Anda di halaman 1dari 9

Laporan Praktikum Tanggal Praktikum : Rabu, 20 Februari 2019

Farmakologi Veteriner 2 Dosen Pembimbing : Drh Andriyanto


Kelompok Praktikum : 7

Obat Stimulansia Sistem Syaraf Pusat


Kelompok 7:

1. Lanina Adelaite U P (B04160089)


2. Savira Salsabilah (B04160090)
3. Sari Maharani P (B04160091)
4. Sella Sofia Ainun (B04160093)
5. Titis Prastiwi (B04160096)

BAGIAN FARMAKOLOGI DAN TOSIKOLOGI


DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI DAN FARMAKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2019
PENDAHULUAN

Stimulansia adalah golongan obat-obat yang bekerja dengan merangsang susunan saraf.
Stimulansia pada susunan saraf pusat disebut sebagai golongan nootropik atau neurotonik dan obat
neurogeneratif (Junaidi 2013). Terdapat banyak obat dalam golongan ini, namun penggunaannya
hanya terbatas untuk menangani kasus tertentu, di antaranya pengobatan narkolepsi, gangguan
penurunan perhatian (GPP), obesitas, dan pemulihan distress pernapasan. Kelompok utama dari
stimulansia SSP adalah amfetamin dan kaffein. Amfetamin merangsang cortex cerebri dari otak,
sedangkan kaffein bekerja pada batang otak dan medulla dalam perangsangan pernapasan.
Pemakaian amfetamin pada tingkat tertentu dapat bekerja pada cortex cerebri dan hipotalamus
untuk menekan napsu makan. Hal ini banyak disalahgunakan, sehingga dalam pemakaian jangka
panjang akan muncul ketergantungan psikologis dan toleransi (Kee & Hayes 1994).

Amfetamin bekerja dengan merangsang pelepasan neurotransmitter, norepinefrin, dan


dopamine dari otak dan sistem saraf simpatis. Efek amfetamin adalah meningkatkan denyut
jantung, palpitasi, aritmia jantung, dan meningkatkan tekanan darah. Waktu paruh dari amfetamin
berkisar 4 – 30 jam dan dieskresikan lebih cepat pada urin yang asam dibandingkan yang basa.
Pemakaian dalam jangka panjang menimbulkan efek negative pada sistem saraf pusta,
kardiovaskular, gastrointestinal, dan endokrin. Efek ini berupa kegelisahan, insomnia, takikardi,
hipertensi, palpitasi jantung, kering pada mulut, anoreksia, penurunan berat badan, konstipasi, dan
impoten (Kee & Hayes 1994). Kaffein merupakan salah satu stimulansia SSP yang dapat
meningkatkan denyut jantung, dan memberikan efek takikardi supraventricular (Sinclair 2003).
Stimulansia ini bersifat psikoaktif dan dapat menembus sawar otak serta melepaskan adrenalin.
Selain itu, obat ini mampu melepaskan dopamine sehingga menimbulkan efek tenang. Namun,
overdosis terhadap obat ini mampu menimbulkan kerusakan jaringan jantung atau rhabdomyolisis
(Spuril & Wade 2005).

Obat stimulansia SSP lainnya adalah cardiazole dan striknin . Cardiazole merupakan obata
analeptic lama yang bekerja pada pusat pernapasan dan pusat vasomotor di medulla oblongata.
Cara kerjanya dengan menurunkan hambatan sistem GABA-ergik dan efek langsung sehingga
meningkatkan eksitabilitas SSP. Penggunaan dalam dosis tinggi mampu menyebabkan kematian.
Pentilentetrazol (cardiazol) memiliki efek kehang dengan merangsang eksitasi dna hambatan saraf.
Adapun obat ini dimanfaatkan dan pengobatan deprsi, pernapasan yang disebabkan oleh penekan
SSP, dan syok terapi pada pengobatan depresi prikotik. Injeksi secara IV maupun SC
menggunakan dosis 0.5 gram dan dapat diulang dalam selang waktu 30 menit apabila diperlukan
(Siswandono 2016).

Striknin merupakan stimulansia pada medulla spinalis. Striknin terdapat dalam biji-bijan
tanaman Strychnos nux-vomica yang telah matang. Adapun keracunan striknin menimbulkan
konvulsi dengan gejala yang khas. Keracunan ini mirip dengan gejala tetanus dengan peningkatan
eksitabilitas neuron akibat adanya gangguan terhadap inhibisi post sinaps (Muliawan 2007).
Terdapat pula kontraksi ekstensor simetris yang diperkuat dengan rangsangan sensorik. Stadium
awal menujukkan adanya gerakan ekstensi terkoordinasi dan menjadi konvulsi tetani (Ganiswara
1995).

BAHAN DAN ALAT

Alat dan bahan yang digunakan yaitu, spuid 1 mL, jam dan kandang hewan, katak
(3 ekor), mencit, caffein, striknin, cardiazol, dan amphethamin.
METODE

HASIL DAN PEMBAHASAN

Amfetamin adalah kelompok obat psikoaktif sintetis yang disebut sistem saraf pusat (SSP)
stimulants. Senyawa ini memiliki nama kimia α–methylphenethylamine merupakan suatu senyawa
yang telah digunakan secara terapetik untuk mengatasi obesitas, attention-deficit hyperactivity
disorder (ADHD), dan narkolepsi. Amfetamin meningkatkan pelepasan katekolamin yang
mengakibatkan jumlah neurotransmiter golongan monoamine (dopamin, norepinefrin, dan
serotonin) dari saraf pra-sinapsis meningkat. Amfetamin memiliki banyak efek stimulan
diantaranya meningkatkan aktivitas dan gairah hidup, menurunkan rasa lelah,
meningkatkan mood, meningkatkan konsentrasi, menekan nafsu makan, dan menurunkan
keinginan untuk tidur.Akan tetapi, dalam keadaan overdosis, efek-efek tersebut menjadi
berlebihan (Triswara dan Carolia 2017).
Amfetamin memiliki struktur yang sangat mirip dengan neurotransmitter katekolamin
yaitu dopamin dan norepinefrin. Kesamaan struktur ini merupakan dasar cara kerja amfetamin.
Amfetamin menyebabkan pelepasan monoamin melalui sitosol neuronal melalui dopamin
transporter, norepinefrin transporter, dan serotonin transporter. Salah satu mekanisme kerja yang
diteliti dari amfetamin adalah dengan mengganggu aktivitas vesicular monoamine transporter-2
(VMAT-2). Amfetamin yang diberikan dalam dosis tinggi akan masuk ke dalam sel saraf melalui
dopamin transporter dan berdifusi. Ketika masuk ke dalam sel, amfetamin akan berdifusi melalui
membran vesikel dan terakumulasi di dalam vesikel. Akumulasi amfetamin di dalam vesikel akan
menyebabkan terjadinya gangguan gradient pH yang diperlukan untuk sekuestrasi dopamin
sehingga terjadilah akumulasi dopamin di dalam sitoplasma. Akumulasi dopamin di dalam
sitoplasma akan mengganggu gradien konsentrasi dopamin sehingga terjadinya transport balik
dopamin melalui dopamin transporter. Setelah dopamin dilepaskan, neurotransmitter tersebut akan
diinaktivasi oleh monoamin oksidase. Amphetamin memiliki struktur satu cincin benzena dengan
9 atom C, 13 atom H dan 1 atom N dengan cabang pada gugus pertama sehingga Amphetamin
disebut juga Alfa-metil-fenetilami (Triswara dan Carolia 2017).
Efek yang dapat muncul setelah penggunaan amfetamin tergantung dari jumlah amfetamin
yang dikonsumsi dan cara pemberiannya. Pada umumnya, penggunaan amfetamin menimbulkan
efek akut berupa gangguan sistem simpatetik saraf otonom seperti hipertensi, takikardia,
hipertermia, takipnea, dan vasokonstriksi. Selain itu penggunaan akut amfetamin dapat
menyebabkan euforia, meningkatnya energi dan kewaspadaan, meningkatnya libido dan
kepercayaan diri, perasaan meningkatnya kapasitas fisik dan mental, serta peningkatan
produktivitas. Waktu paruh amfetamin mencapai 8-13 jam.5 Penggunaan dosis yang lebih tinggi
secara terus-menerus akan menyebabkan efek menyenangkan dari amfetamin menjadi semakin
berkurang dan akan meningkatkan efek toksiknya (Triswara dan Carolia 2017).
Tabel 1 . Stimulansia cortex cerebri pada mencit menggunakan amfetamin

Menit Dosis Aktivitas Reflex Salivasi/ Tonus Frekusensi Frekuensi


(ml) tubuh defekasi/urinasi otot nafas jantung
(kali/menit) (kali/menit)
Normal - + + Ada ++ 96 108
5 0.05 ++ + Tidak ada ++ 92 116
10 0.1 +++ + Tidak ada ++ 120 124
15 0.2 +++ + Tidak ada ++ -* -*
Ket: -: tidak ada -* : mencit mati +: cukup ++: baik +++: sangat baik
Hasil praktikum penggunaan amfetamin dengan dosis bertingkat dalam jangka waktu 5
menit disetiap pemberiannya menunjukkan bahwa aktivitas tubuh semakin meningkat. Namun
reflex yang dihasilkan tidak mengalami perrubahan. Dalam keadaan normal mencit melakukan
defekasi namun saat diinjeksikan amfetamin tidak terdapat defekasi, urinasi maupun salivasi.
Tonus otot dari mencit tidak mengalami perubahan. Frekuensi nafas dari mencit mengalami
peningkatan disetiap menitnya begitu pula dengan frekuensi jantung dari mencit. Mencit terlihat
mengalami kejang pada menit ke 10 dengan dosis pemberian dosis 0.2 ml, namun pada saat
melakukan pemeriksaan mencit mati, sehingga frekuensi nafas dan frekuensi jantung tidak ada.

Cardiazol adalah obat yang dipakai pada sistem peredaran darah dan stimulant pernafasan.
Dosis tinggi dari cardiazol dapat menyebabkan kejang-kejang. Cardiazol merupakan bahan kimia
konvulsan yang sering digunakan dalam model eksperimental untuk induksi kejang, cardiazol
,enimbulkan efek kejang dengan mekanisme antogonis non-kompetitif GABAergik yang tidak
berinteraksi dengan reseptoe GABA, tapi memblok GABA dengan cara menghambat pemasukan
ion Cl. Efek farmakologis dari cardiazol melalui interaksi dengan saluran ion reseptor GABA-A.
pemberian secara intraperitoneal pada tikus dapat menyebabkan kejang tonik-klonik umum
(Khasturi et al. 2015)

Tabel 2 . Stimulasnisa medulla oblongata pada katak mengggunakan cardiazole

Menit Dosis Aktivitas Reflex Nyeri Tonus Frekusensi Frekuensi


(ml) tubuh otot nafas jantung
(kali/menit) (kali/menit)
Normal - ++ ++ ++ ++ 40 22
5 0.05 ++ ++ +++ ++ 36 29
10 0. +++ +++ +++ +++ 36 25
15 0.2 +++ +++ +++ +++ 30 23
20 0.4 +++ +++ +++ +++ 29 21
Ket: -: tidak ada +: cukup ++: baik +++: sangat baik

Hasil praktikum penggunaan cardiazol pada katak dapat dilihat bahwa pada penggunaan
dosis bertingkat setiap 5 menit, terlihat bahwa aktivitas tubuh meningkat, reflek meningkat, rasa
nyeri setelah diinjeksikan cardiazol meningkat dari keadaan normal, tonus otot meningkat. Namun
frekuensi nafas dan frekuensi jantung terlihat semakin menurun. Katak mengalami kejang pada
menit ke 15 terlihat bahwa katak mengalami kejang tetani.

Tabel 3. Stimulansia cortex cerebri (katak-caffeine)

Waktu Dosis Posisi Refleks Rasa Tonus Frekuensi Frekuensi Konvulsi


(menit) (mL) tubuh nyeri otot napas jantung
(kali/menit) (kali/menit)

Normal 0 Tegak + + + 92 92 -

5 0.05 Tegak ++ ++ + 68 88 -

10 0.10 Rendah ++ +++ ++ 64 88 -

15 0.20 Rendah ++ +++ ++ 64 84 -

20 0,40 Rendah ++ +++ +++ 1 1 -

Praktikum kali ini dilakukan pengamatan prinsip kerja dari obat stimulansia sistem saraf
pusat (SSP) dan gejala klinis yang menyertainya. Obat-obat stimulansia yang digunakan
diantaranya yaitu kafein, amphetamin, cardiazol, dan striknin. Kafein dan amphetamine digunakan
untuk menstimulansia cortex cerebri. Cardiazol digunakan untuk menstimulansia medulla
oblongata. Sedangkan striknin digunakan untuk menstimulansia medulla spinalis.

Kafein adalah senyawa yang bersifat psikoaktif yang paling luas dikonsumsi di dunia dan
kemungkinan merupakan salah satu stimulan yang paling umum digunakan. Menurut Sinclair
(2000), secara farmakologi kofein bekerja di dalam tubuh dan menimbulkan berbagai efek. Ada
beberapa mekanisme yang dapat menjelaskan mekanisme kerja kofein di antaranya adalah
menyekat reseptor adenosin atau antagonisme reseptor adenosin, meningkatkan kadar asam lemak
bebas (ALB), melepaskan epinefrin, melepaskan kortisol, dan mempengaruhi susunan saraf pusat
(SSP).
Kafein disuntikkan secara SC pada daerah abdominal melalui saccus limphaticus femoralis
dengan dosis bertingkat bekerja dengan menstimulasi pada daerah cortex cerebri. Hasil dari
praktikum kali ini, menunjukan frekuensi napas dan jantung katak terus menurun, hal ini tidak
sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa kafein dapat meningkatkan frekuensi napas dan
vasodilatasi darah (Yonata dan Saragih 2016). Selain itu hasil pengamatan yang dilakukan, katak
tidak mengalami konvulsi otot. Akan tetapi pada dosis 0,40 ml tonus otot pada katak meningkat
disertai dengan frekuensi napas dan jantung menurun secara drastis. Menurut Hayati (2012), jika
konvulsi diteruskan tanpa penanggulangan, maka katak tersebut akan mengalami sesak napas yang
mengakibatkan kifosis pada punggung katak.Efek lainnya yaitu kafen menyebabkan tremor.
Mekanisme kerja yaitu kafein akan berikatan dengan reseptor adenosine. Hal ini menyebabkan
neuron menjadi lebih aktif dan kadar ledakan neuron meningkat. Potensial aksi ditimbulkan secara
berulang-ulang yang menyebabkan motor unit meningkat dan memicu kejadian tremor.

Striknin digunakan untuk menstimulasi medulla spinalis pada katak uji coba. Katak dengan
kondisi normal (tanpa penyuntikan Striknin) memperlihatkan posisi tubuh tegak, reflek dan rasa
nyeri masih ada, tonus otot normal, frekusensi napas 120 x/menit, dan frekuensi jantung 112 x/menit.
Setelah diberi Striknin 0,05 pada menit ke-3 katak sudah memperlihatkan gejala-gejala klinis yang
ditimbulkan oleh Striknin diantaranya yaitu posisi tubuh yang sudah opistotonus dengan sikap
terlentang, reflek menjadi aspontan, rasa nyeri masih ada, tonus otot meningkat sehingga membuat
katak mengejang, dan frekuensi napas serta frekuensi jantung berturut-turut menjadi 92 x/menit dan
108 x/menit . Konvulsi yang diperlihatkan oleh katak yaitu aspontan, simetris, dan tetanus. Hal ini
sesuai dengan teori Louisa M dan Dewoto HR (2007) yang menyatakan bahwa pada hewan coba
konvulsi ini berupa ekstensif tonik dari badan dan semua anggota gerak. Sifat khas lainnya dari
kejang striknin ialah kontraksi ekstensor yang simetris yang diperkuat oleh rangsangan sensorik
yaitu pendengaran, penglihatan dan perabaan.
Tabel 4. Stimulansia medulla spinalis (katak-striknin)
Waktu Dosis Posisi Refleks Rasa Tonus Frekuens Frekue Konvul
(menit) (mL) tubuh nyeri otot i napas nsi si
(kali/me jantung
nit) (kali/m
enit)
Normal - Tegak +++ +++ + 120 112 -

3 0.05 Opitot - + +++ 92 108 Aspont


onus an.
Simetri
s,
tetanus

Keterangan: (-) = tidak ada, (+) = ada/normal, (++) = mengingkat, (+++) = sangat kuat.

SIMPULAN

Obat stimulasi yang digunakan pada system syaraf pusat berupa, stiknin, caffeine,
amphetamine dan cardiadzol. Obat striknin menyebabkan bagian tubuh katak mengalami lordosis
atau epistotonus, obat cardiazol menyebabkan katak menjadi kifosis atau emprostotonus disertai
suara “kwek” sedangkan obat caffeine menyebabkan kontraksi yang lama, dan terakhir obat
amphetamine yan diberikan kepada tikus menyebakan tikus semakin aktif hingga akhirnya kejang
dan mati.

DAFTAR PUSTAKA

Ganiswara SG. 1995. Farmakolodi dan Terapi. Jakarta (ID): UI Press


Junaidi I. 2013. Pedoman Praktis Obat Indonesia Ed-Revisi. Jakarta (ID): Bhuana Ilmu Populer.

Kee JL, Hayes ER. 1994. Farmakologi. Jakarta (ID): EGC.

Khasturi S, Kavimani S, Devi R, Sudhararajan R, Deepa N. 2015. Anticonvulsant activity of


Mahakalayanaka Ghrita in maximal electro-shock and pentylenetetrazole induced seizures in rats.
International Research Journal of Pharmacy, 6(10):715-719.

Louisa M dan Dewoto HR. 2007. Perangsang susunan saraf pusat. Farmakologi dan Terapi edisi
5. Jakarta (ID): Departemen farmakologi dan Teurapetik Fakultas kedokteran Universitas
Indonesia.

Muliawan SY. 2007. Bakteri Anaerob yang Erat KAitannya dengan Problematika di Klinik. Jakarta (ID):
EGC.
Sinclair CJD, Geiger JD. 2000 Caffeine use in sports: A pharmacological review. Journal of Sports
Medicine and Physical Fitness. Turin. 40 (1): 71-79.

Sinclair C. 2003. Buku Saku Kebidanan. Jakarta (ID): EGC.

Spuril WJ, Wade WE. 2005. Pharmacotherapy. New York (USA): Mc Graw Hill Medical Publishing
Division.

Siswandono. 2016. Kimia Medisinal 2 Edisi 2. Surabaya (ID): Airlangga.

Triswara R, Carolia N. 2017. Gangguan fungsi kognitif akibat penyalahgunaan amfetamin. Majority.
7(1):49-53.

Anda mungkin juga menyukai