Anda di halaman 1dari 13

Stadium Anestesi Umum

Semua zat anestetik umum menghambat SSP secara bertahap, mula-mula fungsi yang kompleks
akan di hambat dan paling akhir dihambat ialah medulla oblongata dimana terletak posat
vasomotor dan pusat pernafasan yang vital. Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter
dalam 4 stadia sedangkan stadium III di bagi lagi dalam 4 tingkat.

STADIUM I (ANALGESIA), dimulai dari saat pemberian zat anestetik samapai hilangnya
kesadaran. Pada stadium ini penderita masih dapat mengikuti perintah, dan rasa sakit hilang
(analgesia). Pada stadium ini dapat dilakukan tindakan pembedahan ringan seperti mencabut
gigi, biopsy kelenjar dan sebagainya.

STADIUM II (DELERIUM / EKSITASI), di mulai dari hilangnya kesadaran sampai


permulaan stadium pembedahan. Pada stadium ini terlihat jelas adanya eksitasi dan gerakan yang
tidak menurut kehendak, penderita tertawa, berteriak, menangis, menyanyi, pernapasan tidak
teratur, kadang-kadang apnea dan hiperpnea, tonus otot rangka mandiri, inkontinesia urin dan
alvi, muntah, midriasis, hipertensi, takikikardi, hal ini terutama terjadi karena adanya hambatan
pada pusat hambatan. Pada stadium ini dapat terjadi kematian, karena itu stadium ini harus cepat
dilewati.

STADIUM III (PEMBEDAHAN), dimulai dengan teraturnya pernafasan spontan hilang. Tanda
yang harus di kenali ialah: (1) pernafasan yang tidak teratur pada stadium II menghilang;
pernafasan menjadi spintan dan teratur oleh karena tidak ada pengaruh psikis, sedangkan
pengontrolan kehendak hilang; (2) refleks kelopak mata dan konjungtiva hilang, bila kelopak
mata atas di angkat menutup lagi, kelopak mata tidak berkedip bila bulu mata di sentuh; (3)
kepala dapat di gerakan ke kanan dan ke kiri dangan bebas. Bila di angkat lali di lepaskan akan
jatuh babas tanpa tahan; dan (4) gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak merupakan
tanda spesifikasi untuk permulaan stadium III.

Stadium III dibagi menjadi 4 tingkat berdasarkan tanda-tanda berikut ini:

Tingkat I : pernafasan teratur, spontan, terjadi gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak,
miosis, pernafasan dada dan perut seimbang, belum tercapai relaksasi otot lurik yang sempurna.
Tingkat 2 : pernafasan teratur tetapi kurang dalam di bandingkan tingkat 1, bola mata tidak
bergerak, pupil mulai melebar relaksasi otot sedang, refleks laring hilang sehingga dapat di
kerjakan intubasi.

Tingkat 3 : pernafasan perut lebih nyata daripada pernafan dada karena otot intercostal mulai
mengalami paralisis, relaksasi otot lurik sempurna,pupil lebih besar tetapi belum maksimal.

Tingkat 4 : pernafasan perut sempurna karena kelumpuhan otot interkostal sempurna, tekanan
darah mulai menurun, pupil sangat lebar dan refleks cahaya hilang.

Bila stadium III tingkat 4 sudah tercapai, harus hati-hati jangan sampai penderita masuk dalam
stadium IV; untuk mengenal keadaan ini, harus di perhatikan sifat dan dalamnya pernafasan,
lebar pupil di bandingkan dengan keadaan normal, dan mulai meniurunnya tekanan darah.

STADIUM IV (PARALISIS MEDULA OBLONGATA), dimulai dangan melemahnya


pernafasan perut dibandingkan stadium III tingkat 4, tekanan darah tak dapat di ukur karena
kolaps pembuluh darah, berhentinya denyut jantung dan dapat di susul kematian. Pada stadium
ini kelumpuhan pernafasan tidak dapat di atasi dengan pernafasan buatan.

Dalam anesthesia di tentukan oleh ahlih anestesis berdasarkan jenis rangsangan rasa sakit,
derajat kesadaran, relaksasi otot dan sebagainya. Perangsangan rasa sakit dibagai menjadi 3
derajat keukatan: (1) kuat, yang sewaktu pemotongan kulit, manipulasi peritoneum, kornea,
mukosa uretra terutama bila ada peradangan; (2) sedang, yang terjadi saat manipulasi fasia, otot
dan jaringan lemak; dan (3) ringan, yang terjadi sewaktu pemotongan dan menjahit usus, serta
memotong otak.
Anestetik Gas

Pada umumnya naestetik gas berpotensi rendah, sehingga hanya di gunakan untuk induksi dan
oprasi ringan. Anestetik gas tidak mjudah larut dalam darah sehingga tekanan parsial dalam
darah cepat meninggi. Batas keamanan antara efek anestesial dan efek letal cukup lebar.

Nitrogen monoksida ( N 2 O=Gas Gelak), nitrogen monoksida merupakan gas yang tidak
berwarna, tidak berbau, tidak berasa dan lebih berat dari pada udara. Biasanya N 2 O di simpan
dalam bentuk cairan bertekanan tinggi dalam tabung baja, tekanan penguapan pada suhu kamar ±
50 atmosfir. Anestetik ini selalu di gunakan dalam campuran dengan oksigen. Nitrogen
monoksida sukar larut dalam darah, diekskresi dalam bentunk utuh melalu paru-paru dan
sebagian kecil melalui kulit. Gas ini tidak mudah terbakar, tetapi bila di kombinasikan dengan
anestetik yang mudah terbakan akan memudahkan terjadinya ledakan misalnya campuran eter
dengan N 2 O.

Potensi anestetik N 2 Okurang kuat tetapi stadium induksi dilewati dengan cepat, karena
kelarutannya yang buruk dalam darah. Dengan perbandingan N 2 O : O2 (85: 15) stadium induksi
akan cepat dilewati, tetapi pemberiannya tidak boleh terlalu lama karena mudah terjadi hipoksia.
Untuk mempertahankan anestesi biasanya digunakan 70 % N 2 O (30 % O2), bila di gunakan 65%
N 2 O tanpa medikasi preanestetik penderita tidak dapat men capai stadium II. Relaksasi otot
kurang baik sehingga untuk mendapatkan relaksasi yang cukup sering ditambah obat pelumpuh
otak.

Nitrogen monoksida mempunyai efek analgesik yang baik, dengan inhalasi 20% N 2 O dalam
oksigen efeknya sepetri efek 15 mg morfin. Kadar optimum untuk mendapatkan efek analgesik
maksumum ± 35%. Gas ini sering digunakan pada partus yaitu di berikan 100% N 2 O pada
waktu kontraksi uterus sehingga rasa sakit hilang tanpa mengurangi kekuatan kontraksi, dan
100% O2 pada waktu relaksasi untuk mecegah terjadinya hipoksia.

Kadar N 2 O 80% hanya sedikit mendepresi kontraktilitas otot jantung sehingga peredaran darah
tidak terganggu. Efek terhadap pernafasan belum di selidiki secara mendalam, dikatakan induksi
dangan pentotal dan inhalasi N 2 O menyebabkan berkurangnya respons pernafasan terhadap CO 2.
Dengan campuran N 2 O : O2 (65 : 35) waktu pemulihan cepat tercapai dan tidak terjadi efek yang
tidak diinginkan. Pada anestesi yang lama N 2 O dapat menyebabkan mual, muntah dan lambat
sadar. Gejala sisah hanya terjadi apabila ada hipoksia atau alkalosis karena hiperventilasi.

Untuk mendapatkan efek analgesic digunakan N 2 O : O2 (20 : 80), untuk induksi N 2 O : O2 (70 :
30), sedangkan untuk partus digunakan berganti - gantian N 2 O 100% dan O2 100%.

Status. Sebagai anestetik tunggal N 2 O digunakan secara intermiten untuk mendapatkan analgesi
pada persalinana dan pencabutan gigi. H 2 O secara luas sebagai anestetik umum, dalam
kombinasi zat lain.

SIKLOPROPAN merupakan anestetik gas yang kuat, berbau spesifik, tidak berwarna, lebig
berat daripada udara dan disimpan dalam bentuk cairan bertekanan tinggi. Gas ini mudah
terbakar dan meledak karena itu hanya di gunakan dengan close method.

Siklopropan relatif tidak larut dalam darah sehingga menginduksi dengan cepat (2-3 menit).
Stadium III tingkat 1 dapat dicapai dengan kadar 7-10% volume; tingkat 2 dicapai dengan kadar
10- 20% volume tingkat 3 dicapai dengan kadar 20- 35% volume; tingkat 4 dicapai dengan kadar
35-50% volume. Sedangkan pemberian dengan kadar 1% volume dapat menimbulkan analgesia
tanpa hilangnya kesadaran. Untuk mencegah delirium yang kadang-kadang timbul, diberikan
pentotal IV sebelum inhalasi siklopropan.

Siklopropan menyebabkan relaksasi otot cukup baik dan sedikit sekali mengiritasi saluran napas.
Namun depresi pernapasan ringan dapat terjadi pada anestesia dengan siklopropan.

Siklopropan tidak menghambat kontraktilitas otot jantung; curah jantung dan tekanan arteri tetap
atau sedikit meningkat sehingga siklopropan merupakan anestetik terpilih pada penderita syok'
Siklopropan dapat menimbulkan aritmia jantung yaitu librilasi atrium, bradikardi sinus,
ekstrasistol atrium, ritme atrioventrikular, ekstrasistol ventrikel dan ritme bigemini. Pemberian
atropin lV dapat menirn' bulkan ekstrasistol ventrikel, karena efek katekolamin menjadi lebih
dominan.
Aliran darah kulit ditinggikan oleh siklopropan sehingga mudah terjadi perdarahan waktu
operasi. Siklopropan tak menimbulkan hambatan terhadap sambungan saraf otot. Setelah waktu
pemulihan sering timbul mual, muntah dan delirium.

Absorpsi dan ekskresi siklopropan melalui paru. Hanya 0,5 % di metabolisme dalam badan dan
diekskresi dalam bentuk CO 2 dan air.

Siklopropan dapat digunakan pada setiap macam operasi. Untuk mendapatkan efek analgesik
digunakan 1 - 2% siklopropan dengan oksigen. Untuk mencapai induksi siklopropan digunakan
25- 50% dengan oksigen sedangkan untuk dosis penunjang digunakan 10 - 20% dengan oksigen.
Anestetik yang Menguap

Anestetik yang menguap (volatile anesthetic) mempunyai 3 sifat dasar yang sama yaitu :
berbentuk cairan pada suhu kamar, mempunyai sifat anestetik kuat pada kadar rendah dan relatif
mudah larut dalam lemak, darah dan jaringan. Kelarutan yang baik dalam darah dan jaringan
memperlambat terjadinya keseimbangan dan terlewatinya induksi, untuk mengatasi hal ini
diberikan kadar lebih tinggi dari kadar yang dibutuhkan. Bila stadium yang diinginkan sudah
tercapai kadar disesuaikan untuk mempertahankan stadium tersebut. Untuk mempercepat induksi
dapat diberikan zat anestetik lain yang kerjanya cepat kemudian baru diberikan anestetik yang
menguap.

Umumnya anestetik yang menguap dibagi menjadi dua golongan yaitu, golongan eter misalnya
eter (dietileter), dan golongan hidrokarbon halogen misalnya halotan, meloksifluran, etilklorida,
trikloretilen dan fluroksen.

ETER (DIETILETER). Eter merupakan cairan tidak berwarna, mudah menguap, berbau,
mengiritasi saluran napas, mudah terbakar dan mudah meledak. Di udara terbuka eter teroksidasi
menjadi peroksida dan bereaksi dengan alkohol membentuk asetaldehid sehingga eter yang
sudah terbuka beberapa hari sebaiknya tidak digunakan lagi.

Eter merupakan anestetik yang sangat kuat (kadar minimal untuk anestetik = 1,9% volume)
sehingga penderita dapat memasuki setiap tingkat anestesia. Sifat analgesiknya kuat sekali;
dengan kadar dalam darah arteri 10-15 mg % sudah terjadi analgesia tetapi penderita masih
sadar.

Eter pada kadar tinggi dan sedang menimbulkan relaksasi otot karena efek sentral dan hambatan
neuromuskular yang berbeda dengan hambatan oleh kurare, sebab tidak dapat dilawan oleh
neostigmin. Zat ini meningkatkan hambatan neuromuskular oleh antibiotik seperti neomisin,
streptomisin, polimiksin dan kanamisin.
Eter menyebabkan iritasi saluran napas dan merangsang sekresi kelenjar bronkus. Pada induksi
dan waktu pemulihan, eter menimbulkan salivasi, tetapi pada stadium yang lebih dalam, salivasi
akan dihambat dan terjadi depresi nafas.

Eter menekan kontraktilitas otot jantung, tetapi in vivo efek ini dilawan oleh meningginya
aktivitas simpatis sehingga curah jantung tidak berubah atau meninggi sedikit. Eter tidak
menyebabkan sensitisasi jantung terhadap katekolamin. Pada anestesia ringan, seperti halnya
anestetik lain, eter menyebabkan dilatasi pembuluh darah kulit sehingga timbul kemerahan
terutama di daerah muka, pada anestesia yang lebih dalam kulit menjadi lembek, pucat, dingin
dan basah. Terhadap pembuluh darah ginjal, eter menyebabkan vasokonstriksi sehingga terjadi
penurunan laju filtrasi glomerulus dan produksi urin secara reversibel. Sedangkan pada
pembuluh darah otak, eter menyebabkan vasodilatasi.

Eter menyebabkan mual dan muntah terutama pada waktu pemulihan, tetapi dapat pula terjadi
pada waklu induksi. lni disebabkan oleh efek sentral eter atau akibat iritasi lambung oleh eter
yang tertelan. Aktivitas saluran cerna dihambat selama dan sesudah anestesia.

Eter diabsorpsi dan diekskresi melalui paru, sebagian kecil diekskresi juga melalui urin, air susu,
keringat dan difusi melalui kulit utuh.

Eter dapat digunakan dengan berbagai metoda anestesia. Pada penggunaan secara open drop uap
eter akan turun ke bawah karena ± 6-10 kali lebih berat dari pada udara. Penggunaan secara semi
closed method dalam kombinasi dengan oksigen atau N 2 O tidak dianjurkan pada operasi dengan
tindakan kauterisasi. Sebab tetap ada bahaya timbulnya ledakan, dan bila api mencapai paru
penderita akan mati karena jaringan terbakar.atau paru-parunya pecah.

Jumlah eter yang dibutuhkan tergantung dari berat badan dan kondisi penderita, kebutuhan
dalamnya anestesia dan teknik yang digunakan. Untuk induksi, digunakan 10 - 20% volume uap
eter dalam oksigen atau campuran oksigen dan N 2 O. Untuk dosis penunjang stadium lll,
membutuhkan 5 - 15% volume uap eter.

Status. Eter ini sudah jarang dipergunakan di negara maju tetapi di lndonesia masih dipakai
secara luas. Anestetik ini cukup aman, hanya berbau yang kurang menyenangkan.
ENFLURAN ialah anestetik eter berhalogen yang tidak mudah terbakar. Enfluran cepat
melewati stadium induksi tanpa atau sedikit menyebabkan eksitasi. Kecepatan induksi terhambat
bila penderita menahan nafas atau batuk. Sekresi kelenjar saliva dan bronkus hanya sedikit
meningkat sehingga tidak perlu menggunakan medikasi preanestetik yaitu atropin. Kadar yang
tinggi menyebabkan depresi kardiovaskular dan perangsangan SSP, untuk menghindari hal ini
eflluran diberikan dengan kadar rendah bersama N 2 O. Enfluran menyebabkan relaksasi otot
lurik lebih baik daripada halotan, sehingga dosis obat pelumpuh otot non-depolarisasi harus
diturunkan.

Enfluran kadar rendah tidak banyak mempengaruhi sistem kardiovaskular, meskipun dapat
menurunkan tekanan darah dan meningkatkan frekuensi nadi. Enfluran menyebabkan sensitisasi
jantung terhadap katekolamin yang lebih lemah dibandingkan dengan halotan. Namun pada
beberapa kasus efek ini tidak terlihat.

Pemberian enfluran 1% bersama N 2 O dan O2 dengan pengawasan terhadap ventilasi, akan


menurunkan tekanan introkular dan berguna untuk operasi mata.

Kadar enfluran kurang dari 3% tidak dapai mencegah efek obat oksitosik. Kadar 0,25 - 1,25%
bersifat analgesik. Kadar ini tidak menyebabkan perdarahan berat pasca persalinan. Pemulihan
terjadi amat cepat, sehingga perlu diberikan analgetik untuk mencegah nyeri pascabedah.

Efek samping Enfluran bisa menyebabkan efek samping sesudah pemulihan berupa menggigil
karena hipotermi, gelisah, delirium, mual atau muntah. Enfluran dapat menyebabkan depresi
napas dengan kecepatan ventilasi tetap atau meningkat, tidal volume dan minute volume
menurun. Enfluran bisa menyebabkan kelainan ringan fungsi hati.

Sebagian besar enfluran diekskresi dalam bentuk utuh dan hanya sedikit (2-5%) yang
dimetabolisasi menjadi F−¿¿. lmplikasi klinik biotransformasi enfluran menjadi F−¿¿perlu
dipelajari lebih lanjut. Pada orang normal, kadar F−¿¿ yang terbentuk berada di bawah batas
toksik, tetapi dapat meningkat sampai batas toksik bila penderita juga mendapat isoniazid.
Enfluran membahayakan penderita penyakit ginjal. Ekskresi F−¿¿ meningkat pada urin basa.

Pada anestesia yang dalam dan keadaan hipokapnia, enfluran dapat menyebabkan kejang tonik-
klonik pada otot muka dan ekstremitas. Hal ini dapat dihentikan tanpa gejala sisa dengan : (1)
mengganti obat anestetik; (2) melakukan anestesia yang tidak terlalu dalam; dan (3) menurunkan
ventilasi semenit untuk mengurangi hipokapnia. Kejang pada anak timbul dengan kadar enfluran
lebih dari 4 % volume dan oksigenisasi yang kurang. Enfluran jangan digunakan pada anak
dengan demam berumur kurang 3 tahun.

Posologi. Untuk induksi, enfluran 2 - 4,5% dikombinasi dengan O2 atau campuran N 2 O - O2,
sedangkan untuk mempertahankan anestesia diperlukan 0,5 - 3 % volume.

ISOFLURAN (FORANE) ialah eter berhalogen yang tidak mudah terbakar. Secara kimiawi
isofluran mirip enfluran, tetapi secara farmakologis banyak berbeda. isofluran berbau tajam
sehingga membatasi kadar obat dalam udara yang dihisap penderita karena penderita menahan
napas dan batuk. Setelah pemberian medikasi preanestetik, stadium induksi dapat dilalui dengan
lancar dan sedikit eksitasi bila diberikan bersama N 2 O - O2. Yang umum digunakan untuk
melewati stadium induksi ialah obat anestetik IV.

lsofluran merelaksasi otot sehingga baik untuk melakukan intubasi. Obat pelumpuh otot
nondepolarisasi dan isofluran saling menguatkan (potensiasi) sehingga dosis isofluran perlu
dikurangi sepertiganya. Tendensi timbulnya aritmia amat kecil, sebab isofluran tidak
menyebabkan sensitisasi jantung terhadap katekolamin. Peningkatan frekuensi nadi dan takikardi
dapat dihilangkan dengan pemberian propanolol 0,2 - 2 mg, atau dosis kecil narkotik (8 - 10 mg
morlin, atau 0,1 mg fentanil), sesudah hipoksia atau hiperiermia diatasi terlebih dulu. Penurunan
volume semenit dapat diatasi dengan mengatur dosis. Ventilasi mungkin perlu diatur untuk
mendapatkan normokapnia atau hipokapnia. lsofluran sedikit mengalami biotranslormasi
menjadi asam trilluoroasetat dan F.

Belum pernah dilaporkan adanya gangguan lungsi ginjal dan hati sesudah penggunaan isolluran.
Pada anestesiayang dalam dengan isofluran tidak terjadi perangsangan SSP seperti pada
pemberian enfluran. lsofluran meningkatkan aliran darah otak pada kadar lebih dari 1,1 MAC
(Minimal Alveolar Concentration, kadar alveoli minimal) dan mungkin meningkatkan tekanan
intrakranial. Hiperventilasi bisa menurunkan aliran darah dan tekanan intrakranial, sebab
hipokapnia yang timbul tidak menginduksi kejang selama anestesia dengan isofluran. Keamanan
isofluran pada wanita hamil, atau waktu partus, belum terbukti. pada kadar analgesik 0,3 - 0,7 %
isofluran tidak mendepresi frekuensi dan kekuatan kontraksi olot uterus pascapersalinan.
Penggunaan obat ini masih terbatas, sehingga data toksisitas atau reaksi hipersensitivitas belum
lengkap ditemukan. penurunan kewaspadaan mental terjadi 2 - 3 jam sesudah anestesia, tetapi
tidak terjadi mual, muntah atau eksitasi sesudah operasi.

Posologi lsofluran 3- 3,5 % dalam O2atau kombinasi N 2 O - O2biasanya digunakan untuk


induksi, sedangkan kadar 0,5-3% cukup memuaskan untuk mempertahankan anestesia.

HALOTAN (FLUOTAN). Halotan merupakan cairan tidak berwarna, berbau enak, tidak mudah
terbakar dan tidak mudah meledak meskipun dicampur dengan oksigen. Halotan bereaksi dengan
perak, tem_ baga, baja, magnesium, alurninium, brom, karet dan plastik. Karet larut dalam
halotan, sedangkan nikel, titanium, dan polietilen tidak sehingga pemberian obat ini harus
dengan alat khusus yang disebut fluotec.

Efek analgesik halotan lemah tetapi relaksasi otot yang ditimbulkannnya baik. Dengan kadar
yang aman diperlukan waktu 10 menit untuk induksi sehingga untuk mempercepatnya digunakan
kadar tinggi (3-4 volume %). Kadar minimal untuk anestesia ialah 0,76% volume.

Depresi nafas terjadi pada semua konsentrasi halotan yang menimbulkan anestesia. Halotan
dapat mencegah spasme laring dan bronkus, batuk serta menghambat salivasi, sedangkan
relaksasi otot maseter baik, sehingga intubasi mudah di_ lakukan. Pernapasan buatan harus
dilakukan dengan hati-hati karena dapat menyebabkan dosis halotan berlebihan.

Halotan secara langsung menghambat otot jantung dan otot polos pembuluh darah serta
menurunkan aktivitas saraf simpatis. Makin dalam anestesia, makin jelas turunnya kekuatan
kontraksi otot jantung, curah jantung, tekanan darah, dan resistensi perifer. Bila kadar halotan
ditingkatkan dengan cepat, maka tekanan darah akan tidak terukur dan dapat terjadi henti
jantung. Halotan menyebabkan vasodilatasi pembuluh otot rangka dan darah otak sehingga aliran
darah ke otak dan otot bertambah.

Halotan menyebabkan bradikardi, karena aktivitas vagal yang meningkat. Halotan menimbulkan
sensilisasi jantung terhadap katekolamin sehingga dapat terjadi aritmia jantung bila diberikan
katekolamin sewaktu inhalasi halotan. Suntikan lokal epinefrin hanya boleh diberikan dengan
syarat : (1 ) ventilasi harus cukup adekuat; (2) kadar epinefrin yang diberikan tidak lebih dari 1 :
100.000; dan (3) dosis orang dewasa tidak lebih dari 10 ml larutan 1 : 100.000 dalam 10 menit,
atau 30 ml dalam satu jam.

Penggunaan halotan berulang kali dapat menyebabkan kerusakan hati yang bersitat alergi berupa
nekrosis sel hati yang letaknya sentrolobular. Gejala yang mungkin timbul ialah anoreksia, mual,
muntah dan kadang-kadang kemerahan pada kulit.

Halotan menghambat tonus miometrium, mengurangi efektivitas alkaloid ergot dan oksitosin
sehingga harus hati-hati diberikan waktu partus. Halotan berguna sekali pada versi ekstraksi.

Absorpsi dan ekskresi halotan melalui paru, hanya 20% dimelabolisasi dalam badan dan
diekskresi melalui urin dalam bentuk asam trifluoroasetat, lrifluoroetanol dan bromida.

Untuk induksi, halotan diberikan dengan kadar 1-4% dalam campuran dengan oksigen atau N 2 O
sedangkan untuk dosis penunjang 0,5 - 2%. Halotan diberikan dengan alat khusus dan penentuan
kadar harus dapat dilakukan dengan tepat.

Status. Sangat populer dan digunakan secara luas dalam anestesi. Dengan ditemukan enfluran
dan isofluran maka ada pilihan lain sehingga penggunaan berulang yang berakibat
hepatotoksisitas dapat dihindari.

METOKSIFLURAN merupakan cairan jernih, tidak berwarna, bau manis seperti buah, tidak
mudah meledak, tidak mudah terbakar di udara atau dalam oksigen. Pada kadar anestetik,
metoksifluran mudah larut dalam darah.

Metoksifluran termasuk anestetik yang kuat; kadar minimal 0,16 volume % sudah dapat
menyebabkan anestesia dalam tanpa hipoksia. lnduksi terjadi lambat dan sering disertai delirium
sehingga untuk mempercepat induksi sering diberikan lebih dahulu barbiturat IV. Depresi nafas
dan relaksasi otot lebih nyata oleh metoksifluran daripada oleh halotan. Sifat analgesik
metoksifluran kuat, sesudah penderita sadar sifat analgesik ini masih ada.

Metoksifluran tidak menyebabkan iritasi dan stimulasi. kelenjar bronkus, tidak menyebabkan
spasme laring dan bronkus sehingga dapat digunakan pada penderita asma. Metoksifluran
menimbulkan sensitisasi jantung terhadap katekolamin tetapi tidak sekuat klorolorm,
siklopropan, halotan atau trikloretilen. Metoksitluran bersifat hepatoksik sehingga sebaiknya
tidak diberikan pada penderita kelainan hati.

Untuk mendapatkan efek analgesik, cukup diberikan 0,5% metoksifluran dalam udara. Untuk
induksi diperlukan kadar 1,5-3% dengan campuran oksigen atau N 2 O sedikitnya 1 : 1 yang
kemudian dilanjutkan dengan dosis penunjang 0,5% Obat ini dapat diberikan dengan cara closed
method atau semiclosed method sedangkan pada bayi dan anak juga dapat diberikan dengan
caraopen drop.

ETILKLORIDA. Etilklorida ialah cairan tak berwarna sangat mudah menguap, mudah terbakar
dan mempunyai titik didih 12−13 o C . Bila disemprotkan pada kulit akan segera menguap dan
menimbulkan pembekuan sehingga rasa sakit hilang.

Anestesia dengan etilklorida cepat terjadi tetapi cepat pula hilangnya. lnduksi dicapai dalam 0,5-
2 menit dengan waktu pemulihan 2-3 menit sesudah pemberian anestesia dihentikan. Karena itu
etilklorida sudah tidak dianjurkan lagi untuk anestetik umum, tetapi hanya digunakan untuk
induksi dengan memberikan 20-30 tetes pada masker selama 30 detik. Etilklorida digunakan juga
sebagai anestetik lokal dengan cara menyemprotkannya pada kulit sampai beku. Kerugiannya,
kulit yang beku sukar dipotong dan mudah kena inleksi karena penurunan resistensi sel dan
melambatnya penyembuhan.

TRIKLORETILEN ialah cairan jernih tidak berwarna, mudah menguap, berbau khas seperti
kloroform, tidak mudah terbakar dan tidak mudah meledak.

lnduksi dan waktu pemulihan terjadi lambat karena trikloretilen sangat larut dalam darah. Elek
analgesik trikloretilen cukup kuat tetapi relaksasi otot rangka yang ditimbulkannya kurang baik,
maka sering digunakan pada operasi ringan dalam kombinasi dengan N 2 O. Untuk mendapatkan
efek analgesik, cukup digunakan 0,25 - 0,75% trikloretilen dalam udara. Sedangkan untuk
anestesia umum, kadar trikloretilen tidak boleh lebih dari 1% dalam campuran 2 : 1 dengan N 2 O
dan oksigen.

Trikloretilen menimbulkan sensitisasi jantung terhadap katekolamin dan sensitisasi pernapasan


pada stretch receptor. Sifat lain trikloretilen ialah tidak mengiritasi saluran napas.
FLUROKSEN. Fluroksen merupakan eter berhalogen, dengan sifat seperti eter mudah terbakar,
tetapi tidak mudah meledak. Fluroksen menimbulkan analgesi yang baik, tetapi relaksasi otot
sangat kurang. Untuk mencapai analgesi diperlukan fluroksen 1,5 - 2%, untuk induksi 6 - 12%
dan untuk dosis penunjang 3-12%. Bila dikombinasi dengan N 2 O dan oksigen, fluroksen cukup
diberikan dengankadar 1 - 2%.

Anda mungkin juga menyukai