Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH PATOFISIOLOGI

SISTEM REPRODUKSI

Oleh Kelompok 3:

Sya’bani Uswatun Hasanah (1801135)


Wardatul Jannah (1801136)

Dosen Pengampu:
Nofri Hendri Sandi, M. Farm, Apt

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU
YAYASAN UNIV RIAU
2019
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr.wb

Puji dan Syukur kehadirat Allah SWT yang telah Melimpahkan Rahmat,
Berkah dan Karunia-Nya kepada kita, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “ Patofisologi Sistem Reproduksi” guna memenuhi tugas
Patofisiologi .

Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat kelemahan, baik
dari segi penulisan, tata bahasa maupun bentuk ilmiahnya. Hal ini disebabkan oleh
keterbatasan pengetahuan dan kemampuan kami. Oleh karena itu kami dengan
senang hati menerima kritik dan saran yang bermanfaat untuk kesempurnan
makalah ini.

Kamipun menyadari, bahwa dalam penyusunan makalah ini banyak


mendapatkan bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, untuk itu kami ingin
mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu kami dalam
penyusunan makalah ini, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Semoga
semua bantuan, dukungan dan do’a yang telah diberikan menjadi amal yang baik
serta mendapat ridho dan balasan dari Allah SWT. Amin

Akhir kata kami ucapkan selamat membaca. Semoga makalah yang kami buat
ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada khususnya bagi teman-teman.

Wassalamualaikum wr, wb

Pekanbaru, Mei 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

ii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesehatan reproduksi menurut World Health Organization (WHO) adalah

kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang utuh dan bukan hanya tidak adanya penyakit atau

kelemahan, dalam segala hal yang berhubungan dengan sistem reproduksi dan fungsi fungsinya

serta proses-prosesnya.

Pada era globalisasi dan modernisasi ini telah terjadi perubahan dan kemajuan disegala

aspek dalam menghadapi perkembangan lingkungan, kesehatan dan kebersihan, dimana

masyarakat dituntut untuk selalu menjaga kebersihan fisik dan organ atau alat tubuh. Salah satu

organ tubuh yang penting serta sensitif dan memerlukan perawatan khusus adalah alat

reproduksi. Pengetahuan dan perawatan yang baik merupakan fator penentu dalam memelihara

kesehatan reproduksi. Apabila alat reproduksi tidak dijaga kebersihannya maka akan

menyebabkan infeksi, yang pada akhirnya dapat menimbulkan penyakit (Harahap, 2003).

1
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Sistem Reproduksi Pria

Gambar 1. Organ Reproduksi Pria

2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Reproduksi Pria


Organ genitalia pria dibedakan menjadi organ genitalia interna dan organ genitalia

eksterna. Organ genitalia interna terdiri dari testis, epididimis, duktus deferen, funiculus

spermaticus, dan kelenjar seks tambahan. Organ genitalia eksterna terdiri dari penis, uretra, dan

skrotum.

2.1.1.1 Organ Genitalia Interna


1. Testis

Testis berbentuk seperti telur yang berukuran 4x3 cm yang dikelilingi oleh jaringan

ikat kolagen (tunika albuginea). Tunika albuginea akan memberikan septa ke dalam parenkim

testis dan membagi menjadi beberapa lobulus. Setiap lobulus mengandung 1-4 tubulus

seminiferus. Tubulus seminiferus merupakan tempat produksi sperma. Pada ujung tubulus

seminiferus ini terdapat tubulus rektus yang menghubungkan tubulus seminiferus dengan rete

testis. Rete testis terdapat dalam jaringan ikat mediastinum yang dihubungkan oleh 10-20

duktus eferen yang ke distal menyatu pada duktus epididimis.

2
Testis mengandung banyak tubulus seminiferus. Tubulus seminiferus tersebut terdiri

atas deretan sel epitel yang akan mengadakan pembelahan mitosis dan meiosis sehingga

menjadi sperma. Sel-sel yang terdapat di antara tubulus seminiferus disebut interstitial (leydig).

Sel ini menghasilkan hormon seks pria yang disebut testosteron (Syahrum, 1994).

Menurut Saryono (2008), sel yang berperan dalam testis adalah:

 Tubulus seminiferus, bagian utama dari massa testis yang bertanggung jawab terhadap

produksi sekitar 30 juta spermatozoa per hari selama masa produksi. Sel ini terdiri dari

sperma dan sel sertoli.

 Sel leydig (sel interstisial), menyusun komponen endokrin utama yang bertanggung

jawab menghasilkan testosteron.

 Sel sertoli

Gambar 2. Testis dan Epididimis


2. Epididimis
Epididimis adalah saluran yang berkelok-kelok dengan panjang sekitar 4-6 meter yang

terdiri dari caput, corpus, dan cauda. Di dalam epididimis, spermatozoa akan matang sehingga

menjadi mortil dan fertil. Setelah melalui epididimis yang merupakan tempat penyimpanan

sperma sementara, sperma akan menuju duktus deferen (Heffner & Schust,2006).

3. Duktus Deferen dan Funiculus Spermaticus

3
Duktus deferen/vas deferen adalah suatu saluran lurus berdinding tebal yang akan

menuju uretra pars prostatika. Duktus deferen bersama pembuluh darah dan saraf, dalam

selubung jaringan ikat disebut funiculus spermaticus yang akan melalui kanalis inguinalis.

4. Kelenjar Seks Tambahan

Kelenjar seks tambahan terdiri dari sepasang vesikula seminalis, prostat, dan sepasang

kelenjar bulbouretral. Vesikula seminalis terletak di bagian dorsal vesika urinaria dan

menghasilkan sekitar 60% dari volume cairan semen. Sekresi dari vesikula seminalis

mengandung fruktosa, prostaglandin, fibrinogen, dan vitamin C. Fruktosa memiliki fungsi

sebagai sumber energi primer untuk sperma, sedangkan prostaglandin memiliki fungsi

merangsang kontraksi otot polos sehingga memudahkan transfer sperma Saluran dari masing-

masing vesikula seminalis bergabung dengan duktus deferens pada sisi yang sama untuk

membentuk duktus ejakulatorius. Dengan demikian, sperma dan cairan semen masuk

uretra bersama selama ejakulasi. Kelenjar prostat terletak di bawah dasar vesika urinaria.

Kelenjar prostat mengeluarkan cairan basa yang menetralkan sekresi vagina yang asam, enzim

pembekuan, dan fibrinolisin. Kelenjar bulbouretral terletak di dalam otot perineal dan

menghasilkan cairan mukoid untuk pelumas.

2.1.1.2 Organ Genitalia Eksterna


1) Penis
Penis terbagi menjadi radix, corpus, dan glans penis. Penis terdiri dari 3 massa silindris

yaitu dua corpora cavernosa yang dipisahkan oleh septum dan terletak di dorsal serta satu

corpus spongiosum yang mengelilingi uretra dan terletak di ventral. Glans penis adalah

ujung terminal dari corpus spongiosum yang membesar dan menutupi ujung bebas kedua

corpora cavernosa penis. Preputium adalah lipatan kulit yang retraktil pada glans penis yang

akan dipotong dalam sirkumsisi.

4
2) Uretra
Uretra terdiri dari 3 bagian yaitu uretra prostatika, uretra membranosa, dan uretra

spongiosa.

3) Skrotum
Skrotum adalah kantung kulit yang menggantung di luar rongga perut, antara kaki dan

dorsal penis. Terdiri dari 2 kantung yang masing-masing diisi oleh testis, epididimis, dan

bagian caudal funiculus spermaticus. Dalam kondisi normal, suhu skrotum 3°C lebih rendah

dari suhu tubuh agar dapat memproduksi sperma yang sehat.

2.1.2 Spermatogenesis
Testis terdiri atas sekitar 250 m (800 kaki) tubulus seminifirus penghasil sperma. Di

tubulus seminiferus terdapat dua jenis sel, yaitu sel germinativum dan sel sertoli. Sel

germinativum sebagian besar berada dalam berbagai tahap pembentukan sperma. Sel sertoli

berperan penting dalam proses spermatogenesis. Spermatogenesis adalah suatu proses

kompleks dimana sel germinativum primordial yang relatif belum berdiferensiasi,

spermatogonia (masing-masing mengandung komplemen diploid 46 kromosom),

berproliferasi dan diubah menjadi spermatozoa yang sangat khusus dan mudah bergerak,

masing-masing mengandung sel haploid 23 kromosom yang terdistribusi secara acak.

Spermatogenesis pada manusia membutuhkan waktu 64 hari untuk pembentukan dari

spermatogenium menjadi sperma matang. Spermatogenesis mencakup tiga tahapan utama:

a. Proliferasi mitotik

Spermatogonia yang berada di lapisan terluar tubulus terus menerus bermitosis, dengan

semua sel anak mengandung komplemen lengkap 46 kromosom identik dengan sel induk.

Proliferasi ini menghasilkan pasokan sel germinativum baru yang terus-menerus. Setelah

pembelahan mitotik sebuah spermatogonium, salah satu sel anak tetap di tepi luar tubulus

sebagai spermatogonium tak berdiferensiasi sehingga turunan sel germinativum tetap

5
terpelihara. Sel anak yang lain mulai bergerak ke arah lumen sembari menjalani berbagai tahap

yang dibutuhkan untuk membentuk sperma, yang kemudian akan dibebaskan ke dalam lumen.

Pada manusia, sel anak penghasil sperma membelah secara mitosis dua kali lagi untuk

menghasilkan empat spermatosit primer identik. Setelah pembelahan mitotik terakhir,

spermatosit primer masuk ke fase istirahat saat kromosom-kromosom terduplikasi dan untaian-

untaian rangkap tersebut tetap menyatu sebagai persiapan untuk pembelahan meiotik pertama.

b. Meiosis

Selama meiosis, setiap spermatosit primer (dengan jumlah diploid 46 kromosom

rangkap) membentuk dua spermatosit sekunder (masing- masing dengan jumlah haploid 23

kromosom rangkap) selama pembelahan meiosis pertama, akhirnya menghasilkan empat

spermatid (masing-masing dengan 23 kromosom tunggal) akibat pembelahan meiotik.

Setelah tahap spermatogenesis ini tidak terjadi lagi pembelahan lebih lanjut. Setiap

spermatid mengalami remodelling menjadi spermatozoa. Karena setiap spermatogonium

secara mitosis menghasilkan empat spermatosit primer dan setiap spermatosit primer

menghasilkan empat spermatid, maka rangkaian spermatogenesis pada manusia menghasilkan

16 spermatozoa setiap kali spermatogonium memulai proses ini. Namun, biasanya sebagian

sel lenyap di berbagai tahap sehingga defisiensi produksi jarang setinggi ini.

c. Pengemasan

Spermatid setelah meiosis masih memiliki struktur mirip spermatogonia yang belum

berdiferensiasi, kecuali bahwa komplemen kromosomnya kini hanya separuh. Pembentukan

spermatozoa yang sangat khusus dan bergerak dari spermatid memerlukan proses remodelling,

atau pengemasan ekstensif elemen-elemen sel, suatu proses yang dikenal sebagai

spermiogenesis.

Spermatozoa memiliki empat bagian: kepala, akrosom, bagian tengah, dan ekor.

Kepala terdiri atas nukleus, yang mengandung informasi genetik sperma. Akrosom, vesikel

6
berisi enzim yang menutupi ujung kepala, digunakan sebagai “bor enzim” untuk menembus

ovum. Akrosom dibentuk oleh agregasi vesikel-vesikel yang diproduksi oleh kompleks

retikulum endoplasma/Golgi sebelum organel ini disingkirkan. Mobilitas spermatozoa

dihasilkan oleh suatu ekor panjang mirip cambuk yang digerakkan oleh energi yang dihasilkan

oleh mitokondria yang terkonsentrasi di bagian tengah sperma.

Gambar 3. Proses Spermatogenesis


2.1.3 Penyakit Pada Sistem Reproduksi Pria
2.1.3.1 Infertilitas Pada Pria
1. Definisi
Infertilitas merupakan kegagalan konsepsi setelah sekurang – kurangnya satu tahun

berhubungan seksual dengan frekuensi yang normal tanpa kontrasepsi. Menurut World Health

Organization (WHO) tahun 2009 menyebutkan definisi infertilitas secara klinis bahwa

7
infertilitas merupakan suatu penyakit sistem reproduksi yang ditetapkan dengan adanya

kegagalan mencapai kehamilan klinis setelah 12 bulan atau lebih melakukan hubungan seksual

secara regular tanpa menggunakan alat kontrasepsi.

Secara garis besar infertilitas dapat dibagi dua yaitu ( Al-Haija, 2011) :

1. Infertilitas primer: merupakan suatu keadaan dimana pria (suami) tidak pernah

menghamili wanita (istri) meskipun telah melakukan hubungan seksual secara teratur selama

>12 bulan secara teratur tanpa kontrasepsi.

2. Infertilitas sekunder: merupakan suatu keadaan dimana pria (suami) pernah

menghamili wanita (istri) tetapi kemudian tidak mampu menghamili lagi wanita (istri)

meskipun telah melakukan hubungan seksual secara teratur selama >12 bulan secara teratur

tanpa kontrasepsi.

2. Gejala dan Tanda Infertilitas

Gejala dan tanda infertilitas pada pria:

 Jumlah sperma yang sedikit atau tidak sesuai standar yang di syaratkan oleh WHO

yaitu 20 juta/mL air mani (semen)

 Memiliki masalah seksual seperti ejakulasi dini atau disfungsi ereksi

 Terdapat bengkak atau benjolan pada testis

 Masalah ereksi dan ejakulasi

 Terjadi penurunan pertumbuhan rambut

 Memiliki riwayat testis, prostat atau masalah seksual.

3. Etiologi

Berdasarkan patofisiologinya, 40 – 50 % infertilitas pria tidak diketahui penyebabnya

(idiopatik), 30 – 40 % disebabkan karena penyakit testis (hipogonadisme primer), 10 – 20 %

disebabkan karena masalah transport sperma, dan 1 -2 % disebabkan oleh penyakit

hipotalamus – pituitari (hipogonadisme sekunder). Faktor penyebab yang tidak diketahui ini

8
mungkin disebabkan oleh beberapa faktor seperti stress yang kronis, gaguan endokrin yang

diakibatkan oleh polusi lingkungan, reactive oxygen species dan abnormalitas genetik.

Menurut Tanagho dan Jack dalam buku Smith’s General Urology bahwa faktor

penyebab yang mendasari infertilitas pria itu dibagi dalam 3 yaitu faktor pre- testikular,

testikular dan postestikular.

1) Faktor Pre-testikular

Faktor pre-testikular yaitu faktor yang berasal dari kondisi – kondisi di luar testis dan

mempengaruhi proses spermatogenesis. Kelainan endokrin (hormonal).

Kelainan ini berupa:

a) Kelainan hipotalamus: defisiensi gonadotropin (Sindrom Kallmann), defisiensi LH,

defisiensi FSH, sindrom hipogonadotropik kongenital. Adanya kelainan pada hipotalamus

menyebabkan tidak adanya sekresi hormonal yang berperan penting dalam spermatogenesis

sehingga menginduksi keadaan infertil.

b) Kelainan hipofisis: insufisiensi hipofisis (tumor, proses infiltrat, operasi, radiasi),

hiperprolaktinemia, hormon eksogen (kelebihan estrogen-androgen, kelebihan

glukokortikoid, hipertiroid dan hipotiroid) dan defisiensi hormon pertumbuhan (growth

hormone) menyebabkan gangguan spermatogenesis.

2) Faktor Testikular

a) Kelainan kromosom. Contohnya pada penderita sindrom Klinefelter, terjadi penambahan

kromosom X, testis tidak berfungsi dengan baik, sehingga spermatogenesis tidak terjadi.

b) Varikokel: dilatasi dari pleksus pamfiniformis vena skrotum yang mengakibatkan

terjadinya gangguan vaskularisasi testis yang mengganggu proses spermatogenesis.

c) Gonadotoksin

d) Trauma, torsi, peradangan

e) Penyakit sistemik (gagal ginjal, gagal hati dan anemia sel sabit)

9
f) Tumor

g) Kriptorkismus (undescended testis)

h) Idiopatik
3) Faktor Post-testikular
Faktor post-testikular merupakan kelainan pada jalur reproduksi termasuk epididymis, vas

deferens dan duktus ejakulatorius.

a) Obstruksi traktus ejakulatorius, disebabkan karena adanya blokade kongenital,

congenital absence of the vas deferens (CAVD), obstruksi epididymis idiopatik,

penyakit ginjal polikistik, blokade yang didapat (vasektomi, infeksi), blokade

fungsional (perlukaan saraf simpatis, farmakologi)

b) Gangguan fungsi sperma atau motilitas: sindrom immotile silia, defek maturasi,

infertilitas imunogenik, infeksi.

c) Gangguan koitus: impotensi, hipospadia, waktu dan frekuensi koitus.

4. Faktor Risiko
1) Usia

Seiring bertambahnya waktu, level testosteron darah akan semakin menurun dan

risiko infertil pun menjadi dua kali lipat pada usia lebih dari 35 tahun dibandingkan

dengan pria dengan usia di bawah 25 tahun. Risiko ini pun menjadi lima kali lipat pada

pria dengan usia di atas 45 tahun.

2) Obesitas

Disregulasi endokrin pada orang dengan obesitas dapat meningkatkan faktor risiko

infertilitas.

3) Alkohol

Konsumsi alkohol akan merusak aksis HPT dan berpengaruh pada proses

spermatogenesis yang mengakibatkan penurunan kualitas sperma.

10
4) Paparan dalam pekerjaan

Studi di Lebanon menunjukkan bahwa paparan lingkungan pekerjaan sangat berbahaya

terhadap fisik dan bahan kimianya yang dihubungkan dengan peningkatan resiko

infertilitas pria. Paparan senyawa organik saat bekerja dapat menurunkan jumlah sperma

yang motil, sejumlah senyawa yang digunakan industri yang dapat menyebabkan efek

samping pada sistem reproduksi pria yaitu karbon disulfida yang mempengaruhi kualitas

semen. Riwayat terpapar glycol ether pada lingkungan kerja juga dapat menurunkan

kualitas semen. Demikian juga halnya pada pekerja di bidang pertanian atau pabrik

pestisida yang juga mengalami dampak negatif akibat paparan Dibromochloropropane

(DBCP) dapat menyebabkan toksisitas testikular dan menurunkan produksi sperma.

Paparan pada Ethylene Di-Bromide (EDB) juga menurunkan jumlah sperma dan

meningkatkan jumlah sperma yang abnormal. Dichloro-Diptenyl-Trichloro-ethane

(DDT) yang merupakan salah satu tipe pestisida juga dapat menurunkan fertilitas dan

mengubah jumlah sperma.

5) Olahraga

Olahraga berat dengan jangka panjang dapat mempengaruhi kualitas parameter semen

dan menurunkan jumlah testosteron total.

6) Merokok

Faktor risiko ini masih kontroversial terhadap kejadian infertilitas pria.

7) Laptop dan telepon seluler

Paparan laptop jangka panjang dapat meningkatkan suhu skrotum dan berdampak

negatif pada parameter sperma. Paparan gelombang elektromagnetik dari telepon seluler

dapat menurunkan jumlah dan motilitas sperma serta meningkatkan stress oksidatif

sperma.

8) Stres

11
Hubungan antara stres dengan infertilitas juga diperhitungkan. Pria di bawah tekanan

stres pada hasil pemeriksaan analisa semen menunjukkan terjadi penurunan yang

signifikan pada parameter sperma (Al-Haija, 2011). Hal ini dikaitkan dengan

penurunan level testosteron yang menyebabkan kegagalan spermatogenesis dan

akhirnya berpengaruh pada jumlah, motilitas, dan morfologi sperma (Carrell ed.,

2013).

5. Prognosis

6. Komplikasi

7. Diagnosa dan Pemeriksaan Penunjang

Langkah yang paling penting dalam mendiagnosis pria infertil adalah melalui
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik. Anamnesis mengenai riwayat infertilitas
(durasi, kehamilan sebelumnya, evaluasi dan pengobatan fertilitas sebelumnya). Riwayat
seksual juga sangat penting ditanyakan seperti fungsi ereksi, frekuensi dan waktu melakukan
hubungan seksual dengan pasangannya. Riwayat intervensi medis sebelumnya juga tak kalah
penting ditanyakan karena hal tersebut berkontribusi dalam penegakan diagnosis dari
seperempat kasus infertilitas
Pemeriksaan genitalia dimulai dengan pemeriksaan yang cermat, seperti
pemeriksaan isi skrotum yang merupakan bagian yang paling kritis dalam pemeriksaan ini.
Palpasi permukaan testis harus benar-benar dilakukan dengan hati-hati untuk menilai
konsistensi dan ada atau tidaknya massa dalam testis untuk menyingkirkan diagnosis
infertilitas akibat karsinoma testikular. Ukuran testis juga merupakan hal yang potensial
diperiksa dalam kasus infertilitas. Ukuran testis normal adalah 4 x 3 cm atau volumenya 20
mL. Palpasi epididimis, korda spermatika penting dilakukan untuk menentukan apakah
terdapat peradangan atau kelainan lain seperti varikokel yang juga merupakan salah satu
bagian dari etiologi infertilitas pada pria. Pemeriksaan rektal juga sebaiknya dilakukan, untuk
mengevaluasi prostat, apakah terdapat peradangan ataupun kista yang dapat menyumbat
duktus ejakulatorius (Wein et al., 2012).
Setelah melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik maka perlu dilakukan evaluasi
lebih lanjut dalam menegakkan diagnosis infertilitas pada pria melalui pemeriksaan analisis
semen. Analisis semen merupakan prediktor yang sangat penting dalam menentukan fertilitas

12
pria. Analisis semen berguna untuk mengevaluasi variasi dari parameter termasuk
karakteristik spermatozoa, plasma semen dan sel non-sperma (Wein et al., 2012).
Analisa karakteristik semen dapat diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu (Wein
et al., 2012):
1. Pemeriksaan makroskopik:
Terdapat lima hal yang diukur pada pemeriksaan makroskopik ini, yaitu pH,
koagulasi/pengenceran, warna, viskositas dan volume semen. Semen normal manusia
berwarna agak putih hingga kuning keabu-abuan. Bila terkontaminasi dengan urin, maka
semen berwarna kuning. Semen juga dapat berwarna merah muda pada pasien dengan
perdarahan uretra dan kekuning-kuningan pada pasien jaundice. Keadaan fisik semen yang
baru diejakulasi adalah kental. Tapi sekitar 20 menit kemudian akan mengalami
pengenceran, disebut likuifaksi oleh fibrinolisin enzim proteolitik yang disekresikan oleh
prostat. Jika pengenceran tidak wajar berarti ada ketidakberesan pada kelenjar itu.
Pengukuran pH merupakan komponen standar dalam analisis semen yang ditentukan oleh
sekresi vesika seminalis dan prostat. pH normal adalah sekitar 7,2 hingga 8,0. Karena sekresi
vesika seminalis bersifat alkali, pH asam mengindikasikan terdapat hipoplasia vesika
seminalis yang biasa ditemui pada pasien azoospermia.

Parameter Nilai Normal Abnormalitas

Ph ≥ 7,2 Asam < 7,2

Koagulasi/ pengenceran Koagulasi dan pengenceran Tidak ada koagulasi dan


dalam 15-60 menit. pemanjangan pengenceran
>60 menit.
Warna Putih keabu- abuan. Kekuning-kuningan, merah
kecoklatan.

Viskositas ≤2cm >2cm

Volume ≥1,5 mL 0 (azoospermia)


<1,5mL (hypospermia)

13
2. Pemeriksaan Mikroskopik

a. Aglutinasi sperma:

Pemeriksaan ini dimulai dengan hapusan tebal dengan meletakkan semen pada slide

yang ditutup oleh cover slip dan diamati pada pembesaran 1000x. Melalui metode ini, aglutinasi

sperma, keberadaan sperma dan motilitas subjektif sperma dapat diamati. Dalam keadaan

normal tidak ditemukan adanya aglutinasi dan jumlah leukosit ≤ 1 juta/mL serta tidak

ditemukan adanya immature germ cell. Adanya adhesi sperma ke elemen non spema

mengindikasikan adanya infeksi kelenjar aksesoris, adanya adhesi sperma-sperma

mengindikasikan adanya antibodi antisperma sekunder.

b. Jumlah dan konsentrasi:

Pemeriksaan ini dilakukan setelah terjadi pengenceran cairan semen. Jumlah sperma

normal ≥ 20 juta sperma per mL. Bila jumlahnya < 20 juta sperma/mL maka disebut sebagai

oligospermia. Azoospermia (ketiadaan sperma) dapat disebabkan karena adanya gangguan saat

spermatogenesis, disfungsi ejakulasi ataupun karena adanya obstruksi. Laboratorium WHO

menetapkan batas toleransi jumlah sperma terendah yang masih dikatakan normal adalah ≥

20juta sperma/mL atau jumlah sperma total ≥ 39 juta/ejakulasi (WHO, 2010).

c. Motilitas:

Motilitas dikenali sebagai prediktor yang terpenting dalam aspek fungsional

spermatozoa. Motilitas sperma merupakan refleksi perkembangan normal dan kematangan

spermatozoa dalam epididimis. Menurut WHO tahun 2010, motilitas spermatozoa

dikelompokkan menjadi sebagai berikut:

• Progressive motility (PR): Spermatozoa bergerak bebas, baik lurus maupun lingkaran besar,

dalam kecepatan apapun.

14
• Non-progressive motility (NP): semua jenis spermatozoa yang tidak memiliki kriteria

progresif, seperti berenang dalam lingakran kecil, ekor/ flagel yang sulit menggerakkan kepala,

atau hanya ekor saja yang bergerak.

• Immotility (IM): tidak bergerak sama sekali Yang dikatakan memiliki nilai motilitas normal

yaitu Progressive motility (PR) ≥ 32% atau PR + NP ≥ 40%. Disebut asthenospermia (motilitas

yang tidak sesuai dengan kriteria WHO) dapat disebabkan oleh antibodi antisperma (15%),

periode abstinensi yang panjang, infeksi traktus genitalia obstruksi duktus parsial, dan

varikokel. Hal ini dapat menurunkan motilitas sperma dalam penetrasi ke mukosa servikal.

2.1.3.2 Impotensi
1. Definisi
Disfungsi ereksi atau impotensi adalah sebuah masalah umum di kalangan pria yang

ditandai oleh ketidakmampuan yang konsisten untuk mempertahankan ereksi yang cukup

untuk melakukan hubungan seksual atau ketidakmampuan untuk mencapai ejakulasi, atau

keduanya. Impotensi dapat bervariasi dari ketidakmampuan total untuk mencapai ereksi atau

ejakulasi, kemampuan yang tidak konsisten untuk melakukannya, atau kecenderungan untuk

mempertahankan ereksi hanya dalam waktu sangat singkat.

Disfungsi ereksi atau impotensi adalah ketidakmampuan yang persisten dalam

mencapai atau mempertahankan fungsi ereksi untuk aktivitas seksual yang memuaskan.

Batasan tersebut menunjukkan bahwa proses fungsi seksual laki-laki mempunyai dua

komponen yaitu mencapai keadaan ereksi dan mempertahankannya (Samekto Wibowo dan

Abdul Gofir, 2008).

2. Gejala dan Tanda

 Sulit dalam mendapatkan ereksi

 Sulit menjaga ereksi

 Berkurangnya keinginan untuk melakukan hubungan seksual

15
 Penderita tidak mampu memulai dan mempertahankan ereksi

3. Etiologi

Disfungsi ereksi seringkali disebabkan oleh beberapa faktor (multifaktorial). Etiologi

disfungsi ereksi (DE) ini disingkat sebagai IMPOTEN.

Inflamasi Prostatitis

Mekanis Penyakit Peyronie

Psikogenik Ansietas, depresi, konflik rumah tangga, perasaan bersalah dan


norma agama

Oklusif vaskuler -Arteriogenik: hipertensi, rokok,


hyperlipidemia, diabetes mellitus.
-Venogenik: kegagalan mekanisme veno-oklusif (karena
kegagalan anatomi dan degenerative)

Trauma Fraktur pelvis, cedera korda spinalis,


trauma penis
Ekstra faktor Iatrogenik: pembedahan pada daerah
pelvis, prostatektomi
Neurogenik Kelainan pada otak: tumor, cedera otak,
epilepsi,
Lain-lain:Parkinson
usia lanjut, gagal ginjal kronik, sirosis hepar,
priapismus.
Kelainan pada medulla spinalis: tumor, cedera.

4. Faktor risiko Kelainan pada saraf perifer: Diabetes mellitus dan defisiensi
vitamin.
Terdapat berbagai faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya DE. Usia menjadi salah

satu faktor risiko yang penting. Shamloul dan Ghanem (2013), melaporkan bahwa DE dibagi

menjadi psikogenik, organik (seperti neurogenik, hormonal, arterial, kavernosal atau obat-

obatan), atau campuran antara psikogenik dan organik. DE biasanya merupakan campuran

antara psikogenik dan organik. Terdapat juga literatur yang menyebutkan adanya factor

iatrogenik sebagai salah satu risiko DE.

16
1. Usia

Usia menjadi salah satu faktor risiko terjadinya disfungsi ereksi. Usia mempengaruhi

terjadinya DE berkaitan dengan penurunan fungsi fisiologis dari organ-organ tubuh.

2. Psikogenik

Faktor psikologis seperti stres, depresi, schizofrenia, dan berkurangnya gairah seksual

mempengaruhi sulitnya mengalami ereksi (Lasker dkk, 2010). Untuk saat ini, Disfungsi ereksi

psikogenik secara umum berhubungan dengan kelompok faktor yang memengaruhi,

mempercepat, dan memelihara disfungsi ereksi itu sendiri. Faktor-faktor tersebut antara lain

faktor predisposisi seperti pengalaman traumatik masa lalu, edukasi seks yang tidak adekuat,

masalah kesehatan mental dan fisik atau faktor presipitasi seperti masalah relasi, tekanan dalam

keluarga atau social (Shamloul dan Ghanem, 2013)

3. Neurogenik

Beberapa kelainan neurologis yang sering dihubungkan dengan Disfungsi Ereksi,

antara lain multi sklerosis, epilepsi lobus temporalis, penyakit Parkinson, stroke, penyakit

Alzheimer, dan trauma korda spinalis (Shamloul dan Ghanem,

2013). Prevalensinya sebesar 10-19% dari penyebab DE secara keseluruhan. Disfungsi

ereksi neurogenik berkaitan dengan kegagalan inisiasi ereksi. Hal ini berhubungan dengan

berbagai kelainan neurologis seperti disebutkan sebelumnya, yang secara garis besar dibagi

dalam kategori rusaknya bagian saraf sentral, perifer ataupun keduanya (Shridharani, 2016).

4. Endokrinogenik (Testosteron)

Androgen memainkan bagian penting dalam meningkatkan gairah seksual dan

mempertahankan ereksi saat tidur secara adekuat, namun memiliki efek yang terbatas untuk

memulai ereksi. (Shamloul dan Ghanem, 2013).

17
5. Vaskulogenik

Faktor risiko yang sering berkaitan dengan insufisiensi arteri pada penis, termasuk

aterosklerosis, hipertensi, hiperlipidemia, merokok, diabetes mellitus, dan iradiasi pelvis.

Disfungsi endotel merupakan hal yang paling sering menjadi faktor risiko vaskuler yang dapat

mengarahkan kepada DE arteriogenik. DE akan bertambah baik jika konsentrasi lemak total

dan LDL (Low-Density-Lipoprotein), sebagaimana juga kolesterol menurun. Di sisi lain,

diabetes, hipertensi, dislipidemia, obesitas, dan merokok merupakan faktor risiko untuk

penyakit kardiovaskuler dan disfungsi ereksi (Shamloul dan Ghanem, 2013).

Diabetes. Gula darah dalam tubuh yang tidak terkontrol dapat merusak sel-sel saraf dan

pembuluh darah. Kerusakan ini diakibatkan adanya stress oxidative pada endotel akibat

tingginya gula darah. Endotel dalam keadaan normal bisa menghasilkan nitric oxide (NO) yang

berguna untuk melebarkan pembuluh darah termasuk pembuluh darah di penis. Dalam keadaan

rusaknya pembuluh darah, nitric oxide (NO) tidak dihasilkan sehingga pembuluh darah penis

sulit melebar sehingga aliran darah ke organ erektil berkurang sehingga terjadilah disfungsi

ereksi.

Hipertensi. Hipertensi menyebabkan timbulnya resiko kesehatan pada pembuluh darah

dan dapat mengakibatkan penyakit yang lebih serius seperti penyakit jantung dan stroke.

Pengobatan Obat hipertensi seperti beta blockers dan diuretik bekerja dengan cara mengurangi

dan mempertahankan tekanan darah tetap rendah ketika darah mengalir ke penis. Hal ini pada

akhirnya akan menghambat aliran darah ke penis, dan akibatnya pasien hipertensi sering

mengalami kesulitan mendapatkan dan mempertahankan ereksi, sehingga terjadi disfungsi

ereksi

Obesitas. Disfungsi ereksi pada pria obesitas disebabkan karena adanya kerusakan pada

lapisan pembuluh darah, dalam hal ini endothelium, sehingga fungsinya untuk menghasilkan

oksida nitrat yang berperan dalam proses ereksi menjadi terganggu. Adiponektin yang

18
berpengaruh terhadap disfungsi endotel, dikenal sebagai agen anti inflamasi dan berfungsi

melawan atherosclerosis dan telah dteliti bahwa kadarnya berkurang pada individu dengan

obesitas. Pada dasarnya, gangguan ereksi yang terjadi pada individu tidak hanya berasal dari

satu sumber. Sebagian besar kasus memiliki efek psikologis dari berbagai tingkatan, dan

penyakit sistemik serta efek farmakologis dapat mempengaruhi juga.

8. Prognosis

9. Komplikasi

10. Diagnosa dan Pemeriksaan Penunjang

Dalam mendiagnosis disfungsi ereksi, selain menggali riwayat penyakit dahulu

maupun riwayat sosial dari pasien, pemeriksa juga harus melakukan beberapa pemeriksaan

terhadap pasien. Hal ini bertujuan selain untuk memastikan diagnosis pasien, tetapi juga dapat

memastikan tingkat keparahan dari disfungsi ereksi yang dialami pasien dan jenis terapi yang

akan diberikan kepada pasien.

Evaluasi terhadap pasien yang mengeluh disfungsi ereksi meliputi evaluasi riwayat

seksual, evaluasi medik, dan evaluasi psikologik. Tujuan evaluasi ini adalah menentukan

apakah pasien memang menderita disfungsi ereksi atau disfungsi seksual yang lain (penurunan

libido, ejakulasi dini, ejakulasi retrograde, tidak menikmati orgasmus (anorgasmus), dll.

Wawancara atau anamnesis yang cermat dapat membedakan antara penyebab

psikogenik dan organik. Disfungsi ereksi yang disebabkan oleh faktor psikogen biasanya

menunjukkan ciri ciri sebagai berikut:

1) Timbulnya mendadak dan didahului oleh peristiwa tertentu, misalnya sehabis

cerai/ditinggal istri atau pasangannya, keluar dari pekerjaan, atau oleh tekanan kejiwaan.

2) Situasional yaitu disfungsi timbul bila hendak melakukan aktivitas seksual dengan

wanita tertentu, tetapi ereksi timbul kembali jika hendak berhubungan dengan wanita lain.

19
Tidak jarang pasien masih dapat merasakan ereksi yang maksimal dengan masturbasi, atau

membayangkan/menonton film porno, tetapi penis kembali lemas pada saat akan melakukan

senggama.

3) Ereksi nocturnal atau ereksi yang timbul pada saat bangun pagi masih cukup kuat,

tetapi pada siang hari, ereksi menurun atau bahkan tidak bisa ereksi sama sekali.

Penyebab psikogen ini ada hubungannya dengan ansietas, ketakutan, perasaan

bersalah, tekanan, atau norma-norma agama. Disfungsi ereksi yang disebabkan oleh kelainan

organik timbulnya gradual (perlahan).

Untuk mencari adanya faktor neurologi yang menjadi penyebab disfungsi ereksi

ditanyakan apakah menderita kencing manis, peminum alkohol, atau pernah mengalami cedera

tulang belakang. Adanya gangguan buang air besar atau buang air kecil mungkin disebabkan

oleh karena kelainan saraf. Pemeriksaan neurologi meliputi pemeriksaan sensitifitas pada

region genitalia dan perineum, dan reflex bulbo-kavernosus

Pada pasien yang menderita kelainan hormonal, lebih banyak mengeluh terjadinya

penurunan libido daripada mengeluh penurunan ketegangan penis. Pada disfungsi ereksi yang

disebabkan oleh faktor hormonal dilakukan evaluasi terhadap sumbu hipotalamus-hipofisis-

gonad. Diperhatikan apakah ada atrofi testis, mikropenis, pertumbuhan rambut di badan yang

kurang, atau ginekomasti.

Untuk mencari kemungkinan penyebab arterial ditanyakan tentang riwayat pernah

menderita kelainan vaskuler antara lain kludikasio intermitten atau pernah menjalani operasi

bypass koroner. Operasi radikal prostatektomi, reseksi abdomino-perineal atau cedera tulang

pelvis dapat merusak pembuluh darah yang memberikan vaskularisasi ke penis, sehingga

terjadi disfungsi ereksi. Pada pemeriksaan fisik diperhatikan denyut nadi pada arteri karotis,

arteri brachialis, arteri femoralis dan arteri dorsalis penis.

20
2.1.3.3 Benign Prostate Hiperplasia (BPH)
1. Definisi
BPH adalah gangguan yang makroskopiknya ditandai dengan pembesaran dari

kelenjar prostat dan histologisnya disebabkan oleh hiperplasia stroma yang progresif dan

hiperplasia kelenjar prostat. Jaringan prostat yang terus berkembang ini pada akhirnya dapat

mengakibatkan penyempitan dari pembukaan uretra. Akibatnya, klinis BPH sering dikaitkan

dengan lower urinary tract symptoms (LUTS). Bahkan, BPH merupakan penyebab utama

LUTS pada pria tua (Speakman , 2008).

Benign Prostate Hyperplasia adalah nama yang biasa digunakan untuk kelainan jinak

umum dari prostat, ketika meluas, mengakibatkan berbagai tingkat obstruksi saluran kemih,

kadang-kadang membutuhkan intervensi bedah. Penyakit ini merupakan pembesaran nodular

kelenjar yang disebabkan oleh hiperplasia dari kedua kelenjar dan komponen stromanya.

Perbandingan prostat normal dan BPH disajikan pada gambar.

Gambar 4. Prostat normal dan BPH. TZ (Transitional Zone) dan PZ (Peripheral Zone)

Organisasi kesehatan dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat

gangguan miksi yang disebut WHO Prostate Symptom Score (PSS). Derajat ringan: skor

0−7, sedang: skor 8−19, dan berat: skor 20−35 (Sjamsuhidajat dkk, 2012). Selain itu, ada

juga yang membaginya berdasarkan gambaran klinis penyakit BPH.

21
Tabel . Derajat penyakit BPH (Sumber: Sjamsuhidajat dkk, 2012).
Derajat Colok Dubur Sisa Volume Urin
I Penonjolan prostat, batas atas <50 mL
mudah diraba
II Penonjolan prostat jelas, batas 50−100 mL
atas dapat dicapai
III Batas atas prostat tidak dapat >100 mL
Diraba
IV - Retensi urin total

2. Etiologi

Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya BPH,

tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat kaitannya dengan peningkatan

kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Beberapa hipotesis yang diduga

sebagai penyebab timbulnya BPH adalah:

a. Teori dihidrotestosteron (DHT)

DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada pertumbuhan sel-sel

kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron di dalam sel prostat oleh enzim 5alfa-reduktase

dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah terbentuk berikatan dengan reseptor

androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi sintesis

protein growht factor yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat (Purnomo, 2011).

Gambar 5. Perubahan testosteron menjadi dihidrotestosteron oleh enzim

22
b. Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron

Pada pria dengan usia yang semakin tua, kadar estrogen dalam serum relatif

meningkat dibandingkan kadar testosteron. Pasien dengan BPH cenderung memiliki kadar

estradiol yang lebih tinggi dalam sirkulasi perifer. Dalam the Olmsted County cohort, tingkat

estradiol serum berkorelasi positif dengan volum prostat. Estrogen di dalam prostat berperan

pada proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas sel-sel prostat

terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan

menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis) (Roehborn et al., 2007).

c. Interaksi stroma-epitel

Interaksi stroma-epitel berperan penting dalam regulasi hormonal, seluler, dan

molekuler pada perkembangan prostat normal dan neoplastik. Proses peningkatan usia

menyebabkan akumulasi bertahap dari massa prostat. Sebuah studi yang dilakukan oleh

Cunha et al. menunjukkan bahwa sel stroma memiliki kemampuan untuk memodulasi

diferensiasi sel epitel prostat normal. Penelitian lain juga telah menunjukkan bahwa faktor

pertumbuhan yang dihasilkan oleh sel epitel dan stroma dapat meregulasisel-sel prostat

baru. Penyimpangan dari faktor pertumbuhan peptida atau reseptornya dapat langsung

memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan prostat yang tidak terkendali yang

menyebabkan BPH (Jie, et al., 2009).

d. Berkurangnya kematian sel prostat

Homeostasis pada kelenjar yang normal terjadi karena adanya keseimbangan antara

inhibitor pertumbuhan dan mitogens, yang masing- masing menghambat atau menginduksi

proliferasi sel tetapi juga mencegah atau memodulasi kematian sel (apoptosis). Pada pasien

BPH, terjadi pertumbuhan abnormal (hiperplasia) pada prostat yang mungkin disebabkan

oleh faktor pertumbuhan lokal atau reseptor faktor pertumbuhan yang abnormal, yang

23
menyebabkan meningkatnya proliferasi atau menurunnya kematian sel (apoptosis)

(Roehborn et al., 2007).

e. Teori sel stem

Ukuran prostat dapat menggambarkan adanya jumlah absolut sel stem pada kelenjar

prostat. Lonjakan hormon androgen postnatal akan membentuk jaringan prostat sehingga

menginduksi pertumbuhan prostat berikutnya. Sama seperti regulasi hormon jaringan

prostat pada dewasa, hormon seks steroid dapat memberikan efek pembentukan jaringan

prostat secara langsung atau tidak langsung melalui serangkaian jalur yang kompleks

(Roehborn et al., 2007).

3.Gejala dan Tanda

1. Gejala pada saluran kemih bagian bawah:

• Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistancy)

• Pancaran miksi yang lemah (weak stream)

• Miksi terputus (Intermittency)

• Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)

• Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder emptying).

2. Gejala pada saluran kemih bagian atas

Keluhan akibat penyulit hiperplasi prostat pada saluran kemih bagian atas berupa gejala

obstruksi antara lain nyeri pinggang, benjolan di pinggang (yang merupakan tanda dari

hidronefrosis)., atau demam yang merupakan tanda dari infeksi atau urosepsis.

3. Gejala di luar saluran kemih

Tidak jarang pasien berobat ke dokter karena mengeluh adanya hernia inguinalis atau hemoroid.

Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan

peningkatan tekanan intraabdominal.

24
Patofisiologi
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan

menghambat aliran urin. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk

dapat mengeluarkan urine, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu.

Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomi buli-buli berupa hipertrofi

otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Perubahan

struktur pada buli-buli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai keluhan pada saluran kemih

sebelah bawah atau LUTS yang dahulu dikenal dengan gejala prostatismus (Purnomo, 2012).

Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali

pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran

balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesikoureter. Keadaan ini jika

berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat

jatuh ke dalam gagal ginjal (Purnomo, 2012).

Obstruksi pada leher kandung kemih mengakibatkan berkurangnya atau tidak adanya

aliran kemih, dan ini memerlukan intervensi untuk membuka jalan keluar urin. Metode yang

mungkin adalah prostatektomi parsial, Transurethral Resection of Prostate (TURP) atau insisi

prostatektomi terbuka, untuk mengangkat jaringan periuretral hiperplasia insisi transuretral

melalui serat otot leher kandung kemih untuk memperbesar jalan keluar urin, dilatasi balon

pada prostat untuk memperbesar lumen uretra, dan terapi antiandrogen untuk membuat atrofi

kelenjar prostat (Price & Wilson, 2012).

Pada BPH terjadi rasio peningkatan komponen stroma terhadap kelenjar. Pada prostat

normal rasio stroma dibanding dengan kelanjar adalah 2:1, pada BPH, rasionya meningkat

menjadi 4:1, hal ini menyebabkan pada BPH terjadi peningkatan tonus otot polos prostat

dibandingkan dengan prostat normal. Dalam hal ini massa prostat yang menyebabkan obstruksi

25
komponen statik sedangkan tonus otot polos yang merupakan komponen dinamik sebagai

penyebab obstruksi prostat (Purnomo, 2012).

4. Faktor Risiko

Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya BPH adalah:

1. Kadar Hormon

Menurut Guess (1995) dalam Amelia (2007) kadar testosteron yang tinggi berhubungan

dengan peningkatan risiko BPH. Testosteron akan diubah menjadi androgen yang lebih

poten yaitu DHT oleh enzim 5α-reduktase, yang berperan penting dalam proses

pertumbuhan sel-sel prostat.

2. Usia

Proses penuaan akan menginduksi penghambatan proses maturasi sel sehingga

perkembangan sel-sel yang berdiferensiasi berkurang dan mengurangi tingkat kematian

sel (Roehborn et al., 2007).

3. Ras

Menurut Roehborn (2002) dalam Amelia (2007) orang dari ras kulit hitam memiliki risiko

2 kali lebih besar menderita BPH dibanding ras lain. Orang-orang Asia memiliki insidensi

BPH paling rendah.

4. Genetik

Salah satu analisis kasus-kontrol, di mana subjek penelitiannya adalah pria berusia

dibawah 64 tahun yang menjalani operasi BPH, diperkirakan lebih dari 50% pria

menderita penyakit BPH secara genetik. Penelitian lain telah menyebutkan bahwa

penyakit ini diwariskan secara autosomal dominan (Parsons, 2010).

5. Obesitas

26
Pada obesitas terjadi peningkatan kadar estrogen yang berpengaruh terhadap

pembentukan BPH melalui peningkatan sensitisasi prostat terhadap androgen dan

menghambat proses kematian sel-sel kelenjar prostat (Bain, 2006).

6. Penyakit Diabetes Mellitus

Dalam beberapa studi kohort yang berbeda yang dilakukan secara kumulatif yang

menggabungkan puluhan ribu orang menunjukkan bahwa peningkatan kadar glukosa

puasa plasma berhubungan dengan peningkatan ukuran prostat dan peningkatan risiko

pembesaran prostat klinis BPH, operasi BPH, dan LUTS (Parsons, 2010).

5. Prognosis

6. Komplikasi

Berikut pengaruh akibat BPH pada saluran kemih akan menyebabkan komplikasi

sebagai berikut:

Gambar 6. Pengaruh BPH pada saluran kemih

7. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan buli-buli yang terisi penuh dan

teraba massa di daerah simfisis akibat retensi urin. Pada DRE diperhatikan:

27
• Tonus sfingter ani/refleks bulbo-kavernosus untuk menyingkirkan adanya kelainan buli-buli

neurogenik

• Mukosa rektum

• Keadaan prostat, antara lain: kemungkinan adanya nodul, krepitasi, konsistensi prostat,

simetri antar lobus dan batas prostat.

DRE pada BPH menunjukkan konsistensi prostat kenyal seperti meraba ujung hidung,

lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul (Purnomo, 2011).

b. Laboratorium

Urinalisis dilakukan untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau

hematuria dan kreatinin serum diperiksa untuk menilai faal ginjal. Penanda tumor prostate

specific antigen (PSA) bisa diperiksa apabila dicurigai adanya kanker prostat (Presti et al,

2008).

c. Pencitraan

Pemeriksaan USG dapat dilakukan melalui trans abdominal ultrasonography

(TAUS) dan trans urethral ultrasonography (TRUS). Dari TAUS diharapkan mendapatkan

informasi mengenai perkiraan volum (besar) prostat; menghitung sisa (residu) urin paska

miksi; panjang protusi prostat ke buli-buli. Pada pemeriksaan TRUS dicari kemungkinan

adanya keganasan prostat berupa area hipoekoik dan sebagai penunjuk dalam melakukan

biopsi prostat (Purnomo, 2011).

d. Sistoskopi

Sistoskopi tidak dianjurkan untuk menentukan pengobatan tetapi dapat membantu

dalam memilih tindakan bedah pada pasien yang memilih terapi invasif (Presti et al, 2008).

e. Residual volum urin postvoid (RVP)

Residual volum urin postvoid (RVP) adalah volume urin yang tersisa di kandung

kemih setelah berkemih. RVP umumya berkisar 20-30 cc (Berges et al, 2011). Pengukuran

28
RVP dapat dilakukan secara invasif yaitu kateterisasi maupun non-invasif yaitu USG.

Teknik invasif akurat jika dilakukan dengan benar namun menimbulkan risiko seperti

cedera uretra, ISK, dan bakteremia yang bersifat sementara (Roehborn et al., 2007).

f. Uroflometri

Uflometri merupakan rekaman elektronik dari pancaran aliran urin selama berkemih. Apabila

hasil uroflometri menunjukkan pancaran aliran urin lemah, hal ini mungkin disebabkan oleh

adanya obstruksi (misalnya: hiperplasia prostat) (Roehborn et al., 2007).

29

Anda mungkin juga menyukai