Anda di halaman 1dari 62

Myasthenia gravis adalah penyakit yang terjadi karena terputusnya komunikasi antara saraf dan

otot. Penyakit kronis ini biasanya ditandai dengan lemahnya otot dan kelelahan.

Kondisi kronis ini dapat terjadi pada semua orang dari segala usia, tetapi penyakit ini paling
umum dialami oleh wanita berusia di bawah 40 tahun dan pria di atas 60 tahun. Wanita juga
memiliki risiko tiga kali lebih tinggi daripada pria untuk mengidap myasthenia gravis.

Gejala-gejala Myasthenia Gravis

Kondisi melemahnya otot adalah gejala utama penyakit myasthenia gravis. Indikasi tersebut
memiliki kecenderungan untuk menjadi makin parah jika otot yang lemah sering digunakan.

Gejala pelemahan otot ini umumnya terjadi secara kambuhan dengan tingkat keparahan yang
berbeda-beda pada tiap penderita. Tetapi keparahannya akan berangsur-angsur meningkat.
Lemahnya otot biasanya tidak terasa sakit, tapi terdapat sebagian penderita yang merasa nyeri
saat gejala kambuh, terutama ketika melakukan aktivitas fisik.

Otot yang paling sering diserang penyakit ini adalah otot mata, otot wajah, dan otot yang
mengendalikan proses menelan. Gejala-gejala myasthenia gravis meliputi:

 Salah satu atau kedua kelopak mata penderita yang turun.


 Penglihatan ganda atau kabur.
 Perubahan kualitas suara, misalnya menjadi sengau atau pelan.
 Sulit menelan dan mengunyah. Gejala ini akan menyebabkan penderita mudah tersedak.
 Sulit bernapas, terutama saat beraktivitas atau berbaring.
 Ekspresi wajah yang terbatas, misalnya sulit tersenyum.
 Melemahnya otot tangan, kaki, dan leher. Gejala ini akan memicu gangguan mobilitas,
seperti pincang atau kesulitan mengangkat barang.

Jika Anda merasakan gejala-gejala tersebut, segera periksakan diri ke dokter agar diagnosis dan
penanganan yang tepat dapat dilakukan.

Penyebab Myasthenia Gravis

Myasthenia gravis termasuk dalam kondisi autoimun. Sistem kekebalan tubuh pada pengidap
memproduksi antibodi yang menghalangi kinerja atau menghancurkan sel-sel saraf pada otot.
Penyebab keabnormalan antibodi ini belum diketahui secara pasti.

Asetilkolin adalah salah satu senyawa neurotransmiter yang dapat mengaktifkan reseptor otot
untuk berkontraksi. Jika kinerjanya terhambat oleh antibodi, jalur komunikasi saraf dan otot
akhirnya terputus sehingga pengidap myasthenia gravis akan mengalami lemas otot dan mudah
lelah.

Para pakar juga menduga bahwa kelenjar timus berperan dalam munculnya penyakit autoimun
ini. Pada kondisi normal, ukuran kelenjar timus seseorang akan membesar selama masa kanak-
kanak dan menyusut menjelang dewasa. Tetapi pengidap myasthenia gravis dewasa umumnya
mengalami keabnormalan dengan memiliki kelenjar timus yang berukuran besar. Sekitar 1 dari
10 penderita myasthenia gravis memiliki tumor jinak pada kelenjar timus.

Diagnosis Myasthenia Gravis

Untuk mendiagnosis myasthenia gravis, dokter akan menanyakan gejala dan memeriksa kondisi
fisik Anda. Demikian pula dengan riwayat kesehatan Anda.

Proses ini umumnya membutuhkan waktu yang lama karena gejala pelemahan otot terlalu umum
dan mirip dengan penyakit-penyakit lain, misalnya multiple sclerosis atau hipertiroidisme.
Karena itu, diagnosis myasthenia gravis bisa sulit untuk dipastikan.

Jika diduga mengidap kondisi autoimun ini, Anda akan dirujuk kepada dokter ahli neurologi.
Untuk mengonfirmasi diagnosis, dokter akan meminta Anda untuk menjalani tes-tes berikut.

 Pemeriksaan neurologi. Kondisi saraf Anda akan diperiksa dengan menguji refleks,
kekuatan otot, koordinasi, serta keseimbangan.
 Tes darah. Proses ini digunakan untuk mendeteksi keberadaan antibodi yang
menghambat atau merusak reseptor otot.
 Uji edrofonium. Obat edrophonium chloride akan disuntikkan untuk mencegah
hancurnya senyawa asetilkolin sehingga kekuatan otot akan kembali untuk sementara.
Tetapi jika Anda tidak mengidap myasthenia gravis, obat ini tidak akan memicu reaksi
apa pun. Tes ini hanya boleh dijalani oleh pasien yang diduga mengidap myasthenia
gravis karena berpotensi memicu gangguan pernapasan serta detak jantung sebagai efek
samping.

http://www.alodokter.com/myasthenia-gravis
OBAT PELUMPUH OTOT (MUSLE RELAXANT)

BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A.      Pengertian
Obat pelumpuh otot adalah obat yang dapat digunakan selama intubasi dan pembedahan
untuk memudahkan pelaksanaan anestesi dan memfasilitas intubasi. 
Obat relaksan otot adalah obat yang digunakan untuk melemaskan otot rangka atau untuk
melumpuhkan otot. Biasanya digunakan sebelum operasi untuk mempermudah suatu operasi
atau memasukan suatu alat ke dalam tubuh.

B.       Farmakologi Obat Pelumpuh Otot


Relaksasi otot jurik dapat dicapai dengan mendalamkan anestesi umum inhalasi, blokade
saraf regional, dan memberikan pelumpuh otot. Dengan relakasasi otot ini akan memfasilitasi
intubasi trakea, mengontrol ventilasi mekanik dan mengoptimalkan kondisi pembedahan. Pada
prinsipnya, obat ini menginterupsi transmisi impuls saraf pada neuromuscular junction.
1.         Fisiologi Transmisi Saraf Otot
Daerah diantara motor neuron dan sel saraf disebut neuromuscular junction. membran
selneuron dan serat otot dipisahkan oleh sebuah celah (20 nm) yang disebut sebagai celah sinaps.
Ketika potensial aksi mendepolarisasi terminal saraf, ion kalsium akan masuk melalui voltage-
gated calcium channels menuju sitoplasma saraf, yang akhirnya vesikel penyimpanan menyatu
dengan membran terminal dan mengeluarkan asetilkolin. Selanjutnya asetilkolin akan berdifusi
melewati celah sinaps dan berikatan dengan reseptor nikotinik kolinergik pada daerah khusus di
membran otot yaitu motor end plate. Motor end plate merupakan daerah khusus yang kaya akan
reseptor asetilkolin dengan permukaan yang berlipat-lipat.

Gambar 2.1
Neuromuscular Junction

Sumber: http://wargatarunajaya.blogspot.com/, diakses tanggal 10 Oktober 2012

Struktur reseptor asetilkolin bervariasi pada jaringan yang berbeda. Pada neuromuscular
junction, reseptor ini terdiridari 5 sub unit protein, yaitu 2 sub unit α, dan 1 sub unit β, δ,dan ε.
Hanya kedua sub unit α identik yang mampu untuk mengikat asetilkolin. Apabila kedua tempat
pengikatan berikatan dengan asetilkolin, maka kanal ion di intireseptor akan terbuka. Kanal tidak
akan terbuka apabila asetilkolin hanya menduduki satu tempat. Ketika kanal terbuka, natrium
dan kalsium akan masuk, sedangkan kalium akan keluar. Ketika cukup reseptor yang diduduki
asetilkolin, potensial motor end plate akan cukup kuat untuk mendepolarisasi membran
perijunctional yang kaya akan kanal natrium.

Gambar 2.2
Struktur reseptor asetilkolin

Sumber: http://wargatarunajaya.blogspot.com/, diakses tanggal 10 Oktober 2012

Ketika potensial aksi berjalan sepanjang membran otot, kanal natrium akan terbuka dan
kalsium akan dikeluarkan dari reticulum sarkoplasma. Kalsium intraseluler ini akan
memfasilitasi aktin dan myosin untuk berinteraksi yang membentuk kontraksi otot. Kanal
natrium memiliki dua pintu fungsional, yaitu pintu atas dan bawah. Natrium hanya akan bisa
lewat apabila kedua pintu ini terbuka. Terbukanya pintu bawah tergantung waktu, sedangkan
pintu atas tergantung tegangan. Asetilkolim cepat dihidrolisis oleh asetilkolinesterase menjadi
asetil dan kolin sehingga lorong tertutup kembali dan terjadilah repolarisasi.
2.         Farmakokinetik Pelumpuh Otot
Semua pelumpuh otot larut di air, relatif tidak larut di lemak, diabsorbsi dengan kurang
baik di usus dan onset akan melambat bila di administrasikan intramuskular. Volume distribusi
dan klirens dapat dipengaruhi oleh penyakit hati, ginjal dan gangguan kardiovaskular. Pada
penurunan cardiac output, distribusi obat akan melemah dan menurun, dengan perpanjangan
paruh waktu, onset yang melambat dan efek yang menguat. Pada hipovolemia, volume distribusi
menurun dan konsentrasi puncak meninggi dengan efek klinis yang lebih kuat. Pada pasien
dengan edema, volume distribusi meningkat, konsentrasi di plasma menurun dengan efek klinis
yang juga melemah. Banyak obat pelumpuh otot sangat tergantung dengan ekskresi ginjal untuk
eliminasinya. Hanya suxamethonium, atracurium dan cisatracurium yang tidak tergantung
dengan fungsi ginjal. Umur juga mempengaruhi farmakokinetik obat pelumpuh otot. Neonatus
dan infant memiliki plasma klirens yang menurun sehingga eliminasi dan paralisis akan
memanjang. Sedangkan pada orang tua, dimana cairan tubuh sudah berkurang, terjadi perubahan
volume distribusi dan plasma klirens. Biasanya ditemui sensitivitas yang meningkat dan efek
yang memanjang. Fungsi ginjal yang menurun dan aliran darah renal yang menurun
menyebabkan klirens yang menurun dengan efek pelumpuh otot yang memanjang.
3.         Farmakodinamik Pelumpuh Otot
Obat pelumpuh otot tidak memiliki sifat anestesi maupun analgesik. Dosis terapeutik
menghasilkan beberapa efek yaitu ptosis, ketidakseimbangan otot ekstraokular dengan diplopia,
relaksasi otot wajah, rahang, leher dan anggota gerak dan terakhir relaksasi dinding abdomen dan
diafragma.
a.         Respirasi
Paralisis dari otot pernapasan menyebabkan apnea. Diafragma adalah bagian tubuh yang kurang
sensitif dibanding otot lain sehingga biasanya paling terakhir lumpuh.
b.        Efek kardiovaskular
Hipotensi biasa ditemukan pada penggunaan D-tubocurarine, sedangkan hipertensi ditemukan
pada penggunaan pancuronium, takikardi pada penggunaan gallamine, rocuronium, dan
pancuronium.
c.         Pengeluaran histamin
D-tubocurarine adalah obat yang tersering menyebabkan pengeluaran histamin sedangkan
vecuronium adalah yang paling jarang. Reaksi alergi biasanya ditemui pada wanita dengan
riwayat atopi.

C.      Obat Pelumpuh Otot


Obat pelumpuh otot dibagi menjadi dua kelas yaitu pelumpuh otot depolarisasi
(nonkompetitif, leptokurare) dan nondepolarisasi (kompetitif, takikurare). Obat pelumpuh otot
depolarisasi sangat menyerupai asetilkolin, sehingga ia bisa berikatan dengan reseptor asetilkolin
dan membangkitkan potensial aksi otot. Akan tetapi obat ini tidak dimetabolisme oleh
asetilkolinesterase, sehingga konsentrasinya tidak menurun dengan cepat yang mengakibatkan
perpanjangan depolarisasi di motor-end plate. Perpanjangan depolarisasi ini menyebabkan
relaksasi otot karena pembukaan kanal natrium bawah tergantung waktu, Setelah eksitasi awal
dan pembukaan, pintu bawah kanal natrium ini akan tertutup dan tidak bisa membuka sampai
repolarisasi motor-end plate. Motor end-plate tidak dapat repolarisasi selama obat pelumpuh otot
depolarisasi berikatan dengan reseptor asetilkolin; Hal ini disebut dengan phase I block. Setelah
beberapa lama depolarisasi end plate yang memanjang akan menyebabkan perubahan ionik dan
konformasi pada reseptor asetilkolin yang mengakibatkan phase II block, yang secara klinis
menyerupai obat pelumpuh otot nondepolarisasi.
Obat pelumpuh otot nondepolarisasi berikatan dengan reseptor asetilkolin akan tetapi tidak
mampu untuk menginduksi pembukaan kanal ion. Karena asetilkolin dicegah untuk berikatan
dengan reseptornya, maka potensial end-plate tidak terbentuk. Karena obat pelumpuh otot
depolarisasi tidak dimetabolisme oleh asetilkolinesterase, maka ia akan berdifusi menjauh dari
neuromuscular junction dan dihidrolisis di plasma dan hati oleh enzim pseudokolinesterase.
Sedangkan obat pelumpuh otot nondepolarisasi tidak dimetabolisme baik oleh asetilkolinesterase
maupun pseudokolinesterase. Pembalikan dari blockade obat pelumpuh otot nondepolarisasi
tergantung pada redistribusinya, metabolisme,ekskresi oleh tubuh dan administrasi agen
pembalik lainnya (kolinesteraseinhibitor).
1.         Pelumpuh Otot Depolarisasi
Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di celah sinaps tidak dirusak
dengan asetilkolinesterase sehingga bertahan cukup lama menyebabkan terjadinya depolarisasi
yang ditandai dengan fasikulasi yang diikuti relaksasi otot lurik. Termasuk golongan ini adalah
suksinilkolin (diasetil-kolin) dan dekametonium. Didalam vena, suksinil kolin dimetabolisme
oleh kolinesterase plasma,pseudokolinesterase menjadi suksinil-monokolin. Obat anti
kolinesterase (prostigmin) dikontraindikasikan karena menghambat kerja pseudokolinesterase.
a.         Suksinilkolin (diasetilkolin, suxamethonium)
Suksinilkolin terdiri dari 2 molekul asetilkolin yang bergabung. obat ini memiliki onset yang
cepat (30-60 detik) dan duration of action yang pendek (kurang dari 10 menit). Ketika
suksinilkolin memasuki sirkulasi, sebagian besar dimetabolisme oleh pseudokolinesterase
menjadi suksinilmonokolin. Proses ini sangat efisien, sehingga hanya fraksi kecil dari dosis yang
dinjeksikan yang mencapai neuromuscular junction. Duration of action akan memanjang pada
dosis besar atau dengan metabolisme abnormal, seperti hipotermia atau rendanya level
pseudokolinesterase. Rendahnya level pseudokolinesterase ini ditemukan pada kehamilan,
penyakit hati, gagal ginjal dan beberapa terapi obat. Pada beberapa orang juga ditemukan gen
pseudokolinesterase abnormal yang menyebabkan blokade yang memanjang.
1)             Interaksi obat
a)        Kolinesterase inhibitor
Kolinesterase inhibitor memperpanjang fase I block pelumpuh otot depolarisasi dengan 2
mekanisme yaitu dengan menghambat kolinesterase, maka jumlah asetilkolin akan semakin
banyak, maka depolarisasi akan meningkatkan depolarisasi. Selain itu, ia juga akan menghambat
pseudokolinesterase.
b)        Pelumpuh otot nondepolarisasi
Secara umum, dosis kecil dari pelumpuh otot nondepolarisasi merupakan antagonis dari fase I
bock pelumpuh otot depolarisasi, karena ia menduduki reseptor asetilkolin sehingga depolarisasi
oleh suksinilkolin sebagian dicegah.
2)             Dosis
Karena onsetnya yang cepat dan duration of action yang pendek, banyak dokter yang percaya
bahwa suksinilkolin masih merupakan pilihan yang baik untu intubasi rutin pada dewasa. Dosis
yang dapat diberikan adalah 1 mg/kg IV.
3)             Efek samping dan pertimbangan klinis
Karena risiko hiperkalemia, rabdomiolisis dan cardiac arrest pada anak dengan miopati tak
terdiagnosis, suksinilkolin masih dikontraindikasikan pada penanganan rutin anak dan remaja.
Efek samping dari suksinilkolin adalah :
       Nyeri otot pasca pemberian
       Peningkatan tekanan intraokular
       Peningkatan tekakana intrakranial
       Peningkatan tekakanan intragastrik
       Peningkatan kadar kalium plasma
       Aritmia jantung
       Salivasi
       Alergi dan anafilaksis
2.         Obat pelumpuh otot nondepolarisasi
a.         Pavulon
Pavulon merupakan steroid sintetis yang banyak digunakan. Mulai kerja pada menit kedua-ketiga
untuk selama 30-40 menit. Memiliki efek akumulasi pada pemberian berulang sehingga dosis
rumatan harus dikurangi dan selamg waktu diperpanjang. Dosis awal untuk relaksasi otot 0,08
mg/kgBB intravena pada dewasa. Dosis rumatan setengah dosis awal. Dosis Intubasi trakea 0,15
mg/kgBB intravena. Kemasan ampul 2 ml berisi 4 mg pavulon.
b.        Atracurium
1)             Struktur fisik
Atracurium mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman Leontice
Leontopeltalum. Keunggulannya adalah metabolisme terjadi di dalam darah, tidak bergantung
pada fungsi hati dan ginjal, tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang.
2)             Dosis
0,5 mg/kg iv, 30-60 menit untuk intubasi. Relaksasi intraoperative 0,25 mg/kg initial, laly 0,1
mg/kg setiap 10-20 menit. Infuse 5-10 mcg/kg/menit efektif menggantikan bolus.
Lebih cepat durasinya pada anak dibandingkan dewasa.
Tersedia dengan sediaan cairan 10 mg/cc. disimpan dalam suhu 2-8OC, potensinya hilang 5-10 %
tiap bulan bila disimpan pada suhu ruangan. Digunakan dalam 14 hari bila terpapar suhu
ruangan.
3)             Efek samping dan pertimbangan klinis
Histamine release pada dosis diatas 0,5 mg/kg
c.         Vekuronium
1)             Struktur fisik
Vekuronium merupakan homolog pankuronium bromida yang berkekuatan lebih besar dan lama
kerjanya singkat Zat anestetik ini tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang dan
tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna.
2)             Metabolisme dan eksresi
Tergantung dari eksresi empedu dan ginjal. Pemberian jangka panjang dapat memperpanjang
blokade neuromuskuler. Karena akumulasi metabolit 3-hidroksi, perubahan klirens obat atau
terjadi polineuropati.
Faktor risiko wanita, gagal ginjal, terapi kortikosteroid yang lama dan sepsis. Efek pelemas otot
memanjang pada pasien AIDS. Toleransi dengan pelemas otot memperpanjang penggunaan.
3)             Dosis
Dosis intubasi 0,08 – 0,12 mg/kg. Dosis 0,04 mg/kg diikuti 0,01 mg/kg setiap 15 – 20 menit.
Drip 1 – 2 mcg/kg/menit.
Umur tidak mempengaruhi dosis. Dapat memanjang durasi pada pasien post partum. Karena
gangguan pada hepatic blood flow.
Sediaan 10 mg serbuk. Dicampur cairan sebelumnya.
d.        Rekuronium
1)             Struktur Fisik
Zat ini merupakan analog vekuronium dengan awal kerja lebih cepat. Keuntungannya adalah
tidak mengganggu fungsi ginjal, sedangkan kerugiannya adalah terjadi gangguan fungsi hati dan
efek kerja yang lebih lama.
2)             Metabolisme dan eksresi
Eliminasi terutama oleh hati dan sedikit oleh ginjal. Durasi tidak terpengaruh oleh kelainan
ginjal, tapi diperpanjang oleh kelainan hepar berat dan kehamilan, baik untuk infusan jangka
panjang (di ICU). Pasien orang tua menunjukan prolong durasi.
3)             Dosis
Potensi lebih kecil dibandingkan relaksant steroid lainnya. 0,45 – 0,9 mg / kg iv untuk intubasi
dan 0,15 mg/kg bolus untuk rumatan. Dosis kecil 0,4 mg/kg dapat pulih 25 menit setelah
intubasi. Im ( 1 mg/kg untuk infant ; 2 mg/kg untuk anak kecil) adekuat pita suara dan paralisis
diafragma untuk intubasi. Tapi tidak sampai 3 – 6 menit dapat kembali sampai 1 jam. Untuk drip
5 – 12 mcg/kg/menit. Dapat memanjang pada pasien orang tua.
4)             Efek samping dan manifestasi klinis
Onset cepat hampir mendekati suksinilkolin tapi harganya mahal.
Diberikan 20 detik sebelum propofol dan thiopental.
Rocuronium (0,1 mg/kg) cepat 90 detik dan efektif untuk prekurasisasi sebelum suksinilkolin.
Ada tendensi vagalitik.
D.      Pemilihan Pelumpuh Otot
Karakteristik pelumpuh otot ideal :
1.    Nondepolarisasi
2.    Onset cepat
3.    Duration of action dapat diprediksi, tidak mengakumulasi dan dapat diantagoniskan dengan
obat tertentu
4.     Tidak menginduksi pengeluaran histamin
5.    Potensi
6.    Sifat tidak berubah oleh gangguan ginjal maupun hati dan metabolit tidak memiliki aksi
farmakologi.
Durasi pembedahan mempengaruhi pemilihan pelumpuh otot :
1.    Ultra-short acting, contoh : suxamethonium
2.    Short duration. Contoh: mivacurium
3.    Intermediate duration. Contoh: atracurium, vecuronium, rocuronium, cisatracurium
4.    Long duration. Contoh: pancuronium, D-tubocurarine, doxacurium, pipecuronium.
Pelumpuh otot yang disarankan :
1.    Untuk induksi yang cepat-suxamethonium, atau apabila dikontraindikasikan dapat dipakai
rocuronium
2.    Untuk stabilitas hemodinamika (contoh pada hipovolemia atau penyakit jantung parah)-
vecuronium
3.    Pada gagal ginjal dan hati-atracurium, vekuronium, cisatracurium ataumivacurium
4.    Miastenia gravis: jika dibutuhkan dosis 1/10 atrakurium
5.    Kasus obstetric: semua dapat diberkan kecuali gallamin
 Tanda-tanda kekurangan pelumpuh otot :
1.    Cegukan (hiccup)
2.    Dinding perut kaku
3.    Ada tahanan pada inflasi paru.

E.       Penawar Pelumpuh Otot


Antikolinesterase bekerja dengan menghambat kolinesterase sehingga asetilkolin dapat
bekerja. Antikolinesterase yang paling sering digunakan adalah neostigmin (dosis 0,04-0,08
mg/kg), piridostigmin (dosis 0,1-0,4 mg/kg) dan edrophonium (dosis 0,5-1,0 mg/kg), dan
fisostigmin yang hanya untuk penggunaan oral (dosis 0,01-0,03 mg/kg). Penawar pelumpuh otot
bersifat muskarinik sehingga menyebabkan hipersalivasi, keringatan, bradikardi, kejang
bronkus, hipermotilitas usus dan pandangan kabur sehingga pemberiannya harus disertai
vagolitik seperti atropine (dosis 0,01-0,02mg/kg) atau glikopirolat (dosis 0,005-0,01 mg/kg
sampai 0,2-0,3 mg pada dewasa)DAFTAR PUSTAKA

Latief, Said A, dkk, (2002), Buku Praktis Anestiologi, Bagian Anestiologi dan Terapi Intensif, FKUI, Jakarta

Mangku, dr, Sp. An. KIC & Senapathi, dr, Sp. An, (2010), Buku Ajar Ilmu Anestesi dan Reanimasi, PT. Indeks,
Jakarta

http://cheminiezt.blogspot.com/p/chemistry.html, diakses tanggal 10 Oktober 2012

http://wargatarunajaya.blogspot.com/, diakses tanggal 10 Oktober 2012

http://www.scribd.com/agustina_agus, diakses tanggal 10 Oktober 2012

http://irwande.blogspot.co.id/

AGONIS KOLINERGIK
Sistem saraf kita terdiri dari dua kelompok yaitu susunan saraf pusat (SSP) otak

dan sumsum tulang belakang, dan susunan saraf perifer. Sistem saraf perifer dibagi

menjadi sistem saraf otonom dan somatik. Sistem saraf otonom mengendalikan kontraksi

otot jantung dan otot polos, serta sekresi kelenjar. Sistem saraf somatik mempersarafi otot

skelet selama pergerakan voluntar dan menghantarkan informasi sensorik, seperti nyeri

dan sentuhan.

            Sistem saraf otonom lebih lanjut dibagi menjadi sistem simpatis dan parasimpatis,

yang umumnya berlawanan satu sama lain. Sebagai contoh, sistem simpatis umumnya
bersifat katabolik, mengeluarkan energi ( sistem ” Fight or Flight ). Sistem ini

meningkatkan frekuensi jantung, mendilatasi bronki, dan mengurangi sekresi, sedangkan

saraf parasimpatis bersifat anabolik, menyimpan energi, misalnya menurunkan frekuensi

jantung, menstimulasi fungsi gastrointestinal. Pada individu yang sedang beristirahat,

sistem parasimpatis mendominasi pada sebagian besar organ, mengakibatkan denyut

jantung relatif lambat, sekresi adekuat, dan motilitas usus yang sesuai. Tetapi, pada orang

yang sedang stres, sistem simpatis mendominasi, mengalihkan energi untuk fungsi-fungsi

yang membuat orang fight or flight ( misal peningkatan oksigenasi jaringan dengan

bronkodilatasi dan peningkatan curah jantung ).

Obat – obat yang mempengaruhi saraf otonom dibagi dalam dua subgrup sesuai dengan

mekanisme kerjanya terhadap tipe neuron yang dipengaruhi. Grup pertama, obat – obat

kolinergika bekerja terhadap reseptor yang diaktifkan oleh asetilkolin. Grup kedua obat –

obat adrenergik  yang bekerja terhadap reseptor yang dipacu oleh norepinefrin atau

epinefrin. Obat kolinergik dan adrenegik bekerja dengan memacu atau menyekat neuron

dalam sistem saraf otonom.

Kolinergika atau parasimpatomimetika adalah sekelompok zat yang dapat

menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi Susunan Parasimpatis (SP), karena

melepaskan neurohormon asetilkolin (Ach) diujung – ujung neuronnya.

            Obat kolinergika singkatnya disebut kolinergik  juga disebut parasimpatomimetik,

berarti obat yang kerja serupa perangsangan saraf parasimpatis. Tetapi karena ada saraf,

yang secara anatomis termasuk saraf simpatis, yang transmitornya asetilkolin maka istilah

obat kolinergik lebih tepat daripada istilah parasimpatomimetik.


OBAT – OBAT AGONIS KOLINERGIK

Obat-obat otonom adalah obat –obat yang dapat mempengaruhi penerusan impuls

dalam SSO dengan jalan mengganggu sintesa, penimbunan, pembebasan, atau penguraian

neurotransmitter atau mempengaruhi kerjanya atas reseptor khusus. Akibatnya adalah

dipengaruhinya fungsi otot polos dan organ, jantung, dan kelenjar.

Obat kolinergik singkatnya disebut kolinergik  juga disebut parasimpatomimetik,

berarti obat yang kerja serupa perangsangan saraf parasimpatis. Tetapi karena ada saraf,

yang secara anatomis termasuk saraf simpatis, yang transmitornya asetilkolin maka istilah

obat kolinergik lebih tepat daripada istilah parasimpatomimetik.

Obat kolinergik dibagi dalam tiga golongan : (1) Ester kolin ; dalam golongan ini

termasuk :asetilkolin, metakolin, karbakol, betanekol (2) Antikolinesterase, termasuk

didalamnya : eserin (fisostigmin), prostigmin (neostigmin), diisopropil-fluorofosfat (DFP),

dan insektisid golongan organofosfat ; dan (3) Alkaloid tumbuhan, yaitu : muskarin,

pilokarpin, dan arekolin.

            Parasimpatomimetik ( kolinergik ), yang merangsang organ-organ yang dilayani

saraf parasimpatik dan meniru efek perangsangan dengan asetilkolin, misalnya pilokarpin

dan fisostigmin.

PARASIMPATOMIMETIK ( KOLINERGIK )

      Serabut preganglionik yang berakhir pada medula adrenalis , ganglia otonom (simpatis

dan parasimpatis) dan serabut pasca ganglionik dari divisi parasimpatis menggunakan

asetilkolin sebagai suatu neurotransmiter. Neuron kolinergik mempersarafi otot voluntar

dari sistem somatik dan dijumpai pula dalam sistem saraf pusat (SSP). 
Neurotransmisi pada neuron kolinergik

Neurotransmisi dalam neuron kolinergik meliputi 6 tahap, yaitu :

1.    Sintesis asetilkolin : kolin diangkut dari cairan ekstrasel ke dalam sitoplasma neuron

kolinergik oleh suatu sistem pembawa yang bersamaan dengan masuknya natrium. Enzim

koline asetiltransferase (CAT) mengkatalisis reaksi kolin dengan asetil CoA untuk

membentuk asetilkolin dalam sitosol.

2.    Penyimpanan asetilkolin dalam vesikel : asetilkolin dikemas ke dalam vesikel-vesikel

melalui suatu proses transpor aktif yang berpasangan dengan keluarnya proton dari sel.

Vesikel yang matang tidak saja mengandung asetilkolin tetapi juga adenosin trifosfat dan

proteoglikan.

3.    Pelepasan asetilkolin : jika suatu potensial kerja yang dipropagasi oleh kerja kanal

bervoltase peka Na tiba pada suatu ujung saraf, maka kanal-kanal bervoltase peka Ca

pada membran prasinaptik terbuka, yang menyebabkan peningkatan kadar Ca di dalam

sel. Peningkatan kadar Ca ini memacu fusi vesikel-vesikel sinaptik dengan membran sel

dan melepas kandungan asetilkolinnya ke dalam celah sinaps.

4.    Ikatan pada reseptor : asetilkolin yang dilepas dari vesikel sinaptik berdifusi melewati

ruangan sinaptik dan mengikat baik reseptor pascasinaptik pada sel sasaran maupun

reseptor prasinaptik pada membran neuron yang melepas asetilkolin. Ikatan pada reseptor

ini menimbulkan suatu respons biologi dalam sel seperti mulainya suatu impuls saraf pada

serabut pasca ganglionik atau aktivasi sejumlah enzim tertentu didalam sel efektor sebagai

perantara pada reaksi molekul ” second messenger ”.


5.    Penghancuran asetilkolin : sinyal pada tempat efektor pasca sambungan secepatnya

diakhiri. Proses ini terjadi di dalam celah sinaptik dengan enzim asetilkolinesterase

memecah asetilkolin menjadi kolin dan asetat.

6.    Daur ulang kolin : kolin mungkin ditangkap kembali melalui suatu sistem ambilan

kembali berafinitas tinggi yang berpasangan dengan Na ke dalam neuron, yang kemudian

diasetilasi dan disimpan hingga dilepas lagi oleh potensial kerja berikutnya.

Reseptor Kolinergik

            Reseptor kolinergik terdapat dalam semua ganglia, sinaps dan neuron

postganglioner sari SP, juga dipelat – pelat ujung motorik (otot lurik) dan di bagian

Susunan Saraf Pusat yang disebut sistem ekstrapiramidal. Berdasarkan efeknya terhadap

perangsangan, reseptor ini dapat dibagi dalam dua jenis, yakni reseptor muskarin dan

reseptor nikotin, yang masing – masing menghasilkan efek berlainan.

A.   Reseptor muskarinik

Muskarin adalah derivat-furan  yang bersifat sangat beracun dan terdapat sebagai

alkalloida pada jamur merah Amanita muscaria.

Reseptor ini, selain ikatannya dengan asetilkolin, mengikat pula muskarin, yaitu

suatu alkaloid yang dikandung oleh jamur beracun tertentu. Sebaliknya, reseptor

muskarinik ini menunjukkan afinitas lemah terhadap nikotin. Dengan menggunakan studi

ikatan (binding study) dan penghambat tertentu, maka telah ditemukan beberapa subklas

reseptor muskarinik seperti M1, M2, M3, M4, dan M5.


Asetilkolin (ACh) bekerja tidak selektif dan merangsang ketiga tipe reseptor –M,

serupa dengan adrenalin dan NA dari sistem simpatis (SS), yang juga merangsang secara

tak selektif reseptor –alfa dan –beta adrenergis. Obat – obat yang mengaktifasi reseptor

M1, M2, atau M3 secara selektif hingga kini belum ditemukan.

1.    Lokasi reseptor muskarinik : reseptor musfkarinik ini dijumpai dalam ganglia sistem

saraf tepi dan organ efektor otonom, seperti jantung, otot polos, otak dan kelenjar eksorin.

Secara khusus, walaupun kelima subtipe reseptor muskarinik terdafpat dafldam neuron,

namun reseptor M1 ditemukan pula dalam sel parietal lambung, dan reseptor M 2 terdapat

dalam otot jantung dan otot polos, dan reseptor M 3 ditemukan dalam kelenjar eksokrin

dan otot polos. [Catatan; obat – oabt yang bekerja muskarinik lebih peka dalam memacu

reseptor muskarinik  dalam jaringan tadi, tetapi dalam kadar tinggi mungkin memacu

reseptor nikotinik pula].

2.    Mekanisme transduksi sinyal asetilkolin : sejumlah mekfanisme molekular yang berbeda

terjadi dengan menimbulkan sinyal yang disebabkan setelah asetilkolin mengikat reseptor

muskarinik. Sebagai contoh, bila reseptor M1 atau M2 diaktifkan, maka reseptor ini

mengalami perubahan konformfasi dan berinteraksi dengan protein G, yang selanjutnya

akan mengaktifkan fosfolipase C. Akibatnya akan terjadi hidrolisis  fosfatidilinositol-(4,5)-

bifosfat (PIP2) mejadi diasilgliserol (DAG) dan inositol (1,4,5)-trifosfat (IP3) yang akan

menyebabkan peningkatan  kadar Ca intrasel. Kation ini selanjutnya akan berinteraksi

untuk memacu atau menghambat enzim-enzim, atau menyebabkan hiparpolarisasi, sekresi

atau kontraksi. Sebaliknya, aktivasi subtipe M 2 pada otot jantung memacu protein G yang

menghambat  adenililsiklase dan mempertinggi konduktan K, sehingga denyut dan

kontraksiotot jantung akan menurun.


3.    Agonis dan antagonis muskarinik : Beberapa upaya dikerjakan untuk mengembangkan

agonis dan antagonis yang ditujukan terhadap subtipe reseptor spesifik. Sebagai contoh,

pirenzepin, obat antikolinergik trisiklik, secara selektif menghambat reseptor muskarinik

M1, seperti yang terdapat pada mukosa lambung. Dalam dosis terapi, obat ini tidak

menimbulkan banyak efek samping seperti halnya obat yang tidak spesifik terhadap

subtipe M1. oleh karena itu, pirenzepin cocok untuk mengobati tukak lambung dan

duodenum.

Subtipe dan karakteristik kolinoseptor

Tipe reseptor Lokasi Mekanisme

M1 Saraf IP3, aliran DAG

M2 Jantung, saraf, otot polos Penghambatan produksi


cAMP, aktivasi kanal K.

IP3, aliran DAG


M3 Kelenjar, otot polos,
endometrium Penghambatan produksi
M4 cAMP.
? SSP
IP3, aliran DAG
M5
? SSP
Nm Depolarisasi kanal ion N, K
Hubungan neuromusukular otot
skletal
NN Badan sel pascaganglionik, Depolarisasi kanal ion Na,
dendrit K

B.   Reseptor Nikotin (N)


Reseptor ini selain mengikat asetilkolin, dafpat pula mengenal nikotin, tetapi afinitas

lemah terhadap muskarin. Tahap awal nikotin memang memacu reseptor nikotinik,

namun setelah itu akan menyekat reseptor itu sendiri. Reseptor nikotinik ini terdapat

didalam sistem saraf pusat (SSP), medula adrenalis, ganglia otonom, dan sambungan

neuromuskular. Obat – obat yang bekerja nikotinik akan memacu reseptor nikotinik  yang

terdapat dadflam jaringan tadi. Reseptor nikotinik pada ganglia otonom berbeda dengan

reseptor yang terdapat pada sambungan neuromuskular. Sebagai contoh, reseptor

ganglionik secara selektif dihambat oleh heksametonium, sedangkan reseptor pada

sambunan neuromuskular secara spesifik dihambat oleh tubokurarin.

Reseptor nikotin terutama terdapat dipelat- pelat ujung myoneural dari otot

kerangka dan di ganglia otonom (simpatis dan parasimpatis). Stimulasi reseptor ini oleh

kolinergika (neostigmin dan piridostigmin) menimbulkan efek yang menyerupai efek

adrenergika, jadi bersifat berlawanan sama sekali. Misalnya vasokontriksi dengan naiknya

tensi ringan, penguatan kegiatan jantung, juga stimulasi SSP ringan. Pada dosis rendah,

timbul kontraksi otot lurik, sedangkan pada dosis tinggi terjadi depolarisasi dan blokade

neuromuskular.

Mekanisme kerjanya berdasarkan stimulasi penerusan impuls di ganglia simpatis

dan stimulasi anak ginjal dengan sekresi noradrenalin. Disamping itu juga terjadi

stimulasi ganglia kolinergis (terutama di saluran lambung – usus dengan peningkatan

peristaltik) dan pelat – pelat ujung motoris otot lurik, dimana terdapat banyak reseptor 

nikotin.
Efek nikotin dari ACh juga terdjadi pada perokok, yang disebabkan oleh sejumlah

kecil nikotin yang diserap kedalam darah melalui mukosa mulut.

Selektifitas parsiil (sebagian) untuk reseptor –M dan –N terdapat pada kolinergika

klasik, seperti pilokarpin, karbachol, dan aseklidin (glauchofrin). Obat – obat ini pada

dosis biasa mengaktifasi beberapa tipe reseptor –M tanpa mempengaruhi reseptor nikotin.

Sebaliknya, kolinergika lain, seperti zat – zat antikolinesterase (neostigmin, piridostigmin),

bekerja tidak selektif.

Kolinergika dapat dibagi menurut cara kerjanya, yaitu zat-zat dengan kerja

langsung dan zat-zat dengan kerja tak langsung.

a. Bekerja langsung : karbachol, pilokarpin, muskarin, dan arekolin (alkaloid dari

pinang). Zat-zat ini bekerja langsung terhadap organ-organ ujung dengan kerja

utama yang mirip efek muskarin dari ACh. Semuanya adalah zat-zat amonium

kwartener yang bersifat hidrofil dan sukar memasuki SSP, kecuali arekolin.

b. Bekerja tak langsung :  zat-zat antikolinesterase seperti fisostigmin, neostigmin,

piridostigmin. Obat-obat ini merintangi penguraian ACh secara reversibel, yakni

hanya untuk sementara. Setelah zat-zat tersebut habis diuraikan oleh kolinesterase,

ACh akan segera dirombak lagi.

·    Agonis Kolinergik Langsung

- Ester kolin, adalah kolin yang terikat pada derivat asetil dengan sebuah  ikatan ester.

Ikatan ester pada asetilkolin dan obat-obatan yang terkait dihidrolisa oleh enzim-enzim

yang dikenal sebagai kolinesterase. Golongan obat ini yaitu asetilkolin, metakolin,

karbakol, betanekol, dan asam karbamat.


 - Alkaloid Kolinomimetik, berasal dari tumbuhan dengan ekstraksi alkali. Secara kimia

berbeda dengan ester kolin dan tidak dimetabolisme oleh kolinesterase.

- Nikotin, adalah salah satu obat yang paling sering digunakan. Nikotin merangsang SSP,

melepaskan epinefrin dari kelenjar adrenal, merangsang, dan kemudian memblok reseptor

dalam ganglia dan pada hubungan neuromuskular.

·         Penghambat Kolinesterase

Penghambat kolinesterase digolongkan menurut mekanisme kerjanya :

-       Penghambat ester karbamil, obatnya : fisostigmin, demekarium, ambenonium,

piridostigmin

-       Edrofonium

-       Penghambat organofosfor, obatnya ; ekotiofat, diisopropilfluorofosfat, paration,

malation.

 Penggunaan Klinik

Kolinergik terutama digunakan pada :

-       Glaukoma, obat yang bekerja dengan jalan midriasis seperti pilokarpin, karbakol, dan

prostigmin.

-       miastenia gravis, contohnya neostigmin dan piridostigmin

-       atonia, misalnya prostigmin, neostigmin.


Efek samping

Efek samping kolinergika adalah sama dengan efek dari stimulasi SP secara berlebihan,

antara lain mual, muntah-muntah, dan diare, juga meningkatnya sekresi ludah, dahak,

keringat, dan air mata, bradycardia, bronchokontriksi, serta depresi pernapasan.

Penggolongan Agonis Kolinergik

1. Agonis kolinergik bekerja langsung

 a.  Asetilkolin (ACh)

Asetilkolin adalah suatu senyawa amonium kuartener  yang  tidak mampu menembus

membran. Walaupun sebagai neurotransmiter saraf parasimpatis dan kolinergik, namun

dalam terapi zat ini kurang penting karena beragam kerjanya dan sangat cepat

diinaktifkan oleh asetilkolinesterase. Aktivitasnya berupa muskarinik dan nikotinik.

Kerjanya termasuk :

-       Menurunkan denyut jantung dan curah jantung

-       Menurunkan tekanan darah.

-       Kerja lainnya : pada saluran cerna, asetilkolin dapat meningkatkan sekresi saliva,

memacu sekresi dan gerakan usus.

Farmakodinamik

Secara umum farmakodinamik dari ACh dibagi dalam dua golongan, yaitu terhadap : (1)

kelenjar eksokrin dan otot  polos, yang disebut efek muskarinik ; (2) ganglion (simpatis

dan parasimpatis) dan otot rangka yang disebut efek nikotinik, pembagian efek ACh ini
didasarkan obat yang dapat menghambatnya, yaitu atropin menghambat khusus efek

muskarinik, dan nikotin dalam dosis besar menghambat efek nikotinik asetilkolin

terhadap ganglion.  Bila digunakan dosis yang berlebihan maka atropin, nikotin dan

kurare masing – masing dapat juga menghambat semua efek muskarinik dan nikotinik

ACh. Efek obat pada dosis toksik ini tidak dianggap sebagai efek farmakologik lagi,

karena sifat selektifnya hilang.

Kegunaan klinis

Jarang digunakan secara klinis

Sediaan dan posologi

         Asetilkolin klorida/bromida dapat diperoleh sebagai bubuk kering, dan dalam ampul

berisi 200 mg.

         Dosis : 10 – 100 mg IV.

         Kontra indikasi      

         Ulkus peptikum, penyakit arteri koroner, hiperteroid (fibrilasi atrium), asma, obstruksi

kandung kemih mekanis.

         Efek samping

         Ester kolin dapat mendatangkan serangan iskemia jantung pada penderita angina

pektoris, karena tekanan darah yang menurun mengurangi sirkulasi koroner. Penderita

hipertiroidisme dapat mengalami fibrasi atrium. Gejala keracunan pada umumnya berupa

efek muskarinik dam nikotinik yang berlebihan.


         Indikasi

         Meteorisme (gejala akibat penimbunan gas dalam saluran cerna), atonia kandung kemih

dan retensi urin, feokromositoma (digunakan untuk tes provokasi penyakit ini pada waktu

tekanan darah penderita sedang rendah).

         Nama Paten :  

         Miochol-E        ( Novartis Biochemie)

         Indikasi : Untuk menimbulkan miosis pada iris setelah pengangkatan lensa  pada op

katarak, keratoplasti, indektomi dan op segmen anterior yang lain.

         Dosis :0,5-2 ml ke dalam bilik anterior

         Perhatian : Agar miosis terjadi dengan cepat, maka gangguan anatomik yaitu sinekia

anterior atau posterior harus diatasi sebelum pemakaian. Gunakan setelah pengangkatan

lensa  pada  katarak. Wanita hamil dan menyusui

         Efek samping : Edema kornea, perkabutan kornea dan dekompensasi kornea, bradikardi,

hipotensi, muka merah, sesak napas dan berkeringat.

         Interaksi Obat : Asetilkolin Cl dan karbakol tidak efektif pada pasien yang  diterapi

dengan AINS topikal.

kol

Betanekol mempunyai struktur yang berkaitan dengan asetilkolin; asetatnya diganti

karbamat dan kolinnya dimetilasi. Oleh karena itu senyawa  tidak dihidrolisis oleh

asetilkolin esterase, walaupun sebenarnya dapat dihidrolisis oleh esterase lainnya. Kerja
nikotiniknya kecil atau tidak sama sekali , tetapi kerja muskariniknya sangat kuat. Kerja

utamanya adalah terhadap otot polos kandung kemih dan saluran cerna. Masa kerjanya

berlangsung 1 jam.

      Kerja : Betanekol memacu langsung reseptor muskarinik, sehingga tonus dan

motilitas usus meningkat, dan memacu pula otot detrusor kandung kemih sementara

trigonum dan sfingter.

      Aplikasi terapi : untuk pengobatan urologi, obat ini digunakan untuk memacu

kandung kemih yang mengalami alori (atonic bladder), terutama retensi urin pasca

persalinan atau pasca bedah non-obstruksi.

      Efek samping : Betanekol dapat menimbulkan pacuan kolinergik umum. Termasuk

dalam pacuan ini adalah berkeringat, salivasi, kenerahan, penurunan tekanan darah,

mual, nyeri abdomen, diare, dan bronkospasme.

Kegunaan klinis

Menginduksi pengosongan kandung kemih yang tidak terobstruksi. Meningkatkan

motilitas saluran cerna setelah pembedahan.

Sediaan dan posologi

Betanekol klorida tersedia sebagai tablet 5 dan 10 mg atau dalam ampul yang mengandung

5 mg/ml.

Dosis : Dosis oral adalah 10 – 30 mg, sedangkan dosis subkutan 2,5 – 5,0 mg. Tidak boleh

diberikan IV atau IM.


Indikasi

Atonia kandung kemih dan retensi urin                              

c.    Karbakol

Karbakol sebagai muskarinik maupun nikotinik. Seperti betaanekol, obat ini adalah suatu

ester asam karbamat dan merupakan substrat  yang tidak cocok untuk asetilkolinesterase.

Senyawa ini dibiotransformasi oleh esterase lain dengan lambat sekali. Pemberian tunggal

senyawa ini baru berakhir efeknya setelah 1 jam.

      Kerja : Karbakol berefek sangat kuat terhadap sistem kardiovaskular dan sistem

pencernaan karena aktivitas pacu ganglion-nya dan mungkin tahap awalnya memacu dan

kemudian mendepresi sistem tersebut. Obat ini mampu melepas epinefrin dari medula

adrenalis karena kerja nikotiniknya. Penetesan lokal pada mata, dapat meniru efek

asetilkolin yang menimbulkan miosis.

      Penggunaan terapi : Karena potensi tinggi dan masa kerja yang  relatif lama, maka

obat ini jarang digunakan untuk maksud terapi, terkecuali pada mata sebagai obat

miotikum untuk menyebabkan kontraksi pupil dan turunnya tekanan dalam bola mata.

      Efek samping : Jika diberikan dalam dosis untuk oftalmologi maka efek sampingnya

kecil atau tidak ada sama sekali.

      Dosis : Pada glaukoma 3 dd 2 gtt dari larutan 1,5-3% (klorida), pada atonia

usus/kandung kemih akut oral 1-3 dd 4 mg.

Kegunaan klinis
Perbaikan gejala penyakit Alzheimer, miotikum untuk glaukoma.

Sediaan dan posologi

Karbakol klorida sebagai tablet 2 mg atau ampul 0,25 mg/ml; pemberian oral cukup

efektif dengan dosis 3 kali 0,2 – 0,8 mg.

Dosis subkutan adalah 0,2 – 0,4 mg. Preparat ini tidak boleh diberikan IV. Juga tersedia

sebagai obat tetes mata untuk miotikum.

Indikasi

 Digunakan sebagai miotikum pada glaukoma dan pada atonia organ dalam.

Alkaloid  pilodkarpin adalah suatu amin tersier dan stabil atau hidrolisis oleh

asetilkolinesterase. Dibandingkan dengan asetilkolin dan turunanya senyawa ini ternyata

sangat lemah. Pilokarpin menunjukkan aktivitas muskarinik dan terutama digunakan

untuk oftalmolgi

Kerja : Penggunaan topikal pada kornea dapat menimbulkan miosis dengan cepat  dan

kontraksi otot siliaris. Pada mata akan terjadi suatu spasme akomodasi dan

penglihatanakan terpaku pada jarak tertentu, sehingga sulit untuk memfokus suatu objek. 

     [Catatan : efek yang berlawanan dengan atropin, suatu penyekat muskarinik


      pada mata].

       Pilokarpin adalah salah satu pemacu sekresi kelenjar keringat, air mata

      dan saliva, tetapi

     obat ini tidak digunakan untuk maksud demikian.


      Penggunaan terapi pada glaukoma : Pilokarpin adalah obat terpilih dalam keadaan

gawat yang dapat menurunkan tekanan bola mata baika glaukoma bersudut sempit

(disebut juga bersudut tertutup) maupun bersudut lebar (bersudut terbuka). Obat ini

sangat efektif untuk membuka anyaman trabekular disekitar kanal Schlemm, sehingga

tekanan dalam bola mata turun dengan segera akibat cairan humor keluar dengan lancar.

Kerjanya ini dapat berlangsung dalam sehari dan dapat diulangi kembali. Obat penyekat

kolinesterase seperti isoflurotat dan ekotiofat, bekerja lebih lama lagi. [Catatan : obat

penghambat karbonik anhidrase, seperti azetazolamid, epinefrin, dan penyekat beta

adrenergik, timolol, efektif pula untuk pengobatan glaukoma  kronik, tetapi tidak dapat

digunakan dalam keadaan gawat menurunkan bola mata].

      Efek samping : Pilokarpin dapat mencapai otak dan menimbulkan gangguan SSP.

Obat ini merangsang keringat dan salivasi yang berlebihan.

      Kegunaan klinis

      Uji keringat fibrosis kistik, glaukoma (miotikum).

      Indikasi

      Sebagai miotikum pada glaukoma

      Dosis : pada glaukoma 2 – 4 dd 1 – 2 tetes larutan 1 -2 % (klorida, nitrat).

      Nama paten :

·         Cendo Carpine                   ( Cendo )

      Tiap 5 ml tetes mata : pilokarpine –HCl 1%, 2%, 4%


            Indikasi : Anti glaukoma simplek kronis

            Kemasan : Botol 5ml 1% ; 2%; 3%; 4%; 6% 15 ml 1%; 2%; 3%; 4%;  6%

·         Epicarpine                            ( Cendo )

Tiap ml tetes mata ; Pilokarpin -HCl 20 mg, epinefrin 10 mg

Indikasi : Glaukoma terbuka

Kontra Indikasi : Glaukoma tertutup.

Kemasan : Botol 5 ml, 15 ml

2. Antikolinesterase (reversible)
Fisostigmin

Fisostigmin adalah suatu alkaloid (senyawa nitrogen yang terdapat pada tumbuhan) yang

merupakan amin tersier. Obat ini merupakan substrat untuk kolinesterase, dan

membentuk senyawa perantara enzim-substrat yang relatif stabil yang berfungsi meng-

inaktifkan secara reversibel-substrat yang relatif stabil yang berfungsi meng-inaktifkan

secara reversibel asetilkolin asetilkolinesterase. Akibatnya terjadi potensiasi aktivitasi

kolinergik diseluruh tubuh.

      Kerja : fisostigmin bekerja cukup luas karena mampu memacu tidak saja tempat

muskarinik dan nikotinik sambungan neuromuskular. Lama kerja sekitar 2-4 jam. Obat

ini dapat mencapai dan memacu SSP.

      Penggunaan terapi : obat ini meningkatkan gerakan usus dan kandung kemih,

sehingga berkhasiat untuk mengobati kelumpuhan kedua organ tersebut. Bila diteteskan
pada mata, maka akan timbul miosis dan kekakuan akomodasi dan penurunan tekanan

bola mata. Obat ini digunakan untuk mengobati glaukoma, tetapi pilokarpin sebenarnya

lebih efektif. Fisostigmin digunakan pula untuk mengobati kerja antikolinergik yang

berlebihan seperti atropin dalam dosis berlebihan, fenotiazin, dan obat antidepresi

trisiklik.

      Efek samping : Efek fisostigmin terhadap SSP mungkin menimbulkan kejang bila

diberikan dalam dosis besar. Dapat terjadi pula bradikardia. Hambatan terhadap

asetilkolinesterase  pada sambungan neuromuskular justru menimbulkan penumpukan

asetilkolin dan pasti terjadi kelumpuhan otot rangka. Namun demikian efek tadi jarang

ditemukan bila obat digunakan dalam dosis terapetik

Kegunaan klinis :Glaukoma.     

Farmakokinetik : Mudah diserap melalui saluran cerna. Dihidrolisa oleh kolinesterase.

Nama paten : Eserine                 ( Cendo )

Tetes mata : Fisostigmina salisilat 0,25%.

 Indikasi : glaukoma, zat hambat kolinesterase memberi aktivis miotik. 

Kontra indikasi : penderita yang tidak memerlukan kontriksi seperti pada iritasi akut.

Kemasan : Botol 5ml, 15ml.

b.  Neostigmin
Neostigmin adalah suatu seyawa sintetik yang dapat menghambat asetilkolinesterase

secara reversibel seperti fisostigmin. Tetapi tidak seperti fisostigmin, obat ini lebih polar

dan oleh sebab itu  tidak dapat  masuk ke dalam SSP. Efeknya terhadap otot rangka lebih

kuat dibanding fisostigmin, dan dapat memacu kontraktivitas sebelum terjadi

kelumpuhan. Masa kerja obat ini sedang saja biasanya 2-4 jam. Obat ini digunakan untuk

memacu kandung kemih, dan saluran cerna, serta sebagai antidotum keracunan

tubokuranin dan obat penyekat neuronuskular kompetitif lainnya. Neostigmin juga

bermanfaat sebagai terapi simtomatik pada miastenia gravis , suatu penyakit autoimun

yang disebabkab oleh antibodi terhadap reseptor nikotinik yang terikat pada reseptor

asetilkolin dari sambungan neuromuskular. Keadaan ini menimbulkan degradasi

(penghancuran) reseptor nikotinik  tersebut sehingga jumlahnya berkurang untuk

berinteraksi dengan neurotransmiter. Efek samping neurotransmiter termasuk

diantaranya kerja pacuan kolinergik secara umum seperti salivasi, muka merah dan

panas, menurunnya tekanan darah, mual, nyeri perut, diare dan bronkopasme.

Dosis : Pada myastenia oral rata-rata 150 mg sehari dalam 4-6  dosis (bromida), pada

glaukoma 1-2 tetes 3-5% larutan metilsulfat.

   Kegunaan klinis : Diagnosa dan pengobatan miastenia gravis, ileus paralitik, atoni otot

detrusor kandung kemih, pemulihan blokade neuromuskular setelah anastesi.

   Farmakokinetik : Diserap secara parenteral, dihancurkan dalam saluran cerna. Molekul

bermuatan. Tidak melewati sawar darah otak.

   Nama Paten : Prostigmin        ( Combiphar, ICN )

   Neostigmina sebagai garam metil sulfat 0,5 mg/ampul.


Indikasi : mastenia grafis, pencegahan dan pengobatan distensi sesudah operasi dan

retensi kemih, pembalikan efek zat blok neuromuskulus non depolarisasi.

Kontra indikasi : Hipersensitifitas, pasien peka bromida, peritonitis atau penyumbatan

mekanik saluran cerna atau saluran kemih.

Efek samping : gangguan fungsi saraf, gangguan pembuluh darah, intoksikasi saluran

cerna.

Interaksi obat : antibiotik tertentu seperti neomisina streptomisina, dan kanamisina,

menunjukkan keaktifan blok depolar ringan tetapi nyata, yang dapat menguatkan blok

neuromuskulus.

Kemasan : Ampul 0,5 mg/ml, dos 5 ampul 1 ml

c.  Piridogstigmin

      Piridogstrigmin adalah penghambat kolinesterase lain yang digunakan untuk

pengobatan jangka panjang miastenia gravis. Masa kerjanya lebih panjang (3-6 jam) dari

neostigmin (sekitar 2-4 jam).

      Efek sampingnya lebih ringan dan terutama berupa gangguan lambung-usus. Mulai

kerjanya lebih lama.

      Dosis : oral 3-4 dd 30 mg (bromida)

      Kegunaan klinis : miastenia gravis

d.   Edrofonium
      Kerja edrofonium mirip dengan kerja neostigmin, kecuali obat ini lebih cepat diserap

dan masa kerjanya lebih singkat (sekitar 10-20 menit). Edrofonium adalah amin kuartener

digunakan untuk mendiagnosa miastenia gravis. Injeksi intravena endrofonium 

menyebabkdan peningkatan kekuatan otot dengan cepat. Kelebihan dosis dari obat ini

harus diperhatikan karena mungkin menimbulkan efek kolinergik. Atropin adalah

antidotumnya.

3. Antikolinesterase (Irreversibel)

a.      Isoflurofat

      Mekanisme kerja : Isoflurofat adalah organosfat yang terikat secara kofalen pada

serin –OH  pada sisi aktif asetikolinesterase. Sekali terikat, maka enzim menjadi tidak

aktif secara permanen, dan restorasi (pemulihan kembali) aktifitas asetikolinesterase

memerlukan sintesis molekul enzim baru. Setelah terjadi modifikasi kovalen

asetikolinesterase, maka enzim yang terfosforikasi akan melepas secara perlahan satu

gugus isopropilnya. Kehilangan satu gugus akil. Yang sering disebut penuaan, menjadi

sulit sekali bagi reaktivator kimia seperti pradiloksin, untuk memecah ikatan antarasisa

obat dan enzim. Obat saraf yang baru, ditujukan untuk militer, bekerja setelah beberapa

menit atau detik, sedangkan DFT dalam 6-8 jam.

      Kerja : kerja obat ini meliputi pacuan kolinergik umum, kelumpuhan fungsi motor

(yang menimbulkan kesulitan bernafas) dan kejang. Koflurofat menimbulkan pola miosis

kuat dan bermanfaat  terapeutik. Atropin dosis besar mampu melawan semua efek sentral

isoflurofat.
      Penggunaan terapi : Bentuk salep mata ini digunakan secara topikal dalam jangka

panjang pada pengobatan glaukoma sudut terbuka. Efeknya berakhir mendekati satu

minggu setelah penetesan tunggal .[Catatan : ektiofat adalah obat baru yang terikat pula

secara kovalen pada asetilkolinesterase. Kegunaanya sama dengan isoflurofat.

      Reaktifitas asetilkolinesterase : Pralidoksim (PAM) adalah senyawa piridinium

sintetik  yang mampu menginaktifkan kembali asetilkolinesterase yang terhambat.

Keberadaan gugus bermuatan dari obat ini memungkinkan pendekatan ditempat anionik

enzim dimana tempat ini sangat penting untuk menggeser organofosfat dan meregenerasi

enzim. Bila obat diberikan sebelum terjadinya penuaan enzim yang teralkilasi terjadi,

maka tentu dapat menghilangkan efek soflurofat terkecuali didalam SSP. Tetapi dengan

adanya obat saraf yang baru  yang mampu menuakan kompleks enzim dalam beberapa

detik saja, maka pralidoksim menjadi kurang efektif.

DAFTAR PUSTAKA 

Mycek, J, Mery, dkk, 2000. ”Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi 2”, Widya Medika : Jakarta.
Ganiswarna, 1998. ” Farmakologi dan Terapi  ”, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia :
Jakarta

Tan Hoan Tjay, Kirana R, 2001, ”Obat-Obat Penting, Khasiat dan Penggunaan ”, DirJen POM
RI : Jakarta. 

Olson, James, 2000. ” Belajar Mudah Farmakologi ”,    Penerbit Buku Kedokteran, EGC.
Jakarta.

Tim Penyusun. ” Informasi Spesialite Obat Indonesia”. Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia.
Jakarta.
http://iyankchemiztry.blogspot.co.id/2010/12/agonis-kolinergik.html

Midriatik Miotik

        I.      TUJUAN


-          Memahami kerja obat kolonergik dan antikolergik pada hewan percobaan
-          Mengamati efek midratik dan miosis pada pupil mata

      II.       LANDASAN TEORI


Midriatik adalah golongan obat yang mempengaruhi dilatasi atau ukuran pupil bola mata, da
pat membesar (midrasis) atau mengecil (miosis).
Obat parasimpatis itu sendiri dibagi dalam 2 kelompok besar yakni:
A. Kolinergik
B. Antikolinergik
Obat-obat kolinergik dan antikolinesterase
Obat otonom yang merangsang sel efektor yang dipersarafi serat dapat dibagi menjadi 3 yaitu:
1. Ester kolin dalam golongan ini termasuk asetilkolin, metakolin, karbakol, beta karbakol.
Indikasi obat kolinergik adalah iskemik perifer (penyakit Reynauld, trombofleibitis),
meteorismus, retensi urin, feokromositoma
2. antikolinesterase, dalam golongan ini termasuk fsostigmin (eserin), prostigmin (neostigmin)
dan diisopropilfluorofosfat (DFP). Obat antikolinesterase bekerja dengan menghambat kerja
kolinesterase dan mengakibatkan suatu keadaan yang mirip dengan perangsangan saraf
kolinergik secara terus menerus. Fisostigmin, prostigmin, piridostigmin menghambat secara
reversibel, sebaliknya DFP, gas perang (tabun, sarin) dan insektisida organofosfat (paration,
malation, tetraetilpirofosfat dan oktametilpirofosfortetramid (OMPA) menghambat secara
irreversibel. Indikasi penggunaan obat ini adalah penyakit mata (glaukoma) biasanya digunakan
fisostigmin,penyakit saluran cerna (meningkatkanperistalsis usus) basanya digunakan
prostigmin, penyakit miastenia gravis biasanya digunakan prostigmin.

3. Alkaloid termasuk didalamnya muskarin, pilokarpin dan arekolin. Golongan obat ini yang
dipakai hanyalah pilokarpin sebagai obat tetes mata untuk menimbulkan efek miosis.

Kolinergik/ Parasimpatikomimetika adalah sekelompok zat yang dapat menimbulkan


efek yang sama dengan stimulasi Susunan Parasimpatis(SP), karena melepaskan
Asetilkolin( Ach ) di ujung-ujung neuron. dimana tugas utama SP adalah mengumpulkan energi
dari makanan dan menghambat penggunaannya, singkatnya asimilasi.

Efek kolinergis yang terpenting adalah:


-  stimulasi pencernaan, dengan cara memperkuat peristaltik dan sekresi kelenjar ludah dan getah
lambung(HCl), juga sekresi air mata.
-  memperlambat sirkulasi, dengan cara mnegurangi kegiatan jantung,
vasodilatasi dan penurunan tekanan darah.
-  memperlambat pernafasan, dengan cara mengecilkan bronchi sedangkan sekresi dahak
diperbesar.
-  kontraksi otot mata, dengan cara miosis( penyempitan pupil) dan menurunnya tekanan
intraokuler akibat lancarnya pengeluaran air mata.
-  kontraksi kandung kemih dan ureter, dengan cara memperlancar pengeluaran urin
dilatasi pembuluh dan kontraksi otot kerangka.
-  menekan SSP (Sistem Saraf Pusat), setelah stimulasi pada permulaan.

Setelah mengetahui efek obat kolinergis, kita akan beralih ke reseptor-reseptor kolinergis
yang merupakan tempat substrat obat menempel supaya "obat" dapat menghasilkan efek yang
kita inginkan.
Reseptor kolinergis dibagi 2 yakni:

Reseptor Muskarin (M)


Berada pada neuron post-ganglion dan dibagi 3 subtipe, yaitu Reseptor M1, M2, dan M3
dimana masing-masing reseptor ini memberikan efek berbeda ketika dirangsang.
Muskarin (M) merupakan derivat furan yang bersifat toksik dan terdapat pada jamur Amanita
muscaria sebagai alkaloid.
Reseptor akan memberikan efek-efek seperti diatas setelah mengalami aktivasi oleh
neurotransmitter asetilkolin(Ach).

Reseptor Nikotin (N)


Berada pada pelat ujung-ujung myoneural dan pada ganglia otonom.
Stimulasi reseptor ini oleh kolinergik (neostigmin dan piridostigmin) yang akan menimbulkan
efek menyerupai adrenergik, berlawanan sama sekali. Misalnya vasokonstriksi dengan naiknya
tensi, penguatan kegiatan jantung, stimulasi SSP ringan.
Efek Nikotin dari ACh juga terjadi pada perokok, yang disebabkan oleh jumlah kecil nikotin
yang diserap ke dalam darah melalui mukosa mulut.

Penggolongan
Kolinergika dapat pula dibagi menurut cara kerjanya, dibagi menjadi zat-zat bekerja langsung
dan zat-zat bekerja tak langsung.
1. Bekerja langsung: karbachol, pilokarpin, muskarin dan arekolin. Zat-zat ini bekerja langsung
terhadap organ ujung dengan kerja utama seperti efek muskarin dari ACh.
2.  Bekerja tak-langsung: zat-zat antikolinesterase seperti fisostigmin, neostigmin, piridostigmin.
Obat-obat ini menghambat penguraian ACh secara reversibel, yakni hanya untuk sementara.
Setelah habis teruraikan oleh kolinesterase, ACh akan segera dirombak kembali.

Ada pula zat-zat yang mengikat enzim secara ireversibel, misalnya parathion dan
organofosfat lain. Kerjanya cukup panjang dengan cara membuat enzim baru lagi dan membuat
enzim baru lagi.

Penggunaan
Obat-Obat kolinergik digunakan pada penyakit glaukoma, myasthenia gravis, demensia
Alzheimer dan atonia.

1. Glaukoma
merupakan penyakit yang bercirikan peningkatan tekanan cairan mata intraokuler(TIO) diatas 21
mmHg, yang menjepit saraf mata. Saraf ini berangsur-angsur dirusak secara progresif sehingga
penglihatan memburuk dan menyebabkan kebutaan.

Obat Antikolinergik
Obat antikolinergik (dikenal juga sebagai obat antimuskatrinik, parasimpatolitik, penghambat
parasimpatis). Saat ini terdapat antikolinergik yang digunakan untuk
(1). mendapatkan efek perifer tanpa efek sentral misalnya antispasmodik
(2). Penggunaan lokal pada mata sebagai midriatikum
(3). Memperoleh efek sentral, misalnya untuk mengobati penyakit parkinson.
Contoh obat-obat antikolinergik adalah atropin, skopolamin, ekstrak beladona,
oksifenonium bromida dan sebagainya. Indikasi penggunaan obat ini untuk merangsang susunan
saraf pusat (merangsang nafas, pusat vasomotor dan sebagainya, antiparkinson), mata (midriasis
dan sikloplegia), saluran nafas (mengurangi sekret hidung, mulut, faring dan bronkus, sistem
kardiovaskular (meningkatkan frekuensi detak jantung, tak berpengaruh terhadap tekanan darah),
saluran cerna (menghambat peristaltik usus/antispasmodik, menghambat sekresi liur dan
menghambat sekresi asam lambung)
Obat antikolinergik sintetik dibuat dengan tujuan agar bekerja lebih selektif dan
mengurangi efek sistemik yang tidak menyenangkan. Beberapa jenis obat antikolinergik
misalnya homatropin metilbromida dipakai sebagai antispasmodik, propantelin bromida dipakai
untuk menghambat ulkus peptikum, karamifen digunakan untuk penyakit parkinson.

Obat-obat Golongan Midriatik-Miatik


ATROPINI SULFAS

GOLONGAN : K

KANDUNGAN : Atropine sulfat

INDIKASI :
Spasme/kejang pada kandung empedu, kandung kemih dan usus, keracunan fosfor organik.

KONTRA INDIKASI :
Glaukoma sudut tertutup, obstruksi/sumbatan saluran pencernaan dan saluran kemih, atoni (tidak
adanya ketegangan atau kekuatan otot) saluran pencernaan, ileus paralitikum, asma, miastenia
gravis, kolitis ulserativa, hernia hiatal, penyakit hati dan ginjal yang serius.

PERHATIAN :
Beresiko menyebabkan panas tinggi, gunakan dengan hati-hati pada pasien terutama anak-anak,
saat temperatur sekitarnya tinggi.
Usia lanjut dan pada kondisi pasien dengan penyakit sumbatan paru kronis yang terkarakterisa
oleh takhikardia.

INTERAKSI OBAT :
- Aktifitas antikolinergik bisa meningkat oleh parasimpatolitikum lain.
- Guanetidin, histamin, dan Reserpin dapat mengantagonis efek penghambatan antikolinergik
pada sekresi asam lambung.
- antasida bisa mengganggu penyerapan Atropin.

EFEK SAMPING :
Peningkatan tekanan intraokular, sikloplegia (kelumpuhan iris mata), midriasis, mulut kering,
pandangan kabur, kemerahan pada wajah dan leher, hesitensi dan retensi urin, takikardi, dada
berdebar, konstipasi/sukar buang air besar, peningkatan suhu tubuh, peningkatan rangsang
susunan saraf pusat, ruam kulit, muntah, fotofobia (kepekaan abnormal terhadap cahaya).

INDEKS KEAMANAN PADA WANITA HAMIL :


Penelitian pada hewan menunjukkan efek samping pada janin ( teratogenik atau embriosidal atau
lainnya) dan belum ada penelitian yang terkendali pada wanita atau penelitian pada wanita dan
hewan belum tersedia. Obat seharusnya diberikan bila hanya keuntungan potensial memberikan
alasan terhadap bahaya potensial pada janin.

Atropin sulfat menyebabkan midrasis dan termasuk kedalam golongan obat


antikolinergik yang bekerja pada reseptor muskarinik. Antimuskarinik ini memperlihatkan efek
sentral terhadap susunan syaraf pusat yaitu merangsang pada dosis kecil dan mendepresi pada
dosis toksik.

PILOKARPIN HIDROKLORIDA
Digunakan secara topikal pada kantung konjungtiva sebagai larutan tetes mata. Kelebihan
larutan di sekitar mata harus dibuang dengan tissue dan obat yang terkena tangan harus segera
dicuci.

 Farmakokinetik
- Penurunan tekanan intraokular maksimum terjadi dalam 1,5 – 2 jam setelah
pemberian ke sistem okular dan biasanya bertahan selama 7 hari. (AHFS, p. 2719).

Pilocarpini hydrochloridum
·         pilokarpin monohidroklorida, C11H16N2O2.HCl, BM 244.72.
·         Pemerian: hablur tidak berwarna, agak transparan, tidak berbau; rasa agak
pahit; higroskopis dan dipengaruhi oleh cahaya, bereaksi asam terhadap kertas lakmus.
·         Jarak lebur: antara 199 ° dan 205 °
·         Kelarutan: sangat mudah larut dalam air, mudah larut dalam etanol; sukar
larut dalam kloroform; tidak larut dalam eter. Larut 1 dalam 0,3 air; 1 dalam
alkohol; dan 1 dalam 360 kloroform.
·         Wadah dan penyimpanan: dalam wadah tertutup rapat, tidak tembus cahaya.
·         pH larutan 5 % dalam air antara 3,5 dan 4,5. (Martindale, p. 1396).
·         pH larutan tetes mata 3,5 – 5,5. (TPC, p. 1005).
·         Stabilitas: mengalami hidrolisis yang dikatalisis oleh ion hidrogen dan
hidroksida, terjadi epimerisasi pada pH basa. Peningkatan temperatur akan
meningkatkan kecepatan hidrolisis bila pH larutan 10,4. pH stabilitas maksimum 5,12.
·         Inkompatibilitas: inkompatibel dengan klorheksidin asetat dan garam
fenilmerkuri, juga dengan alkali, iodin, garam perak dan klorida merkuri.
·         Ekivalensi NaCl untuk Pilokarpin HCl 2 % = 0,23 dan ΔTf-nya = 0,26 °.

    III.   ALAT dan  BAHAN


ALAT BAHAN
Tikus 1 Ekor AtropinSulfat 2 %
Penggaris PilokarpinHCl
Senter

    IV.   PROSEDUR KERJA


      V.     HASIL PENGAMATAN

Diket :
Antropin      : 1 %
Pilokarpin    : 2 %

                                      
Kel 1 Kel 2 Kel 3 Kel 4 Kel 5 Kel 6
normal 0,3 0,1 0,1 0,2 0,1 0,1
atropin 0,4 0,5 0,8 0,3 0,3 0,3
Pilokarpin 0,3 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1

    VI.      PEMBAHASAN


Pada praktikm kali ini di lakukan percobaan Midriatik dan Miotik. Midriatik adalah golongan
obat yang mempengaruhi dilatasi atau ukuran pupil bola mata dapat membesar (midriasis).
Sedangakan miotik adalah golongan obat yang mempengaruhi kontraksi atau ukuran pupil bola
mata dapat mengecil (miosis).
Pada percobaan ini menggunakan dua macam obat yaitu Atropin Sulfat dan Pilokarpin HCl.
Hewan yang digunakan untuk percobaan ini adalah tikus. Pada percobaan ini langkah pertama
yang di lakukan adalah menentukan letak pupil bola mata tikus terlebih dahulu. Kemudian  di
ukur dengan menggunakan penggaris diameter pupil  terhadap cahaya gelap (tidak menggunakan
senter), kemudian di lakukan uji reflex pupil terhadap cahaya terang (dengan menggunakan
senter). Kemudian di bandingkan ukuran pupil pada saat sebelum di beri cahahaya dan setelah di
beri cahaya.
Setelah di amati keadaan pupil awal, kemudian larutan obat di teteskan ke cairan
konjungtival, dengan cara di pegang matanya supaya terbuka dan tahan kira-kira 1 menit supaya
obat nya masuk. Setelah itu diamati reaksi yang terjadi pada pupil mata tikus tadi, dengan cara
dibandingkan keadaan pupil awal sebelum ditetesi dengan cairan obat dengan setelah di tetesi
dengan cairan obat.
Pada pemberian cairan obat dengan Atropin sulfat, terlihat pupil mata dari tikus membesar
setelah setelah di beri cairan obat (Atropin Sulfat). Setelah di ukur, pada kelompok kami di
dapatkan hasil pengamatan pupil mata tikus membesar dari ukuran pupil normalnya dari 0,1 cm
menjadi 0,8 cm hampir mendeketati ukuran kornea bola mata dari tikus.
Atropin sulfat atau Alkaloid Belladona ini, kerjanya menghambat M.constrictor pupillae dan
M.ciliaris lensa mata, sehingga menyebabkan midriasis dan sikloplegia (paralisis mekanisme
akomodasi). Midriasis mengakibatkan fotofobia, sedangkan sikloplegia menyebabkan hilangnya
kemampuan melihat jarak dekat. Pada umumnya sesudah pemberian 0,6 mg atropin SK pada
mulanya terlihat efek pada kelenjar eksokrin, terutama hambatan salivasi, serta bradikardia
akibat perangsangan Nervus vagus. Midriasis baru terlihat dengan dosis yang lebih tinggi ( >1
mg). Mula timbulnya midriasis tergantung dari besarnya dosis, dan hilangnya lebih lambat dari
pada hilangnya efek terhadap kelenjar liur. Pemberian lokal pada mata menyebabkan perubahan 
yang lebih cepat dan berlangsung lama sekali (7-12 hari), karena atropin sukar dieliminasi dari
cairan bola mata. Midriasis oleh alkaloid belladonna dapat diatasi dengan pilokakarpin, eserin,
atau DFP. Tekanan intraocular pada mata yang normal tidak banyak mengalami perubahan.
Tetapi, pada pasien glaucoma, terutama pada glaucoma sudut sempit, penyaliran cairan
intraocular melaui saluran Schlemm akan terhambat karena muaranya terjepit dalam keadaan
midriasis.  Atropine sulfat ini juga termasuk kedalam golongan obat antikolinergik yang bekerja
pada reseptor muskarinik.
Obat midriatikum adalah obat yang digunakan untuk membesarkan pupil mata. Juga
digunakan untuk siklopegia dengan melemahkan otot siliari sehingga memungkinkan mata untuk
fokus pada obyek yang dekat. Obat midriatikum menggunakan tekanan pada efeknya dengan
memblokade inervasi dari pupil spingter dan otot siliari.
Obat untuk midriatikum bisa dari golongan obat simpatomimetik dan antimuskarinik,
sedangkan obat untuk Siklopegia hanya obat dari golongan antimuskarinik. Obat midriatikum-
siklopegia yang tersedia di pasaran adalah Atropine, Homatropine dan Tropicamide dengan
potensi dan waktu kerja yang berbeda begitu juga kegunaan secara klinisnya.
Tabel. Sediaan obat midriatikum-siklopegia
Bentuk sediaan Waktu Kerja & Lama Kerja (lk)
Obat Indikasi
dan kandungan obat
Mydriasis Cycloplegia
Anterior uveitis
Multi-dosis tetes 30-40 menit 1 hari
Atropine Cycloplegic refraction
mata 1 % LK : 7-10 hari LK : 2 minggu
Suppression amblyopia
Multi-dosis tetes 30-60 menit 30-60 menit
Homatropine Anterior uveitis
mata 2% Lk:1-2 hari Lk:1-2 hari
Multi-dosis tetes 15-30 menit 25 menit Ophthalmoscopy dan
Tropicamide
mata 0,5% & 1% Lk:4-6 jam Lk:6 jam fundus photography

Atropin
Atropine, adalah alkaloid derivat solanasid dari Atropa belladonna yaitu suatu ester
organik asam tropik dan tropin. Atropin merupakan antimuskarinik pertama yang digunakan
sebagai obat, Atropin sangat potensial sebagai obat midriatikum-siklopegia dengan panjang
waktu kerja lebih dari dua minggu.
Homatropin
Homatropine adalah alkaloid semisintetik yang dibuat dari kombinasi asam mandelat dengan
tropine. Durasi kerja Homatropin lebih pendek dibanding dengan Atropin.
Tropikamid
Tropicamide, adalah derivat sintetik dari asam tropik, tersedia sebagai obat mata pada
akhir tahun 1950-an. Tropikamid mempunyai waktu kerja dan lama kerja lebih pendek
dibandingkan dengan antimuskarinik lainnya, sehingga mempunyai daya serapnya (difusi)
terbesar dan proporsi obat yang tersedia untuk penetrasi ke kornea lebih tinggi.

Kemudian setelah atropin sulfat bereaksi, yang dapat terlihat dari perubahan yang terjadi
pada pupil mata tikus  yaitu ukuran pupilnya membesar. Maka selanjutnya dapat diberikan
larutan obat pilokarpin dengan cara di teteskan pada cairan konjungtival tempat yang sama pada
mata tikus ketika di teteskan dengan atropine sulfat tadi, dengan cara di pegang matanya supaya
terbuka dan ditahan kira-kira 1 menit. Kemudian diamati perubahan yang terjadi pada pupil mata
tikus. Ternyata pada percobaan ini dihasilkan pupil mata tikus mengecil dan kembali ke ukuran
normalnya tetapi dlm jangka waktu yang agak lebih lama. Masalahnya pada pemberian atropine
sulfat reaksi yang terjadi itu cukup lama sehingga pada saat pemberian pilokarpin reaksi untuk
mengecilkan pupil terjadi cukup lama. Sehingga di butuhkan dosis yang lebih besar untuk
mengembalikan pupil mata tikus kekeadaan normal.
Pada dasarnya pilokarpin adalah golongan obat kolinergik yang bekerja pada reseptor
antimuskarinik. Antimuskarinik adalah suatu keadaan dimana obat ini memperlihatkan efek
sentral terhadap susunan saraf pusat yaitu merangsang pada dosis kecil dan mendepresi pada
dosis toksik. Pada saat ini terdapat antimuskarinik yang digunakan untuk : (1) mendapatkan efek
perifer tanpa efek sentral misalnya antispasmodic, (2) penggunaan local pada mata midriatikum,
(3) memperoleh efek sentral misalnya obat Parkinson, (4) efek bronkodilatasi dan (5)
memperoleh efek hambatan pada sekresi lambung dan gerakan saluran cerna.
Obat miotikum adalah obat yang menyebabkan miosis (konstriksi dari pupil mata). Pengobatan
glaukoma bertujuan untuk mengurangi tekanan di dalam mata dan mencegah kerusakan lebih
lanjut pada penglihatan. Obat Miotikum bekerja dengan cara membuka sistem saluran di dalam
mata, dimana sistem saluran tidak efektif karena kontraksi atau kejang pada otot di dalam mata
yang dikenal dengan otot siliari. Betaxolol dan Pilokarpin adalah contoh obat Miotikum yang
sering digunakan. Betaxolol adalah senyawa penghambat beta adregenik. Pilocarpine adalah
alkaloid muskarinik yang diperoleh dari daun belukar tropis Amerika dari genus Pilocarpus.
Pilokarpin bekerja sebagai reseptor agonis muskarinik pada sistem saraf
parasimpatik.
Pilocarpine digunakan untuk glaukoma untuk mencegah kerusakan lebih lanjut akibat
tekanan yang dapat berisiko kebutaan, Pilokarpin mengatasi gejalanya dengan menurunkan
tekanan pada mata penderita glaukoma. Pilokarpin bekerja pada reseptor muskarinik (M3) yang
terdapat pada otot spingter iris, yang menyebabkan otot berkontraksi dan menyebabkan pupil
mata mengalami miosis. Pembukaan terhadap jala mata trabekular secara langsung
meningkatkan tekanan pada cabang skleral. Aksi ini memfasilitasi pengeluaran cairan pada
kelopak mata sehingga menurunkan tekanan intraokular (dalam mata).

  VII.   KESIMPULAN
1.  Midriatik adalah golongan obat yang mempengaruhi dilatasi atau ukuran pupil bola mata dapat
membesar (midriasis).
2.  miotik adalah golongan obat yang mempengaruhi kontraksi atau ukuran pupil bola mata dapat
mengecil (miosis).
3.  pilokarpin adalah golongan obat kolinergik yang bekerja pada reseptor antimuskarinik.
4.  Atropine adalah alkaloid derivat solanasid dari Atropa belladonna yaitu suatu ester organik asam
tropik dan tropin.

VIII.    DAFTAR PUSTAKA


Depkes RI, 1979, FI ed III, Jakarta, hal 10, 86, 403, 498, 499, 983.
Depkes RI, 1995, FI ed IV, Jakarta, hal 675 – 676, 1144
Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UI, 2000, Farmakologi dan Terapi, ed. 4,
Gaya Baru, Jakarta, hal 155.
Wade, A and P. J. Weller, 1994, Handbook of Pharmaceutical Exipients, 2nd ed.,
America Pharmaceutical Association, London, p. 27, 177, 392.
Lachman, L., H. Lieberman, and J. L. Kanig, 1986, The Theory and Practice of
Industrial Pharmacy, 3rd ed., Lea and Febiger, Philadelphia, p. 779.

http://yuniethafafa.blogspot.co.id/2012/04/midriatik-miotik.html
istem saraf parasimpatis adalah bagian saraf otonom yang berpusat dibatang otak dan
bagian kelangkang sumsum belakang yang mempunyai dua reseptor terhadap reseptor
muskarinik dan reseptor nikotik.
Susunan saraf parasimpatis disebut sebagai syaraf kolinergik karena bila dirangsang
ujung sarafnya akan melepaskan asetilkolin (Ach). Dan Efek asetilkolin ini adalah: Jantung:
Denyut diperlambat, Arteri koronari: Kontriksi, Tekanan darah: Turun, Pupil mata: Kontriksi,
S.P.M: Peristaltik bertambah.

A.    Sistem Saraf


Sistem saraf adalah sistem organ yang terdiri atas sel neuron yang mengkoordinasikan
aktivitas otot, memonitor organ, membentuk atau menghentikan masukan dari indra,
mengaktifkan aksi, dan mempertahankan kelangsungan hidup melalui berbagai mekanisme
sehingga tubuh tetap mencapai keseimbangan. Sedangkan cabang dari ilmu kedokteran yang
menangani kelainan pada sistem saraf adalah neurologi.
Sistem saraf tak sadar (otonom)
a) Sistem saraf simpatik
b) Sistem saraf parasimpatik
Kedua saraf tersebut bersifat antagonis. Jika saraf simpatik menyebabkan kontraksi pada
suatu efektor, saraf parasimpatik menyebabkan relaksasi pada efektor tersebut. Mekanisme kerja
seperti itu bertujuan agar proses-proses di dalam tubuh berjalan dengan normal. Contoh
pengaruh saraf simpatik dan parasimpatik terhadap efektor
adalah saraf simpatik menyebabkan kecepatan dan volume kecepatan jantung bertambah,
sedangkan saraf parasimpatik menyebabkan kecepatan volume kecepatan jantung berkurang.

B.     Sistem Saraf Otonom


Sistem otonom ini dibagi menjadi  sistem simpatis dan  parasimpatis secara anatomi,
fungsional, dan alasan farmakologis yang luas. Secara anatomis, sistem saraf simpatik memiliki
motor cell station di substansia gresia lateral torakalis dan dua segmen teratas lumbal dari
sumsum tulang belakang. Sistem parasimpatis berjalan sepanjang saraf kranial III, VII, IX dan
X, dan sakral outflow, dengan cell station di segmen kedua, ketiga kadang-kadang segmen
keempat sakral.
Menurut fungsinya, sistem saraf simpatis berhubungan erat dengan reaksi stress tubuh. ketika
saraf ini dirangsang, terjadi pupil dilatasi, konstriksi pembuluh darah perifer, penigkatan
pemakaian oksigen dan denyut jantung, dilatasi bronkus, menurunkan aktivitas viseral dengan
menghambat peristaltik dan peningkatan kekuatan sfingter, proses glikogenolisis dihati,
menstimulasi medula supradrenal dan berkeringat dan piloereksi. saraf simpatik pelvis
menghambat kontraksi vesika urinaria.
Aliran darah koroner meningkat, sebagian disebabkan oleh efek langsung simpatis dan
sebagian disebabkan oleh faktor tidak langsung yang termasuk kontraksi jantung yang kuat,
menurunnya sistole, diastole relatif meningkat dan peningkatan konsentrasi metabolit
vasodilator.
Sistem saraf simpatis berefek antagonis terhadap sistem simpatis. perangsangannya
menyebabkan konstirksi pupil, penurunan frekwensi, hantaran dan respon rangsangan otot
jantung, peningkatan peristaltik usus dengan relaksasi spingter . tambahan pada sistem
parasimpatis pelvis menghambat spingter internal vesika urinaria.
Sistem saraf simpatis mempunyai efek yang luas, menstimulasi banyak organ yang
menimbulkan respon yang bervariasi. berbanding terbalik dengan aktivitas parasimpatis yang
biasanya tidak menyeluruh dan terlokalisir. perbedaan ini dapat dijelaskan, setidaknya sebagian, 
oleh perbedaan  secara anatomi yang telah diterngkan sebelumnya.
Sistem saraf perifer dapat bekerja secara sinergis contohnya reflek penurunan detak jantung
sebagian disebabkan oleh rangsangan vagal dan sebagian karena penurunan rangsangan simpatis.
beberapa organ mendapat inervasi otonom hanya dari satu sistem contohnya medulla supradrenal
dan arteriol kutan hanya oleh saraf simpatis, sedangkan sekresi lambung neorogenik seluruhnya
dikontrol oleh sistem para simpatis melalui saraf vagus.

C.    Obat yang bekerja pada saraf parasimpatis


Sistem saraf parasimpatis adalah bagian saraf otonom yang berpusat dibatang otak dan
bagian kelangkang sum-sum belakang yang mempunyai dua reseptor terhadap reseptor
muskarinik dan reseptor nikotik.
Obat-obat yang yang termasuk kelompok obat sitem parasimpatik
*   Asetilkolin (Ach)
*   Fisostigmin(Eseri,Anticholium)
*   Neostigmin(Prostigmin)
*   Piridostigmin (Mestinon)
*   Distigminbromida (ubretid)

Farmakokinetik
Ester kolin kurang diserap dan didistribusi kedalam SSP dari saluran cerna (kurang aktif
per oral),namun kepekaannya untuk di hidrolisa oleh kolinestrase sangat berbeda.Asetilkolin
sangat cepat dihidrolisa sehingga untuk mencapai efek yang memuaskan obat ini harus diberikan
melalui infus secara IV dalam dosis besar.efek asetilkolin yang dibelikan dalam bentuk bolus
besar IV diperoleh selama 5-20 detik,sedangkan suntikan IM dan SC hanya memberikan efek
lokal. Metakolin lebih tahan 3 kali terhadap hidrolisa dan dapat memberikan efek sistemik
walaupun diberikan secara SC.

Farmakodinamik
Aktifasi sistem saraf parasimpatis memodifikasi fungsi organ melalui 2 mekanisme
utama. Pertama, asetilkolin yang dilepas dari saraf para simpatis dapat mengaktifkan reseptor
muskarinik pada organ efektor unuk mengubah fungsinya secara langsung. Kedua, asetilkolin
yang dilepas dari saraf para simpatis dapat berinteraksi dengan reseptor muskarinik pada ujung
saraf untukmenghambat pelepasan neurotransmiternya. Melalui mekanisme ini, asetilkolin yang
dilepas dan kemungkinan, mensirkulasi agonis muskarinik secara tidak langsung mengubah
fungsi organ dengan memodulasi efek para simpatis dan sistem saraf simpatis serta kemungkinan
juga sistem nonkolinergik, dan adrenergik.

Efek samping
Dapat menimbulkan banyak keringat, ludah, nause, muntah dan diare, yang merupakan
tanda naiknya tonus parasimpatikus.

Interaksi obat
Pemakain obat tidak dapat diberikan secara per-oral karena obat tersebut dihidrolisis
oleh asam lambung, karena cara kerjanya terlalu singkat sehingga segera dihancurkan oleh
asetilkolinestrase atau outirilkolinestrase.

D.    Golongan Obat untuk Parasimpatis


Obat parasimpatis itu sendiri dibagi dalam 2 kelompok besar yakni:
A. Kolinergik
B. Antikolinergik

Kolinergik/ Parasimpatikomimetika
Sekelompok zat yang dapat menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi Susunan
Parasimpatis(SP), karena melepaskan Asetilkolin( Ach ) di ujung-ujung neuron. dimana tugas
utama SP adalah mengumpulkan energi dari makanan dan menghambat penggunaannya,
singkatnya asimilasi.

Efek kolinergis yang terpenting adalah:


o    stimulasi pencernaan, dengan cara memperkuat peristaltik dan sekresi kelenjar ludah dan getah
lambung(HCl), juga sekresi air mata.
o    memperlambat sirkulasi, dengan cara mnegurangi kegiatan jantung, vasodilatasi dan penurunan
tekanan darah.
o    memperlambat pernafasan, dengan cara mengecilkan bronchi sedangkan sekresi dahak
diperbesar.
o    kontraksi otot mata, dengan cara miosis( penyempitan pupil) dan menurunnya tekanan
intraokuler akibat lancarnya pengeluaran air mata.
o    kontraksi kandung kemih dan ureter, dengan cara memperlancar pengeluaran urin
o    dilatasi pembuluh dan kontraksi otot kerangka.
o    menekan SSP (Sistem Saraf Pusat), setelah stimulasi pada permulaan.
Setelah mengetahui efek obat kolinergis, kita akan beralih ke reseptor-reseptor kolinergis yang
merupakan tempat substrat obat menempel supaya "obat" dapat menghasilkan efek yang kita
inginkan.

Reseptor kolinergis dibagi 2 yakni:


1.      Reseptor Muskarin (M)
berada pada neuron post-ganglion dan dibagi 3 subtipe, yaitu Reseptor M1, M2, dan M3 dimana
masing-masing reseptor ini memberikan efek berbeda ketika dirangsang.
Muskarin (M) merupakan derivat furan yang bersifat toksik dan terdapat pada jamur Amanita
muscaria sebagai alkaloid.
Reseptor akan memberikan efek-efek seperti diatas setelah mengalami aktivasi oleh
neurotransmitter asetilkolin(Ach).
2.      Reseptor Nikotin (N)
berada pada pelat ujung-ujung myoneural dan pada ganglia otonom.
Stimulasi reseptor ini oleh kolinergik (neostigmin dan piridostigmin) yang akan menimbulkan
efek menyerupai adrenergik, berlawanan sama sekali. Misalnya vasokonstriksi dengan naiknya
tensi, penguatan kegiatan jantung, stimulasi SSP ringan.
Efek Nikotin dari ACh juga terjadi pada perokok, yang disebabkan oleh jumlah kecil nikotin
yang diserap ke dalam darah melalui mukosa mulut.
Penggolongan
Kolinergika dapat pula dibagi menurut cara kerjanya, dibagi menjadi zat-zat bekerja langsung
dan zat-zat bekerja tak langsung.
1.      Bekerja langsung: karbachol, pilokarpin, muskarin dan arekolin. Zat-zat ini bekerja langsung
terhadap organ ujung dengan kerja utama seperti efek muskarin dari ACh.
2.      Bekerja tak-langsung: zat-zat antikolinesterase seperti fisostigmin, neostigmin, piridostigmin.
Obat-obat ini menghambat penguraian ACh secara reversibel, yakni hanya untuk sementara.
Setelah habis teruraikan oleh kolinesterase, ACh akan segera dirombak kembali.
Ada pula zat-zat yang mengikat enzim secara ireversibel, misalnya parathion dan organofosfat
lain. Kerjanya cukup panjang dengan cara membuat enzim baru lagi dan membuat enzim baru
lagi.

Penggunaan
Obat-Obat kolinergik digunakan pada penyakit glaukoma, myasthenia gravis, demensia
Alzheimer dan atonia.

Glaukoma
Merupakan penyakit yang bercirikan peningkatan tekanan cairan mata intraokuler(TIO) diatas 21
mmHg, yang menjepit saraf mata. Saraf ini berangsur-angsur dirusak secara progresif sehingga
penglihatan memburuk dan menyebabkan kebutaan.
Antikolinergik
Antikolinergik adalah ester dari asam aromatik dikombinasikan dengan basa organik. Ikatan
ester adalah esensial dalam ikatan yang efektif antara antikolinergik dengan reseptor asetilkolin.
Obat ini berikatan secara blokade kompetitif dengan asetilkolin dan mencegah aktivasi reseptor.
Efek selular dari asetilkolin yang diperantarai melalui second messenger seperti cyclic guanosine
monophosphate (cGMP) dicegah.Reseptor jaringan bervariasi sensitivitasnya terhadap blokade.
Faktanya : reseptor muskarinik tidak homogen dan subgrup reseptor telah dapat diidentifikasikan
: reseptor neuronal (M1),cardiak (M2) dan kelenjar (M3) (Askep, 2009). Dalam dosis klinis,
hanya reseptor muskarinik yang dihambat oleh obat antikolinergik yang akan dibahas pada bab
ini. Kelebihan efek antikolinergik tergantung dari derajat dasar tonus vagal.
Beberapa sistem organ dipengaruhi : A. Kardiovaskular Blokade reseptor muskarinik pada SA
node berakibat takikardi. Efek ini secara khusus mengatasi bradikardi karena reflek vagal (reflek
baroreseptor,stimulasi peritoneal atau reflek okulokardia). Perlambatan transien denyut jantung
karena antikolinergk dosis rendah telah dilaporkan. Mekanisme ini merupakan respon paradoks
karena efek agonis perifer yang lemah, diduga obat ini tidak murni antagonis. Konduksi melalui
AV node akan memendekkan interval P-R pada EKG dan sering menurunkan blokade jantung
disebabkan aktivitas vagal. Atrial disritmia dan ritme nodal jarang terjadi. Antikolinergik berefek
kecil pada fungsi ventrikel atau vaskuler perifer karena kurangnya persarafan kolinergik pada
area ini dibanding reseptor kolinergik. Dosis besar antikolinergik dapat menghasilkan dilatasi
pembuluh darah kutaneus (atropin flush).

Daftar Pustaka:
Gunawan s, dkk. (2007). Farmakologi Dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Gaya Gon
Katzung G, Betram. (1997). Farmakologi Dasar Dan Klinik. Edisi 6. Jakarta: EGC  
Pearce, Evelyn C. (2002). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta : Gramedia Pustaka Umum.

http://silvianitaanggraeni.blogspot.co.id/2013/02/sistem-syaraf-parasimpatik-syaraf-tak.html
JURNAL KOLIN OBAT

 
 
57
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011
Jurnal Anestesiologi Indonesia
adalah larut-lemak. Waktu onset dan durasi kerja sama, namun ropivacaine memblok motorik
lebih rendah, yang sebabkan potensi lebih rendah, ditunjukkan dalam beberapa penelitian. Yang
paling menjadi perhatian, ropivacaine memiliki index terapi yang  besar karena 70% lebih sedikit
menyebabkan intoksikasi kardia dibandingkan dengan bupivacaine. Ropivacain dikatakan
memiliki toleransi terhadap sistem saraf pusat yang lebih  besar. Keamanan dari ropivacaine ini
mungkin disebabkan karena kelarutan lemaknya yang rendah atau availibilitasnya sebagai isomer
S(-) yang murni, yang bertolak belakang dengan struktur dari bupivacaine. Levobupivacaine,
merupakan isomer S(-) dari bupivacain, yang tidak lagi tersedia di Amerika Serikat, dilaporkan
memiliki efek samping terhadap cardiovaskular dan serebral yang lebih kecil dari pada struktur
campuran; penelitian mengatakan bahwa efeknya terhadap kardiovaskular hampir menyerupai
efek ropivacaine. D.
 
Imunologi Reaksi hipersensitivitas murni terhadap agent anestesi lokal
 — 
yang bukan intoksikasi sistemik karena konsentrasi  plasma yang berlebihan
 — 
merupakan hal yang jarang. Ester memiliki kecenderungan menginduksi reaksi alergi karena
adanya derivat ester yaitu asam p-aminobenzoic, yang merupakan suatu alergen. Sediaan
komersial multidosis dari amida biasanya mengandung methylparaben, yang memiliki struktur
kimia mirip dengan PABA. Bahan tambahan ini yang bertanggung jawab terhadap sebagian
besar reaksi alergi. Anestesi lokal dapat membantu mengurangi respon inflamasi karena
pembedahan dengan cara menghambat  pengaruh asam lysophosphatidic dalam mengaktivasi
neutrofil. E.
 
Muskuloskeletal Saat diinjeksikan langsung ke dalam otot skeletal (trigger-point injeksi),
anestesi lokal adalah miotoksik (bupivacaine > lidocaine > procaine). Secara histologi,
hiperkontraksi miofibril menyebabkan degenarasi litik, edema, dan nekrosis. Regenerasi
biasanya timbul setelah 3-4 minggu. Steroid tambahan atau injeksi epinefrin memperburuk
nekrosis otot. Data penelitian hewan menunjukkan  bahwa ropivacaine menghasilkan kerusakan
otot yang tidak terlalu berat dibanding bupivacaine. F.
 
Hematologi Telah dibuktikan bahwa lidokain menurunkan koagulasi (mencegah trombosis dan
menurunkan agregasi  platelet) dan meningkatkan fibrinolisis dalam darah yang diukur dengan
thromboelastography. Pengaruh ini mungkin berhubungan dengan penurunan efikasi autolog
epidural setelah pemberian anestesi lokal dan insidensi terjadinya emboli yang lebih rendah pada
pasien yang mendapatkan anestesi epidural.
Interaksi Obat
Anestesi lokal meningkatkan potensi  blokade otot non-depolarisasi. Suksinil kolin dan anestesi
lokal ester bergantung

 
 
58
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011
Jurnal Anestesiologi Indonesia
 pada pseudokolinesterase untuk metabolismenya. Pemberian bersamaan dapat meningkatkan
potensi masing-masing obat. Dibucaine, anestesi lokal amida, menghambat pseudokolinesterase
dan digunakan untuk mendeteksi kelainan genetik enzim. Inhibitor pseudokolinaesterase dapat
menyebaban penurunan metabolisme dari anestesi lokal ester. Cimetidine dan propanolol
menurunkan aliran darah hepatik dan bersihan lidokain. Level lidokain yang lebih tinggi dalam
darah meningkatkan potensi intoksikasi. Opioid (misal, fentanil, morfin) dan
agonis adrenergik α2 (co
ntoh: epinefrin, klonidin) meningkatkan potensi  penghilang rasa nyeri anestesi lokal.
Kloroprokain epidural dapat mempengaruhi kerja analgesik dari morfin intraspinal.
2-5
RINGKASAN
Anestesi regional semakin berkembang dan meluas pemakaiannya, mengingat  berbagai
keuntungan yang ditawarkan, diantaranya relatif lebih murah, pengaruh sistemik yang minimal,
menghasilkan analgesi yang adekuat dan kemampuan mencegah respon stress secara lebih
sempurna. Secara kimiawi obat anestesi lokal dibagi dalam dua golongan besar, yaitu golongan
ester dan golongan amide. Perbedaan kimia ini direfleksikan dalam perbedaan tempat
metabolisme, dimana golongan ester terutama dimetabolisme oleh enzim  pseudo-kolinesterase
di plasma sedangkan golongan amide terutama melalui degradasi enzimatis di hati. Perbedaan ini
juga berkaitan dengan besarnya kemungkinan terjadinya alergi, dimana golongan ester turunan
dari
 p-amino-benzoic acid 
 memiliki frekwensi kecenderungan alergi lebih besar. Obat anestesi lokal yang lazim dipakai di
negara kita untuk golongan ester adalah  prokain, sedangkan golongan amide adalah lidokain dan
bupivakain. Mekanisme kerja obat anestesi local mencegah transmisi impuls saraf (blokade
konduksi) dengan menghambat  pengiriman ion natrium melalui gerbang ion natrium selektif
pada membrane saraf. Kegagalan permeabilitas gerbang ion natrium untuk meningkatkan
perlambatan kecepatan depolarisasi seperti ambang  batas potensial tidak tercapai sehingga
potensial aksi tidak disebarkan. Obat anestesi lokal tidak mengubah potensial istirahat
transmembran atau ambang batas  potensial. Farmakokinetik obat meliputi absorpsi, distribusi,
metabolisme dan ekskresi. Komplikasi obat anestesi lokal yaitu efek samping lokal pada tempat
suntikan dapat timbul hematom dan abses sedangkan efek samping sistemik antara lain
neurologis pada Susunan Saraf Pusat, respirasi, kardiovaskuler, imunologi ,muskuloskeletal dan
hematologi Beberapa interaksi obat anestesi lokal antara lain pemberian bersamaan dapat
meningkatkan potensi masing-masing obat. penurunan metabolisme dari anestesi

 
48
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011
Jurnal Anestesiologi Indonesia
TINJAUAN PUSTAKA
Mekanisme Kerja Obat Anestesi Lokal
Ratno Samodro*, Doso Sutiyono*, Hari Hendriarto Satoto*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
 
farmakologi obat-obat muskarinik,kolinesterase dan adrenergik

Posted on March 23 by hanarj

1. OBAT-OBAT MUSKARINIK (Agonis muskarinik) dibedakan atas (1) asetilkolin dan ester asetil
kolin sintesis yaitu metakolin, karbakol, dan betanekol (2) alkaloid kolinergik yang terdapat di
alam yaitu muskarinik, pilokarpin, dan arekolin, beserta senyawa sintesisnya

 Contoh obat : alkaloid kolinergik, dalam golongan ini di kenal 3 alkaloid yaitu muskarin yang
berasal dari jamur amanita muscaria, pilokarpin yang berasal dari tanaman pilocarpus jaborandi
dan pilocarpus michrophyllus, dan arekolin yang berasal dari areca catechu (pinang)
 Indikasi

ATONIA SALURAN CERNA. Betanekol efektif untunk mengatasi kembung pada ileus pasca
bedah dan pada atonia lambung ( gastroparesis). Untuk ini betanekol di berikan per oral
sebanyak 10-20mg, 3 atau 4 kali sehari pada perut kosong. Bila atonia sedemikian berat sehingga
tak da makanan yang sampai ke duodenum, maka betanekol di berikan secara subkutan karen
obat ini tidak di serap di lambung. Kini zat prokinetk semacam metokloparamid telah
menggantikan kedudukan betanekol pada gastroparises.

ATONIA KANDUNG KEMIH. Berdasarkan mekanisme yang sama dengan ileus pascabedah,
dapat terjadi atonia kandung kemih dan retensi urin. Betanekol 2,5mg yang di suntikan SK
beberapa kali, atonia oleh sebab lain juga dapat di atasi dengan obat ini asal di pastikan tidak ada
sumbatan secara organis.

 MEKANISME KERJA

Enzim asetilkolinesterase (AchE) memegang peranan penting dalam penghentinan transmisi


kolinergik, maka efek utamaantikolinesterase adalah karena penghambatan hidrolisis Ach di
ujung saraf kolinergik. Hambatan ini berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam untuk
antikolinesterase yang reversibel, sementara penghambatan oleh diisofluorofosfat (DFP)
menyebabkan kerusakan enzim sehingga di perlukan sintesis enzim baru untuk kembalinya
transmisi norama. Pengelompokan atas antikolinesterase reversibel dan ireversibel pada dasarnya
menunjukan perbedaan dalam lamanya ikatan AChE dengan penghambatannnya. Edrofonium
dan tarikan berikatan secara kovalen kemudian segera lepas lagi dengan AChE, sementara
neostigminberikatan dengan AChE dan di pecah, jadi bertindak sebagai substrat juga, tetapi
dengan laju reaksi yang lebih lambat daripada reaksi dengan ACh. Ikatan AChE dengan substrat
pengganti ini membentuk ikatan enzim- dietilkarbamim. ikatan enzim- dietilkarbamim ini lebih
setabil dan di pecah kembali menjadi dalam waktu yang lebih lama sehingga penghambatan
enzim lebih lama. Senyawa organofosfat seoerti DFP berikatan dengan AChE membentuk ikatan
enzim-diisopropil fosfor. Ikatan enzim ini di hidrolisis sangat lambat, bahkan boleh di katakan
stabil, tetapi hidrolisis kembali dan menyisakan AChE yang mengalami fosforilasi (“aging”)
sehingga tidak aktif lagi. Enzim ini masih dapat aktif kembali oleh pralidoksim sebelum terjadi
aging dengan cara hidrolisis pada ikatan enzim dengan gugus fosforifil.
 

 EFEKSAMPING DAN KONTRAINDIKASI

Ester kolin lazimnya di gunakan secara oral atau SK karena pemberian IV sangat berbahaya.
Efeksamping dan reaksi toksik biasanya akibat kerja pada reseptor muskarinik di berbagai
tempat, maka reaksi toksik dapat segera teratasi dengan suntikan SK atau IV atropin sulfat. Efek
terhadap sistem kardiovaskular dan pernafasan dapat di atasi dengan adrenalin SK atu IM

Asma bronkial, hiperteroid, insupisiensi koroner, dan ulkus peptikum merupakan kontra indikasi
agonis muskarinik. Esterkolin dapat mendatangkan serangan iskemia jantung pada pasien angina
pektoris karena turunnya tekanan darah akan mengurangi sirkulasi koroner. Pasien
hipertiroidisme dapat mengalami fibrilasi natrium, terutama pada pemberian metakolin; tindakan
pengamanan perlu diambil, yaitu dengan menyediakan atropin dan efinefrin sebagai antidotum.
Efeksamping lain biasanya berkeringat, salivasi, kejang (cramps) perut, rasa penuh di kandung
kemih.

2. OBAT-OBAT MUSKARINIK {Antagonis Muskarinik)

Contoh Obat : Atropin Sulfat, Pirenzepin

1. Atropin Sulfat

 Indikasi :Lihat Dosis


 Kontra Indikasi : Pasien Glaukoma atau berkencenderungan menjadi glaukoma, hipersensitif
 Efek Samping : Iritasi Lokal,Konjungtivitis, Foliculas, penyumbatan Vaskular, edema,
eksudatdermatitis kontak atau dermatitiseczematoid, penglihatan buram dan bertambahnya
sensitivitas mata terhadap cahaya.
 Mekanisme Kerja Atropin cepat memasuki jaringan dan separuhnya mengalami hidrolisi
enzimatik dihepar, sebagian diekskresi melalui ginjal dalam bentuk asal. Waktu paruh atropin
sekitar 4 jam.

Antikolinergik sintetik yang merupakan amonium kuartener, misalnya skopolamin metil


bromida, lebih sulit dibsorpsi sehingga perlu diberikan dalam dosis yang lebih besar (2,5 mg),
tetapi efek sentralnya tidak sekuat atropin karena tidak melewati sawar darah otak.

2. Pirenzepin

 Indikasi : Ulkus Lmbung dan duodenum yang akut dan kronis; gastritis dan duodenitis
 Efek Samping : Mulut kering, Gangguan akomodasi.
 Mekanisme Kerja: Absorpsi pirezepin tidak lengkap (20-30%) dan dipengaruhi oleh adanya
makanan dlam lambung. Absorpsinya lebih baik bila dikombinasi dengan antasida. Masa paruh
eliminiasinya sekitar 11 jam. Sebagian besar pirenzepin diekresi melalui urine dan feses dalam
bentuk senyawa asalnya. Pada pasien gagal ginjal kadar obat meningkat 30-40%, namun belum
menyebabkan efek toksik. Hemodialisis tidak banyak bermanfaat untuk mempercepat ekskresi
obat pada keracunan pirenzepin.

3. . OBAT-OBAT KOLINESTERASE INHIBITOR

AChE, atau asetilkolin asetilhidrolase, di temukan terutama pada sinaps syaraf kolinergik,
neuromuscular junction dan darah (membran sel darah merah ). Enzim ini berfungsi
menghidrolisis asetilkolin menjadi kolin dan asetat. BChE, atau asil asilhidrolase ata juga
pseudokolinesterase, di temukan terutama pada hati. Enzim ini mirip dengan AChE, namun
substratnya adalah butirilkolin (senyawa sintetik yang tidak di jumpai pada tumbuhan ). Enzim
tersebut dapat menghidrolisis beberapa ester kolin misalnya suksamethonium, mivacurium.
Suksamethonium, atau juga di kenal sebagai suksinilkolin (obat paralisis penginduksi relakasasi
otot skletal), didegredasi oleh enzim buturilkolinesterase, tidak oleh asetilkolinesterase, menjadi
suksinilmonokolin kemudian di ubah menjadi asam suksinat.

Obat ini bekerja dengan menghambat enzimkolinesterae pada celah sinaptik. Enzim
kolinesterase ada dua tipe yaitu asetilkolinesterase AChE dan butirilkolinesterase (BChE).
Inhibitor kolinesterase dibagi menjadi dua bagian yaitu inhibitor reversibel dan inhibitor
irreversibel.

4. OBAT-OBAT ADRENERGIK

Sebagian obat adrenergik bekerja secara langsung pada reseptor adrenergik dimembran sel
efektor.

 obat adrenergik kerja tidak langsung.

Contoh: amfetamin dan tiramin

Menimbulkan efek adrenergik melelui pelepasan NE yang tersimpan dala ujung saraf
adrenergik.obat-obat ini menyerupai efek NE,tetapi timbulnya lebih lambat dan masa kerjanya
lebih lama.

Banyak obat yang mempunyai efek tidak langsung ini juga mempunyai efek langsung pada
reseptor adrenergik.contoh : efedrin. Efek langsung ini tentu saja tidak bergantung pada NE
endogen.

 Epineprin merupakan obat prototipe adrenergik. Dengan mengerti efek obat adrenergik yang
bekerja direseptor lainnya. Epineprin bekerja pada semua reseptor adrenergik : α 1,α2 β1 dan β

1. Farmakodinamik
Efek yang sangat menonjol adalah efek terhadap jantung, otot polos pembuluh darah, dan otot
polos lain.

1. Kardiovaskular .pembuluh darah. Efek vaskular epi terutama pada atriol kecil dan
sfingterprekapiler,tetapi vena dan arteri besar juga dipengaruhi. Pembuluh darah kulit,mukosa
dan ginjal mengalami kontriksi karena dalam organ-organ tersebut reseptor α dominan.
Pembuluh darah otot rangka mengalami dilatasi oleh epuineprin dosis rendah, akibat aktivasi
reseptor β2 yang mempunyai afinitas lebih besar pada epi dibandingkan dengan reseptor α. Epi
pada dosis tinggi bekerja pada kedua reseptor tersebut. Jika sebelum epi diberikan suatu
penghambat reseptor α , maka pemberian epi hanya menimbulkan vasodilatasi dan penurunan
tekanan darah. Gejala ini disebut ephineprine reversal. Epi dalam dosis yang tidak banyak
mempengaruhi tekanan darah,meningkatkan resistensi pembuluh darah ginjal dan mengurangi
aliran darah ginjal sebanyak 40%. Eksresi Na,K dan Cl bekrurang.voleume urin mungkin
bertambah,berkurang atu tidak berubah.
2. Arteri koroner .Epi meningkatkan aliran darah koroner. Disatu pihak epi cenderung menurunkan
aliran darah koroner karena kompresi akibat peningkatan kontraksi otot jantung, dan karena
vasokontriksi pembuluh darah koroner akibat efek reseptor α.
3. Epi mempercepat depolarisasi 4 fase , yakni depolarisasi lambat sewaktu dioastole; dari nodus
sino-atrial dan sel otomatik lainnya,dengan demikian mempercepat firing rate pacu jantung dan
merangsang pembentukan fokus ektopik dalam ventrikel. Dalam nodus SA epi juga
menyebabkan perpindahan pacu jantung ke sel yang menyebabkan perpindahan pacu jantung
ke sel yang mempunyai firing rate lebih cepat. Epi mempercepat konduksi sepanjang jaringan
konduksi, mulai dari atrium ke nodus atrioventrikular (AV) sepanjanhg berkas His dan serat
purkinje sampai ke ventrikel. Epi juga mengurangi blok yang AV yang terjadi akibat
penyakit,obat atau aktivitas vegal. Selain itu epi memperpendek priode refrakter nodus AV dan
berbagai bagian jantung lainnya. Epi memperkuat kontraksi dan mempercepat relaksasi.
4. Tekanan darah. Pemberian epi secara SK atau secara IV lambat menyebabkan kenaikan tekanan
sistolik yang sedang dan perunanan tekanan darah diastolik. Biasanya efek vasodilatasi epi
mendominasi sirkulasi; kenaikan tekanan sitolik terutama disebabkan oleh peningkatan curah
jantung.
5. Otot polos. Efek epi pada otot polos berbagai organ bergantung pada jenis reseptor adrenergik
pada otot polos yang bersangkutan.
6. Saluran cerna. Efek Epi merelaksasi otot polos saluran cerna
7. Selama kehamilan bulan terakhir dan waktu partus Epi menghambat tonus dan kontraksui
yterus melalui reseptor β2.
8. Kandung kemih. Epi menyebabkan relaksasi otot detrusor melalui reseptor β 2 dan kontriksi ototo
trigon,sfingter dan otot polos prostat melalui reseptor α Yang dapat menimbulkan kesulitan
berkemih dan menyebabkan retensi urin.
9. Epi mempengaruhi pernafasan terutama dengan cara merelaksasi otot bronkus melalui reseptor
β2. Pada asma epi juga menghambat penglepasan mediator inflamasi dari sel-sel mast melalui
reseptor β2.serta mengurangi sekresi bronkus dan kongesti mukosa melalui reseptor α 1.
10. Susunan Saraf Pusat. Menimbulkan kegelisahan,rasa khawatir,nyeri kepala dan tremor;sebagian
karna efeknya pada sistem kardiovaskular,otot rangka dan metabolisme ; yakni sebagian
manifestasi somatik dari ansietas.
11. Proses metabolisme. Epi menstimulasi glikogenolisis disel hati dan ototo rangka melalui reseptor
β2 .Epi juga menyebabkan penghambatan sekresi insulin akibat dominasi aktivasi reseptor α
Yang menghambat terhadap aktivasi reseptor β 2 yang menstumasi sekri insulin.
12. Epi mempercepat jumlah neutrofil yang beredar (melalui reseptor β . Epi mempertcepat
pembekuan darah dan meningkatkan fibrinosisi.
13. Farmakokinetika

Absorpsi .pada pemberian oral epi tidak mencapai dosis terapi karena sebagian besar dirusak
oleh enzim COMT dan MAO yang banyak terdapat pada dinding usus dan hati. Pada
penyuntikan SK,absorpsi lambat karena vasokontriksi lokal.dapat dipercepat dengan memijat
tempat suntikan. Absorpsi yang lebih cepat terjadi dengan penyuntikan IM. Pada pemberian
lokal secara inhalasi ,efeknyta terbatas terutama pada saluran na[as,tetapi efek sistemik dapat
terjadi terutama jika diberikan dosisi yang besar.

Biotranformasi dan eksresi . efineprin stabil dalam darah. Degradasi Epi terutama tejadi dalam
hati yang banyak mengandung enzim COMT dan MAO,tetapi jaringan lain juga dapat merusak
zat ini. Sebagian besar epi mengalami biotranformasi, mula-mula oleh COMT dan MAO,
kemudian teroksidasi, reduksi dan atau konyugasi,menjadi metanefrin, asam 3-metoksi-4-
hidroksimandeleat, 3-metoksi-4hidroksifeniletilenglikol, dan bentuk konyugasi glukuronat dan
sulfat. Metabolit-metabolit ini bersama Epi yang tidak diubah dikeluarkan dalam urin. Pada
orang normal, jumlah Epi yang utuh dalam urin hanya sedikit. Pada pasien feokromositoma, urin
mengandung Epi dan NE utuh dalam jumlah besar bersama metabolitnya.

3. Intosikasi,Efek samping dan kontraindikasi

Pemberian Epi dapat menimbulkan gejala seperti gelisah, nyeri kepala berdenyut, tremor, dan
palpitasi. Gejala-gejala ini mereda dengan cepat setelah istirahat. Pasien hipertiroid dan
hipertensi lebih peka terhadap efek-efek tersebut diatas maupun efek-efek pada sistem
kardiovaskular. Pada pasien psikoneurotik, Epi memperberat gejala-gejalanya.

Dosis Epi yang besar IV cepat yang disengaja dapat menimbulkan pendarahan otak karena
kenaikan tekanan darah yang hebat. Untuk mengatasinya dapat diberikan vasodilator yang
kerjanya cepat. Misalnya nitrat atau natrium nitrofusid.

Epinefrin menimbulkan aritmia ventrikel. Terjadi bila Epi diberikan sewaktu anastesia dengan
hidrokarbon berhalogen, atau pada pasien angina pectoris, Epi mudah menimbulkan serangan
karena obat ini meningkatkan keja jantung sehingga memperberat kekurangan oksigen.

Epinefrin di kontra indikasikan pada pasien yang mendapat β-bloker nonselektif, karena kerjanya
yang tidak terimbangi pada reseptor α, pembuluh darah dapat menyebabkan hipertensi berat dan
pendarahan dalam otak.

 Obat adrenergik golongan Katekolamin ( epinefrin, norepinefrin,isproterenol,dopamin dll.)

1. Norepinefrin merupakan neurotransmiter yang dilepas dan serat pasca ganglion adrenergik.
2. Indikasi

NE mempunyai efek β1 pada jantung sebanding dengan Epi,tetapi hampir tidak memperlihatkan
efek β2. NE pada infus meningakatkan tekanan diastolik, tekanan sistolik,dan biasanya juga
tekanan nadi. Reflek vegal memperlambat denyut jantung,mengatasi efek NE yang
mempercepatnya. Aliran darah koroner meningkat tetapi pada pasien angina prenzimental NE
dapat mengurangi aliran darah koroner.

1. Farmakokinetik

Tidak efektif pada pemberian oral. NE diabsorpsi dengan baik dengan pemberian SK.

1. Efek samping dan kontraindikasi

NE mempunyai efek samping yang serupa dengan Epi,tetapi NE menimbulkan peningkatan


tekanan darah yang lebih tinggi. Efek samping yang paling umum adalah rasa kuatir,sukar
bernafas, denyut jantung yang lambat tetapi kuat, dan nyeri kepala selintas.

Obat ini dikontraindikasikan pada wanita hamil dan uterus.

2. Isoproterenol merupakan amin simpatomimetik yang kerjanya paling kuat ada reseptor β,dan
hampir tidak bekeja pada reseptor α.
3. Indikasi

Infus isoproterenol menurunkan resistensi perifer,terutama pada otot rangka ,tetapi juga pada
ginjal dan mesenterium , sehingga tekanan diastolik menutun. Isoproterenol mencegah
bronkokontriksi. Efek isoproterenol lebih kuat dari Epi dalam menimbulkan efek penglepasan
asam lemak bebas dan efek kalorigenik.

1. Farmakokinetik

Tidak efektif terhadap pemberian oral. Diabsorpsi dengan baik dengan pemberian parenteral atau
sebagai aerosol tetapi tidak dapat dialdalkan pada pemberian oral atau sublingual sehingga tidak
dianjurkan . obat ini merupakan substratt baik untuk COMT tetapi bukan substrat yang baik
untuk MAO, sehingga kerjanya sedikit lebih panjang daripada Epi.

1. Efek samping dan kontraindikasi

Efeksamping umum berupa palpitasi ,takikardi,nyeri kepala dan muka merah. Terkadang terjadi
aritmia,dan serangan angina,terutama pada pasien dengan penyakit arteri koroner. Inhalasi
isopropenol dosis berlebih dapat menimbulkan aritmia ventrikel yang fatal.

3. Dopamin pada kadar rendah dopamin bekerja pada reseptor dopaminergik D 1, pembuuluh
darah, terutama diginjal, mesenterium dan pembuluh darah koroner.
4. Indikasi

Infus dopamin dalam dosis rendah akan meningkatkan aliran darah ginjal. Pada dosiis yang lebih
tinggi dopamin meningkatkan kontraktilitass miokard melalui aktivasi adrenoresepttor β1. Pada
kadar tinggi dopamin menyebabkan vasokontriksi akibat aktivasi reseptor α1.

1. Farmakokinetika
Tidak efektif pada pemberian oral.

1. Efek samping dan kontraindikasi

Dosis berlebih menimbulkan efek adrenergik yang berlebihan. Selama infus dopamin dapat
terjadi mual,muntah,takikardia, nyeri dada, nyeri kepala, hipertensi dan peningkatan tekanan
diastolik.dihindarkan dosis berlebih pada pasien mengonsumsi obat MAO.

 Obat adrenergik nonkatekolamin (amfetamin,efedrin,,dll)

1. Amfetamin
2. Indikasi

Pada manusia dosis 10-30mg dapat berupa peningkatn kewaspadaan,hilangnya rasa ngantuk,dan
berkurangnya rasa lelah perbaikan mood, bertambahnya inisiatif, percaya diri dan daya
konsentrasi, seringkali euforia, dan peningkatan aktivitas motorik dan aktivitas bicara

Amfetamin sering digunakan utuk menunda kelelahan

1. Mekanisme

Mekanisme kerja amfetamin di ssp semuanya hampir semuanya melalui penglepasan amin
biogenik dari ujung saraf yang bersangkutan diotak, peningatan kewaspadaan , efek anoreksik
dan sebagian aktivita lolomotor melalui penglepasan NE. Dosis lebih tinggi penglepasan
dopamin,terutama di neostriatum dan menimbulkan aktivitas lolomotor serta stereotipe. Dosis
lebih tingginlagi melepaska serotonin dan dopamin di mesolimbik.

1. Efeksamping dan kontra indikasi

Efek sentral berupa kegelisahan, pusing,tremor,mudah tersinggug, insomnia,kadang-kadang


euforia. Gejala kardiovaskular berupa nyeri kepala, rasa dingin, palpitasi, aritmia jantung,
serangan angina, hipertensi atau hipotensi dan kolaps kardiovaskular.

2. Efedrin
3. Indikasi

Menyerupai efek Epi,perbedaannya efedrin bukan katekoloid amin maka effektif pada pemberian
oral. Masa kerjanya jauh lebih panjang. Efek kardiovaskular seperti Epi tetapi berlangsung kira-
kira 10x lebih lama.tekanan sitolik dan diastol meningkat dan nadi membesar, tekanan ini
disebabkan oleh vasokontriksi.efek sentral efedrin menyerupai efek amfetamin tetapi lebih
lemah.
1. Mekanisme

Seperti halnya pada Epi , efedrin bekerja pada reseptor α,β1 dan β2. Efek perifer efedrin melalui
kerja langsung dan melalui penglepasan NE endoggen. Kerja tidak langsungnya mendasari
timbulnya takifilasis terhadap efek perifernya.

1. Efek samping dan kontra indikasi

Sama dengan epinefrin,insomnia yang terjadi pada penghambatan kronik mudah diatasi dengan
pemberian sedatif. Perhatian pada penggunaan obat ini sama dengan pada EPI dan amfetamin.

5. OBAT-OBAT ANTIADRENERGIK (ANTAGONIS ADRENERGIK)

 Contoh obat : Guanetidin

Guanetidin adalah prototipe menghamat saraf adrenergik. Guanetidin dan guanadrel memiliki
gugus guanidin yang bersifat basa relatif kuat.

 Mekanisme kerja

Bioavailabilitas oral guanetidin rendah dan bervariasi, antara 3-50%. Obat ini dengan cepat di
angkut ketempat kerjanya dalam saraf, dari sini di eliminasi dengan waktu paruh 5 hari. Sekitar
50% mengalami metabolisme, dan sisanya di ekskresi utuh dalam urin. Karena wktu paruhnya
yang pajang, guanetidindapat diberikan sehari 1 kali, dan keadaan steady state di capai dalam
waktu minimal dua minggu. Guanetidin tersedia dalam bentuk tablet 10mg dan 25mg.

 Indikasi

Penggunaan utama satu-satunya adalah sebagai antihipertensi

 Efek samping

efek samping guanetidin bersifat kumulatif dan masih bertahan berhari-hari setelah pengobatan
di hentikan, yang paling penting adalah hipotensi ortostatik, yang paling menonjol pada waktu
pasien baru bangun tidur, dan dapat diperberat oleh alkohol, hawa panas atau latihan fisik.
Hipotensi dpat disetrai gejala-gelaja iskemia serebral dan iskemia miokard. Tekanan darah waktu
berdiri dan berbaring perlu diprtimbangakan dalam menyesuaikan dosis guanetidin. Perasaan
lemah yang terjadi hanya sebagian di sebabkan oleh hipotensi postural.

Retensi air dan garam dapat menyebabkan edema dan kegagalan tetapi jika diuretik tidak
diberikan bersama. Gagal antung dapat terjadi pada pasien dengan cadangan atau kapasitas
jantung yang terbatas, akibat berkurangnya aktifitas simpatis pada jantung serta adanya
akumulasi cairan.

Krisis hipertensi dapat terjadi akibat sensitisasi oleh guanetidin terhadap simpatomometik
berefek langsung yang terdapat dalam obat filek.

Diare yang terjadi dapat teratasi dengan anti kolinergik, tingtura opil atau preparat kaolin-pektin.
Guanetidin tidak menyebabkan disfungsi ereksi tetepi hambatan ejakulasi sering terjadi.

 Kontraindikasi

Glukoma sudut tertutup, sumbatan saluran kemih dan saluran pencernaan, atoni (tidak adanya
tegangan atau kekuatan otot) . usus , ileus paralitikum, asma miastemia gravis, kolitis ulserativs,
hernia hiatal dan penyakit serius hati atau ginjal .

6. OBAT-OBAT MENGHAMBAT TRANSMISI KOLINERGIK NIKOTINIK

Fisostigmin salisilat, prostigmin bromida, piridostigmin bromida, endrofonium klorida, dan


diiisopropilfluorofosfat.

 Mekanisme

Enzim asetilkolinesterase (AchE) memegang peranan penting dalam penghentian transmisi


kolinergik, maka efek utama antikolinesterase adalah karena penghambat hidrolisis Ach di ujung
saraf kolinergik. Hambatan ini berlangsug beberapa menit sampai beberapa jam untuk
antikolinesterase yang reversibel, sementara penghambatan oleh disofluorofosfat (DFP)
menyebabkan kerusakan enzim sehingga diperlukan sintesis enzim baru untuk kembalinya
transmisi normal. Senyawa organofosfat seperti DFP berikatan dengan AchE membentuk ikatan
enzim diisopropil fosfor. Ikatan enzim ini dihidrolisis sangat lambat bahkan boleh dikatakan
stabil , tetapi kemudian hidrolisis terjadi dan menyisakan AchE yang mengalami fosforilasi
(aging) sehingga tidak aktif lagi. Enzim ini masih dapat diaktifkan kembali oleh pralidoksim
sebelum terjadi aging dengan cara hidrolisis pada ikatan enzim dengan gugus fosforil.

Denervasi saraf kolinergik pascaganglion membuat fisostigmin dan antikolinesterase lain tidak
dapat bekerja , karena ujung saraf ini tidak memproduksi asetilkolin lagi. Hal ini terlihat secara
mengesankan bila ganglion siliar mata dirusak. Pemberian fisostigmin lokal dimata tidak
menyebabkan miosis. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa fisostigmin dan
antikolinesterase lain halnya dapat bekerja pada persyarafan yang utuh. Namun, ini tidak berlaku
untuk prostigmin yang juga memperlihatkan efek langsung terhadap reseptor nikotinik di otot
rangka.

 Indikasi Fisostigmin

Sebgai miotikum , fisostigmin dan DFP secara lokal digunakan dalam oftalmologi untuk
memperkecil pupil, terutama sesudah pemberian atropin pada funduskopi. Dilatasi pupil oleh
atopin berlangsung berhari-hari dan mengganggu penglihatan bila tidak dipulihkan dengan
fisostigmin

 Indikasi prostigmin

Sebagai atonia otot polos, prostigmin berguna untuk keadaan atonia ototo polos saluran cerna
dan kandung kemih yang sering terjadi pada pasca bedah atau pada keracunan menghambat
muskarik

 Efek samping fisostigmin prostigmin

Meliputi ataksia,hilangnya refleks, bingung sukar berbicara, konflusi, koma, pernafasan cheyne-
stokes, dan kelumpuhhan nafas.

 Kontra indikasi.

Tidak dianjurkan untuk pasien riwayat penyait anemia dan asma

 DAFTAR PUSTAKA
 Defartemen Farmakologi dan Terapeutik, Farmakologi dan Terapi,2012, edisi 5, hal 48-62,
Agonis dan Antagonis Muskarinik
 Defartemen Farmakologi dan Terapeutik, Farmakologi dan Terapi,2012, edisi 5, hal 63-84, Obat
Adrenergik
 Defartemen Farmakologi dan Terapeutik, Farmakologi dan Terapi,2012, edisi 5, hal 85-104,
Penghambat Adrenergik
 Dr. Agung Endro,M.Si.,Apt., 2012, Farmakologi Obat-obat Penting dalam Pembelajaran Ilmu
Farmasi dan Dunia Kesehatan, cetakan 1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Anda mungkin juga menyukai