Anda di halaman 1dari 15

Asuhan Keperawatan Miastenia Gravis

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Miastenia gravis adalah kelemahan otot yang cukup berat dimana terjadi kelelahan otot-
otot secara cepat dengan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu 10 hingga 20 kali lebih lama
dari normal). Myasthenia gravis mempengaruhi sekitar 400 per 1 juta orang. Kelemahan otot yang
parah yang disebabkan oleh penyakit tersebut membawa sejumlah komplikasi lain, termasuk
kesulitan bernapas, kesulitan mengunyah dan menelan, bicaracadel, kelopak mata murung dan
kabur atau penglihatan ganda. Myasthenia gravis dapat mempengaruhi orang-orang dari segala
umur. Namun lebih sering terjadi pada para wanita, yaitu wanita berusia antara 20 dan 40 tahun.
Pada laki-laki lebih dari 60 tahun. Dan jarang terjadi selama masa kanak-kanak. Miastenia gravis
banyak timbul pada usia 20 tahun, perbandingan antara wanita dan pria yang menderita penyakit ini
adalah 3:1. Tingkatan usia yang kedua yang paling sering terserang penyakit ini adalah pria dewasa
yang lebih tua. Kematian dari penyakit Miastenia gravis biasanya disebabkan oleh insufisiensi
pernafasan, tetapi dapat dilakukannya perbaikan dalam perawatan intensif untuk pertahanan
sehingga komplikasi yang timbul dapat ditangani dengan lebih baik.
Siapapun bisa mewarisi kecenderungan terhadap kelainan autoimun ini. Sekitar 65%
orang yang mengalami myasthenia gravis mengalami pembesaran kelenjar thymus, dan sekitar 10%
memiliki tumor pada kelenjar thymus (thymoma). Sekitar setengah thymoma adalah kanker
(malignant). Beberapa orang dengan gangguan tersebut tidak memiliki antibodi untuk reseptor
acetylcholine tetapi memiliki antibodi terhadap enzim yang berhubungan dengan pembentukan
persimpangan neuromuskular sebagai pengganti. Orang ini bisa memerlukan pengobatan berbeda.
Pada 40% orang dengan myasthenia gravis, otot mata terlebih dahulu terkena, tetapi 85% segera
mengalami masalah ini. Pada 15% orang, hanya otot-otot mata yang terkena, tetapi pada
kebanyakan orang, kemudian seluruh tubuh terkena, kesulitan berbicara dan menelan dan
kelemahan pada lengan dan kaki yang sering terjadi. Pegangan tangan bisa berubah-ubah antara
lemah dan normal. Otot leher bisa menjadi lemah. Sensasi tidak terpengaruh.

1.2 Rumusan masalah


1. Bagaimana konsep miastenia gravis?
2. Bagaimana konsep proses keperawatan pada miastenia gravis?

1.3 Tujuan penulisan


1. Menjelaskan konsep dan proses keperawatan miastenia gravis.
2. Mengetahui asuhan keperawatan pada miastenia gravis
1.5 Manfaat penulisan
1. Mahasiswa mampu dan mengerti tentang miastenia gravis
2. Mahasiswa mampu menerapkan asuhan keperawatan pada pasien miastenia gravis

BAB 2
Tinjauan Teoritis
2.1 Definisi
Miastenia gravis merupakan bagian dari penyakit neuromuskular. Miastenia gravis adalah
gangguang yang memengaruhi transmisi neuromuskular pada otot tubuh yang kerjanya di bawah
kesadaran seseorang (volunter). Miastenia gravis merupakan kelemahan otot yang parah dan satu-
satunya penyakit neuromuskular dengan gabungan antara cepatnya terjadi kelelahan otot-otot
volunter dan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu 10-20 kali lebih lama dari normal). (Price
dan Wilson, 1995).
Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan dan umumnya terjadi
kelelahan pada otot-otot volunter yang dipengaruhi oleh fungsi saraf kranial. Serangan dapat terjadi
pada beberapa usia, ini terlihat paling sering pada wanita antara 15-35 tahun dan pada pria sampai
40 tahun.

2.2 Etiologi
Kelainan primer pada Miastenia gravis dihubungkan dengan gangguan transmisi pada
neuromuscular junction, yaitu penghubung antara unsur saraf dan unsur otot. Pada ujung akson
motor neuron terdapat partikel -partikel globuler yang merupakan penimbunan asetilkolin (ACh).
Jika rangsangan motorik tiba pada ujung akson, partikel globuler pecah dan Ach dibebaskan
yang dapat memindahkan gaya saraf yang kemudian bereaksi dengan ACh Reseptor (AChR)
pada membran postsinaptik. Reaksi ini membuka saluran ion pada membran serat otot dan
menyebabkan masuknya kation, terutama Na, sehingga dengan demikian terjadilah kontraksi
otot.
1. Autoimun : direct mediated antibody
2. Virus
3. Pembedahan
4. Stres
5. Alkohol
6. Tumor mediastinum
7. Obat-obatan :
Antibiotik (Aminoglycosides, ciprofloxacin, ampicillin, erythromycin:
 B-blocker (propranolol)
 Lithium
 Magnesium
 Procainamide
 Verapamil
 Chloroquine
 Prednisone

2.3 Anatomi Fisiologi


Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi dan
fungsi normal darineuromuscular junction sangatlah penting. Tiap-tiap serat saraf secara
normal bercabang beberapa kali dan merangsang tiga hingga beberapa ratus serat otot
rangka. Ujung-ujung saraf membuat suatu sambungan yang disebut neuromuscular
junction atau sambungan neuromuscular (Howard, 2008; Newton, 2008). Bagian terminal
dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang disebut terminal bulb, yang
terbentang diantara celah-celah yang terdapat di sepanjang serat saraf. Membran
presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik (membran otot), dan celah sinaps
merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction
Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan membran post sinaptik.
Lebarnya berkisar antara 20-30 nanometer dan terisi oleh suatu lamina basalis, yang merupakan
lapisan tipis dengan serat retikular seperti busa yang dapat dilalui oleh cairan ekstraselular secara
difusi (Newton, 2008). Terminal presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya berisi asetilkolin
(ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian terminal namun dengan cepat diabsorpsi ke
dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil, yang dalam keadaan normal terdapat di bagian terminal
suatu lempeng akhir motorik (motor end plate) (Howard, 2008; Newton, 2008).
Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125 kantong
asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps. Bila potensial aksi menyebar
ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-ion kalsium ke bagian dalam terminal. Ion-
ion kalsium ini kemudian diduga mempunyai pengaruh tarikan terhadap vesikel asetilkolin.
Beberapa vesikel akan bersatu ke membran saraf dan mengeluarkan asetilkolinnya ke dalam
celah sinaps. Asetilkolin yang dilepaskan berdifusi sepanjang sinaps dan berikatan dengan
reseptor asetilkolin (AChRs) pada membran post sinaptik

2.4 Patofisisologi
Saraf besar bermielin yang berasal dari sel kornu anterior medulla spinalis dan batang
otak mempersarafi otot rangka atau otot lurik. Saraf-saraf ini mengirimkan aksonnya dalam
bentuk saraf-saraf spinal dan cranial menuju ke perifer. Masing-masing saraf bercabang banyak
sekali dan mampu merangsang sekitar 2000 serabut otot rangka. Gabungan antara saraf motorik
dan serabut-serabut otot yang dipersarafi dinamakan unit mototrik. Meskipun setiap neuron
mototrik mempersarafi banyak serabut otot, tetapi setiap serabut otot dipersarafi oleh hanya satu
neuron motorik. Daerah khusus yang merupakan tempat pertemuan antara saraf motorik dan
serabut otot disebut sinaps neuromuskular atau hubungan neuromuscular. Hubungan
neuromuskular merupakan suatu sinaps kimia antara saraf dan otot yang terdiri dari tiga
komponen dasar: unsur presinaps, elemen postsinaps, dan celah sinaps yang mempunyai lebar
sekitar 200Å. Unsur presinaps terdiri dari akson terminal dengan vesikel sinaps yang berisi
asetilkolin yang merupakan neurotransmitter. Asetilkolin disintesis dan disimpan dalam akson
terminal (bouton). Membran plasma akson terminal disebut membran presinaps. Unsur
postsinaps terdiri dari membrane postsinaps atau lempeng akhir motorik serabut otot. Membran
postsinaps dibentuk oleh invaginasi selaput otot atau sarkolema yang dinamakan alur atau palung
sinaps dimana akson terminal menonjol masuk ke dalamnya. Bagian ini mempunyai banyak
lipatan (celah-celah subneural) yang sangat menambah luas permukaan. Membran postsinaps
memiliki reseptor-reseptor asetilkolin dan mampu menghasilkan potensial lempeng akhir yang
selanjutnya dapat mencetuskan potensial aksi otot. Pada membrane postsinaps juga terdapat
suatu enzim yang dapat menghancurkan asetil kolin yaitu asetil kolinesterase. Celah sinaps
adalah ruang yang terdapat antara membran presinaps dan postsinaps. Ruang tersebut terisi
semacam zat gelatin, dan melalui gelatin ini cairan ekstrasel dapat berdifusi.
Bila impuls saraf mencapai hubungan neuromukular, maka membrane akson terminal
presinaps mengalami depolarisasi sehingga asetil kolin akan dilepaskan dalam celah sinaps.
Asetil kolin berdifusi melalui celah sinaps dan bergabung dengan reseptor asetil kolin pada
membran postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan perubahan permeabilitas terhadap natrium
maupun kalium pada membran postsinaps. Influks ion natrium danp engeluaran ion kalium
secara tiba-tiba menyababkan depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai potensial lempeng
akhir (EPP). Jika EPP ini mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi dalam membrane otot
yang tidak berhubungan dengan saraf, yang akan disalurkan sepanjang sarkolema.Potensial ini memicu
serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksi serabut otot. Sesudah transmisi melewati
hubungan neuromuskular terjadi, asetilkolin akan dihancurkan oleh enzim asetilkolinesterase.
Pada orang normal jumlah asetilkolin yang dilepaskan sudah lebih dari cukup untuk
menghasilkan potensial aksi. Pada Miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu. Jumlah
reseptor asetilkolin berkurang yang mungkin dikarenakan cedera autoimun. Pada klien dengan
Miastenia gravis, secara makroskopis otot-ototnya tampak normal. Jika ada atrofi, maka itu
disebabkan karena otot tidak digunakan. Secara mikroskopis beberapa kasus dapat ditemukan
infiltrasi limfosit dalam otot dan organ-organ lain, tetapi pada otot rangka tidak dapat ditemukan
kelainan yang konsisten.

2.5 Manifestasi Klinis


1) Kelemahan otot mata dan waja(hampir selalu ditemukan)
 Ptosis
 Diplobia
 Otot mimik
2) Kelemahan otot bulbar
 Otot-otot lidah
 Suara nasal, regurgitasi nasal
 Kesulitan dalam mengunyah
 Kelemahan rahang yang berat dapat menyebabkan rahang terbuka
 Kesulitan menelan dan aspirasi dapat terjadi dengan cairan è batuk dan tercekik saat minum
 Otot-otot leher
 Otot-otot fleksor leher lebih terpengaruh daripada otot-otot ekstensor
3) Kelemahan otot anggota gerak
4) Kelemahan otot pernafasan
 Kelemahan otot interkostal dan diaphragma menyebabkan retensi CO2 è hipoventilasi è
menyebabkan kedaruratan neuromuscular
 Kelemahan otot faring dapat menyebabkan gagal saluran nafas atas

KLASIFIKASI KLINIS
KELOMPOK I Hanya menyerang otot –otot okular, disertai ptosis dan
MIASTENIA diplopia. Sangat ringan, tak ada kasus kematian
OKULAR
KELOMPOK
MIASTENIA UMUM
 awitan (onset) lambat, biasanya pada mata, lambat laun
MIASTENIA UMUM
RINGAN menyebar ke otot – otot rangka dan bulbar
 Sistem pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi
obat baik
 Angka kematian rendah
 Awitan bertahap dan sering disertai gejala – gejala
MIASTENIA UMUM
SEDANG okular, lalu berlanjut semakin berat dengan terserangnya
seluruh otot – otot rangka dan bulbar
 Disartria, disfagia, dan sukar mengunyah lebih nyata
dibandingkan dengan miastenia gravis umum ringan. Otot
– otot pernapasan tidak terkena
 Respons terhadap terapi obat : kurang memuaskan dan
aktifitas klien terbatas, tetapi angka kematian rendah

MIASTENIA UMUM
1. Fulminan akut:
BERAT  Awitan yang cepat dengan kelemahan otot – otot rangka
dan bulbar dan mulai terserangnya otot – otot pernapasan.
 Biasanya penyakit berkembang maksimal dalam waktu 6
bulan
 Respons terhadap obat buruk
 Insiden krisis miastonik, kolinergik, maupun krisis
gabungan keduanya tinggi
 Tingkat kematian tinggi
2. Lanjut :
 Miastenia gravis berat timbul paling sedikit dua tahun
setelah awitan gejala – gejala kelompok I atau II
 Miastenia gravis dapat berkembang secara perlahan atau
tiba – tiba
 Respons terhadap obat dan prognosis buruk
 Miastenia dg kelemahan yg progresif dan terjadi gagal
KRISIS MIASTENIA
nafas à mengancam jiwa
 Kelanjutan dari mistenia generalisata berat
 Onset terjadi tiba2 dan biasanya dipicu oleh infeksi saluran
pernafasan atas yg berkembang menjadi bronkhitis atau
pnemoni,pekerjaan fisik yg berlebihan, melahirkan,

2.6 Pemeriksaan diagnostic


1) Laboratorium
Anti-acetylcholine receptor antibody
 85% pada miastenia umum
 60% pada pasien dengan miastenia okuler
Anti-striated muscle
 Pada 84% pasien dengan timoma dengan usia kurang dari 40 tahun
Interleukin-2 receptor
 Meningkat pada MG
 Peningkatan berhubungan dengan progresifitas penyakit
2) Imaging
 X-ray thoraks
 Foto polos posisi AP dan Lateral dapat mengidentifikasi timoma sebagai massa mediatinum
anterior
 CT scan thoraks
 Identifikasi timoma
 MRI otak dan orbita
 Menyingkirkan penyebab lain defisit Nn. Craniales, tidak digunakan secara rutin
3) Pemeriksaan klinis
 Menatap tanpa kedip pada suatu benda yang terletak diatas bidang kedua mata selama 30 dettk,
akan terjadi ptosis
 Melirik ke samping terus menerus akan terjadi diplopia
 Menghitung atau membaca keras2 selama 3 menit akan terjadi kelemahan pita suara apabila suara
hilang
 Tes untuk otot leher dengan mengangkat kepala selama 1 menit dalam posisi berbaring
 Tes exercise untuk otot ekstremitas, dengn mempertahankan posisi saat mengangkat kaki dengan
sudut 45° pada posisi tidur telentang 3 menit, atau duduk-berdiri 20-30 kali. Jalan diatas tumit
atau jari 30 langkah, tes tidur-bangkit 5-10 kali
4) Tes tensilon (edrophonium chloride)
 Suntikkan tensilon 10 mg (1 ml) i.v, secara bertahap. Mula-mula 2 mg apabila perbaikan (-) dlm
45 dtk, berikan 3 mg lagi à bila perbaikan (-), berikan 5 mg lagi. Efek tensilon akan berakhir 4-5
menit
 Efek samping : ventrikel fibrilasi dan henti jantung
5) Tes kolinergik
6) Tes Prostigmin (neostigmin):
 Injeksi prostigmin 1,5 mg im,
 dapat ditambahkan atropin untuk mengurangi efek muskariniknya seperti nausea, vomitus,
berkeringat. Perbaikan terjadi pada 10-15 menit, mencapai puncak dalam 30 menit, berakhir
dalam 2-3 jam
7) Pemeriksaan EMNG:
 Pada stimulasi berulang 3 Hz terdapat penurunan amplitudo (decrement respons) > 10% antara
stimulasi I dan V. MG ringan penurunan mencapai 50%, MG sedang sampai berat dapat sampai
80%
8) Pemeriksaan antibodi AChR
 Antibodi AChR ditemukan pada 85-90% penderita MG generalisata, &0% MG okular. Kadar ini
tidak berkorelasi dengan beratnya penyakit

9) Evaluasi Timus
 Sekitar 75% penderita MG didapatkan timus yang abnormal, terbanyak berupa hiperplasia,
sedangkan15% timoma. Adanya timoma dapat dilihat dengan CT scan mediastinum, tetapi pada
timus hiperplasia hasil CT sering normal
10) Pengobatan
 Mestinon
 Antikolinesterase: menghambat destruksi Ach
 Piridostigmin bromide (Mestinon, Regonol). Dosis awal 30-60 mg tiap 6-8 jam atau setiap 3-4
jam. Dosis optimal bervariasi tigkat kebutuhan mulai 30-120 mg setiap 4 jam. Bila > 120 mg tiap
3 jam dapat menimbulkan Krisis Kolinergik (G/ : dispneu, miosis, lakrimasi, hipersalivasi,
emesis, diare
 Neostigmin Bromide (Prostigmin). Kerja lebih pendek. Dosis 15 mg tiap 3-4 jam
 Kortikosteroid: Mulai dosis rendah (12-50 mg prednison) dinaikkan pelan-pelan sampai respon
optimal (maksimal 50-60 mg prednison). Dosis dipertahankan sampai perbaikan mencapai
plateau (biasanya 6-12 bulan), turunkan dosis sangat pelan-pelan sampai dosis pemeliharaan
minimal. Awasi efek samping obat
 Imunosupresan
 Obat: azathiprine 1-2,5 mg/minggu Biasanya dipakai bersama prednisone
 Obat lain: Cyclosporine, Cyclophosphamide, Mycophenolate mofetil
 Intravenous Imunoglobulin
 Dosis: 0,4 gr/kg BB/hari selama 5 hari berturut-turut
 Pada MG berat
 Plasmapharesis
 Pada MG berat untuk menghilangkan atau menurunkan antibodi yang beredar dalam serum
penderita
2.7 Penatalaksanaan
Pada pasien dengan Miastenia gravis harus belajar dalam batasan yang ditetapkan oleh
penyakit yang mereka derita ini. Mereka memerlukan tidur selam 10 jam agar dapat bangun
dalam keadaan segar, dan perlu menyelingi kerja dengan istirahat. Selain itu mereka juga harus
menghindari factor-faktor pencetus dan harus minum obat tepat pada waktunya. Walaupun
belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang pasti, tetapi Miastenia gravis merupakan
kelainan neurologik yang paling dapat diobati. Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor)
dan terapi imunomudulasi merupakan penatalaksanaan utama pada miastenia gravis.
Antikolinesterase biasanya digunakan pada miastenia gravis yang ringan. Sedangkan pada pasien
dengn miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi imunomudulasi yang rutin. Terapi
imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombinasikan dengan pemberian antibiotik dan
penunjang ventilasi, mampu menghambat terjadinya mortalitas dan menurunkan morbiditas pada
penderita miastenia gravis. Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat
memulihkan kekuatan otot secara cepat dan terbukti memiliki onset lebih lambat tetapi memiliki
efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan.
1. Periode istirahat yang sering selama siang hari menghemat kekuatan.
2. Obat antikolinesterase diberikan untuk memperpanjang waktu paruh asetilkolin di taut neuro
moskular. Obat harus diberikan sesuai jadwal seetiap hari untuk mencegah keletihan dan kolaps
otot.
3. Obat anti inflamasi digunakan untuk membatasi serangan autoimun.
4. Krisis miastenik dapat diatasi dengan obat tambahan,dan bantuan pernapasan jika perlu.
5. Krisis kolinergik diatasi dengan atropin (penyekat asetilkolin) dan bantuan pernapasan,sampai
gejala hilang. Terapi antikolinesisterase ditunda sampaikadar toksik obatb diatasi.
6. Krisis miastenia dan krisis kolinergik terjadi dengan cara yang sama,namun diatasi secara
berbeda. Pemberian tensilon dilakukan untuk membedakan dua gangguan tersebut.
2.8 Komplikasi
Krisis miasthenic merupakan suatu kasus kegawatdaruratan yang terjadi bila otot yang
mengendalikan pernapasan menjadi sangat lemah. Kondisi ini dapat menyebabkan gagal
pernapasan akut dan pasien seringkali membutuhkan respirator untuk membantu pernapasan
selama krisis berlangsung. Komplikasi lain yang dapat timbul termasuk tersedak,
aspirasimakanan, dan pneumonia. Faktor-faktor yang dapat memicu komplikasi pada pasien
termasuk riwayat penyakit sebelumnya (misal, infeksi virus pada pernapasan), pasca operasi,
pemakaian kortikosteroid yang ditappering secara cepat, aktivitasberlebih (terutama pada cuaca
yang panas), kehamilan, dan stress emosional.
1. Gagal nafas
2. Disfagia
3. Krisis miastenik
4. Krisis cholinergic
5. Komplikasi sekunder dari terapi obat
Penggunaan steroid yang lama:
 Osteoporosis, katarak, hiperglikem
 Gastritis, penyakit peptic ulcer
 Pneumocystis carinii

2.9 Prognosis
Pada anak, prognosis sangat bervariasi tetapi relatif lebih baik dari pada orang dewasa.
Dalam perjalanan penyakit, semua otot serat lintang dapat diserang, terutama otot-otot tubuh
bagian atas, 10% Miastenia gravis tetap terbatas pada otot-otot mata, 20% mengalami
insufisiensi pernapasan yang dapat fatal, 10%,cepat atau lambat akan mengalami atrofi otot.
Progresi penyakit lambat, mencapai puncak sesudah 3-5 tahun, kemudian berangsur-angsur baik
dalam 15-20 tahun dan ± 20% antaranya mengalami remisi. Remisi spontan pada awal penyakit
terjadi pada 10% Miastenia gravis.

BAB 3
Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gangguan Miastenia Gravis
3.1 Pengkajian
1. Identitas klien yang meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin, dann status
2. Keluhan utama: kelemahan otot
3. Riwayat kesehatan: diagnosa miastenia gravis didasarkan pada riwayat dan presentasi klinis.
Riwayat kelemahan otot setelah aktivitas dan pemulihan kekuatan parsial setelah istirahat
sangatlah menunjukkan miastenia gravis, pasien mungkin mengeluh kelemahan setelah
melakukan pekerjaan fisik yang sederhana. Riwayat ada jatuhnya kelopak mata pada pandangan
atas dapat menjadi signifikan, juga bukti tentang kelemahan otot.
4. Pemeriksaan fisik:
 B1(breathing): dispnea, resiko terjadi aspirasi dan gagal pernafasan akut, kelemahan otot
diafragma
 B2(bleeding): hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi
 B3(brain): kelemahan otot ekstraokular yang menyebabkan palsi okular, jatuhnya mata atau
dipoblia
 B4(bladder): menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi saat berkemih
 B5(bowel): kesulitan mengunyah-menelan, disfagia, dan peristaltik usus turun, hipersalivasi,
hipersekresi
 B6(bone): gangguan aktifitas / mobilitas fisik,kelemahan otot yang berlebih

3.2 Diagnosa keperawatan


1. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan
2. Gangguan persepsi sensori bd ptosis, dipoblia
3. Resiko tinggi cedera bd fungsi indra penglihatan tidak optimal
4. Gangguan aktivitas hidup berhubungan dengan kelemahan fisik umum, keletihan
5. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia, gangguan pengucapan kata,
gangguan neuromuskular, kehilangan kontrol tonus otot fasial atau oral
6. Gangguan citra diri berhubungan dengan ptosis, ketidakmampuan komunikasi verbal

3.3 Intervensi Keperawatan


1. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan
Tujuan: Dalam waktu 1 x 24 jam setelah diberikan intervensi pola pernapasan klien kembali efektif
Kriteria hasil:
 Irama, frekuensi dan kedalaman pernapasan dalam batas normal
 Bunyi nafas terdengar jelas
 Respirator terpasang dengan optimal
Intervensi Rasionalisasi
1. Kaji Kemampuan ventilasi  Untuk klien dengan penurunan kapasitas
ventilasi, perawat mengkaji frekuensi
pernapasan, kedalaman, dan bunyi nafas,
pantau hasil tes fungsi paru-paru tidal,
kapasitas vital, kekuatan inspirasi), dengan
interval yang sering dalam mendeteksi
masalah pau-paru, sebelum perubahan
kadar gas darah arteri dan sebelum tampak
gejala klinik.
2. Kaji kualitas, frekuensi, dan Dengan mengkaji kualitas, frekuensi, dan
kedalaman kedalaman pernapasan, kita
pernapasan,laporkansetiap perubahan dapatmengetahui sejauh mana perubahan
yang terjadi. kondisi klien.
 Penurunan diafragma memperluas daerah
3. Baringkan klien dalam posisi yang
nyaman dalam posisi duduk dada sehingga ekspansi paru bisa maksimal
4. Observasi tanda-tanda  Peningkatan RR dan takikardi merupakan
vital
(nadi,RR) indikasi adanya penurunan fungsi paru

2. Gangguan persepsi sensori bd ptosis,dipoblia


Tujuan: Meningkatnya persepsi sensorik secara optimal.
Kriteria hasil:
 Adanya perubahan kemampuan yang nyata
 Tidak terjadi disorientasi waktu, tempat, orang
Intervensi Rasional
1. Tentukan kondisi patologis klien  untuk mengetahui tipe dan lokasi yang
mengalami gangguan.
 untuk
2. Kaji gangguan penglihatan terhadap mempelajari kendala yang
perubahan persepsi berhubungan dengan disorientasi klien.
 agar klien tidak kebingungan dan lebih
3. Latih klien untuk melihat suatu
obyek dengan telaten dan seksama berkonsentrasi.
4. Observasi respon perilaku klien,  untuk mengetahui keadaan emosi klien
seperti menangis, bahagia,
bermusuhan, halusinasi setiap saat.
 memfokuskan perhatian klien, sehingga
5. Berbicaralah dengan klien secara
tenang dan gunakan kalimat-kalimat setiap masalah dapat dimengerti.
pendek.

3. Resiko tinggi cedera bd fungsi indra penglihatan yang tidak optimal


Tujuan: Menyatakan pemahaman terhadap faktor yang terlibat dalam kemungkinan cedera.
Kriteria hasil:
 Menunjukkan perubahan perilaku, pola hidup untuk menurunkan faktor resiko dan melindungi
diri dari cedera.
 Mengubah lingkungan sesuai dengan indikasi untuk meningkatkan keamanan

Intervensi Rasionalisasi
 Menjadi data dasar dalam melakukan
1. Kaji kemampuan klien dalam
melakukan aktivitas intervensi selanjutnya
 Sasaran
2. Atur cara beraktivitas klien sesuai klien adalah memperbaiki
kemampuan kekuatandan daya tahan. Menjadi
partisipan dalampengobatan, klien harus
belajar tentang fakta-faakta dasar
mengenai agen-agenan tikolinesterase,
kerja, waktu, penyesuaian dosis, gejala-
gejala kelebihan dosis, dan efek toksik.
Dan yang penting pada pengguaan
medikasi dengan tepat waktua dalah
ketegasan.
 Menilai singkat keberhasilan dari terapi
3. Evaluasi Kemampuan aktivitas
motorik yang boleh diberikan

4. Gangguan aktivitas hidup berhubungan dengan kelemahan fisik umum, keletihan


Tujuan: Infeksi bronkhopulmonal dapat dikendalikan untuk menghilangkan edema inflamasi dan
memungkinkan penyembuhan aksi siliaris normal. Infeksi pernapasan minor yang tidak
memberikan dampak pada individu yang memilikiparu-paru normal, dapat berbahaya bagi klien
dengan PPOM
Kriteria hasil:
 Frekuensi nafas 16-20 x/menit, frekuensi nadi 70-90x/menit
 Kemampuan batuk efektif dapat optimal
 Tidak ada tanda peningkatan suhu tubuh
Intervensi Rasionalisasi
 Menjadi data dasar dalam melakukan
1. Kaji kemampuan klien dalam
melakukan aktivitas intervensi selanjutnya
 Sasaran
2. Atur cara beraktivitas klien sesuai klien adalah memperbaiki
kemampuan kekuatan dan daya tahan. Menjadi
partisipan dalam pengobatan, klien harus
belajar tentang fakta-faakta dasar
mengenai agen-agenan tikolinesterase,
kerja, waktu, penyesuaian dosis, gejala-
gejala kelebihan dosis, dan efek toksik.
Dan yang penting pada pengguaan
medikasi dengan tepat waktua adalah
ketegasan.
 Menilai singkat keberhasilan dari terapi
3. Evaluasi Kemampuan aktivitas
motorik yang boleh diberikan

5. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia, gangguan pengucapan kata,


gangguan neuromuskular, kehilangan kontrol tonus otot fasial atau oral
Tujuan: Klien dapat menunjukkan pengertian terhadap masalah komunikasi, mampu mengekspresikan
perasaannya, mampu menggunakan bahasa isyarat
Kriteria hasil:
 Terciptanya suatu komunikasi di mana kebutuhan klien dapat dipenuhi
 Klien mampu merespons setiap berkomunikasi secara verbal maupun isyarat.

Intervensi Rasionalisasi
1. Kaji komunikasi verbal klien.  Kelemahan otot-otot bicara klien krisis
miastenia gravis dapat berakibat pada
komunikasi
2. Lakukan metode komunikasi yang  Teknik untuk meningkatkan komunikasi
ideal sesuai dengan kondisi klien meliputi mendengarkan klien, mengulangi
apa yang mereka coba komunikasikan
dengan jelas dan membuktikan yang
diinformasikan, berbicara dengan klien
terhadap kedipan mata mereka dan atau
goyangkan jari-jari tangan atau kaki untuk
menjawab ya/tidak. Setelah periode krisis
klien selalu mampu mengenal kebutuhan
mereka.
3. Beri peringatan bahwa klien  di Untuk kenyamanan yang berhubungan
ruang ini mengalami gangguan dengan ketidak mampuan komunikasi
berbicara, sediakan bel khusus bila
perlu
 Membantu
4. Antisipasi dan bantu kebutuhan menurunkan frustasi oleh
klien karenak ketergantungan atau
ketidakmampuan berkomunikasi
 Mengurangi kebingungan atau kecemasan
5. Ucapkan langsung kepada klien
dengan berbicara pelan dan tenang, terhadap banyaknya informasi. Memajukan
gunakan pertanyaan dengan jawaban stimulasi komunikasi ingatan dan kata-kata.
”ya” atau ”tidak” dan perhatikan
respon klien
 Mengkaji kemampuan verbal individual,
6. Kolaborasi: konsultasi ke ahli
terapi bicara sensorik, dan motorik, serta fungsi kognitif
untuk mengidentifikasi defisit dan
kebutuhan terapi
6. Gangguan citra diri berhubungan dengan ptosis, ketidakmampuan komunikasi verbal
Tujuan: Citra diri klien meningkat
Kriteria hasil :
 Mampu menyatakan atau mengkomunikasikan dengan orang terdekat tentang situasi dan
perubahan yangsedang terjadi
 Mampu menyatakan penerimaan diriterhadap situasi
 Mengakui dan menggabungkan perubahan ke dalam kosep diri dengan cara yang akurat tanpa
harga diri yang negatif.
Intervensi Rasionalisasi
1. Kaji perubahan dari gangguan Menentukan bantuan individual dalam
persepsi danhubungan dengan derajat menyusun rencana perawatan atau
ketidakmampuan pemilihan intervensi.
 Beberapa klien dapat menerima dan
2. Identifikasi arti dari Kehilangan
atau disfungsi pada klien. mengatur beberapa fungsi secara efektif
dengan sedikit penyesuaian diri, sedangkan
yang lain mempunyai kesulitan
membandingkan mengenal dan mengatur
kekurangan.
 Membantu meningkatkan perasaan harga
3. Bantu dan anjurkan perawatan
yang baik dan memperbaiki diri dan mengontrol lebih dari satu area
kebiasaan kehidupan
 Menghidupkan
4. Anjurkan orang yang terdekat kembali perasaan
untuk mengizinkan klien melakukan kemandirian dan membantu perkembangan
hal untuk dirinya sebanyak- harga diri serta mempengaruhi proses
banyaknya rehabilitasi
 Dapat memfasilitasi perubahan peran yang
5. Kolaborasi: rujuk pada ahli
neuropsikologi dan konseling bila penting untuk perkembangan perasaan
ada indikasi.

3.4 Implementasi Keperawatan


1. Mengkaji kemampuan Ventilasi
2. Mengobservasi respon perilaku klien,seperti menangis,bahagia,bermusuhan,halusinasi setiap
saat.
3. Mengkaji kemampuan klien dalam melakukan aktivitas.
4. Mengkaji komunikasi verbal klien.
5. Mengkaji perubahan dari gangguan persepsi dan hubungan dengan derajat ketidakmampuan
3.5 Evaluasi Keperawatan
1. Dalam waktu 1x24 jam setelah diberikan intervensi,pola pernafasan klien kembali efektif .
2. Meningkatnya persepsi sensorik secara optimal.
3. Menunjukkan perubahan perilaku, pola hidup untuk menurunkan faktor resiko dan melindungi
diri dari cedera.
4. Klien dapat menunjukkan pengertian terhadap masalah komunikasi, mampu mengekspresikan
perasaannya, mampu menggunakan bahasa isyarat
5. Klien mampu menyatakan atau mengkomunikasikan dengan orang terdekat tentang situasi dan
perubahan yang sedang terjadi.

BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Miastenia gravis adalah kelemahan otot yang cukup berat dimana terjadi kelelahan otot-
otot secara cepat dengan lambatnya pemulihan. Myasthenia gravis dapat mempengaruhi orang-
orang dari segala umur. Namun lebih sering terjadi pada para wanita sehingga kita sebagai perawat
harus bisa menentukan diagnosa keperawatan terhadap pasien dengan myastenia gravis serta
perlu melakukan beberapa tindakan dan asuhan kepada pasien dengan masalah tersebut.
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi
miastenia gravis. Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor
asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti. Miastenia gravis
dapat dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B”, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B
justru melawan reseptor asetilkolin. Gejala klinis miastenia gravis antara lain; Kelemahan pada otot
ekstraokular atau ptosis, Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk.
Kelemahan tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot wajah, otot leher, hingga ke otot
ekstremitas. Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga mulut
penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari otot faring, lidah, pallatum
molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran menelan dan berbicara. Paresis dari pallatum molle
akan menimbulkan suara sengau. Selain itu bila penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar
dari hidungnya.

DAFTAR PUSTAKA
http://books.google.co.id/asuhan+keperawatan+miastenia+gravis
http://www.scribd.com/doc/32307115/Miastenia-Gravis-By-Susilo-Eko-Putra
http://copyaskep.wordpress.com/2011/09/13/asuhan-keperawatan-pasien-dengan
myasthenia-gravis/
http://www.scribd.com/doc/76131269/Asuhan-Keperawatan-Myasthenia-Gravis
http://apps.um-surabaya.ac.id/jurnal/files/disk1/1/umsurabaya-1912-fahrunnurr-5-1-
mengenal-a.pdf

Anda mungkin juga menyukai