Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Myastenia gravis merupakan penyakit kelemahan otot yang parah. Penyakit ini
merupakan penyakit neuromuscular yang merupakan gabungan antara cepatnya terjadi
kelelahan otot-otot volunter dan lambatnya pemulihan. Pada masa lampau kematian
akibat dari penyakit ini bisa mencapai 90%, tetapi setelah ditemukannya obat-obatan
dan tersedianya unit-unit perawatan pernafasan, maka sejak itulah jumlah kematian
akibat penyakit ini bisa dikurangi. Sindrom klinis ini ditemukan pertama kali pada
tahun 1600, dan pada akhir tahun 1800 myastenia gravis dibedakan dari kelemahan
otot akibat paralisis burbar. Pada tahun 1920 seorang dokter yang menderita penyakit
myastenia gravis merasa lebih baik setelah minum obat efidrin yang sebenarnya obat
ini ditujukan untuk mengatasi kram menstruasi. Dan pada tahun 1934 seorang dokter
dari Inggris bernama Mary Walker melihat adanya gejala-gejala yang serupa antara
myastenia gravis dengan keracunan kurare. Mary Walker menggunakan antagonis
kurare yaitu fisiotigmin untuk mengobati myastenia gravis dan ternyata ada kemajuan
nyata dalam penyembuhan penyakit ini. Myastenia gravis banyak timbul pada usia 20
tahun, perbandingan antara wanita dan pria yang menderita penyakit ini adalah 3:1.
Tingkat manusia yang kedua yang paling sering terserang penyakit ini adalah pria
dewasa yang lebih tua. Kematian dari penyakit myastenia gravis biasanya disebabkan
oleh insufisiensi pernafasan, tetapi dapat dilakukannya perbaikan dalam perawatan
intensif untuk pertahanan sehingga komplikasi yang timbul dapat ditangani dengan
lebih baik. Penyembuhan dapat terjadi pada 10 % hingga 20 % pasien dengan
melakukan timektomi elektif pada pasien-pasien tertentu dan yang paling cocok
dengan jalan penyembuhan seperti ini.

B. Tujuan Persentasi
Dengan persentasi makalah Myastenia Gravis ini kita sebagai peserta pelatihan
ICU dewasa dapat mengerti dan memahami konsep tentang asuhan keperawatan pada
klien dengan myastenia gravis karena sangat bermanfaat bagi kita dalam memberikan
asuhan keperawatan.

1
C. Ruang Lingkup Masalah
Penulisan materi makalah ini berdasarkan pada teori yang bertujuan untuk
mengetahui bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan myastenia gravis yang
meliputi definisi, fisiologi, fatofisiologi, etiologi masalah, pemeriksaan penunjang,
penatalaksanaan medik, pengkajian, masalah keperawatan, rencana tindakan dan
evaluasi.

2
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Definisi
Myastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi trasmisi
neuromuskuler pada otot tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran seseorang
(volunteer). Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan dan
umumnya terjadi kelelahan pada otot-otot volunter dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi
saraf cranial (Smeltzer . C, 2001).
Myastenia gravis adalah penyakit yang menyerang hubungan antara sistem saraf
(nervus) dan sistem otot (muskulus). Penyakit myastenis gravis ditandai dengan
kelemahan dan kelelahan pada beberapa atau seluruh otot, di mana kelemahan tersebut
diperburuk dengan aktivitas terus menerus atau berulang-ulang (Price, Sylvia A dan
Lorraine M. Wilson, 2005).
Myastenia gravis adalah penyakit autoimun yang menyerang neuromuskular
juction ditandai oleh suatu kelemahan otot dan cepat lelah akibat adanya antibodi
terhadap reseptor asetilkolin (AchR) sehingga jumlah AchR di neuromuskular juction
berkurang (Setyohadi B, 2009).
Jadi, Myastenia gravis adalah penyakit yang mempengaruhi trasmisi
neuromuskuler pada otot tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran seseorang (volunteer)
ditandai oleh suatu kelemahan otot dan cepat lelah akibat adanya antibodi terhadap
reseptor asetilkolin (AchR) sehingga jumlah AchR di neuromuskular juction berkurang.

B. Epidemiologi
Prevalensi penderita dengan myastenia gravis di Amerika Serikat pada tahun 2004
diperkirakan mencapai 20 per 100.000 penduduk. Prevalensi pasti mungkin lebih tinggi
karena kebanyakan kasus myastenia gravis tidak terdiagnosis. Insiden myastenia gravis
mencapai 1 dari 7500 penduduk, menyerang semua kelompok umur. Penelitian
epidemiologi telah menunjukkan kecenderungan peningkatan prevalensi penyakit
myastenia gravis dan angka kematian yang meningkat di atas umur 50 tahun. Pada
umur 20-30 tahun myastenia gravis lebih banyak dijumpai pada wanita. Sementara itu
diatas 60 tahun lebih banyak pada pria (perbandingan ratio wanita dan pria adalah 3:2).

3
C. Anatomi dan Fisiologi Neuromuscular Junction
Sebelum memahami tentang myastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi dan
fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting. Potensial aksi di neuron
motorik merambat cepat dari badan sel di dalam SSP ke otot rangka di sepanjang akson
bermielin besar (serat eferen) neuron. Sewaktu mendekati otot, akson membentuk
banyak cabang terminal dan kehilangan selubung mielinnya. Masing-masing dari
terminal akson ini membentuk persambungan khusus, neuromuscular junction, dengan
satu dari banyak sel otot yang membentuk otot secara keseluruhan. Sel otot, disebut
juga serat otot, berbentuk silindris dan panjang. Terminal akson membesar membentuk
struktur mirip tombol, terminal button yang pas masuk ke cekungan dangkal, atau
groove , di serat otot dibawahnya. Sebagian ilmuwan menyebut neuromuscular junction
sebagai “motor end plate”.
Pada neuromuscular junction, sel saraf dan sel otot sebenarnya tidak berkontak
satu sama lain. Celah antara kedua struktur ini terlalu besar untuk memungkinkan
transmisi listrik suatu impuls antara keduanya. Karenanya, seperti di sinaps saraf,
terdapat suatu pembawa pesan kimiawi yang mengangkut sinyal antara ujung saraf dan
serat otot. Neurotransmitter ini disebut sebagai asetilkolin (ACh).
Membran Pre Synaptic mengandung asetilkolin (ACh) yang disimpan dalam bentuk
vesikel-vesikel. Jika terjadi potensial aksi, maka Ca+ Voltage Gated Channel akan
teraktivasi. Terbukanya channel ini akan mengakibatkan terjadinya influx Calcium.
Influx ini akan mengaktifkan vesikel-vesikel tersebut untuk bergerak ke tepi membran.
Vesikel ini akan mengalami docking pada tepi membran. Karena proses docking ini,
maka asetilkolin yang terkandung di dalam vesikel tersebut akan dilepaskan ke dalam
celah synaptic. ACh yang dilepaskan tadi, akan berikatan dengan reseptor asetilkolin
(AChR) yang terdapat pada membran post-synaptic. AChR ini terdapat pada lekukan-
lekukan pada membran post-synaptic. AChR terdiri dari 5 subunit protein, yaitu 2
alpha, dan masing-masing satu beta, gamma, dan delta. Sub unit-sub unit ini tersusun
membentuk lingkaran yang siap untuk mengikat ACh. Ikatan antara ACh dan AChR
akan mengakibatkan terbukanya gerbang Natrium pada sel otot, yang segera
setelahnya akan mengakibatkan influx Na+. Influx Na+ ini akan mengakibatkan
terjadinya depolarisasi pada membran post-synaptic. Jika depolarisasi ini mencapai nilai
ambang tertentu (firing level), maka akan terjadi potensial aksi pada sel otot tersebut.
Potensial aksi ini akan dipropagasikan (dirambatkan) ke segala arah sesuai dengan
karakteristik sel eksitabel, dan akhirnya akan mengakibatkan kontraksi. ACh yang

4
masih tertempel pada AChR kemudian akan dihidrolisis oleh enzim Asetilkolinesterase
(AChE) yang terdapat dalam jumlah yang cukup banyak pada celah synaptic. ACh akan
dipecah menjadi Kolin dan Asam Laktat. Kolin kemudian akan kembali masuk ke
dalam membran pre-synaptic untuk membentuk ACh lagi. Proses hidrolisis ini
dilakukan untuk dapat mencegah terjadinya potensial aksi terus menerus yang akan
mengakibatkan kontraksi terus menerus.

D. Patofisiologi
Dalam kasus myastenia gravis terjadi penurunan jumlah Acetyl Choline
Receptor(AChR). Kondisi ini mengakibakan Acetyl Choline (ACh) yang tetap
dilepaskan dalam jumlah normal tidak dapat mengantarkan potensial aksi menuju
membran post-synaptic. Kekurangan reseptor dan kehadiran ACh yang tetap pada
jumlah normal akan mengakibatkan penurunan jumlah serabut saraf yang diaktifkan
oleh impuls tertentu, inilah yang kemudian menyebabkan rasa sakit pada pasien.
Pengurangan jumlah AChR ini dipercaya disebabkan karena proses auto-immun di
dalam tubuh yang memproduksi anti-AChR bodies, yang dapat memblok AChR dan
merusak membran post-synaptic. Etipatogenesis proses autoimun pada myastenia
gravis tidak sepenuhnya diketahui, walaupun demikian diduga kelenjar timus turut
berperan pada patogenesis myastenia gravis. Sekitar 75 % pasien myastenia gravis
menunjukkan timus yang abnormal, 65% pasien menunjjukan hiperplasi timus yang
menandakan aktifnya respon imun dan 10 % berhubungan dengan thymoma.

5
PATHWAY MYASTENIA GRAVIS

Gangguan autoimune yang merusak aseptor asetil kolin

Jumlah membran asitil kolin berkurang pada membran


postsinap

Kerusakan pada transmisi impuls syaraf menuju sel-sel otot


karena kehilangan kemampuan atau hilangnya reseptor
normal membran post-inap pada sambungan
neuromuskular.

Penurunan hubungan neuromuscular dan kelemahan otot-otot

Otot-otot Otot wajah, Otot volunter Otot


ocular laring, faring pernafasan

Gangguan Kelemahan Ketidakmampua


otot levator Regurgitasi otot-otot n batuk efektif ,
palpebra makanan ke rangka kelemahan otot-
hidung pada saat otot pernafasan
menelan, suara
Ptosis & diplopia abnormal, Hambatan
ketidakmampuan mobilisasi fisik
menutup rahang MK:

MK: MK: 1. Ketidakefektif


Gangguan Intoleransi an pola nafas
citra diri aktivitas 2. Ketidakefektif
MK: an bersihan
1. Resti aspirasi jalan nafas
2. Gangguan
pemenuhan Krisis
nutirisi myastenia
3. Kerusakan
komunikasi
verbal kematian

6
E. Gejala Klinis
Penyakit myastenia gravis ditandai dengan adanya kelemahan dan kelelahan.
Kelemahan otot terjadi seiring dengan penggunaan otot secara berulang, dan semakin
berat dirasakan di akhir hari. Gejala ini akan menghilang atau membaik dengan
istirahat. Kelompok otot-otot yang melemah pada penyakit myastenis gravis memiliki
pola yang khas. Pada awal terjadinya myastenia gravis, otot kelopak mata dan gerakan
bola mata terserang lebih dahulu. Akibat dari kelumpuhan otot-otot tersebur, muncul
gejala berupa penglihatan ganda (melihat benda menjadi ada dua atau disebut diplopia)
dan turunnya kelopak mata secaara abnormal (ptosis).

Gambar 2. Ptosis Pada Miastenia gravis Generalisat


A. Kelopak mata tidak simetris,kiri lebih rendah dari kanan.
B. Setelah menatap 30 detik ptosis semakin bertambah

Myastenia gravis dapat menyerang otot-otot wajah, dan menyebabkan penderita


menggeram saat berusaha tersenyum serta penampilan yang seperti tanpa ekspresi.
Penderita juga akan merasakan kelemahan dalam mengunyah dan menelan makanan
sehingga berisiko timbulnya regurgitasi dan aspirasi. Selain itu, terjadi gejala gangguan
dalam berbicara, yang disebabkan kelemahan dari langit-langit mulut dan lidah.
Sebagian besar penderita myastenia gravis akan mengalami kelemahan otot di seluruh
tubuh, termasuk tangan dan kaki. Kelemahan pada anggota gerak ini akan dirasakan
asimetris . Bila seorang penderita myastenia gravis hanya mengalami kelemahan di
daerah mata selama 3 tahun, maka kemungkinan kecil penyakit tersebut akan
menyerang seluruh tubuh. Penderita dengan hanya kelemahan di sekitar mata disebut
Myastenia gravis okular. Penyakit Myastenia gravis dapat menjadi berat dan

7
membahayakan jiwa. Myastenia gravis yang berat menyerang otot-otot pernafasan
sehingga menimbulkan gejala sesak nafas. Bila sampai diperlukan bantuan alat
pernafasan, maka penyakit myastenia gravis tersebut dikenal sebagai krisis myastenia
gravis atau krisis miastenik. Umumnya krisis miastenik disebabkan karena adanya
infeksi pada penderita myastenia gravis.
Secara umum, gambaran klisnis Myastenia yaitu:
 Kelemahan otot yang progresif pada penderita
 Kelemahan meningkat dengan cepat pada kontraksis otot yang berulang
 Pemulihan dalam beberapa menit atau kurang dari satu jam, dengan istirahat
 Kelemahan biasanya memburuk menjelang malam
 Otot mata sering terkena pertama (ptosis, diplopia), atau otot faring lainnya
(disfagia, suara sengau)
 Kelemahan otot yang berat berbeda pada setiap unit motorik
 Kadang-kadang, kekuatan otot tiba-tiba memburuk
 Tidak ada atrofi atau fasikulasi.

Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia gravis dapat


diklasifikasikan sebagai berikut:
Kelas I Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata,
dan kekuatan otot-otot lain normal.
Kelas II Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya
kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular.
Kelas IIa Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. juga
terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan.
Kelas IIb Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya.
Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan
dibandingkan klas IIa.
Kelas III Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-
otot lain selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang.
Kelas IIIa Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya
secara predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan.
Kelas IIIb Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya
secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-

8
Kelas IV Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat
yang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam
berbagai derajat.
Kelas IVa Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-
otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan.
Kelas IVb Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya
secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot
anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan.
Penderita menggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi.
Kelas V Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.
Untuk menilai tingkat respon terhadap terapi dan prognosis, Osserman membuat
klasifikasi klinis sebagai berikut :
a. Kelompok I Myastenia Okular : hanya menyerang otot-otot okular, disertai ptosis
dan diplopia. Sangat ringan dan tidak ada kasus kematian (15-20 %).
b. Kelompok II A Myastenia umum ringan : progres lambat, biasanya pada mata ,
lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan bulbar. Sistem pernafasan tidak
terkena, respon terhadap terapi obat baik angka kematian rendah (30 %)
Kelompok II B Myastenia umum sedang : progres bertahap dan sering disertai
gejala-gejala okular, lalau berlanjut semakin berat dengan terserangnya otot-otot
rangka dan bulbar. Respon terhadap terapi obat kurang memuaskan dan aktivitas
pasien terbatas. (25 %).
c. Kelompok III Myastenia fulminan akut : progres yang cepat dengan kelemahan
otot-otot rangka dan bulbar yang berat disertai mulai terserangnya otot-otot
pernafasan. Biasanya penyakit berkembang maksimal dalam waktu 6 bulan. Dalam
kelompok ini, persentase thymoma paling tinggi. Respon terhadap obat buruk dan
angka kematian tinggi. (15%)
d. Kelompok IV : Myastenia Berat lanjut : timbul paling sedikit 2 tahun sesudah
progress gejala-gejala kelompok I atau II. Respon terhadap obat dan prognosis
buruk. (10 %)

9
F. Diagnosis
Diagnosis Myastenia gravis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik yang khas, tes antikolinesterase, EMG, serologi untuk antibodi AchR dan CT-Scan
atau MRI toraks untuk melihat adanya timoma.
1. Anamnesis
Adanya kelemahan/ kelumpuhan otot yang berulang setelah aktivitas dan membaik
setelah istirahat. Tersering menyerang otot-otot mata (dengan manifestasi: diplopi
atau ptosis), dapat disertai kelumpuhan anggota badan (terutama triceps dan
ekstensor jari-jari), kelemahan/kelumpuhan otot-otot yang dipersarafi oleh nervi
cranialis, dpat pula mengenai otot pernafasan yang menyebabkan penderita bisa
sesak.
2. Tes klinik sederhana:
 Tes watenberg/simpson test : memandang objek di atas bidang antara kedua bola
mata > 30 detik, lama-kelamaan akan terjadi ptosis (tes positif).
 Tes pita suara: penderita disuruh menghitung 1-100, maka suara akan
menghilang secara bertahap (tes positif).
3. Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Endrofonium merupakan antikolinesterase kerja pendek yang memperpanjang kerja
acetilkolin pada nerumuscular juction dalam beberapa menit. Untuk uji tensilon,
disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena selama 15 detik, bila dalam 30 detik
tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8-9 mg tensilon secara
intravena. Segera setelah tensilon disuntikkan kita harus memperhatikan otot-otot
yang lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan adanya ptosis. Bila
kelemahan itu benar disebabkan oleh myastenia gravis, maka ptosis itu akan segera
lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat
seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat. Efek sampingnya dapat
menyebabkan bradikardi dan untuk mengatasinya dapat digunakan atropin.
4. Uji Prostigmin (neostigmin)
Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat secara
intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin 0,8 mg). Bila kelemahan itu benar
disebabkan oleh myastenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis,
strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.

10
5. Laboratorium
 Anti striated muscle (anti-SM) antibody
Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 85% pasien yang menderita
timoma dalam usia kurang dari 40 tahun.Sehingga merupakan salah satu tes yang
penting pada penderita Myastenia gravis. Pada pasien tanpa timoma anti-SM
Antibodi dapat menunjukkan hasil positif pada pasien dengan usia lebih dari 40
tahun.
 Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies
Hampir 50% penderita Myastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab
negatif (Myastenia gravis seronegatif), menunjukkan hasil yang positif untuk
anti-MuSK Ab.
 Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu Myastenia
gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 70%-95% dari penderita
Myastenia gravis generalisata dan 50% - 75 % dari penderita dengan Myastenia
okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif.
Pada pasien timoma tanpa Myastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-
AChR antibody
6. Elektrodiagnostik
Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi neuro
muscular melalui 2 teknik :
 Single-fiber Electromyography (SFEMG)
SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa
peningkatan titer dan fiber density yang normal. Karena menggunakan jarum
single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot
penderita, sehingga SFEMG dapat mendeteksi suatu titer (variabilitas pada
interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit
yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal
yang dapat direkam oleh jarum perekam).
 Repetitive Nerve Stimulation (RNS)
Pada penderita Myastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin,
sehingga pada RNS terdapat adanya penurunan suatu potensial aksi.

11
7. Gambaran Radiologi
Chest x-ray (foto rontgen thorax). Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan
lateral. Pada roentgen thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa
pada bagian anterior mediastinum.
 Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya thymoma
ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan untuk
mengidentifikasi thymoma pada semua kasus Myastenia gravis, terutama pada
penderita dengan usia tua.
 MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin.
MRI dapat digunakan apabila diagnosis Myastenia gravis tidak dapat ditegakkan
dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit
pada saraf otak.

G. Penatalaksanaan
a. Acetilkolinesterase inhibitor
Dapat diberikan piridostigmin bromida (mestinon) 30-120 mg/3-4 jam/oral. Dosis
parenteral 3-6 mg/4-6 jam/ iv tiap hari akan membantu pasien untuk mengunyah,
menelan, dan beberapa aktivitas sehari-hari. Pada malam hari, dapat diberikan
mestinon long-acting 180 mg. Apabila diperlukan, neostigmin bromida
(prostigmine): 7,5-45 mg/2-6 jam/oral. Dosis parenteral : 0,5-1 mg/4 jam/iv atau im.
Neostigmin dapat menginaktifkan atau menghancurkan kolinesterase sehingga
asetilkolin tidak segera dihancurkan. Akibatnya aktifitas otot dapat dipulihkan
mendekati normal, sedikitnya 80-90% dari kekuatan dan daya tahan semula.
Pemberian antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada Myastenia gravis
golongan IIA dan IIB. Efek samping pemberian antikolinesterase disebabkan oleh
stimulasi parasimpatis, termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan,
berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek samping gastro
intestinal (efek samping muskarinik) berupa kram atau diare dapat diatasi dengan
pemberian propantelin bromida atau atropin.
b. Kortikosteroid
Dapat diberikan prednison dimulai dengan dosis rawal 10-20 mg, dinaikkan bertahap
(5-10 mg/minggu) 1x sehari selang sehari, maksimal 120 mg/6 jam/oral, kemudian
diturunkan sampai dosis minimal efektif. Efek sampingnya dapat berupa:

12
peningkatan berat badan, hiperglikemia, osteopenia, ulkus gaster dan duodenum,
katarak.
c. Azatioprin
Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang baik,
efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan terutama berupa
gangguan saluran cerna,peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat ini diberikan
dengan dosis 2-3 mg/kg BB/hari/oral selama 8 minggu pertama. Setiap minggu harus
dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan
laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali. Pemberian prednisolon bersama-sama
dengan azatioprin sangat dianjurkan.
d. Plasma Exchange (PE)
PE paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek yang
menguntungkan menjadi prioritas.Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-
asetilkolin secara efektif.Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi.
Dimana pasien yang mendapat tindakan berupa hospitalisasi dan intubasi dalam
waktu yang lama serta trakeostomi, dapat diminimalisasikan karena efek dramatis
dari PE.Terapi ini digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang
mengalami masa krisis. PE dapat memaksimalkan tenaga pasien yang akan
menjalani timektomi atau pasien yang kesulitan menjalani periode pasca operasi.
Jumlah dan volume dari
e. Intravenous Immunoglobulin (IVIG)
Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1
gram/kgbb/hari selama 2 hari.
f. Timektomi
Timektomi umumnya dianjurkan pada pasien umur 10-55 tahun dengan Myastenia
gravis generalisata. Walaupun timektomi merupakan terapi standar di berbagai
pusat pengobatan namun keeefektivitasannya belum dapat dipastikan oleh penelitian
prospektif yang terkontrol. Timektomi diindikasi pada terapi awal pasien dengan
keterlibatan ekstremitas bawah dan bulbar.

13
H. Diagnosa Banding
Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosis Myastenia gravis, antara lain:
a. Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III pada
beberapa penyakit selain Myastenia gravis, antara lain :
 Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika)
 Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring
 Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii
 Paralisis pasca difteri
 Pseudoptosis pada trachom
b. Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan adanya suatu
sklerosis multipleks.
c. Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome)
Penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan kelelahan pada otot
anggota tubuh bagian proksimal dan disertai dengan kelemahan relatif pada otot-otot
ekstraokular dan bulbar. Pada LEMS, terjadi peningkatan tenaga pada detik-detik
awal suatu kontraksi volunter, terjadi hiporefleksia, mulut kering, dan sering kali
dihubungkan dengan suatu karsinoma terutama oat cell carcinoma pada paru. EMG
pada LEMS sangat berbeda dengan EMG pada Myastenia gravis. Defek pada
transmisi neuromuscular terjadi pada frekuensi rendah (2Hz) tetapi akan terjadi
hambatan stimulasi pada frekuensi yang tinggi (40 Hz). Kelainan pada Myastenia
gravis terjadi pada membran postsinaptik sedangkan kelainan pada LEMS terjadi
pada membran pre sinaptik, dimana pelepasan asetilkolin tidak berjalan dengan
normal, sehingga jumlah asetilkolin yang akhirnya sampai ke membran postdinaptik
tidak mencukupi untuk menimbulkan depolarisasi.

I. Prognosis
Pada Myastenia gravis Ocular, dimana kelemahan pada mata menetap lebih dari 2
tahun, hanya 10-20% yang berkembang menjadi Myastenia gravis generalisata.
Penanganan dengan steroid dan imusupresi masi kontroversial. Pada Myastenia gravis
generalisata, membaik dengan pemberian imunosupresi, timektomi, dan pemberian obat
yang dianjurkan. Grob melaporkan angka kematian 7 %, membaik 50 % dan tidak ada
perubahan 30 %.

14
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
 Identitas klien : Meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin, status
 Keluhan utama : Keluhan utama yang sering menyebabkan klien myastenia gravis
meminta pertolongan kesehatan sesuai dengan kondisi dari adanya penurunan atau
kelemahan otot-otot dengan manifestasi diplopia (penglihatan ganda), ptosis
(jatuhnya kelopak mata) merupakan keluhan utama dari 90% klien myastenia gravis,
disfonia (gangguan suara), masalah menelan dan mengunyah makanan. Pada kondisi
berat keluhan utama biasanya adalah ketidakmampuan menutup rahang,
ketidakmampuan batuk efektif dan dispnea.
 Riwayat kesehatan : Diagnosa myastenia didasarkan pada riwayat dan presentasi
klinis. Riwayat kelemahan otot setelah aktivitas dan pemulihan kekuatan parsial
setelah istirahat sangatlah menunjukkan myastenia gravis, pasien mungkin mengeluh
kelemahan setelah melakukan pekerjaan fisik yang sederhana, riwayat adanya
jatuhnya kelopak mata pada pandangan atas dapat menjadi signifikan, juga bukti
tentang kelemahan otot. Selain itu juga perlu diperhatikan tentang riwayat penyakit
sekarang, dahulu dan riwayat penyakit keluarga.
 Pengkajian Psiko-sosial-spiritual : Klien myastenia gravis sering mengalami
gangguan emosi dan kelemahan otot apabila mereka berada dalam keadaan tegang.
Adanya kelemahan pada kelopak mata (ptosis), diplopia, dan kerusakan dalam
komunikasi verbal menyebabkan klien sering mengalami gangguan citra diri.
 Pemeriksaan fisik:
1. Airway
a. Yakinkan kepatenan jalan napas
b. Berikan alat bantu napas jika perlu (guedel atau nasopharyngeal)
c. Jika terjadi penurunan fungsi pernapasan segera kontak ahli anestesi dan
bawa segera mungkin ke ICU
2. Breathing
 B1 (Breathing)
Inspeksi apakah klien mempunyai kemampuan atau penurunan batuk efektif,
produksi sputum, dispnea, penggunaan otot-otot bantu pernafasan dan

15
peningkatan frekuensi pernafasan sering didapatkan pada klien yang
disertai adanya kelemahan otot-otot pernafasan. Auskultasi bunyi nafas
tambahan seperti ronchi atau stridor pada klien menandakan adanya
akumulasi secret pada jalan nafas dan penurunan kemampuan otot-otot
pernafasan.
3. Circulation
 B2 (Bleeding)
Pengkajian pada system kardiovaskuler terutama dilakukan untuk
memantau perkembangan status kardiovaskuler, terutama denyut nadi
(takikardi/bradikardi) dan tekanan darah (hipertensi/hipotensi) yang
secara progresif akan berubah sesuai dengan kondisi tidak
membaiknya status pernafasan.
4. Disability
 B3 (Brain)
1. Tingkat kesadaran Biasanya pada kondisi awal kesadaran klien masih baik
2. Fungsi serebral
Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya
bicara dan observasi ekspresi wajah, aktivitas motorik yang mengalami
perubahan seperti adanya gangguan perilaku, alam perasaan, dan persepsi
3. Pemeriksaan saraf cranial
a. Saraf I (Olftactorius)
Biasanya pada klien epilepsi tidak ada kelainan dan fungsi penciuman
tidak ada kelainan.
b. Saraf II ( Opticus)
Penurunan pada test ketajaman penglihatan, klien sering mengeluh
adanya penglihatan ganda
c. Saraf III (Okulomotoris), IV (Troklearis) dan VI (abdusen)
Sering didapat adanya ptosis. Adanya oftalmoplegia, mimic dari
Pseudointernuklear oftalmoplegia akibat gangguan motorik pada saraf
VI .
d. Saraf V (Trigimenus)
Didapatkan adanya paralisis pada otot wajah akibat kelumpuhan pada
otot-otot wajah.

16
e. Saraf VII (Facialis)
Persepsi pengecapan terganggu akibat adanya gangguan motorik
lidah/triple-furrowed lidah
f. Saraf VIII (Auditorius)
Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi
g. Saraf IX (Glosofaringeis) dan X (vagus)
Ketidakmampuan dalam menelan
h. Saraf XI (asesorius)
Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius
i. Saraf XII (Hipoglosus)
Lidah tidak simetris, adanya deviasi pada satu titik akibat kelemahan
otot motorik pada lidah/triple-furrowed lidah.
4. System motorik
Karakteristik utama miastenia gravis adalah kelemahan dari system
motorik. Adanya kelemahan umum pada otot-otot rangka memberikan
manifestasi pada hambatan mobilitas dan intoleransi aktivitas klien.
5. Pemeriksaan reflek
Pemeriksaan reflex dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau
periosteum derajat reflex pada respon normal
6. System sensorik
Pemeriksaan sensorik pada epilepsy biasanya didapatkan perasaan raba
normal, perasaan suhu normal, tidak ada perasaan abnormal di permukaan
tubuh.
5. Exposure
 B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada system perkemihan biasanya didapatkan
berkurangnya volume output urine, hal ini berhubungan dengan
penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal. Selain itu
dimungkinkan adanya penurunan fungsi kandung kemih, retensi
urine, hilangnya sensasi saat berkemih.
 B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam
lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien miastenia gravis menurun

17
karena ketidakmampuan menelan makanan sekunder dari kelemahan otot-
otot menelan, kelemahan otot diafragma dan peristaltik usus turun.
 B6 (Bone)
Adanya kelemahan otot-otot volunter memberikan hambatan pada mobilitas
dan mengganggu aktivitas perawatan diri.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan.
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan produksi
mucus dan penurunan kemampuan batuk efektif
3. Gangguan aktivitas hidup sehari-hari berhubungan dengan kelemahan fisik umum,
keletihan
4. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia, gangguan
pengucapan kata, gangguan neuromuscular, kehilangan kontrol tonus otot fasial
atau oral.
5. Gangguan citra diri berhubungan dengan adanya ptosis, ketidakmampuan
komunikasi verbal.

18
C. Rencana Keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan Intervensi Rasional


Kriteria hasil
1. Ketidakefektifan Tujuan : a. Kaji kemampuan ventilasi a. Untuk klien dengan penurunan kapasitas
pola nafas Dalam waktu 1×24 jam ventilasi, perawat mengkaji frekuensi
berhubungan setelah diberikan pernapasan, kedalaman, dan bunyi nafas,
dengan intervensi, pola pantau hasil tes fungsi paru-paru (volume
kelemahan otot pernafasan tidal, kapasitas vital, kekuatan inspirasi),
pernafasan klien kembali efektif. dengan interval yang sering dalam
Kriteria hasil: mendeteksi masalah pau-paru, sebelum
1. Irama, frekuensi, dan perubahan kadar gas darah arteri dan
kedalaman pernafasan sebelum tampak gejala klinik.
b. Kaji kualitas, frekuensi, dan
dalam batas normal, b. Dengan mengkaji kualitas, frekuensi, dan
kedalaman pernapasan, laporkan
2. Bunyi nafas terdengar kedalaman pernapasan, kita dapat
setiap perubahan yang terjadi.
jelas, mengetahui sejauh mana perubahan kondisi
3. Rrespirator terpasang c. Baringkan klien dalam posisi yang klien.
dengan optimal nyaman dalam posisi duduk. c. Penurunan diafragma memperluas daerah
dada sehingga ekspansi paru bisa maksimal
d. Observasi tanda-tanda vital (nadi,
RR). d. Peningkatan RR dan takikardi merupakan

19
e. Kolaborasi untuk pemasangan indikasi adanya penurunan fungsi paru.
respirator e. Respirator mengambil alih fungsi ventilasi
yang terganggu akibat kelemahan dari otot-
otot pernafasan.
2. Ketidakefektifan Tujuan : a. Kaji warna, kekentalan dan jumlah a. Karakteristik sputum dapat
bersihan jalan Dalam waktu 3×24 jam Sputum menunjukkan berat ringannya obstruksi
nafas setelah diberikan b. Atur posisi semi fowler b. Meningkatkan ekspansi dada
berhubungan intervensi, jalan nafas c. Pertahankan asupan cairan sedikitnya c. Hidrasi yang adekuat membantu
dengan kembali efektif. 2500 ml/hari kecuali tidak mengencerkan secret dan
peningkatan Kriteria hasil : diindikasikan mengefektifkan pembersihan jalan
produksi mucus 1. Dapat nafas. Alasan lain untuk memperbanyak
dan penurunan mendemonstrasikan masukan cairan adalah kecenderungan
kemampuan batuk efektif, klien untuk bernafas melalui mulut
batuk efektif 2. Dapat menyatakan yang meningkatkan kehilangan air.
strategi untuk Menghirup air yang diuapkan juga
menurunkan membantu karena uap ini dapat
kekentalan sekresi, melembabkan percabangan bronchial.
d. Lakukan fisioterapi dada dengan
3. Tidak ada suara d. Bila ada kelemahan otot
teknik drainage postural, perkusi,
tambahan, dan abdominal,interkostal, dan faring yang
fibrasi dada, serta lakukan suction
pernafasan klien hebat, klien tidak mampu batuk dan
normal nafas dalam atau membersihkan sekresi.

20
(16-20×/menit) tanpa Terapi fisik dada yang terdiri atas
ada penggunaan otot drainage postural bertujuan untuk
bantu nafas memobilisasi sekresi dan suction untuk
mengeluarkan secret dilakukan sesering
mungkin. Drainage postural dengan
perkusi dan vibrasi menggunakan
bantuan gaya gravitasi untuk membantu
menaikkan sekresi sehingga dapat
dikeluarkan atau dihisap dengan mudah.
Drainage postural biasanya dilakukan
ketika klien bangun untuk membuang
sekresi yang telah terkumpul sepanjang
malam dan sebelum istirahat, untuk
meningkatkan tidur.
3. Gangguan Setelah dilakukan a. Kaji kemampuan klien dalam a. Menjadi data dasar dalam melakukan
aktivitas hidup tindakan keperawatan melakukan aktivitas. intervensi selanjutnya
sehari-hari selama 3x 24 jam Infeksi b. Atur cara beraktivitas klien sesuai b. Menjadi partisipan dalam pengobatan,
berhubungan bronkhopulmonal dapat kemampuan. Sasaran klien adalah klien harus belajar tentang fakta-fakta dasar
dengan dikendalikan untuk memperbaiki kekuatandan daya tahan. mengenai agen-agen antikolinesterase-
kelemahan fisik menghilangkan edema kerja, waktu, penyesuaian dosis, gejala-
umum, keletihan. inflamasi dan gejala kelebihan dosis, danefek toksik. Dan

21
. memungkinkan yang penting pada pengguaan medikasi
penyembuhan aksi dengan tepat waktu adalah ketegasan
siliaris normal. Infeksi c. Evaluasi kemampuanaktivitas motorik c. Menilai singkat keberhasilan dari terapi
pernapasan minor yang yang boleh diberikan.
tidak memberikan
dampak pada individu
yang memiliki paru-paru
normal, dapat berbahaya
bagi klien dengan
PPOM. Dengan
Kriteria Hasil:
1. Frekuensi nafas 16-20
x/menit, frekuensi
nadi 70-90x/menit,
dan
2. kemampuan batuk
efektif dapat optimal,
3. Tidak ada tanda
peningkatan suhu
tubuh.
4. Gangguan Klien dapat a. Kaji komunikasi verbal klien. a. Kelemahan otot-otot bicara klien

22
komunikasi menunjukkan pengertian krisismiastenia gravis dapat berakibat
verbal terhadap masalah padakomunikasi
berhubungan komunikasi, mampu b. Lakukan metode komunikasi yang b. Teknik untuk meningkatkan komunikasi
dengan disfonia, mengekspresikan ideal sesuai dengan kondisiklien. meliputi mendengarkan klien, mengulangi
gangguan perasaannya, mampu apa yang mereka coba komunikasikan dengan
pengucapan kata, menggunakan bahasa jelas dan membuktikan yang
gangguan isyarat dengan diinformasikan, berbicara dengan
neuromuscular, 1. Kriteria Hasil: klienterhadap kedipan mata mereka dan
kehilangan Terciptanya suatu atau goyangkan jari-jari tangan atau kaki
kontrol tonus otot komunikasi di mana untuk menjawab ya/tidak. Setelah periode
fasial atau oral. kebutuhan klien dapat krisis klien selalu mampu mengenal
dipenuhi, c. Beri peringatan bahwa klien di ruang kebutuhan mereka.
2. Klien mampu ini mengalami gangguan berbicara, c. Untuk kenyamanan yang berhubungan
merespons setiap sediakan bel khusus bila perlu. dengan ketidakmampuan komunikasi.
berkomunikasi secara d. Antisipasi dan bantu kebutuhan klien.
verbal maupun isyarat d. Membantu menurunkan frustasi oleh karena
ketergantungan atau ketidakmampuan
e. Ucapkan langsung kepada klien berkomunikasi
dengan berbicara pelan dan tenang, e. Mengurangi kebingungan atau kecemasan
gunakan pertanyaan dengan  jawaban terhadap banyaknya informasi. Memajukan
”ya” atau ”tidak” dan perhatikan stimulasi komunikasi ingatan dan kata-kata.

23
respon klien
f. Kolaborasi: konsultasi keahli terapi
bicara. f. Mengkaji kemampuan verbal individual,
sensorik, dan motorik, serta fungsi
kognitif untuk mengidentifikasi defisit dan
kebutuhan terapi.
5. Gangguan citra Setelah dilakukan a. Kaji perubahan dari gangguan a. Menentukan dalam menyusun rencana
diri berhubungan asuhan perawatan selama persepsi dan hubungan dengan derajat perawatan atau pemilihan intervensi.
dengan adanya 3x24 jam diharapkan ketidak mampuan.
ptosis, Citra diri klien b. Identifikasi arti dari kehilangan atau b. Beberapa klien dapat menerima dan
ketidakmampuan meningkat dengan disfungsi pada klien. mengatur beberapa fungsi secara
komunikasi Kriteria Hasil: efektif dengan sedikit penyesuaian diri,
verbal. 1. Mampu menyatakan sedangkan yang lain mempunyai kesulitan
atau membandingkan mengenal dan mengatur
mengkomunikasikan kekurangan.
c. Bantu dan anjurkan perawatan yang c. Membantu meningkatkan perasaan harga
dengan orang terdekat
baik dan memperbaiki kebiasaan. diri dan mengontrol lebih dari satu area
tentang situasi dan
perubahan yang kehidupan.
d. Anjurkan orang yang terdekat untuk
sedang terjadi, d. Menghidupkan kembali perasaan
mengizinkan klien melakukan hal
2. mampu menyatakan kemandirian dan membantu perkembangan
untukdirinya sebanyak-banyaknya.
penerimaan diri harga diri serta mempengaruhi proses

24
terhadap situasi, e. Kolaborasi: rujuk pada ahli rehabilitasi.
mengakui dan neuropsikologi dan konseling bila e. Dapat memfasilitasi perubahan peran yang
menggabungkan adaindikasi. penting untuk perkembangan perasaan.
perubahan ke dalam
kosep diri dengan cara
yang akurat tanpa
harga diri yang
negatif

25
D. Implementasi
Implementasi dilaksanakan sesuai dengan intervensi yang telah ditetapkan dari
diagnosa yang ditegakkan sesuai hasil pengkajian yang dilakukan kepada klien.

E. Evaluasi
Dari intervensi yang ada dan implementasi yang dilakukan diharapkan :
1. Bersihan jalan napas efektif.
2. Mencapai fungsi pernapasan adekuat.
3. Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari dan beradaptasi terhadap keletihan
4. Pasien mampu berkomunikasi dengan alternatif pilihan pasien
5. Pasien mampu mengekspresikan konsep diri yang positif

26
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS

27
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Myastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-
menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul karena
adanya gangguan dari Synaptictransmission atau pada neuromuscular junction.
Gangguan tersebut akan mempengaruhi transmisi neuromuscular pada otot tubuh
yang kerjanya dibawah kesadaran seseorang (volunter).
Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria. Rasio
perbandingan wanita dan pria yang menderita miastenia gravis adalah 3 : 1. Pada
wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 20 tahun,
sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 40 tahun. Pada anak,
prognosis sangat bervariasi tetapi relatif lebih baik daripada orang dewasa.
Secara garis besar, pengobatan Myastenia gravis berdasarkan 3 prinsip, yaitu:
1. Mempengaruhi transmisi neuromuskuler
2. Mempengaruhi proses imunologik
3. Penyesuaian penderita terhadap kelemahan otot.

B. Saran
Dengan adanya makalah ini, semoga dapat digunakan sebagai pedoman bagi
pembaca baik tenaga kesehatan khususnya perawat dalam pemberian asuhan
keperawatan secara professional. Selain itu pembaca diharapkan dapat
mengaplikasikan tindakan pencegahan dan penanggulangan untuk menghindari
penyakit Myastenia gravis ini. Mungkin dalam penyusunan makalah ini masih
banyak kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik demi
kesempurnaan penyusunan makalah ini.

28

Anda mungkin juga menyukai