otot. Penyakit kronis ini biasanya ditandai dengan lemahnya otot dan kelelahan.
Kondisi kronis ini dapat terjadi pada semua orang dari segala usia, tetapi penyakit ini paling
umum dialami oleh wanita berusia di bawah 40 tahun dan pria di atas 60 tahun. Wanita juga
memiliki risiko tiga kali lebih tinggi daripada pria untuk mengidap myasthenia gravis.
Kondisi melemahnya otot adalah gejala utama penyakit myasthenia gravis. Indikasi tersebut
memiliki kecenderungan untuk menjadi makin parah jika otot yang lemah sering digunakan.
Gejala pelemahan otot ini umumnya terjadi secara kambuhan dengan tingkat keparahan yang
berbeda-beda pada tiap penderita. Tetapi keparahannya akan berangsur-angsur meningkat.
Lemahnya otot biasanya tidak terasa sakit, tapi terdapat sebagian penderita yang merasa nyeri
saat gejala kambuh, terutama ketika melakukan aktivitas fisik.
Otot yang paling sering diserang penyakit ini adalah otot mata, otot wajah, dan otot yang
mengendalikan proses menelan. Gejala-gejala myasthenia gravis meliputi:
Jika Anda merasakan gejala-gejala tersebut, segera periksakan diri ke dokter agar diagnosis dan
penanganan yang tepat dapat dilakukan.
Myasthenia gravis termasuk dalam kondisi autoimun. Sistem kekebalan tubuh pada pengidap
memproduksi antibodi yang menghalangi kinerja atau menghancurkan sel-sel saraf pada otot.
Penyebab keabnormalan antibodi ini belum diketahui secara pasti.
Asetilkolin adalah salah satu senyawa neurotransmiter yang dapat mengaktifkan reseptor otot
untuk berkontraksi. Jika kinerjanya terhambat oleh antibodi, jalur komunikasi saraf dan otot
akhirnya terputus sehingga pengidap myasthenia gravis akan mengalami lemas otot dan mudah
lelah.
Para pakar juga menduga bahwa kelenjar timus berperan dalam munculnya penyakit autoimun
ini. Pada kondisi normal, ukuran kelenjar timus seseorang akan membesar selama masa kanak-
kanak dan menyusut menjelang dewasa. Tetapi pengidap myasthenia gravis dewasa umumnya
mengalami keabnormalan dengan memiliki kelenjar timus yang berukuran besar. Sekitar 1 dari
10 penderita myasthenia gravis memiliki tumor jinak pada kelenjar timus.
Untuk mendiagnosis myasthenia gravis, dokter akan menanyakan gejala dan memeriksa kondisi
fisik Anda. Demikian pula dengan riwayat kesehatan Anda.
Proses ini umumnya membutuhkan waktu yang lama karena gejala pelemahan otot terlalu umum
dan mirip dengan penyakit-penyakit lain, misalnya multiple sclerosis atau hipertiroidisme.
Karena itu, diagnosis myasthenia gravis bisa sulit untuk dipastikan.
Jika diduga mengidap kondisi autoimun ini, Anda akan dirujuk kepada dokter ahli neurologi.
Untuk mengonfirmasi diagnosis, dokter akan meminta Anda untuk menjalani tes-tes berikut.
Pemeriksaan neurologi. Kondisi saraf Anda akan diperiksa dengan menguji refleks,
kekuatan otot, koordinasi, serta keseimbangan.
Tes darah. Proses ini digunakan untuk mendeteksi keberadaan antibodi yang
menghambat atau merusak reseptor otot.
Uji edrofonium. Obat edrophonium chloride akan disuntikkan untuk mencegah
hancurnya senyawa asetilkolin sehingga kekuatan otot akan kembali untuk sementara.
Tetapi jika Anda tidak mengidap myasthenia gravis, obat ini tidak akan memicu reaksi
apa pun. Tes ini hanya boleh dijalani oleh pasien yang diduga mengidap myasthenia
gravis karena berpotensi memicu gangguan pernapasan serta detak jantung sebagai efek
samping.
http://www.alodokter.com/myasthenia-gravis
OBAT PELUMPUH OTOT (MUSLE RELAXANT)
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Pengertian
Obat pelumpuh otot adalah obat yang dapat digunakan selama intubasi dan pembedahan
untuk memudahkan pelaksanaan anestesi dan memfasilitas intubasi.
Obat relaksan otot adalah obat yang digunakan untuk melemaskan otot rangka atau untuk
melumpuhkan otot. Biasanya digunakan sebelum operasi untuk mempermudah suatu operasi
atau memasukan suatu alat ke dalam tubuh.
Gambar 2.1
Neuromuscular Junction
Struktur reseptor asetilkolin bervariasi pada jaringan yang berbeda. Pada neuromuscular
junction, reseptor ini terdiridari 5 sub unit protein, yaitu 2 sub unit α, dan 1 sub unit β, δ,dan ε.
Hanya kedua sub unit α identik yang mampu untuk mengikat asetilkolin. Apabila kedua tempat
pengikatan berikatan dengan asetilkolin, maka kanal ion di intireseptor akan terbuka. Kanal tidak
akan terbuka apabila asetilkolin hanya menduduki satu tempat. Ketika kanal terbuka, natrium
dan kalsium akan masuk, sedangkan kalium akan keluar. Ketika cukup reseptor yang diduduki
asetilkolin, potensial motor end plate akan cukup kuat untuk mendepolarisasi membran
perijunctional yang kaya akan kanal natrium.
Gambar 2.2
Struktur reseptor asetilkolin
Ketika potensial aksi berjalan sepanjang membran otot, kanal natrium akan terbuka dan
kalsium akan dikeluarkan dari reticulum sarkoplasma. Kalsium intraseluler ini akan
memfasilitasi aktin dan myosin untuk berinteraksi yang membentuk kontraksi otot. Kanal
natrium memiliki dua pintu fungsional, yaitu pintu atas dan bawah. Natrium hanya akan bisa
lewat apabila kedua pintu ini terbuka. Terbukanya pintu bawah tergantung waktu, sedangkan
pintu atas tergantung tegangan. Asetilkolim cepat dihidrolisis oleh asetilkolinesterase menjadi
asetil dan kolin sehingga lorong tertutup kembali dan terjadilah repolarisasi.
2. Farmakokinetik Pelumpuh Otot
Semua pelumpuh otot larut di air, relatif tidak larut di lemak, diabsorbsi dengan kurang
baik di usus dan onset akan melambat bila di administrasikan intramuskular. Volume distribusi
dan klirens dapat dipengaruhi oleh penyakit hati, ginjal dan gangguan kardiovaskular. Pada
penurunan cardiac output, distribusi obat akan melemah dan menurun, dengan perpanjangan
paruh waktu, onset yang melambat dan efek yang menguat. Pada hipovolemia, volume distribusi
menurun dan konsentrasi puncak meninggi dengan efek klinis yang lebih kuat. Pada pasien
dengan edema, volume distribusi meningkat, konsentrasi di plasma menurun dengan efek klinis
yang juga melemah. Banyak obat pelumpuh otot sangat tergantung dengan ekskresi ginjal untuk
eliminasinya. Hanya suxamethonium, atracurium dan cisatracurium yang tidak tergantung
dengan fungsi ginjal. Umur juga mempengaruhi farmakokinetik obat pelumpuh otot. Neonatus
dan infant memiliki plasma klirens yang menurun sehingga eliminasi dan paralisis akan
memanjang. Sedangkan pada orang tua, dimana cairan tubuh sudah berkurang, terjadi perubahan
volume distribusi dan plasma klirens. Biasanya ditemui sensitivitas yang meningkat dan efek
yang memanjang. Fungsi ginjal yang menurun dan aliran darah renal yang menurun
menyebabkan klirens yang menurun dengan efek pelumpuh otot yang memanjang.
3. Farmakodinamik Pelumpuh Otot
Obat pelumpuh otot tidak memiliki sifat anestesi maupun analgesik. Dosis terapeutik
menghasilkan beberapa efek yaitu ptosis, ketidakseimbangan otot ekstraokular dengan diplopia,
relaksasi otot wajah, rahang, leher dan anggota gerak dan terakhir relaksasi dinding abdomen dan
diafragma.
a. Respirasi
Paralisis dari otot pernapasan menyebabkan apnea. Diafragma adalah bagian tubuh yang kurang
sensitif dibanding otot lain sehingga biasanya paling terakhir lumpuh.
b. Efek kardiovaskular
Hipotensi biasa ditemukan pada penggunaan D-tubocurarine, sedangkan hipertensi ditemukan
pada penggunaan pancuronium, takikardi pada penggunaan gallamine, rocuronium, dan
pancuronium.
c. Pengeluaran histamin
D-tubocurarine adalah obat yang tersering menyebabkan pengeluaran histamin sedangkan
vecuronium adalah yang paling jarang. Reaksi alergi biasanya ditemui pada wanita dengan
riwayat atopi.
Latief, Said A, dkk, (2002), Buku Praktis Anestiologi, Bagian Anestiologi dan Terapi Intensif, FKUI, Jakarta
Mangku, dr, Sp. An. KIC & Senapathi, dr, Sp. An, (2010), Buku Ajar Ilmu Anestesi dan Reanimasi, PT. Indeks,
Jakarta
http://irwande.blogspot.co.id/
AGONIS KOLINERGIK
Sistem saraf kita terdiri dari dua kelompok yaitu susunan saraf pusat (SSP) otak
dan sumsum tulang belakang, dan susunan saraf perifer. Sistem saraf perifer dibagi
menjadi sistem saraf otonom dan somatik. Sistem saraf otonom mengendalikan kontraksi
otot jantung dan otot polos, serta sekresi kelenjar. Sistem saraf somatik mempersarafi otot
skelet selama pergerakan voluntar dan menghantarkan informasi sensorik, seperti nyeri
dan sentuhan.
Sistem saraf otonom lebih lanjut dibagi menjadi sistem simpatis dan parasimpatis,
yang umumnya berlawanan satu sama lain. Sebagai contoh, sistem simpatis umumnya
bersifat katabolik, mengeluarkan energi ( sistem ” Fight or Flight ). Sistem ini
jantung relatif lambat, sekresi adekuat, dan motilitas usus yang sesuai. Tetapi, pada orang
yang sedang stres, sistem simpatis mendominasi, mengalihkan energi untuk fungsi-fungsi
yang membuat orang fight or flight ( misal peningkatan oksigenasi jaringan dengan
Obat – obat yang mempengaruhi saraf otonom dibagi dalam dua subgrup sesuai dengan
mekanisme kerjanya terhadap tipe neuron yang dipengaruhi. Grup pertama, obat – obat
kolinergika bekerja terhadap reseptor yang diaktifkan oleh asetilkolin. Grup kedua obat –
obat adrenergik yang bekerja terhadap reseptor yang dipacu oleh norepinefrin atau
epinefrin. Obat kolinergik dan adrenegik bekerja dengan memacu atau menyekat neuron
menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi Susunan Parasimpatis (SP), karena
berarti obat yang kerja serupa perangsangan saraf parasimpatis. Tetapi karena ada saraf,
yang secara anatomis termasuk saraf simpatis, yang transmitornya asetilkolin maka istilah
Obat-obat otonom adalah obat –obat yang dapat mempengaruhi penerusan impuls
dalam SSO dengan jalan mengganggu sintesa, penimbunan, pembebasan, atau penguraian
berarti obat yang kerja serupa perangsangan saraf parasimpatis. Tetapi karena ada saraf,
yang secara anatomis termasuk saraf simpatis, yang transmitornya asetilkolin maka istilah
Obat kolinergik dibagi dalam tiga golongan : (1) Ester kolin ; dalam golongan ini
dan insektisid golongan organofosfat ; dan (3) Alkaloid tumbuhan, yaitu : muskarin,
saraf parasimpatik dan meniru efek perangsangan dengan asetilkolin, misalnya pilokarpin
dan fisostigmin.
PARASIMPATOMIMETIK ( KOLINERGIK )
Serabut preganglionik yang berakhir pada medula adrenalis , ganglia otonom (simpatis
dan parasimpatis) dan serabut pasca ganglionik dari divisi parasimpatis menggunakan
dari sistem somatik dan dijumpai pula dalam sistem saraf pusat (SSP).
Neurotransmisi pada neuron kolinergik
1. Sintesis asetilkolin : kolin diangkut dari cairan ekstrasel ke dalam sitoplasma neuron
kolinergik oleh suatu sistem pembawa yang bersamaan dengan masuknya natrium. Enzim
koline asetiltransferase (CAT) mengkatalisis reaksi kolin dengan asetil CoA untuk
melalui suatu proses transpor aktif yang berpasangan dengan keluarnya proton dari sel.
Vesikel yang matang tidak saja mengandung asetilkolin tetapi juga adenosin trifosfat dan
proteoglikan.
3. Pelepasan asetilkolin : jika suatu potensial kerja yang dipropagasi oleh kerja kanal
bervoltase peka Na tiba pada suatu ujung saraf, maka kanal-kanal bervoltase peka Ca
sel. Peningkatan kadar Ca ini memacu fusi vesikel-vesikel sinaptik dengan membran sel
4. Ikatan pada reseptor : asetilkolin yang dilepas dari vesikel sinaptik berdifusi melewati
ruangan sinaptik dan mengikat baik reseptor pascasinaptik pada sel sasaran maupun
reseptor prasinaptik pada membran neuron yang melepas asetilkolin. Ikatan pada reseptor
ini menimbulkan suatu respons biologi dalam sel seperti mulainya suatu impuls saraf pada
serabut pasca ganglionik atau aktivasi sejumlah enzim tertentu didalam sel efektor sebagai
diakhiri. Proses ini terjadi di dalam celah sinaptik dengan enzim asetilkolinesterase
6. Daur ulang kolin : kolin mungkin ditangkap kembali melalui suatu sistem ambilan
kembali berafinitas tinggi yang berpasangan dengan Na ke dalam neuron, yang kemudian
diasetilasi dan disimpan hingga dilepas lagi oleh potensial kerja berikutnya.
Reseptor Kolinergik
Reseptor kolinergik terdapat dalam semua ganglia, sinaps dan neuron
postganglioner sari SP, juga dipelat – pelat ujung motorik (otot lurik) dan di bagian
Susunan Saraf Pusat yang disebut sistem ekstrapiramidal. Berdasarkan efeknya terhadap
perangsangan, reseptor ini dapat dibagi dalam dua jenis, yakni reseptor muskarin dan
Muskarin adalah derivat-furan yang bersifat sangat beracun dan terdapat sebagai
Reseptor ini, selain ikatannya dengan asetilkolin, mengikat pula muskarin, yaitu
suatu alkaloid yang dikandung oleh jamur beracun tertentu. Sebaliknya, reseptor
muskarinik ini menunjukkan afinitas lemah terhadap nikotin. Dengan menggunakan studi
ikatan (binding study) dan penghambat tertentu, maka telah ditemukan beberapa subklas
serupa dengan adrenalin dan NA dari sistem simpatis (SS), yang juga merangsang secara
tak selektif reseptor –alfa dan –beta adrenergis. Obat – obat yang mengaktifasi reseptor
1. Lokasi reseptor muskarinik : reseptor musfkarinik ini dijumpai dalam ganglia sistem
saraf tepi dan organ efektor otonom, seperti jantung, otot polos, otak dan kelenjar eksorin.
Secara khusus, walaupun kelima subtipe reseptor muskarinik terdafpat dafldam neuron,
namun reseptor M1 ditemukan pula dalam sel parietal lambung, dan reseptor M 2 terdapat
dalam otot jantung dan otot polos, dan reseptor M 3 ditemukan dalam kelenjar eksokrin
dan otot polos. [Catatan; obat – oabt yang bekerja muskarinik lebih peka dalam memacu
reseptor muskarinik dalam jaringan tadi, tetapi dalam kadar tinggi mungkin memacu
2. Mekanisme transduksi sinyal asetilkolin : sejumlah mekfanisme molekular yang berbeda
terjadi dengan menimbulkan sinyal yang disebabkan setelah asetilkolin mengikat reseptor
muskarinik. Sebagai contoh, bila reseptor M1 atau M2 diaktifkan, maka reseptor ini
bifosfat (PIP2) mejadi diasilgliserol (DAG) dan inositol (1,4,5)-trifosfat (IP3) yang akan
atau kontraksi. Sebaliknya, aktivasi subtipe M 2 pada otot jantung memacu protein G yang
agonis dan antagonis yang ditujukan terhadap subtipe reseptor spesifik. Sebagai contoh,
M1, seperti yang terdapat pada mukosa lambung. Dalam dosis terapi, obat ini tidak
menimbulkan banyak efek samping seperti halnya obat yang tidak spesifik terhadap
subtipe M1. oleh karena itu, pirenzepin cocok untuk mengobati tukak lambung dan
duodenum.
lemah terhadap muskarin. Tahap awal nikotin memang memacu reseptor nikotinik,
namun setelah itu akan menyekat reseptor itu sendiri. Reseptor nikotinik ini terdapat
didalam sistem saraf pusat (SSP), medula adrenalis, ganglia otonom, dan sambungan
neuromuskular. Obat – obat yang bekerja nikotinik akan memacu reseptor nikotinik yang
terdapat dadflam jaringan tadi. Reseptor nikotinik pada ganglia otonom berbeda dengan
Reseptor nikotin terutama terdapat dipelat- pelat ujung myoneural dari otot
kerangka dan di ganglia otonom (simpatis dan parasimpatis). Stimulasi reseptor ini oleh
adrenergika, jadi bersifat berlawanan sama sekali. Misalnya vasokontriksi dengan naiknya
tensi ringan, penguatan kegiatan jantung, juga stimulasi SSP ringan. Pada dosis rendah,
timbul kontraksi otot lurik, sedangkan pada dosis tinggi terjadi depolarisasi dan blokade
neuromuskular.
dan stimulasi anak ginjal dengan sekresi noradrenalin. Disamping itu juga terjadi
peristaltik) dan pelat – pelat ujung motoris otot lurik, dimana terdapat banyak reseptor
nikotin.
Efek nikotin dari ACh juga terdjadi pada perokok, yang disebabkan oleh sejumlah
klasik, seperti pilokarpin, karbachol, dan aseklidin (glauchofrin). Obat – obat ini pada
dosis biasa mengaktifasi beberapa tipe reseptor –M tanpa mempengaruhi reseptor nikotin.
Kolinergika dapat dibagi menurut cara kerjanya, yaitu zat-zat dengan kerja
pinang). Zat-zat ini bekerja langsung terhadap organ-organ ujung dengan kerja
utama yang mirip efek muskarin dari ACh. Semuanya adalah zat-zat amonium
kwartener yang bersifat hidrofil dan sukar memasuki SSP, kecuali arekolin.
hanya untuk sementara. Setelah zat-zat tersebut habis diuraikan oleh kolinesterase,
- Ester kolin, adalah kolin yang terikat pada derivat asetil dengan sebuah ikatan ester.
Ikatan ester pada asetilkolin dan obat-obatan yang terkait dihidrolisa oleh enzim-enzim
yang dikenal sebagai kolinesterase. Golongan obat ini yaitu asetilkolin, metakolin,
- Nikotin, adalah salah satu obat yang paling sering digunakan. Nikotin merangsang SSP,
melepaskan epinefrin dari kelenjar adrenal, merangsang, dan kemudian memblok reseptor
piridostigmin
- Edrofonium
malation.
Penggunaan Klinik
- Glaukoma, obat yang bekerja dengan jalan midriasis seperti pilokarpin, karbakol, dan
prostigmin.
Efek samping kolinergika adalah sama dengan efek dari stimulasi SP secara berlebihan,
antara lain mual, muntah-muntah, dan diare, juga meningkatnya sekresi ludah, dahak,
Asetilkolin adalah suatu senyawa amonium kuartener yang tidak mampu menembus
dalam terapi zat ini kurang penting karena beragam kerjanya dan sangat cepat
Kerjanya termasuk :
- Kerja lainnya : pada saluran cerna, asetilkolin dapat meningkatkan sekresi saliva,
Farmakodinamik
Secara umum farmakodinamik dari ACh dibagi dalam dua golongan, yaitu terhadap : (1)
kelenjar eksokrin dan otot polos, yang disebut efek muskarinik ; (2) ganglion (simpatis
dan parasimpatis) dan otot rangka yang disebut efek nikotinik, pembagian efek ACh ini
didasarkan obat yang dapat menghambatnya, yaitu atropin menghambat khusus efek
muskarinik, dan nikotin dalam dosis besar menghambat efek nikotinik asetilkolin
terhadap ganglion. Bila digunakan dosis yang berlebihan maka atropin, nikotin dan
kurare masing – masing dapat juga menghambat semua efek muskarinik dan nikotinik
ACh. Efek obat pada dosis toksik ini tidak dianggap sebagai efek farmakologik lagi,
Kegunaan klinis
Asetilkolin klorida/bromida dapat diperoleh sebagai bubuk kering, dan dalam ampul
Ulkus peptikum, penyakit arteri koroner, hiperteroid (fibrilasi atrium), asma, obstruksi
Ester kolin dapat mendatangkan serangan iskemia jantung pada penderita angina
pektoris, karena tekanan darah yang menurun mengurangi sirkulasi koroner. Penderita
hipertiroidisme dapat mengalami fibrasi atrium. Gejala keracunan pada umumnya berupa
Meteorisme (gejala akibat penimbunan gas dalam saluran cerna), atonia kandung kemih
dan retensi urin, feokromositoma (digunakan untuk tes provokasi penyakit ini pada waktu
Indikasi : Untuk menimbulkan miosis pada iris setelah pengangkatan lensa pada op
Perhatian : Agar miosis terjadi dengan cepat, maka gangguan anatomik yaitu sinekia
anterior atau posterior harus diatasi sebelum pemakaian. Gunakan setelah pengangkatan
Efek samping : Edema kornea, perkabutan kornea dan dekompensasi kornea, bradikardi,
Interaksi Obat : Asetilkolin Cl dan karbakol tidak efektif pada pasien yang diterapi
kol
karbamat dan kolinnya dimetilasi. Oleh karena itu senyawa tidak dihidrolisis oleh
asetilkolin esterase, walaupun sebenarnya dapat dihidrolisis oleh esterase lainnya. Kerja
nikotiniknya kecil atau tidak sama sekali , tetapi kerja muskariniknya sangat kuat. Kerja
utamanya adalah terhadap otot polos kandung kemih dan saluran cerna. Masa kerjanya
berlangsung 1 jam.
Kerja : Betanekol memacu langsung reseptor muskarinik, sehingga tonus dan
motilitas usus meningkat, dan memacu pula otot detrusor kandung kemih sementara
Aplikasi terapi : untuk pengobatan urologi, obat ini digunakan untuk memacu
kandung kemih yang mengalami alori (atonic bladder), terutama retensi urin pasca
Efek samping : Betanekol dapat menimbulkan pacuan kolinergik umum. Termasuk
dalam pacuan ini adalah berkeringat, salivasi, kenerahan, penurunan tekanan darah,
Kegunaan klinis
Betanekol klorida tersedia sebagai tablet 5 dan 10 mg atau dalam ampul yang mengandung
5 mg/ml.
Dosis : Dosis oral adalah 10 – 30 mg, sedangkan dosis subkutan 2,5 – 5,0 mg. Tidak boleh
c. Karbakol
Karbakol sebagai muskarinik maupun nikotinik. Seperti betaanekol, obat ini adalah suatu
ester asam karbamat dan merupakan substrat yang tidak cocok untuk asetilkolinesterase.
Senyawa ini dibiotransformasi oleh esterase lain dengan lambat sekali. Pemberian tunggal
Kerja : Karbakol berefek sangat kuat terhadap sistem kardiovaskular dan sistem
pencernaan karena aktivitas pacu ganglion-nya dan mungkin tahap awalnya memacu dan
kemudian mendepresi sistem tersebut. Obat ini mampu melepas epinefrin dari medula
adrenalis karena kerja nikotiniknya. Penetesan lokal pada mata, dapat meniru efek
Penggunaan terapi : Karena potensi tinggi dan masa kerja yang relatif lama, maka
obat ini jarang digunakan untuk maksud terapi, terkecuali pada mata sebagai obat
miotikum untuk menyebabkan kontraksi pupil dan turunnya tekanan dalam bola mata.
Efek samping : Jika diberikan dalam dosis untuk oftalmologi maka efek sampingnya
Dosis : Pada glaukoma 3 dd 2 gtt dari larutan 1,5-3% (klorida), pada atonia
Kegunaan klinis
Perbaikan gejala penyakit Alzheimer, miotikum untuk glaukoma.
Karbakol klorida sebagai tablet 2 mg atau ampul 0,25 mg/ml; pemberian oral cukup
Dosis subkutan adalah 0,2 – 0,4 mg. Preparat ini tidak boleh diberikan IV. Juga tersedia
Indikasi
Digunakan sebagai miotikum pada glaukoma dan pada atonia organ dalam.
Alkaloid pilodkarpin adalah suatu amin tersier dan stabil atau hidrolisis oleh
untuk oftalmolgi
Kerja : Penggunaan topikal pada kornea dapat menimbulkan miosis dengan cepat dan
kontraksi otot siliaris. Pada mata akan terjadi suatu spasme akomodasi dan
penglihatanakan terpaku pada jarak tertentu, sehingga sulit untuk memfokus suatu objek.
Pilokarpin adalah salah satu pemacu sekresi kelenjar keringat, air mata
gawat yang dapat menurunkan tekanan bola mata baika glaukoma bersudut sempit
(disebut juga bersudut tertutup) maupun bersudut lebar (bersudut terbuka). Obat ini
sangat efektif untuk membuka anyaman trabekular disekitar kanal Schlemm, sehingga
tekanan dalam bola mata turun dengan segera akibat cairan humor keluar dengan lancar.
Kerjanya ini dapat berlangsung dalam sehari dan dapat diulangi kembali. Obat penyekat
kolinesterase seperti isoflurotat dan ekotiofat, bekerja lebih lama lagi. [Catatan : obat
adrenergik, timolol, efektif pula untuk pengobatan glaukoma kronik, tetapi tidak dapat
Efek samping : Pilokarpin dapat mencapai otak dan menimbulkan gangguan SSP.
Indikasi
Kemasan : Botol 5ml 1% ; 2%; 3%; 4%; 6% 15 ml 1%; 2%; 3%; 4%; 6%
2. Antikolinesterase (reversible)
Fisostigmin
Fisostigmin adalah suatu alkaloid (senyawa nitrogen yang terdapat pada tumbuhan) yang
merupakan amin tersier. Obat ini merupakan substrat untuk kolinesterase, dan
membentuk senyawa perantara enzim-substrat yang relatif stabil yang berfungsi meng-
Kerja : fisostigmin bekerja cukup luas karena mampu memacu tidak saja tempat
muskarinik dan nikotinik sambungan neuromuskular. Lama kerja sekitar 2-4 jam. Obat
Penggunaan terapi : obat ini meningkatkan gerakan usus dan kandung kemih,
sehingga berkhasiat untuk mengobati kelumpuhan kedua organ tersebut. Bila diteteskan
pada mata, maka akan timbul miosis dan kekakuan akomodasi dan penurunan tekanan
bola mata. Obat ini digunakan untuk mengobati glaukoma, tetapi pilokarpin sebenarnya
lebih efektif. Fisostigmin digunakan pula untuk mengobati kerja antikolinergik yang
berlebihan seperti atropin dalam dosis berlebihan, fenotiazin, dan obat antidepresi
trisiklik.
Efek samping : Efek fisostigmin terhadap SSP mungkin menimbulkan kejang bila
diberikan dalam dosis besar. Dapat terjadi pula bradikardia. Hambatan terhadap
asetilkolin dan pasti terjadi kelumpuhan otot rangka. Namun demikian efek tadi jarang
Kontra indikasi : penderita yang tidak memerlukan kontriksi seperti pada iritasi akut.
b. Neostigmin
Neostigmin adalah suatu seyawa sintetik yang dapat menghambat asetilkolinesterase
secara reversibel seperti fisostigmin. Tetapi tidak seperti fisostigmin, obat ini lebih polar
dan oleh sebab itu tidak dapat masuk ke dalam SSP. Efeknya terhadap otot rangka lebih
kelumpuhan. Masa kerja obat ini sedang saja biasanya 2-4 jam. Obat ini digunakan untuk
memacu kandung kemih, dan saluran cerna, serta sebagai antidotum keracunan
bermanfaat sebagai terapi simtomatik pada miastenia gravis , suatu penyakit autoimun
yang disebabkab oleh antibodi terhadap reseptor nikotinik yang terikat pada reseptor
diantaranya kerja pacuan kolinergik secara umum seperti salivasi, muka merah dan
panas, menurunnya tekanan darah, mual, nyeri perut, diare dan bronkopasme.
Dosis : Pada myastenia oral rata-rata 150 mg sehari dalam 4-6 dosis (bromida), pada
Kegunaan klinis : Diagnosa dan pengobatan miastenia gravis, ileus paralitik, atoni otot
Efek samping : gangguan fungsi saraf, gangguan pembuluh darah, intoksikasi saluran
cerna.
menunjukkan keaktifan blok depolar ringan tetapi nyata, yang dapat menguatkan blok
neuromuskulus.
c. Piridogstigmin
pengobatan jangka panjang miastenia gravis. Masa kerjanya lebih panjang (3-6 jam) dari
Efek sampingnya lebih ringan dan terutama berupa gangguan lambung-usus. Mulai
d. Edrofonium
Kerja edrofonium mirip dengan kerja neostigmin, kecuali obat ini lebih cepat diserap
dan masa kerjanya lebih singkat (sekitar 10-20 menit). Edrofonium adalah amin kuartener
menyebabkdan peningkatan kekuatan otot dengan cepat. Kelebihan dosis dari obat ini
antidotumnya.
3. Antikolinesterase (Irreversibel)
a. Isoflurofat
Mekanisme kerja : Isoflurofat adalah organosfat yang terikat secara kofalen pada
serin –OH pada sisi aktif asetikolinesterase. Sekali terikat, maka enzim menjadi tidak
asetikolinesterase, maka enzim yang terfosforikasi akan melepas secara perlahan satu
gugus isopropilnya. Kehilangan satu gugus akil. Yang sering disebut penuaan, menjadi
sulit sekali bagi reaktivator kimia seperti pradiloksin, untuk memecah ikatan antarasisa
obat dan enzim. Obat saraf yang baru, ditujukan untuk militer, bekerja setelah beberapa
Kerja : kerja obat ini meliputi pacuan kolinergik umum, kelumpuhan fungsi motor
(yang menimbulkan kesulitan bernafas) dan kejang. Koflurofat menimbulkan pola miosis
kuat dan bermanfaat terapeutik. Atropin dosis besar mampu melawan semua efek sentral
isoflurofat.
Penggunaan terapi : Bentuk salep mata ini digunakan secara topikal dalam jangka
panjang pada pengobatan glaukoma sudut terbuka. Efeknya berakhir mendekati satu
minggu setelah penetesan tunggal .[Catatan : ektiofat adalah obat baru yang terikat pula
Keberadaan gugus bermuatan dari obat ini memungkinkan pendekatan ditempat anionik
enzim dimana tempat ini sangat penting untuk menggeser organofosfat dan meregenerasi
enzim. Bila obat diberikan sebelum terjadinya penuaan enzim yang teralkilasi terjadi,
maka tentu dapat menghilangkan efek soflurofat terkecuali didalam SSP. Tetapi dengan
adanya obat saraf yang baru yang mampu menuakan kompleks enzim dalam beberapa
DAFTAR PUSTAKA
Mycek, J, Mery, dkk, 2000. ”Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi 2”, Widya Medika : Jakarta.
Ganiswarna, 1998. ” Farmakologi dan Terapi ”, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia :
Jakarta
Tan Hoan Tjay, Kirana R, 2001, ”Obat-Obat Penting, Khasiat dan Penggunaan ”, DirJen POM
RI : Jakarta.
Olson, James, 2000. ” Belajar Mudah Farmakologi ”, Penerbit Buku Kedokteran, EGC.
Jakarta.
Tim Penyusun. ” Informasi Spesialite Obat Indonesia”. Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia.
Jakarta.
http://iyankchemiztry.blogspot.co.id/2010/12/agonis-kolinergik.html
Midriatik Miotik
3. Alkaloid termasuk didalamnya muskarin, pilokarpin dan arekolin. Golongan obat ini yang
dipakai hanyalah pilokarpin sebagai obat tetes mata untuk menimbulkan efek miosis.
Setelah mengetahui efek obat kolinergis, kita akan beralih ke reseptor-reseptor kolinergis
yang merupakan tempat substrat obat menempel supaya "obat" dapat menghasilkan efek yang
kita inginkan.
Reseptor kolinergis dibagi 2 yakni:
Penggolongan
Kolinergika dapat pula dibagi menurut cara kerjanya, dibagi menjadi zat-zat bekerja langsung
dan zat-zat bekerja tak langsung.
1. Bekerja langsung: karbachol, pilokarpin, muskarin dan arekolin. Zat-zat ini bekerja langsung
terhadap organ ujung dengan kerja utama seperti efek muskarin dari ACh.
2. Bekerja tak-langsung: zat-zat antikolinesterase seperti fisostigmin, neostigmin, piridostigmin.
Obat-obat ini menghambat penguraian ACh secara reversibel, yakni hanya untuk sementara.
Setelah habis teruraikan oleh kolinesterase, ACh akan segera dirombak kembali.
Ada pula zat-zat yang mengikat enzim secara ireversibel, misalnya parathion dan
organofosfat lain. Kerjanya cukup panjang dengan cara membuat enzim baru lagi dan membuat
enzim baru lagi.
Penggunaan
Obat-Obat kolinergik digunakan pada penyakit glaukoma, myasthenia gravis, demensia
Alzheimer dan atonia.
1. Glaukoma
merupakan penyakit yang bercirikan peningkatan tekanan cairan mata intraokuler(TIO) diatas 21
mmHg, yang menjepit saraf mata. Saraf ini berangsur-angsur dirusak secara progresif sehingga
penglihatan memburuk dan menyebabkan kebutaan.
Obat Antikolinergik
Obat antikolinergik (dikenal juga sebagai obat antimuskatrinik, parasimpatolitik, penghambat
parasimpatis). Saat ini terdapat antikolinergik yang digunakan untuk
(1). mendapatkan efek perifer tanpa efek sentral misalnya antispasmodik
(2). Penggunaan lokal pada mata sebagai midriatikum
(3). Memperoleh efek sentral, misalnya untuk mengobati penyakit parkinson.
Contoh obat-obat antikolinergik adalah atropin, skopolamin, ekstrak beladona,
oksifenonium bromida dan sebagainya. Indikasi penggunaan obat ini untuk merangsang susunan
saraf pusat (merangsang nafas, pusat vasomotor dan sebagainya, antiparkinson), mata (midriasis
dan sikloplegia), saluran nafas (mengurangi sekret hidung, mulut, faring dan bronkus, sistem
kardiovaskular (meningkatkan frekuensi detak jantung, tak berpengaruh terhadap tekanan darah),
saluran cerna (menghambat peristaltik usus/antispasmodik, menghambat sekresi liur dan
menghambat sekresi asam lambung)
Obat antikolinergik sintetik dibuat dengan tujuan agar bekerja lebih selektif dan
mengurangi efek sistemik yang tidak menyenangkan. Beberapa jenis obat antikolinergik
misalnya homatropin metilbromida dipakai sebagai antispasmodik, propantelin bromida dipakai
untuk menghambat ulkus peptikum, karamifen digunakan untuk penyakit parkinson.
GOLONGAN : K
INDIKASI :
Spasme/kejang pada kandung empedu, kandung kemih dan usus, keracunan fosfor organik.
KONTRA INDIKASI :
Glaukoma sudut tertutup, obstruksi/sumbatan saluran pencernaan dan saluran kemih, atoni (tidak
adanya ketegangan atau kekuatan otot) saluran pencernaan, ileus paralitikum, asma, miastenia
gravis, kolitis ulserativa, hernia hiatal, penyakit hati dan ginjal yang serius.
PERHATIAN :
Beresiko menyebabkan panas tinggi, gunakan dengan hati-hati pada pasien terutama anak-anak,
saat temperatur sekitarnya tinggi.
Usia lanjut dan pada kondisi pasien dengan penyakit sumbatan paru kronis yang terkarakterisa
oleh takhikardia.
INTERAKSI OBAT :
- Aktifitas antikolinergik bisa meningkat oleh parasimpatolitikum lain.
- Guanetidin, histamin, dan Reserpin dapat mengantagonis efek penghambatan antikolinergik
pada sekresi asam lambung.
- antasida bisa mengganggu penyerapan Atropin.
EFEK SAMPING :
Peningkatan tekanan intraokular, sikloplegia (kelumpuhan iris mata), midriasis, mulut kering,
pandangan kabur, kemerahan pada wajah dan leher, hesitensi dan retensi urin, takikardi, dada
berdebar, konstipasi/sukar buang air besar, peningkatan suhu tubuh, peningkatan rangsang
susunan saraf pusat, ruam kulit, muntah, fotofobia (kepekaan abnormal terhadap cahaya).
PILOKARPIN HIDROKLORIDA
Digunakan secara topikal pada kantung konjungtiva sebagai larutan tetes mata. Kelebihan
larutan di sekitar mata harus dibuang dengan tissue dan obat yang terkena tangan harus segera
dicuci.
Farmakokinetik
- Penurunan tekanan intraokular maksimum terjadi dalam 1,5 – 2 jam setelah
pemberian ke sistem okular dan biasanya bertahan selama 7 hari. (AHFS, p. 2719).
Pilocarpini hydrochloridum
· pilokarpin monohidroklorida, C11H16N2O2.HCl, BM 244.72.
· Pemerian: hablur tidak berwarna, agak transparan, tidak berbau; rasa agak
pahit; higroskopis dan dipengaruhi oleh cahaya, bereaksi asam terhadap kertas lakmus.
· Jarak lebur: antara 199 ° dan 205 °
· Kelarutan: sangat mudah larut dalam air, mudah larut dalam etanol; sukar
larut dalam kloroform; tidak larut dalam eter. Larut 1 dalam 0,3 air; 1 dalam
alkohol; dan 1 dalam 360 kloroform.
· Wadah dan penyimpanan: dalam wadah tertutup rapat, tidak tembus cahaya.
· pH larutan 5 % dalam air antara 3,5 dan 4,5. (Martindale, p. 1396).
· pH larutan tetes mata 3,5 – 5,5. (TPC, p. 1005).
· Stabilitas: mengalami hidrolisis yang dikatalisis oleh ion hidrogen dan
hidroksida, terjadi epimerisasi pada pH basa. Peningkatan temperatur akan
meningkatkan kecepatan hidrolisis bila pH larutan 10,4. pH stabilitas maksimum 5,12.
· Inkompatibilitas: inkompatibel dengan klorheksidin asetat dan garam
fenilmerkuri, juga dengan alkali, iodin, garam perak dan klorida merkuri.
· Ekivalensi NaCl untuk Pilokarpin HCl 2 % = 0,23 dan ΔTf-nya = 0,26 °.
Diket :
Antropin : 1 %
Pilokarpin : 2 %
Kel 1 Kel 2 Kel 3 Kel 4 Kel 5 Kel 6
normal 0,3 0,1 0,1 0,2 0,1 0,1
atropin 0,4 0,5 0,8 0,3 0,3 0,3
Pilokarpin 0,3 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1
Atropin
Atropine, adalah alkaloid derivat solanasid dari Atropa belladonna yaitu suatu ester
organik asam tropik dan tropin. Atropin merupakan antimuskarinik pertama yang digunakan
sebagai obat, Atropin sangat potensial sebagai obat midriatikum-siklopegia dengan panjang
waktu kerja lebih dari dua minggu.
Homatropin
Homatropine adalah alkaloid semisintetik yang dibuat dari kombinasi asam mandelat dengan
tropine. Durasi kerja Homatropin lebih pendek dibanding dengan Atropin.
Tropikamid
Tropicamide, adalah derivat sintetik dari asam tropik, tersedia sebagai obat mata pada
akhir tahun 1950-an. Tropikamid mempunyai waktu kerja dan lama kerja lebih pendek
dibandingkan dengan antimuskarinik lainnya, sehingga mempunyai daya serapnya (difusi)
terbesar dan proporsi obat yang tersedia untuk penetrasi ke kornea lebih tinggi.
Kemudian setelah atropin sulfat bereaksi, yang dapat terlihat dari perubahan yang terjadi
pada pupil mata tikus yaitu ukuran pupilnya membesar. Maka selanjutnya dapat diberikan
larutan obat pilokarpin dengan cara di teteskan pada cairan konjungtival tempat yang sama pada
mata tikus ketika di teteskan dengan atropine sulfat tadi, dengan cara di pegang matanya supaya
terbuka dan ditahan kira-kira 1 menit. Kemudian diamati perubahan yang terjadi pada pupil mata
tikus. Ternyata pada percobaan ini dihasilkan pupil mata tikus mengecil dan kembali ke ukuran
normalnya tetapi dlm jangka waktu yang agak lebih lama. Masalahnya pada pemberian atropine
sulfat reaksi yang terjadi itu cukup lama sehingga pada saat pemberian pilokarpin reaksi untuk
mengecilkan pupil terjadi cukup lama. Sehingga di butuhkan dosis yang lebih besar untuk
mengembalikan pupil mata tikus kekeadaan normal.
Pada dasarnya pilokarpin adalah golongan obat kolinergik yang bekerja pada reseptor
antimuskarinik. Antimuskarinik adalah suatu keadaan dimana obat ini memperlihatkan efek
sentral terhadap susunan saraf pusat yaitu merangsang pada dosis kecil dan mendepresi pada
dosis toksik. Pada saat ini terdapat antimuskarinik yang digunakan untuk : (1) mendapatkan efek
perifer tanpa efek sentral misalnya antispasmodic, (2) penggunaan local pada mata midriatikum,
(3) memperoleh efek sentral misalnya obat Parkinson, (4) efek bronkodilatasi dan (5)
memperoleh efek hambatan pada sekresi lambung dan gerakan saluran cerna.
Obat miotikum adalah obat yang menyebabkan miosis (konstriksi dari pupil mata). Pengobatan
glaukoma bertujuan untuk mengurangi tekanan di dalam mata dan mencegah kerusakan lebih
lanjut pada penglihatan. Obat Miotikum bekerja dengan cara membuka sistem saluran di dalam
mata, dimana sistem saluran tidak efektif karena kontraksi atau kejang pada otot di dalam mata
yang dikenal dengan otot siliari. Betaxolol dan Pilokarpin adalah contoh obat Miotikum yang
sering digunakan. Betaxolol adalah senyawa penghambat beta adregenik. Pilocarpine adalah
alkaloid muskarinik yang diperoleh dari daun belukar tropis Amerika dari genus Pilocarpus.
Pilokarpin bekerja sebagai reseptor agonis muskarinik pada sistem saraf
parasimpatik.
Pilocarpine digunakan untuk glaukoma untuk mencegah kerusakan lebih lanjut akibat
tekanan yang dapat berisiko kebutaan, Pilokarpin mengatasi gejalanya dengan menurunkan
tekanan pada mata penderita glaukoma. Pilokarpin bekerja pada reseptor muskarinik (M3) yang
terdapat pada otot spingter iris, yang menyebabkan otot berkontraksi dan menyebabkan pupil
mata mengalami miosis. Pembukaan terhadap jala mata trabekular secara langsung
meningkatkan tekanan pada cabang skleral. Aksi ini memfasilitasi pengeluaran cairan pada
kelopak mata sehingga menurunkan tekanan intraokular (dalam mata).
VII. KESIMPULAN
1. Midriatik adalah golongan obat yang mempengaruhi dilatasi atau ukuran pupil bola mata dapat
membesar (midriasis).
2. miotik adalah golongan obat yang mempengaruhi kontraksi atau ukuran pupil bola mata dapat
mengecil (miosis).
3. pilokarpin adalah golongan obat kolinergik yang bekerja pada reseptor antimuskarinik.
4. Atropine adalah alkaloid derivat solanasid dari Atropa belladonna yaitu suatu ester organik asam
tropik dan tropin.
http://yuniethafafa.blogspot.co.id/2012/04/midriatik-miotik.html
istem saraf parasimpatis adalah bagian saraf otonom yang berpusat dibatang otak dan
bagian kelangkang sumsum belakang yang mempunyai dua reseptor terhadap reseptor
muskarinik dan reseptor nikotik.
Susunan saraf parasimpatis disebut sebagai syaraf kolinergik karena bila dirangsang
ujung sarafnya akan melepaskan asetilkolin (Ach). Dan Efek asetilkolin ini adalah: Jantung:
Denyut diperlambat, Arteri koronari: Kontriksi, Tekanan darah: Turun, Pupil mata: Kontriksi,
S.P.M: Peristaltik bertambah.
Farmakokinetik
Ester kolin kurang diserap dan didistribusi kedalam SSP dari saluran cerna (kurang aktif
per oral),namun kepekaannya untuk di hidrolisa oleh kolinestrase sangat berbeda.Asetilkolin
sangat cepat dihidrolisa sehingga untuk mencapai efek yang memuaskan obat ini harus diberikan
melalui infus secara IV dalam dosis besar.efek asetilkolin yang dibelikan dalam bentuk bolus
besar IV diperoleh selama 5-20 detik,sedangkan suntikan IM dan SC hanya memberikan efek
lokal. Metakolin lebih tahan 3 kali terhadap hidrolisa dan dapat memberikan efek sistemik
walaupun diberikan secara SC.
Farmakodinamik
Aktifasi sistem saraf parasimpatis memodifikasi fungsi organ melalui 2 mekanisme
utama. Pertama, asetilkolin yang dilepas dari saraf para simpatis dapat mengaktifkan reseptor
muskarinik pada organ efektor unuk mengubah fungsinya secara langsung. Kedua, asetilkolin
yang dilepas dari saraf para simpatis dapat berinteraksi dengan reseptor muskarinik pada ujung
saraf untukmenghambat pelepasan neurotransmiternya. Melalui mekanisme ini, asetilkolin yang
dilepas dan kemungkinan, mensirkulasi agonis muskarinik secara tidak langsung mengubah
fungsi organ dengan memodulasi efek para simpatis dan sistem saraf simpatis serta kemungkinan
juga sistem nonkolinergik, dan adrenergik.
Efek samping
Dapat menimbulkan banyak keringat, ludah, nause, muntah dan diare, yang merupakan
tanda naiknya tonus parasimpatikus.
Interaksi obat
Pemakain obat tidak dapat diberikan secara per-oral karena obat tersebut dihidrolisis
oleh asam lambung, karena cara kerjanya terlalu singkat sehingga segera dihancurkan oleh
asetilkolinestrase atau outirilkolinestrase.
Kolinergik/ Parasimpatikomimetika
Sekelompok zat yang dapat menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi Susunan
Parasimpatis(SP), karena melepaskan Asetilkolin( Ach ) di ujung-ujung neuron. dimana tugas
utama SP adalah mengumpulkan energi dari makanan dan menghambat penggunaannya,
singkatnya asimilasi.
Penggunaan
Obat-Obat kolinergik digunakan pada penyakit glaukoma, myasthenia gravis, demensia
Alzheimer dan atonia.
Glaukoma
Merupakan penyakit yang bercirikan peningkatan tekanan cairan mata intraokuler(TIO) diatas 21
mmHg, yang menjepit saraf mata. Saraf ini berangsur-angsur dirusak secara progresif sehingga
penglihatan memburuk dan menyebabkan kebutaan.
Antikolinergik
Antikolinergik adalah ester dari asam aromatik dikombinasikan dengan basa organik. Ikatan
ester adalah esensial dalam ikatan yang efektif antara antikolinergik dengan reseptor asetilkolin.
Obat ini berikatan secara blokade kompetitif dengan asetilkolin dan mencegah aktivasi reseptor.
Efek selular dari asetilkolin yang diperantarai melalui second messenger seperti cyclic guanosine
monophosphate (cGMP) dicegah.Reseptor jaringan bervariasi sensitivitasnya terhadap blokade.
Faktanya : reseptor muskarinik tidak homogen dan subgrup reseptor telah dapat diidentifikasikan
: reseptor neuronal (M1),cardiak (M2) dan kelenjar (M3) (Askep, 2009). Dalam dosis klinis,
hanya reseptor muskarinik yang dihambat oleh obat antikolinergik yang akan dibahas pada bab
ini. Kelebihan efek antikolinergik tergantung dari derajat dasar tonus vagal.
Beberapa sistem organ dipengaruhi : A. Kardiovaskular Blokade reseptor muskarinik pada SA
node berakibat takikardi. Efek ini secara khusus mengatasi bradikardi karena reflek vagal (reflek
baroreseptor,stimulasi peritoneal atau reflek okulokardia). Perlambatan transien denyut jantung
karena antikolinergk dosis rendah telah dilaporkan. Mekanisme ini merupakan respon paradoks
karena efek agonis perifer yang lemah, diduga obat ini tidak murni antagonis. Konduksi melalui
AV node akan memendekkan interval P-R pada EKG dan sering menurunkan blokade jantung
disebabkan aktivitas vagal. Atrial disritmia dan ritme nodal jarang terjadi. Antikolinergik berefek
kecil pada fungsi ventrikel atau vaskuler perifer karena kurangnya persarafan kolinergik pada
area ini dibanding reseptor kolinergik. Dosis besar antikolinergik dapat menghasilkan dilatasi
pembuluh darah kutaneus (atropin flush).
Daftar Pustaka:
Gunawan s, dkk. (2007). Farmakologi Dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Gaya Gon
Katzung G, Betram. (1997). Farmakologi Dasar Dan Klinik. Edisi 6. Jakarta: EGC
Pearce, Evelyn C. (2002). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta : Gramedia Pustaka Umum.
http://silvianitaanggraeni.blogspot.co.id/2013/02/sistem-syaraf-parasimpatik-syaraf-tak.html
JURNAL KOLIN OBAT
57
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011
Jurnal Anestesiologi Indonesia
adalah larut-lemak. Waktu onset dan durasi kerja sama, namun ropivacaine memblok motorik
lebih rendah, yang sebabkan potensi lebih rendah, ditunjukkan dalam beberapa penelitian. Yang
paling menjadi perhatian, ropivacaine memiliki index terapi yang besar karena 70% lebih sedikit
menyebabkan intoksikasi kardia dibandingkan dengan bupivacaine. Ropivacain dikatakan
memiliki toleransi terhadap sistem saraf pusat yang lebih besar. Keamanan dari ropivacaine ini
mungkin disebabkan karena kelarutan lemaknya yang rendah atau availibilitasnya sebagai isomer
S(-) yang murni, yang bertolak belakang dengan struktur dari bupivacaine. Levobupivacaine,
merupakan isomer S(-) dari bupivacain, yang tidak lagi tersedia di Amerika Serikat, dilaporkan
memiliki efek samping terhadap cardiovaskular dan serebral yang lebih kecil dari pada struktur
campuran; penelitian mengatakan bahwa efeknya terhadap kardiovaskular hampir menyerupai
efek ropivacaine. D.
Imunologi Reaksi hipersensitivitas murni terhadap agent anestesi lokal
—
yang bukan intoksikasi sistemik karena konsentrasi plasma yang berlebihan
—
merupakan hal yang jarang. Ester memiliki kecenderungan menginduksi reaksi alergi karena
adanya derivat ester yaitu asam p-aminobenzoic, yang merupakan suatu alergen. Sediaan
komersial multidosis dari amida biasanya mengandung methylparaben, yang memiliki struktur
kimia mirip dengan PABA. Bahan tambahan ini yang bertanggung jawab terhadap sebagian
besar reaksi alergi. Anestesi lokal dapat membantu mengurangi respon inflamasi karena
pembedahan dengan cara menghambat pengaruh asam lysophosphatidic dalam mengaktivasi
neutrofil. E.
Muskuloskeletal Saat diinjeksikan langsung ke dalam otot skeletal (trigger-point injeksi),
anestesi lokal adalah miotoksik (bupivacaine > lidocaine > procaine). Secara histologi,
hiperkontraksi miofibril menyebabkan degenarasi litik, edema, dan nekrosis. Regenerasi
biasanya timbul setelah 3-4 minggu. Steroid tambahan atau injeksi epinefrin memperburuk
nekrosis otot. Data penelitian hewan menunjukkan bahwa ropivacaine menghasilkan kerusakan
otot yang tidak terlalu berat dibanding bupivacaine. F.
Hematologi Telah dibuktikan bahwa lidokain menurunkan koagulasi (mencegah trombosis dan
menurunkan agregasi platelet) dan meningkatkan fibrinolisis dalam darah yang diukur dengan
thromboelastography. Pengaruh ini mungkin berhubungan dengan penurunan efikasi autolog
epidural setelah pemberian anestesi lokal dan insidensi terjadinya emboli yang lebih rendah pada
pasien yang mendapatkan anestesi epidural.
Interaksi Obat
Anestesi lokal meningkatkan potensi blokade otot non-depolarisasi. Suksinil kolin dan anestesi
lokal ester bergantung
58
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011
Jurnal Anestesiologi Indonesia
pada pseudokolinesterase untuk metabolismenya. Pemberian bersamaan dapat meningkatkan
potensi masing-masing obat. Dibucaine, anestesi lokal amida, menghambat pseudokolinesterase
dan digunakan untuk mendeteksi kelainan genetik enzim. Inhibitor pseudokolinaesterase dapat
menyebaban penurunan metabolisme dari anestesi lokal ester. Cimetidine dan propanolol
menurunkan aliran darah hepatik dan bersihan lidokain. Level lidokain yang lebih tinggi dalam
darah meningkatkan potensi intoksikasi. Opioid (misal, fentanil, morfin) dan
agonis adrenergik α2 (co
ntoh: epinefrin, klonidin) meningkatkan potensi penghilang rasa nyeri anestesi lokal.
Kloroprokain epidural dapat mempengaruhi kerja analgesik dari morfin intraspinal.
2-5
RINGKASAN
Anestesi regional semakin berkembang dan meluas pemakaiannya, mengingat berbagai
keuntungan yang ditawarkan, diantaranya relatif lebih murah, pengaruh sistemik yang minimal,
menghasilkan analgesi yang adekuat dan kemampuan mencegah respon stress secara lebih
sempurna. Secara kimiawi obat anestesi lokal dibagi dalam dua golongan besar, yaitu golongan
ester dan golongan amide. Perbedaan kimia ini direfleksikan dalam perbedaan tempat
metabolisme, dimana golongan ester terutama dimetabolisme oleh enzim pseudo-kolinesterase
di plasma sedangkan golongan amide terutama melalui degradasi enzimatis di hati. Perbedaan ini
juga berkaitan dengan besarnya kemungkinan terjadinya alergi, dimana golongan ester turunan
dari
p-amino-benzoic acid
memiliki frekwensi kecenderungan alergi lebih besar. Obat anestesi lokal yang lazim dipakai di
negara kita untuk golongan ester adalah prokain, sedangkan golongan amide adalah lidokain dan
bupivakain. Mekanisme kerja obat anestesi local mencegah transmisi impuls saraf (blokade
konduksi) dengan menghambat pengiriman ion natrium melalui gerbang ion natrium selektif
pada membrane saraf. Kegagalan permeabilitas gerbang ion natrium untuk meningkatkan
perlambatan kecepatan depolarisasi seperti ambang batas potensial tidak tercapai sehingga
potensial aksi tidak disebarkan. Obat anestesi lokal tidak mengubah potensial istirahat
transmembran atau ambang batas potensial. Farmakokinetik obat meliputi absorpsi, distribusi,
metabolisme dan ekskresi. Komplikasi obat anestesi lokal yaitu efek samping lokal pada tempat
suntikan dapat timbul hematom dan abses sedangkan efek samping sistemik antara lain
neurologis pada Susunan Saraf Pusat, respirasi, kardiovaskuler, imunologi ,muskuloskeletal dan
hematologi Beberapa interaksi obat anestesi lokal antara lain pemberian bersamaan dapat
meningkatkan potensi masing-masing obat. penurunan metabolisme dari anestesi
48
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011
Jurnal Anestesiologi Indonesia
TINJAUAN PUSTAKA
Mekanisme Kerja Obat Anestesi Lokal
Ratno Samodro*, Doso Sutiyono*, Hari Hendriarto Satoto*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
farmakologi obat-obat muskarinik,kolinesterase dan adrenergik
1. OBAT-OBAT MUSKARINIK (Agonis muskarinik) dibedakan atas (1) asetilkolin dan ester asetil
kolin sintesis yaitu metakolin, karbakol, dan betanekol (2) alkaloid kolinergik yang terdapat di
alam yaitu muskarinik, pilokarpin, dan arekolin, beserta senyawa sintesisnya
Contoh obat : alkaloid kolinergik, dalam golongan ini di kenal 3 alkaloid yaitu muskarin yang
berasal dari jamur amanita muscaria, pilokarpin yang berasal dari tanaman pilocarpus jaborandi
dan pilocarpus michrophyllus, dan arekolin yang berasal dari areca catechu (pinang)
Indikasi
ATONIA SALURAN CERNA. Betanekol efektif untunk mengatasi kembung pada ileus pasca
bedah dan pada atonia lambung ( gastroparesis). Untuk ini betanekol di berikan per oral
sebanyak 10-20mg, 3 atau 4 kali sehari pada perut kosong. Bila atonia sedemikian berat sehingga
tak da makanan yang sampai ke duodenum, maka betanekol di berikan secara subkutan karen
obat ini tidak di serap di lambung. Kini zat prokinetk semacam metokloparamid telah
menggantikan kedudukan betanekol pada gastroparises.
ATONIA KANDUNG KEMIH. Berdasarkan mekanisme yang sama dengan ileus pascabedah,
dapat terjadi atonia kandung kemih dan retensi urin. Betanekol 2,5mg yang di suntikan SK
beberapa kali, atonia oleh sebab lain juga dapat di atasi dengan obat ini asal di pastikan tidak ada
sumbatan secara organis.
MEKANISME KERJA
Ester kolin lazimnya di gunakan secara oral atau SK karena pemberian IV sangat berbahaya.
Efeksamping dan reaksi toksik biasanya akibat kerja pada reseptor muskarinik di berbagai
tempat, maka reaksi toksik dapat segera teratasi dengan suntikan SK atau IV atropin sulfat. Efek
terhadap sistem kardiovaskular dan pernafasan dapat di atasi dengan adrenalin SK atu IM
Asma bronkial, hiperteroid, insupisiensi koroner, dan ulkus peptikum merupakan kontra indikasi
agonis muskarinik. Esterkolin dapat mendatangkan serangan iskemia jantung pada pasien angina
pektoris karena turunnya tekanan darah akan mengurangi sirkulasi koroner. Pasien
hipertiroidisme dapat mengalami fibrilasi natrium, terutama pada pemberian metakolin; tindakan
pengamanan perlu diambil, yaitu dengan menyediakan atropin dan efinefrin sebagai antidotum.
Efeksamping lain biasanya berkeringat, salivasi, kejang (cramps) perut, rasa penuh di kandung
kemih.
1. Atropin Sulfat
2. Pirenzepin
Indikasi : Ulkus Lmbung dan duodenum yang akut dan kronis; gastritis dan duodenitis
Efek Samping : Mulut kering, Gangguan akomodasi.
Mekanisme Kerja: Absorpsi pirezepin tidak lengkap (20-30%) dan dipengaruhi oleh adanya
makanan dlam lambung. Absorpsinya lebih baik bila dikombinasi dengan antasida. Masa paruh
eliminiasinya sekitar 11 jam. Sebagian besar pirenzepin diekresi melalui urine dan feses dalam
bentuk senyawa asalnya. Pada pasien gagal ginjal kadar obat meningkat 30-40%, namun belum
menyebabkan efek toksik. Hemodialisis tidak banyak bermanfaat untuk mempercepat ekskresi
obat pada keracunan pirenzepin.
AChE, atau asetilkolin asetilhidrolase, di temukan terutama pada sinaps syaraf kolinergik,
neuromuscular junction dan darah (membran sel darah merah ). Enzim ini berfungsi
menghidrolisis asetilkolin menjadi kolin dan asetat. BChE, atau asil asilhidrolase ata juga
pseudokolinesterase, di temukan terutama pada hati. Enzim ini mirip dengan AChE, namun
substratnya adalah butirilkolin (senyawa sintetik yang tidak di jumpai pada tumbuhan ). Enzim
tersebut dapat menghidrolisis beberapa ester kolin misalnya suksamethonium, mivacurium.
Suksamethonium, atau juga di kenal sebagai suksinilkolin (obat paralisis penginduksi relakasasi
otot skletal), didegredasi oleh enzim buturilkolinesterase, tidak oleh asetilkolinesterase, menjadi
suksinilmonokolin kemudian di ubah menjadi asam suksinat.
Obat ini bekerja dengan menghambat enzimkolinesterae pada celah sinaptik. Enzim
kolinesterase ada dua tipe yaitu asetilkolinesterase AChE dan butirilkolinesterase (BChE).
Inhibitor kolinesterase dibagi menjadi dua bagian yaitu inhibitor reversibel dan inhibitor
irreversibel.
4. OBAT-OBAT ADRENERGIK
Sebagian obat adrenergik bekerja secara langsung pada reseptor adrenergik dimembran sel
efektor.
Menimbulkan efek adrenergik melelui pelepasan NE yang tersimpan dala ujung saraf
adrenergik.obat-obat ini menyerupai efek NE,tetapi timbulnya lebih lambat dan masa kerjanya
lebih lama.
Banyak obat yang mempunyai efek tidak langsung ini juga mempunyai efek langsung pada
reseptor adrenergik.contoh : efedrin. Efek langsung ini tentu saja tidak bergantung pada NE
endogen.
Epineprin merupakan obat prototipe adrenergik. Dengan mengerti efek obat adrenergik yang
bekerja direseptor lainnya. Epineprin bekerja pada semua reseptor adrenergik : α 1,α2 β1 dan β
1. Farmakodinamik
Efek yang sangat menonjol adalah efek terhadap jantung, otot polos pembuluh darah, dan otot
polos lain.
1. Kardiovaskular .pembuluh darah. Efek vaskular epi terutama pada atriol kecil dan
sfingterprekapiler,tetapi vena dan arteri besar juga dipengaruhi. Pembuluh darah kulit,mukosa
dan ginjal mengalami kontriksi karena dalam organ-organ tersebut reseptor α dominan.
Pembuluh darah otot rangka mengalami dilatasi oleh epuineprin dosis rendah, akibat aktivasi
reseptor β2 yang mempunyai afinitas lebih besar pada epi dibandingkan dengan reseptor α. Epi
pada dosis tinggi bekerja pada kedua reseptor tersebut. Jika sebelum epi diberikan suatu
penghambat reseptor α , maka pemberian epi hanya menimbulkan vasodilatasi dan penurunan
tekanan darah. Gejala ini disebut ephineprine reversal. Epi dalam dosis yang tidak banyak
mempengaruhi tekanan darah,meningkatkan resistensi pembuluh darah ginjal dan mengurangi
aliran darah ginjal sebanyak 40%. Eksresi Na,K dan Cl bekrurang.voleume urin mungkin
bertambah,berkurang atu tidak berubah.
2. Arteri koroner .Epi meningkatkan aliran darah koroner. Disatu pihak epi cenderung menurunkan
aliran darah koroner karena kompresi akibat peningkatan kontraksi otot jantung, dan karena
vasokontriksi pembuluh darah koroner akibat efek reseptor α.
3. Epi mempercepat depolarisasi 4 fase , yakni depolarisasi lambat sewaktu dioastole; dari nodus
sino-atrial dan sel otomatik lainnya,dengan demikian mempercepat firing rate pacu jantung dan
merangsang pembentukan fokus ektopik dalam ventrikel. Dalam nodus SA epi juga
menyebabkan perpindahan pacu jantung ke sel yang menyebabkan perpindahan pacu jantung
ke sel yang mempunyai firing rate lebih cepat. Epi mempercepat konduksi sepanjang jaringan
konduksi, mulai dari atrium ke nodus atrioventrikular (AV) sepanjanhg berkas His dan serat
purkinje sampai ke ventrikel. Epi juga mengurangi blok yang AV yang terjadi akibat
penyakit,obat atau aktivitas vegal. Selain itu epi memperpendek priode refrakter nodus AV dan
berbagai bagian jantung lainnya. Epi memperkuat kontraksi dan mempercepat relaksasi.
4. Tekanan darah. Pemberian epi secara SK atau secara IV lambat menyebabkan kenaikan tekanan
sistolik yang sedang dan perunanan tekanan darah diastolik. Biasanya efek vasodilatasi epi
mendominasi sirkulasi; kenaikan tekanan sitolik terutama disebabkan oleh peningkatan curah
jantung.
5. Otot polos. Efek epi pada otot polos berbagai organ bergantung pada jenis reseptor adrenergik
pada otot polos yang bersangkutan.
6. Saluran cerna. Efek Epi merelaksasi otot polos saluran cerna
7. Selama kehamilan bulan terakhir dan waktu partus Epi menghambat tonus dan kontraksui
yterus melalui reseptor β2.
8. Kandung kemih. Epi menyebabkan relaksasi otot detrusor melalui reseptor β 2 dan kontriksi ototo
trigon,sfingter dan otot polos prostat melalui reseptor α Yang dapat menimbulkan kesulitan
berkemih dan menyebabkan retensi urin.
9. Epi mempengaruhi pernafasan terutama dengan cara merelaksasi otot bronkus melalui reseptor
β2. Pada asma epi juga menghambat penglepasan mediator inflamasi dari sel-sel mast melalui
reseptor β2.serta mengurangi sekresi bronkus dan kongesti mukosa melalui reseptor α 1.
10. Susunan Saraf Pusat. Menimbulkan kegelisahan,rasa khawatir,nyeri kepala dan tremor;sebagian
karna efeknya pada sistem kardiovaskular,otot rangka dan metabolisme ; yakni sebagian
manifestasi somatik dari ansietas.
11. Proses metabolisme. Epi menstimulasi glikogenolisis disel hati dan ototo rangka melalui reseptor
β2 .Epi juga menyebabkan penghambatan sekresi insulin akibat dominasi aktivasi reseptor α
Yang menghambat terhadap aktivasi reseptor β 2 yang menstumasi sekri insulin.
12. Epi mempercepat jumlah neutrofil yang beredar (melalui reseptor β . Epi mempertcepat
pembekuan darah dan meningkatkan fibrinosisi.
13. Farmakokinetika
Absorpsi .pada pemberian oral epi tidak mencapai dosis terapi karena sebagian besar dirusak
oleh enzim COMT dan MAO yang banyak terdapat pada dinding usus dan hati. Pada
penyuntikan SK,absorpsi lambat karena vasokontriksi lokal.dapat dipercepat dengan memijat
tempat suntikan. Absorpsi yang lebih cepat terjadi dengan penyuntikan IM. Pada pemberian
lokal secara inhalasi ,efeknyta terbatas terutama pada saluran na[as,tetapi efek sistemik dapat
terjadi terutama jika diberikan dosisi yang besar.
Biotranformasi dan eksresi . efineprin stabil dalam darah. Degradasi Epi terutama tejadi dalam
hati yang banyak mengandung enzim COMT dan MAO,tetapi jaringan lain juga dapat merusak
zat ini. Sebagian besar epi mengalami biotranformasi, mula-mula oleh COMT dan MAO,
kemudian teroksidasi, reduksi dan atau konyugasi,menjadi metanefrin, asam 3-metoksi-4-
hidroksimandeleat, 3-metoksi-4hidroksifeniletilenglikol, dan bentuk konyugasi glukuronat dan
sulfat. Metabolit-metabolit ini bersama Epi yang tidak diubah dikeluarkan dalam urin. Pada
orang normal, jumlah Epi yang utuh dalam urin hanya sedikit. Pada pasien feokromositoma, urin
mengandung Epi dan NE utuh dalam jumlah besar bersama metabolitnya.
Pemberian Epi dapat menimbulkan gejala seperti gelisah, nyeri kepala berdenyut, tremor, dan
palpitasi. Gejala-gejala ini mereda dengan cepat setelah istirahat. Pasien hipertiroid dan
hipertensi lebih peka terhadap efek-efek tersebut diatas maupun efek-efek pada sistem
kardiovaskular. Pada pasien psikoneurotik, Epi memperberat gejala-gejalanya.
Dosis Epi yang besar IV cepat yang disengaja dapat menimbulkan pendarahan otak karena
kenaikan tekanan darah yang hebat. Untuk mengatasinya dapat diberikan vasodilator yang
kerjanya cepat. Misalnya nitrat atau natrium nitrofusid.
Epinefrin menimbulkan aritmia ventrikel. Terjadi bila Epi diberikan sewaktu anastesia dengan
hidrokarbon berhalogen, atau pada pasien angina pectoris, Epi mudah menimbulkan serangan
karena obat ini meningkatkan keja jantung sehingga memperberat kekurangan oksigen.
Epinefrin di kontra indikasikan pada pasien yang mendapat β-bloker nonselektif, karena kerjanya
yang tidak terimbangi pada reseptor α, pembuluh darah dapat menyebabkan hipertensi berat dan
pendarahan dalam otak.
1. Norepinefrin merupakan neurotransmiter yang dilepas dan serat pasca ganglion adrenergik.
2. Indikasi
NE mempunyai efek β1 pada jantung sebanding dengan Epi,tetapi hampir tidak memperlihatkan
efek β2. NE pada infus meningakatkan tekanan diastolik, tekanan sistolik,dan biasanya juga
tekanan nadi. Reflek vegal memperlambat denyut jantung,mengatasi efek NE yang
mempercepatnya. Aliran darah koroner meningkat tetapi pada pasien angina prenzimental NE
dapat mengurangi aliran darah koroner.
1. Farmakokinetik
Tidak efektif pada pemberian oral. NE diabsorpsi dengan baik dengan pemberian SK.
2. Isoproterenol merupakan amin simpatomimetik yang kerjanya paling kuat ada reseptor β,dan
hampir tidak bekeja pada reseptor α.
3. Indikasi
Infus isoproterenol menurunkan resistensi perifer,terutama pada otot rangka ,tetapi juga pada
ginjal dan mesenterium , sehingga tekanan diastolik menutun. Isoproterenol mencegah
bronkokontriksi. Efek isoproterenol lebih kuat dari Epi dalam menimbulkan efek penglepasan
asam lemak bebas dan efek kalorigenik.
1. Farmakokinetik
Tidak efektif terhadap pemberian oral. Diabsorpsi dengan baik dengan pemberian parenteral atau
sebagai aerosol tetapi tidak dapat dialdalkan pada pemberian oral atau sublingual sehingga tidak
dianjurkan . obat ini merupakan substratt baik untuk COMT tetapi bukan substrat yang baik
untuk MAO, sehingga kerjanya sedikit lebih panjang daripada Epi.
Efeksamping umum berupa palpitasi ,takikardi,nyeri kepala dan muka merah. Terkadang terjadi
aritmia,dan serangan angina,terutama pada pasien dengan penyakit arteri koroner. Inhalasi
isopropenol dosis berlebih dapat menimbulkan aritmia ventrikel yang fatal.
3. Dopamin pada kadar rendah dopamin bekerja pada reseptor dopaminergik D 1, pembuuluh
darah, terutama diginjal, mesenterium dan pembuluh darah koroner.
4. Indikasi
Infus dopamin dalam dosis rendah akan meningkatkan aliran darah ginjal. Pada dosiis yang lebih
tinggi dopamin meningkatkan kontraktilitass miokard melalui aktivasi adrenoresepttor β1. Pada
kadar tinggi dopamin menyebabkan vasokontriksi akibat aktivasi reseptor α1.
1. Farmakokinetika
Tidak efektif pada pemberian oral.
Dosis berlebih menimbulkan efek adrenergik yang berlebihan. Selama infus dopamin dapat
terjadi mual,muntah,takikardia, nyeri dada, nyeri kepala, hipertensi dan peningkatan tekanan
diastolik.dihindarkan dosis berlebih pada pasien mengonsumsi obat MAO.
1. Amfetamin
2. Indikasi
Pada manusia dosis 10-30mg dapat berupa peningkatn kewaspadaan,hilangnya rasa ngantuk,dan
berkurangnya rasa lelah perbaikan mood, bertambahnya inisiatif, percaya diri dan daya
konsentrasi, seringkali euforia, dan peningkatan aktivitas motorik dan aktivitas bicara
1. Mekanisme
Mekanisme kerja amfetamin di ssp semuanya hampir semuanya melalui penglepasan amin
biogenik dari ujung saraf yang bersangkutan diotak, peningatan kewaspadaan , efek anoreksik
dan sebagian aktivita lolomotor melalui penglepasan NE. Dosis lebih tinggi penglepasan
dopamin,terutama di neostriatum dan menimbulkan aktivitas lolomotor serta stereotipe. Dosis
lebih tingginlagi melepaska serotonin dan dopamin di mesolimbik.
2. Efedrin
3. Indikasi
Menyerupai efek Epi,perbedaannya efedrin bukan katekoloid amin maka effektif pada pemberian
oral. Masa kerjanya jauh lebih panjang. Efek kardiovaskular seperti Epi tetapi berlangsung kira-
kira 10x lebih lama.tekanan sitolik dan diastol meningkat dan nadi membesar, tekanan ini
disebabkan oleh vasokontriksi.efek sentral efedrin menyerupai efek amfetamin tetapi lebih
lemah.
1. Mekanisme
Seperti halnya pada Epi , efedrin bekerja pada reseptor α,β1 dan β2. Efek perifer efedrin melalui
kerja langsung dan melalui penglepasan NE endoggen. Kerja tidak langsungnya mendasari
timbulnya takifilasis terhadap efek perifernya.
Sama dengan epinefrin,insomnia yang terjadi pada penghambatan kronik mudah diatasi dengan
pemberian sedatif. Perhatian pada penggunaan obat ini sama dengan pada EPI dan amfetamin.
Guanetidin adalah prototipe menghamat saraf adrenergik. Guanetidin dan guanadrel memiliki
gugus guanidin yang bersifat basa relatif kuat.
Mekanisme kerja
Bioavailabilitas oral guanetidin rendah dan bervariasi, antara 3-50%. Obat ini dengan cepat di
angkut ketempat kerjanya dalam saraf, dari sini di eliminasi dengan waktu paruh 5 hari. Sekitar
50% mengalami metabolisme, dan sisanya di ekskresi utuh dalam urin. Karena wktu paruhnya
yang pajang, guanetidindapat diberikan sehari 1 kali, dan keadaan steady state di capai dalam
waktu minimal dua minggu. Guanetidin tersedia dalam bentuk tablet 10mg dan 25mg.
Indikasi
Efek samping
efek samping guanetidin bersifat kumulatif dan masih bertahan berhari-hari setelah pengobatan
di hentikan, yang paling penting adalah hipotensi ortostatik, yang paling menonjol pada waktu
pasien baru bangun tidur, dan dapat diperberat oleh alkohol, hawa panas atau latihan fisik.
Hipotensi dpat disetrai gejala-gelaja iskemia serebral dan iskemia miokard. Tekanan darah waktu
berdiri dan berbaring perlu diprtimbangakan dalam menyesuaikan dosis guanetidin. Perasaan
lemah yang terjadi hanya sebagian di sebabkan oleh hipotensi postural.
Retensi air dan garam dapat menyebabkan edema dan kegagalan tetapi jika diuretik tidak
diberikan bersama. Gagal antung dapat terjadi pada pasien dengan cadangan atau kapasitas
jantung yang terbatas, akibat berkurangnya aktifitas simpatis pada jantung serta adanya
akumulasi cairan.
Krisis hipertensi dapat terjadi akibat sensitisasi oleh guanetidin terhadap simpatomometik
berefek langsung yang terdapat dalam obat filek.
Diare yang terjadi dapat teratasi dengan anti kolinergik, tingtura opil atau preparat kaolin-pektin.
Guanetidin tidak menyebabkan disfungsi ereksi tetepi hambatan ejakulasi sering terjadi.
Kontraindikasi
Glukoma sudut tertutup, sumbatan saluran kemih dan saluran pencernaan, atoni (tidak adanya
tegangan atau kekuatan otot) . usus , ileus paralitikum, asma miastemia gravis, kolitis ulserativs,
hernia hiatal dan penyakit serius hati atau ginjal .
Mekanisme
Denervasi saraf kolinergik pascaganglion membuat fisostigmin dan antikolinesterase lain tidak
dapat bekerja , karena ujung saraf ini tidak memproduksi asetilkolin lagi. Hal ini terlihat secara
mengesankan bila ganglion siliar mata dirusak. Pemberian fisostigmin lokal dimata tidak
menyebabkan miosis. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa fisostigmin dan
antikolinesterase lain halnya dapat bekerja pada persyarafan yang utuh. Namun, ini tidak berlaku
untuk prostigmin yang juga memperlihatkan efek langsung terhadap reseptor nikotinik di otot
rangka.
Indikasi Fisostigmin
Sebgai miotikum , fisostigmin dan DFP secara lokal digunakan dalam oftalmologi untuk
memperkecil pupil, terutama sesudah pemberian atropin pada funduskopi. Dilatasi pupil oleh
atopin berlangsung berhari-hari dan mengganggu penglihatan bila tidak dipulihkan dengan
fisostigmin
Indikasi prostigmin
Sebagai atonia otot polos, prostigmin berguna untuk keadaan atonia ototo polos saluran cerna
dan kandung kemih yang sering terjadi pada pasca bedah atau pada keracunan menghambat
muskarik
Meliputi ataksia,hilangnya refleks, bingung sukar berbicara, konflusi, koma, pernafasan cheyne-
stokes, dan kelumpuhhan nafas.
Kontra indikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Defartemen Farmakologi dan Terapeutik, Farmakologi dan Terapi,2012, edisi 5, hal 48-62,
Agonis dan Antagonis Muskarinik
Defartemen Farmakologi dan Terapeutik, Farmakologi dan Terapi,2012, edisi 5, hal 63-84, Obat
Adrenergik
Defartemen Farmakologi dan Terapeutik, Farmakologi dan Terapi,2012, edisi 5, hal 85-104,
Penghambat Adrenergik
Dr. Agung Endro,M.Si.,Apt., 2012, Farmakologi Obat-obat Penting dalam Pembelajaran Ilmu
Farmasi dan Dunia Kesehatan, cetakan 1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar