SISTEM REPRODUKSI
Oleh Kelompok 3:
Dosen Pengampu:
Nofri Hendri Sandi, M. Farm, Apt
Puji dan Syukur kehadirat Allah SWT yang telah Melimpahkan Rahmat,
Berkah dan Karunia-Nya kepada kita, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “ Patofisologi Sistem Reproduksi” guna memenuhi tugas
Patofisiologi .
Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat kelemahan, baik
dari segi penulisan, tata bahasa maupun bentuk ilmiahnya. Hal ini disebabkan oleh
keterbatasan pengetahuan dan kemampuan kami. Oleh karena itu kami dengan
senang hati menerima kritik dan saran yang bermanfaat untuk kesempurnan
makalah ini.
Akhir kata kami ucapkan selamat membaca. Semoga makalah yang kami buat
ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada khususnya bagi teman-teman.
Wassalamualaikum wr, wb
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesehatan reproduksi menurut World Health Organization (WHO) adalah
kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang utuh dan bukan hanya tidak adanya penyakit atau
kelemahan, dalam segala hal yang berhubungan dengan sistem reproduksi dan fungsi fungsinya
serta proses-prosesnya.
Pada era globalisasi dan modernisasi ini telah terjadi perubahan dan kemajuan disegala
masyarakat dituntut untuk selalu menjaga kebersihan fisik dan organ atau alat tubuh. Salah satu
organ tubuh yang penting serta sensitif dan memerlukan perawatan khusus adalah alat
reproduksi. Pengetahuan dan perawatan yang baik merupakan fator penentu dalam memelihara
kesehatan reproduksi. Apabila alat reproduksi tidak dijaga kebersihannya maka akan
menyebabkan infeksi, yang pada akhirnya dapat menimbulkan penyakit (Harahap, 2003).
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sistem Reproduksi Pria
eksterna. Organ genitalia interna terdiri dari testis, epididimis, duktus deferen, funiculus
spermaticus, dan kelenjar seks tambahan. Organ genitalia eksterna terdiri dari penis, uretra, dan
skrotum.
Testis berbentuk seperti telur yang berukuran 4x3 cm yang dikelilingi oleh jaringan
ikat kolagen (tunika albuginea). Tunika albuginea akan memberikan septa ke dalam parenkim
testis dan membagi menjadi beberapa lobulus. Setiap lobulus mengandung 1-4 tubulus
seminiferus. Tubulus seminiferus merupakan tempat produksi sperma. Pada ujung tubulus
seminiferus ini terdapat tubulus rektus yang menghubungkan tubulus seminiferus dengan rete
testis. Rete testis terdapat dalam jaringan ikat mediastinum yang dihubungkan oleh 10-20
2
Testis mengandung banyak tubulus seminiferus. Tubulus seminiferus tersebut terdiri
atas deretan sel epitel yang akan mengadakan pembelahan mitosis dan meiosis sehingga
menjadi sperma. Sel-sel yang terdapat di antara tubulus seminiferus disebut interstitial (leydig).
Sel ini menghasilkan hormon seks pria yang disebut testosteron (Syahrum, 1994).
Tubulus seminiferus, bagian utama dari massa testis yang bertanggung jawab terhadap
produksi sekitar 30 juta spermatozoa per hari selama masa produksi. Sel ini terdiri dari
Sel leydig (sel interstisial), menyusun komponen endokrin utama yang bertanggung
Sel sertoli
terdiri dari caput, corpus, dan cauda. Di dalam epididimis, spermatozoa akan matang sehingga
menjadi mortil dan fertil. Setelah melalui epididimis yang merupakan tempat penyimpanan
sperma sementara, sperma akan menuju duktus deferen (Heffner & Schust,2006).
3
Duktus deferen/vas deferen adalah suatu saluran lurus berdinding tebal yang akan
menuju uretra pars prostatika. Duktus deferen bersama pembuluh darah dan saraf, dalam
selubung jaringan ikat disebut funiculus spermaticus yang akan melalui kanalis inguinalis.
Kelenjar seks tambahan terdiri dari sepasang vesikula seminalis, prostat, dan sepasang
kelenjar bulbouretral. Vesikula seminalis terletak di bagian dorsal vesika urinaria dan
menghasilkan sekitar 60% dari volume cairan semen. Sekresi dari vesikula seminalis
sebagai sumber energi primer untuk sperma, sedangkan prostaglandin memiliki fungsi
merangsang kontraksi otot polos sehingga memudahkan transfer sperma Saluran dari masing-
masing vesikula seminalis bergabung dengan duktus deferens pada sisi yang sama untuk
membentuk duktus ejakulatorius. Dengan demikian, sperma dan cairan semen masuk
uretra bersama selama ejakulasi. Kelenjar prostat terletak di bawah dasar vesika urinaria.
Kelenjar prostat mengeluarkan cairan basa yang menetralkan sekresi vagina yang asam, enzim
pembekuan, dan fibrinolisin. Kelenjar bulbouretral terletak di dalam otot perineal dan
yaitu dua corpora cavernosa yang dipisahkan oleh septum dan terletak di dorsal serta satu
corpus spongiosum yang mengelilingi uretra dan terletak di ventral. Glans penis adalah
ujung terminal dari corpus spongiosum yang membesar dan menutupi ujung bebas kedua
corpora cavernosa penis. Preputium adalah lipatan kulit yang retraktil pada glans penis yang
4
2) Uretra
Uretra terdiri dari 3 bagian yaitu uretra prostatika, uretra membranosa, dan uretra
spongiosa.
3) Skrotum
Skrotum adalah kantung kulit yang menggantung di luar rongga perut, antara kaki dan
dorsal penis. Terdiri dari 2 kantung yang masing-masing diisi oleh testis, epididimis, dan
bagian caudal funiculus spermaticus. Dalam kondisi normal, suhu skrotum 3°C lebih rendah
2.1.2 Spermatogenesis
Testis terdiri atas sekitar 250 m (800 kaki) tubulus seminifirus penghasil sperma. Di
tubulus seminiferus terdapat dua jenis sel, yaitu sel germinativum dan sel sertoli. Sel
germinativum sebagian besar berada dalam berbagai tahap pembentukan sperma. Sel sertoli
berproliferasi dan diubah menjadi spermatozoa yang sangat khusus dan mudah bergerak,
a. Proliferasi mitotik
Spermatogonia yang berada di lapisan terluar tubulus terus menerus bermitosis, dengan
semua sel anak mengandung komplemen lengkap 46 kromosom identik dengan sel induk.
Proliferasi ini menghasilkan pasokan sel germinativum baru yang terus-menerus. Setelah
pembelahan mitotik sebuah spermatogonium, salah satu sel anak tetap di tepi luar tubulus
5
terpelihara. Sel anak yang lain mulai bergerak ke arah lumen sembari menjalani berbagai tahap
yang dibutuhkan untuk membentuk sperma, yang kemudian akan dibebaskan ke dalam lumen.
Pada manusia, sel anak penghasil sperma membelah secara mitosis dua kali lagi untuk
spermatosit primer masuk ke fase istirahat saat kromosom-kromosom terduplikasi dan untaian-
untaian rangkap tersebut tetap menyatu sebagai persiapan untuk pembelahan meiotik pertama.
b. Meiosis
rangkap) membentuk dua spermatosit sekunder (masing- masing dengan jumlah haploid 23
Setelah tahap spermatogenesis ini tidak terjadi lagi pembelahan lebih lanjut. Setiap
secara mitosis menghasilkan empat spermatosit primer dan setiap spermatosit primer
16 spermatozoa setiap kali spermatogonium memulai proses ini. Namun, biasanya sebagian
sel lenyap di berbagai tahap sehingga defisiensi produksi jarang setinggi ini.
c. Pengemasan
Spermatid setelah meiosis masih memiliki struktur mirip spermatogonia yang belum
spermatozoa yang sangat khusus dan bergerak dari spermatid memerlukan proses remodelling,
atau pengemasan ekstensif elemen-elemen sel, suatu proses yang dikenal sebagai
spermiogenesis.
Spermatozoa memiliki empat bagian: kepala, akrosom, bagian tengah, dan ekor.
Kepala terdiri atas nukleus, yang mengandung informasi genetik sperma. Akrosom, vesikel
6
berisi enzim yang menutupi ujung kepala, digunakan sebagai “bor enzim” untuk menembus
ovum. Akrosom dibentuk oleh agregasi vesikel-vesikel yang diproduksi oleh kompleks
dihasilkan oleh suatu ekor panjang mirip cambuk yang digerakkan oleh energi yang dihasilkan
berhubungan seksual dengan frekuensi yang normal tanpa kontrasepsi. Menurut World Health
Organization (WHO) tahun 2009 menyebutkan definisi infertilitas secara klinis bahwa
7
infertilitas merupakan suatu penyakit sistem reproduksi yang ditetapkan dengan adanya
kegagalan mencapai kehamilan klinis setelah 12 bulan atau lebih melakukan hubungan seksual
Secara garis besar infertilitas dapat dibagi dua yaitu ( Al-Haija, 2011) :
1. Infertilitas primer: merupakan suatu keadaan dimana pria (suami) tidak pernah
menghamili wanita (istri) meskipun telah melakukan hubungan seksual secara teratur selama
menghamili wanita (istri) tetapi kemudian tidak mampu menghamili lagi wanita (istri)
meskipun telah melakukan hubungan seksual secara teratur selama >12 bulan secara teratur
tanpa kontrasepsi.
Jumlah sperma yang sedikit atau tidak sesuai standar yang di syaratkan oleh WHO
3. Etiologi
hipotalamus – pituitari (hipogonadisme sekunder). Faktor penyebab yang tidak diketahui ini
8
mungkin disebabkan oleh beberapa faktor seperti stress yang kronis, gaguan endokrin yang
diakibatkan oleh polusi lingkungan, reactive oxygen species dan abnormalitas genetik.
Menurut Tanagho dan Jack dalam buku Smith’s General Urology bahwa faktor
penyebab yang mendasari infertilitas pria itu dibagi dalam 3 yaitu faktor pre- testikular,
1) Faktor Pre-testikular
Faktor pre-testikular yaitu faktor yang berasal dari kondisi – kondisi di luar testis dan
menyebabkan tidak adanya sekresi hormonal yang berperan penting dalam spermatogenesis
2) Faktor Testikular
kromosom X, testis tidak berfungsi dengan baik, sehingga spermatogenesis tidak terjadi.
c) Gonadotoksin
e) Penyakit sistemik (gagal ginjal, gagal hati dan anemia sel sabit)
9
f) Tumor
h) Idiopatik
3) Faktor Post-testikular
Faktor post-testikular merupakan kelainan pada jalur reproduksi termasuk epididymis, vas
b) Gangguan fungsi sperma atau motilitas: sindrom immotile silia, defek maturasi,
4. Faktor Risiko
1) Usia
Seiring bertambahnya waktu, level testosteron darah akan semakin menurun dan
risiko infertil pun menjadi dua kali lipat pada usia lebih dari 35 tahun dibandingkan
dengan pria dengan usia di bawah 25 tahun. Risiko ini pun menjadi lima kali lipat pada
2) Obesitas
Disregulasi endokrin pada orang dengan obesitas dapat meningkatkan faktor risiko
infertilitas.
3) Alkohol
Konsumsi alkohol akan merusak aksis HPT dan berpengaruh pada proses
10
4) Paparan dalam pekerjaan
terhadap fisik dan bahan kimianya yang dihubungkan dengan peningkatan resiko
infertilitas pria. Paparan senyawa organik saat bekerja dapat menurunkan jumlah sperma
yang motil, sejumlah senyawa yang digunakan industri yang dapat menyebabkan efek
samping pada sistem reproduksi pria yaitu karbon disulfida yang mempengaruhi kualitas
semen. Riwayat terpapar glycol ether pada lingkungan kerja juga dapat menurunkan
kualitas semen. Demikian juga halnya pada pekerja di bidang pertanian atau pabrik
Paparan pada Ethylene Di-Bromide (EDB) juga menurunkan jumlah sperma dan
(DDT) yang merupakan salah satu tipe pestisida juga dapat menurunkan fertilitas dan
5) Olahraga
Olahraga berat dengan jangka panjang dapat mempengaruhi kualitas parameter semen
6) Merokok
Paparan laptop jangka panjang dapat meningkatkan suhu skrotum dan berdampak
negatif pada parameter sperma. Paparan gelombang elektromagnetik dari telepon seluler
dapat menurunkan jumlah dan motilitas sperma serta meningkatkan stress oksidatif
sperma.
8) Stres
11
Hubungan antara stres dengan infertilitas juga diperhitungkan. Pria di bawah tekanan
stres pada hasil pemeriksaan analisa semen menunjukkan terjadi penurunan yang
signifikan pada parameter sperma (Al-Haija, 2011). Hal ini dikaitkan dengan
akhirnya berpengaruh pada jumlah, motilitas, dan morfologi sperma (Carrell ed.,
2013).
5. Prognosis
6. Komplikasi
Langkah yang paling penting dalam mendiagnosis pria infertil adalah melalui
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik. Anamnesis mengenai riwayat infertilitas
(durasi, kehamilan sebelumnya, evaluasi dan pengobatan fertilitas sebelumnya). Riwayat
seksual juga sangat penting ditanyakan seperti fungsi ereksi, frekuensi dan waktu melakukan
hubungan seksual dengan pasangannya. Riwayat intervensi medis sebelumnya juga tak kalah
penting ditanyakan karena hal tersebut berkontribusi dalam penegakan diagnosis dari
seperempat kasus infertilitas
Pemeriksaan genitalia dimulai dengan pemeriksaan yang cermat, seperti
pemeriksaan isi skrotum yang merupakan bagian yang paling kritis dalam pemeriksaan ini.
Palpasi permukaan testis harus benar-benar dilakukan dengan hati-hati untuk menilai
konsistensi dan ada atau tidaknya massa dalam testis untuk menyingkirkan diagnosis
infertilitas akibat karsinoma testikular. Ukuran testis juga merupakan hal yang potensial
diperiksa dalam kasus infertilitas. Ukuran testis normal adalah 4 x 3 cm atau volumenya 20
mL. Palpasi epididimis, korda spermatika penting dilakukan untuk menentukan apakah
terdapat peradangan atau kelainan lain seperti varikokel yang juga merupakan salah satu
bagian dari etiologi infertilitas pada pria. Pemeriksaan rektal juga sebaiknya dilakukan, untuk
mengevaluasi prostat, apakah terdapat peradangan ataupun kista yang dapat menyumbat
duktus ejakulatorius (Wein et al., 2012).
Setelah melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik maka perlu dilakukan evaluasi
lebih lanjut dalam menegakkan diagnosis infertilitas pada pria melalui pemeriksaan analisis
semen. Analisis semen merupakan prediktor yang sangat penting dalam menentukan fertilitas
12
pria. Analisis semen berguna untuk mengevaluasi variasi dari parameter termasuk
karakteristik spermatozoa, plasma semen dan sel non-sperma (Wein et al., 2012).
Analisa karakteristik semen dapat diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu (Wein
et al., 2012):
1. Pemeriksaan makroskopik:
Terdapat lima hal yang diukur pada pemeriksaan makroskopik ini, yaitu pH,
koagulasi/pengenceran, warna, viskositas dan volume semen. Semen normal manusia
berwarna agak putih hingga kuning keabu-abuan. Bila terkontaminasi dengan urin, maka
semen berwarna kuning. Semen juga dapat berwarna merah muda pada pasien dengan
perdarahan uretra dan kekuning-kuningan pada pasien jaundice. Keadaan fisik semen yang
baru diejakulasi adalah kental. Tapi sekitar 20 menit kemudian akan mengalami
pengenceran, disebut likuifaksi oleh fibrinolisin enzim proteolitik yang disekresikan oleh
prostat. Jika pengenceran tidak wajar berarti ada ketidakberesan pada kelenjar itu.
Pengukuran pH merupakan komponen standar dalam analisis semen yang ditentukan oleh
sekresi vesika seminalis dan prostat. pH normal adalah sekitar 7,2 hingga 8,0. Karena sekresi
vesika seminalis bersifat alkali, pH asam mengindikasikan terdapat hipoplasia vesika
seminalis yang biasa ditemui pada pasien azoospermia.
13
2. Pemeriksaan Mikroskopik
a. Aglutinasi sperma:
Pemeriksaan ini dimulai dengan hapusan tebal dengan meletakkan semen pada slide
yang ditutup oleh cover slip dan diamati pada pembesaran 1000x. Melalui metode ini, aglutinasi
sperma, keberadaan sperma dan motilitas subjektif sperma dapat diamati. Dalam keadaan
normal tidak ditemukan adanya aglutinasi dan jumlah leukosit ≤ 1 juta/mL serta tidak
ditemukan adanya immature germ cell. Adanya adhesi sperma ke elemen non spema
Pemeriksaan ini dilakukan setelah terjadi pengenceran cairan semen. Jumlah sperma
normal ≥ 20 juta sperma per mL. Bila jumlahnya < 20 juta sperma/mL maka disebut sebagai
oligospermia. Azoospermia (ketiadaan sperma) dapat disebabkan karena adanya gangguan saat
menetapkan batas toleransi jumlah sperma terendah yang masih dikatakan normal adalah ≥
c. Motilitas:
• Progressive motility (PR): Spermatozoa bergerak bebas, baik lurus maupun lingkaran besar,
14
• Non-progressive motility (NP): semua jenis spermatozoa yang tidak memiliki kriteria
progresif, seperti berenang dalam lingakran kecil, ekor/ flagel yang sulit menggerakkan kepala,
• Immotility (IM): tidak bergerak sama sekali Yang dikatakan memiliki nilai motilitas normal
yaitu Progressive motility (PR) ≥ 32% atau PR + NP ≥ 40%. Disebut asthenospermia (motilitas
yang tidak sesuai dengan kriteria WHO) dapat disebabkan oleh antibodi antisperma (15%),
periode abstinensi yang panjang, infeksi traktus genitalia obstruksi duktus parsial, dan
varikokel. Hal ini dapat menurunkan motilitas sperma dalam penetrasi ke mukosa servikal.
2.1.3.2 Impotensi
1. Definisi
Disfungsi ereksi atau impotensi adalah sebuah masalah umum di kalangan pria yang
ditandai oleh ketidakmampuan yang konsisten untuk mempertahankan ereksi yang cukup
untuk melakukan hubungan seksual atau ketidakmampuan untuk mencapai ejakulasi, atau
keduanya. Impotensi dapat bervariasi dari ketidakmampuan total untuk mencapai ereksi atau
ejakulasi, kemampuan yang tidak konsisten untuk melakukannya, atau kecenderungan untuk
mencapai atau mempertahankan fungsi ereksi untuk aktivitas seksual yang memuaskan.
Batasan tersebut menunjukkan bahwa proses fungsi seksual laki-laki mempunyai dua
komponen yaitu mencapai keadaan ereksi dan mempertahankannya (Samekto Wibowo dan
15
Penderita tidak mampu memulai dan mempertahankan ereksi
3. Etiologi
Inflamasi Prostatitis
4. Faktor risiko Kelainan pada saraf perifer: Diabetes mellitus dan defisiensi
vitamin.
Terdapat berbagai faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya DE. Usia menjadi salah
satu faktor risiko yang penting. Shamloul dan Ghanem (2013), melaporkan bahwa DE dibagi
menjadi psikogenik, organik (seperti neurogenik, hormonal, arterial, kavernosal atau obat-
obatan), atau campuran antara psikogenik dan organik. DE biasanya merupakan campuran
antara psikogenik dan organik. Terdapat juga literatur yang menyebutkan adanya factor
16
1. Usia
Usia menjadi salah satu faktor risiko terjadinya disfungsi ereksi. Usia mempengaruhi
2. Psikogenik
Faktor psikologis seperti stres, depresi, schizofrenia, dan berkurangnya gairah seksual
mempengaruhi sulitnya mengalami ereksi (Lasker dkk, 2010). Untuk saat ini, Disfungsi ereksi
mempercepat, dan memelihara disfungsi ereksi itu sendiri. Faktor-faktor tersebut antara lain
faktor predisposisi seperti pengalaman traumatik masa lalu, edukasi seks yang tidak adekuat,
masalah kesehatan mental dan fisik atau faktor presipitasi seperti masalah relasi, tekanan dalam
3. Neurogenik
antara lain multi sklerosis, epilepsi lobus temporalis, penyakit Parkinson, stroke, penyakit
ereksi neurogenik berkaitan dengan kegagalan inisiasi ereksi. Hal ini berhubungan dengan
berbagai kelainan neurologis seperti disebutkan sebelumnya, yang secara garis besar dibagi
dalam kategori rusaknya bagian saraf sentral, perifer ataupun keduanya (Shridharani, 2016).
4. Endokrinogenik (Testosteron)
mempertahankan ereksi saat tidur secara adekuat, namun memiliki efek yang terbatas untuk
17
5. Vaskulogenik
Faktor risiko yang sering berkaitan dengan insufisiensi arteri pada penis, termasuk
Disfungsi endotel merupakan hal yang paling sering menjadi faktor risiko vaskuler yang dapat
mengarahkan kepada DE arteriogenik. DE akan bertambah baik jika konsentrasi lemak total
diabetes, hipertensi, dislipidemia, obesitas, dan merokok merupakan faktor risiko untuk
Diabetes. Gula darah dalam tubuh yang tidak terkontrol dapat merusak sel-sel saraf dan
pembuluh darah. Kerusakan ini diakibatkan adanya stress oxidative pada endotel akibat
tingginya gula darah. Endotel dalam keadaan normal bisa menghasilkan nitric oxide (NO) yang
berguna untuk melebarkan pembuluh darah termasuk pembuluh darah di penis. Dalam keadaan
rusaknya pembuluh darah, nitric oxide (NO) tidak dihasilkan sehingga pembuluh darah penis
sulit melebar sehingga aliran darah ke organ erektil berkurang sehingga terjadilah disfungsi
ereksi.
dan dapat mengakibatkan penyakit yang lebih serius seperti penyakit jantung dan stroke.
Pengobatan Obat hipertensi seperti beta blockers dan diuretik bekerja dengan cara mengurangi
dan mempertahankan tekanan darah tetap rendah ketika darah mengalir ke penis. Hal ini pada
akhirnya akan menghambat aliran darah ke penis, dan akibatnya pasien hipertensi sering
ereksi
Obesitas. Disfungsi ereksi pada pria obesitas disebabkan karena adanya kerusakan pada
lapisan pembuluh darah, dalam hal ini endothelium, sehingga fungsinya untuk menghasilkan
oksida nitrat yang berperan dalam proses ereksi menjadi terganggu. Adiponektin yang
18
berpengaruh terhadap disfungsi endotel, dikenal sebagai agen anti inflamasi dan berfungsi
melawan atherosclerosis dan telah dteliti bahwa kadarnya berkurang pada individu dengan
obesitas. Pada dasarnya, gangguan ereksi yang terjadi pada individu tidak hanya berasal dari
satu sumber. Sebagian besar kasus memiliki efek psikologis dari berbagai tingkatan, dan
8. Prognosis
9. Komplikasi
maupun riwayat sosial dari pasien, pemeriksa juga harus melakukan beberapa pemeriksaan
terhadap pasien. Hal ini bertujuan selain untuk memastikan diagnosis pasien, tetapi juga dapat
memastikan tingkat keparahan dari disfungsi ereksi yang dialami pasien dan jenis terapi yang
Evaluasi terhadap pasien yang mengeluh disfungsi ereksi meliputi evaluasi riwayat
seksual, evaluasi medik, dan evaluasi psikologik. Tujuan evaluasi ini adalah menentukan
apakah pasien memang menderita disfungsi ereksi atau disfungsi seksual yang lain (penurunan
libido, ejakulasi dini, ejakulasi retrograde, tidak menikmati orgasmus (anorgasmus), dll.
psikogenik dan organik. Disfungsi ereksi yang disebabkan oleh faktor psikogen biasanya
cerai/ditinggal istri atau pasangannya, keluar dari pekerjaan, atau oleh tekanan kejiwaan.
2) Situasional yaitu disfungsi timbul bila hendak melakukan aktivitas seksual dengan
wanita tertentu, tetapi ereksi timbul kembali jika hendak berhubungan dengan wanita lain.
19
Tidak jarang pasien masih dapat merasakan ereksi yang maksimal dengan masturbasi, atau
membayangkan/menonton film porno, tetapi penis kembali lemas pada saat akan melakukan
senggama.
3) Ereksi nocturnal atau ereksi yang timbul pada saat bangun pagi masih cukup kuat,
tetapi pada siang hari, ereksi menurun atau bahkan tidak bisa ereksi sama sekali.
bersalah, tekanan, atau norma-norma agama. Disfungsi ereksi yang disebabkan oleh kelainan
Untuk mencari adanya faktor neurologi yang menjadi penyebab disfungsi ereksi
ditanyakan apakah menderita kencing manis, peminum alkohol, atau pernah mengalami cedera
tulang belakang. Adanya gangguan buang air besar atau buang air kecil mungkin disebabkan
oleh karena kelainan saraf. Pemeriksaan neurologi meliputi pemeriksaan sensitifitas pada
Pada pasien yang menderita kelainan hormonal, lebih banyak mengeluh terjadinya
penurunan libido daripada mengeluh penurunan ketegangan penis. Pada disfungsi ereksi yang
gonad. Diperhatikan apakah ada atrofi testis, mikropenis, pertumbuhan rambut di badan yang
menderita kelainan vaskuler antara lain kludikasio intermitten atau pernah menjalani operasi
bypass koroner. Operasi radikal prostatektomi, reseksi abdomino-perineal atau cedera tulang
pelvis dapat merusak pembuluh darah yang memberikan vaskularisasi ke penis, sehingga
terjadi disfungsi ereksi. Pada pemeriksaan fisik diperhatikan denyut nadi pada arteri karotis,
20
2.1.3.3 Benign Prostate Hiperplasia (BPH)
1. Definisi
BPH adalah gangguan yang makroskopiknya ditandai dengan pembesaran dari
kelenjar prostat dan histologisnya disebabkan oleh hiperplasia stroma yang progresif dan
hiperplasia kelenjar prostat. Jaringan prostat yang terus berkembang ini pada akhirnya dapat
mengakibatkan penyempitan dari pembukaan uretra. Akibatnya, klinis BPH sering dikaitkan
dengan lower urinary tract symptoms (LUTS). Bahkan, BPH merupakan penyebab utama
Benign Prostate Hyperplasia adalah nama yang biasa digunakan untuk kelainan jinak
umum dari prostat, ketika meluas, mengakibatkan berbagai tingkat obstruksi saluran kemih,
kelenjar yang disebabkan oleh hiperplasia dari kedua kelenjar dan komponen stromanya.
Gambar 4. Prostat normal dan BPH. TZ (Transitional Zone) dan PZ (Peripheral Zone)
gangguan miksi yang disebut WHO Prostate Symptom Score (PSS). Derajat ringan: skor
0−7, sedang: skor 8−19, dan berat: skor 20−35 (Sjamsuhidajat dkk, 2012). Selain itu, ada
21
Tabel . Derajat penyakit BPH (Sumber: Sjamsuhidajat dkk, 2012).
Derajat Colok Dubur Sisa Volume Urin
I Penonjolan prostat, batas atas <50 mL
mudah diraba
II Penonjolan prostat jelas, batas 50−100 mL
atas dapat dicapai
III Batas atas prostat tidak dapat >100 mL
Diraba
IV - Retensi urin total
2. Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya BPH,
tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat kaitannya dengan peningkatan
kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Beberapa hipotesis yang diduga
DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada pertumbuhan sel-sel
kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron di dalam sel prostat oleh enzim 5alfa-reduktase
dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah terbentuk berikatan dengan reseptor
androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi sintesis
protein growht factor yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat (Purnomo, 2011).
22
b. Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron
Pada pria dengan usia yang semakin tua, kadar estrogen dalam serum relatif
meningkat dibandingkan kadar testosteron. Pasien dengan BPH cenderung memiliki kadar
estradiol yang lebih tinggi dalam sirkulasi perifer. Dalam the Olmsted County cohort, tingkat
estradiol serum berkorelasi positif dengan volum prostat. Estrogen di dalam prostat berperan
pada proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas sel-sel prostat
c. Interaksi stroma-epitel
molekuler pada perkembangan prostat normal dan neoplastik. Proses peningkatan usia
menyebabkan akumulasi bertahap dari massa prostat. Sebuah studi yang dilakukan oleh
Cunha et al. menunjukkan bahwa sel stroma memiliki kemampuan untuk memodulasi
diferensiasi sel epitel prostat normal. Penelitian lain juga telah menunjukkan bahwa faktor
pertumbuhan yang dihasilkan oleh sel epitel dan stroma dapat meregulasisel-sel prostat
baru. Penyimpangan dari faktor pertumbuhan peptida atau reseptornya dapat langsung
Homeostasis pada kelenjar yang normal terjadi karena adanya keseimbangan antara
inhibitor pertumbuhan dan mitogens, yang masing- masing menghambat atau menginduksi
proliferasi sel tetapi juga mencegah atau memodulasi kematian sel (apoptosis). Pada pasien
BPH, terjadi pertumbuhan abnormal (hiperplasia) pada prostat yang mungkin disebabkan
oleh faktor pertumbuhan lokal atau reseptor faktor pertumbuhan yang abnormal, yang
23
menyebabkan meningkatnya proliferasi atau menurunnya kematian sel (apoptosis)
Ukuran prostat dapat menggambarkan adanya jumlah absolut sel stem pada kelenjar
prostat. Lonjakan hormon androgen postnatal akan membentuk jaringan prostat sehingga
prostat pada dewasa, hormon seks steroid dapat memberikan efek pembentukan jaringan
prostat secara langsung atau tidak langsung melalui serangkaian jalur yang kompleks
Keluhan akibat penyulit hiperplasi prostat pada saluran kemih bagian atas berupa gejala
obstruksi antara lain nyeri pinggang, benjolan di pinggang (yang merupakan tanda dari
hidronefrosis)., atau demam yang merupakan tanda dari infeksi atau urosepsis.
Tidak jarang pasien berobat ke dokter karena mengeluh adanya hernia inguinalis atau hemoroid.
Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan
24
Patofisiologi
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan
menghambat aliran urin. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk
dapat mengeluarkan urine, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu.
Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomi buli-buli berupa hipertrofi
otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Perubahan
struktur pada buli-buli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai keluhan pada saluran kemih
sebelah bawah atau LUTS yang dahulu dikenal dengan gejala prostatismus (Purnomo, 2012).
Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali
pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran
balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesikoureter. Keadaan ini jika
Obstruksi pada leher kandung kemih mengakibatkan berkurangnya atau tidak adanya
aliran kemih, dan ini memerlukan intervensi untuk membuka jalan keluar urin. Metode yang
mungkin adalah prostatektomi parsial, Transurethral Resection of Prostate (TURP) atau insisi
melalui serat otot leher kandung kemih untuk memperbesar jalan keluar urin, dilatasi balon
pada prostat untuk memperbesar lumen uretra, dan terapi antiandrogen untuk membuat atrofi
Pada BPH terjadi rasio peningkatan komponen stroma terhadap kelenjar. Pada prostat
normal rasio stroma dibanding dengan kelanjar adalah 2:1, pada BPH, rasionya meningkat
menjadi 4:1, hal ini menyebabkan pada BPH terjadi peningkatan tonus otot polos prostat
dibandingkan dengan prostat normal. Dalam hal ini massa prostat yang menyebabkan obstruksi
25
komponen statik sedangkan tonus otot polos yang merupakan komponen dinamik sebagai
4. Faktor Risiko
1. Kadar Hormon
Menurut Guess (1995) dalam Amelia (2007) kadar testosteron yang tinggi berhubungan
dengan peningkatan risiko BPH. Testosteron akan diubah menjadi androgen yang lebih
poten yaitu DHT oleh enzim 5α-reduktase, yang berperan penting dalam proses
2. Usia
3. Ras
Menurut Roehborn (2002) dalam Amelia (2007) orang dari ras kulit hitam memiliki risiko
2 kali lebih besar menderita BPH dibanding ras lain. Orang-orang Asia memiliki insidensi
4. Genetik
Salah satu analisis kasus-kontrol, di mana subjek penelitiannya adalah pria berusia
dibawah 64 tahun yang menjalani operasi BPH, diperkirakan lebih dari 50% pria
menderita penyakit BPH secara genetik. Penelitian lain telah menyebutkan bahwa
5. Obesitas
26
Pada obesitas terjadi peningkatan kadar estrogen yang berpengaruh terhadap
Dalam beberapa studi kohort yang berbeda yang dilakukan secara kumulatif yang
puasa plasma berhubungan dengan peningkatan ukuran prostat dan peningkatan risiko
pembesaran prostat klinis BPH, operasi BPH, dan LUTS (Parsons, 2010).
5. Prognosis
6. Komplikasi
Berikut pengaruh akibat BPH pada saluran kemih akan menyebabkan komplikasi
sebagai berikut:
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan buli-buli yang terisi penuh dan
teraba massa di daerah simfisis akibat retensi urin. Pada DRE diperhatikan:
27
• Tonus sfingter ani/refleks bulbo-kavernosus untuk menyingkirkan adanya kelainan buli-buli
neurogenik
• Mukosa rektum
• Keadaan prostat, antara lain: kemungkinan adanya nodul, krepitasi, konsistensi prostat,
DRE pada BPH menunjukkan konsistensi prostat kenyal seperti meraba ujung hidung,
lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul (Purnomo, 2011).
b. Laboratorium
hematuria dan kreatinin serum diperiksa untuk menilai faal ginjal. Penanda tumor prostate
specific antigen (PSA) bisa diperiksa apabila dicurigai adanya kanker prostat (Presti et al,
2008).
c. Pencitraan
(TAUS) dan trans urethral ultrasonography (TRUS). Dari TAUS diharapkan mendapatkan
informasi mengenai perkiraan volum (besar) prostat; menghitung sisa (residu) urin paska
miksi; panjang protusi prostat ke buli-buli. Pada pemeriksaan TRUS dicari kemungkinan
adanya keganasan prostat berupa area hipoekoik dan sebagai penunjuk dalam melakukan
d. Sistoskopi
dalam memilih tindakan bedah pada pasien yang memilih terapi invasif (Presti et al, 2008).
Residual volum urin postvoid (RVP) adalah volume urin yang tersisa di kandung
kemih setelah berkemih. RVP umumya berkisar 20-30 cc (Berges et al, 2011). Pengukuran
28
RVP dapat dilakukan secara invasif yaitu kateterisasi maupun non-invasif yaitu USG.
Teknik invasif akurat jika dilakukan dengan benar namun menimbulkan risiko seperti
cedera uretra, ISK, dan bakteremia yang bersifat sementara (Roehborn et al., 2007).
f. Uroflometri
Uflometri merupakan rekaman elektronik dari pancaran aliran urin selama berkemih. Apabila
hasil uroflometri menunjukkan pancaran aliran urin lemah, hal ini mungkin disebabkan oleh
29