ANASTESI INHALASI
Disusun Oleh:
Siti Khodizah S 1102014252
Pembimbing:
dr. Rizky Ramadhana, Sp. An
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
Sebagian kecil akan dimetabolisme di hepar dan ginjal melalui sitokrom P450.
(Smith, 1996)
Potensi dari anestesi inhalasi dinyatakan dalam MAC (Minimum Alveolar
Concentration) adalah konsentrasi anestesi yang dibutuhkan untuk menekan
pergerakan terhadap stimulasi pembedahan pada 50% subjek atau bisa dikatakan
sebagai Effective dose 50 (ED50). (Hönemann and Mierke, 2013)(Sonner et al.,
2003)
Pada akhir abad ini, Overton dan Meyer melaporkan bahwa potensi anestesi
diduga berkorelasi dengan kelarutan dalam lemak, tetapi selama 80 tahun, sedikit
teori dari narkosis yang berkembang dari fokus di lipid, terutama membran bilayer,
tetapi tidak satupun teori yang dapat bertahan terhadap penelitian yang mendetil.
Sebagai contoh, teori mengenai anestesi meningkatkan gangguan membran
(meningkatkan tingkat kecairan) dan menjadi dasar untuk anestesi. Bagaimanapun
juga peningkatan dari suhu tubuh juga meningkatkan gangguan ini, tetapi
peningkatan dari suhu tubuh akan meningkatkan MAC. Penemuan bahwa komponen
inhalasi tidak berhubungan dengan hipotesa lipofilik dari Meyer-Overton; alkohol
lebih poten dari yang diprediksikan berdasarkan lipofiliknya, dimana beberapa
campuran kurang poten (campuran transisional). Sebagai contoh, etanol memiliki
koefisien partisi minyak/gas 108, mirip dengan nilai isoflurane yaitu 98. Tetapi MAC
dari isoflurane di tikus adalah 1,5%, 10 kali lebih besar dari pada etanol 0,1%.
Contoh lainnya adalah 1,2-dichlorohexafluorobutane (F6 atau 2N) memiliki koefisien
partisi minyak/gas 44, mirip dengan sevoflurane 47 yang memiliki MAC 2,4%.
Tetapi F6 tidak memiliki efek anestesi pada konsentrasi berapapun, termasuk pada
konsentrasi > 4 %. Juga teori mengenai anestesi inhalasi yang dapat meningkatkan
efek dari neurotransmiter inhibisi atau channel voltage gate (potasium) atau
menghambat efek dari neurotransmiter eksitasi. (Sonner et al., 2003)
Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa medula spinalis memediasi dari
kebanyakan efek dari anestesi inhalasi untuk menghasilkan imobilitas. Observasi dari
dekade lalu bahwa imobilitas sewaktu stimulasi gas tidak berkorelasi terhadap
3
aktivitas EEG (electroencephalographic). Pada tikus, prekolikular deserebrasi atau
pemotongan komplit dari medula spinalis thorakal berefek minimal dari kapasitas
isoflurane dalam menghambat pergerakan. In vivo elektrofisiologi dari medula
spinalis memperlihatkan bahwa anestesi dapat menghambat aktivitas sensorik dan
motorik. Pada kambing, MAC untuk isoflurane yang disebarkan ke seluruh tubuh
adalah 1,2%, tetapi penghantaran ke otak meningkatkan MAC sampai mendekati 3%.
Pada beberapa kambing dapat bergerak selama EEG diam dan pergerakan pada kadar
halotan yang besar di otak. Hal ini mengindikasikan bahwa gas anestesi bekerja
terutama pada medula spinalis untuk menghasilkan imobilitas dan hanya minor
merupakan efek dari serebral. Karena saraf motorik mengintegrasikan semua input
dan sinyal otot untuk bergerak, efek anestesi pada saraf motorik mungkin penting
untuk menghasilkan imobilitas. Komponen medula spinalis lainnya (terutama
terminal aferen dan interneuron) tampaknya juga mempunyai peranan. Efek dari
anestesi terhadap saraf motorik telah diteliti pada medula spinalis tikus. Anestesi
volatil dan etanol menekan output saraf motorik yang ditimbulkan oleh stimulasi
dorsal root. Anestesi volatile meningkatkan GABAA (Gamma-aminobutyric acid)
dan saluran klorida inhibisi glycine yang dihasilkan dari aplikasi GABA atau glycine.
Aksi ini akan menurunkan eksitasi dari saraf dan bisa memberikan kontribusi
terhadap aksi depresi dari anestesi. Tetapi hal ini juga tidak bisa dijelaskan, karena
pada blok dari GABAA dan saluran klorida inhibisi glycine pada medula spinalis
yang utuh, malah menurunkan efek depresi dari anestesi. Kemungkinan efek konvulsi
dari obat blok ini. Reseptor asetilkolin juga dipengaruhi oleh anestesi volatile dan
alkohol, tetapi ke arah yang berlawanan. Walaupun reseptor asetilkolin dapat sangat
mempengaruhi transmisi dari saraf spinal, blok dari reseptor nikotinik atau
muskarinik tidak mempengaruhi potensi dari anestesi, baik in vivo ataupun in vitro.
Oleh karena itu inhibisi dari saluran klorida, tetapi tidak pada reseptor asetilkolin
akan berimplikasi pada imobilitas pada anestesi. (Sonner et al., 2003)
Pada preparat medula spinalis dimana terdapat isolasi aksi post-sinaps di saraf
motorik dari kerja aferen dan inter-neuron. Pada potongan ini, ethanol dan anestesi
4
volatil menekan aksi yang ditimbulkan oleh pemberian glutamate. Hal ini
membuktikan bahwa agen ini dapat menekan secara langsung pada eksitasi saraf
motorik. Etanol dan anestesi volatil menekan reseptor α-amino 3-hydroxy-5-methyl-
4-isoxazolepropionic acid (AMPA) dan reseptor N-methyl-D-aspartic acid (NMDA)
melalui efek independen dari GABAA dan reseptor glycine. Jadi diduga anestesi
menurunkan output dari motorik dari depresi eksitasi maupun meningkatkan inhibisi.
Efek dari anestesi pada saraf bermacam-macam dan kompleks, dan efek pada MAC
tidak dimengerti secara jelas. Dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan,
disimpulkan bahwa efek pada transmisi reseptor eksitasi (AMPA dan NMDA) dan
inhibisi (GABAA dan glycine) bisa menghasilkan imobilitas. (Sonner et al., 2003)
2.2 SEVOFLURANE
Sevoflurane adalah fluorinated methyl isopropyl ether. Koefisien partisi dari
darah/gas sevoflurane adalah 0,69 yang secara teoritis memungkinkan obat ini
menginduksi dalam waktu singkat dan terjadi pemulihan yang cepat pula setelah
obatnya dihentikan. Dibandingkan dengan isoflurane, pemulihan sevoflurane bisa
lebih cepat 3 sampai 4 menit. Minimum alveolar concentration (MAC) pada suhu
kamar 37ºC, pada tekanan 760 mmHg, usia 30-35 tahun adalah 1,8-2,0%. MAC akan
menurun seiring bertambahnya umur, pemberian N2O, opioid, barbiturat,
benzodiazepine, alkohol, temperatur, obat yang memperngaruhi konsentrasi
katekolamin sentral dan perifer (misalnya : reserpin, alpha metyl dopa). MAC untuk
pasien umur 6 bulan sampai 12 tahun adalah 2,5%, untuk umur dibawah 6 bulan
adalah 3,2-3,3%. Sevoflurane memiliki bau yang manis dan tidak iritatif terhadap
saluran nafas sehingga dapat digunakan untuk induksi inhalasi.
Sekitar 3-5% sevoflurane akan mengalami biodegradasi di hepar, dengan
metabolitnya berupa fluorida anorganik dan hexafluoroisopropanol. Secara kimia,
sevofluran tidak dimetabolisme menjadi acyl halide reaktif seperti pada halotan, yang
bersifat hepatotoksik. Reaksi antara sevofluran dengan absorber karbon dioksida akan
menghasilkan fluoromethyl-2,3-difluoro-1-(trifluoromethyl) vinyl-ether atau yang
5
juga dikenal sebagai compound A. Zat ini bersifat nefrotoksik bila dalam jumlah besar
yang diberikan pada binatang percobaan (terjadi kerusakan pada tubulus proksimal
ginjal. Sevoflurane akan didegradasi oleh soda lime ataupun baralime. Dengan soda
lime pada kondisi ruang tertutup dan panas, dihasilkan 5 produk yaitu compoun A, B,
C, D, E.(Biro, 2014)
Yang menjadi perhatian adalah compound A, dimana pada penelitian pada
tikus, Morio dkk menemukan konsentrasi dari compound A yang dapat membunuh
50 % tikus setelah 1 jam pemaparan adalah 1090 ppm (jantan) dan 1050 ppm (betina)
tetapi setelah 3 jam pemaparan menurun menjadi 400 ppm. Toksisitas dari compound
A tersebut melibatkan selain renal, juga hepar dan serebral. Tetapi penelitian oleh
Bito dan Ikeda menemukan bahwa compound A yang terbentuk pada 3 jenis fresh
gas flow (1,3,6 lp ) adalah : 19,7 ± 4,3, 8,1 ± 2,7, 2,1± 1,0 ppm. (Smith, 1996)
Jauh dibawah dosis toksik, sehingga sevoflurane aman untuk dipakai juga
dengan low flow anesthesia. Efek sevofluran pada sistem kardiovaskular adalah
depresi ringan terhadap kontraktilitas myokard. Resistensi vaskular sistemik serta
tekanan darah arterial sedikit menurun namun tidak sehebat pada isoflurane dan
desflurane. Tidak menyebabkan coronary steal syndrome.
Pada sistem pernafasan, sevoflurane menyebabkan depresi sistem respirasi
dan menyebabkan bronkodilatasi. Pada sistem saraf pusat, sevoflurane menyebabkan
peningkatan cerebral blood flow dan tekanan intrakranial pada kondisi normokarbia.
Sevofluran konsentrasi tinggi (>1,5 MAC) akan mengganggu autoregulasi otak
sehingga bila terjadi bersamaan dengan perdarahan otak akan menyebabkan
kegagalan dalam autoregulasi dan perfusi ke otak akan turun. Untuk rekomendasi
klinis diharapkan level dari sevoflurane minimal 1 MAC. Pada penelitian Ramani dan
kolega, pada penggunaan sevoflurane 0,25 MAC kebanyakan mempengaruhi korteks
visual, dan beberapa korteks terkait lainnya. Pada penelitian serupa, pada 0,5 MAC
sevoflurane memiliki pengaruh yang lebih luas terhadap otak. Sehingga disimpulkan
dosis rendah sevoflurane akan mempengaruhi area yang terkait dengan memori
6
tingkat tinggi. Yang terjadi pada 0,25 MAC adalah mempengaruhi aliran darah otak
ke daerah oksipital yang memproses daerah visual.
Sedangkan pada 0,5 MAC terutama mempengaruhi aliran darah otak ke area
frontal dan parietal yang mempengaruhi fungsi memori dan sensorik. Kebanyakan
obat anestesi akan bekerja pada tingkat sela sinaps di otak, sebagai contoh ketika
adanya sensasi, sinyal saraf akan berpindah ke area utama dari otak kemudian
sekunder sebelum tiba ke area tersier di frontal dan temporal yang memproses dan
mengkombinasi berbagai macam tipe stimulus. Efek dari anestesi akan menghambat
hantaran sinyal tersebut. (Zhou, 2012)
Pada sistem muskuloskeletal sevofluran memiliki efek relaksasi yang baik
sehingga dapat diandalkan sebagai relaksan otot pada bayi yang diinduksi dengan
inhalasi. Sevofluran sedikit menurunkan aliran darah ke ginjal. Sevofluran
menurunkan aliran darah portal tetapi meningkatkan aliran darah ke arteri hepatika
sehingga secara umum tidak terlalu mempengaruhi aliran darah ke hepar serta
oksigenasinya.
7
Gambar 2.1 Konsumsi Gas Inhalasi
8
Minimal flow : 250 – 500 ml/menit
Low flow : 500 – 1000 ml/menit
Medium flow : 1-2 L/menit
High flow : 2-4 L/menit.
Untuk kebutuhan akan low flow anesthesia diperlukan sirkuit tertutup atau
semiclosed dengan tingkat kebocoran minimal (< 150 ml pada 30 mmHg) dengan
syarat sodalimenya bekerja sempurna untuk mengikat karbondioksida dari udara
ekspirasi supaya bisa diinspirasikan kembali oleh pasien.(Welch, 2002)
Tidak adanya gas yang keluar dari sirkuit akan memberikan efisiensi yang
maksimal untuk penggunaan aliran gas segar. Low flow anesthesia menggunakan
aliran gas segar yang lebih besar daripada aliran metabolik tetapi lebih rendah dari
konvensional. (Nunn FRCA, 2008)
Dengan memberikan aliran lebih besar daripada aliran metabolik, memberikan
rentang keamanan yang lebih besar dan kenyamanan untuk maintenance komposisi
gas di campuran inspirasi. Tidak perlu untuk terlalu mendekati uptake. Dengan hal ini
sudah memberikan pengiritan dalam hal obat inhalasi. Untuk menggunakan teknik
ini, pada awalnya diperlukan aliran gas yang tinggi pada awalnya untuk mencapai
target end tidal anestesi inhalasi yang diinginkan, setelah itu baru diturunkan sampai
ke kecepatan < 1 L/menit.(Hönemann, Hagemann and Doll, 2013)
Dengan menggunakan target yang diinginkan pada aliran gas yang rendah ini
akan mengurangi biaya dari pemakaian gas dan obat inhalasi, dimana gas inhalasi
yang diberikan sesuai dengan target yang diinginkan, sehingga tidak berlebihan,
terpantau baik, kedalaman anestesi yang stabil, dan pemulihan yang lebih cepat.
(Yeliz, 2016)
Dengan teknik anestesi menggunakan sevoflurane dengan tingkat kelarutan
yang rendah, menyebabkan kadar agen anestesi di dalam alveolus cepat mencapai
titik jenuh. Dengan tingginya kadar agen anestesi inhalasi di dalam alveolus, akan
memudahkan masuknya agen anestesi ke dalam darah. Dengan kelaruan yang rendah
9
di darah, sevofluran akan mudah berpindah ke jaringan terutama yang kaya pembuluh
darah seperti otak dan cepat menyebabkan pasien terinduksi. Dengan teknik low flow
anestesi, diperlukan aliran gas yang tinggi di awal untuk membuat jenuh sirkuit
pernafasan dengan agen anestesi inhalasi, dan untuk mencapai MAC yang diinginkan.
Setelah MAC tercapai, dan aliran gas diturunkan sampai mendekati jumlah konsumsi
dari pasien, maka kadar dari agen anestesi di jaringan otak akan mendekati dari
kebutuhan pasien akan gas anestesi. Di satu sisi hal ini akan membuat otak akan
mudah terjaga. Tingkat kelarutan dalam darah dan jaringan yang rendah akan
memfasilitasi keseimbangan dengan cepat antara konsentrasi di dalam alveolus dan
konsentrasi di otak, sehingga membuatnya cocok untuk teknik anestesi aliran rendah.
(Hönemann and Mierke, 2013)
10
Mesin anestesi yang moderen dilengkapi dengan sistem rebreathing yang baik
sehingga bisa dipakai untuk menurunkan kecepatan aliran gas. Teknik low flow akan
mempengaruhi kinetik gas pada sistem sirkuit pada umumnya, sehingga diperlukan
pemantauan konsentrasi gas inspirasi dan ekspirasi. Pemantauan ini diperlukan
supaya tidak hanya menjamin keamanan pasien, tetapi juga kedalaman anestesi. Di
satu sisi apabila menggunakan aliran gas tinggi seperti 5L/menit dapat menyebabkan
80% gas anestesi terbuang, selain itu juga gas yang terbuang tersebut juga
menyebabkan polusi lingkungan, efek rumah kaca seperti akibat N2O, kandungan
klorin pada halotan, enfluran dan isofluran yang berpotensi merusak ozon.(Yasny and
White, 2012) Hal ini tidak terdapat pada desflurane dan sevofluran. Pada aliran gas
yang tinggi biasanya kering dan dingin yang akan beresiko pada hipotermi.
Sedangkan pada aliran gas rendah dan rebreathing, gas yang mengalami resirkulasi
hangat dan lembab, semakin banyak gas yang disirkulasi melalui CO2 absorber, lebih
banyak panas dan kelembapan yang dihasilkan melalui proses absorpsi CO2.
(Hönemann and Mierke, 2013)
11
Aliran gas yang hangat dan lembab tersebut bermanfaat:
Gas yang hangat dapat mempertahankan suhu tubuh
Pencegahan kehilangan panas selama anestesi mencegah kejadian menggigil
paska operasi
Humidifikasi gas pernafasan akan menurunkan kehilangan air dari jalan nafas
dan mencegah pengeringan jalan nafas dan bronkus selama intubasi
endotrakeal
2.3.1. Peralatan
Kebutuhan paling minimum untuk melakukan anestesi aliran gas rendah adalah
Mesin anestesi dengan pengukuran aliran gas sampai dengan minimal 50
ml/menit.
Sistem sirkuit yang tidak bocor atau maksimal 150 ml/menit pada 30 mmHg
(closed atau semi-closed) yang sudah terintegrasi dengan sistem pengukuran
konsentrasi gas baik inspirasi ataupun ekspirasi. Dengan jenis sirkuit yang
tidak mengikat agen anestesi.
Vaporizer
Monitor yang dapat memantau kadar gas atau agen anestesi inspirasi dan
eskpirasi.
Karbondioksida absorber yang berfungsi baik.
Pengukur kedalaman anestesi, seperti Bispectral Index, atau berdasarkan
MAC.
End tidal CO2 yang dikalibrasi.
12
Pengukur tekanan, regulator, katup pop-off, untuk melindungi pasien dan
mesin dari gas bertekanan tinggi.
Flowmeter untuk oksigen, udara, N2O.
Vaporizer dengan ukuran yang tepat dalam pemberian dosis.
Ventilator yang terpasang pada mesin anestesi untuk memberikan ventilasi
mekanik pada pasien yang teranestesi.
Kantong ventilasi manual yang dikombinasikan dengan katup pengatur
tekanan.
Sistem pemantauan dari gas yang diberikan dan dikeluarkan oleh pasien.
Sistem alarm keamanan sesuai dengan batas keamanan untuk pasien.
13
Gambar 2.3 Persentase Re-breathing vs FGF
Kehilangan gas secara kontinyu akibat konsumsi pasien dan juga terkandung
di jaringan dikompensasi dengan aliran gas segar ke sirkuit respirasi. Semakin rendah
aliran gas segar, semakin jumlah rebreathing, dan semakin kecil porsi gas yang
berlebihan.(Hönemann and Mierke, 2013)
Perbedaan antara jenis sistem anestesi: semi-open = dengan rebreathing
sebagian, aliran gas segar harus dua sampai tiga kali minute volume sehingga udara
ekspirasi bisa didorong keluar sebelum inspirasi berikutnya. Hal ini menyebabkan
aliran gas segar > 6L/menit. Semi-closed = pasien menghirup kembali sebagian udara
yang diekspirasi tercampur dengan aliran gas segar, tetapi tidak didorong keluar dari
sistem(kebanyakan kembali ke pasien). Pada posisi ini aliran gas segar lebih banyak
dari konsumsi pasien tetapi lebih rendah dari minute volume.
14
Gambar 2.4 Aliran Gas pada Sirkuit Mesin Primus
2.3.2. Pemantauan
Konsentrasi O2 harus selalu dipantau jika menggunakan N2O lebih dari 65%,
sebagai gas adjuvan. Pemantauan etCO2 penting untuk menilai fungsi absorber yang
baik. Ketika pemantauan end tidal konsentrasi anestesi tersedia, tindakan anestesi
dengan aliran gas rendah menjadi sangat mudah. Ketika hal ini tidak tersedia,
beberapa perhitungan harus dilakukan untuk menentukan jumlah agen anestesi yang
harus ditambahkan ke dalam sistem.
15
Gambar 2.5 Mesin Drager Primus dengan kemampuan untuk pemantauan etCO 2, MAC,
inspirasi dan ekspirasi sevo, inspirasi O2
16
Faktor yang dapat mempengaruhi peningkatan dari alveolar konsentrasi harus
dipertimbangkan ketika mencoba mencapai konsentrasi alveolar. Faktor ini dapat
diklasifikasikan menjadi 3 grup yaitu : faktor yang mengatur tekanan dari anestesi
inhalasi, faktor yang bertanggung jawab peningkatan dari tekanan alveolar, faktor
yang bertanggung jawab untuk mengambil dari paru kemudian menurunkan tekanan
alveolar.(Awati et al., 2014)
Faktor yang mempengaruhi tekanan inhalasi:
Volume sirkuit pernafasan
Tingkat kelarutan gas di sirkuit karet
Konsentrasi gas inspirasi
Faktor yang mempengaruhi peningkatan pada tekanan alveolar:
Efek konsentrasi
Ventilasi alveolar
Faktor yang mempengaruhi pengambilan oleh darah:
Cardiac output
Kelarutan darah : gas
Perbedaan alveolus vena
Metoda untuk mencapai konsentrasi gas dan agen yang diinginkan:
Yang paling efektif untuk mengawalinya adalah dengan menggunakan aliran gas
tinggi dalam waktu yang singkat sehingga dapat mencapai konsentrasi yang
diinginkan lebih cepat. Sebagai contoh pada awalnya FGF diatur pada 4 L/menit
dengan sevoflurane 3,5 Vol% sampai target MAC 0,9, kemudian FGF diturunkan ke
1 atau 0,5 L/menit dengan target ekspirasi sevoflurane 0,9 MAC. (Hönemann and
Mierke, 2013)
17
penilaian kedalaman dari anestesi menggunakan tanda klinis seperti respon pupil,
pola pernafasan, kualitas denyut nadi, tekanan darah, denyut jantung, laju pernafasan
dan volume pernafasan. Penentuan efek langsung dari obat anestesi pada sistem saraf
pusat tetap menjadi suatu tantangan, karena respon hemodinamik tidak selalu
memberikan representasi yang akurat mengenai respon dari sistem saraf pusat untuk
agen anestesi. Bispectral indek memberikan metode langsung dan akurat untuk
memantau status otak secara kontinyu atau selama pemberian anestesi. Dasar dari
indek ini adalah otak merupakan permukaan dari electroencephalogram (EEG).
Sinyal fisiologis yang kompleks ini adalah bentuk gelombang yang mewakili semua
jumlah aktivitas otak yang dihasilkan oleh korteks serebral. Gelombang normal EEG
terdapat dua karakteristik yaitu amplitudo kecil (20-200 microvolts) dan frekuensi
variabel (0-50 Hz) (Rodrigues Nunes et al., 2012)
18
Perubahan EEG dalam merespon efek dari anestesi dan obat penenang adalah
meliputi : peningkatan rata-rata amplitudo dan penurunan frekuensi rata-rata.
Bispektral indek adalah skala angka antara 0-100 berkorelasi dengan titik akhir klinis
yang penting selama pemberian obat anestesi. Nilai BIS mendekati 100 menunjukkan
keadaan terjaga dari keadaan klinis, sementara 0 menunjukkan efek maksimal EEG
(yaitu EEG isoelektrik). Nilai BIS indek dibawah 70 kemungkinan recall eksplisit
menurun secara drastis. Pada nilai BIS indek kurang dari 60, pasien memiliki
probabilitas kesadaran yang sangat rendah. (Kelley, 2012)
19
Intensitas rangsangan : dalam bentuk mA dan berkisar 0-80 mA.
Treshold current: adalah impuls terendah yang dibutuhkan untuk menimbulkan
depolarisasi pada serat sensitif saraf yang menimbulkan respon otot.
Supramaximal current: intensitas yang diberikan sekitar 10-20% diatas impuls yang
dibutuhkan untuk mendepolarisasi semua serat sarat pada serabut saraf yang dituju.
(2-3 kali dari treshold current).
Submaximal current: intensitas dari impuls yang menimbulkan potensial aksi dari
sebagian dari serabut saraf. Keuntungan dibandingkan supramaksimal adalah kurang
nyeri.
Frekuensi stimulus: adalah kecepatan (Hz) dari setiap impuls diulang dalam siklus
setiap detik(Hz). Gerakan kecil biasanya diulang setiap 10 detik = 0,1 Hz. Sedangkan
bila stimulus tetanik biasanya berisi 50 impuls setiap detiknya = 50Hz.
Untuk elektrodanya ada elektroda permukaan dimana berisi gel yang
merupakan konduktor untuk transmisi dari impuls melalui kulit, biasanya untuk
respon gerakan kecil <15mA. Elektroda jarum, dimana jarum subkutan yang
menghantarkan impuls di sekitar saraf. Elektroda ini lebih efektif karena akan
melangkahi hambatan jaringan yang biasanya <2000 Ohm. Kekurangannya adalah
iritasi, infeksi, kerusakan saraf terutama bila posisi intraneural.
Pola dari stimulasi: twitch tunggal merupakan bentuk yang paling sederhana
dari neurostimulasi yang membawa impuls tunggal 0,1-0,2 m/detik. Impuls tunggal
ini dilakukan pada supramaximal current. Tinggi dari respon otot yang terangsang
tergantung dari jumlah junction yang tidak terblok. Dengan penggunaan blok
nondepolarisasi, respon motorik tidak akan hilang terhadap twitch tunggal kecuali 75-
80% dari reseptor terikat, sehingga tidak akan terdeteksi pada reseptor blok yang
terikat kurang dari 70%. ED95 berarti dosis obat yang menghasilkan rata-rata 95%
depresi dari twitch tunggal.
Untuk train of four sendiri adalah mode stimulasi yang popular untuk
pemantauan klinis dari neuromuskular junction yang pertama kali dinyatakan oleh Ali
20
et al. Empat stimulus yang berhasil diberikan pada 2 Hz (setiap 0,5 detik).(Moi et al.,
2013)
Pada frekuensi ini, cadangan asetilkolin yang tersedia akan segera habis dan
jumlah yang dilepaskan oleh saraf akan menurun dengan setiap stimulus yang
berhasil sampai ke lima atau enam. Sejumlah kecil dari neurotransmiter ini pun
mampu untuk menghasilkan kontraksi normal dari otot karena rentang yang luas dari
transmisi neuromuskular yang aman. Pada saat diberikan pelumpuh otot non-
depolarisasi, keamanan dari rentang ini menurun sampai pada titik dimana beberapa
end plate gagal untuk menghasilkan potensial aksi. Dengan peningkatan derajat blok,
kedutan di train of four secara progresif menghilang, dimulai dari empat kemudian
satu persatu menghilang. Rasio ketinggian dari keempat respon terhadapp yang
pertama dinyatakan sebagai train of four rasio. Tanpa adanya blok non-depolarisasi,
rasio T4/T1 sekitar satu. Kedutan pertama akan berfungsi sebagai kontrol hanya bila
telah berlalu 10 detik setelah stimulus sebelumnya. Jadi stimulus TOF seharusnya
diberikan kurang dari 12 detik. Rentetan yang kurang dari empat respon atau stimulus
pada rasio frekuensi rendah cenderung akan mengorbankan sensitivitas yang
memudar. Frekuensi tinggi akan menghasilkan tetanus dan kelembaman otot yang
mempersulit untuk diinterpretasikan.
Residu dari blok neuromuskular adalah kondisi dimana pemulihan dari
neuromuskular yang tidak adekuat, bisa disebut juga paralisis residual, residual
kurare, residual dari blok neuromuskular. Untuk lebih objektifnya, Menurut Moi D,
definisi dari train of four recovery < 0,9. (Moi et al., 2013)
Bagaimanapun juga bahwa sekitar 40 % dari pasien paska operasi (yang telah
dilumpuhkan) tiba di PACU dengan TOF <0,9 dan 12 % dengan TOF < 0,7. Hal ini
dibandingkan dengan perkiraan di tahun 1970 dimana sekitar 45 % dari pasien tiba
dengan TOF <0,7.(Anaesth and Mantha, 2002)
Berdasarkan pada penelitian yang meneliti mengenai morbiditas dari residual
blok, perkiraan kasar 1-3% dari pasien ini akan berkembang menjadi kejadian klinis.
Hanya sedikit pasien dengan cadangan fisiologi yang terbatas dimana residu dari blok
21
neuromuskular berkembang menjadi konsekuensi serius. Penggunaan rasio ambang
0,7 didapatkan dari beberapa penelitian yang bertujuan untuk menetapkan konsep
―pemulihan yang dapat diterima‖. Rasio ini didapatkan dari beberapa tanda klinis,
pemantauan neuromuskular dan kemampuan pasien untuk membuka mata lebar,
batuk, mengeluarkan lidah, kapasitas vital pernafasan 15-20 ml/kg dan
mempertahankan stimulasi tetanik tanpa menghilang selama 5 detik. Berdasarkan
pemantauan yang lebih maju dan penelitian berkelanjutan, TOF <0,9 dianggap
sebagai residual blok neuromuskular, dengan peningkatan resiko aspirasi dan
disfungsi dari faring. Gangguan aliran inspirasi dan obstruksi jalan nafas parsial pada
TOF <0,8.
Kriteria klinis untuk mengevaluasi keadekuatan dari fungsi otot termasuk :
penilaian dari kemampuan pasien untuk mengangkat kepala yang adekuat,
mengatupkan rahang, kekuatan genggaman dan volume tidal. Hal tersebut merupakan
prediktor yang kurang dapat dipercaya untuk pemulihan dari neuromuskular. Sebagai
contoh, ada kemungkinan kemampuan untuk mengangkat kepala selama 5 detik
dengan TOF <0,5. (Moi et al., 2013). Banyak dari tes-tes ini tidak spesifik untuk
fungsi respirasi.
22
Pemantauan dari Train of four neuromuskular secara umum dilakukan dengan
penilaian subjektif baik train of four simpel atau train of four rasio. Evaluasi dari
taktil (pergerakan dari jempol pasien melawan jari pengamat) lebih akurat daripada
penilaian visual. Double burst stimulation (DBS) adalah cara lain untuk pemantauan
neuromuskular tetapi juga diukur secara subjektif. DBS dapat mendeteksi sampai
dengan 0,6, yang berarti cukup signifikan tetapi tidak menghilangkan insiden dan
derajat dari residual blok neuromuskular.(Srivastava and Hunter, 2009)
Penilaian objektif dari pemantauan neuromuskular, dilakukan melalui
penilaian kuantitatif dari kekuatan kontraksi otot perifer (seperti adduktor polisis di
jempol) sebagai respon terhadap rangsangan saraf (seperti saraf ulna di pergelangan)
yang dihasilkan dari dua elektroda perangsang. Tiap teknik penilaian mengukur
kekuatan dari kontraksi baik secara langsung ataupun suatu faktor yang proporsional
dengan kekuatan (Moi et al., 2013)
23
Gambar 2.7. Lokasi Pengukuran Kekuatan Motorik
24
Penempatan dari elektroda juga aspek penting untuk mendapatkan
pemantauan neuromuskular yang sukses dan akurat. Elektroda seharusnya
ditempatkan pada jalur dari saraf tepi. Elektroda negatif (hitam) adalah elektroda
yang aktif memberikan stimulus, dan stimulasi yang paling efektif didapat bila
elektroda diletakkan dekat dengan terminal otot. Elektroda positif (merah) diletakkan
2 cm lebih proximal. Lokasi harus bersih, kering, dan dicukur.
Untuk prakteknya, selalu dipertimbangkan untuk memberikan agen reversal,
kecuali ada alat untuk pemantauan dari neuromuskular objektif dengan nilai TOF
>0,9 (berikan neostigmine untuk memulihkan pasien dan menurunkan aktivitas otot
jalan nafas atas dan volume tidal). Terdapat beberapa variasi waktu onset dan durasi
dari neostigmin. Pada pemberian setelah TOFC dua, rata-rata reversal yang adekuat
adalah 15 menit, dengan beberapa pasien masih memperlihatkan residual blok
neuromuskular (TOF<0,9) setelah 30 menit.
Pemulihan yang spontan dan adekuat sebelum diberikan reversal. Ketika
menggunakan teknik anestesi yang tidak berpotensiasi dengan blok neuromuskular
seperti TIVA, minimum TOFC 2 harus tercapai. Ketika menggunakan teknik anestesi
yang berpotensiasi dengan blok neuromuskular seperti inhalasi volatil, TOFC 4 harus
tercapai. Hal ini untuk meyakinkan antagonis yang adekuat dengan agen reversal dari
kedalaman tambahan dari blok neuromuskular.
25
Beberapa saran untuk reversal neuromuskular pada praktek klinis:
Reversal dengan pemantauan neuromuskular subjektif :
TOFC 1 atau 0 = tunda reversal
26
Dalam penggunaan blok neuromuskular, hal yang harus diingat bahwa :
penggunaan dari blok tersebut sesuai indikasi, dosis tinggi dari blok neuromuskular
(3-4 ED95) digunakan untuk memodifikasi dari induksi sekuel cepat, akan
memperpanjang durasinya (50-300%) dari blok dibandingkan dengan dosis normal
(1-2 ED95), penggunaan blok neuromuskular kerja panjang (seperti pankuronium)
dikaitkan dengan resiko tiga kali lipat lebih tinggi dengan TOF <0,7 sehingga lebih
dipilih kerja intermediate (rocuronium dan vecuronium), maintenans rutin dari
paralisis dalam intraoperasi (TOFC 0 dan PTC 0-5) dikaitkan dengan residual blok
neuromuskular. Perhatian khusus penggunaan dari blok neuromuskular harus hati-
hati dengan pasien resiko tinggi: pasien dengan penyakit neuromuskular, penyakit
respirasi, sleep apnea, orang tua dan obese.
27
Gambar 2.8. Protokol ERAS
Dari target ERAS tersebut yang bisa kita ambil untuk tindakan penelitian ini adalah:
- Tanpa premedikasi
- Menjaga normotermia
28
terintegrasi seperti : admisi, gizi, perawat, fisioterapi, pekerja sosial, terapis dan
dokter. Tetapi dalam penelitian ini, kita mencoba memulai dari ruang operasi yaitu
dengan menggunakan poin-poin yang bisa diterapkan di ruang operasi.
2.7 ISOCAPNIC
Isocapnic = kadar karbondioksida di dalam darah dalam batas normal (35-45).
Dalam rangka untuk mendapatkan waktu pulih sadar yang lebih cepat setelah anestesi
umum, beberapa cara telah dilakukan, salah satunya adalah dengan menjaga kadar
karbondioksida di dalam darah dalam batas normal. Manusia akan terangsang pusat
nafasnya untuk berusaha bernafas apabila kadar karbondioksida dalam darah
meningkat, sehingga dilakukan penelitian oleh Katznelson R et.al dengan menjaga
durante operasi dalam kondisi isocapnic, dan didapatkan bahwa waktu pulih sadar
pada kondisi isocapnic lebih cepat dibandingkan pada hipocapnik. Umumnya, secara
tidak disengaja, anestesi cenderung untuk melakukan hipokapnik yang berdampak
pada hilang atau berkurangnya rangsangan untuk bernafas pada pasien yang
memperlambat waktu pulih sadar setelah anestesi. (Katznelson et al., 2008)
2.8 PEMULIHAN
Setelah selesai anestesi dan ekstubasi, pasien akan dievaluasi secara berkala
dalam rangka untuk memastikan pasien layak untuk dipindahkan ke ruang pemulihan,
ke ruang perawatan atau dipulangkan.
Menurut Marshall dan Chung, proses pemulihan dibagi menjadi 3 fase:
Pemulihan awal : mulai dari penghentian anestesi sampai pasien refleks dan
fungsi motorik pasien pulih. Biasanya hal ini terjadi pada ruang PACU (post
anesthesia care unit).
29
Fase 3 pemulihan : biasa berlanjut di rumah dan melibatkan pemulihan fisik
sepenuhnya termasuk psikologi dan kembali ke aktivitas normal.
30
Tabel 2.5 White’s Fast Tract Criteria
31
DAFTAR PUSTAKA
Hagemann & Doll. (2013). Inhalational anaesthesia with low fresh gas flow.
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/24163447/
32
Kelley Scott. 2012. Monitoring Consciousness Using Bispectral Index During
Anesthesia. A Pocket Guide For Clinicians Second Edition. Covidien. Boulder. USA
Melnyk et al. (2011). Enhanced recovery after surgery (ERAS) protocols: Time to
change practice? https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3202008/
Zhou, RL., Perez-Aguilar, JP. (2012). Opioid Binding Sites in Human Serum
Albumin. Anesth Analg; 114:122–8.
33