Anda di halaman 1dari 8

Makalah Praktikum Hari,Tanggal: Senin, 21 Oktober 2019

Penyakit Bakterial dan Mikal Dosen : Dr. Drh. Savika, M.Kes

Microsporum gallinae

Kelompok 4 Paralel 4

M Irham Bagus S (B04160094)


Titis Prastiwi (B04160096)
Satria Hendriawan (B04160097)

DIVISI MIKROBIOLOGI MEDIK


DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT HEWAN DAN
KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dermatofitosis merupakan salah satu penyakit mikosis superfisialis akibat
jamur yang menginvasi jaringan yang mengandung keratin seperti stratum korneum
epidermis, rambut, dan kuku. Seringkali disebut infeksi tinea dan diklasifikasikan
menurut bagian tubuh yang terkena. Organisme penyebab dermatofitosis termasuk
dalam tiga genus, yaitu Trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyton, sedangkan
berdasarkan transmisinya terdapat tiga klasifikasi yakni antropofilik, zoofilik, dan
geofilik.Berdasarkan data epidemiologi yang dilakukan di Indonesia insidensi
dermatofitosis lebih tinggi dibandingkan kasus dermatomikosis superfisialis lainnya
(Campbell et.al 2013).
Dermatofitosis dipengaruhi oleh banyak faktor, beberapa faktor predisposisi
yang menyebabkan infeksi ini adalah personal hygiene, penggunaan pakaian yang
ketat, status sosial ekonomi, kondisi tempat tinggal padat yang dapat mengakibatkan
kontak langsung kulit ke kulit atau kontak yang erat dengan hewan, serta adanya
penyakit kronis (imunosupresi) seperti Human Immunodeficiency Virus (HIV),
penggunaan sitostatika, dan kortikosteroid jangka panjang.8 Penegakan diagnosis
dermatofitosis pada umumnya dilakukan secara klinis, dapat diperkuat dengan
pemeriksaan mikroskopis, kultur, dan pemeriksaan dengan lampu Wood pada spesies
tertentu.
Insidensi mikosis superfisial sangat tinggi di Indonesia karena menyerang
masyarakat luas, oleh karena itu akan dibicarakan secara luas. Sebaliknya mikosis
profunda jarang terdapat. Mikosis superfisial terbagi menjadi dua kelompok
dermatofitosis dan non-dermatofitosis. Istilah dermatofitosis harus dibedakan di sini
dengan dermatomikosis. Dermatofitosis ialah penyakit pada jaringan yang
mengandung zat tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku
yang disebabkan golongan jamur dermatofita. Penyebabnya adalah dermatofita yang
mana golongan jamur ini mempunyai sifat mencerna keratin. Dermatofita termasuk
kelas fungi imperfecti yang terbagi dalam genus, yaitu microsporum, trichophyton, dan
epidermophyton. Selain sifat keratolitik masih banyak sifat yang sama di antara
dermatofita, misalnya sifat faali, taksonomis, antigenik, kebutuhan zat makanan untuk
pertumbuhannya, dan penyebab penyakit.

Microsporum gallinae adalah jamur dari genus Microsporum yang


menyebabkan dermatofitosis, umumnya dikenal sebagai kurap. Ayam mewakili
populasi inang dari Microsporum gallinae, tetapi sifat oportunistiknya
memungkinkannya memasuki populasi unggas, tikus, tupai, kucing, anjing dan
monyet. Kasus Microsporum gallinae pada manusia jarang terjadi, dan biasanya
infeksi superfisial ringan dan tidak mengancam jiwa (Fonseca et al. 1984).

1.2 Tujuan

Makalah ini bertujuan untuk mengetahui morfologi, gejala klinis hewan


terinfeksi, transmisi penyakit, patogenesa, teknik diagnosa, serta pencegahan dan
pengobatan terhadap Mikrosporum gallinae.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi dan Klasifikasi


Microsporum gallinae pertama kali diidentifikasi pada tahun 1881 oleh Megnin
dari favus ayam, dan dinamai Epidermophyton gallinae. Kemudian dipindahkan dari
genus Epidermophyton, dan diklasifikasikan dalam genus Trichophyton, sebagai
Trichophyton gallinae. Identifikasi makrokonidia berdinding kasar, merupakan ciri
khas dari genus Microsporum, menyebabkan dermatofit yang diklasifikasikan sebagai
Microsporum gallinae. Perdebatan tentang penempatan filogenetik dari dermatofit ini
masih terjadi, tetapi nama yang diterima saat ini adalah Microsporum gallinae. Analisis
urutan DNA oleh PCR menunjukkan Microsporum gallinae paling erat kaitannya
dengan Microsporum vanbreuseghemii dan Arthroderma grubyi, keduanya juga
merupakan jamur zoophilic (Fonseca et al. 1984).

Klasifikasi Microsporum gallinae


Kerajaan Jamur
Divisi Ascomycota
Kelas Eurotiomycetes
Subkelas Eurotiomycetidae
Ordo Onygenales
Famili arthrodermataceae
Genus Microsporum
Spesies Microsporum gallinae

2.2 Morfologi
Dalam kultur, Microsporum gallinae menghasilkan koloni putih yang halus.
Koloni tampak datar dengan lipatan radial dan tepi yang tidak teratur saat tumbuh
dalam kultur. Koloni terbalik menghasilkan pigmentasi yang kuat yang berubah dari
merah muda menjadi merah tua dan berdifusi melalui media pertumbuhan.
Pertumbuhan optimal Microsporum gallinae terjadi pada suhu 26-28 ° C dan tidak ada
persyaratan nutrisi khusus yang diperlukan untuk pertumbuhannya. Selain itu,
Microsporum gallinae adalah urease positif (Murata et.al 2013).
Microsporum hanya hidup pada rambut dan kulit. Cendawan ini terlihat bagai
selubung mosaik yang terdiri dari spora kecil di sekeliling batang rambut.
Epidermophyton hidup pada kulit dan kuku dengan bentuk bercabang dan bersekat.
Pengamatan secara pasti hanya dapat dilakukan dengan pemupukan. Selama sporulasi,
hifa bersepta, dengan makrokonidia dengan ujung berujung, dan mikrokonidia
berbentuk ganda ada. Penambahan ekstrak thiamine atau ragi meningkatkan sporulasi
Microsporum gallinae. Invasi rambut yang diamati pada Microsporum gallinae adalah
jenis ectothrix spored besar, yang berarti bahwa spora terbentuk di luar batang rambut
(Miyasato et.al 2011).
2.3 Transmisi
Microsporum gallinae tersebar di seluruh dunia, dengan kasus yang dilaporkan
di Eropa, Timur Tengah, Amerika Selatan, Amerika Utara, Afrika, dan Jepang. Jamur
tampaknya lebih sering diisolasi di daerah dengan kelembaban dan suhu tinggi. cara
penularan jamur dapat secara langsung dan secara tidak langsung Penularan langsung
dapat melalui fomit, epitel, dan rambut - rambut yang mengandung jamur baik dari
manusia atau dari bianatang,dan tanah. Penularan tak langsung dapat melalui tanaman,
kayu yang dihinggapi jamur, barang - barang atau pakaian, debu, atau air (Siregar,
2004).
Faktor yang mempengaruhi disamping cara penularan, timbulnya kelainan -
kelainan dikulit bergantung pada beberapa faktor yaitu :
a. Faktor virulensi dari dermatofita
Virulensi ini bergantung pada avnitas, jamur, antropofilik, zoofilik, atau
geofilik. Kelaian afinitas ini, masing - masing jenis jamur tersebut berbeda pula satu
dengan yang lain dalam afinitas terhadap manusia maupun bagian - bagian
tubuh,Faktor yang terpenting dalam Virulensi ini ialah kemampuan spesies jamur
menghasilkan keratinasi dan mencerna keratin di kulit.
b. Faktor trauma kulit
Trauma kuit yang utuh tanpa lesi -lesi kecil, lebih susah untuk terserang jamur.
Faktor suhu dan kelembaban, Kedua faktor ini sangat jelas berpengaruh terhadap
infeksi jamur, tampak pada lokalisasi atau local. tempat yang banyak keringat
seperti lipat paha dan sela - sela jari paling sering terserang penyakit jamur ini.
c. Keadaan sosial
Faktor ini memegang peranan penting pada infeksi jamur. Insiden panyakit
jamur pada golongan sosial dan ekonomi yang lebih rendah lebih sering ditemukan
dari pada golongan sosial dan ekonomi yang lebih baik.
d. Faktor umur dan jenis kelamin.
Penyakit tinea kapitis lebih sering ditemukan pada anak – anaak dibandingkan
pada orang dewasa. Pada wanita lebih sering ditemukan infeksi jamur di sela - sela
jari dibandingkan pada pria, dan hal ini banyak berhubungan dengan pekerjaan. Di
samping faktor - faktor tadi masih ada faktor - faktor lain, seprti faktor perlindungan
tubuh, (topi, sepatu, dan sebagainya), faktor transpirasi sertapenggunaan pakaian
yang serba nilon dapat memudahkan timbulnya penyakit jamur ini.
2.4 Patogenesa
Microsporum gallinae adalah jamur zoofilik kosmopolitan yang sangat jarang
menyerang manusia. Jamur ini memperoleh nutrisi dari kulit, kuku, dan rambut yang
kaya keratin, melepaskan enzim selama pencernaannya yang menghasilkan respons
imun inang seperti yang terlihat pada kurap. Infeksi Microsporum gallinae didiagnosis
dengan membiakkan kerokan dari lesi kulit (Graser et.al 1998).

a. Patogenitas pada Ayam


Microsporum gallinae menyebabkan infeksi superfisial yang lesi putih pada
pial dan sisir ayam. Lesi dapat menyebar ke kepala dan leher. Bulu-bulu biasanya tidak
terpengaruh oleh dermatofit, meskipun beberapa kehilangan bulu dapat terjadi. Ayam
jantan dan anak ayam cenderung lebih rentan terhadap infeksi, dengan ayam aduan
memiliki tingkat tertinggi dermatofitosis Microsporum gallinae. Meskipun cenderung
sembuh dengan pengobatan, infeksi Microsporum gallinae dapat menjadi kronis. Lesi
juga dapat terinfeksi oleh bakteri, mempersulit infeksi. Dalam beberapa kasus, itu
dapat menyelesaikan secara alami tanpa perawatan, Namun, infeksi dapat bertahan
selama berminggu-minggu sebelum pembersihan (Howard 2002).

Gambar 1. Gejala klinis infeksi Microsporum gallinae pada ayam

b. Patogenitas pada Manusia


Microsporum gallinae telah diisolasi dari kulit kepala, dan kulit pada populasi
manusia. Infeksi Microsporum gallinae paling umum adalah tinea capitis dan tinea
corporis. Sangat sedikit kasus infeksi Microsporum gallinae pada manusia yang
dilaporkan, tidak ada yang mengancam jiwa. Dari kasus-kasus yang dilaporkan,
individu-individu berusia antara 3-96 tahun. Mereka memiliki lesi kulit pada kulit
glabrous atau kulit kepala. Lesi yang terlokalisasi ini sering disertai dengan rasa gatal.
Manifestasi kulit sangat mirip dengan Microsporum canis sehingga banyak kasus
Microsporum gallinae bisa tidak dilaporkan. Dalam kasus yang jarang terjadi, individu
yang immunocompromised membentuk penyebaran parah pada kulit, bukannya lesi
kecil yang terlokalisasi sebagai hasil dari penanganan hewan yang terinfeksi. Hanya
satu kasus dermatofitosis luas yang dilaporkan melibatkan infeksi Microsporum
gallinae dari orang dengan AIDS (Howard et.al 2002). Infeksi Microsporum gallinae
menyebakan infeksi superficial yang ditandai dengan adanya lesi putih pada pial dan
sisir ayam (Aurora et al. 1991).
2.5 Diagnosa
Infeksi Microsporum gallinae menyebakan infeksi superficial yang ditandai
dengan adanya lesi putih pada pial dan sisir ayam (Aurora et al. 1991).

Gambar 2. Infeksi Microsporum gallinae

Diagnosa dilakukan dengan melihat gejala klinis dan selanjutnya dilakukan


pemeriksaan untuk meneguhkan diagnosa. Maka teknik diagnosis yang dilakukan
adalah :
Pemeriksaan bertujuan untuk meneguhkan diagnosa yang dibuat berdasarkan
gejala klinis. Maka teknik diagnosa yang dilakukan adalah :
1. Isolasi dan pembiakan pada media selektif
Pemeriksaan dilakukan dengan mengambil sampel diambil dari lesi kerokan
kulit, dari sisir ayam yang terdapat lesi putih. Media yang digunakan biasanya
yaitu PDA dan SDA (sabouraud dextrose agar) yang dikultur selama kurang
lebih 21-28 hari pada suhu 25°. Pada media PDA bewarna abu-abu merah muda
yang menunjukkan pigmen merah muda seperti strawberry red yang menyebar
ke medium. Pada media SDA koloni berwarna putih kapas dengan sedikit
pigmen stroberi merah yang tersebar ke medium (Murata et al. 2013).

Gambar 3. koloni ada media SDA (a) dan PDA (b)


2. Pemeriksaan mikrospkopis
Pemeriksaan dilakukan dengan melihat morfologi Microsporum gallinae di
bawah mikroskop setelah dilakukan pewarnaan laktofenol biru. Pada gambar
(a) makrokonida yang mempunyai 4-6 sel dan sel tunggal yang melekat pada
hifa pada gambar (b) (Murata et al. 2013).

Gambar 4 mikroskopis Microsporum gallinae

2.6 Pengobatan
Pengobatan Microsporum gallinae melibatkan antijamur oral dan oral. Antijamur
topikal, seperti: Terbinafine, Tolnaftate, dan Griseofulvin yang diberikan secara oral
telah berhasil digunakan untuk mengobati infeksi Microsporum gallinae pada manusia
dan hewan (Wwitzman dan Summerbel 1995)

BAB III
SIMPULAN

Microsporum gallinae merupakan salah satu penyakit yang menyebabkan


penyakit dermatofitosis yang berasal dari genus Microsporum. Ayam merupakan salah
satu inang untuk jamur ini. Kasus pada manusia jarang terjadi, infeksinya ringan dan
tidak menimbulkan korban jiwa.

DAFTAR PUSTAKA

Aurora, Dilip K, Libero A, Mukerji KG. 1991. Pegangan Mikrobiologi Terapan. New
York (US) : Marcel Dekker.
Campbell, C, E and D.W, Johnson, Warnock. 2013. Identification of Pathogenic
Fungi 2nd Edition. Wiley Blackwell
Fonseca E, Leonel M 1984. Favus in a Fighting Cock Caused by Microsporum
gallinae. Avian Diseases. 28 (3): 737–741.
Gräser, Y, el Fari, M, Presber, W, Sterry, W, Tietz, HJ. 1998. Identification of common
dermatophytes (Trichophyton, Microsporum, Epidermophyton) using polymerase
chain reactions". The British Journal of Dermatology. 138 (4): 576–82.
Howard, D.H (2002). Pathogenic Fungi in Humans and Animals (2nd edition). CRC
Press.
Miyasato Y, Taira H, Kayo S, Uezato T. 2011. Tinea corporis caused by Microsporum
gallinae: First clinical case in Japan. The Journal of Dermatology. 38 (5): 473–
478
Murata M Hideo T, Sana T, Yoko T, Hiroji C, Yoshiteru M, Kazutoshi S, Takashi K,
Sayaka Y, Hitona M. 2013. Isolation of Microsporum gallinae from a fighting
cock in Japan". Medical Mycology. 51 (2): 144–149.
Weitzman, I, Summerbell, R.C. 1995. "The dermatophytes". Clin Microbiol Rev. 8(2):
240–259.

Anda mungkin juga menyukai