Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

FARMAKOLOGI OBAT PELUMPUH OTOT

Oleh :

Puji Rahma Utari

1610070100053

Reza Afriyan Indra

1610070100145

Preseptor :

dr. Ade Ariadi, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

BAGIAN ANESTESI RSUD M. NATSIR SOLOK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BAITURRAHMAH

PADANG

2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini
yang berjudul “Manajemen jalan nafas, Persiapan intubasi, Intubasi dan Komplikasi
intubasi”. Makalah ini dibuat untuk memenuhi syarat kepaniteraan klinik senior di
bagian anestesi Rumah Sakit Umum Daerah Mohammad Natsir Solok.

Ucapan terimakasih penulis kepada dr. Ade Ariadi, Sp.An selaku pembimbing
dalam penyusunan makalah ini dengan memberikan bimbingan dan nasehat sehingga
penulis dapat menyelesaian makalah ini. Serta mengucapkan terimakasih kepada
teman-teman dan semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah
ini. Dengan menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat
dalam penulisan makalah ini, kritik dan saran sangat diharapkan untuk perbaikan
penulisan makalah selanjutnya.

Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.

Solok, 22 September 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman judul ................................................................................................................. i


Kata Pengantar ................................................................................................................ ii
Daftar Isi ......................................................................................................................... iii
Daftar tabel ...................................................................................................................... iv
Daftar gambar ................................................................................................................. v
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 3
2.1 Transmisi Neuromuskular ......................................................................................... 3
2.2 Klasifikasi Obat Pelemas Otot .................................................................................. 5
2.3 Struktur Kimia .......................................................................................................... 5
2.4 Mekanisme Kerja ...................................................................................................... 6
2.4.1 Mekanisme Kerja Obat Pelemas Otot Depolarisasi .......................................... 7
2.4.2 Mekanisme Kerja Obat Pelemas Otot Non-Depolarisasi .................................. 7
2.5 farmakodinamik Obat Pelemas Otot ..........................................................................8
2.6 Farmakokinetik Obat Pelemas Otot .......................................................................... 9
2.7 Pelemas Otot Depolarisasi ........................................................................................ 10
2.7.1 Farmakokinetik dan Farmakodinamik .............................................................. 10
2.7.2 Dosis ................................................................................................................. 11
2.7.3 Efek Samping .................................................................................................... 11
2.8 Pelemas Otot Non-Depolarisasi ................................................................................ 14
2.8.1 Karakteristik Farmakologi Umum .................................................................... 15
2.8.2 Jenis Obat Pelemas Otot Non-Depolarisasi ...................................................... 16
2.8.2.1 Atracurium .................................................................................................. 16
2.8.2.2 Cisartacurium .............................................................................................. 18
2.8.2.3 Pancuronium ............................................................................................... 18
2.8.2.4 Vecuronium ................................................................................................. 20
2.8.2.5 Rucoronium ................................................................................................. 21
2.9 Pembalikan Blokade Saraf-Otot ............................................................................... 23
2.9.1 Pembalikan Pelemas Otot Depolarisasi ............................................................ 23
2.9.2 Pembalikan Pelemas Otot Non-Depolarisasi .................................................... 23
BAB III PENUTUP ........................................................................................................ 24
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 25

iii
DAFTAR TABEL

1. Tabel 1. Klasifikasi Obat-Obat Pelumas Otot ............................................................5


2. Tabel 2. Perbandingan antara pelemas otot non depolarisasi yang
khas (rokuronium) dan pelemas otot depolarisasi (suksinilkolin) ................8
3. Tabel 3. Sifat Obat Penyekat Neuromuscular ............................................................22
4. Tabel 4. Efek Obat Penyekat Neuromuscular Pada Jaringan Lain .............................22

iv
DAFTAR GAMBAR

1. Gambar 1. Neuromuskular junction .................................................................... 4


2. Gambar 2. Interaksi Otot Dengan Reseptor Asetilkolin di Kanal Lempeng ...... 6

v
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penggunaan obat-obatan pelemas otot diawali oleh Harold Griffith yang

mempublikasikan hasil dari ekstrak kurare (racun panah Amerika Selatan) yaitu d-

tubocurarine selama anesthesia. Setalah itu penggunaan pelemas otot terus

berkembang. Penggunaan obat pelemah otot tidak menyebabkan anesthesia dengan

kata lain pelemas otot tidak membuat tidak sadar, amnesia atau analgesia. Namun

penggunaan obat pelemas otot dapat membantu proses pembiusan dengan

memudahkan dan mengurangi cedera dari tindakan laringoskopi dan intubasi trakea

serta memberikan relaksasi otot yang dibutuhkan dalam pembedahan dan ventilasi

kendali.1 Adanya pelemas otot menyebabkan anestesi tidak perlu dalam, hanya

sekedar pasien tidak sadar, analgesik dapat diberikan dosis tinggi, dan pemberian

obat pelemas otot dapat memberikan efek relaksasi pada otot lurik. Ketiga kombinasi

ini dikenal dengan istilah trias anestesi. Obat pelemas otot merupakan obat yang di

gunakan untuk melemaskan otot.1

Obat yang mempengaruhi fungsi otot skeletal dibedakan menjadi dua kelompok

berdasarkan fungsi terapeutiknya. Pertama obat yang digunakan selama prosedur

pembedahan dan ruang perawatan intesif untuk menimbulkan paralisis otot yang

sering disebut dengan penyekat neuromuskular. Kedua adalah obat yang digunakan

untuk mengurangi spastisitas pada keadaan kelainan neurologis, yang disebut dengan

spasmolitik.1,2 Obat penyekat neuromuskular bekerja di transmisi pada lempeng

1
neuromuskular dan tidak memiliki aktivitas pada sistem saraf pusat. Obat penyekat

neuromuscular digunakan sebagai salah satu obat yang dapat menunjang anastesi

umum yaitu untuk memudahkan intubasi trakea dan mengoptimalkan kondisi

pembedahan. Obat spasmolitik bekerja di susunan saraf pusat.2

1.2. Tujuan Penulisan


1. Mengetahui dan menambah wawasan mengenai farmakologi obat pelumpuh
otot
2. Melengkapi syarat kepaniteraan klinik senior di bagian anestesi RSUD M.
Natsir Solok tahun 2020.

1.3. Manfaat Penulisan


1. Sebagai informasi dan menambah wawasan bagi masyarakat mengenai
farmakologi obat pelumpuh otot
2. Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda untuk menjalankan
kepaniteraan klinik senior terutama di SMF Anestesi RSUD M. Natsir Solok.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Transmisi Neuromuscular

Hubungan antara saraf motorik dan sel otot terjadi di neuromuskular junction

melalui transmisi neuromuscular. Neuromuscular junction terdiri dari saraf terminal

distal, celah sinaps, dan kanal lempeng serta reseptor yang merupakan tempat kerja

dari obat-obatan. Celah sinaps merupakan celah sempit antara membran sel neuron

dan serabut otot.2

Transmisi neuromuskular terjadi akibat adanya implus listrik di ujung saraf

motorik yang menyebabkan terjadi influks kalsium dan pelepasan asetilkolin. Saraf

mensitesis asetilkolin dan menyimpannya dalam bentuk vesikel. Adanya stimulasi

pada saraf menyebabkan vesikel ini berdifusi ke membran terminal, lalu pecah

melepaskan asetikolin ke celah sinaps. Molekul asetikolin berdifusi di sepanjang

celah sinaps untuk berikatan dengan reseptor kolinergik nikotinik pada kanal

lempeng. Reseptor asetilkolin di kanal lempeng berespon dengan membuka kanal

untuk influk natrium. Hal ini menyebabkan depolarosasi otot. Potensial lempeng yang

terbentuk terus berlangsung sehingga membran otot mulai berkontraksi.3

Reseptor tautan neuromuskular terdiri dari 5 peptida yaitu 2 peptida alfa, 1

beta, 1 gamma, dan 1 peptida delta. Hanya jenis reseptor peptide alfa yang dapat

berikatan dengan asetilkolin. Jika kedua reseptor tersebut berikatan dengan

asetilkolin, akan terjadi perubahan konformasi yang menyebabkan terbukanya kanal

3
ion di bagian tengah reseptor. Hal ini menyebabkan pembukaan kanal yang

menimbulkan potensial pada kanal lempeng.

Besarnya potensial kanal lempeng berkaitan secara langsung dengan jumlah

asetilkolin yang dilepaskan. Jika potensialnya kecil permeabilitas maka potensial

kanal lempeng kembali normal tanpa penyampaian impuls dari ujung lempeng motor

ke seluruh membran sel serabut otot. Jika potensial besar, membran sel otot yang

berdekatan akan ikut terpolarisasi, dan potensial aksi akan diteruskan ke seluruh

serabut otot.2,3

Asetilkolin dengan cepat dihidrolisis menjadi asetat dan kolin oleh enzim

asetilkolinesterase. Enzim kolinesterase spesiſik atau kolinesterase asli ditemukan

dalam kanal lempeng membran sel motorik yang berdekatan dengan reseptor

asetilkolin. Setelah dihidrolisis, terjadi penutupan kanal ion menimbulkan

repolarisasi. Ketika pembentukan potensial aksi terhenti, kanal natrium pada

membran sel otot juga menutup. Kalsium kembali masuk ke retikulum sarkoplasma

dan sel otot akan berelaksasi.2,3

4
Gambar 1. Neuromuskular junction

2.2 Klasifikasi Obat-Obat Pelemas Otot

Berdasarkan mekanisme kerja, respon terhadap stimulasi saraf perifer, dan

pengembalian blok, obat-obat ini dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu pelemas

otot depolarisasi dan non-depolarisasi.4

Tabel 1. Klasifikasi Obat-Obat Pelumas Otot


Depolarisasi Non Depolarisasi
Short-acting Short-acting
succinylcholin Mivacurium
Intermediate-acting
Atracurium
Cisatracurium
Rocuronium
Long-acting
Dexacurium
Pancuronium
Pipecuronium

2.3 Struktur Kimia

5
Obat pelemas otot memiliki kemiripan struktur dengan asetilkolini. Sebagai

contoh, suksinilkolin yang merupakan obat depolarisasi adalah dua molekul

asetilkolin yang berikatan pada kedua ujungnya. Sebaliknya, obat-obat

nondepolarisasi (missal pancuronium) mempunyai struktur ganda asetilkolin dalam

satu dari dua tipe system cincin besar dan semi-kaku. Ciri kimiawi lain yang dimiliki

oleh semua pelemas otot adalah keberadaan satu atau dua atom amonium kuartener

yang memberi muatan positif pada nitrogen untuk berikatan pada reseptor nikotinik

membuat obat-obat ini sulit larut dalam lemak dan menghambat entrinya ke sistem

saraf pusat.2

2.4 Mekanisme Kerja

Perbedaan mekanisme kerja pelemas otot depolarisasi dan non depolarisasi di

reseptor kanal lempeng terlihat pada gambar 2. Gambar diatas menunjukkan kerja

agonis normal, asetilkolin dalam membuka kanal. Gambar bawah kiri menunjukkan

penyekat nondepolarisasi mencegah pembukaan kanal ketika berikatan dengan

rescplor. Gambar bawah kanan menunjukkan penyekat depolarisasi bekerja dengan

menempati reseptor serta menyekat kanal. Penutupan normal gerbang kanal dicegah

dan penyekat tersebut dapat bergerak keluar masuk lubang dengan cepat. Penyekat

depolarisasi dapat mendesensitisasi lempeng dengan cara menempati reseptor dan

menyebabkan depolarisasi persisten.4

6
Gambar 2. Interaksi obat dengan reseptor asetilkolin di kanal lempeng

2.4.1 Mekanisme Kerja Pelemas Otot Depolarisasi

Pelemas otot depolarisasi menyerupai asetilkolin yang menyebabkan potensial

aksi dari otot. Berbeda dengan asetilkolin, obat ini tidak dimetabolisme oleh

asetilkolinesterase, konsentrasinya pun tidak cepat hilang dalam celah sinaps

sehingga menyebabkan pemanjangan depolarisasi pada kanal lempeng. Depolarisasi

kanal lempeng yang terus menerus menyebabkan relaksasi otot karena terbukanya

gerbang di kanal natrium pratautan sehingga tidak responsive terhadap stimulus

selanjutnya. Setelah eksitasi awal dan membuka gerbang, kanal sodium menutup dan

tidak bias dibuka lagi sampai repolarisasi kanal lempeng.

Kanal lempeng tidak dapat repolarisasi selama pelemas otot depolarisasi

mengikat reseptor asetilkolin, disebut blok fase 1. Setelah beberapa waktu dapat

menyebabkan perubahan ionik di reseptor asetilkolin, disebut blok fase 2, secara

7
klinis mirip dengan pelemas otot nondepolarisasi. Berdasarkan mekanisme tersebut,

dapat dikatakan pelemas otot depolarisasi bekerja sebagai reseptor agonis.5

2.4.2 Mekanisme Kerja Pelemas Otot Non-Depolarisasi

Pelemas otot non-depolarisasi bekerja sebagai kompetitif antagonis. Jika

pelemas otot non depolarasai diberikan dalam dosis kecil, obat ini dapat

menimbulkan blockade motorik yang lebih kuat. Kerja ini selanjutnya akan

melemahkan transmisi neuromuscular dan menghilangkan kemampuan penghambat

asetilkolinesterase untuk melawan efek pelemas otot non depolarisasi. Pelemas non

depolarisasi juga dapat menyekat kanal natrium pratautan. Akibatnya pelemas otot

akan menggangu mobilisasi asetilkolin pada ujung saraf. Blokade pascasinaptik yang

dihasilkan pelemas otot non depolariasasi dapat diatasi dengan mudah. Hal ini terlihat

dari adanya kedua otot atau twitch pascatetani yang singkat setelah dilakuakn

stimulasi tetanik, melalui pelepasan asetilkolin dalam jumlah besar. Konsekuensi

klinis dari prinsip yang serupa adalah pemulihan blockade residual oleh penghambat

kolinesterase.5

Tabel 2. Perbandingan antara pelemas otot non depolarisasi yang khas

(rokuronium) dan pelemas otot depolarisasi (suksinilkolin)

Suksinilkolin
Rokuronium Fase I Fase II
Pemberian Tambahan Antagonistik Memperkuat

Tubokurarin
Pemberian Antagonistik Tambahan Memperkuat

Suksinilkolin
Efek Neostogmin Antagonistik Memperkuat Antagonistik
Efek awal eksitasi Tidak ada Fasikulasi Tidak ada

8
pada otot rangka
Respon rangsangan Tidak terus- Tidak terus- Tidak terus-

tetanik menerus menerus (tidak menerus

(menghilang) menghilang) (menghilang)


Fasilitasi Ya Tidak Ya

pascatetanik
Laju Pemulihan 30-60 menit 4-8 menit >20 menit

2.5 Farmakodinamik Obat Pelemas Otot

Farmakodinamik obat-obat pelemas otot ditentukan dengan mengukur kecepatan

onset dan durasi blokade saraf-otot. Potensi setiap obat dapat ditentukan dengan

mengonstruksi kurva dosis-respons yang mendeskripsikan hubungan antara depresi

kedutan dan dosis. Dosis efektif 50 (ED50) adalah dosis median setara 50% depresi

kedutan yang telah dicapai. Nilai yang lebih relevan secara klinis dan lebih sering

dipakai adalah ED95 setara blok 95%. Sebagai contoh, ED 95 Vecuronium adalah 0,05

mg/kgBB yang berarti setengah dari pasien akan mencapai minimal 95% blok

kedutan tunggal (dibandingkan dengan sebelum pemberian vecuronium) dengan dosis

tersebut, dan setengah dari pasien akan mencapai kurang dari 95% blok.5

2.6 Farmakokinetik Obat Pelemas Otot

Semua obat pelemas otot-saraf bersifat sangat polar dan tidak aktif jika diberikan

per oral, oleh karena itu harus diberikan parenteral. Obat pelemas otot adalah

kelompok amonium kuartener yang merupakan senyawa larut dalam air yang mudah

terionisasi pada pH fisiologis, dan memiliki kelarutan yang terbatas dalam lipid.

Volume distribusi obat-obat ini terbatas dan sama dengan volume cairan ekstraseluler

9
(kira-kira 200 mL/kg). Sebagai tambahan, obat pelemas otot tidak dapat dengan

mudah melewati sawar membran lipid seperti sawar darah otak, epitel tubulus renal,

epitel gastrointestinal, atau plasenta. Oleh karena itu, obat pelemas otot tidak dapat

mempengaruhi sistem saraf pusat, reabsorpsinya di tubulus renal minimal, absorpsi

oral yang tidak efektif dan pemberian pada ibu hamil yang tidak mempengaruhi

fetus.6,7

Redistribusi obat pelemas otot nondepolarisasi juga memainkan peran dalam

farmakokinetik obat-obat ini. Farmakokinetik obat pelemas otot non depolarisasi

dihitung setelah pemberian cepat intravena. Rerata obat pelemas otot yang hilang dari

plasma ditandai dengan penurunan inisial cepat (distribusi ke jaringan) diikuti

penurunan yang lebih lambat (klirens). Meskipun terdapat perubahan distribusi dalam

aliran darah, anestesi inhalasi memiliki sedikit eſek atau tidak sama sekali pada

farmakokinetik obat pelemas otot. Waktu paruh eliminasi obat pelemas otot tidak

dapat dihubungkan dengan durasi kerja obat-obat ini saat diberikan sebagai injeksi

cepat intravena.6,7

2.7 Pelemas Otot Depolarisasi

Satu-satunya obat pelemas otot depolarisasi yang dipakai adalah

suksinilkolin.Merupakan satu-satunya obat yang digunakan untuk sekarang ini.

Disebut juga diacethylcholin atau suxamethonium, terdiri dari 2 buah molekul Ach.

Dua molekul quaternary ammonium radicals N*(CH) mempunyai kemampuan untuk

menempel pada subunit alfa di reseptor asctikolin yang memimiliki efek membuka

10
kanal ion lebih lama dibandingkan dengan asetikolin. Administrasi suksinilkolin

menyebabkan depolarisasi inisial dan kontraksi otot tidak terkoordinasi yang disebut

dengan fasikulasi.5

2.7.1 Farmakodinamik dan Farmakokinetik

ED95 suksinilkolin adalah 0,51-0,63 mg/kg. Dengan adanya teknik respon

kumulatif dosis, ED95 suksinilkolin menjadi kurang dari 0,3 mg/kg. Suksinilkolin

memiliki onset yang cepat (30-60 detik) dan durasi yang pendek (kurang dari 10

menit), Onset yang cepat berhubungan dengan sifat yang memiliki kelarutan dalam

lemak rendah. Begitu suksinilkolin masuk kedalam sirkulasi, sebagian besar di

metabolisme oleh pseudocholinesterase (plasma cholinesterase) menjadi suksinil

monokolin dan kolin. Pseudocholinesterase memiliki kemampuan besar untuk

memetabolisme suksinilkolin, sehingga hanya 10% dari obat yang di administrasikan

mencapai neuromuskular junction.7 Proses ini sangat efisien sehingga hanya fraksi

kecil saja yang mencapai neuromuskuler junction. Durasi dari kerja obat akan

diperlama ketika dosis besar atau metabolisme abnormal, yang terjadi pada hipotermi,

level pseudocholinesterase rendah. Hipotermi menyebabkan penurunan dari

hidrolisis, rendahnya level pseudocholinesterase dikarenakan kehamilan, penyakit

hati, gagal ginjal dan menggunakan obat tertentu yang dapat menurunkan kerjanya

(2-20 menit). Penggunaan antikolinesterasi seperti neostigmine dapat menghambat

aktivitas enzim pseudoklinesterasi, sehingga memperpanjang durasi kerja. Sekitar

10% obat dieksresikan lewat urin, sangat sedikit dimetabolisme di hati.7

2.7.2 Dosis

11
Dosis suksinilkolin untuk fasilitasi intubasi trakea adalah 1 mg/kgBB IV.

Secara konsep, pemberian dosis 1 mg/kgBB pada pasien yang terpreoksigenasi akan

di hubungkan dengan nafas spontan sebelum hipoksemia arteri signifikan. Pernafasan

spontan terjadi dalam 5 menit setelah paralisis akibat pemberian suksinilkolin. Durasi

rata-rata sebelum mencapai 90% tingkat kedutan setelah pemberian 1 mg/kgBB

adalah lebih besar dari 10 menit. Karena suksinilkholin tidak larut dalam lemak,

distribusinya terbatas ke ekstaseluler. Anak-anak memiliki ruangan ekstraseluler yang

lebih besar. Sehingga dosis yang diperlukan untuk anak anak lebih besar. Jika pada

naka diberikan suksinilkolin dengan dosis 4-5 mg/kg secara im tidak selalu terjadi

paralisis komplit.7

2.7.3 Efek Samping

Suksinilkolin merupakan obat yang relative aman bila kita memahami

komplikasi yang mungkin terjadi dan dapat mencegahnya. Karena risiko terjadinya

hiperkalemia, rhabdomyolisis dan henti jantung pada anak-anak , jadi suksinilkolin

merupakan kontraindikasi dari pemberian rutin pada anak-anak dan remaja. Jika tidak

terjadi sulit jalan nafas atau perut yang penuh, klinisi juga menghindari suksinilkholin

digunakan untuk orang dewasa. Tetapi masih tetap digunakan karena tidak adanya

obat non depolarisasi yang memiliki masa kerja seperti suksinilkolin.7

Efek samping yang dapat timbul dengan pemberian suksinilkolin antara lain:7

1. Cardiovaskular

Pemberian suksinilkolin dapat menyebabkan disaritmia jantng. Tidak

hanya menstimulasi nicotinic kolinergik reseptor tapi juga menstimulasi

seluruh reseptor asetilkolin. Dapat menyebabkan peningkatan atau penurunan

12
tekanan darah dan denyut nadi. Dosis kecil menurunkan sedangkan dosis

besar meningkatkan tekanan darah dan nadi. Dapat terjadi bradikardi pada

anak kecil, orang dewasa bradikardi terjadi apabila bolus kedua setelah 3 - 8

menit bolus pertama. IV atropine ( 0,02 mg/kg anak, 0,4 mg dewasa)

diberikan untuk mencegah bradikardi.

2. Fasikulasi

Onset paralisis yang disebabkan oleh suksinilkolin ditandai dengan

adanya kontraksi unit motorik yang terlihat disebut dengan fasikulasi.

Faikulasi dapat dicegah dengan pemberian pretreatment dengan pelemas otot

non depolarisasi dosis kecil. Pretreatment dengan pelemas otot non-

depolarisasi mengantagonis blok depolarisasi, dosis suksinilkolin yang

diberikan harus lebih besar yaitu 1,5 mg/kg. Fasikulasi tidak terllihat pada

anak-anak dan orang tua,

3. Hiperkalemia

Setiap pemberian suksinilkolin meningkatkan serum potasium 0,5

mEq/L. Dapat berbahaya pada luka bakar, trauma masif, gangguan

neurologik. Dapat menyebabkan henti jantung.

4. Mialgia

Terutama pada wanita. Pemberian rocuronium 0,06-0,1 mg/kg

sebelum pemberian suksinilkolin dilaporkan efektif dalam mencegah

fasikulasi dan menurunkan nyeri otot postoperatif. Pemberian NSAID dapat

juga mengurangi kejadian dan keparahan dari nyeri otot.

13
5. Peningkatan Tekanan Intragastrik

Peningkatan tekanan intragastrik dapat berhubungan dengan intensitas

fasikulasi otot skeletal yang dicetuskan oleh suksinilkolin. Pencegahan juga

dapat dilakukan dengan pemberian obat pelemas otot nondepolarisasi dosis

nonparalisis.

6. Peningkatan Tekanan Intraokuler

Suksinilkolin maksimum menaikkan tekanan intraokuler dalam 2 – 4

menit setelah pemberian, Peningkatan tekanan intraokuler ini bersifat transien

hanya berlangsung selama 5 - 10 menit Peningkatan tekanan intraokuler

terjadi akibat aksi sikloplegik suksinilkolin dengan pendalaman ruang anterior

dan peningkatan resistensi aliran keluar aqueous humor, sedikit peningkatan

volume darah koroid dan peningkatan tekanan Vena sentral.

7. Peningkatan Tekanan Intrakranial

Peningkatan tekanan intrakranial setelah pemberian suksinilkolin pada

pasien dengan tumor intrakranial atau trauma kepala belum diamati secara

konsisten.

8. Kontraksi Otot Terus Menerus

Relaksasi otot rahang yang tidak sempurna dan rigiditas masseter

setelah pemberian halotan-suksinilkolin cukup sering terjadi pada anak-anak.

Spasme otot skeletal juga dapat terjadi pada pemberian suksinilkolin pada

14
pasien dengan kongenital miotonia atau distrofi miotonia. Kontraksi yang

terus-menerus dapat mempengaruhi ventilasi paru dan membahayakan hidup.

2.8 Pelemas Otot Non-Depolarisasi

Berdasarkan strukutr kimia, pelemas otot non-depolarisasi dikelompokkan

menjadi benzylisoquinolines, steroid, atau komponen lainnya. Steroid dapat

menyebabkan vagolitik sedangkan benzylisoquinolines menyebabkan pelepasan

histamin Yang termasuk dalam golongan benzylisoquinolines adalah tubokurarin,

metokurin, atrakurium, doksakurium, dan mivakurium. Yang termasuk golongan

steroid adalah pankuronium, venokuronium, pipekuronium, ropakuronium, dan

rukoronium.7

Pelemas otot non-depolarisasi sering digunakan dalam membantu intubasi

endotrakea. Penggunaan dosis untuk intubasi sangat mempengaruhi efek samping

yang ditimbulkan. Meskipun dengan dosis intubasi yang lebih besar mempercepat

onset, namun dapat mengeksaserbasi efek samping dan memperpanjang durasi

blokade. Sebagai contoh dosis 0.15 mg/kgBB pancuronium dapat memberi kondisi

intubasi dalam 90 detik, tapi menimbulkan hipertensi dan takikardia yang lebih nyata

dan blok yang ireversibel selama lebih dari 60 menit. Konsekuensi dari durasi kerja

yang panjang adalah kesulitan yang terjadi dalam membalikkan blokade secara

keseluruhan, khususnya pada pasien usia tua dan mereka yang menjalani pembedahan

abdomen.8

Pemberian 10 - 15 % dosis intubasi 5 menit sebelum dapat memberikan

reseptor yang cukup sehingga dapat mempercepat onset intubasi, yaitu 60 detik pada

penggunaan rocuronium atau 90 detik pelemas otot non depol yang intermediate

15
acting. Pemberian dosis awal ini dapat menyebabkan gangguan dari fungsi respirasi

dan dapat menyebabkan penurunan saturasi oksigen, efek negatif ini lebih sering pada

pasien dewasa. Penting untuk diingat bahwa masing-masing otot memiliki sensitivitas

yang berbeda terhadap pelemas otot. Sebagai contoh, otot laring recover lebih cepat

dibandingkan otot adduktor policis, yang biasanya dimonitor oleh stimulator saraf.8

Selain itu, obat pelemas otot non-depolarisasi berperan dalam mencegah

fasikulasi. Obat pelemas otot non-depolarisasi dapat diberikan 10-15% dosis intubasi,

diberikan 5 menit sebelum pemberian suksinilkolin. Tubocurarine dan rocuronium

memiliki efikasi paling baik dalam mencegah fasikulasi. Karena terdapat antagonism

antara sebagian besar obat non depolarisasi dengan fase I blok, dosis suksinilkolin

yang berikutnya harus dinaikkan menjadi 1,5 mg/kgBB.8

2.8.1 Karakteristik Farmakologis Umum

Beberapa variabel mempengaruhi obat pelemas otot nondepolarisasi:6

1. Suhu

Hipotermia memperpanjang blokade karena penurunan metabolisme

(misalnya mivacurium, atracurium, dan cisatracurium) dan menunda ekskresi

(misalnya pancuronium dan vecuronium).

2. Keseimbangan Asam-Basa

Asidosis respiratorik menimbulkan blokade sebagian besar agen non

depolarisasi dan mengantagonisasi proeses pembalikannya. Hal ini dapat mencegah

pemulihan saraf otot pada pasien post-operatif yang mengalami hipoventilasi. Hal ini

berkaitan dengan efek saraf-otot sehubungan dengan perubahan asam basa yang

16
mungkin didasari oleh perubahan dalam pH ekstraseluler, pH intraseluler, konsentrasi

elektrolit, atau perubahan struktural antara obat-obat.

3. Abnormalitas Elektrolit

Hipokalemia dan hipokalsemi meningkatkan kerja pelemas nondepol.

Hiperkalemia belum diketahui. Hipermagnesia potensiasi blokade non depoldengan

kompetisis dengan kalsium pada motor end-plate.

4. Usia

Neonatus meningkat sensitivitasnya. Peningkatan sensitivitas ini tidak

berhubungan langsung dengan kebutuhan dosisnya. Karena besarnya area extraseluler

pada neonatus.

5. Interaksi Obat

Banyak obat yang dapat berinteraksi dengan pelemas otot, interaksi pada

beberapa tempat seperti struktur prejunctional, postjunctional reseptor kolinergik, dan

membran otot.”

6. Penyakit yang Diderita

Gangguan neurologis dan otot mempengaruhi kerja pelemas otot. Gangguan

hati dan gangguan ginjal terjadi peningkatan volume distribusi dan penurunan

konsentrasi didalam plasma. Sehingga memerlukan dosis awal yang besar tetapi dosis

rumatan yang kecil.

7. Kelompok Otot

Onset dan intensitas blokade bervariasi di antara kelompok otot. Hal ini

mungkin karena perbedaan dalam aliran darah, jarak dari sirkulasi sentral, atau tipe

serabut otot yang berbeda. Lebih jauh, sensitivitas relatif terhadap sekelompok otot

17
mungkin bergantung pada pemilihan pelemas otot. Secara umum, diafragma, rahang,

laring, dan otot-otot wajah (m.orbicularis oculi) berespons dan pulih lebih cepat dari

relaksasi otot dibanding ibu jari. Muskulatur glotis juga cukup resisten terhadap

blokade yang seringkali terbukti selama laringoskopi. Kondisi intubasi

yang baik biasanya dihubungkan dengan respons kedutan m.orbicularis oculi yang

hilang.

2.8.2 Jenis Obat Pelemas Otot Non-Depolarisasi

2.8.2.1 Atracurium

Struktur Fisik

Atracurium adalah kelompok kuartener, struktur benzylisoquinoline membuat

cara degradasi senyawa ini menjadi unik. Obat ini merupakan gabungan dari 10

stereoisomer.8

Metabolisme dan Ekskresi

Atracurium dimetabolisme secara ekstensif sehingga farmakokinetiknya tidak

bergantung pada fungsi ginjal dan hati. Sekitar 10% dari obat ini diekskresi tanpa di

metabolisme melalui ginjal dan empedu. Dua proses terpisah berperan dalam

metabolisme. Pertama, hidrolisis ester yang dikatalisis oleh esterase nonspesifik,

bukan oleh asetilkolinesterase atau pseudokolinesterase. Kedua, melalui eliminasi

Hoffmann di mana penghancuran kimia nonenzimatik spontan terjadi pada pH dan

suhu fisiologis.8

Dosis

Dosis 0,5 mg/kgBB diberikan melalui intravena dalam 30 - 60 detik untuk

intubasi. Mulai kerjanya 2-3 menit dan bertahan hingga 15-35 menit. Relaksasi

18
intraoperatif dicapai dengan dosis awal 0,25 mg/kgBB, kemudian dosis incremental

0,1 mg/kgBB setiap 10-20 menit. Infus 5-10 py/kg/menit dapat menggantikan bolus

intermiten secara efektif. Atracurium tersedia dalam solutio 10 mg/mL, yang

sebaiknya disimpan pada suhu 2-8°C karena potensinya akan berkurang 5-10% tiap

bulan bila terekspos suhu ruangan. Pada suhu ruangan obat ini harus digunakan

dalam waktu 14 hari untuk menjaga potensi. Pemulihan saraf otot dapat terjadi

spontan setelah masa kerja berakhir atau dapat diberikan antikolencstcrase.8

Efek Samping dan Pertimbangan Klinis

Secara umum pemberian atracurium tidak dipengaruhi oleh fungsi hati dan

ginjal karena proses metabolisme eliminasi Hoffman. Selain itu, obat ini tidak

memberikan efek pada kardiovaskular. Atracurium memberikan efek pelepasan

histamine yang muncul pada dosis di atas 0,5 mg/kgBB.8

2.8.2.2 Cisatracurium

Struktur Fisik

Cisatracurium adalah stereoisomer atracurium yang empat kali lebih poten.

Atracurium mengandung sekitar 15% cisatracurium.8

Metabolisme dan Ekskresi

Degradasi di plasma tergantung pH fisiologis dan suhu oleh Hofmann

Eliminasi. Hasil metabolitnya (monoadequaternary acrylate dan laudanosine) tidak

memiliki efek pelmas otot. Metabolisme dan eliminasi tidak tergantung fungsi hati

dan ginjal. Usia tidak mempengaruhi kerja.8

Dosis

19
Dosis intubasi adalah 0,1 - 0,15 mg/kgBB dalam 2 menit dan menghasilkan

blokade otot dengan durasi kerja sedang. Rata kecepatan infus adalah antara 1,0-2,0

kg/kg/menit. Potensi cisatracurium sama dengan Vecuronium dan lebih poten

dibanding atracurium. Cisatracurium harus disimpan dalam pendingin (2-8°C) dan

harus digunakan dalam waktu 21 hari bila disimpan pada suhu ruangan.8

Efek Samping dan Pertimbangan Klinis

Tidak seperti atracurium, cisatracurium tidak menyebabkan peningkatan kadar

histamin plasma. Cisatracurium tidak mempengaruhi denyut jantung atau tekanan

darah juga tidak menimbulkan efek otonom, bahkan pada dosis setinggi 8 kali ED95.8

2.8.2.3 Pancuronium

Struktur Fisik

Pancuronium memiliki cincin steroid yang ditempati dua molekul asetilkolin

yang termodifikasi (pelemas otot biskuartener).9

Metabolisme dan Ekskresi

Dimetabolisme oleh hepar. Eksresi terutama pada ginjal 40%, sebagian oleh

empedu (10%). Eliminasi pancuronium melambat bila ada gagal ginjal. Pasien

dengan sirosis membutuhkan dosis awal yang besar tapi dosis rumatan yang kecil

karena penurunan plasma clearance.9

Dosis

Dosis 0,08 -0,12 mg/kg pancuronium memberikan relaksasi yang adekuat

untuk intubasi dalam 2 - 3 menit dengan masa kerja 30-45 menit. Relaksasi

intraoperatif dicapai dengan memberikan 0,04 mg/kg dosis inisial diikuti dengan

dosis 0,01 mg/kg setiap 20 - 40 menit. Anak - anak perlu dosis pancuronium yang

20
lebih rendah. Diberikan untuk mencegah fasikulasi yang disebabkan oleh

suksinilkolin dengan dosis 25% dari dosis optimal. Pancuronium tersedia dalam

larutan 1 atau 2 mg/mL dan disimpan pada suhu 2–8°C tapi stabil sampai 6 bulan

pada suhu ruangan.9

Efek Samping dan Pertimbangan Klinis

1. Hipertensi dan takikardia

Terjadi karena vagal refleks dan stimulasi simpatis. Perhatian bila

memberikan pancuronium pada pasien dengan peningkatan denyut jantung. (penyakit

jantung koroner, stenosis subaortik hipertropic idiopathic).8,9

2. Aritmia

Peningkatan konduksi atrioventrikuler dan pelepasan katekolamin

meningkatkan disritmia ventrikuler pada individu yang rentan. Kombinasi

pancuronium, antidepresan trisiklik, dan halotan bersifat aritmogenik.8,9

3. Reaksi Alergi

Pasien yang hipersensitif pada bromida mungkin mengalami reaksi alergi

pancuronium (pancuronium bromida).9

2.8.2.4 Vecuronium

Struktur Fisik

21
Vecuronium adalah pancuronium yang kurang satu grup metil kuartener

(pelemas otot monokuartener). Sedikit perubahan struktur memberi efek samping

menguntungkan tanpa mempengaruhi potensi.8

Metabolisme dan Ekskresi

Tergantung dari eksresi empedu dan ginjal. Pemberian jangka panjang dapat

memperpanjang blokade neuromuskuler. Karena akumulasi metabolit 3-hidroksi,

perunbahan klirens obat atau terjadi polineuropati. Faktor risiko wanita, gagal ginjal,

terapi kortikosteroid yang lama dan sepsis. Efek pelemas otot memanjang pada pasien

AIDS. Toleransi dengan pelemas otot memperpanjang penggunaan.8

Dosis

Dosis intubasi 0,08 -0,12 mg/kg. Dosis 0,04 mg/kg diikuti 0,01 mg/kg setiap

15 - 20 menit. Drip 1 - 2 mcg/kg/menit. Umur tidak mempengaruhi dosis. Dapat

memanjang durasi pada pasien post partum karena gangguan pada hepatic blood

flow.8

Efek Samping dan Pertimbangan Klinis

1. Kardiovaskular

Hingga dosis 0,28 mg/kg, vecuronium tidak memiliki efek kardiovaskular.8

2. Gagal Hati

Tidak terpengaruh pada pasien sirosis kecuali dosis sampai 0,15mg/kg dapat

memperpanjang durasi.8

2.8.2.5 Rocuronium

22
Struktur fisik

Rocuronium adalah steroid monokuartener analog vecuronium namun

dirancang untuk memberikan onset kerja yang cepat.8

Metabolisme dan Ekskresi

Eliminasi terutama opleh hati dan sedikit oleh ginjal. Durasi tidak terpengaruh

oleh kelainan ginjal, tapi diperpanjang oleh kelainan hepar, berat dan kehamilan. Baik

untuk infusan jangka panjang (ICU). Pasien orang tua menunjukan prolong durasi.8

Dosis

Potensi lebih kecil dibandingkan relaksan steroid lainnya. 0,45 -0,9 mg/kg IV

untuk intubasi dan 0,15 g/kg bolus untuk rumatan. Dosis kecil 0,4 mg/kg dapat pulih

25 menit setelah intubasi. IM (1 mg/kg untuk infant; 2mg/kg untuk anak kecil)

adekuat pitasuara dan paralisis diafragma untuk intubasi. Tapi tidak sampai 3-6 menit

dapat kembali sampai 1 jam. Untuk drip 5-12 mcg/kg/menit. Dapat memanjang pada

pasien orang tua.8

Efek samping dan pertimbangan klinis

Onset cepat hamper mendekati suksinilkolin tapi harganya mahal. Diberikan

20 detik sebelum propofol dan thiopental. Rocuronium (0,1 mg/kg) cepat 90 detik

dan efektif untuk prekurasisasi sebelum suksinilkholin ada tendensi vagalitik. Berikut

ini adalah perbandingan eliminasi, bersihan, perkiraan durasi kerja, dan perkiraan

potensi relative terhadap tubokurarin serta tabel efek obat penyekat neuromuscular

pada jaringan lain.8

Tabel 3. Sifat Obat Penyekat Neuromuscular

Eliminasi Bersihan Perkiraan Perkiraan

23
(ml/kg/mnt) durasi Potensi
kerja Relative
(menit) terhadap
Tubokurare
Turunan isokuinolin
Atracurium Spontan 6,6 20-35 1,5
Cisatracurium Kebanyakan spontan 5-6 25-44 1,5
Doxacurium Ginjal 2,7 >35 6
Metacurine Ginjal (40%) 1,2 >35 4
Mivacurium Plasma ChE 70-95 10-20 4
tubocurarine Ginjal (40%) 2,3-2,4 20-35 1
Turunan steroid
Pancuronium Ginjal (80%) 1,7-1,8 >35 6
Pipecuronium Ginjal (60%) dan Hati 2,5-3,0 >35 6
Recorunium Hati (75-90%) dan ginjal 2,9 20-35 0,8
Vecuronium Hati (75-90%) dan ginjal 3-3,5 20-35 6
Agen
Pendepolarisasi Plasma ChE (100%) >100 <8 0,4
succinylcholine

Tabel 4. Efek Obat Penyekat Neuromuscular Pada Jaringan Lain


Obat Efek pada Efek pada Kecenderungan
ganglion otonom reseptor untuk
muskarinik menyebabkan
jantung pelepasan histamin
Turunan
isokulnolin Tidak ada Tidak ada Sedikit
Atracurium Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Cisatracurium Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Doxacurium Blockade lemah Tidak ada Sedikit
Metacurine Tidak ada Tidak ada Sedang
Mivacurium Blockade lemah Tidak ada sedang
tubocurarine
Turunan steroid
Pancuronium Tidak ada Blockade sedang Tidak ada
Pipecuronium Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Recorunium Tidak ada Sedikit Tidak ada
Vecuronium Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Obat lain
Gallamine Tidak ada Blockade kuat Tidak ada
succinylcholine rangsangan Rangsangan Sedikit

2.9 Pembalikan Blokade Saraf-Otot

24
2.9.1 Pembalikan Pelemas Otot Depolarisasi

Pelemas otot depolarisasi tidak dimetabolisme oleh asetilkolinesterase,

melainkan akan terdifusi dari tautan neuromuscular dan dihidrolisis dalam plasma

dan hati oleh enzim yang lain yaitu pseudokolinesterase, proses ini sangat cepat

karena tidak ada agen khusus untuk membalikan blockade agen depolarisasi yang

tersedia.9,10

2.9.2 Pembalikan Pelemas Otot Non-Depolarisasi

Pembalikan blockade pelemas otot ini tergantung pada redistribusi,

metabolisme gradual, dan eksresi pelemas otot dari tubuh, atau pemberian agen

khusus untuk membalikkan pasien, misal inhibitor kolinesterase yang menghambat

aktivitas enzim asetilkolinesterase yang neostigmine metilsulfat (prostigmin).

Inhibisi ini meningkatkan jumlah asetilkolin pada tautan neuromuscular junction dan

dapat bersaing dengan agen npn depolarisasi.9,10

Prostigmin merupakan antikolinesterase yang dapat mevegah hidrolisis dan

dapat menimbulkan akumulasi asetilkolin. Obat ini mengalami metabolism terutama

oleh kolinesterase serum dan bentuk obat utuh sebagian besar diekskresi melalui

ginjal. Prostigmin mempunyai efek nikotinik, muskarinik dan merupakan stimulant

otot langsung. Efek muskarinik antara lain menyebabkan bradikardi, hiperperistaltik

dan spasme saluran cerna, pembentukan secret jalan nafas dan kelenjar air liur,

bronkospasme, berkeringat, miosis dan kontraksi vesika urinaria.11

25
Cara mengatasi masalah yang timbul dalam pemberian obat ini dengan

pemberian atropine sulfat dosis 0,5 mg bertahap hingga 5 mg. Biasanya diberikan

bersama-sama prostigmin dengan dosis 1-1,5 mg.11

BAB III

PENUTUP

26
Anastesi tidak perlu dalam, hanya sekedar pasien tidak sadar, analgesic dapat

diberikan dosis tinggi, dan pemberian obat pelemas otot dapat memberikan efek

relaksasi pada otot lurik. Ketiga kombinasi ini dikenal dengan istilah trias anastesi.

Obat pelemas otot merupakan obat yang digunakan untuk melemaskan atau

merileksasikan otot.

Pelemas otot depolarisasi bekerja sebagai acethylcholin reseptor agonist,

sedangkan non depolarisasi bekerja competitive antagonist, karena pelemas otot

depolarisasi tidak dimetabolisme oleh acethylcholinesterase, mereka difus menjauhi

neuromuscular junction dan terhidrolisa didalam plasma dan hepar oleh enzim lain,

pseudocholinesterase (nonspesifik cholinesterase, plasma cholinesterase). Pelemas

otot memiliki efek paralitik menyerupai asetilkolin. Sebagai contoh suksinilkolin

memiliki 2 buah molekul Ach. Suksinilkolin merupakan kontraindikasi pada

pemeberian rutin kepada anak dan remaja karena risiko dari hyperkalemia,

rhabdomyolisis, dan cardiac arrest pada anak tanpa diagnosa miopati.

Untuk pelemas otot non depolarisasi semakin lama pelemas ototnya, semakin

lama onsetnya. Obat pelemas otot saraf non depolarisasi terdiri atas golongan

benzylisoqoinolinium dan aminosteroid.

DAFTAR PUSTAKA

27
1. Sugai N. Abstract PR008: Dr Harold Griffith and Wfsa in Association with
Four Pioneer Anesthesiologists From Japan. Anesthesia & Analgesia. 2016
Sep 1;123(3S):17
2. Gilman A G. Goodman&Gilman Dasar Farmakologi Terapi. Volume1.
Jakarta:EGC. 2017
3. Al-Hilal S R, Sarosa P, Widodo U.P. Efek Pemberian Ketamin Dosis 0,5
Mg/Kgbb Terhadap Onset Blokade Neuromuskular Oleh Atrakurium.
2018;5:7–13.
4. Mangku G, Senapathi TGA. Buku Ajar Ilmu Anastesia dan Reanimasi.
Jakarta:Indeks. 2017
5. Kristiningrum E. Penggunaan Obat Pelumpuh Otot di ICU. Cermin Dunia
Kedokteran. 2015 Oct 1;42(10):788-90
6. Ikatan Apoteker Indonesia. ISO Informasi Spesialite Obat Indonesia. Volume
51-2015 s/d 2016. Jakarta: PT ISFI Penerbitan. 2017
7. Badan POM Indonesia. Informatorium Obat Nasional Indonesia.
Jakarta:SagungSeto. 2017
8. Bouju P, Tadié JM, Barbarot N, Letheulle J, Uhel F, Fillatre P, Grillet G,
Goepp A, Le Tulzo Y, Gacouin A. Clinical assessment and train-of-four
measurements in critically ill patients treated with recommended doses of
cisatracurium or atracurium for neuromuscular blockade: a prospective
descriptive study. Annals of intensive care. 2017. 1;7(1):10.
9. Carvalho VH, Braga AA, Braga FS, Junqueira FE, Drummond RM, Benette
GL. Reversal of neuromuscular block produced by local anaesthetics
combined with pancuronium. Experimental study. Medical Research
Archives. 2018. 18;6(5)
10. Murray,MJ , DeBlock,H , et al. Critical care medicine (volume 44 issue 11
pages 2079- 2103 ) 2016.
11. Layon AB, Gabrielli A, Yu M, et al. Critical care medicine fifth edition.
Philadelphia:Lippincott Williams&Wilkins. 2018

28

Anda mungkin juga menyukai