MYASTHENIA GRAVIS
Pembimbing :
Dr. Mintarti, Sp.S
Disusun oleh :
Ryzha Riskyanti (030.11.263)
HALAMAN PENGESAHAN
1
Nama
Ryzha Riskyanti
Universitas
Universitas Trisakti
Fakultas
Fakultas Kedokteran
Tingkat
Diajukan
Oktober 2015
Bagian
Judul
:
:
Myasthenia Gravis
Mengetahui,
KATA PENGANTAR
2
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
bimbingan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan referat yang
berjudul Myasthenia Gravis dengan baik dan tepat waktu.
Dalam penulisan referat ini, penulis mendapatkan banyak bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini, penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada :
a. dr. Dyah, Sp. S, selaku SMF Ilmu penyakit Saraf Rumah Sakit Umum Daerah Kota
Semarang dan selaku Pembimbing Kepaniteraan Klinik di Rumah Sakit Umum
Daerah Kota Semarang.
b. dr. Mintarti., Sp. S, selaku Pembimbing Kepaniteraan Klinik di Rumah Sakit Umum
Daerah Kota Semarang.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat pada
referat ini. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran agar dapat
menyempurnakan referat ini.
Semoga
referat
ini
bermanfaat
baik
dalam
masyarakat
maupun
Semarang, Oktober
2015
Penulis
DAFTAR ISI
3
HALAMAN PENGESAHAN i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI .. iii
BAB I. PENDAHULUAN. 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2
1. Definisi .2
2. Epidemiologi 2
3. Etiologi .2
4. Patofisiologi .....4
5. Diagnosis ..6
6. Diagnosis Banding ..11
7. Tatalaksana .12
8. Komplikasi .16
9. Pencegahan .18
10.Prognosis 18
BAB III. PENUTUP...20
DAFTAR PUSTAKA.21
PENDAHULUAN
Myastenia gravis adalah penyakit autoimun kronis dari transmisi neuromuskular yang
menghasilkan kelemahan otot. Myastenia gravis dapat menyerang otot apa saja, tetapi yang
paling umum terserang adalah otot yang mengontrol gerakan mata, kelopak mata,
mengunyah, menelan, batuk, dan ekspresi wajah, bahu, pinggul, leher, otot yang mengontrol
gerakan badan serta otot yang membantu pernapasan juga dapat terserang.1
Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa myastenia gravis ditemukan kelainan pada
neuromuscular junction akibat defisiensi dari acetylcholine reseptor (AchR), Dimana bila
penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali.2
Kemudian terdapat perkembangan dalam pengertian tentang struktur dan fungsi dari AchR
serta interaksinya dengan antibodi AchR, telah dianalisis dengan sangat hati-hati, dan
mekanisme dimana antibodi AchR mempengaruhi transmisi neuromuskular .ini diakibatkan
adanya hubungan antara konsentrasi,spesifisitas, dan fungsi dari antibodi terhadap
manifestasi klinik pada miastenia gravis.
Menurut James F.Howard, Jr, M.D,kelaziman dari myastenia gravis di amerika serikat
diperkirakan 14/100.000 populasi, kira kira 36.000 kasus.Biasanya penyakit ini lebih sering
tampak pada umur diatas 50 tahun.Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan
pria dan dapat terjadi pada berbagai usia. Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang
lebih muda, yaitu sekitar 28tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia
60 tahun.3
Prosedur diagnostik dimulai dari anamnesis serta dilanjutkn dengan tes klinis sederhana
untuk menilai berkurangnya kekuatan otot setelah aktivitas ringan tertentu, Kemudian
ditegakkan dengan pemeriksaan farmakologik yaitu tes edrophonium atau dengan tes
neostogmin. Rontgent foto thorax sebaiknya dibuat seawal mungkin untuk mendeteksi
adanya kelenjar timus.
2.1 Definisi
Miastenia gravis merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan kelemahan abnormal
dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan terus- menerus dan disertai dengan
kelelahan saat beraktivitas. Pada miastenia gravis terjadi kelainan pada neuromuscular
junction dimana penderita akan kembali pulih setelah beristirahat.1,2
2.2 Epidemiologi
Miastenia grais dapat dikatakan sebagai penyakit yang jarang ditemukan. Umumnya
menyerang wanita dewasa muda dan pria tua.Penyakit ini bukan merupakan penyakit
turunan ataupun penyakit yang menular.
Menurut James F.Howard, Jr, M.D,kelaziman dari myastenia gravis di amerika serikat
diperkirakan 14/100.000 populasi, kira kira 36.000 kasus.Biasanya penyakit ini lebih sering
tampak pada umur diatas 50 tahun.Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan
pria dan dapat terjadi pada berbagai usia. Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang
lebih muda, yaitu sekitar 28tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia
60 tahun.3
Pada miastenia gravis bayi, janin mungkin memperoleh pritein imun (antibodi) dari ibu yang
menderita miastenia gravis. Umumnya kasus-kasus miastenia gravis pada bayi akan milang
dalam beberapa minggu setelah kelahiran.
2.3 Anatomi dan Fisiologi Neuro Muscular Junction
Di bagian terminal dari saraf motorik terdapat sebuah pembesaran yang biasa disebut
bouton terminale atau terminal bulb. Terminal Bulb ini memiliki membran yang disebut juga
membran pre-synaptic, struktu ini bersama dengan membran post-synpatic (pada sel
otot) dan celah synaptic (celah antara 2 membran)membentuk Neuro Muscular
Junction.
Membran Pre-Synaptic mengandung asetilkolin (ACh) yang disimpan dalam bentuk
vesikel-vesikel. Jika terjadi potensial aksi, maka Ca+ Voltage Gated Channel akan teraktivasi.
Terbukanya channel ini akan mengakibatkan terjadinya influx Calcium. Influx ini akan
mengaktifkan vesikel-vesikel tersebut untuk bergerak ke tepi membran. Vesikel ini akan
mengalami docking pada tepi membran. Karena proses docking ini, maka asetilkolin yang
terkandung di dalam vesikel tersebut akan dilepaskan ke dalam celah synaptic.
ACh yang dilepaskan tadi, akan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChR) yang
terdapat pada membran post-synaptic. AChR ini terdapat pada lekukan-lekukan pada
membran post-synaptic. AChR terdiri dari 5 subunit protein, yaitu 2 alpha, dan masingmasing satu beta, gamma, dan delta. Subunit-subunit ini tersusun membentuk lingkaran yang
siap untuk mengikat ACh.
Ikatan antara ACh dan AChR akan mengakibatkan terbukanya gerbang Natrium pada
sel otot, yang segera setelahnya akan mengakibatkan influx Na+. Influx Na+ ini akan
mengakibatkan terjadinya depolarisasi pada membran post-synaptic. Jika depolarisasi ini
mencapai nilai ambang tertentu (firing level), maka akan terjadi potensial aksi pada sel otot
tersebut. Potensial aksi ini akan dipropagasikan (dirambatkan) ke segala arah sesuai dengan
karakteristik sel eksitabel, dan akhirnya akan mengakibatkan kontraksi.
ACh yang masih tertempel pada AChR kemudian akan dihidrolisis oleh enzim
Asetilkolinesterase (AChE) yang terdapat dalam jumlah yang cukup banyak pada celah
synaptic. ACh akan dipecah menjadi Kolin dan Asam Laktat. Kolin kemudian akan kembali
masuk ke dalam membran pre-synaptic untuk membentuk ACh lagi. Proses hidrolisis ini
dilakukan untuk dapat mencegah terjadinya potensial aksi terus menerus yang akan
mengakibatkan kontraksi terus menerus.4,5
2.4 Patofisiologi
Dalam kasus Myasthenia Gravis terjadi penurunan jumlah Acetyl Choline
Receptor(AChR). Kondisi ini mengakibakan Acetyl Choline(ACh) yang tetap dilepaskan
dalam jumlah normal tidak dapat mengantarkan potensial aksi menuju membran postsynaptic. Kekurangan reseptor dan kehadiran ACh yang tetap pada jumlah normal akan
mengakibatkan penurunan jumlah serabut saraf yang diaktifkan oleh impuls tertentu.
Pengurangan jumlah AChR ini dipercaya disebabkan karena proses auto-immun di
dalam tubuh yang memproduksi anti-AChR bodies, yang dapat memblok AChR dan merusak
membran post-synaptic. Menurut Shah pada tahun 2006, anti-AChR bodies ditemukan pada
80%-90% pasien Myasthenia Gravis. Percobaan lainnya, yaitu penyuntikan mencit dengan
Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang berfluktuasi pada otot
rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang beraktivitas. Penderita akan merasa
ototnya sangat lemah pada siang hari dan kelemahan ini akan berkurang apabila penderita
beristirahat.6 Gejala klinis miastenia gravis antara lain :
Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis. Ptosis yang merupakan salah satu
gejala kelumpuhan nervus okulomotorius, sering menjadi keluhan utama penderita
miastenia gravis. Walupun pada miastenia gravis otot levator palpebra jelas lumpuh,
namun ada kalanya otot-otot okular masih bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut
kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis 7.
Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan kelemahan pada fleksi dan
ekstensi kepala.8
Klas I : Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata, dan
kekuatan otot-otot lain normal.
Klas II :Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan
ringan pada otot-otot lain selain otot okular.
Klas IIa : Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga
terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan.
Klas III : Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot
lain selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang.
Klas IIIa : Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya
secara predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan.
Klas IV : Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat
yang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat.
Klas IVa: Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otototot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan.
10
aksial,
atau
keduanya
dengan
derajat
ringan.
Penderita
Klas V : Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik. Biasanya gejalagejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan tampak pada waktu
pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejala-gejala itu akan tampak
lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya agak menurun.9,11
2.7 Diagnosis
Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang menyebabkan suara
penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice) serta regurgitasi makanan
terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu, penderita miastenia gravis akan
mengalami kesulitan dalam mengunyah serta menelan makanan, sehingga dapat terjadi
aspirasi cairan yang menyebabkan penderita batuk dan tersedak saat minum. Kelemahan
otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan miastenia gravis.Ditandai dengan
kelemahan otot-otot rahang pada miastenia gravis yang menyebakan penderita sulit untuk
menutup mulutnya, sehingga dagu penderita harus terus ditopang dengan tangan. Otot-otot
leher juga mengalami kelemahan, sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi
dari leher. Otot-otot anggota tubuh atas lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan
otot-otot anggota tubuh bawah.Musculus deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot
pergelangan tangan serta jari-jari tangan sering kali mengalami kelemahan.Otot trisep lebih
sering terpengaruh dibandingkan otot bisep.12,13
Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan melakukan dorsofleksi jari-jari kaki
dibandingkan dengan melakukan plantarfleksi jari-jari kaki dan saat melakukan fleksi
panggul. Hal yang paling membahayakan adalah kelemahan otot-otot pernapasan yang dapat
11
menyebabkan gagal napas akut, dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan
tindakan intubasi cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot faring dapat menyebabkan
kolapsnya saluran napas atas dan kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapat
menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya hipoventilasi.
Sehinggga pengawasan yang ketat terhadap fungsi respirasi pada pasien miastenia gravis
fase akut sangat diperlukan. Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot
ekstraokular, dan tidak hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus
kranialis.Serta biasanya kelemahan otot- otot ekstraokular terjadi secara asimetris. 14 Hal ini
merupakan tanda yang sangat penting untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan
pada muskulus rektus lateralis dan medialis akan menyebabkan terjadinya suatu
pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang ditandai dengan terbatasnya kemampuan adduksi
salah satu mata yang disertai nistagmus pada mata yang melakukan abduksi Untuk penegakan
diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan dengan cara penderita ditugaskan
untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama kelamaan akan terdengar bahwa suaranya
bertambah lemah dan menjadi kurang terang. Penderita menjadi anartris dan afonis. Setelah
itu, penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus dan lama
kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau atau tampak ada ptosis,
maka penderita disuruh beristirahat.. Kemudian tampak bahwa suaranya akan kembali baik
dan ptosis juga tidak tampak lagi. Untuk memastikan diagnosis miastenia gravis, dapat
dilakukan beberapa tes antara lain:
1. Tes Tensilon
Enzim acetylcholinesterase memecah acetylcholine setelah otot distimulasi, mencegah
terjadinya perpanjangan respon otot terhadap suatu rangsangan saraf tunggal.
Edrophonium
adalah
obat
yang
menghalangi
pemecahan
asetilkolin
dan
lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas epsilon ini sangat
singkat. Pada kasus MG, kelemahan otot akan membaik dalam 1 menit. Pemeriksaan
tensilon paling efektif jika terdapat kelemahan yang mudah terlihat, dan kurang
berguna pada keluhan yang samar atau berfluktuasi. Efek samping dari tes ini adalah
ritme jantung abnormal sementara.
2. Tes prostigmin
Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1.5 mg prostigmin methylsulfat secara
intramuskular ( bila perlu, diberikan pula atropin atau mg). Bila kelemahan itu
benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala gejala seperti misalnya ptosis,
strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.
3. Uji kinin
Diberikan 3 tablet kina masing masing 200mg. 3 jam kemudian diberikan 3 tablet
lagi ( masing masing 200mg per tablet). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh
miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus dan lain lain akan bertambah
berat. Untuk uji ini sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala gejala
miastenia gravis tidak bertambah berat.
Test laboratorium
1. Anti asetilkolin reseptor antibodi
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia
gravis, dimana terdapt hasil yang positif pada 74% pasien, 80% dari penderita
miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita miastenia gravis okular murni
menunjukkan hasil tes antiasetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada pasien
timoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positif anti AchR antibody.
Rata- rata titer antibody pada pemeriksaan anti asetilkolin reseptor antibody, yang
dilakukan oleh tidall 9
Osserman Class
Remission
I (ocular only)
IIA (mild generalisasi)
IIB (moderate generalized)
III (acute severe)
IV (chronic severe)
Percent positive
24
55
80
100
100
89
13
Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga
pada RNS terdapat adanya penurunan suatu potensial aksi.
2.8 Diagnosis Banding
beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosis miastenia gravi, antara lain:
1 Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi n.III pada beberapa
2
3
Tata laksana
Pada pasien dengan Miastenia gravis harus belajar dalam batasan yang ditetapkan oleh
penyakit yang mereka derita ini. Mereka memerlukan tidur selam 10 jam agar dapat bangun
dalam keadaan segar, dan perlu menyelingi kerja dengan istirahat. Selain itu mereka juga
harus menghindari factor-faktor pencetus dan harus minum obat tepat pada waktunya. (Silvia
A. Price, Lorain M. Wilson. 1995.)
15
Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang pasti, tetapi
Miastenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati. Antikolinesterase
(asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi merupakan penatalaksanaan utama
pada miastenia gravis. Antikolinesterase biasanya digunakan pada miastenia gravis yang
ringan. Sedangkan pada pasien dengn miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi
imunomudulasi yang rutin.15
Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombinasikan dengan pemberian
antibiotik dan penunjang ventilasi, mampu menghambat terjadinya mortalitas dan
menurunkan morbiditas pada penderita miastenia gravis. Pengobatan ini dapat digolongkan
menjadi terapi yang dapat memulihkan kekuatan otot secara cepat dan terbukti memiliki
onset lebih lambat tetapi memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya
kekambuhan. (Endang Thamrin dan P. Nara, 1986)
Secara garis besar, pengobatan Miastenia gravis berdasarkan 3 prinsip, yaitu :
1. Mempengaruhi transmisi neuromuskuler:
a. Istirahat
Dengan istirahat, banyaknya ACh dengan rangsangan saraf akan bertambah sehingga
serat-serat otot yang kekurangan AChR di bawah ambang rangsang dapat
berkontraksi.
b. Memblokir pemecahan Ach
Dengan anti kolinesterase, seperti prostigmin, piridostigmin, edroponium atau
ambenonium diberikan sesuai toleransi penderita, biasanya dimulai dosis kecil sampai
dicapai dosis optimal. Pada bayi dapat dimulai dengan dosis 10 mg piridostigmin per
os dan pada anak besar 30 mg , kelebihan dosis dapat menyebabkan krisis kolinergik.
2. Mempengaruhi proses imunologik
a. Timektomi
Tujuan neurologi utama dari Thymectomi ini adalah tercapainya perbaikan signifikan
dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi pasien, serta
idealnya adalah kesembuhan yang permanen dari pasien. Timektomi dianjurkan pada
MG tanpa timoma yang telah berlangsung 3-5 tahun. Dengan timektomi, setelah 3
16
tahun 25% penderita akan mengalami remisi klinik dan 40-50% mengalami
perbaikan.16,17
b. Kortikosteroid
Diberikan prednison dosis tunggal atau alternating untuk mencegah efek samping.
Dimulai dengan dosis kecil, dinaikkan perlahan-lahan sampai dicapai dosis yang
diinginkan. Kerja kortikosteroid untuk mencegah kerusakan jaringan oleh pengaruh
imunologik atau bekerja langsung pada transmisi neromuskuler.
c. Imunosupresif
Yaitu dengan menggunakan Azathioprine, Cyclosporine, Cyclophosphamide (CPM).
Namun biasanya digunakan azathioprin (imuran) dengan dosis 2 mg/kg BB.
Azathioprine merupakan obat yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh
tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan
dengan obat imunosupresif lainnya. Perbaikan lambat sesudah 3-12bulan. Kombinasi
azathioprine dan kortikosteroid lebih efektif yang dianjurkan terutama pada kasuskasus berat.
d. Plasma exchange
Berguna untuk mengurangi kadar anti-AChR; bila kadar dapat diturunkan sampai
50% akan terjadi perbaikan klinik.19
3. Penyesuaian penderita terhadap kelemahan otot
Tujuannya agar penderita dapat menyesuaikan kelemahan otot dengan:
a. Memberikan penjelasan mengenai penyakitnya untuk mencegah problem psikis.
b. Alat bantuan non medikamentosa
Pada Miastenia gravis dengan ptosis diberikan kaca mata khusus yang dilengkapi dengan
pengkait kelopak mata. Bila otot-otot leher yang kena, diberikan penegak leher.20 Juga
dianjurkan untuk menghindari panas matahari, mandi sauna, makanan yang merangsang,
menekan emosi dan jangan minum obat-obatan yang mengganggu transmisi neuromuskuler
seperti B-blocker, derivat kinine, phenintoin, benzodiazepin, antibiotika seperti
aminoglikosida, tetrasiklin dan d-penisilamin.
17
III. KESIMPULAN
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan
abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan
disertai dengan kelelahan saat beraktivitas.Walaupun terdapat banyak penelitian tentang
18
terapi miastenia gravis yang berbeda-beda, tetapi tidak dapat diragukan bahwa terapi
imunomodulasi dan imunosupresif dapat memberikan prognosis yang baik pada penyakit
ini. Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai subklas
yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area imunogenik utama pada
subunit alfa.Subunit alfa juga merupakan binding site dari asetilkolin. Ikatan antibodi
reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi
neuromuscular. Miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan pada
otot wajah. Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya ptosis dan
senyum yang horizontal.
DAFTAR PUSTAKA
19
19. Ropper AH, Brown RH. 2005. Adams and Victors Principles of Neurolgy 8th edition
. USA : McGraw- Hill. Page 185.
20. PERDOSSI. Buku acuan: Modul Gangguan Saraf tepi, saraf otonom dan gangguan
paut saraf-otot. Jakarta: Kolegium Neurologi Indonesia; 2009.
21