Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep General Anestesi

2.1.1. Pengertian General Anestesi

Anestesi umum adalah suatu keadaan reversibel yang mengubah status fisiologis
tubuh, ditandai dengan hilangnya kesadaran (sedasi), hilangnya persepsi nyeri (analgesia),
hilangnya memori (amnesia) dan relaksasi. Beberapa senyawa yang dapat menghasilkan
keadaan anestesi umum antara lain bersifat inert (xenon), anorganik (nitrous oxide), halogen
hidrokarbon (halothan), dan struktur organik komplek (barbiturat) (Morgan, 2013).
Terdapat beberapa daerah mikoroskopik tempat bekerjanya substansi anestesi umum.
Pada otak beberapa tempat diketahui dipengaruhi oleh aksi anestesi umum, seperti sistem
retikular, kortek serebri, nukleus kuneatus, kortek olfaktori, dan hipokampus (Firman, 2009).
Melalui mekanisme kerjanya, anestesi umum mengakibatkan terjadi perubahan-
perubahan pada sistem seluler, seperti perubahan pada ligand gate ion channel, fungsi second
messenger, atau reseptor neurotransmitter. Sebagai contoh terjadi peningkatan inhibisi pada
γ-aminobutyric acid (GABA) pada sistem saraf pusat. Seperti diketahui reseptor agonis
GABA akan memperdalam anestesi, sedangkan antagonis GABA akan menghilangkan aksi
anestesi (Morgan, 2013).
Semua zat anestetik umum menghambat susunan saraf pusat (SSP) secara bertahap,
mula-mula fungsi yang kompleks akan dihambat dan paling akhir dihambat ialah medula
oblongata di mana terletak pusat vasomotor dan pusat pernapasan yang vital. Guedel (1920)
membagi anestesia umum dengan eter dalam 4 stadium sedangkan stadium lll dibagi lagi
dalam 4 tingkat (Sadikin, 2011).
Stadium I (Analgesta). Stadium analgesta dimulai dari saat pemberian zat anestetik
sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini penderita masih dapat mengikuti perintah, dan
rasa sakit hilang (analgesia). pada stadium ini dapat dilakukan tindakan pembedahan ringan
seperti mencabut gigi, biopsi kelenjar dan sebagainya (Sadikin, 2011).
Stadium II (Delirium/eksitasi). Stadium ini dimulai dari hilangnya kesadaran sampai
permulaan stadium pembedahan. pada stadium ini terlihat jelas adanya eksitasi dan gerakan
yang tidak menurut kehendak, penderita tertawa, berteriak, menangis, menyanyi, pernapasan
tidak teratur, kadang-kadang apnea dan hiperpnea, tonus otot rangka meninggi, inkontinesia
urin dan alvi, muntah, midriasis, hipertensi, takikardi; hal ini terutama terjadi karena adanya
hambatan pada pusat hambatan. Pada stadium ini dapat terjadi kematian, karena itu stadium
ini harus cepat dilewati (Sadikin, 2011).
Stadium III (Pembedahan). Stadium ini dimulai dengan teraturnya pernapasan sampai
pernapasan spontan hilang. Tanda yang harus dikenal ialah : (1) pernapasan yang tidak teratur
pada stadium ll menghilang; pernapasan menjadi spontan dan teratur oleh karena tidak ada
pengaruh psikis, sedangkan pengontrolan kehendak hilang; (2) refleks kelopak mata dan
konjungtiva hilang, bila kelopak mata atas diangkat dengan perlahan dan dilepaskan tidak
akan menutup lagi, kelopak mata tidak berkedip bila bulu mata disentuh; (3) kepala dapat
digerakkan ke kanan dan ke kiri dengan bebas. Bila lengan diangkat lalu dilepaskan akan
jatuh bebas tanpa tahanan; dan (4) gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak
merupakan tanda spesifik untuk permulaan stadium III (Sadikin, 2011).
Stadium IV (Paralisis medula oblongata) dimulai dengan melemahnya pernapasan
perut dibanding stadium lll tingkat 4, tekanan darah tak dapat diukur karena kolaps pembuluh
darah, berhentinya denyut jantung dan dapat disusul kematian. Pada stadium ini kelumpuhan
pernapasan tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan (Sadikin, 2011).
Berbagai macam cara pemberian anestesi yaitu dapat diberikan secara parenteral,
perektal, inhalasi ataupun secara intravena. Salah satu bentuk anestesi umum yang sering
digunakan adalah anestesi secara inhalasi (gas dan cairan yang mudah menguap). Anestesi
inhalasi ini memiliki keunggulan pada potensinya dan konsentrasinya yang dapat
dikendalikan melalui mesin, dengan titrasi dosis untuk menghasilkan respon yang diinginkan.
Agen anestesi inhalasi yang terpenting di antaranya adalah N2O, halotan, enfluran,
metoksifluran, dan isofluran sedangkan obat anestesi umum digunakan secara intravena, yaitu
tiobarbiturat, narkotik-analgesik, senyawa alkaloid lain dan molekul sejenis lainnya, dan
beberapa obat khusus seperti ketamin (Stoelting dan Hillier, 2007).

2.1.2. General Anestesi Inhalasi


Nitrous oxide, kloroform, dan eter adalah anestesi umum pertama yang secara
universal diterima. Metoksifluran dan enfluran, adalah dua agen terhalogenasi yang ampuh
yang digunakan selama bertahun-tahun dalam praktek anestesi di Amerika Utara.
Methoxyflurane adalah agen inhalasi yang paling ampuh dan memiliki kelarutan tinggi dan
tekanan uap yang rendah sehingga menghasilkan lebih lama induksi. Lima agen inhalasi terus
digunakan dalam anestesiologi klinis: nitrous oxide, halotan, isofluran, desfluran, dan
sevofluran (Morgan, 2013).
Jalannya anestesi umum dapat dibagi menjadi tiga tahap: (1) induksi, (2)
maintenance, dan (3) emergence. Anestesi inhalasi, seperti halotan dan sevofluran,
bermanfaat dalam proses induksi pada pasien anak yang mungkin sulit dilakukan dengan
jalur intravena. Meskipun orang dewasa biasanya diinduksi dengan agen intravena,
nonpungency dan onset cepat sevofluran membuat induksi inhalasi praktis bagi pasien
dewasa. Terlepas dari usia pasien, anestesi sering dipertahankan dengan teknik inhalasi.
Karena rute administrasinya yang unik, anestesi inhalasi memiliki sifat farmakologi yang
berguna yang tidak dimiliki oleh agen anestesi lainnya. Misalnya, pemberian melalui
sirkulasi paru memungkinkan efek obat yang lebih cepat dalam darah arteri daripada
pemberian intravena (Morgan, 2013).

Gambar 2.1. Perjalanan Gas Anestetik Inhalasi dari Mesin Anestesia ke Otak
Sumber : Morgan & Mikhail, 2013

Faktor-faktor yang menentukan kecepatan transfer anestetik di jaringan otak ditentukan oleh
 Kelarutan zat anestetik dalam darah
Kelarutan ini dinyatakan sebagai blood : gas partition coefficlent (λ), yaitu
perbandingan konsentrasi anestetik gas dalam darah dengan konsentrasinya dalam gas
yang diinspirasi setelah dicapai keseimbangan. Zat yang sangat mudah larut misalnya
dietileter dan metoksilluran, mempunyai nilai (λ) 12,1 ; sedangkan etilen yang sukar
larut mempunyai nilai (λ), 0,14. Nilai (λ), untuk siklopropan 0,42 ; N2O 0,47 dan
kloroform 9,4. Lamanya dicapai keseimbangan antara tekanan parsial di alveoli dan
darah tergantung dari kelarutan dalam darah ini, bila kelarutannya tinggi, atau zat
anestetik mudah larut dalam darah maka dibutuhkan waktu lebih lama, sebab untuk
obat ini darah merupakan reservoar; dengan demikian induksi berjalan lebih lambat.
Pada penggunaan eter, tekanan parsial dalam darah hanya 5% dari tekanan parsial
pada keseimbangan dengan sekali isap, sedang halotan 25%, siklopropan atau N2O
65% dan etilen 85% (Sadikin, 2011).
 Kadar anestetik dalam udara inspirasi
Kadar anestetik dalam campuran gas yang dihirup menentukan tekanan
maksimum yang dicapai di alveoli maupun kecepatan naiknya tekanan parsial arteri.
Kadar anestetik yang tinggi akan mempercepat transfer anestetik ke darah, sehingga
akan meningkatkan kecepatan induksi anestesi (Sadikin, 2011).
 Ventilasi paru.
Hiperventilasi mempercepat masuknya anestetik gas ke sirkulasi dan jaringan,
tetapi hal ini hanya nyata pada anestetik yang larut baik dalam darah seperti halotan.
Untuk anestetik yang sukar larut dalam darah misalnya siklopropan, N2O, pengaruh
ventilasi ini tidak begitu nyata karena kadar darah arteri cepat mendekati kadar alveoli
(Sadikin, 2011).
 Aliran darah paru.
Bertambah cepat aliran darah paru bertambah cepat aliran darah paru
bertambah cepat pula pemindahan anestetik dari udara inspirasi ke darah. Namun hal
itu akan memperlambat peningkatan tekanan darah arteri sehingga induksi anestesia
akan lebih lambat khususnya oleh anestetik dengan tingkat kelarutan sedang dan
tinggi, misalnya halotan dan isofluran (Sadikin, 2011).

 Perbedaan antara tekanan parsial anestetik di darah arteri dan vena.


Kecepatan difusi ke darah berbanding langsung dengan perbedaan tekanan
parsial anestetik gas di alveoli dan di dalam darah. Karena tekanan parsial anestetik
gas dalam aliran darah paru bertambah dengan pasasi berulang kali ke paru, maka
pemindahan anestetik gas berlangsung lambat sampai tercapai keseimbangan
(Sadikin, 2011).
Dasar dari terjadinya stadium anestesia adalah adanya perbedaan kepekaan berbagai
bagian SSP terhadap anestetik. Sel-sel subtansia gelatinosa di korno dorsalis medula spinalis
peka sekali terhadap anestetik. Penurunan aktivitas neuron di daerah ini menghambat trasmisi
sensorik dari rangsang neoseptik, inilah yang menyebabkan terjadinya tahap analgesia.
Stadium II terjadi akibat aktivitas neuron yang kompleks pada kadar anestetik yang lebih
tinggi di otak. Aktivitas ini antara lain berupa penghambatan berbagai neuron inhibisi
bersamaan dengan dipermudahnya pelepasan neurotransmitter eksitasi. Selanjutnya, depresi
hebat pada jalur naik di sistem aktivasi retikular dan penekanan aktivitas refleks spinal
menyebabkan pasien masuk ke stadium III. Neuron di pusat napas dan pusat vasomotor
relatif tidak peka terhadap anestetik kecuali pada kadar yang sangat tinggi. Apa yang
menyebabkan perbedaan kepekaan berbagai bagian SSP ini masih perlu diteliti (Sadikin,
2011).

2.1.3. General Anestesi Isofluran


Isofluran adalah agen inhalasi yang sering digunakan di klinik. Pertama kali disintesis
oleh Ross Terell pada tahun 1965, dan digunakan di klinik tahun 1971 oleh Dobkin dan
Stevens (Firman, 2009).
Isofluran adalah anestesi volatil tidak mudah terbakar dengan bau menyengat halus.
Walaupun isofluran merupakan isomer kimia dengan berat molekul yang sama dengan
enfluran, tetapi keduanya memiliki sifat fisikokimia yang berbeda (Morgan, 2013).
Koefisien partisi gas/darah isofluran adalah 1,4. Ini lebih kecil dibanding agen
inhalasi lainnya, kecuali desfluran 0,42 dan sevofluran 0,6–0,7, memungkinkan peningkatan
konsentrasi isofluran di alveolar terjadi lebih cepat. Penelitian oleh Frink dkk, pasien yang
dianestesi dengan isofluran kurang dari 1 jam, dapat membuka mata dengan perintah kira –
kira 7 menit setelah anestesi dihentikan. Pemberian yang lebih lama, yaitu selama 5 – 6 jam,
munculnya respon dengan perintah relatif cepat, kira – kira 11 menit setelah isofluran
dihentikan MAC isofluran berkisar 1,2. Induksi dengan isofluran relatif cepat tetapi isofluran
dapat mengiritasi jalan nafas bila digunakan pada awal induksi dengan masker pada
konsentrasi tinggi. Induksi lambat direkomendasikan untuk mengurangi efek iritatif saluran
nafas dan untuk menghindari tahan nafas dan batuk. Dalam praktek barbiturat kerja pendek
biasanya diberikan untuk memfasilitasi proses tersebut (Morgan, 2013), (Stoelting, 2006).

Gambar 2.2. Rumus Bangun Isofluran


Sumber : Morgan & Mikhail, 2013

Berikut ini akan dibahas efek inhalasi isofluran pada sistem organ dan farmakologi isofluran
dalam praktik klinis :
 Kardiovaskular
Efek depresi Isofluran pada otot jantung dan pembuluh darah lebih ringan
dibanding dengan obat anesetesi volatil yang lain. Pada penelitian in vivo isofluran
menyebabkan depresi minimal ventrikel kiri. Curah jantung dipengaruhi oleh
kenaikan detak jantung melalui baroreflexes karotis. stimulasi ringan β-adrenergik
meningkatkan aliran darah otot rangka, mengurangi resistensi pembuluh darah
sistemik, dan menurunkan tekanan darah arteri. Peningkatan pesat konsentrasi
isoflurane mengakibatkan peningkatan sementara denyut jantung, tekanan darah
arteri, dan kadar plasma norepinefrin. Isoflurane melebarkan arteri koroner, tetapi
efek tidak sama dengan nitrogliserin atau adenosin. Tekanan darah dan denyut nadi
relatif stabil pada penggunaan isofluran selama anestesi. Dengan demikian isofluran
merupakan obat pilihan untuk obat anestesi pasien yang menderita kelainan
kardiovaskuler. (Morgan, 2013).
 Pernapasan
Seperti halnya obat anestesi inhalasi yang lain, isofluran juga menimbulkan
depresi pernafasan yang derajatnya sebanding dengan dosis yang diberikan. Depresi
pernapasan selama anestesi isofluran menyerupai anestesi lainnya, kecuali takipnea
yang kurang jelas. Rendahnya tingkat isoflurane (0,1 MAC) menumpulkan respon
ventilasi normal terhadap hipoksia dan hiperkapnia. Meskipun isofluran memiliki
kecenderungan untuk mengiritasi refleks jalan napas atas, isofluran dianggap sebagai
bronkodilator yang baik, tetapi mungkin tidak sebaik bronkodilator golongan halotan
(Sadikin, 2011).
 Serebral
Efek depresinya terhadap SSP sesuai dengan dosis yang diberikan. Isofluran
tidak menimbulkan kelainan EEG seperti yang ditimbulkan oleh enfluran. Pada dosis
anestesi tidak menimbulkan vasodilatasi dan perubahan sirkulasi serebrum serta
mekanisme autoregulasi aliran darah otak tetap stabil. Kelebihan lain yang dimiliki
oleh isofluran adalah penurunan konsumsi oksigen otak. Sehingga dengan demikian
isofluran merupakan obat pilihan untuk anestesi pada kraniotomi, karena tidak
berperngaruh pada tekanan intrakranial, mempunyai efek proteksi serebral dan efek
metaboliknya yang menguntungkan pada tekhnik hipotensi kendali (Morgan, 2013).
 Neuromuskular
Isofluran memiliki efek melemaskan otot rangka. penurunan tonus otot rangka
terjadi melalui mekanisme depresi pusat motorik pada serebrum, sehingga dengan
demikian berpotensiasi dengan obat pelumpuh otot non depolarisasi. Walaupun
demikian, masih diperlukan obat pelumpuh otot untuk mendapatkan keadaan relaksasi
otot yang optimal terutama pada operasai laparatomi (Sadikin, 2011).
 Renal
Pada dosis anestesi, isofluran menurunkan aliran darah ginjal dan laju fitrasi
glomerulus sehingga produksi urin berkurang, akan tetapi kondisi ini masih dalam
batas normal (Morgan, 2013).
 Hati
Jumlah aliran darah hati (arteri hepatik dan aliran vena portal) berkurang
selama anestesi isofluran. Suplai oksigen hati lebih baik dipertahankan dengan
isofluran dibandingkan dengan halotan, sehingga tes fungsi hati biasanya tidak
terpengaruh (Morgan, 2013).
Tabel 2.1. Efek Anestesi Inhalasi Pada Berbagai Organ (Morgan, 2013)

 Biotransformasi & Toksisitas


Isofluran dimetabolisme menjadi asam trifluoroasetat. Meskipun kadar cairan
fluorida serum akan naik, nefrotoksisitas sangat tidak mungkin. Sedasi
berkepanjangan (>24 jam pada 0,1-0,6% isofluran) pada pasien sakit kritis telah
menghasilkan peningkatan kadar plasma fluorida (15-50 umol/L) tanpa bukti
kerusakan ginjal. Demikian pula, sampai 20-jam MAC isofluran dapat menyebabkan
kadar fluorida yang melebihi 50 umol/L tanpa terdeteksi disfungsi ginjal pasca
operasi. Metabolisme oksidatif isofluran yang terbatas juga meminimalkan risiko
kemungkinan disfungsi hati yang signifikan. hampir seluruhnya dikeluarkan melalui
udara ekspirasi, hanya 0,2% dimetabolisme di dalam tubuh (Morgan, 2013).
 Kontraindikasi
Tidak ada kontraindikasi yang spesifik pada penggunaan isofluran. Pasien
dengan hipovolemia berat mungkin tidak dapat mentolerir efek vasodilatasi. Hal ini
dapat memicu malignan hipertermia (Morgan, 2013).
 Interaksi obat
Penggunaan isofluren yang bersamaan dengan epinefrin dapat dengan aman
diberikan sampai dengan dosis epinefrin 4,5 mcg/kg (Morgan, 2013).
 Penggunaan Klinik
Sama seperti halotan dan enfluren, isofluren digunakan terutama sebagai
komponen hipnotik dalam pemeliharaan anestesi umum. Disamping efek hipnotik,
juga mempunyai efek analgetik ringan dan relaksasi ringan. Untuk mengubah cairan
isofluran menjadi uap, diperlukan alat penguap (vaporizer) khusus isofluran (Sadikin,
2011).
 Keuntungan dan Kelemahan
Keuntungannya adalah induksi cepat dan lancar, tidak iritatif terhadap mukosa
jalan nafas, pemulihannya lebih cepat dari halotan, tidak menimbulkan mual muntah,
dan tidak menimbulkan menggigil. Penilaian terhadap pemakaian isofluran saat ini
adalah bahwa isofluran tidak menimbulkan gangguan terhadap fungsi kardiovskuler,
tidak megubah sensitivitas otot jantung terhadap katekolamin, isofluran sangat sedikit
yang mengalami pemecahan dalam tubuh dan tidak menimbulkan efek eksitasi SSP.
Kelemahannya dari penggunaan isofluran adalah batas keamanan sempit (mudah
terjadi kelebihan dosis), analgesia dan relaksasinya kurang, sehingga harus
dikombinasikan dengan obat lain (Morgan, 2011).

2.2. Aminophilin
Aminofilin adalah salah satu obat bronkodilator golongan xantin yang memiliki efek
mendilatasi bronkus. Aminofilin merupakan senyawa kompleks teofilin dengan etilendiamin,
dengan kandungan teofilin anhidrat bervariasi antara 79-86 %. Dalam tubuh aminofilin
terurai menjadi teofilin. Teofilin termasuk obat-obat yang mempunyai lingkup terapi
(therapeutic windows) sempit (10-20 mcg/ml). Artinya, jarak antar dosis terapatik dan dosis
toksis kecil, sehingga efek toksik akan mudah timbul apabila dosis atau kadarnya melewati
ambang toksik (Louisa, 2011).
Aminophilin merupakan senyawa methylxanthine yang dapat ditemukan pada kopi
dan teh, dimana senyawa ini secara parsial dapat melawan efek perubahan perilaku dan
hipnosis dari benzodiazepin (Farsad dkk, 2017).

Gambar 2.3. Rumus Kimia Aminophilin


Sumber : Katzung, BG., 2014

2.2.1. Farmakokinetik Aminophilin


Obat golongan xantin seperti aminofilin cepat diabsorbsi setelah pemberian oral,
rektal ataupun parenteral. Kelarutan aminofilin lebih besar dari pada teofilin, tetapi ternyata
derajat absorpsinya tidak banyak berbeda. Setelah pemberian per-oral, obat ini diabsorpsi
dengan cepat, sehingga kadang-kadang terjadi lonjakan kadar dalam darah yang
menimbulkan gejala efek samping. Pemberian teofilin/aminofilin bersama dengan
katekolamin dan simpatomimetik golongan amina harus hati-hati karena dapat memperkuat
terjadinya takiaritmia. Teofilin mengalami metabolisme terutama di hepar dan ± 8 % fraksi
obat diekskresikan melalui urin dalam bentuk tetap. Aminofilin dapat mencapai kadar puncak
plasma dalam waktu 2 jam, tetapi saat ini ada teofilin lepas lambat yang bisa bertahan dengan
interval 8, 12 atau 24 jam. Adanya makanan dalam lambung akan memperlambat kecepatan
absorbsi aminofilin atau golongan xantin lainnya. Pemberian secara intramuskular dapat
menyebabkan nyeri lokal yang sangat lama. Metilxantin dapat menembus plasenta dan masuk
ke air susu ibu. Dalam keadaan normal ikatan golongan xantin dengan protein sebesar 60%
tetapi pada keadaan sirosis hepar ikatan protein menurun menjadi 40%. Eliminasi xantin
terutama melalui metabolisme hepar. Sebagian besar dieliminasi bersama urin dalam bentuk
asam metilurat atau metilxantin, kurang dari 20% aminofilin ditemukan dalam bentuk utuh
dalam urin (Louisa, 2011).
2.2.2. Farmakodinamik Aminophilin
Aminofilin merupakan bentuk garam dari teofilin. Mekanisme kerjanya yaitu dengan
menghambat enzim fosfodiesterase (PDE) sehingga mencegah pemecahan cAMPdan cGMP
masing-masing menjadi 5’-AMPdan 5’-GMP. Penghambatan PDE menyebabkan akumulasi
cAMP dan cGMP dalam sel sehingga menyebabkan relaksasi otot polos termasuk otot polos
bronkus (Katzung, 2014).
Berikut ini akan dipaparkan efek aminophilin pada berbagai organ :
 Sistem Saraf Pusat
Aminofilin atau teofilin merupakan perangsang SSP yang kuat, bila dosis
pemberian ditinggikan maka mampu memberikan efek gugup, gelisah, insomnia,
tremor, dan kejang. Tetapi dengan dosis rendah metilxantin seperti aminofilin dapat
merangsang SSP yang sedang mengalami depresi, misalnya pemberian aminofilin
dosis 2mg/kgbb dengan cepat akan memulihkan keadaan narkosis pada individu yang
mendapat 100 mg morfin IV untuk anestesia (Louisa, 2011). Bukti empiris
menunjukkan bahwa aminophilin Diberikan pada akhir operasi mempersingkat waktu
pulih sadar dari anestesi umum dan meningkatkan kualitas pemulihan (Huphfl dkk,
2008).
 Medula Oblongata
Metilxantin seperti aminofilin dapat merangsang pusat nafas pada medula
oblongata dengan meningkatkan kepekaan pusat nafas terhadap perangsangan CO2.
Selain itu juga dapat menimbulkan mual dan muntah karena perangsangan sentral
maupun perifer. Muntah dapat diinduksi bila kadar dalam plasma melebihi 15 mcg/ml
(Louisa, 2011).
 Sistem Kardiovaskular
Pada jantung aminofilin atau teofilin dapat meningkatkan frekuensi denyut
jantung. Sedangkan pada pembuluh darah aminofilin atau teofilin menyebabkan
dilatasi pembuluh darah termasuk pembuluh darah koroner dan pulmonal karena efek
langsung pada otot pembuluh darah. Pada sirkulasi otak xantin menyebabkan
hambatan adenosin yang penting untuk pengaturan sirkulasi otak. Pada sirkulasi
koroner golongan xantin menyebabkan vasodilatasi arteri koroner dan bertambahnya
aliran darah koroner. Selain itu golongan xantin juga meningkatkan kerja jantung atau
kontraksi jantung (Louisa, 2011).
 Otot Polos dan Otot Rangka
Golongan xantin dapat merelaksasi otot polos terutama otot polos bronkus
dengan menghambat enzim phosphodiesterase (PDE). Aminofilin juga menyebabkan
penurunan motilitas usus untuk sementara waktu. Pada otot rangka golongan xantin
dapat memperbaiki kontraktilitas dan mengurangi kelelahan otot diafragma (Katzung,
2014).
Semua golongan xantin meningkatkan produksi urin tetapi efeknya hanya
sebentar. Diduga efek ini melalui mekanisme penghambatan reabsorbsi elektrolit di
tubulus proksimal tanpa disertai perubahan filtrasi ataupun perubahan aliran darah ke
ginjal. Golongan xantin dapat meningkatkan kadar asam lemak bebas dalam plasma
dan dapat meningkatkan basal metabolisme (Louisa, 2011).
2.2.3. Efek Sedatif Aminophilin
Adenosin adalah neuromodulator sistem saraf pusat. Ada 4 subtipe reseptor adenosin
yang berada dalam sistem saraf pusat: A1, A2A, A2B, dan A3. Beberapa bukti menunjukkan
bahwa kedua subtipe A1R dan A2AR mempromosikan tidur, meskipun subtipe reseptor
adenosin yang bertanggung jawab untuk pengaturan tidur masih diperdebatan. Efek hipnotis
adenosin lebih dulu dijelaskan pada hewan dan efek soporifik dari pemberian adenosin
sistemik dan pusat juga telah telah ditunjukan pada manusia (Turan dkk, 2010).
Stirt melaporkan pada tahun 1981 bahwa aminofilin merupakan antagonis dari efek
hipnotis diazepam. Mekanismenya untuk efek antihipnotik aminofilin adalah dianggap
sebagai penekan reseptor adenosin pusat. Beberapa studi klinis dan laporan kasus lainnya
menunjukkan bahwa aminofilin memiliki efek antagonis terhadap barbiturat, morfin,
propopol, isofluran dan sejenisnya (Turan dkk, 2010).
Durasi dan kedalaman tidur dimodulasi secara mendalam oleh konsentrasi adenosin
yang tinggi. Selain pengaruhnya di basal otak depan, adenosin memberi efek soporifik pada
lateral hipotalamus dengan menghambat neuron hypocretin / orexin. Peningkatan aktivitas
neuronal yang berhubungan pembangkitan kesadaran terkait dengan meningkatkan
konsentrasi adenosin ekstraselular. Pemberian adenosin sistemik meningkatkan efek hipnosis
yang diinduksi oleh anestesi intravena, Pemberian dari antagonis reseptor adenosin A1 8-
siklopentil berupa teofilin/aminophilin meningkatkan laju pelepasan neuron kolinergik pada
otak depan bagian basal dan mengakibatkan kondisi terjaga (Turan dkk, 2010).
Pada penelitian sebelumnya oleh (Turan dkk, 2010), menemukan bahwa aminofilin
meningkatkan BIS nilai selama anestesi volatil. Aminofilin juga menurunkan efek anestesi
dari propofol yang ditentukan oleh BIS.
2.3. Fisiologi Tidur dan Pengaruh Anestesi Umum Terhadap Gambaran EEG
Siklus tidur berada diantara dua kondisi yaitu tidur REM (rapid-eye-movement) dan
tidur non-REM, yang mempunyai gambaran EEG berbeda. Tidur non-REM terdiri dari 3
tahap, dengan tahap ke 3 menunjukkan pola gambaran EEG yang serupa dengan fase 2
anestesi umum (pola gambaran EEG vegetatif, koma) (Brown, 2010). Dengan demikian
anestesi dan slow-wave sleep merupakan dua keadaan yang dapat dibandingkan dengan
keadaan koma patotogik, tetapi metabolit energi tetap dipertahankan pada kadar normal, serta
mudah dikembalikan pada kondisi semula (reversibel); keduanya mempuyai efek pada
struktur otak yang sama, tetapi mekanismenya belum sepenuhnya dimengerti (Saleh, 2013).

Gambar 2.4. Pola EEG selama Keadaan Terjaga, Anestesi Umum, dan Tidur
Sumber : Brown, EN., 2010
Baik pada saat tidur maupun dalam pengaruh anestesi, terjadi hambatan jalur
asending neuron yang menyusun sistem bangun (arousal). Pada saat tidur neuron
GABA-ergik di nukleus praoptik ventrolateral menghambat komponen sistem tersebut
melalui reseptor GABA. Diketahui bahwa kebanyakaan obat anestesi bekerja pada
reseptor GABA agonis yang menghambat aktivitas sistem arousal dengan
mengaktivasi reseptor GABA yang sama digunakan pada saat proses tidur. Hasilnya
berupa perlambatan dari aktivitas talamokortikal baik pada tidur maupun anestesi
(Brown, 2010).
Obat anestesi umum dapat menghasilkan pola gambaran EEG yang jelas, yaitu
aktivitas frekuensi rendah dan aktivitas amplitudo tinggi yang meningkat secara
progresif dengan bertambah dalamnya anestesi. Ternyata gambaran EEG tersebut
didapatkan pula pada pasien yang dalam keadaan koma, disamping pola aktivitas
EEG akibat kerusakan otak yang bergantung pada luas kerusakan tersebut. Dengan
demikian fakta tersebut menunjukkan bahwa anestesi umum adalah suatu kondisi
reversibel dari koma yang disebabkan oleh obat, meskipun dokter anestesi menyebut
dengan kondisi tidur (Brown, 2010).

2.4. Waktu Pulih Sadar


Pulih sadar merupakan bangun dari efek obat anestesi setelah proses
pembedahan dilakukan (Barone, 2008). Bangun atau pulih sadar dari anestesi
merupakan suatu proses pasif yang bergantung pada (a) jumlah obat yang digunakan;
(b) titik tangkap kerja obat tersebut, potensi obat, dan farmakokinetiknya; (c)
karakteristik fisiologi pasien; dan (d) jenis dan lama pembedahan (Saleh, 2013).
Secara umum pada akhir pengelolaan anestesi, pasien diharapkan segera pulih
sadar atau bangun, kecuali pada tindakan tertentu atau terjadinya penyulit selama
pembedahan yang menyebabkan dokter anestesi harus mempertahankan pasien dalam
kondisi tersedasi (Saleh, 2013).
Pulih sadarnya pasien yang mendapat obat anestesi volatil bergantung pada
eliminasi obat dari paru dan MACawake (kadar end-tidal yang berkaitan dengan
membuka mata dengan perintah verbal). Eliminasi paru ditentukan oleh ventilasi
alveolar, koefisien partisi darah - gas, dan dosis (MAC-jam). kecepatan pulih sadar
berbanding terbalik dengan kelarutan obat dalam darah, makin rendah daya
kelarutannya makin cepat eliminasi dari paru. Bila anestesi berkepanjangan, maka
proses pulih sadar juga bergantung pada total ambilan obat anestesi oleh jaringan,
yang juga berkaitan dengan daya kelarutan, kadar rerata yang digunakan, dan lamanya
pasien terpapar (Sinclair, 2006).

2.5. Bispectral Indeks Sistem (BIS)

Dalam praktik klinis, tanda vital digunakan untuk memantau kedalaman anestesi.
Langkah-langkah ini tidak menunjukkan kecukupan anestesi secara andal, karena bisa
dipengaruhi oleh berbagai faktor yang tidak berhubungan dengan kedalaman anestesi.
Metode konvensional untuk menilai kedalaman kesadaran, seperti pengkuran variabel
kardiovaskular dan paru (denyut jantung, tekanan darah sistolik / diastolik, tekanan arteri
rata-rata, laju pernafasan, dan tingkat oksigen dalam darah), dan tanda klinis (mis., keringat,
air mata, dan gerakan anggota badan) bukanlah metode yang andal untuk mengevaluasi
status otak pasien yang diberi anestesi. untuk mengukur tingkat sedasi dan anestesi secara
objektif, solusi intuitif adalah memonitor otak secara langsung (Penilaian Teknologi
Kesehatan Ontario, 2004).

BIS merupakan parameter elektroencephalogram baru yang secara khusus


dikembangkan untuk mengukur efek hipnosis dari anestesi. Peran utama BIS yaitu untuk
mengukur kedalaman anestesi dan berguna untuk menyesuaikan dosis obat sedatif. Indeks
BIS adalah angka antara 0 dan 100 diskalakan berkorelasi dengan titik akhir klinis yang
penting dan keadaan EEG selama pemberian agen anestesi. Nilai BIS mendekati 100
mewakili keadaan klinis "terjaga/sadar penuh" dan saat nilai BIS 0 memiliki arti tidak
menunjukkan aktivitas EEG (Kelley, 2012).
Gambar 2.. Skor Indeks BIS Berkorelasi dengan Titik Akhir Klinis Penting
Selama Pemberian Obat Anestesi.
Sumber :

Sistem BIS menggunakan 4 sensor elektroda sekali pakai di dahi pasien untuk
mengukur aktivitas listrik di otak sebelum menggunakan algoritma proprietary untuk
memproses data EEG dan menghitung angka antara 0 dan 100. Sistem BIS Ini memberikan
ukuran langsung dari respon pasien terhadap obat anestesi. Rentang target nilai BIS selama
anestesi umum adalah 40-60; kisaran ini menunjukkan probabilitas rendah terhadap
kesadaran dengan ingatan (Kelley, 2012).

Untuk mengukur efek aminofilin pada anestesi umum, beberapa penelitian


menggunakan pemantauan bispectral index (BIS) sebagai parameter pengganti karena
aminofilin memiliki terapi yang sangat sempit indeks (Ghaffaripour, 2014).

Penelitian yang dilakukan oleh Sina, dkk. Menunjukan bahwa skor BIS ditemukan
secara signifikan lebih tinggi (p <0,001) pada kelompok yang diberi aminophilin
dibandingkan dengan kelompok yang mendapatkan normal salin. Detak jantung dan tekanan
darah ditemukan lebih tinggi secara signifikan setelah injeksi aminophilin dibandingkan
dengan kelompok kontrol (p <0,001).
Kerangka Teori
Kerangka Konsep

Aminophilin

Waktu Pulih Sadar

Normal Salin

Variabel Bebas

Variabel Tergantung

Gambar 2. . Kerangka Konsep

Anda mungkin juga menyukai