Anda di halaman 1dari 56

BAB I

PENDAHULUAN

Hipertensi merupakan manifestasi gangguan keseimbangan hemodinamik


sistem kardiovaskular, yang mana patofisiologinya adalah multi faktor, sehingga
tidak bisa diterangkan dengan hanya satu mekanisme tunggal. Menurut Kaplan
hipertensi banyak menyangkut faktor genetik, lingkungan dan pusat-pusat regulasi
hemodinamik. Kalau disederhanakan sebetulnya hipertensi adalah interaksi cardiac
output (CO) dan total peripheral resistence (TPR).Masalahnya ialah berapa mmHg
tekanan darah itu dapat disebut normal, sehingga bila tekanan darah di atas harga
kesepakatan normal tersebut, maka ia akan dikatakan sebagai hipertensi (tekanan
darah tinggi). Sebagaimana diketahui hipertensi adalah penyebab kematian nomor
satu di dunia, disusul merokok lalu dislipidemia. Hipertensi juga merupakan faktor
risiko independen, sebab terlibat dalam proses terjadinya mortalitas dan morbiditas
dari kejadian penyakit kardiovaskular (PKV). Jadi hipertensi bukanlah suatu penanda
risiko (risk marker) tapi memang betul-betul suatu faktor risiko yang independen.

Aterosklerosis adalah hasil dari hiperlipidemia dan lipid oksidasi, dan selalu
menjadi penyebab utama kematian di negara maju. Merupakan penyakit intima
vaskular, di mana semua sistem pembuluh darah dari aorta ke arteri koroner dapat
terlibat dan ditandai dengan intimal plak. Risiko aterosklerosis meningkat setelah usia
45 pada pria dan setelah usia 55 tahun pada wanita. Perempuan dengan umur 65
tahun atau lebih tua memiliki risiko penyakit kardiovaskular yang sama dengan laki-
laki dari usia yang sama. Penyakit aterosklerotik secara umum sedikit terjadi pada
perempuan, namun perbedaan tersebut menjadi sedikit menonjol pada dekade akhir
terutama masa menopause.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

HIPERTENSI
2.1 Definisi
Hipertensi atau darah tinggi diartikan sebagai peningkatan tekanan darah
secara terus menerus sehingga melebihi batas normal. Hipertensi sering dikatakan
sebagi Sillent Killer, karena termasuk penyakit yang mematikan tanpa disertai dengan
gejala-gejala terlebih dahulu sebagai peringatan bagi korbannya. Hipertensi
merupakan penyakit yang kerap dijumpai di masyarakat dengan jumlah penderita
yang terus meningkat setiap tahunnya. Baik desertai gejala atau tidak, ancaman
terhadap kesehatan yang diakibatkan oleh hipertensi terus berlangsung.1

2.2 Epidemiologi 2
Hipertensi ditemukan pada semua populasi dengan angka kejadian yang
berbeda-beda, sebab ada faktor-faktor genetik, ras, regional, sosiobudaya yang juga
menyangkut gaya hidup yang juga berbeda. Hipertensi akan makin meningkat
bersama dengan bertambahnya umur.

Hasil analisa The Third National Health and Nutrition Examination Survey
(NHANES III) blood pressure data, hipertensi dapat dibagi menjadi dua kategori :

- 26% pada populasi muda (umur <. 50 tahun), terutama pada laki-laki (63%) yang
biasanya didapatkan lebih banyak IDH dibanding ISH.
- 74% pada populasi tua (umur > 50 tahun), utamanya pada wanita (58%) yang
biasanya didapatkan lebih banyak ISH dibanding IDH.

Hipertensi mengambil porsi sekitar 60% dari seluruh kematian dunia. Pada anak-anak
yang tumbuh kembang hipertensi meningkat mengikuti dengan pertumbuhan badan.

2
Dengan bertambahnya umur, angka kejadian hipertensi juga makin meningkat,
sehingga di atas umur 60 tahun prevalensinya mencapai 65,4%. Obesitas, sindroma
metabolik, kenaikan berat badan adalah factor risiko independen untuk kejadian
hipertensi. Faktor asupan NaCI pada diet juga sangat erat hubungannya dengan
kejadian hipertensi. Mengkonsumsi alkohol, rokok, stres kehidupan sehari-hari,
kurang olah raga juga berperan dalam kontribusi kejadian hipertensi.

Bila anamnesa keluarga ada yang didapatkan hipertensi, maka sebelum umur 55
tahun risiko menjadi hipertensi diperkirakan sekitar empat kali dibandingkan dengan
anamnesa keluarga yang tidak didapatkan hipertensi. Setelah umur 55 tahun, semua
orang akan menjadi hipertensi (90%).

Menurut NHANES 1999-2000, prevalensi tekanan darah tinggi pada populasi dewasa
yang berumur diatas 20 tahun di Amerika Serikat, adalah sebagai berikut: normal
38%, pre hipertensi 31%, hipertensi 31%.

2.3 Etiologi 2
Hipertensi disebut primer bila penyebabnya tidak diketahui (90%), bila
ditemukan sebabnya disebut sekunder (10%). Penyebabnya antara lain:

 Penyakit : penyakit ginjal kronik, sindroma cushing, koarktasi aorta, obstructive


sleep apnea, penyakit paratiroid, feokromositoma, aldosteronism primer,
penyakit renovascular, penyakit tiroid.
 Obat-obatan
- Prednisolone, fludrokortison, triamsinolon
- Amfetamin/ anorektik: phendimetrazine, phentermine, sibutramine
- Antivascular endothelin growth factor agents
- Estrogen : biasanya kontrasepsi oral
- Calcineurin inhibitors: siklosporin, tacrolimus
- Dekongestan: phenylpropanolamine & analog

3
- Erythropoiesis stimulating agents: erythropoietin, darbepoietin
- NSAIDs, COX-2 inhibitors, venlafaxine, bupropion, bromokriptin,
buspirone, carbamazepine, clozapine, ketamin, metoklopramid
 Makanan : sodium, etanol, licorice
 Obat jalanan yang mengandung bahan-bahan sebagai berikut: cocaine, cocaine
withdrawal, ephedra alkaloids (e.g., ma-huang), “herbal ecstasy”,
phenylpropanolamine analogs, nicotine withdrawal, anabolic steroids, narcotic
withdrawal, metylphenidate, phencyclidine, ketamin, ergot-containing herbal
products.

2.4 Klasifikasi 2
Tabel 1. definisi dan Klasifikasi Hipertensi Menurut WHO-ISH, ESH-ESC, JNC 7

2.5 Patogenesis
Penyebab-penyebab hipertensi ternyata sangat banyak. Tidak bisa diterangkan
hanya dengan satu factor penyebab. Memang betui pada akhirnya kesemuanya itu
akan menyangkut kendali natrium (Na) di ginjal sehingga tekanan darah meningkat.
Ada empat faktor yang mendominasi terjadinya hipertensi : 2

1. Peran volume intravaskular


2. Peran kendali saraf autonom

4
3. Peran renin angiotensin aldosteron (RAA)
4. Peran dinding vaskular pembuluh darah

2
Peran Volume Intravaskular

Volume intravaskular merupakan determinan utama untuk kestabilan tekanan


darah dari waktu ke waktu. Tergantung keadaan TPR apakah dalam posisi
vasodilatasi atau vasokontriksi. Bila asupan NaCI meningkat, maka ginjal akan
merespons agar ekskresi garam keluar bersama urine ini juga akan meningkat.
Tetapi bila upaya mengeksresi NaCI ini melebihi ambang kemampuan ginjal, maka
ginjal akan meretensi H2O sehingga volume intravaskular meningkat.

Pada gilirannya CO atau CJ juga akan meningkat. Akibatnya terjadi ekspansi


volume intra vaskular, sehingga tekanan darah akan meningkat. Seiring dengan
perjalanan waktu TPR juga akan meningkat, lalu secara berangsur CO atau CJ akan
turun menjadi normal lagi akibat autoregulasi. Bila TPR vasodilatasi tekanan darah
akan menurun, sebaliknya bila TPR vasokonstriksi tekanan darah akan meningkat.

5
Gambar 1. Patogenesis Hipertensi

2
Peran Kendali Saraf Autonom

Persarafan autonom ada dua macam, yang pertama iaIah sistem saraf simpatis,
yang mana saraf ini yang akan menstimulasi saraf viseral (termasuk ginjal) melalui
neurotransmiter : katekolamin, epinefrin, maupun dopamin.

Sedang saraf parasimpatis adalah yang menghambat stimulasi saraf simpatis.


Regulasi simpatis dan parasimpatis berlangsung independen tidak dipengaruhi oleh
kesadaran otak, akan tetapi terjadi secara automatis mengikuti siklus sirkardian.

Ada beberapa reseptor adrenergik yang berada di jantung, ginjal, otak, serta dinding
vaskular pembuluh darah iaIah reseptor αl, α2, β1 dan β2. Belakangan ditemukan
reseptor β3 di aorta yang ternyata kalua dihambat dengan beta bloker β1 selektif yang
baru (nebivolol) maka akan memicu terjadinya vasodilatasi melalui peningkatan nitrit
oksida (NO).

Karena pengaruh-pengaruh lingkungan misalnya genetik, stres kejiwaan, rokok, dan


sebagainya, akan terjadi aktivasi sistem saraf simpatis berupa kenaikan katekolamin,
nor epinefrin (NE) dan sebagainya.

6
Gambar 2. Faktor-faktor penyebab aktivasi sistem saraf simpatis

Selanjutnya neurotransmiter ini akan meningkatakan denyut jantung (Heart


Rate) lalu diikuti kenaikan CO atau CJ, sehingga tekanan darah akan meningkat dan
akhirnya akan mengalami agregrasi platelet. Peningkatan nerotransmiter NE ini
mempunyai efek negatif terhadap jantung, sebab di jantung ada reseptor αl , β1, β2,
yang akan memicu terjadinya kerusakan miokard, hipertrofi dan aritmia dengan
akibat progresivitas dari hipertensi aterosklerosis.

Karena pada dinding pembuluh darah juga ada reseptor αl , maka bila NE meningkat
hal tersebut akan memicu vasokonstriksi (melalui reseptor αl) sehingga hipertensi
aterosklerosis juga makin progresif.

Gambar 3. Patofisiologi NE memicu progresivitas hipertensi aterosklerosis

Pada ginjal NE juga berefek negatif, sebab di ginjal ada reseptor β1 dan αl yang akan
memicu terjadinya retensi natrium, mengaktivasi sistem RAA, memicu

7
vasokonstriksi pembuluh darah dengan akibat hipertensi aterosklerosis juga makin
progresif

Selanjutnya bila NE kadarnya tidak pernah normal maka sindroma hipertensi


aterosklerosis juga akan berlanjut makin progresif menuju kerusakan organ target/
target organ damage (TOD).

Peran Renin Angiotensin Aldosteron (RAA) 2

Bila tekanan darah menurun maka hal ini akan memicu refleks baroreseptor.
Berikutnya secara fisiologis system RAA akan dipicu mengikuti kaskade, yang mana
pada akhirnya renin akan disekresi, lalu angiotensin I (A I), angiotensin II (A II), dan
seterusnya sampai tekanan darah meningkat kembali.

8
Gambar 4. Autoregulasi tekanan darah terkait dengan sistem RAA

Adapun proses pembentukan renin dimulai dari pembentukan angiotensinogen yang


dibuat di hati. Selanjutnya angiotensinogen akan dirubah menjadi angiotensin I oleh
renin yang dihasilkan oleh macula densa apparat juxta glomerulus ginjal. Lalu
angiotensin I akan dirubah menjadi angiotensin II oleh enzim ACE (angiotensin
converting enzyme). Akhirnya angiotensin II ini akan bekerja pada reseptor-reseptor
yang terkait dengan tugas proses fisiologinya ialah di reseptor ATI, AT2, AT3, AT4.

Gambar 5. Proses angiotensinogen berubah menjadi angiotensin II (sistem RAA)

Faktor risiko yang tidak dikelola akan memicu sistem RAA. Tekanan darah makin
meningkat, hipertensi aterosklerosis makin progresif. Ternyata yang berperan utama
untuk memicu progresifitas ialah angiotensin II, bukti uji klinisnya sangat kuat.
Setiap intervensi klinik pada tahap-tahap aterosklerosis kardiovaskular kontinum ini
terbukti selalu bisa menghambat progresifitas dan menurunkan risiko kejadian
kardiovaskular.

2
Peran Dinding Vaskular Pembuluh Darah

9
Hipertensi adalah the disease cardiovascular continuum, penyakit yang
berlanjut terus menerus sepanjang umur. Paradigma yang baru tentang hipertensi
dimulai dengan disfungsi endotel, lalu berlanjut menjadi disfungsi vaskular, vaskular
biologi berubah, lalu berakhir dengan TOD.

Dikenal ada faktor risiko tradisional dan non tradisional yang bila bergabung dengan
faktor-faktor lokal atau yang lain serta faktor genetik maka vaskular biologi akan
berubah menjadi makin tebal karena mengalami kerusakan berupa lesi vaskular dan
remodeling, antara lain akibat: inflamasi, vasokonstriksi, trombosis, ruptur plak/erosi.

Gambar 6. Disfungsi endotel adalah risiko akibat semua faktor risiko

Secara skematis dapat dilihat pada gambar 6, yang mana disfungsi endotel adalah
merupakan risiko akibat adanya semua faktor risiko. Penanda adanya disfungsi
endotel dapat dilihat diretina mata dan dapatjuga dilihat di ginjal (glomerulus), yaitu
bilamana ditemukan mikroalbuminuria pada pemeriksaan urin.

2
2.6 Diagnosis

10
Pada umumnya penderita hipertensi tidak mempunyai keluhan. Hipertensi
adalah the silent killer. Penderita baru mempunyai keluhan setelah mengalami
komplikasi di TOD. Secara sistematik anamnesa dapat dilaksanakan sebagai berikut:

A. Anamnesis
Anamnesis meliputi :
- lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah
- indikasi adanya hipertensi sekunder
o keluarga dengan riwayat penyakit ginjal (ginjal polikistik)
o adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih, hematuri, pemakaian obat-
obat analgesik dan obat/bahan lain
o episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan, palpitasi (feokromositoma)
o episode lemah otot dan tetani (aldosteronisme)
- faktor-faktor risiko
o riwayat hipertensi atau kardiovaskular pada pasien atau keluarga pasien
o riwayat hiperlipidemia pada pasien atau keluarganya
o riwayat diabetes melitus pada pasien atau keluarganya
o kebiasaan merokok
o pola makan
o kegemukan, intensitas olah raga
o kepribadian
- gejala kerusakan organ
o otak dan mata : sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan, transient
ischemic attacks, deficit sensoris atau motoris
o jantung : palpitasi, nyeri dada, sesak, bengkak kaki, tidur dengan bantal
tinggi (lebih dari 2 bantal)
o ginjal : haus, poliuria, nokturia, hematuri, hipertensi yang disertai kulit
pucat anemis

11
o arteri perifer : ekstremitas dingin, klaudikasio intermiten
- pengobatan anti hipertensi sebelumnya
- faktor-faktor pribadi, keluarga dan lingkungan

B. Pemeriksaan Fisik

Pengukuran tekanan darah (TD) dilakukan pada penderita yang dalam


keadaan nyaman dan relaks, dan dengan tidak tertutup/tertekan pakaian. Beberapa
hal yang perlu diperhatikan pada saat melakukan pengukuran TD adalah:

1. Untuk mengukur TD terdapat 3 jenis sphygmomanometer, yaitu manometer


aneroid (kurang akurat bila digunakan berulang-ulang), manometer elektronik
(juga kurang akurat) dan manometer merkuri/air raksa (ingat merkuri dapat
mencemari lingkungan). Gunakan manset dengan ukuran inflatable bag; (karet
yang ada di bagian dalam manset) yang sesuai, yaitu lebar±40% dari lingkar
lengan (rata-rata pada orang dewasa 12-14 cm) dan panjang + 60—80% lingkar
lengan, sehingga cukup panjang untuk melingkupi lengan.
2. Pasang manset pada lengan atas dengan pusat inflatable bag di atas arteri
brakhialis (pada sisi dalam lengan atas) dan sisi bawah manset + 2,5 cm di atas
fossa antecubiti.
3. Posisi lengan penderita sedikit fleksi pada siku, lengan harus disangga (dengan
bantal, meja atau benda lain yang stabil), pastikan bahwa manset setinggi jantung.
Cari arteri brakhialis, biasanya sedikit medial dari tendon bisep.
4. Lakukan pemeriksaan palpasi tekanan darah sistolik (TDS) yaitu ibu jari atau jari-
jari lain diletakkan di atas arteri brakhialis, manset dipompa/ dikembangkan
sampai ± 30 mmHg di atas tingkat di mana pulsasi mulai tidak teraba, kemudian
manset pelan-pelan dikendurkan dan akan didapatkan TDS yaitu saat pulsasi
mulai teraba kembali.
5. Selanjutnya stetoskop (bagian bell) diletakkan di atas arteri brakhialis, manset
dipompa kembali sampai ± 30 mmHg di atas harga palpasi TDS, kemudian

12
manset dikendurkan pelan-pelan (kecepatan 2-3 mmHg/detik), tentukan TDS
(mulai terdengar suara) dan tekanan darah diastolik atau TDD (suara mulai
menghilang).
6. Pengukuran TD harus dilakukan pada lengan (arteri brakhialis) kanan dan kiri,
setidaknya pernah dilakukan walaupun sekali saja. Normal antara kanan dan kiri
terdapat perbedaan 5-10 mmHg. Bila ada perbedaan 10-15 mmHg perlu dicurigai
adanya kompresi atau obstruksi arteri pada sisi yang TD-nya lebih rendah.
7. Pada penderita yang mendapat obat antihipertensi dan ada riwayat pingsan atau
postural dizziness, atau pada penderita dengan dugaan hipovolemik, TD diukur
pada posisi tidur, duduk, dan berdiri (kecuali ada kontraindikasi). Normal dari
posisi horisontal ke posisi berdiri akan menyebabkan TDS sedikit menurun atau
tidak berubah dan TDD sedikit meningkat. Bila saat berdiri TDS turun & 20 mm
Hg, apalagi disertai adanya keluhan, menunjukkan adanya hipotensi ortostatik
(postural). TDD juga bisa turun. Penyebabnya adalah obat, hipovolemia, terlalu
lama tirah baring dan gangguan sistem saraf autonom perifer
C. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang pasien hipertensi terdiri dari: tes darah rutin, glukosa
darah (sebaiknya puasa), kolesterol total serum, kolesterol LDL dan HDL serum,
trigliserida serum (puasa), asam urat serum, kreatinin serum, kalium serum,
hemoglobin dan hematokrit, urinalisis (uji carik celup serta sedimen urin),
elektrokardiogram.

Beberapa pedoman penanganan hipertensi menganjurkan tes lain seperti:


ekokardiogram, USG karotis (dan femoral), C-reactiveprotein, mikroalbuminuria atau
perbandingan albumin/kreatinin urin, proteinuria kuantitatif (jika uji carik positif),
funduskopi (pada hipertensi berat).

Evaluasi pasien hipertensi juga diperlukan untuk menentukan adanya penyakit


penyerta sistemik, yaitu: aterosklerosis (melalui pemeriksaan profil lemak), diabetes

13
(terutama pemeriksaan gula darah), fungsi ginjal (dengan pemeriksaan proteinuria,
kreatinin serum, serta memperkirakan laju filtrasi glomerulus).

D. Pemeriksaan Kerusakan Organ Target

Pada pasien hipertensi, beberapa pemeriksaan untuk menentukan adanya


kerusakan organ target dapat dilakukan secara rutin, sedang pemeriksaan lainnya
hanya dilakukan bila ada kecurigaan yang didukung oleh keluhan dan gejala pasien.
Pemeriksaan untuk mengevaluasi adanya kerusakan organ target meliputi :

1. jantung : pemeriksaan fisik, foto polos dada (untuk melihat pembesaran jantung,
kondisi arteri intra toraks dan sirkulasi pulmoner), elektrokardiografi (untuk
deteksi iskemia, gangguan konduksi, aritmia, serta hipertrofi ventrikel kiri),
ekokardiografi.
2. pembuluh darah : pemeriksaan fisik termasuk perhitungan pulse pressure,
ultrasonografi (USG) karotis, fungsi endotel.
3. otak : pemeriksaan neurologis, diagnosis stroke ditegakkan dengan menggunakan
cranial computed tomo-graphy (CT) scan atau magnetic resonance imaging (MRI)
(untuk pasien dengan keluhan gangguan neural, kehilangan memori atau
gangguan kognitif)
4. mata : funduskopi retina
5. fungsi ginjal: pemeriksaan fungsi ginjal dan penentuan adanya proteinuria/mikro-
makroalbuminuria serta rasio albumin kreatinin urin, perkiraan laju filtrasi
glomerulus, yang untuk pasien dalam kondisi stabil dapat diperkirakan dengan
menggunakan modifikasi rumus dari Cockroft-Gault sesuai dengan anjuran
National Kidney Foundation (NKF) yaitu :
Klirens kreatinin* :

14
(*glomerulus filtration rote/laju filtrasi glomerulus (GFR) dalam ml/menit/1,73
m2)

2
2.7 Penatalaksanaan
WHO memberi rekomendasi diuretik dosis kecil sebagai pilihan pertama
untuk pengobatan hipertensi dengan alasan sangat cosf effective.

Direkomendasikan pilihan obat pertama antihipertensi adalah golongan thiazid, dapat


dikombinasi dengan golongan antihipertensi lain, terutama apabila ada situasi yang
disebut dengan high risk condition, atau yang disertai compelling indications. Semua
guideline pada umumnya sepakat dan sama untuk target tekanan darah normal adalah
120/80 mmHg.

Pengobatan selalu dimulai dengan cara modifikasi gaya hidup, kemudian dilanjutkan
dengan farmakoterapi secara individualistik sesuai dengan komorbid atau compelling
indications yang ada pada penderita. Untuk low and moderate risk target tekanan
darah < 140/90 mmHg. Untuk high and very high risk (diabetes and renal disease)
target tekanan darah < 130/80 mmHg, dan tidak lupa mengobati TOD.

Hipertensi tanpa penyulit bisa diberikan monoterapi. JNC 7 menganjurkan thiazide


sebagai pilihan pertama. Monoterapi bisa mencapai target tekanan darah normal
sekitar 40%. Dengan kombinasi dua obat atau lebih dapat mencapai target tekanan
darah normal lebih dari 80%.

Bila hipertensi disertai penyulit berupa adanya TOD atau tergolong high and very
high risk group hypertension, maka pengobatan disesuaikan dengan tabel compelling
indications.

Tabel 2. Rekomendasi pengobatan hipertensi yang disesuaikan dengan indikasi yang


memaksa (compelling indication) Menurut WHO-ISH 2003, ESH-ESC 2007/2009, JNC 7
2003

15
Bila hipertensi tidak berkomplikasi (uncomplicated hypertension) maka rata-rata
semua guideline sepakat targetnya ialah 140/90 mmHg. Akan tetapi bila hipertensi
disertai diabetes mellitus atau penyakit ginjal kronis target tekanan darah harus
kurang dari 130/80 mmHg. Sedangkan obat pilihan pertama menurut berbagai
guideline.

Tabel 3. Pilihan pertama obat anti hipertensi, menurut JNC 7, ESH-ESC 2007, WHO-ISH
2003, BHS-NICE 2006, BHS-NICE 2011

16
Kebanyakan dokter di Indonesia mengikuti guideline JNC 7.

Gambar 7. Algoritme pengobatan hipertensi menurut guideline JNC 7

Selanjutnya pengobatan hipertensi menurut guideline ESH-ESC 2007 harus


berdasarkan stratifikasi faktor risiko, kemudian dihitung faktor-faktor risiko yang
dimiliki.

17
Tabel 4. Pengobatan hipertensi menurut guideline ESH-ESC 2007

Istilah added risk, iaIah untuk mereka yang diindikasikan dengan high risk
atau yang dengan indikasi yang memaksa (compelling indications) misalnya pasien
normo tensi tetapi sudah menderita kelainan kardiovaskular atau penyakit ginjal
kronik maka pasien termasuk very high added risk.

Selanjutnya ikuti algoritme pengobatan hipertensi menurut guideline ESH-ESC 2007


yang mana merupakan hasil revisi tahun 2003, iaIah bila hipertensi sudah termasuk
high atau very high CV risk maka dianjurkan pengobatan langsung dengan dua obat
atau lebih.

18
Gambar 8. Pengobatan hipertensi menurut guideline ESH-ESC 2007 (hasil revisi guideline
2003): segera mulai pengobatan kombinasi pada kelompok high and very high risk.

Pada guideline BHS-NICE 2006 langkah terapi ABCD dirubah menjadi ACD
dan pada tahun 2011 dirubah lagi menjadi AC sehingga langkah-langkahnya menjadi
seperti skema gambar 9.

19
Gambar 9. Pengobatan hipertensi menurut guideline BHS-NICE 2011

Mengacu kepada studi ASCOT (Anglo-Scandinavian Cardiac Outcomes


Trial), maka pada guideline BHS-NICE 2011, BB dikeluarkan dari pilihan awal
untuk pengobatan hipertensi. Namun pada guideline CHEP 2011, BB dipakai sebagai
pilihan awal pengobatan yaitu hanya pada penderita umur di bawah 60 tahun. BB
juga tetap bisa dipakai bila ada indikasi yang memaksa (compelling indication)
misalnya penyakit jantung kongestif dan penyakit jantung coroner.

20
Gambar 10. Pengobatan hipertensi menurut guideline CHEP 2011 untuk hipertensi tanpa
compelling indications, BB dapat dipakai sebagai pilihan pertama obat anti hipertensi pada
penderita usia di bawah 60 tahun

Pada guideline WHO-ISH, ESH-ESC, JNC 7 telah sepakat obat pilihan


pertama adalah thiazide diuretik. Boleh diberikan secara monoterapi atau kombinasi
dengan obat anti hipertensi yang lain. Tetapi tidak menolak opini untuk menggunakan
obat anti hipertensi lain sebagai monoterapi untuk pilihan pertama. Obat-obat anti
hipertensi yang sudah berbukti klinis iaIah ACE-I, ARB, beta bloker, calcium
channel blocker, diuretik. ESH-ESC 2009 memasukkan obat baru DRI (direct renin
inhibitor) yaitu aliskiren untuk tekanan darah sistolik dan diastolic sebagai
monoterapi atau kombinasi dengan diuretik, CCB, ACE-l/ARB. Tentang beta bloker,
berdasarkan studi ASCOT (Anglo-Scandinavian Cardiac Outcomes Trial), LIFE,
INVEST (The International Verapamil-Trandolapril Study), maka BHS/NICE
menempatkan pada pilihan keempat, tetapi guideline yang lain tetap
merekomendasikan seperti yang tertulis di guideline karena terbukti bisa mencegah
kejadian kardiovaskular dan heart failure dibanding obat-obat anti hipertensi yang

21
lain, terutama yang dengan recent coronary event.ACE-I/ARB mempunyai proteksi
yang lebih karena kemampuannya yang disebut beyond blood pressure lowering
effect sehingga semua guideline merekomendasikan menggunakan obat tersebut
untuk high risk patient CCB lebih bermanfaat untuk mencegah stroke, disamping
kemampuannya menurunkan tekanan darah seperti anti hipertensi yang lain.

Terapi Kombinasi

ESH-ESC 2007 merekomendasi, dua obat dapat langsung diberikan sebagai


terapi awal untuk yang diklasifikasikan sebagai high atau very high cardiovascular
risk. WHO dan JNC 7 juga memberi rekomendasi yang sama terutama untuk
tambahan obat kedua pada hipertensi dengan tekanan darah 20 mmHg di atas sistolik
blood pressure goal atau 10 mmHg di atas diastolik blood pressure goal atau yang
dengan compelling indications. CHEP 2011 menganjurkan memberi satu tablet yang
sudah berisi dua obat (single pill) daripada masing-masing obat diberikan secara
terpisah.

ESH-ESC 2007 merekomendasi pilihan diuretic adalah indapamide, sebab merupakan


diuretik yang unik karena mampu memberi natriuresis tanpa diuresis serta dapat
memberi proteksi vaskular seperti CCB. Kombinasi berikutnya yang direkomendasi
iaIah ACE inhibitor diwakili perindopril dan CCB diwakili amiodipin sesuai dengan
hasil studi ASCOT dimana kombinasi ini mempunyai nilai proteksi yang lebih baik.

Guideline ESH-ESC 2007 juga merekomendasikan kombinasi yang baik iaIah ACE-
I, CCB dan diuretik thiazid (terutama indapamide) : lihat segitiga abu-abu (Gambar
11)

22
Gambar 11. Menurut guideline ESH-ESC 2007, rekomendasi pilihan iaIah area segitiga abu-
abu, kombinasi ACE-I, CCB dan diuretik (terutama indapamide)

Selanjutnya untuk memilih obat-obat farmakoterapi yang sesuai indikasi dan


direkomendasi guideline, dapat dipilih di tabel 5.

23
Tabel 5. Penggunaan Obat-Obat Farmakologi Anti Hipertensi Sesuai dengan Kelas, Dosis,
Indikasi, dan Kontraindikasi

24
Tabel 6 adalah ringkasan penatalaksanaan, serta langkah-langkah selanjutnya untuk
mengobati pasien hipertensi sesuai dengan stadium dan indikasi yang memaksa bila ada TOD

2
2.8 Komplikasi
Hubungan kenaikan tekanan darah dengan risiko PKV berlangsung secara
terus menerus, konsisten dan independen dari faktor-faktor risiko yang lain. Pada
jangka lama bila hipertensi tidak dapat turun stabil pada kisaran target normo tensi
pasti akan merusak organ-organ terkait (TOD) pada Gambar 11.

25
Gambar 11. Komplikasi hipertensi yang tidak diobati mencapai target

Penyakit kardiovaskular utamanya hipertensi tetap menjadi penyebab


kematian tertinggi di dunia. Risiko komplikasi ini bukan hanya tergantung kepada
kenaikan tekanan darah yang terus menerus, tetapi juga tergantung bertambahnya
umur penderita.

Kenaikan tekanan darah yang berangsur lama juga akan merusak fungsi ginjal. Makin
tinggi tekanan darah, makin menurun laju filtrasi glomerulus sehingga akhirnya
menjadi penyakit ginjal tahap akhir.

Karena tingginya tekanan darah adalah faktor risiko independen yang kuat untuk
merusak ginjal menuju penyakit ginjal tahap akhir (PGTA), maka untuk mencegah
progresifitas menuju PGTA, usahakanlah mempertahankan tekanan darah pada
kisaran 120/80 mmHg.

26
2
2.9 Pencegahan
Sebagaimana diketahui pre hipertensi bukanlah suatu penyakit, juga bukan
sakit hipertensi, tidak diindikasikan untuk diobati dengan obat farmasi, bukan target
pengobatan hipertensi, tetapi populasi pre hipertensi adalah kelompok yang berisiko
tinggi untuk menuju kejadian penyakit kardiovaskular. Di populasi USA, menurut
NHANES 1999-2000, insiden pre hipertensi sekitar 31%.

Populasi pre hipertensi ini diprediksi pada akhirnya akan menjadi hipertensi
permanen, sehingga pada populasi ini harus segera dianjurkan untuk merubah gaya
hidup {lifestyle modification) agar tidak menjadi progresif ke TOD.

Rekomendasi Gaya Hidup yang Harus Ditaati Menurut CHEP 2011

Untuk mencegah risiko menjadi hipertensi, dianjurkan untuk menurunkan


asupan garam sampai di bawah 1500 mg/hari. Diet yang sehat iaIah bilamana dalam
makanan sehari-hari kaya dengan buah-buahan segar, sayuran, rendah, lemak,
makanan yang kaya serat {soluble fibre), protein yang berasal dari tanaman, juga
harus tidak lupa olah raga yang teratur, tidak mengkonsumsi alkohol,
mempertahankan berat badan pada kisaran BMI 18,5 - 24,9 kg/m2, mengusahakan
lingkar perut pada kisaran laki-laki <. 102 cm (Asia < 90 cm), wanita < 88 cm (Asia
< 80 cm), harus tidak merokok dimanapun/kapanpun.

Menurut CHEP 2011, bila kita berhasil menurunkan natrium dari 3500 mg ke 1700
mg, kita akan mendapat keuntungan berupa :

- Hipertensi bisa berkurang sekitar 1 juta


- Pasien yang berkunjung ke dokter untuk mengobati hipertensi bisa berkurang 5
juta
- Penghematan biaya pelayanan kesehatan 430 sampai 540 juta dolar US per tahun
terkait menurunnya kunjungan ke dokter, biaya obat dan laboratorium untuk
hipertensi

27
- Menyederhankan jumlah obat anti hipertensi
- Penurunan penyakit kardiovaskular sampai 13%
- Penghematan biaya pelayanan kesehatan total sampai lebih dari 1,3 milyar dolar
US per tahun

Nasihat untuk olah raga adalah sebagai berikut : frekuensi tujuh kali per
minggu, intensitas moderate, waktu sekitar 30 - 60 menit, tipe aktivitas
kardiorespirasi seperti berjalan, joging, bersepeda, berenang yang non kompetitif
(olah raga harus diberikan sebagai tambahan terhadap terapi farmakologis).

Studi TROPHY menunjukkan pengobatan prehipertensi dengan candesartan


menurunkan hipertensi stage 1 sampai dengan 66% setelah dua tahun. Setelah obat
dihentikan, dua tahun kemudian risiko hipertensi stage 1 turun 15,68%. Namun
belum diuji apakah pemberian candesartan pada pre hipertensi ini cukup cost
effective. Whelton memberi strategi pencegahan hipertensi sebagai berikut iaIah
dengan mengupayakan supaya pola kurva distribusi hipertensi sebelum intervensi
bergeser ke kurva normo tensi sebelah kiri. Caranya memberikan pengobatan yang
lebih agresif secara individuil atau pada kelompok yang disebut high risk
hypertension (tekanan darah tinggi, riwayat keluarga dengan hipertensi, kelompok
risiko tinggi, paparan lingkungan yang meningkatkan kemungkina hipertensi:
obesitas, diit tinggi garam, alkohol, inaktifitas fisik).

Sebab penurunan tekanan diastolik sebesar 2 mmHg saja dari awal dapat
menurunkan risiko prevalensi hipertensi 17%, kejadian stroke 14%, penyakit jantung
koroner 6%.

2
2.10 Prognosis
Hipertensi adalah the disease cardiovascular continuum yang akan
berlangsung seumur hidup sampai pasien meninggal akibat kerusakan target organ
(TOD). Berawal dari tekanan darah 115/75 mmHg, setiap kenaikan sistolik/diastolik
20/10 mmHg risiko morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskular akan

28
meningkat dua kali lipat. Hipertensi yang tidak diobati meningkatkan: 35% semua
kematian kardiovaskular, 50% kematian stroke, 25% kematian PJK, 50% penyakit
jantung kongestif, 25% semua kematian prematur (mati muda), serta menjadi
penyebab tersering untuk terjadinya penyakit ginjal kronis dan penyebab gagal ginjal
terminal.

Pada banyak uji klinis, pemberian obat anti hipertensi akan diikuti penurunan insiden
strok 35% sampai 40%; infark miokard 20% sampai 25%; dan lebih dari 50% gagal
jantung. Diperkirakan penderita dengan hipertensi stadium 1 (TDS, 140-159 mmHg
dan/atau TDD, 90-99 mmHg) dengan faktor risiko kardiovaskular tambahan, bila
berhasil mencapai penurunan TDS sebesar 12 mmHg yang dapat bertahan selama 10
tahun, maka akan mencegah satu kematian dari setiap 11 penderita yang telah diobati.
Namun, belum ada studi terhadap hasil terapi pada penderita pre hipertensi (120-
139/80-89 mmHg), meskipun diketahui bahwa dari studi TROPHY pemberian terapi
pada pre hipertensi dapat menurunkan terjadinya hipertensi sesungguhnya, walaupun
obat telah dihentikan selama satu tahun.

ATHEROSCLEROSIS

2.1 Definisi
Atherosclerosis adalah penyakit umum di mana timbunan lemak yang
disebut plak ateromatosa muncul di lapisan dalam arteri. Aterosklerosis adalah hasil
dari hiperlipidemia dan lipid oksidasi, dan selalu menjadi penyebab utama kematian
di negara maju. Merupakan penyakit intima vaskular, di mana semua sistem
pembuluh darah dari aorta ke arteri koroner dapat terlibat dan ditandai dengan intimal
plak.6
2
2.2 Etiologi
Faktor-faktor risiko dapat juga dihubungkan dengan penyakit-penyakit
penyebabnya. Faktor risiko aterosklerosis dapat dibedakan menjadi faktor risiko
mayor atau utama dan faktor risiko minor. 2

29
Faktor Risiko Mayor yang Tidak Dapat Dimodifikasi

a. Umur
Aterosklerosis merupakan penyakit yang mengikuti pertambahan umur
dan seluruh faktor-faktor yang menyertainya, umur mempunyai hubungan yang
kuat. Fatty streak muncul di aorta pada akhir dekade awal umur seseorang dan
terdapat progresi pengerasan dari aterosklerosis pada sebagian besar arteri dengan
bertambahnya umur. Sehubungan dengan konsep terkini patogenesis
aterosklerosis, terdapat respon inflamasi fibroproliferatif terhadap suatu injur
dalam proses degeneratif yang berhubungan dengan usia.19 Risiko aterosklerosis
meningkat setelah usia 45 pada pria dan setelah usia 55 tahun pada wanita.
Perempuan dengan umur 65 tahun atau lebih tua memiliki risiko penyakit
kardiovaskular yang sama dengan laki-laki dari usia yang sama.

b. Jenis kelamin

Penyakit aterosklerotik secara umum sedikit terjadi pada perempuan,


namun perbedaan tersebut menjadi sedikit menonjol pada dekade akhir terutama
masa menopause. Hal ini dimungkinkan karena hormon esterogen bersifat sebagai
pelindung. Terdapat beberapa teori yang menerangkan perbedaan metabolisme

30
lemak pada laki-laki dan perempuan seperti tingginya kadar kolesterol HDL dan
besarnya aktifitas lipoprotein lipase pada perempuan, namun sejauh ini belum
terdapat jawaban yang pasti. 19

c. Keturunan (ras)
Terdapat perbedaan geografi dalam insiden penyakit jantung koroner.
Sejumlah penelitian post-mortem menunjukkan adanya perbedaan keterlibatan
intima dengan aterosklerosis pada populasi berbeda. Yang menjadi perbincangan
adalah apakah faktor ras ataukah faktor lingkungan. Salah satu penelitian yang
dilakukan pada tiga grup ras dalam satu lokasi didapatkan bahwa komunitas orang-
orang kulit hitam menunjukkan kejadian aterosklerosis lebih rendah dibandingkan
komunitas orang-orang kulit putih atau orang-orang Asia. Hal ini masih belum
cukup menggambarkan bahwa hasil tersebut murni hanya oleh faktor ras oleh
karena komunitas orang kulit hitam pada umumnya termasuk kelas sosial yang
rendah, menjelaskan kemungkinan keterlibatan faktor sosial-ekonomi. Prevalensi
penyakit jantung koroner penduduk Jepang yang tinggal di AS lebih tinggi
dibandingkan dengan penduduk yang tinggal di Jepang, hal ini menggambarkan
adanya pengaruh lingkungan lebih besar dari pada pengaruh ras. 19
Riwayat keluarga merupakan salah satu faktor risiko yang kuat untuk
terjadinya penyakit aterosklerosis. Alasan utama bahwa aterosklerosis merupakan
penyakit komplek dengan faktor genetik dan lingkungan terlibat sebagai etiologi. 19
Selain keturunan, riwayat keluarga juga menjadi risiko terjadinya penyakit
aterosklerosis. Riwayat keluarga yang positif terhadap penyakit aterosklerosis akan
meningkatkan kemungkinan timbulnya aterosklerosis prematur.20

Faktor Risiko Mayor yang Dapat Dimodifikasi

a. Merokok
Mekanisme yang mungkin menyebabkan meningkatnya aterosklerosis
adalah injury endotel secara langsung akibat agen pada rokok (karbon monoksida

31
dan nikotin) yang menyebabkan timbulnya bleb pada permukaan lumen, formasi
mikrofili, dan lepasnya sel endotel (endotel damage), perubahan trombosit,
meningkatnya kadar fibrinogen dan C-reactive protein dan menginduksi sitokin
proinflamasi. 19
Disamping itu meningkatkan level produk oksidasi termasuk LDL-Oks dan
menurunkan kolesterol HDL. Tobacco glycoprotein juga menunjukkan sebagai
bahan mitogenik pada kultur pembuluh darah halus sel otot sapi dan terdapat
perubahan faktor hemostasis seperti meningktanya faktor VIII RAG dan agregasi
trombosit terhadap adenosine diphosphate. 19
b. Dislipidemia
Hiperlipidemia adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan kadar
satu atau lebih lipid atau lipoprotein plasma. Oleh karena abnormalitas dapat juga
disebabkan karena rendahnya kadar lipid tertentu, maka istilah yang dianjurkan
adalah dislipidemia.21,22
Dislipidemia sendiri adalah suatu kelainan metabolisme lipid yang
ditandai oleh adanya suatu kenaikan maupun penurunan fraksi lipid dalam
plasma. Kelainan fraksi lipid yang utama adalah kenaikan kadar kolesterol total,
trigliserid, kolesterol LDL, dan penurunan kadar kolesterol HDL. Klasifikasi
dislipidemia dapat berdasarkan atas primer yang tidak jelas suatu etiologinya dan
sekunder yang memiliki penyakit dasar seperti pada sindroma nefrotik, diabetes
melitus, hipotiroidisme.
Selain itu dislipidemia dapat juga dibedakan berdasarkan profil lipid yang
menonjol, seperti: hiperkolesterelomi, hipertrigliseridemia, isolated low HDL-
cholesterol,dan dislipidemia campuran. Bentuk yang paling terakhir yang paling
banyak ditemukan.2,23
Pembentukan Inti Lipid pada Mekanisme Pembentukan Plak
Pada percobaan binatang dan manusia, fenomena pertama yang diamati
pada pembentukan plak adalah perlekatan monosit pada permukaan endotel yang
utuh. Perlekatan ini kemudian diikuti oleh migrasi monosit kedalam intima.

32
Didalam intima monosit akan teraktifasi diubah oleh makrofag. Pengamatan ini
menghasilkan kondisi paradok, meskipun kolesterol LDL bebas memasuki intima,
kolesterol LDL tidak akan ditangkap oleh makrofag yang kekurangan reseptor.
Penampakan paradok dapat dijelaskan pada hubungannya dengan perubahan
kimia dimana kolesterol LDL mengalami modifikasi oleh sel-sel dinding arterial.
Modifikasi minor pertama terjadi di dekat permukaan endotel. Perubahan
ini menghasilkan molekul proinflamasi yang disebut mmLDL (Minimaly
Modified Low Density Lipoprotein) yang mempunyai peran dalam ekspresi
endotel untukmelepaskan mediator molekul monosit seperti VCAM, MCP-1 dan
MCSF.24 Faktor-faktor ini bersama dengan kolesterol LDL yang mengalami
modifikasi akan menyebabkan migrasi monosit dan menyiapkan penerimaan
monosit untuk mengaktifkan mereka sendiri dan membaginya dalam tunika
intima. Perubahan selanjutnya molekul kolesterol LDL menjadi LDL –oks
sehingga mudah dikenali oleh scavenger receptor.
Scavenger receptor (SR A,CD36, CD68) tidak mengenal down regulation
seperti reseptor untuk nativeLDL sehingga sel menjadi penuh dengan lipid karena
penerimaan yang meningkat (up regulation). Meskipun partikel LDL -oks secara
fisik terlihat sedikit, namun tidak dapat dibedakan dengan native LDL plasma.24-26
Inti lipid merupakan ruang potensial bagi matrik jaringan ikat pada intima
yang diisi oleh debris seluler dan kolesterol. Plak aktif terdiri dari sejumlah
makrofag yang berkelompok pada tepi inti, ditandai oleh peningkatan
matrixmetalloproteinase (MMP) disertai destruksi aktif dari matrik kolagen.
Beberapa lipid ekstra seluler diambil secara langsung dari kolesterol LDL
mengelilingi proteoglikan sampai pada tunika intima. Tetapi banyak kolesterol
dan kolesterol -ester dalam inti lipid yang dilepaskan dari sitoplasma sel busa
yang mati. Makrofag akan dimatikan oleh lipid peroksidase yang dibentuk oleh
LDL yang teroksidasi. Saat ini terdapat bukti bahwa kematian sel adalah akibat
proses apoptosis. Hilangnya faktor pertumbuhan seperti MCSF-1 mungkin
menyebabkan apoptosis, terutama sekali berhubungan dengan keberadaan TNF-α

33
(tumor necrotizing factor) dalam jumlah besar pada sel plak. Ekspresi faktor
jaringan (tissue factor) oleh makrofag sampai intinya menyebabkan area plak ini
bersifat trombogenik yang tinggi pada lumen arteri.24,25,27
c. Hipertensi
Hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya didefinisikan sebagai
hipertensi esensial atau hipertensi primer untuk membedakan dengan hipertensi
lain yang sekunder karena sebab-sebab yang diketahui. Hipertensi esensial
merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi.2

Mekanisme Kerusakan Vaskular Pada Hipertensi

Penyebab kerusakan vaskular dapat melalui akibat langsung dari kenaikan


tekanan darah pada organ atau karena efek tidak langsung antara lain adanya
angiotensin II, stres oksidatif, dan ekspresi ROS yang berlebihan.2

Peran RAS sebagai sistem endokrin yang mempengaruhi tekanan darah dan
regulasi elektrolit sudah diketahui sebelumnya. Gangguan pada sistem ini dapat
menyebabkan hipertensi, penyakit ginjal, dan gagal jantung kongestif.

Perkembangan terbaru menjelaskan bahwa Ang II lebih dari sekedar hormon yang
bekerja pada sistem hemodinamik dan ginjal tetapi juga bersifat lokal, mediator
aktif yang secara langsung berpengaruh pada endotel dan sel otot polos
(SMC/smooth muscle cell). Ang II merupakan sebagian besar mediator dari stress
oksidatif dan menurunkan aktivitas NO. Ang II mengaktifkan oksidasi membrane
(NADP/NADPH oksidasi) yang menghasilkan ROS berupa superokside dan
hidrogen perokside. Dengan demikian Ang II memacu ekspresi MCP-1 mRNA
pada monosit dan VSMC keadaan ini dihambat oleh antioksidan intrasel. Ang II
memicu terjadinya disfungsi endotel dan mengaktifkan proinflamator VSCM.
Mengaktifkan NF-kB (nuclear factor) dan menstimulasi ekspresi VCAM dan
mengeluarkan sitokin (IL-6 dan TNF-α) , kondisi ini bersinergi pada keadaan
dislipidemia dan DM.3

34
Ang II juga berfungsi vasculer remodelling, bekerja sebagai factor pertumbuhan
bifungsional yang memacu peningkatan ekspresi autocrine growth factor (seperti:
platelet derived growth factor (PDGF) , basic fibroblas growth factor, insulin-like
growth factor, dan transforming growth factor- β 1 (TGF- β1)) di VSMC.
Mekanisme lain peran Ang II dalam vascular remodelling dan pembentukan lesi
vaskular dengan memodulasi migrasi sel vaskular, menurunkan apoptosis VSMC,
dan merubah komposisi matrik ekstrasel. Ang II memang dapat mensintesis dan
melepaskan matrik glikoprotein dan MMP. Oleh karena itu Ang II merupakan
mediator lokal vascular remodeling dan pembentukan lesi. 3

Ang II juga dapat mengganggu keseimbangan antara fibrinolitik dan sistem


koagulasi melalui pengaruhnya terhadap endotel. Ang II memacu pembentukan
PAI-1 yang diperantarai oleh reseptor angiotensin spesifik di sel endotel. Tissue
ACE menurunkan produksi tPA melalui degradasi bradikinin yang merupakan
stimulator kuat produksi tPA di endotel. Aksi dari tissue ACE/Ang II pada sistem
fibrinolitik dan mempercepat perkembangan keadaan protrombik. 3

Human urotensin II (U-II) dan reseptor nya (UT receptor) dapat ditemukan di
vaskuler dalam kondisi hipertensi yang merupakan vasokonstriktor kuat. Studi
terbaru juga menemukan adanya peningkatan konsentrasi U-II pada penderita
dengan DM, aterosklerosis, dan penyakit arteri koroner. U – II diekspresikan
dalam sel endotel, makrofag, macrophage-derived foam cells, myointimal, dan
VSMC (vascular smooth muscle cells) pada arteri koroner yang mengalami
aterosklerosis. UT receptor juga terdapat pada VSMC arteri koronaria, aorta
torakal dan miosit kardiak. Limposit merupakan penghasil yang paling aktif
membentuk U-II dimana monosit dan makrofag merupakan tipe sel yang
mengekspresikan reseptor UT dan relatif sedikit pada sel busa, limfosit, dan
platelet. U-II mempercepat pembentukan sel busa dengan meningkatkan regulasi
acyl-coenzim A: cholesterol acyltransferase-1 pada human monocyte-derived
macrophage, dan menstimulasi pertumbuhan sel dan meningkatkan ekspresi

35
kolagen tipe 1 pada sel endotel. U-II juga mengaktifkan NADPH (Nikotinamid
adenin dinukleotida pospat tereduksi) oksidasi dan plasminogen activator
inhibitor-1 (PAI-1) pada VSMC dan menstimulasi proliferasi VSMC secara
sinergis saat dikombinasikan dengan LDL oks, ROS, dan serotonin. Penemuan ini
menjelaskan bahwa U-II berperan dalam perkembangan aterosklerosis dan
penyakit arteri coroner.4

Terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa individu dengan


hipertensi memiliki banyak plak pada aorta dan arteri koronaria dibandingkan
individu dengan tekanan darah normal pada semua usia dan kedua jenis kelamin.
Kerusakan endotelial secara langsung akibat kekuatan tekanan darah
dimungkinkan sebagai penyebab, namun hal itu merupakan area shear yang
rendah pada daerah vaskuler dengan aliran turbulensi lokal dan kontak yang lama
antara unsur darah dengan endotelium yang terlibat.5

d. Aktifitas fisik
Masyarakat yang tidak aktif sedikitnya dua kali lebih besar ditemukannya
PJK dari pada masyarakat yang aktif. Sedikit aktivitas fisik dapat memperburuk
faktor risiko lainnya, seperti tinggi kolesterol dalam darah dan trigliserid,
hipertensi, diabetes dan prediabetes, dan obesitas. Sangat penting sekali untuk
anak-anak dan dewasa untuk melakukan aktifitas fisik sebagai rutinitas sehari-
hari.
e. Obesitas dan Berat Badan Lebih
Obesitas adalah suatu keadaan dimana ditemukan adanya kelebihan lemak
dalam tubuh. Ukuran untuk menentukan seorang obes atau berat badan lebih
adalah berdasarkan berat badan dan tinggi badan yaitu indek massa tubuh (IMT)
berdasarkan berat badan (BB) dalam kilogram dibagi tinggi badan dalam meter
pangkat dua (BB kg/ TB m2).28
Distribusi lemak dalam tubuh kita terdapat dua jenis penimbunan lemak
yaitu ginekoid dan android. Bentuk ginekoid adalah penimbunan lemak terutama

36
dibagian bawah tubuh (bokong) sedangkan penimbunan lemak dibagian perut
disebut bentuk android atau lebih dikenal dengan obesitas sentral/ obesitas viseral.
Hasil penelitian membuktikan bahwa terdapat hubungan erat antara
obesitas sentral dan faktor resiko penyakit kardiovaskuler yang tergolong dalam
sindroma metabolik yaitu diabetes mellitus tipe 2, toleransi glukosa terganggu,
hipertensi dan dislipidemia. Penurunan berat badan dengan diet, olahraga, dan
obat dapat memperbaiki profil lipid dan kendali glikemi yang lebih baik.28
f. Diabetes Mellitus
Diabtes Mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemi yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau keduaduanya.29 Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
(PERKENI) membagi alur diagnosis DM menjadi dua bagian besar berdasarkan
ada tidaknya gejala khas DM. Gejala khas DM terdiri dari poliuria, polidipsia,
polifagia, dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas. Sedangkan gejala
yang tidak khas diantaranya lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal,
mata kabur, disfungsi ereksi (pria), dan pruritus vulva (wanita). Apabila
ditemukan satu kali saja gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal
dalam satu kali saja maka sudah cukup digunakan untuk menegakkan diagnosis,
namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka yang diperlukan adalah
dengan melakukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal.
Individu dengan DM mudah terjadi penyakit yang berhubungan dengan
aterosklerosis, dan diyakini bahwa lebih dari dua pertiga kematian pasien DM
akibat penyakit arterial. Pada satu penelitian (Helsinki policeman study) untuk
setiap faktor risiko dan pada setiap tingkatan risiko, angka kematian penyakit
jantung koroner tiga kali lipat lebih tinggi pada pasien DM dari pada individu
normal.
Mekanisme yang mungkin adalah berhubungan dengan abnormalitas
metabolisme lipid yang dapat meningkatkan aterogenesis, dan advanced glycation
endproducts (AGE) yang menggambarkan metabolisme abnormal pada DM yang

37
berdampak pada injuri endotelium. Disfungsi Endotel pada Penderita DM
terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radikal bebas misalnya
auto-oksidasi glukosa, ketidak seimbangan reduksioksidasi dan interaksi Advance
Glycosilation Endproduct (AGE) sedangkan jumlah free radical defence dan
jumlah anti oksidannya menurun. AGE berinteraksi dengan permukaan molekul
immunoglobulin superfamily yaitu receptor for advanced glycation endproduct
(RAGE) yang meningkatkan ekspresi reseptor dan umpan balik positif sepanjang
aktivasi seluler sel endotelial, makrofag dan sel otot polos yang menempatkan diri
pada tingkat aktivasi seluler kronik dan kerusakan jaringan. 19
Hiperglikemi dapat meningkatkan akumulasi sarbitol melalui aldose
reduktase, kofaktor NADPH akan menurun dengan meningkatnya jalur poliol.
Halini akan mengganggu siklus redok glutation yang merupakan proteksi
selulerterhadap radikal bebas. Radikal bebas akan merusak endotel vaskuler dan
menetralisisr kerja NO.
Demikian juga AGE dapat dihasilkan lewat jalur glikasinon enzimatik
dimana AGE mempunyai sifat pembersih NO, oleh karena itu NO akan sangat
berkurang. Selain terjadi peningkatan AGE terjadi pula peningkatanradikal bebas
superokside yang dapat menghambat kerja NOS (nitrix oxide syntease),
sedangkan produksi superokside desmutasel (SOD) menurun sehinggajumlah NO
akan sangat berkurang dan fungsi endotel akan terganggu.30
Pengaruh DM terhadap Metabolisme Lipoprotein
Lipoprotein pada penderita DM akan mengalami 3 proses yang merugikan
yang mempunyai hubungan erat terjadi aterosklerosis,
1) Proses Glikosilasi: menyebabkan peningkatan lipoprotein yang terglikolisasi
dengan akibat mempunyai sifat lebih toksik terhadap endotel serta menyebabkan
katabolisme lipoprotein menjadi lebih lambat.
2) Proses Oksidasi: mengakibatkan peningkatan lipoprotein – oksidasi.
Peningkatan kadar lipoprotein peroksida, baik LDL maupun HDL mempermudah
rusaknya sel dan terjadinya aterosklerosis. Lipid peroksida pada DM cenderung

38
berlebihan jumlahnya dan akan menghasilkan beberapa aldehid (malondialdehid)
yang memiliki daya perusak tinggi terhadap sel-sel tubuh.
3) Karbamilasi: residu lisin apoprotein LDL akan mengalami karbamilasi dan
berakibat katabolisme LDL terhambat.31,32
Perubahan lipoprotein pada DM-2 yang paling sering adalah hipertrigliseridemia
dan penurunan kadar kolesterol HDL. Sedangkan kadar kolesterol LDL biasanya
tidak berbeda dengan non DM. Perubahan yang terjadi pada kolesterol LDL
adalah meningkatnya kolesterol LDL lebih kecil dan padat atau disebut juga
kolesterol LDL tipe B yang memungkinkan timbulnya aterosklerosis.

Faktor – Faktor Risiko Minor

a. Stres
Rosenman dan friedman telah mempopulerkan hubungan yang menarik
antara apa yang dikenal sebagai pola tingkah laku tipe A dengan aterogenesis
yang dipercepat. Kepribadian yang termasuk dalam tipe A adalah mereka yang
memperlihatkan persaingan yang kuat, ambisius, agresif, dan merasa diburu
waktu. Sudah diketahui bahwa stres menyebabkan pelepasan katekolamin, tetapi
masih dipertanyakan apakah stres masih bersifat aterogenik atau hanya
mempercepat serangan. Teori bahwa aterogenesis disebabkan oleh stres dapat
merumuskan pengaruh neuroendokrin terhadap dinamika sirkulasi, lemak serum,
dan pembekuan darah.33
b. Diet dan Nutrisi
Diet yang tidak sehat dapat meningkatkan risiko kejadian aterosklerosis.
Misalnya makanan yang tinggi lemak jenuh, lemak trans, dan kolesterol yang
akan meningkatkan kolesterol LDL. Dengan demikian, maka harus membatasi
makanan tersebut.34
Lemak jenuh ditemukan di beberapa daging, produk susu, coklat,
makanan yang dipanggang, dan makanan goreng dan diproses. Lemak trans
ditemukan di beberapa makanan yang digoreng dan diproses. Kolesterol

39
ditemukan pada telur, daging, produk susu, makanan yang dipanggang, dan
beberapa jenis kerang. Hal ini juga penting untuk membatasi makanan yang tinggi
natrium (garam) dan tambahan gula. Diet tinggi garam dapat meningkatkan risiko
tekanan darah tinggi.34
Tambahan gula akan memberi kalori tambahan tanpa nutrisi seperti
vitamin dan mineral. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan berat badan yang
meningkatkan risiko aterosklerosis. Tambahan gula banyak ditemukan di
makanan penutup, buah-buahan kalengan yang dikemas dalam sirup, minuman
buah, dan minuman soda non diet.34
c. Alkohol
Mengkonsumsi alkohol secara berlebihan dapat menyebabkan obesitas,
trigliserida tinggi, tekanan darah tinggi, stroke dan kanker. Alkohol akan
meningkatkan tekanan darah. Hal ini juga akan menambah kalori yang dapat
menyebabkan kenaikan berat badan.34
Ada banyak alasan untuk tetap konsumsi alkohol dalam batas yang wajar.
Pria dianjurkan untuk minum tidak lebih dari 28 unit seminggu dan perempuan
tidak lebih dari 21 unit . Unit didefinisikan sebagai suatu jenis alcohol (misalnya,
bir, wine, dll).34
2.3 Patogenesis
Berbagai teori telah dilontarkan untuk menerangkan patogenesis
aterosklerosis. Aterosklerosis bukan merupakan suatu proses degenaratif, tetapi
merupakan proses inflamasi kronik yang diikuti oleh suatu proses reparasi di dinding
arteri. Hal inilah yang mendasari hipotesis response to injury yang dikemukan oleh
Russel Ross pertama kali pada tahun 1976.8 Hipotesis ini menyatakan bahwa lesi
aterosklerosis terjadi sebagai respons platelet karena kerusakan endotel oleh
hiperkolesterolemia. Hipotesis ini telah mengalami banyak perubahan seiring dengan
perkembangan zaman.9,10 Pembuluh arteri seperti juga organ–organ lain dalam tubuh
mengikuti proses umur (penuaan) dimana terjadi proses yang karakteristik seperti

40
penebalan lapisan intima, berkurangnya elastisitas, penumpukan kalsium, dan
bertambahnya diameter lapisan intima. Pembuluh koroner terdiri dari tiga lapisan
yaitu tunika intima (lapisan dalam), tunika media (lapisan tengah), dan tunika
adventisia (lapisan luar).11

1. Tunika Intima
Tunika intima terdiri dari dua bagian, bagian yang pertama adalah lapisan
sel – sel endotel yang berfungsi melapisi permukaan dalam pembuluh darah dan
memberikan permukaan licin antara darah dengan dinding arteri. Sedangkan
bagian yang kedua adalah lapisan subendotel dimana terletak di bawah endotel
dan teridiri atas jaringan ikat jarang yang kadang – kadang mengandung sel otot
polos. Sel – sel endotel memproduksi zat – zat seperti prostaglandin, heparin,
dan aktivator plasminogen yang membantu mencegah agregasi trombosit dan
vasokontriksi. Selain itu endotel juga mempunyai daya anti trombogenik arteri. 11-
13

2. Tunika Media
Tunika media terutama terdiri atas lapis – lapis konsentris dan sel – sel
otot polos secara berpilin. Lapisan ini terletak di bagian tengah arteri yang
mempunyai tiga bagian :
a. bagian sebelah dalam disebut mebran elastis interna
b. kemudian jaringan fibrous otot polos
c. sebelah luar adalah membran jaringan elastis interna.

Lapisan tebal otot polos dan jaringan kolagen, memisahkan jaringan membran
elastik interna dengan membran elastik eksterna dan yang terakhir ini
memisahkan tunika media dengan tunika adventisia.11-13

3. Tunika Adventisia

41
Tunika adventesia terutama terdiri atas serat – serat kolagen dan elastin
yang tersusun memanjang. Lapisan ini juga dikelilingi oleh vasa vasorum yaitu
jaringan arteriol.11-13

Perjalanan aterosklerosis secara histopatologik dibagi menjadi beberapa tahap yaitu :

1. Tahap I – lapisan berlemak ( fatty streak )


Garis lemak/fatty streak merupakan lesi arterosklerosis yang awal dan
pertama kali ditemukan pada saat terjadinya kerusakan sel endotelial di daerah
percabangan arterial karena stress regangan (shear stress). Fatty streak terdiri
makrofag yang bermigrasi ke ruang subendotelial dan sel otot polos yang
mengandung lemak sehingga akan memberikan gambaran sel busa (foam cells).
Sel endotelial yang dilapisi oleh fatty streak akan memberikan gambaran
histologis dan fungsi yang abnormal. Fatty streak yang memanjang atau berkerut
– kerut terdapat pada permukaan sel otot polos. Lapisan ini berwarna agak
kekuning – kuningan dan belum atau sedikit menyebabkan penyumbatan pada
pembuluh darah.
Fatty streak dijumpai di aorta pada bayi yang baru lahir dan akan dijumpai
dalam jumlah yang lebih banyak pada anak – anak yang berusia 8 – 10 tahun pada
aterosklerosis aorta di negara – negara barat. Fatty streak pada arteri dapat mulai
terlihat pada umur 15 tahun dan jumlahnya akan bertambah sampai pada dekade

42
ke tiga dari umur manusia. Akan tetapi tidak semua fatty streak akan berlanjut
menjadi lesi fibrotik. Fatty streak berkembang pada lokasi dimana biasanya
terjadi sel endotel yang luka, sehingga menyebabkan molekul – molekul besar
seperti LDL (Low Density Lipoprotein) dapat masuk ke dalam jaringan
subendotelium.
Sedangkan LDL sendiri adalah lemak aterogenik yang paling utama.
Apabila LDL sudah masuk ke dalam subendotelium, maka akan terjebak dan akan
menetap di dalam jaringan subendotelium, hal seperti ini disebabkan karena
terikatnya LDL dengan glikoaminoglikan. LDL yang terjebak semakin lama akan
bermodifikasi karena adanya suatu radikal oksigen yang bebas di sel endotelial,
yang merupakan inhibisi dari aterosklerisis. LDL yang bermodifikasi ini akan
mengalami 3 proses yang penting yaitu mereka akan dimakan oleh monosit
menjadi makrofag, makrofag ini akan tetap di dalam jaringan subendotelium, dan
modifikasi LDL ini akan membantu sel mengambil lipid dalam jumlah yang
besar.
2. Tahap II – Fibrous plaque
Tahapan selanjutnya dari perkembangan lesi aterosklerotik adalah
konversi dari fatty streak ke lesi fibrotik yang ditandai dengan adanya tutup
fibrotik (fibrotic cap). Fibrotic cap ini berwarna agak keputih – putihan,
berkalsifikasi dan dapat menonjol ke dalam lumen sehingga dapat menyebabkan
sumbatan parsial dari arteri. Fibrous cap ini merupakan suatu lesi patognomonik
pertama aterosklerosis. Pada tahapan ini sering dijumpai mulai umur 25 tahun di
aorta dan arteri koronaria di negara – negara dimana insidens yang tinggi dari
aterosklerosis.
Salah satu terjadinya penyebab perubahan dari fatty streak ke lesi fibrotik
adalah adanya lesi fokal yaitu hilangnya jaringan endotelial yang melapisi fatty
streak. Hilangnya lapisan sel ini disebabkan oleh karena adanya suatu peregangan
oleh sel – sel yang mengalami disfungsi pada deformasi dinding arteri atau
dikarenakan oleh suatu toksin (radikal bebas akibat hasil dari oksidasi lipid) oleh

43
sel busa. Pada lokasi sel yang hilang ini, platelet akan melekat dan terjadi
pengeluaran factor-faktor yang akan menyebabkan perkembangan lesi.
Heparinase merupakan salah satu enzim yang memecah heparin sulfat
(sebuah polisakarida pada matriks ekstraseluler) yang menghambat migrasi dan
proliferasi dari sel otot polos. Kombinasi dari penurunan kadar heparin dan
kurangnya PGI2 dan EDRF-NO, karena sel endotelial yang luka menyebabkan sel
otot polos berubah dari sel yang berkontraksi menjadi sel yang tidak berkontraksi
sehingga yang terjadi adalah pengeluaran dari sekresi enzim – enzim pada matriks
ekstraseluler, yang menyebabkan mereka bermigrasi ke dalam intima dan
berproliferasi.14,15,16,17,18
3. Tahap III – Lesi Komplikata
Tahap ketiga ini terdapat dalam jumlah banyak dengan adanya
peningkatan umur. Bagian dari inti plak yang mengalami komplikasi akan
menyebabkan ukuran menjadi bertambah besar dan dapat mengalami perkapuran.
Ulserasi dan perdarahan menyebabkan trombosis, pembentukan aneurisma, dan
diseksi dari dinding pembuluh darah yang akan menyebabkan timbulnya gejala
penyakit.15
Faktor – faktor yang menyebabkan plaque tersebut pecah oleh karena
adanya suatu aliran yang turbulen atau mekanisme stress peregangan, perdarahan
intraplak yang dikarenakan oleh rupturnya vasa vasorum, peningkatan stres yang
terletak di dinding sirkumferensial dinding arteri pada penutup fibrotik
dikarenakan adanya suatu penimbunan lipid dan adanya pengeluaran enzim –
enzim yang dikeluarkan oleh makrofag untuk memecah matrik.
Sejalan dengan pecahnya plak maka proses yang terjadi lainnya adalah
seperti thrombosis, adhesi platelet, agregasi platelet, dan koagulasi akan terjadi.
Koagulasi dimulai oleh karena bercampurnya darah dengan kolagen di dalam plak
dan faktor jaringan (jaringan tromboplastin) yang diproduksi oleh sel endotelial
dan makrofag di dalam sel lesi fibrotik. Faktor jaringan akan membuat faktor VII
mengaktifkan faktor X, yang akan mengkatalisasi konversi dari protrombin

44
menjadi thrombin, yang pada akhirnya akan mengalami suatu polimerisasi untuk
menstabilkan trombus.
Trombin akan menstimulasi terjadinya proliferasi selular pada lesi dengan
mengeluarkan deposisi platelet tambahan dan pengeluaran Platelet derived growth
factor (PDGF) dan menstimulasi sel – sel lain untuk mengeluarkan PDGF.
Trombosis dapat terjadi karena adanya lipoprotein(a) yang menghambat
trombolisis dengan menghambat konversi dari plasminogen menjadi plasmin.14
Tergantung pada keseimbangan antara trombotik dan proses trombolitik, trombus
dapat mengalami kejadian – kejadian yang berbeda.
Trombus dapat mengalami disolusi (hilang) sehingga pasien tidak
mengalami gejala atau dapat menempel pada proses aterosklerosis sehingga
penyumbatan pada suatu lumen arteri bertambah besar dan menimbulkan gejala
klinik. Pecahnhya plak juga dapat menyebabkan suatu gejala klinik, dikarenakan
pecahan plak tersebut berjalan bersama dengan aliran darah dan akan menyumbat
pembuluh darah distal yang ukurannya akan lebih kecil. Jika pecahnya sangat
besar maka kemungkinan besar akan terjadi penyumbatan pada pembuluh darah
besar.9
2.4 Patofisiologi 2
Proses diawali dari berubahnya k-LDL menjadi lebih aterogenik mungkin
setelah proses oksidasi dan berubah menjadi LDL yang teroksidasi (Ox LDL). Di sisi
lain pada daerah-daerah rawan/predileksi aterosklerosis (misalnya: aorta dan arteri
koronaria) endotel bisa mengalarni gangguan (intak tetapi bocor) sehingga menjadi
aktif dan terjadi gangguan fungsi, lama kelarnaan bisa terjadi deendotelisasi dengan
atau tanpa disertai proses adesi trombosit. Berdasarkan ukuran dan konsentrasinya,
molekul plasma dan partikel lipoprotein lain bisa melakukan ekstravasasi rnelalui
endotel yang rusak/bocor dan rnasuk ke ruang subendotelial. LDL yang aterogenik
(Ox LDL) akan tertahan dan berubah menjadi bersifat sitotoksik, proinflamasi,
khemotaktik dan proaterogenik. Karena pengaruh aterogenesis dan stimuli inflamasi

45
tersebut endotel menjadi aktif. Endotel akan mengeluarkan sitokin. NO (Nitrogen
monoksida) yang dihasilkan endotel menjadi berkurang sehingga fungsi dilatasi
endotelpun akan berkurang, selain itu juga akan mengeluarkan sel-sel adesi (Vascular
Cell Adhesion Molecule-7, InterCellular Adhesion Molecule-7, E selectin, P selectin)
dan menangkap monosit dan sel T. Monosit akan berubah menjadi makrofag yang
akan menangkap Ox-LDL dan berubah menjadi sel busa (foam cell) yang kernudian
akan berkembang rnenjadi inti lemak (lipidcore) dan mempunyai pelindungfibrosa
(Fibrouse cap). Pelindung Fibrosa (PF) ini bisa rapuh sehingga memicu proses
trombogenesis yang berakibat terjadinya sindrom koroner akut (SKA). Gangguan
fungsi dilatasi endotel inilah yang dianggap sebagai disfungsi endotel. Dan sel
apoptotic yang dihasilkan Ox-LDL akan menyebabkan instabilitas/plak dan memicu
terbentuknya trornbus.
Kadar Trigliserida (TG) yang tinggi (hipertrigliseridemia) juga merupakan
faktor risiko tersendiri yang lepas dari faktor risiko yang lain. Karena sebagian besar
merupakan trigliserida yang kaya akan lipoprotein (TG rich lipoprotein) terutama
khilomikron remnant dan Very-low Density Lipoprotein (VLDL) remnant. Remnant
lipoprotein ini ukurannya kecil sehingga dapat masuk ke dalam subendotel dan
selanjutnya akan menyebabkan aterosklerosis. Dari sisi lain, kadar High-Density
Lipoprotein cholesterol (kolesterol-HDL) yang tinggi dapat menurunkan risiko KV.
HDL akan menyebabkan tranpor kolesterol balik (reverse cholesterol transport) yang
merupakan mekanisme protektif dari progresi aterosklerosis.
2.5 Manifestasi Klinis 7
Aterosklersis dapat dimulai pada usia anak – anak, meskipun seperti demikian
secara khas tidak memberikan gejala apapun selama berpuluh – puluh tahun, sampai
pada akhirnya bermanifestasi sendiri lewat salah satu mekanisme berikut ini:

•Penyempitan tersamar lumen vaskuler (misalnya gangren pada tungkai bawah terjadi
karena aterosklerosis yang menimbulkan stenosis dalam arteri poplitea).

46
•Ruptur plak atau lesi superfisialis yang diikuti oleh pembentukan thrombus sehingga
terjadi oklusi lumen yang tiba – tiba (misalnya infark miokardium terjadi sesudah
oklusi lumen oleh trombus dari atheroma koroner yang lepas).
•Kelemahan dinding pembuluh darah yang diikuti oleh pembentukan aneurisma dan
mungkin pula ruptur (misalnya aneurisma aorta abdominalis).
•Pembentukan sumber tromboembolus atau debris ateroembolus yang menyebabkan
kerusakan organ di sebelah distal (misalnya infark renal setelah embolisasi
kolesterol dari plak aorta yang mengalami ulserasi).

Lebih kurang dari sepertiga kematian di Amerika Serikat terjadi karena


aterosklerosis yang signifikan dalam menimbulkan infark miokardium atau kematian
jantung mendadak, stroke (cerebrovascular accidents), rupture aneurisma, oklusi
arteri messenterika, dan gangren ekstremitas.

2.6 Penatalaksanaan 2
Diet dan Perubahan Gaya Hidup
Perubahan Gaya Hidup (PGH) merupakan ujung tombak usaha pencegahan
PJK. Yang harus dilakukan adalah:

• Olah raga teratur, batasi konsumsi alkohol (moderate), berhenti merokok,


mengontrol tekanan darah dan kadar gula darah, mengusahakan dan
mempertahankan berat badan ideal dan Diet rendah kolesterol.
• Konsumsi antioksidan: flavanoid teh hijau, minyak olive dan wine merah.
• Diet rendah lemak trans dan jenuh. Konsumsi asam lemak omega 3, buah,
sayur segar dan kacang-kacangan.

Ukuran lingkar pinggang dijaga optimal (Asia Tenggara: pria <90cm, wanita <80cm).
IMT minimal <27 kg/m2 atau optimal <25 kg/m2. Olah raga dilakukan secara teratur
4-7 hari seminggu: olah raga berat selama 30 menit, moderate 30-60 menit dan ringan
dilakukan selama 60 menit. PGH harus dilakukan dengan sungguh sungguh dengan

47
sasaran yang jelas dan secara bertahap dievaluasi serta diperbaiki supaya hasilnya
maksimal.

Terapi Medikamentosa

Obat Penurun Kolesterol. Kolesterol LDL adalah actor utama aterosklerosis


karena itu menjadi target utama dalam terapi lipid. Obat penurun lipid yang biasa
dipakai adalah: statin, fibrat, bile acid squestrans, niasin, dan ezetimibe. Diantara
semua golongan obat yang ada, yang paling efektif adalah statin. Seberapa jauh kita
turunkan kadar kolesterol tergantung dari posisi pasien dalam kategori yang mana.

• Statin merupakan obat yang aman dan ditoleransi dengan baik. Sekarang ini
merupakan pilihan pertama untuk menurunkan k-LDL. Tergantung jenis dan
dosisnya, statin dapat menurunkan k-LDL lebih dari 55% dan trigliserida (TG)
lebih dari 30% serta dapat menaikkan k-HDL lebih dari 15%. Statin akan
memberikan keuntungan yang paling besar pada orang dengan risiko tinggi.
Dosis yang diberikan bisa cukup besar karena mungkin harus menurunkan 30%-
40% dari kadar awalnya, karena itu mungkin diperlukan beberapa kali
peningkatan dosis. Harus diberitahukan kepada pasien bagaimana pilihan-pilihan
obat dan mengevluasi hasilnya. Sasaran harus sudah bisa tercapai dalam 6
minggu. Bisa terjadi efek samping terhadap liver tetapi jarang, karena itu
disarankan untuk pemeriksaan fungsi liver sebelum memberikan statin dan
dievaluasi secara berkala setiap 6 bulan.
• Fibrat merupakan obat tunggal yang paling efektif untuk orang dengan TG yang
sangat tinggi dan bisa digunakan sebagai obat tambahan apabila dengan statin
TG masih tetap tinggi. Masalah utamanya adalah efek samping gastrointestinal
dan kemungkinan terbentuknya batu empedu serta interaksi dengan obat lain.
Apabila dipakai fenofibrat akan mengurangi kemungkinan efek interaksi dengan
obat lain.

48
• Niasin (asam Nikotinat) pemberian dalam dosis 1-2 g/hari dapat menurunkan
kadar TG, k-LDL, k-HDL. Penurunan TG biasa sampai >50% dan k-LDL >25%.
Tetapi masalah utamanya adalah efek sampingnya yaitu kemerahan dimuka
(flushing) dan di badan, juga efek samping gastrointestinalnya. Peningkatan
dosis secara pelan-pelan akan mengurangi efek samping tersebut. Niasin tunggal
atau sebagai kombinasi dengan statin merupakan alternatif terapi pada pasien
dengan dislipedemia aterogenik.
• Bile acidsquestrant bekerja di intestinum mengikat asam empedu dan tidak
diabsorbsi, karena itu aman untuk anak-anak, wanita hamil dan menyusui.
Terutama menurunkan k-LDL tetapi bisa juga menaikkan TG. Karena itu tidak
dianjurkan pada pasien dengan TG yang tinggi. Ezetemibi. Pada pasien yang
tidak bisa memakai statin bisa menggunakan ezetimibi, tetapi efeknya sangat
lemah. Kecuali dipakai dalam kombinasi dengan statin akan memperbesar efek
penurunan k-LDL.9

Obat obat yang mempunyai efek anti inflamasi.

Aterogenesis berlanjut disebabkan karena adanya proses inflamasi vaskular


Inflamasi vaskular ini dikaitkan langsung dengan tingginya kadar kolesterol darah
tetapi bisa juga disebabkan karena infeksi kuman. Dari penelitian dapat dibuktikan
bahwa penyakit aterosklerosis adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi
imun (immune-mediated inflammatory disease). Beberapa kuman (Helicobacter
pylori dan Clamydia pneumonia) dapat memicu atau memulai aterosklerosis. Kuman-
kuman tersebut akan menyebabkan infeksi lokal dan reaksi inflamasi kronis. Dan
dengan pemakaian antibiotic ternyata dapat menurunkan kejadian kardiovaskular
Dalam morbiditas penyakit kardiovaskular respons inflamasi ini berperan sangat
penting. Karena itu pemberian obat-obat yang bisa menekan reaksi inflamasi akan
sangat bermanfaat dalam mencegah berkembangnya proses lebih lanjut walaupun
tidak akan mungkin untuk mengatasi semua faktor risiko. Beberapa obat yang
mempunyai efek anti-inflamasi antara lain adalah:

49
• Statin. Efek utama statin adalah menurunkan kadar kolesterol darah, tetapi selain
itu juga mempunyai efek anti-oksidan sistemik yang kuat, anti-inflamasi dan
anti-proliferatif. Menurunkan reaksi inflamasi ini mungkin menjadi salah satu
mekanisme berkurangnya kejadian kardiovaskular pada pemakaian statin.
• Angiotensine Converting Enzyme Inhibitor (ACEI) dan Angitensin Receptor
Blocker (ARB). Mempunyai efek anti-oksidan langsung, anti-inflamasi dan
antiproliferative, karena itu akan menghentikan proses aterosklerosis.
• Aspirin. Aspirin akan menurunkan aktivitas trombosit. Selain itu juga akan
menurunkan ekspresi mediatorm ediator inflamasi (misalnya: CRP, TNF, IL-6
dan l-CAM) dan menghambat proliferasi sel otot polos vaskular.- Hormon
Replacement Therapy (Terapi Sulih Hormon). Dapat menurunkan ICAM-1, V C
A M - 1 dan E-Selectin.
• Agonist Peroxisome Proliferator Activated Receptor – y (Agonist PPAR-y).
Akan menurunkan Inter leukin-4 (IL-4), lnterleukin-5 (IL-5) dan lnterleukin-13
(IL-13) dan menurunkan ekspresi gen proinflamatori.
• Suplemen anti-oksidan. Pemakaian pada manusia manfaatnya masih meragukan
karena selama inipenelitiannya hanya dalam waktu yang pendek dan dosis anti-
okasidannya terlalu kecil, sehingga manfaatnya masih belum jelas.

Yang dimaksud dengan Penanganan Medis Optimal (PMO) adalah usaha


untuk memperbaiki semua factor risiko. Melakukan PGH dan pemberian obat-obatan
yang diperlukan dan dicapai target-target terapi sesuai panduan. Sejauh apapun
tindakan kita termasuk intervensi tanpa PMO hasilnya tidak akan lebih baik. Pada
pasien dengan PJK yang stabil, strategi intervensi perkutan koroner (IPK) awal tidak
memberikan proteksi yang lebih baik dibandingkan dengan hanya PMO saja. Jadi
untuk mencapai hasil penanganan yang paling baik adalah dilakukan PMO dan
dilakukan intervensi apabila diperlukan.

2.7 Pencegahan 2

50
Secara garis besar konsep pencegahan aterosklerosis adalah:

1. Asesmen secara terintegrasi faktor-faktor risiko untuk mencari penderita-


penderita yang rentan.
2. Identifikasi dan intervensi obesitas dan DM pada usia dini (dekade ke 2-3).
3. Pemberian terapi farmakologis setelah dewasa.

BAB III
KESIMPULAN

Hipertensi atau darah tinggi diartikan sebagai peningkatan tekana darah secara
terus menerus sehingga melebihi batas normal. Hipertensi mengambil porsi sekitar
60% dari seluruh kematian dunia. Pada anak-anak yang tumbuh kembang hipertensi
meningkat mengikuti dengan pertumbuhan badan. Dengan bertambahnya umur,
angka kejadian hipertensi juga makin meningkat, sehingga di atas umur 60 tahun
prevalensinya mencapai 65,4%. Menurut NHANES 1999-2000, prevalensi tekanan
darah tinggi pada populasi dewasa yang berumur diatas 20 tahun di Amerika Serikat,
adalah sebagai berikut: normal 38%, pre hipertensi 31%, hipertensi 31%.

Hipertensi disebut primer bila penyebabnya tidak diketahui (90%), bila ditemukan
sebabnya disebut sekunder (10%). Penyebabnya antara lain penyakit, obat-obatan,
makanan, obat jalanan. Pada umumnya penderita hipertensi tidak mempunyai
keluhan. Hipertensi adalah the silent killer. Penderita baru mempunyai keluhan
setelah mengalami komplikasi di TOD.

51
Pengobatan selalu dimulai dengan cara modifikasi gaya hidup, kemudian dilanjutkan
dengan farmakoterapi secara individualistik sesuai dengan komorbid atau compelling
indications yang ada pada penderita. Untuk low and moderate risk target tekanan
darah < 140/90 mmHg. Untuk high and very high risk (diabetes and renal disease)
target tekanan darah < 130/80 mmHg, dan tidak lupa mengobati TOD.

Pada banyak uji klinis, pemberian obat anti hipertensi akan diikuti penurunan insiden
strok 35% sampai 40%; infark miokard 20% sampai 25%; dan lebih dari 50% gagal
jantung. Diperkirakan penderita dengan hipertensi stadium 1 (TDS, 140-159 mmHg
dan/atau TDD, 90-99 mmHg) dengan faktor risiko kardiovaskular tambahan, bila
berhasil mencapai penurunan TDS sebesar 12 mmHg yang dapat bertahan selama 10
tahun, maka akan mencegah satu kematian dari setiap 11 penderita yang telah diobati.

Atherosclerosis adalah penyakit umum di mana timbunan lemak yang disebut


plak ateromatosa muncul di lapisan dalam arteri. Aterosklerosis adalah hasil dari
hiperlipidemia dan lipid oksidasi, dan selalu menjadi penyebab utama kematian di
negara maju. Merupakan penyakit intima vaskular, di mana semua sistem pembuluh
darah dari aorta ke arteri koroner dapat terlibat dan ditandai dengan intimal plak.
Perubahan Gaya Hidup (PGH) merupakan ujung tombak usaha pencegahan PJK.
Yang harus dilakukan adalah:

• Olah raga teratur, batasi konsumsi alkohol (moderate), berhenti merokok,


mengontrol tekanan darah dan kadar gula darah, mengusahakan dan
mempertahankan berat badan ideal dan Diet rendah kolesterol.
• Konsumsi antioksidan: flavanoid teh hijau, minyak olive dan wine merah.
• Diet rendah lemak trans dan jenuh. Konsumsi asam lemak omega 3, buah, sayur
segar dan kacang-kacangan.

Obat Penurun Kolesterol. Kolesterol LDL adalah actor utama aterosklerosis karena
itu menjadi target utama dalam terapi lipid. Obat penurun lipid yang biasa dipakai
adalah: statin, fibrat, bile acid squestrans, niasin, dan ezetimibe. Diantara semua
golongan obat yang ada, yang paling efektif adalah statin.

52
DAFTAR PUSTAKA

1. Vitahealth. 2005. Hipertensi. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.


2. Yogiantoro, Mohammad. 2014. Pendekatan Klinis Hipertensi. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi VI. InternaPublishing: Jakarta.
3. Dzau VJ. 2001. Tissue angiotensin and pathobiology of vascular disease;
aunifying hypothesis. Hipertension.
4. Watanabe T, Kanome T, Miyazaki A. 2006. Relationship betwen
hypertension and atherosclerosis : from a viewpoint of most poten
vasoconstrictor human urotensin II . Current Hypertension Review.
5. Jawaharlal W.B. 2000. Senaratne and Green FR. Pathobiology of
atherosclerosis. In Peter J. Morris,William C. Wood Oxford eds. Textbook of
Surgery, 2nd edition. US.

6. Mahmoud RK., Mahbubeh S., Monir D., Azar B., Hamid N., 2014.
Atherosclerosis: Process, Indicators, Risk Factors and New Hopes.
International Journal of Preventive Medicine.

53
7. Mitchell, et al. 2006. Buku saku dasar patologis penyakit robbins & cotran.
Edisi 7. EGC: Jakarta.
8. Ross R, Glomset JA. 1976. The pathogenesis of atherosclerosis (first of two
parts). The New England Journal of Medicine. 295: 369 – 77.
9. Ross R. 1999. Atherosclerosis-an inflammatory disease. The New England
Journal of Medicine. 340:115 – 26
10. Ross R. 1986. The pathogenesis of atherosclerosis-an update. The New
England Journal of Medicine. 314: 488 – 500
11. Kusmana D, Hanafi M. 2003. Patofisiologi penyakit jantung koroner. Dalam:
Ismudiati L editor. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: FK UI.
12. Libby P. 2001. The vascular biology of atherosclerosis. Heart Disease: A
Textbook of Cardiovascular Medicine 6th ed editor by Zorab R. W.B.
Saunders Company, Philadelphia. Vol.1: 995 – 1009
13. Junqeira LC, Carneiro J, Kelley RO. 1995. Histologi Dasar edisi 8 editor
Komala S, Santoso A.Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
14. Tugasworo D. 2010. Patogenesis aterosklerosis editor oleh Purwaningsih E.
Badan Penerbit UNDIP, Semarang.
15. Saleh M. 1989. Penyakit jantung koroner. Laboratorium-UPF Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSUD Dr. Sutomo, Surabaya.
16. Massie BM, Amidon TM. 2002. Heart. In: Tierney LM, McPhee SJ,
Papadakis MA eds. Current medical diagnosis and treatment 41st ed. New
York: McGraw-Hill Med Publ Div. International.
17. Herry Y. 2011. Lipid and atherosclerosis: how to manage it?. In: Sugiri,
Tanuwidjojo S, Rifqi S eds. 8th Semarang Cardiology Update 2011 Together
for Better Cardiovascular Management. Semarang: Badan Penerbit UNDIP.
18. Pratanu S. 1995. Regresi aterosklerosis. Cermin Dunia Kedokteran. 102 (14):
14 – 18

54
19. Jawaharlal W.B. Senaratne and Green FR. 2000. Pathobiology of
atherosclerosis. In Peter J. Morris,William C. Wood Oxford eds. Textbook of
Surgery, 2nd edition. US: Oxford press. Vol. 3.
20. Price SA. 1994. Penyakit aterosklerotik koroner. Dalam: Wijaya C editor.
Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 4. Jakarta: Penerbit
buku kedokteran EGC.
21. Djokomoeljanto, R. 1999. Patofisiologi dislipidemi, dalam Kumpulan
Makalah Lipid dan Aterosklerosis, FK UNDIP, Semarang.
22. Rader D J, Hobbs H H. 2005. Disorder of lipoprotein metabolism. In: Dennis
L.Kasper, et al eds. Harrison’s Principles of Internal Medicine, 16th Ed.
US:The McGraw-Hill Companies. Vol. II: 2286-98
23. Darmono. 2011. Atherogenic dyslipidemia and type 2 diabetes macrovascular
Risk. In: Suharti C, Hadi S, Gasem MH eds. Heart & Systemic Disease: A
Comprehensive Approach. Semarang: Badan Penerbit UNDIP.
24. Pribadi W. 2003. Mekanisme seluler aterogenesis pada penyakit jantung
koroner. Bagian Kardiologi dan kedokteran vaskuler FK UNDIP, Pusat
Jantung Nasional , RS Harapan Kita, Jakarta.
25. Maron D.J. 2001. Pathology of coronary atherosclerosis. In: Fuster V, et. al
eds. Hurst’s The Heart 10th ed. New York : McGraw-Hill Med Publ.
Div.International Edition. Vol. 1: 1095-1100
26. Maron D.J, Grundy S.M, Ridker P.M, Pearson T.A. 2004. Dyslipidemia,
other risk factor, and the prevention of coronary heart disease. In: Fuster V,
et. al eds. Hurst’s The Heart. 11th ed. New York: McGraw-Hill Med Publ.
Div.International Edition. Vol.1: 1093- 1122
27. Flak E, Fuster V. 2001. Atherosclerosis and its determinants. In: Fuster V, et.
al eds. Hurst’s The Heart. 10th ed. New York: McGraw-Hill Med Publ. Div.
International Edition. Vol. 1:1065-75
28. Adam JMF. 2002. Manfaat penurunan berat badan pada obese dengan
komplikasi Metabolik. Dalam: R. Djokomoeljanto, Darmono,Tony Suhartono,

55
TGD Pambayun editor. Naskah Lengkap Kongres Nasional V PERSADIA
dan PIT PERKENI. Semarang: Badan Penerbit UNDIP.
29. Gustaviani R. 2006. Diagnosis dan Klasifikasi diabetes melitus. Dalam: Aru
W.Sudoyo dkk editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi 4. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
30. Irawan B. 2002. Disfungsi endotel pada diabetes mellitus. Dalam:
Djokomoeljanto R. Dkk editor. Naskah lengkap Konggres Nasional V
PERSADIA dan PIT PERKENI. Semarang: Badan Penerbit UNDIP.
31. Jhon S, Schmieder RE. 2000. Impaired endothelial function in arterial
hypertension and hypercholesterolemia: potential mechanisms and
differences. J. Hypertens.
32. Libby P, Deanfield JE. 2001. Targeting global risk in the management of
aterosklerosis and vasculer disease. CME Monograph.
33. Price SA. 1994. Penyakit aterosklerotik koroner. Dalam: Wijaya C editor.
Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 4. Jakarta: Penerbit
buku kedokteran EGC.
34. Coronary Heart Disease Risk Factors. National Heart Lung and Blood
Institute [Internet]. 2011. [cited 2019 Dec 5]. Available from:
http://www.nhlbi.nih.gov/health/health-topics/topics/hd/atrisk.html

56

Anda mungkin juga menyukai