantasi plasenta terutama karena adanya kontraksi dan retraksi miometrium
sehingga menyempitkan dan membuntu lumen pembuluh darah. Adanya sisa plasenta atau bekuan
darah dalam jumlah yang banyak dapat mengganggu efektivitas kontraksi dan retraksi miometrium
sehingga dapat menyebabkan perdarahan tidak berhenti. Kontraksi dan retraksi miometrium yang
kurang baik dapat mengakibatkan perdarahan walaupun sistem pembekuan darahnya normal,
sebaliknya walaupun sistem pembekuan darah abnormal asalkan kontraksi dan retraksi miometrium
baik akan menghentikan perdarahan.
FAKTOR PREDISPOSISI
PERDARAHAN DARI TEMPAT IMPLANTASI PLASENTA
KONTRAKSI HIPOTONIK = ATONIA UTERI
Obat-obat anastesi
Uterus overdistensi janin besar, hamil multiple, hidramnion
Persalinan lama
Persalinan terlalu cepat
Setelah induksi / akselerasi persalinan
Multi-Paritas
Riwayat HPP
TERTINGGALNYA JARINGAN PLASENTA
Adanya sisa kotiledon atau adanya lobus suksenturiata
Kelainan implantasi akreta, inkreta, perkreta
PERDARAHAN JALAN LAHIR
Episiotomi yang lebar atau meluas ( ekstensi )
Laserasi perineum, vagina, atau serviks
Ruptura uteri
GANGGUAN KOAGULASI

KLASIFIKASI PPH DAN RESPONS YANG TERJADI9


KELAS
1
2
3

JUMLAH
900 cc
1200 1500 cc
1800 2100 cc

% LOST
15
20 - 25
30 - 35

> 2400 cc

40

RESPONS
asimtomatik
Takikardi, takipnea, hipotensi ortostatik
Takikardi dan takipnea, hipotensi, ekstremitas
dingin
Syok, oliguria / anuria

Atonia uteri merupakan penyebab PPH yang terbanyak. Walau tanpa ada faktor predisposisi, atonia
uteri dapat terjadi pula pada setiap persalinan, sehingga perlu selalu dilakukan observasi dan monitor
kontraksi uterus pasca persalinan. Diagnosis atonia uteri dapat dibedakan secara cepat dari laserasi
jalan lahir berdasarkan kontraksi uterusnya, bila kontraksi baik perdarahan banyak maka
kemungkinan besar ada laserasi jalan lahir, sedang bila kontraksi kurang baik maka atonia uteri.
Atonia uteri dapat pula bersamaan laserasi jalan yang merupakan penyebabnya, sehingga pemeriksaan
jalan lahir, yaitu vagina, serviks dan uterus harus dikerjakan pada setiap PPH.

PENANGANAN PPH
Tujuan utama penanganan PPH adalah (1) mengembalikan volume darah dan mempertahankan
oksigenasi (2) menghentikan perdarahan dengan menangani penyebab PPH. Idealnya stabilisasi
dilakukan lebih dulu sebelum tindakan definitif dikerjakan, tetapi hal ini kadang-kadang tidak
mungkin dikerjakan sendiri-sendiri melainkan seringkali dikerjakan perbaikan keadaan umum
( resusitasi ) sambil dilakukan tindakan untuk menghentikan perdarahan tersebut.
Pada saat awal resusitasi cairan juga diambil sample darahnya untuk diperiksakan laboratorium
sederhana dahulu, yaitu paling tidak kadar Hemoglobin, Hematokrit, Lekosit, Trombosit, Faal
Pembeku Darah atau dikerjakan pemeriksaan Waktu Pembekuan Darah dan Waktu Perdarahan secara
langsung.
Oleh karena penyebab PPH terbanyak adalah karena atonia uteri, maka langkah pertama dari
penanganannya adalah dengan pemijatan uterus, kompresi bimanual, tampon utero-vaginal, sementara
obat uterotonika tetap diberikan. Bila penanganan dengan non operatif ini tidak berhasil baru
dilakukan penanganan secara operatif secara laparotomi pemakaian metode B-Lynch, pengikatan
Arteri Uterina, Ovarika atau Hipogastrika ( Iliaka Interna ). Bila dengan cara ini juga belum berhasil
menghentikan perdarahan, dilakukan Histerektomi.
Pemberian tampon ( packing ) uterovagina dengan kassa gulung dapat merugikan karena memerlukan
waktu untuk pemasangannya, dapat menyebabkan perdarahan yang tersembunyi atau bila ada
perembesan berarti banyak darah yang sudah terserab di tampon tersebut sebelumnya dan dapat
menyebabkan infeksi. Tetapi dapat pula menguntungkan bila dengan tampon tersebut perdarahan bisa
berhenti sehingga tidak diperlukan tindakan operatif atau tampon digunakan untuk menurunkan
perdarahan sementara sambil menunggu penanganan operatif. Alternatif dari pemberian tampon selain
dengan kassa, juga dipakai beberapa cara yaitu : dengan menggunakan Sengstaken-Blakemore tube,
Rusch urologic hydrostatic balloon catheter ( Folley catheter ) atau SOS Bakri tamponade balloon
catheter.
Pada tahun 2003 Sayeba Akhter dkk mengajukan alternatif baru dengan pemasangan kondom yang
diikatkan pada kateter. Dari penelitiannya disebutkan angka keberhasilannya 100% ( 23 berhasil dari
23PPH ), kondom dilepas 24 48 jam kemudian dan tidak didapatkan komplikasi yang berat. Indikasi
pemasangan kondom sebagai tampon tersebut adalah untuk PPH dengan penyebab Atonia Uteri. Cara

ini kemudian disebut dengan Metode Sayeba. Metode ini digunakan sebagai alternatif penanganan
HPP terutama sambil menunggu perbaikan keadaan umum, atau rujukan.
Cara pemasangan tampon kondom menurut Metode Sayeba adalah secara aseptik kondom yang telah
diikatkan pada kateter dimasukkan kedalam cavum uteri. Kondom diisi dengan cairan garam
fisiologis sebanyak 250-500 cc sesuai kebutuhan. Dilakukan observasi perdarahan dan pengisian
kondom dihentikan ketika perdarahan sudah berkurang. Untuk menjaga kondom agar tetap di cavum
uteri, dipasang tampon kasa gulung di vagina. Bila perdarahan berlanjut tampon kassa akan basah dan
darah keluar dari introitus vagina. Kontraktilitas uterus dijaga dengan pemberian drip oksitosin paling
tidak sampai dengan 6 jam kemudian. Diberikan antibiotika tripel, Amoksisilin, Metronidazol dan
Gentamisin. Kondom kateter dilepas 24 48 jam kemudian, pada kasus dengan perdarahan berat
kondom dapat dipertahankan lebih lama.

CARA PEMASANGAN KONDOM KATETER


1. Pengertian
Alat drainase urine eksternal yang mudah digunakan dan aman untuk mengalirkan urine pada klien
2. Tujuan
a. Mengumpulkan urine dan mengontrol urine inkontinen
b. Klien dapat melakukan aktifitas fisik tanpa harus merasa malu karena adanya kebocoran urine
(ngompol)
c. Mencegah iritasi pada kulit akibat urine inkontinen

a. Persiapan pasien
1) Mengucapkan salam terapeutik
2) Memperkenalkan diri
3) Menjelaskan pada klien dan keluarga tentang prosedur dan tujuan tindakan yang akan
dilaksanakan.
4) Penjelasan yang disampaikan dimengerti klien/keluarganya
5) Selama komunikasi digunakan bahasa yang jelas, sistematis serta tidak mengancam.
6) Klien/keluarga diberi kesempatan bertanya untuk klarifikasi
7) Privacy klien selama komunikasi dihargai.
8) Memperlihatkan kesabaran , penuh empati, sopan, dan perhatian serta respek selama
berkomunikasi dan melakukan tindakan
9) Membuat kontrak (waktu, tempat dan tindakan yang akan dilakukan)
b. Persiapan alat
1) Selaput kondom kateter
2) Strip elastic
3) Kantung penampung urine dengan selang drainase
4) Baskom dengan air hangat dan sabun
5) Handuk dan waslap
6) Selimut mandi
7) Sarung tangan
8) Gunting

4. Prosedur
a. Cuci tangan
b. Tutup pintu atau tirai samping tempat tidur
c. Jelaskan prosedur pada klien
d. Gunakan sarung tangan
e. Bantu klien pada posisi terlentang. Letakkan selimut diatas bagian tubuh bagian atas dan tutup
ekstremitas bawahnya dengan selimut mandi sehingga hanya genitalia yang terpajan
f. Bersihkan genitalia dengan sabun dan air, keringkan secara menyeluruh
g. Siapkan drainase kantong urine dengan menggantungkannya ke rangka tempat tidur.
h. Dengan tangan nonn dominan genggam penis klien dengan kuat sepanjang batangnya. Dengan
tangan dominan, pegang kantung kondom pada ujung penis dan dengan perlahan pasangkan pada
ujung penis
i. Sisakan 2,5 sampai 5 cm ruang antara glands penis dan ujung kondom
j. Lilitkan batang penis dengan perekat elastic.
k. Hubungkan selang drainase pada ujung kondom kateter
l. Posisikan klien pada posisi yang aman
m. Pasien dirapihkan kembali
n. Alat dirapihkan kembali
o. Mencuci tangan
p. Melaksanakan dokumentasi :
1) Catat tindakan yang dilakukan dan hasil serta respon klien pada lembar catatan klien
2) Catat tgl dan jam melakukan tindakan dan nama perawat yang melakukan dan tanda tangan/paraf
pada lembar catatan klien

MgSO4
Pada tahun 1955, Pritchard memulai sesuatu regimen terapi terstandarisasi di Parkland
Hospital, dan regimen ini digunakan hingga tahun 1999 untuk menangani lebih dari 400 wanita
dengan eklampsia. Hasil pengobatan 245 kasus eklampsia yang dianalisis dengan cermat ini
dilaporkan oleh Pritchard (1984). Sebagian besar regimen eklampsia yang digunakan di Amerika
Serikat menerapkan filosofi yang sama, prinsip-prinsipnya mencakup:
1. Pengendalian kejang dengan magnesium sulfat intravena dosis bolus. Terapi magnesium
sulfat ini dilanjutkan dengan infus kontinu atau dosis bolus intramuskular dan diikuti oleh
suntikan intramuskular berkala.
2. Pemberian obat antihipertensi oral atau intravena intermiten untuk menurunkan tekanan
darah apabila tekanan diastolik dianggap terlalu tinggi dan berbahaya. Sebagian dokter
mengobati pada saat tekanan diastolik mencapai 100 mmHg, sebagian pada 105 mmHg
dan sebagian lagi pada 110 mmHg.
3. menghindari diuretik dan pembatasan pemberian cairan intravena, kecuali apabila
pengeluaran cairan berlebihan. Zat-zat hiperosmotik dihindari.
4. Pelahiran
Pada kasus preeklampsia yang berat serta pada eklampsia, magnesium yang diberikan secara
parenteral adalah obat anti kejang yang efektif tanpa menimbulkan depresi susunan saraf pusat baik
pada ibu maupun janinnya. Obat ini dapat diberikan secara intravena melalui infus kontinu atau
intramuskuler dengan injeksi intermitten. Jadwal dosis untuk preeklampsia berat sama seperti untuk
eklampsia. Karena persalinan dan pelahiran merupakan saat kemungkinan besar terjadinya kejang,

wanita dengan preeklampsia-eklampsia biasanya diberi magnesium sulfat selama persalinan dan
selama 24 jam postpartum. Magnesium sulfat tidak diberikan untuk mengobati hipertensi. (1)
Berdasarkan sejumlah studi serta pengamatan klinis yang luas, magnesium sulfat
kemungkinan besar memiliki efek anti kejang spesifik pada korteks serebri. Biasanya ibu berhenti
kejang setelah pemberian awal magnesium sulfat dan dalam 1 sampai 2 jam akan sadar dan pulih
orientasinya tentang tempat dan waktu. (1)
Magnesium merupakan unsur penting dalam banyak sistem enzim, khususnya yang terlibat
dalam pembentukan energi, cadangan terbesar dalam skelet. Garam magnesium tidak diserap baik dari
saluran cerna, hal ini menjelaskan kegunaan magnesium sulfat sebagai laksatif osmotik, bermanfaat
bila diperlukan pengosongan usus yang cepat. Sebagai laksatif osmotik, magnesium sulfat merupakan
garam-garam anorganik dari ion-ion divalent, senyawa polialkohol dan disakarida ini berkhasiat
mencahar berdasarkan lambat absorbsinya oleh usus, sehingga menarik air dari luar usus melalui
dinding ke dalam usus oleh proses osmosa.
Pencahar osmotik bekerja dengan cara menahan cairan dalam usus secara osmosis atau
dengan mengubah penyebaran air dalam tinja. Magnesium diekskresi sebagian besar melalui ginjal
dan karena itu tertahan bila terdapat gagal ginjal walaupun hipermagnesemia (menyebabkan
kelemahan otot dan aritmia) jarang terjadi.
Hipomagnesemia. Karena magnesium dibuang dalam jumlah besar melalui cairan usus,
kehilangan besar dalam diare, stoma, atau fistula merupakan penyebab paling sering dar
hipomagnesemia, defisiensi dapat pula timbul pada alkoholisme atau terapi deuretik dan pernah
dilaporkan setelah pengobatan lama dengan aminoglikosid. Hipomagnesemia sering menyebabkan
hipokal-semia sekunder dan juga hipokalemia dan hiponatremia.
Hipomagnesemia simtomatik dihubungkan dengan deficit 0.5-1 mmol/kg, mungkin
diperlukan sampai 160 mmol Mg 2+ selama 5 hari untukmenutup deficit (memungkinkan pengeluaran
melalui urin). Magnesium diberikan dosis awal secara infuse intravena atau injeksi intramuskuler.
Kadar magnesium plasma harus diukur untuk menenukan kecepatan dan lama infuse, dan dosis harus
diturunkan pada kerusakan ginjal.untuk mencegah berulangnya deficit, magnesium dapat diberikan
melalui mulut dengan dosis 24 mmol Mg 2+ tiap hari dalam dosis terbagi, sediaan yang sesuai adalah
tablet magnesium gliserofosfat (tidak dipasarkan). Untuk pemeliharaan (misalnya pada nutrisi
intravena) dosis parenteral magnesium adalah 10-20 mmol Mg 2+ sehari (lazimnya sekitar 12 mmol
Mg 2+ tiap hari).
Magnesium Sulfat menunjukkan peran besar dalam eklamsia untuk mencegah kejang
berulang. Cara pengobatan di Inggris beragam antar rumah sakit tetapi selalu diawali pemberian
intravena magnesium sulfat 4 gram (kira-kira 16 mmol Mg 2+) dalam 20 menit disusul dengan infuse
intavena dengan kecepatan 1 gram (kira-kira 4 mmol Mg 2+) tiap jam. Berulangnya kejang mungkin
memerlukan bolus intravena tambahan 2-4 gram (kira-kira 8-16 mmol Mg 2+). Monitoring EKG
dilaksanakan, demikian juga pengawasan tekanan darah dan pengawasan tanda klinis overdosis
(hilangnya reflek patella, lemah, mual, rasa panas, flushing, mengantuk, pandangan ganda,
dan slurred speech, injeksi kalsium glukonat digunakan pada manajemen toksisitas magnesium). Juga
perlu untuk memantau detak jantung fetus terus-menerus.
Magnesium sulfat ; garam Inggeris ; mekanisme kerjanya didalam usus berdasarkan
penarikan air (osmosis) dari bahan makanan karena tigaperempat dari dosis oral tidak
diserap. Resorpsi, antara 15-30% dari dosis diserap oleh usus, yang dapat mengakibatkan kadar
magnesium darah terlampau tinggi, khususnya jika fungsi ginjal kurang baik. Oleh karena itu,
magnesium sulfat hendaknya jangan digunakan untuk waktu yang lama. Mulai kerjanya setelah 1-3
jam. Boleh digunakan selama kehamilan, akan tetapi masuk ke air susu ibu
Obat ini bekerja sebagai vasodilator serebral dan stabilisator membran, mengurangi iskemia
dan kerusakan neuron yang mungkin terjadi. Obat ini juga bisa bekerja sebagai anti konvulsan sentral

yang memblok reseptor N-methyl-D-aspartat. Magnesium sulfat mempunyai jangkauan terapi yang
luas dan monitoring klinis cukup dengan mengobservasi frekuensi pernapasan, saturasi PO2 (pulse
oximetry ) dan reflek perifer. Monitoring ketat kadarnya dalam serum penting khususnya jika ada
penurunan ekskresi ginjal, karena kelebihan magnesium sulfat bisa menyebabkan depresi pernafasan
berat dan bahkan kegagalan fungsi kardio respirasi untungnya ada antidotum kalsium glukonate yang
bekerja cepat.
Penggunaan rutin magnesium sulfat sebagai profilaksi pada semua wanita dengan
preeklamsia masih dipertanyakan. Meskipun demikian jika keputusan dibuat untuk menerapi wanita
tersebut sebagai profilaksi selama persalinan magnesium sulfat adalah terapi ideal, terlebih lagi pada
uji terbaru dengan skala yang lebih besar, magnesium sulfat lebih baik daripada phenitoin dan
diazepam untuk terapi prevensi kejang berulang pada wanita eklamsia, semua wanita dengan eklamsia
harus mendapat magnesium sulfat selama persalinan dan minimal 24 jam postpartum.
Magnesium sulfat selain dipakai untuk mencegah kejang dapat dipakai untuk mengatasi
kejang dan menyebabkan terjadinya vasodilatasi uterus, efek lainnya adalah vasodilatasi pembuluh
darah sehingga dapat menyebabkan penurunan tekanan darah sementara dan diikuti oleh kenaikan
nadi. Dalam hal ini magnesium sulfat tidak dipakai sebagai anti hipertensi tetapi sebagai vasodilatasi
dari uterus. Dosis yang besar dapat mengakibatkan gangguan dari kontraksi uterus.
DOSIS PEMBERIAN MAGNESIUM SULFAT
Infus intravena kontinu
1. Berikan dosis bolus 4 6 gram magnesium sulfat yang diencerkan dalam 100 ml cairan IV
dan diberikan dalam 15 20 menit
2. Mulai infus rumatan dengan dosis 2 gram/ jam dalam 100 ml cairan IV
3. Ukur kadar magnesium sulfat pada 4 6 jam setelahnya dan sesuaikan kecepatan infus
untuk mempertahankan kadar antara 4 dan 7 mEq/ l (4,8 8,4 mg/ dl)
4. Magnesium sulfat dihentikan 24 jam setelah bayi lahir
Injeksi Intramuskular Intermiten
1. Berikan 4 gram magnesiun sulfat (MgSO47H2O USP) sebagai larutan 20% secara intravena
denagn kecepatan tidak melebihi 1 gram/ menit
2. Lanjutkan segera dengan 10 gram larutan magnesium sulfat 50%, separuhnya (5g)
disuntikkan dalam-dalam di kuadran lateral atas bokong dengan jarum ukuran 20
sepanjang 3 inci (penambahan 1 ml lidokain 2% dapat mengurangi nyeri). Apabila kejang
menetap setelah 15 menit, berikan magnesium sulfat sampai 2 gram dalam bentuk larutan
20% secara intravena dengan kecepatan tidak melebihi 1 gram/ menit. Apabila wanita
yang bersangkutan bertubuh besar, magnesium sulfat dapat diberikan sampai 4 gram
secara perlahan-lahan
3. Setiap 4 jam sesudahnya berikan 5 gram larutan magnesium sulfat 50% yang disuntikkan
dalam-dalam ke kuadran lateral atas bokong bergantian kiri-kanan, tetapi hanya setelah
dipastikan bahwa:
a. refleks patella masih baik
b. tidak terdapat depresi pernafasan
c. pengeluaran urin selama 4 jam sebelumnya melebihi 100 ml
d. tersedia antidotum yakni glukonas calcicus
4. Magnesium sulfat dihentikan 24 jam setelah pelahiran
Stop pemberian MgSO4, jika
- frekuensi pernapasan <>
- Refleks patella (-) sampai menghilang pada kadar plasma 8-10 mEq/L
- Urine <>
- Kejang hampir selalu dapat diatasi bila kadar MgSO4 plasma dipertahankan 4-7 mEq/L

- Lethal dose adalah kadar MgSO4 lebih dari 20 mEq/L


FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI
Magnesium sulfat USP adalah MgSO 47H2O dan bukan MgSO4. Magnesium yang diberikan
secara parenteral dikeluarkan hampir seluruhnya melalui ekskresi ginjal dan intoksikasi magnesium
dapat dihindari dengan memastikan bahwa pengeluaran urin memadai, refleks patella atau biseps
positif dan tidak ada depresi pernafasan. Kejang eklampsia ha,pir selalu dapat dicegah apabila kadar
magnesium plasma dipertahankan pada 4 7 mEq/ l (4,8 8,4 mg/ dl atau 2,0 3,5 mmol/ l). (1)
GANGGUAN FUNGSI GINJAL
Karena magnesium hampir seluruhnya dibersihkan melalui ekskresi ginjal, dengan
menggunakan dosis yang sudah dijelaskan, konsentrasi magnesium plasma akan berlebihan apabila
filtrasi glomerulurus berkurang secara nyata. Dosis standar awal magnesium sulfat dapat dengan aman
diberikan tanpa mengetahui fungsi ginjal. Setelah itu, fungsi ginjal dapat diperkirakan dengan
mengukur bersihan kreatinin, dan apabila nilainya 1,3 mg/ dl atau lebih maka hanya diberikan dosis
magnesium sulfat separuh dari dosis rumatan magnesium sulfat intramuskular yang diuraikan
sebelumnya. (1)
Dengan dosis untuk gangguan ginjal ini, kadar magnesium plasma biasanya berada dalam
rentang yang diinginkan yaitu 4 -7 mEq/ l. Apabila magnesium sulfat diberikan secara intravena
dengan infus kontinu, kadar magnesium serum digunakan untuk menyesuaikan kecepatan infus. Pada
kedua metode, apabila terjadi insufisensi ginjal, kadar magnesium plasma harus diperiksa secara
berkala. (1)
EFEK KARDIOVASKULAR
Efek akut ion magnesium parenteral pada wanita dengan PEB telah diteliti oleh Cotton (1986)
yang memperoleh data dengan menggunakan kateterisasi arteria radialis dan pulmonalis. Setelah
pemberian dosis 4 gram secara intravena dalam 15 menit, rerata tekanan darah arteri sedikit menurun,
dan hal ini disertai peningkatan indeks kardiak sebesar 13%. Dengan demikian magnesium
menurunkan resistensi vaskular sistemik serta tekanan arteri rata-rata (MAP) dan pada saat yang sama
meningkatkan curah jantung tanpa tanda-tanda depresi miokard. Temuan-temuan ini terjadi
bersamaan dengan flushing (kulit memerah) dan mual transien. Efek kardiovaskular hanya
berlangsung selama 15 menit walaupun infus magnesium terus diberikan dengan kecepatan 1,5 gram
perjam. (1)
Thurnau (1987) memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan kecil, tetapi sangat bermakna,
konsentrasi magnesium cairan serebrospinal setelah terapi magnesium untuk preeklampsia. Besarnya
peningkatan ini berbanding lurus dengan konsentrasi serum. Peningkatan ini tidak dapat disebabkan
oleh penyakit itu sendiri karena kadar magnsium cairan serebrospinal tidak berubah pada wanita
preeklampsia berat yang tidak diobati apabila dibandingkan dengan kontrol normotensif. (1)
Lipton dan Rosenberg (1994) memperkirakan bahwa efek anti kejang disebabkan oleh
blokade influks kalsium neuron melalui saluran glutamat. Cotton (1992) memicu aktivitas kejang di
regio hipokampus tikus karena hipokampus adalah regio ambang kejang yang rendah dan kepadatan
reseptor N-metil-D-aspartat yang tinggi. Reseptor-reseptor ini dikaitkan dengan berbagai model
epilepsi. Karena kejang hipokampus dapat dihambat oleh magnesium, diperkirakan bahwa resptor Nmetil-D-aspartat berperan dalam kejang eklampsia. Yang penting, hasil-hasil seperti ini
mengisyaratkan bahwa magnesium memiliki efek susunan saraf pusat dalam menghambat kejang. (1)
EFEK PADA UTERUS
Ion-ion magnesium dalam konsentrasi yang relatif tinggi akan menekan kontraktilitas
miometrium, baik in vivo maupun in vitro. Dengan regimen seperti yang telah dijelaskan dan kadar
plasma yang ditimbulkannya, belum pernah dijumpai bukti-bukti depresi miometrium selain
penurunan aktivitas transien selama dan segera setelah dosis bolus intravena awal. Leveno (1998)
meneliti hasil akhir persalinan dengan pemberian magnesium sulfat dan pemberian fenitoin untuk

penanganan preeklampsia, mendapat hasil bahwa magnesium sulfat tidak secara bermakna mengubah
stimulasi persalinan oleh oksitosis, interval rawat inap sampai janin keluar, dan rute pelahiran. Hasil
serupa juga dilaporkan oleh peneliti lain (Atkinson, 1995 ; Szal, 1999 ; Witlin, 1997). (1)
Mekanisme bagaimana magnesium dpaat menghambat kontraktilitas uterus masih belum
dikethaui, tetapi secara umum dianggap bahwa hal ini disebabkan oleh efek megnesium terhdap
kalsium intraselular ular (Watt-Morse, 1995). Jalur regulatorik yang mengarah pada kontraksi
Ca2+ bebas intrasel ular, yang mengaktifkan rantai pendek miosin kinase (Mizuki, 1993). Konsentrasi
magnesium ekstraselular yang tinggi dilaporkan tidak saja menghambat masuknya kalsium ke dalam
sel miometrium tetapi juga menyebabkan kadar magnesium intrasel ular meningkat.
Peningkatan kadar magnesium intraselular ini dilaporkan dapat menghambat masuknya
kalsium ke dalam sel mungkin dengan menyekat saluran kalsium (Mizuki, 1993). Mekanisme ihibisi
kontraktilitas uterus ini tampaknya bergantung pada dosis karena untuk menghambat kontraksi uterus
diperlukan kadar magnesium serum minimal 8 sampai 10 mEq/ l (Watt-Morse, 1995). Hal ini
mungkin menjelaskan mengapa secara klinis tidak tampak efek pada uterus apabila magnesium sulfat
diberikan untuk terapi atau profilaksi eklampsia. Secara spesifik, megnesium sulfat apabila diberikan
secara intravena atau intramuskular untuk preeklampsia atau eklampsia, menghasilkan kadar yang
secara konsisten di bawah 8 10 mEq/ l sehingga tidak terjadi hambatan kontraktilitas uterus. (1)
EFEK PADA JANIN
Bayi baru lahir ibu yang mendapat pengobatan magnesium sulfat kemungkinan akan
mengalami hipermagnesemia dengan gejala gagal napas, refleks yang menurun dan gejala perut
kembung (akibat hipermagnesemia menekan fungsi otot polos usus sehingga menyebabkan ileus).
Oleh sebab itu pada bayi baru lahir tersebut sejak menit pertama sampai 1 jam setelah lahir harus
diamati :
1. Tangis, apakah menangis lemah atau tidak ada tangisan
2. Refleks, apakah lemah atau menurun
3. Pernapasan, apakah perlu dilakukan resusitasi atau perlu bantuan pernapasan dengan alat
resusitasi
Magnesium yang diberikan secara parenteral kepada ibu dengan cepat menembus plasenta
untuk mencapai keseimbangan di serum janin dalam derajat yang lebih ringan di cairan amnion
(Hallak, 1993). Neonatus dapat mengalami depresi hanya apbila terjadi hipermagnesemia yang parah
saat lahir. Belum pernah dijumpai gangguan neonatus pada terapi dengan meagnesium sulfat
(Cunningham dan Pritchard, 1984). Apakah magnesium sulfat mempengaruhi pola frekuensi denyut
jantung janin, terutama variabilitas denyut demi denyut masih diperdebatkan. Dalam sebuah
penelitian acak yang membandingkan infus magnesium sulfat dengan infus salin, mendapatkan bahwa
magnesium sulfat berkaitan dengan penuruanan sedikit yang secara klinis tidak bermakna dalam
variabilitas frekuensi denyut jantung janin.
Sebagian penulis menyatakan adanya kemungkinan efek protektif magnesium sulfat terhadap
cerebral palsy pada janin dengan berat lahir sangat rendah. Murphy (1995) mendapatkan bahwa
preeklampsia yang bersifat protektif terhadap cerebral palsy, dan bukan magnesium sulfat. Namun
Kimberlin (1996) tidak memperoleh manfaat tokolisis dengan magnesium sulfat pada bayi yang lahir
dengan berat kurang dari 1000 gram.
PENGAWASAN PEMBERIAN MAGNESIUM SULFAT DAN TERMINASI KEHAMILAN
Disini ditekankan bahwa pemberian obat-obat disertai pengawasan terus menerus. Jumlah dan
waktu pemberian obat disesuaikan dengan keadaan penderita pada tiap-tiap jam demi keselamatannya
dan sedapat-dapatnya juga demi keselamatan janin dalam kandungan.
Sebelum diberikan obat penenang yang cukup, maka penderita preeklamsia harus dihindarkan dari
semua rangsangan yang dapat menimbulkan kejang, seperti keributan, injeksi atau pemeriksaan
dalam.

Penderita dirawat dalam kamar isolasi yang tenang, tekanan darah, nadi, pernafasan dicatat tiap 30
menit pada suatu kertas grafik suhu dicatat tiap jam. Bila penderita belum melahirkan, dilakukan
pemeriksaan obstetrik untuk mengetahui saat permulaaan atau kemajuaan persalinan. Untuk
melancarkan pengeluaran sekret dari jalan pernafasan pada penderita koma, penderita dibaringkan
dalam posisi terndelenberg dan selanjutnya dibalikkan kesisi kiri dan kanan tiap jam untuk
menghindari dekubitus. Alat penyedot disediakan untuk membersihkan jalan pernafasan, dan oksigen
diberikan pada sianosis. Dauer cathether di pasang untuk mengetahui diuresis dan untuk menentukan
protein dalam air kencing secara kuantitatif. Balans cairan harus diperhatikan dengan cermat.
Pemberian cairan disesuaikan dengan jumlah diuresis dan air yang hilang melalui kulit dan paru-paru
pada umumnya dalam 24 jam diberikan 2000 ml. Balans cairan dinilai dan disesuaikan tiap 6 jam.
Kalori yang adekuat diberikan untuk menghindarkan katabolismus jaringan dan asidosis. Pada
penderita koma atau kurang sadar pemberian kalori dilakukan dengan infuse dekstran, glukosa 10%,
atau larutan asam amino, separti amino fusion. Cairan yang terakhir ini mengandung kalori dan asam
amino.
Bila terjadi henti napas berikan antidotum yakni glukonas calcicus 1 g IV pelan pelan disertai
oksigenasi dan biasanya langkah ini sudah cukup untuk mengatasi depresi napas tersebut. Bila terjadi
henti napas (tidak pernah terjadi pada dosis terapi) lakukan pula intubasi dan ventilasi aktif.
Setelah kejang dapat diatasi dan keadaan umum penderita diperbaiki maka direncanakan untuk
mengakhiri kehamilan atau mempercepat persalinan dengan cara aman. Apakah pengakhiran
kehamilan dilakukan dengan seksio sesaria atau dengan induksi persalinan pervaginam, hal tersebut
tergantung dari berbagai faktor, seperti keadan serviks, komplikasi obstetrik, paritas, adanya ahli
anesthesia dan sebagainya.
Persalinan pervaginam merupakan cara yang paling baik bila dapat dilaksanakan secara cepat tanpa
banyak kesulitan. Pada eklamsia gravidarum perlu diadakan induksi dengan amniotomi dan infuse
pitosin, setelah penderita bebas dari serangan kejang selama 12 jam dan keadan serviks mengijinkan.
Tetapi bila serviks masih lancip dan tertutup terutama pada primigravida, kepala janin masih tinggi,
atau ada persangkaan disproporsi sefalopelviks, sebaiknya dilakukan seksio sesarea.
EFEKTIVITAS KLINIS TERAPI MAGNESIUM SULFAT
Pada abad ke 17 di Paris, eklampsia dihubungkan dengan 50% dari semua penyebab kematian
maternal. Pertama kali digunakan regimen Magnesium Sulfat adalah pada tahun 1929 di rumah sakit
Chicago Lying-In, dengan pemberian Magnesium Sulfat secara intramuskular berhasil menurunkan
angka kematian dari 36% menjadi 7%. Pasien-pasien dengan eklampsia di Amerika Serikat sejak
tahun 1955 hingga 1980, kematian maternal sedikit demi sedikit berhasil diturunkan dengan
menggunakan terapi ini. (10)
Lucas (1995) melaporkan hasil penelitiannya pada 2000 wanita dengan hipertensi di Parkland
Hospital dalam penggunaan magnesium lebih efektif apabila dibandingkan dengan fenitoin dalam
profilaksi kejang. Magnesium sulfat juga dilaporkan efektif sebagai profilaksi kejang eklampsia
apabila dibandingkan dengan diazepam dan fenitoin pada 1700 wanita yang dilakukan acak pada 23
pusat kesehatan di 8 negara. (10)
Penelitian yang dilakukan MAGPIE dengan membandingkan magnesium sulfat dan dengan
pemberian plasebo, berhasil mencegah terjadinya eklampsia lebih dari 50% dari 10.000 wanita yang
ikut serta. Selain itu juga mengurangi angtka kematian maternal lebih dari setengah, tetapi secara
statistik hasil tidak signifikan. (10)
Pada tahun 1995, dipublikasikan hasil-hasil dari uji klinis multinasional terapi eklamsia.
Studi the Eclampsia Trial Collaborative Group (1995) ini sebagian didanai oleh WHO
dikoordinasikan oleh the National Perinatal Epidemiology Unit di Oxford, Inggris. Studi ini
menyertakan 1687 wanita dengan eklampsia yang secara acak dibagi untuk mendapat regimen anti
kejang yang berlainan. Ukuran hasil akhir yang utama adalah kekambuhan kejang dan kematian ibu.

Pada satu penelitian, 453 wanita yang secara acak mendapat magnesium sulfat dibandingkan dengan
452 yang diberi diazepam. Pada penelitian lain, 388 wanita eklamptik secara acak mendapat
magnesium sulfat dan dibandingkan dengan 387 wanita yang diberi fenitoin.
Wanita yang mendapat terapi magnesium sulfat mengalami 50% penurunan insiden kejang
berulang dibandingkan dengan mereka yang mendapat diazepam. Kematian ibu menurun pada wanita
yang mendapat magnesium sulfat, namun walupun secara klinis mengagumkan, namun perbedaan ini
secara statistik tidak bermakna. Secara spesifik, terdapat 3,8 % kematian pada 453 wanita yang
mendapat magnesium sulfat diabndingkan dengan 5,1 % pada 452 yang mendapat diazepam.
Morbiditas maternal dan perinatal tidak berbeda di antara kedua kelompok dan tidak terdapat
perbedaan dalam jumlah induksi persalinan atau SC.
Pada perbandingan kedua, wanita yang secara acak mendapat magnesium sulfat dibandingkan
dengan yang mendapat fenitoin memperlihatkan penuruanan 67% dalam kejang berulang. Mortalitas
ibu di kelompok magnesium lebih rendah daripada di kelompok fenitoin (2,6 versus 5,2%).
Penurunan angka kematian ibu sebesar 50% yang mengesankan ini ternyata juga tidak bermakna
secara statistik.
Pada perbandingan lain, wanita yang mendapat terapi magnesium sulfat lebih kecil
kemungkinannya memerlukan ventilasi buatan, terjangkit pneumonia dan dirawat di ruang perawatan
intensif daripada mereka yang mendapat fenitoin. Neonatus dari wanita yang mendapat magnesium
sulfat secara bermakna lebih kecil kemungkinannya membutuhkan intubasi saat pelahiran dan dirawat
di ruang perawatan intensif dibandingkan neonatus yang lahir dari ibu yang mendapt fenitoin.
Infark cerebral dan perdarahan adalah salah satu sebab utama kematian karena preeklampsiaeklampsia. Sejak ditemukannya magnesium sulfat sebagai vasodilator cerebral, efek entieklampsi
bekerja dengan mengurangi iskemia dengan mengurangi vasospasme cerebral. Penelitian lain yang
membandingkan magnesium sulfat dengan vasodilator spesifik cerebral nimodipin, memberikan hasil
magnesium sulfat masih lebih efektif sebagai terapi profilaksi kejang pada preeklampsia berat. (11)
Pada pemberian nimodipine kejang terjadi pada 2,6% dari total pasien (819) sedang dengan
pemberian magnesium sulfat hanya 0,8% pasien (831) terjadi kejang. 12 dari 21 pasien pada
pemberian nimodipin mendapatkan kejang pada periode antepartum dan 9 pasien kejang postpartum.
Pasien yang mendapatkan profilaksi magnesium sulfat kejang terjadi pada saat antepartum, tidak ada
pasien yang mendapatkan kejang berulang post partum. (11)
Pasien dengan pemberian nimodipin dan mendapatkan terapi hydralazine lebih banyak terjadi
eklampsia apabila dibandingkan dengan magnesium sulfat yang disertai hydralazine juga (4% vs
1,1%). Pada pasien tanpa diberikan hydralazine, frekuensi terjadinya eklampsia pada pemberian
nimodipin saja lebih banyak daripada dengan pemberian magnesium sulfat (1,4 vs 0,5%). (11)
Dari penelitian-penelitian di atas dapat dibuktikan bahwa pemberian magnesium sulfat secara
parenteral secara signifikan dapat mencegah eklampsia. Perbedaan yang signifikan didapatkan pada
perbandingan kejang postpartum yang dapat dicegah dengan penggunaaan magnesium sulfat. Dengan
mengkaji penelitian dengan penggunaan magnesium sulfat dan nimodipin, teori yang menyebutkan
adanya vasospasme cerebral dan iskemia adalah sebab predominan eklampsia tidak dapat dibuktikan.
Karena dengan penggunaan nimodipin tidak terbukti lebih efektif dibandingkan dengan magnesium
sulfat. (11)
Penelitian yang dipublikasikan sebelumnya oleh Belfort (2002), menjelaskan adanya
perubahan hemodinamik cerebral pada pasien preeklampsia. Peningkatan tekanan perfusi cerebral
adalah penyebab kerusakan utama dibandingkan penurunan aliran darah cerebral. Peningkatan
tekanan perfusi cerebral adalah hasil dari barotrauma cerebral dan edema vasogenik. Nimodipin
memperlihatkan peningkatan tekanan perfusi cerebral pada pasien dengan preeklampsia, sedangkan
magnesium sulfat justru menurunkannya. (12)

Nimodipin kurang efektif dibandingkan dengan magnesium sulfat dalam mencegah kejang,
menjelaskan bahwa kejang pada pasien preeklampsia bukan disebabkan karena perdarahan yang
banyak dalam kaitannya dengan overperfusi (encephalopathy hipertensi) dan iskemi. Kejang yang
lebih banyak terjadi dengan terapi nimodipin akan menjelaskan bahwa dasar dari kerja nimodipin
mengurangi perlindungan vasokonstriksi dan memperburuk overperfusi. Efek ini bisa dibuktikan pada
periode postpartum dimana tingkat konstriktor yang dihasilkan plasenta akan menurun. (12)
KEUNTUNGAN PEMBERIAN MAGNESIUM SULFAT
o Cara pemberian mudah, sederhana, nyaman bagi pasien
o Relatif mudah diperoleh dan harganya pun relatif murah, sedangkan hasilnya cukup baik
o Pada kadar terapi, kesadaran pasien tidak terpengaruh meskipun Mg dapat melewati sawar
(barrier) plasenta, namun hampir tidak pernah mempengaruhi keadaan janin, kecuali terjadi
hipermagnesia (>15 mEq/L) pada saat kala II

Anda mungkin juga menyukai