Anda di halaman 1dari 33

DISTOSIA PK II

Makalah Presentasi Kasus


Kepaniteraan Klinik di RSUP Fatmawati

Disusun oleh :
Muhammad Alfa Septiano Yunus
NIM : 1112103000034

Pembimbing :
Dr. Aditya Rangga Putra, Sp.OG

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2016

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat
rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan presentasi kasus dengan judul DISTOSIA
PK II
Presentasi ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam kepaniteraan
klinik di bagian Ilmu Kebidanan dan Kandungan RSUP Fatmawati.
Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu dalam penyusunan penyelesaian kasus ini, terutama
kepada :
1. Dr. Aditya Rangga Putra, Sp.OG(K) selaku pembimbing presentasi saya
dalam kasus ini
2. Semua dokter dan staf SMF Ilmu Kebidanan dan Kandungan RSUP
Fatmawati
3. Rekan-rekan Kepaniteraan Klinik Ilmu Kebidanan dan Kandungan RSUP
Fatmawati atas bantuan dan dukungannya.
Saya menyadari dalam pembuatan presentasi kasus ini masih banyak
terdapat kekurangan, oleh karena itu segala kritik dan saran guna penyempurnaan
presentasi kasus ini sangat saya harapkan.
Akhir kata, semoga presentasi kasus ini dapat bermanfaat bagi kita
semua,terutama dalam bidang Obstetri dan Ginekologi.
Jakarta, November 2016

Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN
Distosia yang secara literatur berarti persalinan yang sulit, memiliki
karakteristik berupa kemajuan persalinan yang abnormal atau lambat. Persalinan
abnormal atau lambat biasanya terjadi ketika terdapat disproporsi antara ukuran
bagian terbawah janin dengan jalan lahir. Saat ini, presentasi kepala merupakan
indikasi yang paling umum untuk seksio sesarea primer. CPD (Cephalopelvic
Disproportion) merupakan istilah yang dipakai akibat dari panggul sempit, ukuran
kepala janin yang besar, atau lebih sering kombinasi keduanya. Hal tersebut dapat
mengakibatkan distosia selama persalinan. Panggul terdiri dari pintu atas panggul,
rongga panggul, dan pintu bawah panggul. Panggul sempit dapat terjadi di setiap
tingkat panggul tersebut dari pintu atas panggul sampai pintu bawah panggul. Maka
dari itu, pengukuran panggul pada setiap tingkat mulai dari pintu atas panggul,
rongga panggul, dan pintu bawah panggul dibutuhkan untuk menentukan CPD yang
dikombinasikan dengan evaluasi ukuran kepala janin. Panggul sempit disebut
sebagagi salah satu kendala dalam melahirkan secara normal karena menyebabkan
obstructed labor yang insidensinya adalah 1-33% dari persalinan.
Persalinan dengan panggul sempit dapat mengakibatkan dampak yang
berbahaya baik pada ibu maupun pada janin jika dibiarkan berlangsung lama.
Bahaya pada ibu dengan partus lama dapat berupa dehidrasi serta asidosis, dan
infeksi intrapartum, ruptur uteri, cedera otot dasar panggul, serta fistula
vesikoservikalis, fistula vesikovaginalis, atau fistula rektovaginalis akibat tekanan
yang lama antara kepala janin dengan tulang panggul. Kemudian bahaya pada janin
dapat berupa meningkatnya risiko kematian perinatal, perlukaan jaringan pada
bagian atas tulang kepala janin, dan bahkan dapat menimbulkan fraktur pada os
parietalis.
Panggul sempit dikatakan sebagai salah satu indikasi persalinan seksio
sesarea yang kejadiannya semakin meningkat dalam tiga dekade terakhir. Angka
seksio sesarea di Amerika Serikat meningkat dari 4,5% pada tahun 1965 menjadi
23% pada tahun 1985. Pada tahun 2007, angka seksio sesarea adalah 31,8%. Angka
tersebut merupakan angka tertinggi seksio sesarea yang pernah dilaporkan di
2

Amerika Serikat. Menurut American College of Obstetricians and Gynecologists


(2003), kira-kira 60% seksio sesarea primer di Amerika Serikat dihubungkan
dengan distosia. Di Inggris insiden meningkat kurang dari 5% pada tahun 1973
menjadi 10% pada tahun 1986. Di Indonesia, angka seksio sesarea di RSUD. Dr.
Pirngadi Medan meningkat dari 20,4% pada tahun 1994 menjadi 34,8% pada tahun
1998.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI PERSALINAN
Persalinan adalah proses fisiologik dimana uterus mengeluarkan atau berupaya
mengeluarkan janin dan plasenta setelah masa kehamilan 20 minggu atau lebih
dapat hidup diluar kandungan melalui jalan lahir atau jalan lain dengan bantuan
atau tanpa bantuan.
2.2 TANDA PERSALINAN
Sebelum terjadi persalinan sebenarnya beberapa minggu sebelumnya, wanita
memasuki bulannya atau minggunya atau harinya yang disebut kala pendahuluan
(preparatory stage of labor). Ini memberikan tanda-tanda sebagai berikut:

Lightening atau settling atau dropping yaitu kepala turun memasuki


pintu atas panggul terutama pada primigravida. Pada multipara tidak
begitu terlihat karena kepala janin baru masuk pintu atas panggul saat
akan terjadi persalinan.

perut kelihatan lebih melebar dan fundus uteri menurun.

Perasaan sering-sering atau susah kencing (polakisuria) karena kandung


kemih tertekan oleh bagian terbawah janin.

Perasaan sakit di perut dan di pinggang oleh adanya kontraksi-kontraksi


lemah dari uterus (false labor pains).

Serviks menjadi lembek, mulai mendatar, dan sekresinya bertambah.


Sekret dapat bercampur darah (bloody show)

2.3 TANDA IN-PARTU

Rasa sakit oleh adanya his yang datang lebih kuat, sering, dan teratur.

Keluar lendir bercampur darah yang lebih banyak karena robekanrobekan kecil pada serviks.

Dapat disertai ketuban pecah dini.

Pada pemeriksaan dalam, serviks mendatar dan terjadi pembukaan


serviks.

2.4 TAHAP PERSALINAN


Tahap persalinan dibagi menjadi 4 fase/kala:

2.4.1

Kala I
Kala ini dinamakan sebagai kala pembukaan. Kala ini dimulai pada saat

serviks membuka dan diakhiri ketika terjadi pembukaan 10 cm pada serviks.


Menurut Friedman (1978), kala ini dibagi lagi menjadi 2 fase berdasarkan
pembukaan serviks yaitu: fase laten, dan fase aktif. Sementara itu, fase aktif dibagi
kembali menjadi fase akselerasi, fase lereng maksimum, dan fase deselerasi.

Gambar 2.1. Durasi fase laten dan fase aktif pada kala I
2.4.1.1 Fase Laten
Durasi dari fase ini bervariasi dan sensitif terhadap faktor eksterna seperti
sedasi yang dapat memperpanjang fase laten, dan stimulasi miometrium yang dapat
memperpendek fase laten. Fase ini biasanya berlangsung selama 7-8 jam sampai
pembukaan pada serviks mencapai ukuran diameter 3-4 cm.
2.4.1.2 Fase Aktif
Fase ini dibagi lagi menjadi 3 fase yaitu fase akselerasi, fase lereng
maksimum, dan fase deselerasi. Fase akselerasi biasanya berlangsung selama 2 jam
dengan pembukaan sebanyak 1 cm. Fase dilatasi maksimal biasanya berlangsung
selama 2 jam hingga pembukaan menjadi 9 cm. Pada fase deselerasi, pembukaan
menjadi lambat. Pada fase deselerasi pembukaan 9 cm menjadi lengkap 10 cm

dalam waktu 2 jam. Jika dijumlahkan, fase aktif biasanya berlangsung selama 6
jam. Sementara pada studi lain, dikatakan bahwa pembukaan serviks pada fase aktif
berkisar antara 1,2 cm sampai 6,8 cm/jam dengan rata-rata durasi total 4,9 jam.
Maka dari itu, ibu nulipara yang sudah masuk ke dalam fase aktif dengan
pembukaan 3-4 cm diharapkan mencapai pembukaan 8 cm sampai 10 cm dalam
waktu 3-4 jam.
Kala I selesai apabila pembukaan serviks telah lengkap 10 cm. Pada
primigravida kala I berlangsung kira-kira 12 jam sedangkan pada multigravida 8
jam. Pembukaan primigravida 1 cm tiap jam dan multigravida 2 cm tiap jam.
2.4.2

Kala II
Pada kala II, persalinan dimulai ketika dilatasi serviks sudah lengkap, dan

berakhir ketika janin sudah lahir. Maka dari itu, kala ini juga dapat disebut sebagai
stadium ekspulsi janin. Kala ini terjadi akibat adanya kekuatan his dan kekuatan
mengedan ibu sehingga janin terdorong keluar sampai lahir. Kala ini biasanya
berlangusng selama 1,5 jam pada primigravida dan 0,5 jam pada multipara.
2.4.3

Kala III
Kala III dimulai segera setelah janin lahir, dan berakhir dengan lahirnya

plasenta dan selaput ketuban janin. Kala ini dapat disebut juga sebagai stadium
pemisahan dan ekspulsi plasenta. Kala ini biasanya berlangsung selama 6-15 menit.
2.4.4

Kala IV
Observasi dilakukan setelah lahirnya plasenta selama 1 jam, hal ini

dilakukan untuk menghindari terjadinya perdarahan postpartum. Observasi yang


dilakukan adalah melihat tingkat kesadaran penderita, pemeriksaan tanda-tanda
vital (tekanan darah, nadi, dan pernapasan), kontraksi uterus, dan terjadinya
pendarahan.
2.5 MEKANISME PERSALINAN NORMAL
2.5.1

Engagement
Bila diameter biparietal kepala melewati pintu atas panggul, kepala

dikatakan telah menancap (engaged) pada pintu atas panggul.


2.5.2

Penurunan
Penurunan adalah gerakan bagian presentasi melewati panggul. Penurunan

terjadi akibat tiga kekuatan yaitu tekanan dari cairan amnion, tekanan langsung

kontraksi fundus pada janin, dan kontraksi diafragma serta otot-otot abdomen ibu
pada tahap kedua persalinan.
2.5.3

Fleksi
Segara setelah kepala yang turun tertahan oleh serviks, dinding panggul,

atau dasar panggul, dalam keadaan normal fleksi terjadi dan dagu didekatkan
kearah dada janin.
2.5.4

Putaran Paksi Dalam


Putaran paksi dalam dimulai pada bidang setinggi spina iskiadika. Setiap

kali terjadi kontraksi kepala janin diarahkan ke bawah lengkung pubis, dan kepala
hampir selalu berputar saat mencapai otot panggul.
2.5.5

Ekstensi
Saat kepala janin mencapai perineum, kepala akan defleksi ke arah anterior

oleh perineum. Mula-mula oksiput melewati permukaan bawah simfisis pubis,


kemudian kepala muncul keluar akibat ekstensi.
2.5.6

Resitusi dan Putaran Paksi Luar


Restitusi adalah gerakan berputar setelah kepala bayi lahir hingga mencapai

posisi yang sama dengan saat ia memasuki pintu atas. Putaran paksi luar terjadi saat
bahu masuk dan turun dengan gerakan mirip dengan gerakan kepala.
2.5.7

Ekspulsi
Setelah bahu keluar, kepala dan bahu diangkat ke atas tulang pubis ibu dan

badan bayi di keluarkan dengan gerakan fleksi lateral ke arah simfisi pubis.
2.6 DISTOSIA
Secara umum, kelainan pada persalinan dapat disebut sebagai distosia. Distosia
merupakan lahir sulit dan dikarakteristikkan dengan progresifitas persalinan lambat
yang abnormal. Kelainan ini dapat disebabkan oleh 4 kelainan, antara lain: kelainan
kekuatan mengedan, kelainan fetus (presentasi, posisi, dan perkembangan),
kelainan maternal bony pelvis, dan kelainan jaringan lunak traktus reproduksi.
Secara singkat, kelainan-kelainan tersebut dapat dibagi menjadi 3 kategori: powers,
passenger, dan passage. Powers merupakan kekuatan dari ibu seperti kontraksi
uterus, dan kekuatan mengedan. Passenger merupakan fetus yang akan dilahirkan.
Jika terdapat kelainan dalam letak maupun bentuk pada janin maka persalinan dapat
mengalami kemacetan. Passage merupakan jalan lahir yang akan dilalui oleh fetus.

Dalam hal ini berarti pelvis. Kelianan dalam bentuk atau ukuran dapat
mempengaruhi proses persalinan
Pada pasien dengan distosia, biasanya ditemukan temuan-temuan klinis seperti:
pembukaan serviks atau penurunan fetus yang tidak adekuat, disproporsi fetopelvic,
dan ketuban pecah tanpa impartu. Pembukaan serviks atau penurunan fetus yang
tidak adekuat dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: persalinan yang lama
(kemajuan yang lama), persalinan berhenti (tidak ada kemajuan), dan usaha
mengedan yang tidak adekuat. Disproporsi fetopelvic dapat disebabkan oleh ukuran
fetus yang besar, kapasitas pelvis yang tidak adekuat, dan malpresentasi atau posisi
fetus. Temuan-temuan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya persalinan yang
tidak efektif. Istilah yang digunakan saat ini untuk mendeskripsikan persalinan yang
tidak efektif adalah cephalopelvic disproportion dan failure to progress.
Cephalopelvic disproportion merupakan istilah yang sudah dipakai sejak dahulu
untuk menggambarkan adanya hambatan dalam persalinan yang diakibatkan oleh
ketidaksesuaian antara ukuran kepala janin dan pelvis ibu. Istilah kedua, failure to
progress baik pada persalinan spontan maupun yang distimulasi, merupakan istilah
yang menggambarkan persalinan yang tidak efektif. Istilah tersebut menunjukkan
kurangnya perkembangan dilatasi serviks serta lambatnya penurunan janin. Kedua
istilah tersebut merupakan istilah yang tidak spesifik. Istilah persalinan abnormal
dan kriteria diagnostik yang lebih spesifik ditunjukkan dalam tabel berikut.

Tabel 2-1 persalinan abnormal, kriteria diagnostik, dan metode penatalaksanaan

2.7 MEKANISME DISTOSIA


Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, proses persalinan dipengaruhi
oleh 3 hal, yaitu: power, passage, dan passanger. Tenaga atau kekuatan (power)
dalam persalinan mengacuh kepada his, kontraksi otot dinding perut, kontraksi
diafragma pelvis, ketegangan, kontraksi ligamentum rotundum, efektivitas
kekuatan mendorong dan lama persalinan. Jalan lintas (passage) dalam persalinan
merupakan jalan yang harus dilalui oleh janin agar dapat dilahirkan. Hal tersebut
dapat dipengaruhi oleh ukuran dan tipe panggul wanita, kemampuan serviks untuk
membuka, kemampuan kanalis vaginalis, dan introitus vagina untuk memanjang.
Yang terakhir adalah janin (passanger). Janin dapat mempengaruhi proses
persalinan berdasarkan letak janin, posisi janin, presentasi janin, dan letak plasenta.
Pada akhir kehamilan, bagian terbawah fetus harus melewati jalan lahir yang terdiri
dari bagian uterus bawah yang tebal dan serviks yang belum berdilatasi. Pada pasien
dengan distosia, otot fundus uterus pasien tersebut dapat kurang berkembang dan
kurang kuat dibandingkan yang normal. Berdasarkan penjelasan tersebut,
konteraksi uterus, resistensi serviks, dan penekanan kedepan oleh bagian terbawah
janin merupakan faktor yang paling berpengaruh dalam proses persalinan kala I.
Selanjutnya, ketika sudah terjadi persalinan kala II dimana terjadi dilatasi
serviks yang telah lengkap, hubungan antara ukuran kepala janin dan posisi serta
kapasitas pelvis, yang dinamakan dengan fetopelvic proportion, menjadi lebih jelas.
Gangguan dalam hal tersebut dapat mempengaruhi proses persalinan kala II.
Gangguan-gangguan diatas yang mempengaruhi dari proses persalinan kala I
maupun persalinan kala II seperti overdistensi uterus atau persalinan mampet atau
keduanya dapat mengakibatkan terjadinya malfungsi otot uterus.
2.8 ETIOLOGI
2.8.1

Kelainan His (Power)

2.8.1.1 Inersia Uteri


Pada keadaan ini, uterus masih berkontraksi seperti biasa, dan bagian fundus
merupakan bagian yang paling menonjol untuk berkontraksi. Kelainan pada
keadaan ini terletak pada durasinya yang lebih singkat, dan lebih jarang
dibandingkan kontraksi uterus yang normal. Pasien dengan keadaan ini biasanya
memiliki keadaan umum yang lebih baik dan tidak terlalu nyeri. Keadaan tersebut

dinamakan sebagai inersia uteri primer atau hypotonic uterine contraction. Pada
pasien dengan his kuat dalam waktu yang lama dapat mengakibatkan terjadinya
inersia uteri. Hal ini dikarenakan terjadinya kelelahan uterus. Keadaan tersebut
dinamakan sebagai inersia uteri sekunder. Saat ini, inersia uteri sekunder jarang
ditemukan dikarenakan sudah jarang proses persalinan yang dibiarkan terlalu lama.
Diagnosis inersia uteri sulit ditegakkan pada masa laten. Hal ini dikarenakan
pasien dengan kondisi ini merasakan nyeri yang tidak hebat sehingga sulit untuk
membedakan apakah pasien sudah memulai persalinan atau tidak.
2.8.1.2 Incoordinate Uterine Action
Pada keadaan ini, terjadi his yang meningkat disertia kontraksi yang tidak
sinkron antara bagian atas, tengah, dan bawah. Keadaan tersebut dapat
mengakibatkan sulitnya pembukaan serviks. Keadaan ini dapat disebut juga sebagai
incoordinated hypertonic uterine contraction. Pasien dengan keadaan ini biasanya
merasakan nyeri yang lebih hebat dan lebih lama dibandingkan ibu dengan
kontraksi yang normal. Hal tersebut dikarenakan adanya tonus otot uterus yang
meningkat. Disamping itu, keadaan ini dapat juga menyebabkan hipoksia pada
janin. Akibat keadaan kontraksi yang tidak sinkron antara bagian uterus, serviks
menjadi sulit mengalami pembukaan sehingga persalinan tidak maju. Hal tersebut
dinamakan sebagai distosia servikalis. Kelainan distosia servikalis dapat dibagi
menjadi primer dan sekunder. Kelainan distosia servikalis yang disebabkan oleh
kontraksi uterus yang tidak sinkron dinamakan sebagai distosia servikalis primer.
Keadaan ini biasanya dialami oleh seorang primigravida akibat serviks yang masih
kaku. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya nekrosis jaringan serviks yang
diakibatkan penekanan kepala janin yang terus menerus. Disamping itu, distosia
servikalis sekunder disebabkan karena adanya kelainan organik pada serviks seperti
jaringan parut atau karsinoma.
2.8.2

Kelainan Janin (Passanger)

2.8.2.1 Presentasi Dahi


Presentasi Dahi adalah keadaan dimana kepala janin ditengah antara fleksi
maksimal dan defleksi maksimal, sehingga dahi merupakan bagian terendah.
Presentasi dahi terjadi karena ketidakseimbangan kepala dengan panggul, saat

10

persalinan kepala janin tidak dapat turun ke dalam rongga panggul sehingga
persalinan menjadi lambat dan sulit.
Presentasi dahi tidak dapat dilahirkan dengan kondisi normal kecuali bila
bayi kecil atau pelvis luas, persalinan dilakukan dengan tindakan caesarea. IR
presentasi dahi, 0,2% kelahiran pervaginam, lebih sering terjadi pada primigravida.
2.8.2.2 Presentasi Bahu
Bahu merupakan bagian terbawah janin dan abdomen cenderung melebar
dari satu sisi kesisi yang lain sehingga tidak teraba bagian terbawah anak pada pintu
atas panggul menjelang persalinan. Bila pasien berada pada persalinan lanjut
setelah ketuban pecah, bahu dapat terjepit kuat di bagian atas pelvis dengan satu
tangan atau lengan keluar dari vagina.
Presentasi bahu terjadi bila poros yang panjang dari janin tegak lurus atau
pada sudut akut panjangnya poros ibu, sebagaimana yang terjadi pada letak
melintang. Presentasi bahu disebabkan paritas tinggi dengan dinding abdomen dan
otot uterus kendur, prematuritas, obstruksi panggul.
2.8.2.3 Presentasi Muka
Pada presentasi muka, kepala mengalami hipereksensi sehingga oksiput
menempel pada punggung janin dan dagu merupakan bagian terendah. Presentasi
muka terjadi karena ekstensi pada kepala, bila pelvis sempit atau janin sangat besar.
Pada wanita multipara, terjadinya presentasi muka karena abdomen yang
menggantung yang menyebabkan punggung janin menggantung ke depan atau ke
lateral, seringkali mengarah kearah oksiput. Presentasi muka tidak memiliki faktor
penyebab yang dapat diketahui. Hal tersebut mngkin berkaitan dengan paritas tinggi
tetapi 34% presentasi muka terjadi pada primigravida.
2.8.3

Kelainan Jalan Lahir (Passage)

2.8.3.1 Pintu Atas Panggul Sempit (Contracted Inlet)


Pintu atas panggul atau inlet merupakan suatu bidang yang dibentuk oleh
promontorium korpus vertebra sakral 1, linea innominata (terminalis), dan pinggir
atas simfisis. Ada 4 diameter pada pinggu atas panggul yaitu diameter
anteroposterior, diameter transversa, dan diameter oblikua.

11

Diantara semua diameter tersebut, 2 diantaranya merupakan diameter yang


terpenting pada pintu atas panggul yaitu: diameter antero-posterior, dan diameter
transversal. Diameter antero-posterior dari promontorium sakrum ke simfisis pubis,
ukuran normal diameter antero-posterior adalah 11-12 cm. Diameter ini dapat
diperkirakan dengan jari-jari tangan ketika melakukan pemeriksaan vagina.
Diameter transversal adalah bagian terlebar dari pintu atas panggul dengan ukuran
13 cm. Suatu pintu atas panggul dikatakan sempit ketika diameter antero-posterior
terpendeknya <10 cm atau jika diameter transversal terbesar <12 cm. Diameter
antero-posterior dapat ditentukan dengan mengukur konjugata diagonalis yang
panjangnya sekitar 1.5 cm lebih panjang. Maka dari itu, pintu atas panggul dapat
didefinisikan sebagai konjugata diagonalis <11.5 cm.
2.8.3.2 Rongga Panggul Sempit (Contracted Midpelvis)
Rongga panggul merupakan sebuah kanal yang melengkung diantara pintu
atas dan pintu bawah pinggul. Di tempat ini terjadi putaran paksi dalam pada janin.
Hal ini dikarenakan perbedaan antara pintu atas panggul dengan rongga panggul.
Pada pintu atas panggul, ukuran yang lebar adalah ukuran melintang sedangkan
pada rongga panggul ukuran melintang adalah ukuran yang sempit. Pada bagian
panggul ini terjadi penyempitan yang setinggi spina iskiadika. Maka dari itu, jarak
yang paling penting adalah jarak antara kedua spina iskiadika (distansia
interspinarum) yang normalnya 10-10.5 cm. Disamping itu, diameter normal
antero-posterior pada bagian setidaknya 11.5 cm dan panjang sagital posterior yang
diukur dari garis pertengahan garis interpinosa ke sakrum pada titik yang sama
setidaknya 5 cm. Definisi Rongga panggul sempit belum ditetapkan namun
penyempitan rongga panggul dapat diprediksi ketika jumlah antara diameter
interspinarum dan diameter sagital posterior <13.5 cm (normalnya 10.5 cm
ditambah 5 cm adalah 15.5 cm). Selain itu penyempitan rongga panggul juga dapat
diprediksi

dengan

menghitung

diameter

interspinarum

saja.

Diameter

interspinarum <10 cm dapat menandakan kecurigaan terjadinya penyempitan


sedangkan diameter interspinarum < 8 cm daat menandakan terjadinya
penyempitan.
2.8.3.3 Pintu Bawah Panggul Sempit (Contracted Outlet)

12

Pintu bawah panggul terdiri atas 2 bidang datar yang keduanya berbentuk
segitiga. Kedua segitiga tersebut dibagi menjadi segitiga anterior, dan segitiga
posterior dan memiliki alas yang sama yang dibentuk oleh garis antara kedua tuber
os iskii. Bagian segitiga posterior memiliki puncak berupa ujung sakrum, dan
bagian lateralnya dibatasi oleh sacrotuberous ligaments dan tuber os iskii.
Sedangkan bagian anterior memiliki puncak yang dibentuk oleh bagian bawah os
pubis. Bagian bawah tersebut memiliki sudut yang disebut dengan arkus pubis.
Normalnya arkus pubis memiliki sudut 90o 100o. Selain itu, jarak antara kedua
tuber os iskii dinamakan sebagai distansia tuberum. Normalnya distansia tuberum
memiliki panjang + 10,5 cm. Kedua pengukuran tersebut merupakan pengukuran
yang penting untuk menentukan pintu bawah yang sempit. Arkus pubis yang
sudutnya kurang dari 90o maka kepala janin akan lebih sulit dilahirkan karena
memerlukan tempat lebih banyak ke arah dorsal. Selain itu, pintu panggul bawah
yang sempit juga dapat dikatakan sempit ketika distansia tuberum memiliki panjang
kurang dari 8 cm. Panggul bawah sempit tanpai disertai rongga panggul sempit
sangat jarang.
2.9 KELAINAN KALA SATU
2.9.1

Fase Laten Memanjang


Menurut Friedman, fase laten pada persalinan dimulai ketika ibu mulai

merasakan kontraksi yang regular. Pada fase ini kontraksi uterus berlangsung
bersamaan dengan perlunakan dan pendataran serviks. Kecepatan pembukaan
serviks yang setara dengan kecapatan pada persalinan fase aktif, tidak dapat
ditentukan berdasarkan pembukaan serviks tertentu. Sebagian ibu mulai setara
dengan persalinan fase aktif setelah pembukaan 5 cm sementara sebagian lain
mencapai kecepatan fase aktif pada pembukaan 3 cm. Maka dari itu, fase laten
dimulai dengan adanya his yang teratur disertai oleh pembukaan serviks yang
progresif, dan berakhir pada pembukaan 3-5 cm. Setelah itu, fase persalinan aktif
dimulai apabila dilatasi serviks mencapai 5 cm.
Fase laten berkepanjangan didefinisikan ketika fase laten berlangsung lebih
dari 20 jam pada nulipara dan 14 jam pada multipara. Keadaan fase laten yang
berkepanjangan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti: pengunaan
anestesia regional atau sedasi yang berlebihan, keadaan serviks yang buruk (tebal,

13

tidak mengalami pendataran, atau tidak membuka), dan persalinan palsu. Keadaan
ini dapat diperbaiki dengan istirahat atau stimulasi oksitosin. Istirahat maupun
stimulasi oksitosin sama efektif dan amannya dalam memperbaiki keadaan ini
namun istirahat lebih disarankan karena persalinan palsu sering tidak diketahui.
Amniotomi tidak disarankan pada keadaan ini karena menghindari kejadian
persalinan palsu untuk menghindari terjadinya infeksi.
2.9.2

Fase Aktif Memanjang

Kemajuan persalinan memiliki kurva khusus yang menunjukkan bahwa pada


pembukaan serviks antara 3-4 cm terjadi kemajuan persalinan yang cepat.
Perubahan kecepatan tersebut yang menunjukkan bahwa fase aktif persalinan sudah
dimulai. Secara konsistensi, fase aktif persalinan dimulai ketika serviks mengalami
pembukaan 3 sampai 4 cm. Maka dari itu, pembukaan serviks 3-4 cm atau lebih
yang disertai dengan kontraksi uterus yang regular ditandai sebagai batas awal
persalinan aktif. Disamping itu, keadaan ini dapat diakibatkan kontraksi uterus yang
tidak adekuat yang didefinisikan sebagai kontraksi yang kurang dari 180
Montevideo unit.

Gambar 2.2. Gambaran Kontraksi uterus yang tidak adekuat.


Durasi persalinan fase aktif pada nulipara memiliki rata-rata 4,9 jam dengan
kecepatan pembukaan serviks berkisar antara 1,2 sampai 6,8/jam. Hal itu
memberikan kesimpulan bahwa pada ibu nulipara sudah masuk ke dalam fase aktif
dengan pembukaan 3-4 cm diharapkan mencapai pembukaan 8 sampai 10 cm dalam

14

3-4 jam setelahnya. Angka tersebut dapat dijadikan sebuah patokan untuk
memprediksikan terjadinya partus pada nulipara.
Kelainan

pada

fase

aktif

ini

dibagi

lagi

menjadi

persalinan

berkepanjangan/berlarut-larut (protraction), dan persalinan macet/tak maju


(arrest). Protraksi didefinisikan sebagai kecepatan pembukaan yang kurang dari 1,2
cm/jam atau penurunan kurang dari 1 cm/jam pada nulipara dan 1,5 cm/jam atau
penurunan kurang dari 2 cm/jam pada multipara. Selain itu persalinan macet/tak
maju (arrest) merupakan pembukaan atau penurunan yang berhenti secara total.
Maka dari itu, persalinan macet dibagi lagi menjadi kemacetan pembukaan (arrest
of dilatation) dan kemacetan penurunan (arrest of descent). Kemacetan pembukaan
didefinisikan sebagai serviks yang tidak mengalami pembukaan dalam 2 jam.
Kemacetan penurunan didefinisikan sebagai tidak adanya penurunan janin dalam 1
jam. Berdasarkan WHO (1994) Protraction didefinisikan sebagai pembukaan
serviks kurang dari 1 cm/jam selama minimal 4 jam. American College of
Obstetricians and Gynecologists (2013) telah merekomendasikan kriteria diagnosis
kelainan protraction dan arrest seperti yang ditunjukkan pada tabel 2.1.

Tabel 2.2. kriteria diagnosis pada Kala satu memanjang


Keadaan persalinan fase aktif yang memanjang dipengaruhi oleh beberapa
faktor, seperti: sedasi berlebihan, anestesia regional, dan malposisi janin, misalnya
oksiput posterior persisten. Pada keadaan ini, seorang klinisi disarankan untuk
melakukan pemeriksaan fetopelvik untuk mengetahui adanya disproporsi
sefalopelvik. Pada pasien yang tidak memiliki disproporsi sefalopelvik dianjurkan
pemberian oksitosin sedangkan jika terdapat disproporsi sefalopelvik dianjurkan
penatalaksanaan menunggu.
2.10

KELAINAN KALA DUA

15

2.10.1 Kala Dua Memanjang


Kala dua persalinan diawali dengan pembukaan serviks yang lengkap dan
diakhiri dengan lahirnya janin. Kala dua memiliki durasi rata-rata 50 menit untuk
nulipara dan 20 menit untuk mulipara. Keadaan ini dapat terjadi pada seorang ibu
dengan panggul sempit atau janin besar, atau dengan kelainan gaya ekspulsif. Kala
2 persalinan dibatasi 2 jam dan diperpanjang sampai 3 jam apabila digunakan
analgesia regional. Sedangkan pada multipara dibatasi satu jam dan diperpanjang
sampai 2 jam pada penggunaan analgesia regional. Menurut kilpatrick dan lapros,
durasi persalinan kala I sampai kala II memiliki rata-rata 9 jam pada nulipara dan 6
jam pada multipara tanpa analgesia regional.
2.10.2 Penyebab Kurang Adekuatnya Gaya Ekspulsif
Pada saat serviks dilatasi lengkap, wanita akan merasakan rasa ingin mengedan
atau mendorong setiap kali terjadi kontraksi uterus. Hal tersebut mengakibatkan
kekuatan kombinasi antara kontraksi uterus dengan gaya dorong otot abdominal
sehingga mengakibatkan turunnya janin. Terkadang, gaya yang dihasilkan oleh
otot-otot abdomen dapat memperlambat bahkan mencegah terjadinya persalinan
spontan. Pada keadaan sedasi kuat atau analgesia regional, refleks mendorong atau
mengedan dapat berkurang akibat kemampuan otot abdomen juga berkurang.
Disamping itu, rasa ingin mengedan dapat ditutupi oleh nyeri hebat akibat proses
persalinan. Terdapat dua pendekatan mengenai proses mengedan pada proses kala
II pada wanita dengan analgesi epidural. Pendekatan pertama mengatakan untuk
mengedan sekuat tenaga ketika sudah terjadi pembukaan walaupun tanpa disertai
rasa ingin mengedan. Pendekatan kedua mengatakan agar pemberian analgesi
dihentikan dan mengedan dimulai ketika rasa mules muncul.
2.11

KOMPLIKASI DISTOSIA

2.11.1 Komplikasi Ibu


2.11.1.1

Infeksi Intrapartum

Infeksi intrapartum merupakan salah satu komplikasi yang serius pada ibu
dengan partus lama apabila ketika disertai dengan ketuban pecah. Komplikasi yang
dapat terjadi akibat infeksi intrapartum adalah sepsis pada ibu dan janin. Hal
tersebut dapat terjadi dikarenakan bakteri di dalam cairan amnion dapat menembus
amnion dan menginvasi desidua serta pembuluh korion. Disamping itu, pada janin

16

dapat juga terinfeksi pneumonia akibat aspirasi cairan amnion yang terinfeksi.
Maka dari itu pemeriksaan dalam pada kondisi partus lama terutama dengan
ketuban pecah dibatasi.
2.11.1.2

Ruptur Uteri

Pada pasien dengan paritas tinggi dan dengan riwayat seksio sesarea
cenderung terjadi penipisan abnormal pada segmen bawah uterus. Bila membran
amnion pecah dan cairan amnion mengalir keluar, janin akan didorong ke segmen
bawah rahim melalui kontraksi. Jika kontraksi berlanjut, segmen bawah rahim akan
meregan sehingga menjadi menipis dan mudah ruptur. Ruptur uterus merupakan
salah satu dari kedaruratan obstetrik yang berbahaya.
Pada keadaan tersebut, jika tidak terjadi ruptur uteri, dapat terbentuk cincin
retraksi patologis yang dapat diraba. Persalinan perabdominam diindikasikan
apabila terdapat keadaan seperti ini. Ruptur uterus dapat menyebabkan terjadinya
pendarahan dan syok, bila tidak dilakukan penanganan maka dapat berakibat
berbahaya.
2.11.1.3

Cincin Retraksi Patologis

Persalinan yang berkepanjangan dapat menimbulkan suatu konstriksi atau


cincin lokal uterus. Terjadinya cincin lokal uterus ini sangat jarang. Tipe yang
paling sering adalah cincin retraksi patologis Bandl. Cincin ini sering timbul akibat
persalinan yang terhambat, disertai dengan peregangan dan penipisan berlebihan
segmen bawah uterus. Penemuan adanya cincin ini, menunjukkan adanya ancaman
terjadinya ruptur segmen bawah uterus.

Gambar 2.3. Cincin retraksi patologis (bandl)


17

2.11.1.4

Fistula

Jika kepala janin terhambat cukup lama dalam pelvis maka sebagian
kandung kemih, serviks, vagina, rektum terperangkap diantara kepala janin dan
tulang-tulaang pelvis mendapat tekanan yang berlebihan. Akivat kerusakan
sirkulasi, oksigenasi pada jaringa-jaringan ini menjadi tidak adekuat sehingga
terjadi nekrosis yang dalam beberapa hari diikuti dengan pembentukan fistula.
Fistula dapat berbentuk vesiko-vaginal (diantara kandung kemih dan vagina),
vesiko-servikal (diantara kandung kemih dan serviks) atau rekto-vaginal (diantara
rektum dan vagina). Fistula umumnya terbentuk setelah kala II persalinan yang
sangat lama dan biasanya terjadi pada nulipara, terutama di negara dengan
kehamilan usia dini.
2.11.1.5

Cedera Dasar Panggul

Otot-otot dasar panggul merupakan bagian yang terpapar langsung dengan


presentasi janin. Pada bagian tersebut terjadi penekanan akibat tekanan ke arah
bawah akibat dari kekuatan mengedan ibu. Maka dari itu, dapat terjadi cedera pada
bagian ini. Penekanan tersebut dapat mengakibatkan perubahan pada anatomi dan
fungsi dari bagian dasar panggul seperti otot, saraf, dan jaringan ikat. Disamping
itu, cedera dasar panggul juga dapat mempengaruhi inkontinensia urin dan
terjadinya prolaps organ pelvis. Saraf yang dapat terkena akibat proses persalinan
adalah n. Fibularis communis. Lesi pada saraf tersebut akibat penekanan dapat
mengakibatkan terjadinya foot drop. Walaupun demikian, gejala tersebut dapat
hilang dalam waktu 6 bulan setelah persalinan.
2.11.2 Komplikasi Janin
Kejadian partus lama juga dapat merugikan janin. Kejadian sepsis pada
janin juga dapat meningkat dengan kejadisan partus lama terutama ketika terdapat
ketuban pecah dini. Infeksi intrapartum bukan hanya merupakan penyulit yang
serius pada ibu, namun juga dapat mengakibatkan kematian pada bayi. Disamping
itu, distosia juga dapat mengakibatkan caput succedaneum dan molding pada bayi.
Trauma mekanik juga dapat terjadi seperti cedera saraf, fraktur, dan
cepphalohematoma.

18

2.11.2.1

Kaput Suksedaneum

Kaput suksedaneum merupakan edema pada kepala janin yang muncul


akibat persalinan lama. Kaput suksedaneum sering terjadi dengan persalinan pada
panggul yang sempit. Kaput ini dapat berukuran cukup besar dan dapat hampir
mencapai dasar panggul. Kaput suksedaneum dapat hilang dalam beberapa hari
walaupun yang berukuran cukup besar sekalipun.
2.11.2.2

Molase Kepala Janin

Molase merupakan perubahan pada tulang kepala janin yang diakibatkan


oleh gaya kompresi luar. Pada keadaan ini, lempeng-lempeng tulang tengkorak
saling bertumpang tindih satu sama lain di sutura-sutura besar. Biasanya, bagian
median tulang parietal yang berkontak dengan promonorium bertumpang tindih
dengan tulang disebelahnya. Perubahan tersebut sering terjadi tanpa menimbulkan
kerugian yang nyata. Keadaan ini dapat disertai tanpa komplikasi yang nyata
namun dapat juga disertai dengan robekan tentorium, laserasi pembuluh darah
janin, dan perdarahan intrakranial pada janin.
Pada molase, tulang parietal yang berkontak dengan promontorium
memperlihatkan tanda-tanda mendapat tekanan besar, kadang menjadi datar.
Akomodasi lebih mudah ketika tulang kepala belum mengalami osifikasi sempurna.
Ketika kepala belum mengalami osifikasi sempurna, kepala lebih lunak dan mudah
mengalami molase sehingga janin dapat lahir spontan. Sedangkan ketika kepala
sudah mengalami osifikasi tahap lanjut, kepala tetap mempertahankan bentuknya
sehingga terjadi distosia.
Fraktur tengkorak kadang dijumpai jika dilakukan upaya persalinan secara
paksa. Fraktur dapat terjadi pada persalinan spontan maupun seksio sesarea. Fraktur
biasanya terlihat sebagai alur dangkal atau cekukngan berbentuk sendok tepat di
posterior sutura koronaria. Alur dangkal

sering dijumpai, namun biasanya

mengenai lempeng tulang eksternal maka fraktur jenis ini tidak berbahaya. Fraktur
yang berbentuk sendok, apabila tidak diperbaiki secara bedah dapat mengakibatkan
kematian neonatus karena fraktur ini dapat melukai otak. Pada kejadian ini, tulang
yang cekung sebaiknya dielevasi atau dihilangkan.

19

Gambar 2.4. Kaput suksadenum pada bayi

20

BAB III
ILUSTRASI KASUS
3.1 IDENTITAS
Nama

: Ny. EM

No. RM

: 01475325

Jenis kelamin : Perempuan


Usia

: 30 Tahun

Pendidikan

: Tamat SMA

Pekerjaan

: Pegawai Swasta

Status

: Menikah

Agama

: Islam

Suku/bangsa : Jawa

3.2 ANAMNESIS
Dilakukan autoanamnesis pada tanggal 12 November 2014
Keluhan Utama
Dirujuk karena persalinan lama sejak 3 jam SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengaku hamil 38 minggu. Hari pertama haid terakhir (HPHT) lupa.
Taksiran Persalinan (TP) lupa. Saat ini merupakan kehamilan yang pertama. ANC
di bidan sebanyak + 10x dan dikatakan normal. USG sebanyak 7x. Hasil USG
terakhir dikatakan kondisi dan letak janin normal. Keluar air (+) sejak 6 jam
sebelum masuk rumah sakit. keluar lendir darah (+), keputihan (-), mual (-), muntah

21

(-), pusing (-), sakit kepala (-), kaki bengkak (-), pandangan kabur (-), Dirujuk dari
rumah sakit kecamatan pancoran, dikatakan persalinan lama.

Riwayat Penyakit Dahulu


Diabetes mellitus, hipertensi, penyakit jantung, hepatitis, keganasan,
stroke, ginjal, alergi dan asma tidak ada.
Riwayat Penyakit Keluarga
Diabetes mellitus, hipertensi, penyakit jantung, asma, dan alergi pada
keluarga tidak ada. Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti
pasien.
Riwayat Menstruasi
Menarche: 14 tahun, siklus: teratur, 28 hari, lamanya: 5 hari, banyaknya: 5
pembalut/hari, dismenore : (-)
Riwayat Pernikahan
Riwayat pernikahan: 1x, usia pernikahan 1 tahun
Riwayat obstetri: G1P0A0
1. Hamil ini
Riwayat KB: 3.3 PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum

: Tampak sakit ringan

Kesadaran

: Compos mentis

Tanda vital

:TD130/80 mmHg

N :89x/menit

22

RR : 22x/menit

S : 36,3C

BB : 52 kg
TB : 156 cm
Kepala

:normocephali, rambut hitam, distribusi merata.

Mata

: pupil bulat isokor, konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -

/-.
THT

: mukosa tidak hiperemis, sekret (-)

Leher

: KGB tidak teraba membesar

Jantung

: BJ I-II normal regular, murmur (-), gallop (-)

Pulmo

: suara napas vesikuler, ronchi (-), wheezing (-)

Abdomen

: Shifting dullness (+), (lihat status obstetri)

Extremitas

: akral hangat, CRT <3, edema -/-

Status Obstetri
Abdomen
Inspeksi

: simetris, membuncit sesuai dengan usia kehamilan, striae


gravidarum (+)

Palpasi
Leopold I

: TFU 30 cm, teraba satu bagian besar, bulat, lunak, tidak


melenting

Leopold II

: Kanan : teraba satu bagian besar yang memanjang


Kiri : teraba bagian-bagian kecil janin

23

Leopold III

: teraba satu bagian besar, bulat, keras dan melenting

Leopold IV

: tidak dilakukan

His : -

DJJ : 152 dpm

Status Ginekologi
Inspeksi: V/U tenang, perdarahan (-)
Inspekulo: tidak dilakukan
VT : kepala hodge II, UUK kiri depan, ketuban sisa jernih, kaput hodge
III, terdapat moulase grade III
RT : tidak dilakukan
3.3 PARTOGRAF

24

3.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG


USG
Tampak janin presentasi kepala tunggal hidup, plasenta implantasi di
fundus
BPD : 10.63

HC : 34.14

AC : 26.51

8.23

~38-39 minggu

TBJ 3480 gr

FL :

25

Pemeriksaan Laboratorium (11 November 2014)


Pemeriksaan

Hasil

Hb

9,6 g/dl

Hematokrit

31 %

Leukosit

29.100

Trombosit

216.000

Eritrosit

4.590.000

MCV/MCH/MCHC/RDW

72/22,1/30,7/14,9

SGOT

22

SGPT

13

Albumin

3,50

Ureum darah

28

Kreatinin

0,6

GDS

164

LDH

518

Natrium darah

132

Kalium darah

3,94

Klorida darah

102

PT

0,9x

aPTT

0,9x

26

3.6 RESUME
Pasien Ny. EM, 30 tahun, G1P0A0 dirujuk oleh rumah sakit kecamatan
pancoran karena persalinan lama. Pasien mengaku hamil 38 minggu. Hari pertama
haid terakhir (HPHT) dan taksiran persalinan lupa. ANC di rumah sakit sudah +10x.
USG sebanyak 7x dilakukan setiap periksa di rumah sakit. Hasil USG terakhir
dikatakan kondisi dan posisi janin normal. Keluar air (+) sejak 6 jam SMRS. Lendir
darah (+).
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, dan status generalis
dalam batas normal. Dari status obstetri didapatkan presentasi kepala dan punggung
kanan. Dari pemeriksaan dalam didapatkan kepala sudah turun dengan kepala
hodge II, UUK kiri depan, ketuban sisa jernih, kaput hodge III, dan terdapat
moulase grade III. Dari hasil USG didapatkan BPD 10.63, HC 34.14, AC 26.51, FL
8.23 dengan TBJ 3480 gr. Dari pemeriksaan lab didapatkan Anemia (Hb 9.6 g/dl),
leukositosis (Leukosit 29.100), Anemia mikrositik hipokromik (MCV 72, MCH
22.1, MCHC 30.7.
3.7 DIAGNOSIS
Distosia PK II pada G1 hamil 38-39 minggu, janin presentasi kepala
tunggal hidup, syarat ekstraksi tidak terpenuhi.
3.8 TATA LAKSANA

RDx :
o Cek laboratorium (DPL, UL, GDS, SGOT/SGPT,
Ureum/Kreatinin, LDH, Asam urat, Albumin.)

RTx:
o SC CITO

27

3.9 PROGNOSIS

Ad vitam : bonam

Ad sanationam : dubia ad bonam

Ad fungtionam : bonam

28

BAB IV
ANALISIS KASUS

Distosia PK II pada G1 hamil 38-39 minggu, janin presentasi kepala tunggal hidup,
syarat ekstraksi tidak terpenuhi pada pasien ini berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang.
Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien dirujuk dari RS sebelumnya karena persalinan
lama sejak 3 jam SMRS. Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, dan status
generalis dalam batas normal. Dari status obstetri didapatkan presentasi kepala dan punggung
kanan. Dari pemeriksaan dalam didapatkan kepala sudah turun dengan kepala hodge II, UUK
kiri depan, ketuban sisa jernih, kaput hodge III, dan terdapat moulase grade III. Dari hasil USG
didapatkan BPD 10.63, HC 34.14, AC 26.51, FL 8.23 dengan TBJ 3480 gr. Dari pemeriksaan
lab didapatkan Anemia (Hb 9.6 g/dl), leukositosis (Leukosit 29.100), Anemia mikrositik
hipokromik (MCV 72, MCH 22.1, MCHC 30.7).
Berdasarkan hasil partograf, pasien ini dapat didiagnosis juga dengan distosia PK I aktif
tipe persalinan macet/tak maju (arrest). Hal ini dikarenakan pembukaan serviks pada pasien ini
tidak mengalami kemajuan selama 4 jam. Jika berdasarkan literatur, kemacetan pembukaan
didefinisikan sebagai serviks yang tidak mengalami pembukaan dalam 2 jam. Maka dari itu,
pada pasien ini memiliki riwayat persalinan macet sebelum terjadinya kala 2.
Distosia PK II pada pasien ini ditegakkan berdasarkan lamanya persalinan. Pada
pasien ini dikatakan bahwa persalinan sudah dimulai sejak 3 jam SMRS sedangkan persalinan
kala II dikatakan distosia apabila kala II pesalinan melebihi 2 jam dan diperpanjang sampai 3
jam apabila digunakan anastesia regional. Pada pasien ini tidak digunakan anastesia regional
sehingga pada pasien ini dapat dikatakan sebagagai distosia PK II.
Prinsip penanganan distosia PK II adalah mencegah terjadinya komplikasi pada janin
maupun pada ibu. Hal ini dikarenakan dapat membahayakan kondisi janin maupun pada ibu
nya. Disamping itu, kita harus mempertimbangkan apakah adanya disproporsi antara panggul
dengan kepala janin. Hal itu dibutuhkan untuk menentukan apakah bayi dapat dilahirkan
dengan alat bantu atau dengan seksio sesarea. Pada pasien ini, kepala janin sudah turun dengan
kepala hodge II dan didapatkan adanya moulase grade III. Moulase adalah salah satu
komplikasi kepada janin akibat dari adanya disproporsi antara panggul dan kepala janin. maka
dari itu pada pasien ini janin tidak dapat dilahirkan dengan spontan. Hal itu dikarenakan dapat
29

meningkatkan kemungkinan terjadinya komplikasi akibat persalinan yang lama. Maka dari itu,
pada pasien ini disarankan dilakukan seksio sesarea.
Prognosis pada pasien ini adalah ad vitam : bonam. Hal ini berdasarkan data bahwa
tanda-tanda komplikasi dari ibu pasien masih belum muncul. Komplikasi terhadap ibu dengan
distosia adalah infeksi intrapartum, ruptur uteri, cincin retraksi patologis, fistula, dan cedera
dasar panggul. Dari komplikasi tersebut, yang harus diperhatikan adalah infeksi intrapartum.
Maka dari itu, tanda-tanda infeksi intrapartum harus diperthatikan. Pada pasien ini, tidak ada
tanda-tanda infeksi baik pada sebelum partus. Prognosis dapat baik jika penanganan awalnya
secara cepat dan tepat. Dasar prognosis ad sanationam dubia ad bonam adalah karena pada
pasien ini kemungkinan terdapat disproporsi antara panggul dan kepala janin. Pada janin
terdapat moulase grade III yang menandakan adanya disproporsi. Maka dari itu, pada pasien
ini dapat terjadi distosia kembali jika keadaan seperti ini terulang lagi. Dasar prognosis ad
functionam adalah pada pasien ini karena pada pasien tidak terdapat adanya tanda-tanda
komplikasi pada ibu.

30

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Distosia merupakan lahir sulit yang dikarakteristikkan dengan progresifitas persalinan
lambat yang abnormal. Pada kasus ini terdapat tanda-tanda persalinan macet yang
ditandai dengan tidak majunya pembukaan serviks selama 4 jam. Kemudian ketika
pasien mulai memasuki kala 2, terdapat tanda-tanda kala 2 memanjang yang ditandai
dengan pembukaan lengkap sejak 3 jam sebelum masuk rumah sakit. Disamping itu,
terdapat komplikasi pada janin berupa moulase. Rencana pasien ini adalah management
aktif dengan melakukan tindakan SC yang sifatnya emergensi (CITO). Sedangkan
perawatan konservatif dilakukan dengan observasi tanda-tanda komplikasi pada ibu
seperti infeksi intrapartum, ruptur uteri, cincin retraksi patologis, fistula, dan cedera
dasar panggul. Selain itu diperlukan juga observasi tanda-tanda komplikasi pada bayi
berupa kaput suksadenum dan fraktur tengkorak akibat molase.
Saran :
1. Deteksi dini distosia pada saat dimulainya kala 1 laten sehingga dapat mengurangi
komplikasi pada ibu maupun janin.
2. Observasi dan pengawasan yang ketat selama proses persalinan sehingga dapat segera
mengambil keputusan yang tepat.

31

DAFTAR PUSTAKA

1.

Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY, editors.
Williams obstetrics. 23rd edition. USA: The McGraw-Hill Companies; 2010

2.

Prawirohardjo S. Ilmu kebidanan. Edisi Keempat. Jakarta: PT. Bina Pustaka


Sarwono Prawirohardjo; 2010

3.

Marceau CV, Demers S, Goyet M, Gauthier R, et al. Labor dystocia and the risk of
uterine rupture in women with a prior cesarean. American Journal of Obstetric &
Gynecology. 2014

4.

Wiberg-Itzel E, H Akerud. A new treatment of labor dystocia. American Journal of


Obstetric & Gynecology. 2015

5.

Macara LM, Murphy KW. The contribution of dystocia to the cesarean section rate.
American Journal of Obstetric & Gynecology. 1994

6.

Odriscoll K, Foley M, MacDonald D. Active management of labor as an alternative


to cesarean section for dystocia. Obstetrics & Gynecology, 1984 journal.lww.com

7.

Chelmow D, Kilpatrick SJ, Laros RK. Maternal and neonatal outcomes after
prolonged latent phase. Obstet Gynecol. 1993.

32

Anda mungkin juga menyukai