TINJAUAN PUSTAKA
Anestesi umum adalah suatu keadaan reversibel yang mengubah status fisiologis
tubuh, ditandai dengan hilangnya kesadaran (sedasi), hilangnya persepsi nyeri (analgesia),
hilangnya memori (amnesia) dan relaksasi. Beberapa senyawa yang dapat menghasilkan
keadaan anestesi umum antara lain bersifat inert (xenon), anorganik (nitrous oxide), halogen
hidrokarbon (halothan), dan struktur organik komplek (barbiturat) (Morgan, 2013).
Terdapat beberapa daerah mikoroskopik tempat bekerjanya substansi anestesi umum.
Pada otak beberapa tempat diketahui dipengaruhi oleh aksi anestesi umum, seperti sistem
retikular, kortek serebri, nukleus kuneatus, kortek olfaktori, dan hipokampus (Firman, 2009).
Melalui mekanisme kerjanya, anestesi umum mengakibatkan terjadi perubahan-
perubahan pada sistem seluler, seperti perubahan pada ligand gate ion channel, fungsi second
messenger, atau reseptor neurotransmitter. Sebagai contoh terjadi peningkatan inhibisi pada
γ-aminobutyric acid (GABA) pada sistem saraf pusat. Seperti diketahui reseptor agonis
GABA akan memperdalam anestesi, sedangkan antagonis GABA akan menghilangkan aksi
anestesi (Morgan, 2013).
Semua zat anestetik umum menghambat susunan saraf pusat (SSP) secara bertahap,
mula-mula fungsi yang kompleks akan dihambat dan paling akhir dihambat ialah medula
oblongata di mana terletak pusat vasomotor dan pusat pernapasan yang vital. Guedel (1920)
membagi anestesia umum dengan eter dalam 4 stadium sedangkan stadium lll dibagi lagi
dalam 4 tingkat (Sadikin, 2011).
Stadium I (Analgesta). Stadium analgesta dimulai dari saat pemberian zat anestetik
sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini penderita masih dapat mengikuti perintah, dan
rasa sakit hilang (analgesia). pada stadium ini dapat dilakukan tindakan pembedahan ringan
seperti mencabut gigi, biopsi kelenjar dan sebagainya (Sadikin, 2011).
Stadium II (Delirium/eksitasi). Stadium ini dimulai dari hilangnya kesadaran sampai
permulaan stadium pembedahan. pada stadium ini terlihat jelas adanya eksitasi dan gerakan
yang tidak menurut kehendak, penderita tertawa, berteriak, menangis, menyanyi, pernapasan
tidak teratur, kadang-kadang apnea dan hiperpnea, tonus otot rangka meninggi, inkontinesia
urin dan alvi, muntah, midriasis, hipertensi, takikardi; hal ini terutama terjadi karena adanya
hambatan pada pusat hambatan. Pada stadium ini dapat terjadi kematian, karena itu stadium
ini harus cepat dilewati (Sadikin, 2011).
Stadium III (Pembedahan). Stadium ini dimulai dengan teraturnya pernapasan sampai
pernapasan spontan hilang. Tanda yang harus dikenal ialah : (1) pernapasan yang tidak teratur
pada stadium ll menghilang; pernapasan menjadi spontan dan teratur oleh karena tidak ada
pengaruh psikis, sedangkan pengontrolan kehendak hilang; (2) refleks kelopak mata dan
konjungtiva hilang, bila kelopak mata atas diangkat dengan perlahan dan dilepaskan tidak
akan menutup lagi, kelopak mata tidak berkedip bila bulu mata disentuh; (3) kepala dapat
digerakkan ke kanan dan ke kiri dengan bebas. Bila lengan diangkat lalu dilepaskan akan
jatuh bebas tanpa tahanan; dan (4) gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak
merupakan tanda spesifik untuk permulaan stadium III (Sadikin, 2011).
Stadium IV (Paralisis medula oblongata) dimulai dengan melemahnya pernapasan
perut dibanding stadium lll tingkat 4, tekanan darah tak dapat diukur karena kolaps pembuluh
darah, berhentinya denyut jantung dan dapat disusul kematian. Pada stadium ini kelumpuhan
pernapasan tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan (Sadikin, 2011).
Berbagai macam cara pemberian anestesi yaitu dapat diberikan secara parenteral,
perektal, inhalasi ataupun secara intravena. Salah satu bentuk anestesi umum yang sering
digunakan adalah anestesi secara inhalasi (gas dan cairan yang mudah menguap). Anestesi
inhalasi ini memiliki keunggulan pada potensinya dan konsentrasinya yang dapat
dikendalikan melalui mesin, dengan titrasi dosis untuk menghasilkan respon yang diinginkan.
Agen anestesi inhalasi yang terpenting di antaranya adalah N2O, halotan, enfluran,
metoksifluran, dan isofluran sedangkan obat anestesi umum digunakan secara intravena, yaitu
tiobarbiturat, narkotik-analgesik, senyawa alkaloid lain dan molekul sejenis lainnya, dan
beberapa obat khusus seperti ketamin (Stoelting dan Hillier, 2007).
Gambar 2.1. Perjalanan Gas Anestetik Inhalasi dari Mesin Anestesia ke Otak
Sumber : Morgan & Mikhail, 2013
Faktor-faktor yang menentukan kecepatan transfer anestetik di jaringan otak ditentukan oleh
Kelarutan zat anestetik dalam darah
Kelarutan ini dinyatakan sebagai blood : gas partition coefficlent (λ), yaitu
perbandingan konsentrasi anestetik gas dalam darah dengan konsentrasinya dalam gas
yang diinspirasi setelah dicapai keseimbangan. Zat yang sangat mudah larut misalnya
dietileter dan metoksilluran, mempunyai nilai (λ) 12,1 ; sedangkan etilen yang sukar
larut mempunyai nilai (λ), 0,14. Nilai (λ), untuk siklopropan 0,42 ; N2O 0,47 dan
kloroform 9,4. Lamanya dicapai keseimbangan antara tekanan parsial di alveoli dan
darah tergantung dari kelarutan dalam darah ini, bila kelarutannya tinggi, atau zat
anestetik mudah larut dalam darah maka dibutuhkan waktu lebih lama, sebab untuk
obat ini darah merupakan reservoar; dengan demikian induksi berjalan lebih lambat.
Pada penggunaan eter, tekanan parsial dalam darah hanya 5% dari tekanan parsial
pada keseimbangan dengan sekali isap, sedang halotan 25%, siklopropan atau N2O
65% dan etilen 85% (Sadikin, 2011).
Kadar anestetik dalam udara inspirasi
Kadar anestetik dalam campuran gas yang dihirup menentukan tekanan
maksimum yang dicapai di alveoli maupun kecepatan naiknya tekanan parsial arteri.
Kadar anestetik yang tinggi akan mempercepat transfer anestetik ke darah, sehingga
akan meningkatkan kecepatan induksi anestesi (Sadikin, 2011).
Ventilasi paru.
Hiperventilasi mempercepat masuknya anestetik gas ke sirkulasi dan jaringan,
tetapi hal ini hanya nyata pada anestetik yang larut baik dalam darah seperti halotan.
Untuk anestetik yang sukar larut dalam darah misalnya siklopropan, N2O, pengaruh
ventilasi ini tidak begitu nyata karena kadar darah arteri cepat mendekati kadar alveoli
(Sadikin, 2011).
Aliran darah paru.
Bertambah cepat aliran darah paru bertambah cepat aliran darah paru
bertambah cepat pula pemindahan anestetik dari udara inspirasi ke darah. Namun hal
itu akan memperlambat peningkatan tekanan darah arteri sehingga induksi anestesia
akan lebih lambat khususnya oleh anestetik dengan tingkat kelarutan sedang dan
tinggi, misalnya halotan dan isofluran (Sadikin, 2011).
Berikut ini akan dibahas efek inhalasi isofluran pada sistem organ dan farmakologi isofluran
dalam praktik klinis :
Kardiovaskular
Efek depresi Isofluran pada otot jantung dan pembuluh darah lebih ringan
dibanding dengan obat anesetesi volatil yang lain. Pada penelitian in vivo isofluran
menyebabkan depresi minimal ventrikel kiri. Curah jantung dipengaruhi oleh
kenaikan detak jantung melalui baroreflexes karotis. stimulasi ringan β-adrenergik
meningkatkan aliran darah otot rangka, mengurangi resistensi pembuluh darah
sistemik, dan menurunkan tekanan darah arteri. Peningkatan pesat konsentrasi
isoflurane mengakibatkan peningkatan sementara denyut jantung, tekanan darah
arteri, dan kadar plasma norepinefrin. Isoflurane melebarkan arteri koroner, tetapi
efek tidak sama dengan nitrogliserin atau adenosin. Tekanan darah dan denyut nadi
relatif stabil pada penggunaan isofluran selama anestesi. Dengan demikian isofluran
merupakan obat pilihan untuk obat anestesi pasien yang menderita kelainan
kardiovaskuler. (Morgan, 2013).
Pernapasan
Seperti halnya obat anestesi inhalasi yang lain, isofluran juga menimbulkan
depresi pernafasan yang derajatnya sebanding dengan dosis yang diberikan. Depresi
pernapasan selama anestesi isofluran menyerupai anestesi lainnya, kecuali takipnea
yang kurang jelas. Rendahnya tingkat isoflurane (0,1 MAC) menumpulkan respon
ventilasi normal terhadap hipoksia dan hiperkapnia. Meskipun isofluran memiliki
kecenderungan untuk mengiritasi refleks jalan napas atas, isofluran dianggap sebagai
bronkodilator yang baik, tetapi mungkin tidak sebaik bronkodilator golongan halotan
(Sadikin, 2011).
Serebral
Efek depresinya terhadap SSP sesuai dengan dosis yang diberikan. Isofluran
tidak menimbulkan kelainan EEG seperti yang ditimbulkan oleh enfluran. Pada dosis
anestesi tidak menimbulkan vasodilatasi dan perubahan sirkulasi serebrum serta
mekanisme autoregulasi aliran darah otak tetap stabil. Kelebihan lain yang dimiliki
oleh isofluran adalah penurunan konsumsi oksigen otak. Sehingga dengan demikian
isofluran merupakan obat pilihan untuk anestesi pada kraniotomi, karena tidak
berperngaruh pada tekanan intrakranial, mempunyai efek proteksi serebral dan efek
metaboliknya yang menguntungkan pada tekhnik hipotensi kendali (Morgan, 2013).
Neuromuskular
Isofluran memiliki efek melemaskan otot rangka. penurunan tonus otot rangka
terjadi melalui mekanisme depresi pusat motorik pada serebrum, sehingga dengan
demikian berpotensiasi dengan obat pelumpuh otot non depolarisasi. Walaupun
demikian, masih diperlukan obat pelumpuh otot untuk mendapatkan keadaan relaksasi
otot yang optimal terutama pada operasai laparatomi (Sadikin, 2011).
Renal
Pada dosis anestesi, isofluran menurunkan aliran darah ginjal dan laju fitrasi
glomerulus sehingga produksi urin berkurang, akan tetapi kondisi ini masih dalam
batas normal (Morgan, 2013).
Hati
Jumlah aliran darah hati (arteri hepatik dan aliran vena portal) berkurang
selama anestesi isofluran. Suplai oksigen hati lebih baik dipertahankan dengan
isofluran dibandingkan dengan halotan, sehingga tes fungsi hati biasanya tidak
terpengaruh (Morgan, 2013).
Tabel 2.1. Efek Anestesi Inhalasi Pada Berbagai Organ (Morgan, 2013)
2.2. Aminophilin
Aminofilin adalah salah satu obat bronkodilator golongan xantin yang memiliki efek
mendilatasi bronkus. Aminofilin merupakan senyawa kompleks teofilin dengan etilendiamin,
dengan kandungan teofilin anhidrat bervariasi antara 79-86 %. Dalam tubuh aminofilin
terurai menjadi teofilin. Teofilin termasuk obat-obat yang mempunyai lingkup terapi
(therapeutic windows) sempit (10-20 mcg/ml). Artinya, jarak antar dosis terapatik dan dosis
toksis kecil, sehingga efek toksik akan mudah timbul apabila dosis atau kadarnya melewati
ambang toksik (Louisa, 2011).
Aminophilin merupakan senyawa methylxanthine yang dapat ditemukan pada kopi
dan teh, dimana senyawa ini secara parsial dapat melawan efek perubahan perilaku dan
hipnosis dari benzodiazepin (Farsad dkk, 2017).
Gambar 2.4. Pola EEG selama Keadaan Terjaga, Anestesi Umum, dan Tidur
Sumber : Brown, EN., 2010
Baik pada saat tidur maupun dalam pengaruh anestesi, terjadi hambatan jalur
asending neuron yang menyusun sistem bangun (arousal). Pada saat tidur neuron
GABA-ergik di nukleus praoptik ventrolateral menghambat komponen sistem tersebut
melalui reseptor GABA. Diketahui bahwa kebanyakaan obat anestesi bekerja pada
reseptor GABA agonis yang menghambat aktivitas sistem arousal dengan
mengaktivasi reseptor GABA yang sama digunakan pada saat proses tidur. Hasilnya
berupa perlambatan dari aktivitas talamokortikal baik pada tidur maupun anestesi
(Brown, 2010).
Obat anestesi umum dapat menghasilkan pola gambaran EEG yang jelas, yaitu
aktivitas frekuensi rendah dan aktivitas amplitudo tinggi yang meningkat secara
progresif dengan bertambah dalamnya anestesi. Ternyata gambaran EEG tersebut
didapatkan pula pada pasien yang dalam keadaan koma, disamping pola aktivitas
EEG akibat kerusakan otak yang bergantung pada luas kerusakan tersebut. Dengan
demikian fakta tersebut menunjukkan bahwa anestesi umum adalah suatu kondisi
reversibel dari koma yang disebabkan oleh obat, meskipun dokter anestesi menyebut
dengan kondisi tidur (Brown, 2010).
Dalam praktik klinis, tanda vital digunakan untuk memantau kedalaman anestesi.
Langkah-langkah ini tidak menunjukkan kecukupan anestesi secara andal, karena bisa
dipengaruhi oleh berbagai faktor yang tidak berhubungan dengan kedalaman anestesi.
Metode konvensional untuk menilai kedalaman kesadaran, seperti pengkuran variabel
kardiovaskular dan paru (denyut jantung, tekanan darah sistolik / diastolik, tekanan arteri
rata-rata, laju pernafasan, dan tingkat oksigen dalam darah), dan tanda klinis (mis., keringat,
air mata, dan gerakan anggota badan) bukanlah metode yang andal untuk mengevaluasi
status otak pasien yang diberi anestesi. untuk mengukur tingkat sedasi dan anestesi secara
objektif, solusi intuitif adalah memonitor otak secara langsung (Penilaian Teknologi
Kesehatan Ontario, 2004).
Sistem BIS menggunakan 4 sensor elektroda sekali pakai di dahi pasien untuk
mengukur aktivitas listrik di otak sebelum menggunakan algoritma proprietary untuk
memproses data EEG dan menghitung angka antara 0 dan 100. Sistem BIS Ini memberikan
ukuran langsung dari respon pasien terhadap obat anestesi. Rentang target nilai BIS selama
anestesi umum adalah 40-60; kisaran ini menunjukkan probabilitas rendah terhadap
kesadaran dengan ingatan (Kelley, 2012).
Penelitian yang dilakukan oleh Sina, dkk. Menunjukan bahwa skor BIS ditemukan
secara signifikan lebih tinggi (p <0,001) pada kelompok yang diberi aminophilin
dibandingkan dengan kelompok yang mendapatkan normal salin. Detak jantung dan tekanan
darah ditemukan lebih tinggi secara signifikan setelah injeksi aminophilin dibandingkan
dengan kelompok kontrol (p <0,001).
Kerangka Teori
Kerangka Konsep
Aminophilin
Normal Salin
Variabel Bebas
Variabel Tergantung