Disusun oleh :
Muhammad Alfa Septiano Yunus
NIM : 1112103000034
Pembimbing :
Dr. Aditya Rangga Putra, Sp.OG
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat
rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan presentasi kasus dengan judul DISTOSIA
PK II
Presentasi ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam kepaniteraan
klinik di bagian Ilmu Kebidanan dan Kandungan RSUP Fatmawati.
Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu dalam penyusunan penyelesaian kasus ini, terutama
kepada :
1. Dr. Aditya Rangga Putra, Sp.OG(K) selaku pembimbing presentasi saya
dalam kasus ini
2. Semua dokter dan staf SMF Ilmu Kebidanan dan Kandungan RSUP
Fatmawati
3. Rekan-rekan Kepaniteraan Klinik Ilmu Kebidanan dan Kandungan RSUP
Fatmawati atas bantuan dan dukungannya.
Saya menyadari dalam pembuatan presentasi kasus ini masih banyak
terdapat kekurangan, oleh karena itu segala kritik dan saran guna penyempurnaan
presentasi kasus ini sangat saya harapkan.
Akhir kata, semoga presentasi kasus ini dapat bermanfaat bagi kita
semua,terutama dalam bidang Obstetri dan Ginekologi.
Jakarta, November 2016
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Distosia yang secara literatur berarti persalinan yang sulit, memiliki
karakteristik berupa kemajuan persalinan yang abnormal atau lambat. Persalinan
abnormal atau lambat biasanya terjadi ketika terdapat disproporsi antara ukuran
bagian terbawah janin dengan jalan lahir. Saat ini, presentasi kepala merupakan
indikasi yang paling umum untuk seksio sesarea primer. CPD (Cephalopelvic
Disproportion) merupakan istilah yang dipakai akibat dari panggul sempit, ukuran
kepala janin yang besar, atau lebih sering kombinasi keduanya. Hal tersebut dapat
mengakibatkan distosia selama persalinan. Panggul terdiri dari pintu atas panggul,
rongga panggul, dan pintu bawah panggul. Panggul sempit dapat terjadi di setiap
tingkat panggul tersebut dari pintu atas panggul sampai pintu bawah panggul. Maka
dari itu, pengukuran panggul pada setiap tingkat mulai dari pintu atas panggul,
rongga panggul, dan pintu bawah panggul dibutuhkan untuk menentukan CPD yang
dikombinasikan dengan evaluasi ukuran kepala janin. Panggul sempit disebut
sebagagi salah satu kendala dalam melahirkan secara normal karena menyebabkan
obstructed labor yang insidensinya adalah 1-33% dari persalinan.
Persalinan dengan panggul sempit dapat mengakibatkan dampak yang
berbahaya baik pada ibu maupun pada janin jika dibiarkan berlangsung lama.
Bahaya pada ibu dengan partus lama dapat berupa dehidrasi serta asidosis, dan
infeksi intrapartum, ruptur uteri, cedera otot dasar panggul, serta fistula
vesikoservikalis, fistula vesikovaginalis, atau fistula rektovaginalis akibat tekanan
yang lama antara kepala janin dengan tulang panggul. Kemudian bahaya pada janin
dapat berupa meningkatnya risiko kematian perinatal, perlukaan jaringan pada
bagian atas tulang kepala janin, dan bahkan dapat menimbulkan fraktur pada os
parietalis.
Panggul sempit dikatakan sebagai salah satu indikasi persalinan seksio
sesarea yang kejadiannya semakin meningkat dalam tiga dekade terakhir. Angka
seksio sesarea di Amerika Serikat meningkat dari 4,5% pada tahun 1965 menjadi
23% pada tahun 1985. Pada tahun 2007, angka seksio sesarea adalah 31,8%. Angka
tersebut merupakan angka tertinggi seksio sesarea yang pernah dilaporkan di
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI PERSALINAN
Persalinan adalah proses fisiologik dimana uterus mengeluarkan atau berupaya
mengeluarkan janin dan plasenta setelah masa kehamilan 20 minggu atau lebih
dapat hidup diluar kandungan melalui jalan lahir atau jalan lain dengan bantuan
atau tanpa bantuan.
2.2 TANDA PERSALINAN
Sebelum terjadi persalinan sebenarnya beberapa minggu sebelumnya, wanita
memasuki bulannya atau minggunya atau harinya yang disebut kala pendahuluan
(preparatory stage of labor). Ini memberikan tanda-tanda sebagai berikut:
Rasa sakit oleh adanya his yang datang lebih kuat, sering, dan teratur.
Keluar lendir bercampur darah yang lebih banyak karena robekanrobekan kecil pada serviks.
2.4.1
Kala I
Kala ini dinamakan sebagai kala pembukaan. Kala ini dimulai pada saat
Gambar 2.1. Durasi fase laten dan fase aktif pada kala I
2.4.1.1 Fase Laten
Durasi dari fase ini bervariasi dan sensitif terhadap faktor eksterna seperti
sedasi yang dapat memperpanjang fase laten, dan stimulasi miometrium yang dapat
memperpendek fase laten. Fase ini biasanya berlangsung selama 7-8 jam sampai
pembukaan pada serviks mencapai ukuran diameter 3-4 cm.
2.4.1.2 Fase Aktif
Fase ini dibagi lagi menjadi 3 fase yaitu fase akselerasi, fase lereng
maksimum, dan fase deselerasi. Fase akselerasi biasanya berlangsung selama 2 jam
dengan pembukaan sebanyak 1 cm. Fase dilatasi maksimal biasanya berlangsung
selama 2 jam hingga pembukaan menjadi 9 cm. Pada fase deselerasi, pembukaan
menjadi lambat. Pada fase deselerasi pembukaan 9 cm menjadi lengkap 10 cm
dalam waktu 2 jam. Jika dijumlahkan, fase aktif biasanya berlangsung selama 6
jam. Sementara pada studi lain, dikatakan bahwa pembukaan serviks pada fase aktif
berkisar antara 1,2 cm sampai 6,8 cm/jam dengan rata-rata durasi total 4,9 jam.
Maka dari itu, ibu nulipara yang sudah masuk ke dalam fase aktif dengan
pembukaan 3-4 cm diharapkan mencapai pembukaan 8 cm sampai 10 cm dalam
waktu 3-4 jam.
Kala I selesai apabila pembukaan serviks telah lengkap 10 cm. Pada
primigravida kala I berlangsung kira-kira 12 jam sedangkan pada multigravida 8
jam. Pembukaan primigravida 1 cm tiap jam dan multigravida 2 cm tiap jam.
2.4.2
Kala II
Pada kala II, persalinan dimulai ketika dilatasi serviks sudah lengkap, dan
berakhir ketika janin sudah lahir. Maka dari itu, kala ini juga dapat disebut sebagai
stadium ekspulsi janin. Kala ini terjadi akibat adanya kekuatan his dan kekuatan
mengedan ibu sehingga janin terdorong keluar sampai lahir. Kala ini biasanya
berlangusng selama 1,5 jam pada primigravida dan 0,5 jam pada multipara.
2.4.3
Kala III
Kala III dimulai segera setelah janin lahir, dan berakhir dengan lahirnya
plasenta dan selaput ketuban janin. Kala ini dapat disebut juga sebagai stadium
pemisahan dan ekspulsi plasenta. Kala ini biasanya berlangsung selama 6-15 menit.
2.4.4
Kala IV
Observasi dilakukan setelah lahirnya plasenta selama 1 jam, hal ini
Engagement
Bila diameter biparietal kepala melewati pintu atas panggul, kepala
Penurunan
Penurunan adalah gerakan bagian presentasi melewati panggul. Penurunan
terjadi akibat tiga kekuatan yaitu tekanan dari cairan amnion, tekanan langsung
kontraksi fundus pada janin, dan kontraksi diafragma serta otot-otot abdomen ibu
pada tahap kedua persalinan.
2.5.3
Fleksi
Segara setelah kepala yang turun tertahan oleh serviks, dinding panggul,
atau dasar panggul, dalam keadaan normal fleksi terjadi dan dagu didekatkan
kearah dada janin.
2.5.4
kali terjadi kontraksi kepala janin diarahkan ke bawah lengkung pubis, dan kepala
hampir selalu berputar saat mencapai otot panggul.
2.5.5
Ekstensi
Saat kepala janin mencapai perineum, kepala akan defleksi ke arah anterior
posisi yang sama dengan saat ia memasuki pintu atas. Putaran paksi luar terjadi saat
bahu masuk dan turun dengan gerakan mirip dengan gerakan kepala.
2.5.7
Ekspulsi
Setelah bahu keluar, kepala dan bahu diangkat ke atas tulang pubis ibu dan
badan bayi di keluarkan dengan gerakan fleksi lateral ke arah simfisi pubis.
2.6 DISTOSIA
Secara umum, kelainan pada persalinan dapat disebut sebagai distosia. Distosia
merupakan lahir sulit dan dikarakteristikkan dengan progresifitas persalinan lambat
yang abnormal. Kelainan ini dapat disebabkan oleh 4 kelainan, antara lain: kelainan
kekuatan mengedan, kelainan fetus (presentasi, posisi, dan perkembangan),
kelainan maternal bony pelvis, dan kelainan jaringan lunak traktus reproduksi.
Secara singkat, kelainan-kelainan tersebut dapat dibagi menjadi 3 kategori: powers,
passenger, dan passage. Powers merupakan kekuatan dari ibu seperti kontraksi
uterus, dan kekuatan mengedan. Passenger merupakan fetus yang akan dilahirkan.
Jika terdapat kelainan dalam letak maupun bentuk pada janin maka persalinan dapat
mengalami kemacetan. Passage merupakan jalan lahir yang akan dilalui oleh fetus.
Dalam hal ini berarti pelvis. Kelianan dalam bentuk atau ukuran dapat
mempengaruhi proses persalinan
Pada pasien dengan distosia, biasanya ditemukan temuan-temuan klinis seperti:
pembukaan serviks atau penurunan fetus yang tidak adekuat, disproporsi fetopelvic,
dan ketuban pecah tanpa impartu. Pembukaan serviks atau penurunan fetus yang
tidak adekuat dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: persalinan yang lama
(kemajuan yang lama), persalinan berhenti (tidak ada kemajuan), dan usaha
mengedan yang tidak adekuat. Disproporsi fetopelvic dapat disebabkan oleh ukuran
fetus yang besar, kapasitas pelvis yang tidak adekuat, dan malpresentasi atau posisi
fetus. Temuan-temuan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya persalinan yang
tidak efektif. Istilah yang digunakan saat ini untuk mendeskripsikan persalinan yang
tidak efektif adalah cephalopelvic disproportion dan failure to progress.
Cephalopelvic disproportion merupakan istilah yang sudah dipakai sejak dahulu
untuk menggambarkan adanya hambatan dalam persalinan yang diakibatkan oleh
ketidaksesuaian antara ukuran kepala janin dan pelvis ibu. Istilah kedua, failure to
progress baik pada persalinan spontan maupun yang distimulasi, merupakan istilah
yang menggambarkan persalinan yang tidak efektif. Istilah tersebut menunjukkan
kurangnya perkembangan dilatasi serviks serta lambatnya penurunan janin. Kedua
istilah tersebut merupakan istilah yang tidak spesifik. Istilah persalinan abnormal
dan kriteria diagnostik yang lebih spesifik ditunjukkan dalam tabel berikut.
dinamakan sebagai inersia uteri primer atau hypotonic uterine contraction. Pada
pasien dengan his kuat dalam waktu yang lama dapat mengakibatkan terjadinya
inersia uteri. Hal ini dikarenakan terjadinya kelelahan uterus. Keadaan tersebut
dinamakan sebagai inersia uteri sekunder. Saat ini, inersia uteri sekunder jarang
ditemukan dikarenakan sudah jarang proses persalinan yang dibiarkan terlalu lama.
Diagnosis inersia uteri sulit ditegakkan pada masa laten. Hal ini dikarenakan
pasien dengan kondisi ini merasakan nyeri yang tidak hebat sehingga sulit untuk
membedakan apakah pasien sudah memulai persalinan atau tidak.
2.8.1.2 Incoordinate Uterine Action
Pada keadaan ini, terjadi his yang meningkat disertia kontraksi yang tidak
sinkron antara bagian atas, tengah, dan bawah. Keadaan tersebut dapat
mengakibatkan sulitnya pembukaan serviks. Keadaan ini dapat disebut juga sebagai
incoordinated hypertonic uterine contraction. Pasien dengan keadaan ini biasanya
merasakan nyeri yang lebih hebat dan lebih lama dibandingkan ibu dengan
kontraksi yang normal. Hal tersebut dikarenakan adanya tonus otot uterus yang
meningkat. Disamping itu, keadaan ini dapat juga menyebabkan hipoksia pada
janin. Akibat keadaan kontraksi yang tidak sinkron antara bagian uterus, serviks
menjadi sulit mengalami pembukaan sehingga persalinan tidak maju. Hal tersebut
dinamakan sebagai distosia servikalis. Kelainan distosia servikalis dapat dibagi
menjadi primer dan sekunder. Kelainan distosia servikalis yang disebabkan oleh
kontraksi uterus yang tidak sinkron dinamakan sebagai distosia servikalis primer.
Keadaan ini biasanya dialami oleh seorang primigravida akibat serviks yang masih
kaku. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya nekrosis jaringan serviks yang
diakibatkan penekanan kepala janin yang terus menerus. Disamping itu, distosia
servikalis sekunder disebabkan karena adanya kelainan organik pada serviks seperti
jaringan parut atau karsinoma.
2.8.2
10
persalinan kepala janin tidak dapat turun ke dalam rongga panggul sehingga
persalinan menjadi lambat dan sulit.
Presentasi dahi tidak dapat dilahirkan dengan kondisi normal kecuali bila
bayi kecil atau pelvis luas, persalinan dilakukan dengan tindakan caesarea. IR
presentasi dahi, 0,2% kelahiran pervaginam, lebih sering terjadi pada primigravida.
2.8.2.2 Presentasi Bahu
Bahu merupakan bagian terbawah janin dan abdomen cenderung melebar
dari satu sisi kesisi yang lain sehingga tidak teraba bagian terbawah anak pada pintu
atas panggul menjelang persalinan. Bila pasien berada pada persalinan lanjut
setelah ketuban pecah, bahu dapat terjepit kuat di bagian atas pelvis dengan satu
tangan atau lengan keluar dari vagina.
Presentasi bahu terjadi bila poros yang panjang dari janin tegak lurus atau
pada sudut akut panjangnya poros ibu, sebagaimana yang terjadi pada letak
melintang. Presentasi bahu disebabkan paritas tinggi dengan dinding abdomen dan
otot uterus kendur, prematuritas, obstruksi panggul.
2.8.2.3 Presentasi Muka
Pada presentasi muka, kepala mengalami hipereksensi sehingga oksiput
menempel pada punggung janin dan dagu merupakan bagian terendah. Presentasi
muka terjadi karena ekstensi pada kepala, bila pelvis sempit atau janin sangat besar.
Pada wanita multipara, terjadinya presentasi muka karena abdomen yang
menggantung yang menyebabkan punggung janin menggantung ke depan atau ke
lateral, seringkali mengarah kearah oksiput. Presentasi muka tidak memiliki faktor
penyebab yang dapat diketahui. Hal tersebut mngkin berkaitan dengan paritas tinggi
tetapi 34% presentasi muka terjadi pada primigravida.
2.8.3
11
dengan
menghitung
diameter
interspinarum
saja.
Diameter
12
Pintu bawah panggul terdiri atas 2 bidang datar yang keduanya berbentuk
segitiga. Kedua segitiga tersebut dibagi menjadi segitiga anterior, dan segitiga
posterior dan memiliki alas yang sama yang dibentuk oleh garis antara kedua tuber
os iskii. Bagian segitiga posterior memiliki puncak berupa ujung sakrum, dan
bagian lateralnya dibatasi oleh sacrotuberous ligaments dan tuber os iskii.
Sedangkan bagian anterior memiliki puncak yang dibentuk oleh bagian bawah os
pubis. Bagian bawah tersebut memiliki sudut yang disebut dengan arkus pubis.
Normalnya arkus pubis memiliki sudut 90o 100o. Selain itu, jarak antara kedua
tuber os iskii dinamakan sebagai distansia tuberum. Normalnya distansia tuberum
memiliki panjang + 10,5 cm. Kedua pengukuran tersebut merupakan pengukuran
yang penting untuk menentukan pintu bawah yang sempit. Arkus pubis yang
sudutnya kurang dari 90o maka kepala janin akan lebih sulit dilahirkan karena
memerlukan tempat lebih banyak ke arah dorsal. Selain itu, pintu panggul bawah
yang sempit juga dapat dikatakan sempit ketika distansia tuberum memiliki panjang
kurang dari 8 cm. Panggul bawah sempit tanpai disertai rongga panggul sempit
sangat jarang.
2.9 KELAINAN KALA SATU
2.9.1
merasakan kontraksi yang regular. Pada fase ini kontraksi uterus berlangsung
bersamaan dengan perlunakan dan pendataran serviks. Kecepatan pembukaan
serviks yang setara dengan kecapatan pada persalinan fase aktif, tidak dapat
ditentukan berdasarkan pembukaan serviks tertentu. Sebagian ibu mulai setara
dengan persalinan fase aktif setelah pembukaan 5 cm sementara sebagian lain
mencapai kecepatan fase aktif pada pembukaan 3 cm. Maka dari itu, fase laten
dimulai dengan adanya his yang teratur disertai oleh pembukaan serviks yang
progresif, dan berakhir pada pembukaan 3-5 cm. Setelah itu, fase persalinan aktif
dimulai apabila dilatasi serviks mencapai 5 cm.
Fase laten berkepanjangan didefinisikan ketika fase laten berlangsung lebih
dari 20 jam pada nulipara dan 14 jam pada multipara. Keadaan fase laten yang
berkepanjangan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti: pengunaan
anestesia regional atau sedasi yang berlebihan, keadaan serviks yang buruk (tebal,
13
tidak mengalami pendataran, atau tidak membuka), dan persalinan palsu. Keadaan
ini dapat diperbaiki dengan istirahat atau stimulasi oksitosin. Istirahat maupun
stimulasi oksitosin sama efektif dan amannya dalam memperbaiki keadaan ini
namun istirahat lebih disarankan karena persalinan palsu sering tidak diketahui.
Amniotomi tidak disarankan pada keadaan ini karena menghindari kejadian
persalinan palsu untuk menghindari terjadinya infeksi.
2.9.2
14
3-4 jam setelahnya. Angka tersebut dapat dijadikan sebuah patokan untuk
memprediksikan terjadinya partus pada nulipara.
Kelainan
pada
fase
aktif
ini
dibagi
lagi
menjadi
persalinan
15
KOMPLIKASI DISTOSIA
Infeksi Intrapartum
Infeksi intrapartum merupakan salah satu komplikasi yang serius pada ibu
dengan partus lama apabila ketika disertai dengan ketuban pecah. Komplikasi yang
dapat terjadi akibat infeksi intrapartum adalah sepsis pada ibu dan janin. Hal
tersebut dapat terjadi dikarenakan bakteri di dalam cairan amnion dapat menembus
amnion dan menginvasi desidua serta pembuluh korion. Disamping itu, pada janin
16
dapat juga terinfeksi pneumonia akibat aspirasi cairan amnion yang terinfeksi.
Maka dari itu pemeriksaan dalam pada kondisi partus lama terutama dengan
ketuban pecah dibatasi.
2.11.1.2
Ruptur Uteri
Pada pasien dengan paritas tinggi dan dengan riwayat seksio sesarea
cenderung terjadi penipisan abnormal pada segmen bawah uterus. Bila membran
amnion pecah dan cairan amnion mengalir keluar, janin akan didorong ke segmen
bawah rahim melalui kontraksi. Jika kontraksi berlanjut, segmen bawah rahim akan
meregan sehingga menjadi menipis dan mudah ruptur. Ruptur uterus merupakan
salah satu dari kedaruratan obstetrik yang berbahaya.
Pada keadaan tersebut, jika tidak terjadi ruptur uteri, dapat terbentuk cincin
retraksi patologis yang dapat diraba. Persalinan perabdominam diindikasikan
apabila terdapat keadaan seperti ini. Ruptur uterus dapat menyebabkan terjadinya
pendarahan dan syok, bila tidak dilakukan penanganan maka dapat berakibat
berbahaya.
2.11.1.3
2.11.1.4
Fistula
Jika kepala janin terhambat cukup lama dalam pelvis maka sebagian
kandung kemih, serviks, vagina, rektum terperangkap diantara kepala janin dan
tulang-tulaang pelvis mendapat tekanan yang berlebihan. Akivat kerusakan
sirkulasi, oksigenasi pada jaringa-jaringan ini menjadi tidak adekuat sehingga
terjadi nekrosis yang dalam beberapa hari diikuti dengan pembentukan fistula.
Fistula dapat berbentuk vesiko-vaginal (diantara kandung kemih dan vagina),
vesiko-servikal (diantara kandung kemih dan serviks) atau rekto-vaginal (diantara
rektum dan vagina). Fistula umumnya terbentuk setelah kala II persalinan yang
sangat lama dan biasanya terjadi pada nulipara, terutama di negara dengan
kehamilan usia dini.
2.11.1.5
18
2.11.2.1
Kaput Suksedaneum
mengenai lempeng tulang eksternal maka fraktur jenis ini tidak berbahaya. Fraktur
yang berbentuk sendok, apabila tidak diperbaiki secara bedah dapat mengakibatkan
kematian neonatus karena fraktur ini dapat melukai otak. Pada kejadian ini, tulang
yang cekung sebaiknya dielevasi atau dihilangkan.
19
20
BAB III
ILUSTRASI KASUS
3.1 IDENTITAS
Nama
: Ny. EM
No. RM
: 01475325
: 30 Tahun
Pendidikan
: Tamat SMA
Pekerjaan
: Pegawai Swasta
Status
: Menikah
Agama
: Islam
Suku/bangsa : Jawa
3.2 ANAMNESIS
Dilakukan autoanamnesis pada tanggal 12 November 2014
Keluhan Utama
Dirujuk karena persalinan lama sejak 3 jam SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengaku hamil 38 minggu. Hari pertama haid terakhir (HPHT) lupa.
Taksiran Persalinan (TP) lupa. Saat ini merupakan kehamilan yang pertama. ANC
di bidan sebanyak + 10x dan dikatakan normal. USG sebanyak 7x. Hasil USG
terakhir dikatakan kondisi dan letak janin normal. Keluar air (+) sejak 6 jam
sebelum masuk rumah sakit. keluar lendir darah (+), keputihan (-), mual (-), muntah
21
(-), pusing (-), sakit kepala (-), kaki bengkak (-), pandangan kabur (-), Dirujuk dari
rumah sakit kecamatan pancoran, dikatakan persalinan lama.
Kesadaran
: Compos mentis
Tanda vital
:TD130/80 mmHg
N :89x/menit
22
RR : 22x/menit
S : 36,3C
BB : 52 kg
TB : 156 cm
Kepala
Mata
/-.
THT
Leher
Jantung
Pulmo
Abdomen
Extremitas
Status Obstetri
Abdomen
Inspeksi
Palpasi
Leopold I
Leopold II
23
Leopold III
Leopold IV
: tidak dilakukan
His : -
Status Ginekologi
Inspeksi: V/U tenang, perdarahan (-)
Inspekulo: tidak dilakukan
VT : kepala hodge II, UUK kiri depan, ketuban sisa jernih, kaput hodge
III, terdapat moulase grade III
RT : tidak dilakukan
3.3 PARTOGRAF
24
HC : 34.14
AC : 26.51
8.23
~38-39 minggu
TBJ 3480 gr
FL :
25
Hasil
Hb
9,6 g/dl
Hematokrit
31 %
Leukosit
29.100
Trombosit
216.000
Eritrosit
4.590.000
MCV/MCH/MCHC/RDW
72/22,1/30,7/14,9
SGOT
22
SGPT
13
Albumin
3,50
Ureum darah
28
Kreatinin
0,6
GDS
164
LDH
518
Natrium darah
132
Kalium darah
3,94
Klorida darah
102
PT
0,9x
aPTT
0,9x
26
3.6 RESUME
Pasien Ny. EM, 30 tahun, G1P0A0 dirujuk oleh rumah sakit kecamatan
pancoran karena persalinan lama. Pasien mengaku hamil 38 minggu. Hari pertama
haid terakhir (HPHT) dan taksiran persalinan lupa. ANC di rumah sakit sudah +10x.
USG sebanyak 7x dilakukan setiap periksa di rumah sakit. Hasil USG terakhir
dikatakan kondisi dan posisi janin normal. Keluar air (+) sejak 6 jam SMRS. Lendir
darah (+).
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, dan status generalis
dalam batas normal. Dari status obstetri didapatkan presentasi kepala dan punggung
kanan. Dari pemeriksaan dalam didapatkan kepala sudah turun dengan kepala
hodge II, UUK kiri depan, ketuban sisa jernih, kaput hodge III, dan terdapat
moulase grade III. Dari hasil USG didapatkan BPD 10.63, HC 34.14, AC 26.51, FL
8.23 dengan TBJ 3480 gr. Dari pemeriksaan lab didapatkan Anemia (Hb 9.6 g/dl),
leukositosis (Leukosit 29.100), Anemia mikrositik hipokromik (MCV 72, MCH
22.1, MCHC 30.7.
3.7 DIAGNOSIS
Distosia PK II pada G1 hamil 38-39 minggu, janin presentasi kepala
tunggal hidup, syarat ekstraksi tidak terpenuhi.
3.8 TATA LAKSANA
RDx :
o Cek laboratorium (DPL, UL, GDS, SGOT/SGPT,
Ureum/Kreatinin, LDH, Asam urat, Albumin.)
RTx:
o SC CITO
27
3.9 PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad fungtionam : bonam
28
BAB IV
ANALISIS KASUS
Distosia PK II pada G1 hamil 38-39 minggu, janin presentasi kepala tunggal hidup,
syarat ekstraksi tidak terpenuhi pada pasien ini berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang.
Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien dirujuk dari RS sebelumnya karena persalinan
lama sejak 3 jam SMRS. Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, dan status
generalis dalam batas normal. Dari status obstetri didapatkan presentasi kepala dan punggung
kanan. Dari pemeriksaan dalam didapatkan kepala sudah turun dengan kepala hodge II, UUK
kiri depan, ketuban sisa jernih, kaput hodge III, dan terdapat moulase grade III. Dari hasil USG
didapatkan BPD 10.63, HC 34.14, AC 26.51, FL 8.23 dengan TBJ 3480 gr. Dari pemeriksaan
lab didapatkan Anemia (Hb 9.6 g/dl), leukositosis (Leukosit 29.100), Anemia mikrositik
hipokromik (MCV 72, MCH 22.1, MCHC 30.7).
Berdasarkan hasil partograf, pasien ini dapat didiagnosis juga dengan distosia PK I aktif
tipe persalinan macet/tak maju (arrest). Hal ini dikarenakan pembukaan serviks pada pasien ini
tidak mengalami kemajuan selama 4 jam. Jika berdasarkan literatur, kemacetan pembukaan
didefinisikan sebagai serviks yang tidak mengalami pembukaan dalam 2 jam. Maka dari itu,
pada pasien ini memiliki riwayat persalinan macet sebelum terjadinya kala 2.
Distosia PK II pada pasien ini ditegakkan berdasarkan lamanya persalinan. Pada
pasien ini dikatakan bahwa persalinan sudah dimulai sejak 3 jam SMRS sedangkan persalinan
kala II dikatakan distosia apabila kala II pesalinan melebihi 2 jam dan diperpanjang sampai 3
jam apabila digunakan anastesia regional. Pada pasien ini tidak digunakan anastesia regional
sehingga pada pasien ini dapat dikatakan sebagagai distosia PK II.
Prinsip penanganan distosia PK II adalah mencegah terjadinya komplikasi pada janin
maupun pada ibu. Hal ini dikarenakan dapat membahayakan kondisi janin maupun pada ibu
nya. Disamping itu, kita harus mempertimbangkan apakah adanya disproporsi antara panggul
dengan kepala janin. Hal itu dibutuhkan untuk menentukan apakah bayi dapat dilahirkan
dengan alat bantu atau dengan seksio sesarea. Pada pasien ini, kepala janin sudah turun dengan
kepala hodge II dan didapatkan adanya moulase grade III. Moulase adalah salah satu
komplikasi kepada janin akibat dari adanya disproporsi antara panggul dan kepala janin. maka
dari itu pada pasien ini janin tidak dapat dilahirkan dengan spontan. Hal itu dikarenakan dapat
29
meningkatkan kemungkinan terjadinya komplikasi akibat persalinan yang lama. Maka dari itu,
pada pasien ini disarankan dilakukan seksio sesarea.
Prognosis pada pasien ini adalah ad vitam : bonam. Hal ini berdasarkan data bahwa
tanda-tanda komplikasi dari ibu pasien masih belum muncul. Komplikasi terhadap ibu dengan
distosia adalah infeksi intrapartum, ruptur uteri, cincin retraksi patologis, fistula, dan cedera
dasar panggul. Dari komplikasi tersebut, yang harus diperhatikan adalah infeksi intrapartum.
Maka dari itu, tanda-tanda infeksi intrapartum harus diperthatikan. Pada pasien ini, tidak ada
tanda-tanda infeksi baik pada sebelum partus. Prognosis dapat baik jika penanganan awalnya
secara cepat dan tepat. Dasar prognosis ad sanationam dubia ad bonam adalah karena pada
pasien ini kemungkinan terdapat disproporsi antara panggul dan kepala janin. Pada janin
terdapat moulase grade III yang menandakan adanya disproporsi. Maka dari itu, pada pasien
ini dapat terjadi distosia kembali jika keadaan seperti ini terulang lagi. Dasar prognosis ad
functionam adalah pada pasien ini karena pada pasien tidak terdapat adanya tanda-tanda
komplikasi pada ibu.
30
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Distosia merupakan lahir sulit yang dikarakteristikkan dengan progresifitas persalinan
lambat yang abnormal. Pada kasus ini terdapat tanda-tanda persalinan macet yang
ditandai dengan tidak majunya pembukaan serviks selama 4 jam. Kemudian ketika
pasien mulai memasuki kala 2, terdapat tanda-tanda kala 2 memanjang yang ditandai
dengan pembukaan lengkap sejak 3 jam sebelum masuk rumah sakit. Disamping itu,
terdapat komplikasi pada janin berupa moulase. Rencana pasien ini adalah management
aktif dengan melakukan tindakan SC yang sifatnya emergensi (CITO). Sedangkan
perawatan konservatif dilakukan dengan observasi tanda-tanda komplikasi pada ibu
seperti infeksi intrapartum, ruptur uteri, cincin retraksi patologis, fistula, dan cedera
dasar panggul. Selain itu diperlukan juga observasi tanda-tanda komplikasi pada bayi
berupa kaput suksadenum dan fraktur tengkorak akibat molase.
Saran :
1. Deteksi dini distosia pada saat dimulainya kala 1 laten sehingga dapat mengurangi
komplikasi pada ibu maupun janin.
2. Observasi dan pengawasan yang ketat selama proses persalinan sehingga dapat segera
mengambil keputusan yang tepat.
31
DAFTAR PUSTAKA
1.
Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY, editors.
Williams obstetrics. 23rd edition. USA: The McGraw-Hill Companies; 2010
2.
3.
Marceau CV, Demers S, Goyet M, Gauthier R, et al. Labor dystocia and the risk of
uterine rupture in women with a prior cesarean. American Journal of Obstetric &
Gynecology. 2014
4.
5.
Macara LM, Murphy KW. The contribution of dystocia to the cesarean section rate.
American Journal of Obstetric & Gynecology. 1994
6.
7.
Chelmow D, Kilpatrick SJ, Laros RK. Maternal and neonatal outcomes after
prolonged latent phase. Obstet Gynecol. 1993.
32