Anda di halaman 1dari 45

LAPORAN PRATIKUM

FARMAKOGNOSI II DAN FITOTERAPI

KELOMPOK 6 (S1 III B)


ANGGOTA:
Fikri Maulana 1401018
Indah Septia 1701066
M. Saleh Budi 1701069
Margaretta Febiola 1701070
Maya Helmita Mahdar 1701071
Sya’bani Uswatun Hasanah 1801135

DOSEN PENGAMPU :
Dr. Emrizal, M.Si., Apt

ASISTEN DOSEN :

Afni
Nur Fitria Rohmatul Ummah, S.Farm
Rahayu Sartini, S.Farm

PROGRAM STUDI SI FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU
YAYASAN UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga laporan Pratikum
Farmakognosi II dan Fitoterapi dapat terselesaikan tepat pada waktunya.

Laporan pratikum ini disusun untuk mnyelesaikan tugas pratikum


Farmakognosi II dan Fitoterapi. Laporan ini disusun dengan sebaik-baiknya dari
berbagai sumber yang relevan. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih
kepada Bapak Dr. Emrizal, M.Si., Apt selaku dosen pembimbing yang telah
membimbing penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan
bantuan hingga terselesaikannya makalah ini.

Laporan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi pembaca. Penulis


menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini belum sempurna dan masih
banyak kekurangan, oleh karena itu kritik, saran, dan komentar yang bersifat
membangun sangat penulis harapkan untuk meningkatkan kualitas makalah ini.

Akhir kata semoga laporan ini dapat memberikan manfaat bagi kita
sekalian.

Pekanbaru, Desember 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2 Tujuan Praktikum .......................................................................................... 3
1.3 Manfaat Praktikum ........................................................................................ 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 4
2.1 Simplisia ........................................................................................................ 4
2.1.1 Definisi dan Penggolongan Simplisia ..................................................... 4
2.2 Faktor-faktor Penentu Kualitas Simplisia .................................................. 5
2.1.3 Parameter Standarisasi Mutu Simplisia .................................................. 8
2.1.4 Kencur ................................................................................................... 12
2.2 Obat Tradisional ......................................................................................... 14
2.2.1 Definisi Obat Tradisional...................................................................... 14
2.2.2 Penggolongan Obat Tradisional............................................................ 15
2.2.3 Mastin ................................................................................................... 20
BAB III METODOLOGI ................................................................................... 22
3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Praktikum ................................................ 22
3.2 Bahan dan Alat ............................................................................................ 22
3.3 Prosedur kerja .............................................................................................. 23
3.3.1 Rimpang kencur (Kaempheria galangar rhizoma)............................... 23
3.3.2Obat Tradisional Golongan Obat Herbal Terstandar Mastin ................. 25
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 27
4.1 HASIL ......................................................................................................... 27
4.1.1 Rimpang kencur (Kaempferia galanga ) ............................................... 27
4.1.2 Fitofarmaka Mastin ............................................................................... 31
4.2 PEMBAHASAN ......................................................................................... 35
BAB V KESIMPULAN ....................................................................................... 40
5.1 Kesimpulan .................................................................................................. 40
5.2 Saran ............................................................................................................ 40

ii
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 41

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki kekayaan hayati terbesar
kedua setelah Brazil, dan mempunyai banyak tumbuhan berkhasiat obat. Sejak
zaman dahulu masyarakat Indonesia telah mengenal dan menggunakan tanaman
sebagai obat. Kemampuan meracik tumbuhan berkhasiat obat biasanya di dapat
berdasarkan pengalaman yang diwariskan secara turun-temurun. Umumnya obat
tradisional digunakan dengan cara direbus, dimakan langsung, ataupun diperas
untuk diambil sarinya. Pemanfaatan bahan alam sebagai obat cenderung mengalami
peningkatan dengan adanya kesadaran untuk kembali ke alam (back to nature)
untuk mencapai kesehatan yang optimal. Keuntungan penggunaan tanaman sebagai
obat tradisional antara lain relatif lebih aman, mudah diperoleh, tidak menimbulkan
resistensi,dan relatif tidak berbahaya terhadap lingkungan sekitarnya. Obat
tradisional memiliki efek samping yang jauh lebih rendah tingkat bahayanya
dibandingkan obat-obatan modern, sehingga tubuh manusia relatif lebih mudah
menerimanya. Tanaman yang digunakan sebagai obat tradisional bisa berupa buah,
sayur mayur, bumbu dapur, tanaman hias dan bahkan tanaman liar yang tumbuh di
sembarang tempat.
Indonesia kaya akan sumber bahan obat tradisional yang telah digunakan oleh
sebagian besar rakyat Indonesia secara turun temurun. Keuntungan penggunaan
obat tradisional adalah antara lain karena bahan bakunya mudah diperoleh dan
harganya murah. Delapan puluh persen penduduk Indonesia hidup di pedesaan, di
antaranya sukar dijangkau oleh obat modern dan tenaga medis karena masalah
distribusi, komunikasi dan transportasi disamping itu daya beli yang relatif rendah
menyebabkan masyarakat pedesaan kurang mampu mengeluarkan biaya untuk
pengobatan modern, sehingga masyarakat cenderung memilih pengobatan secara
tradisional. Obat tradisional mempunyai makna yang sangat penting karena di
samping ketidakmampuan masyarakat untuk memperoleh obat-obat modern, juga
karena obat tradisional adalah obat bebas yang dapat diperoleh tanpa resep dokter
(Pudjarwoto et al, 1992).

1
Menurut Ratna et al (1994) di Indonesia, tanaman obat terdapat dalam jumlah
berlimpah baik jumlah maupun jenisnya. Kemampuan antimikroba minyak
essensial tanaman obat dan rempah seringkali lebih tinggi dibandingkan bahan
pengawet kimia Selain itu, satu ekstrak tanaman dapat mengandung satu macam
atau lebih senyawa antimikroba. Komponen aktif yang berperan sebagai obat
adalah zat-zat kimia yang terkandung di dalam ramuan obat tersebut. Secara
kemoterapi, komponen-komponen tersebut antara lain dapat berperan sebagai
absorben, astringen, spasmolitik, anti bakteri, suportif dan sebagainya (Pudjarwoto
et al, 1992).
Salah satu tanaman obat yang berkhasiat sebagai obat tradisional yang sering
digunakan oleh masyarakat adalah Kencur (Kaempferia galanga L.). Kencur
(Kaempferia galanga L.) banyak digunakan sebagai bahan baku obat tradisional
(jamu), fitofarmaka, industri kosmetika, penyedap makanan dan minuman,. Secara
empirik kencur digunakan sebagai penambah nafsu makan, infeksi bakteri, obat
batuk, disentri, tonikum, ekspektoran, masuk angin dan sakit perut. Minyak atsiri
didalam rimpang kencur mengandung etil sinnamat dan metil p-metoksi sinamat
yang banyak digunakan didalam industri kosmetika dan dimanfaatkan sebagai obat
asma dan anti jamur. Banyaknya manfaat kencur memungkinkan pengembangan
pembudidayaannya dilakukan secara intensif yang disesuaikan dengan produk
akhir yang diinginkan. Produksi, mutu dan kandungan bahan aktif di dalam rimpang
kencur ditentukan oleh varietas yang digunakan, cara budidaya dan lingkungan
tempat tumbuhnya. Oleh sebab itu dukungan teknologi sangat diperlukan agar
pengembangan usaha kencur dapat membantu meningkatkan kesejahteraan petani
tanaman obat.
Dengan demikian kekhawatiran terhadap tingginya biaya dan harga obat-
obatan kimia, serta banyaknya efek samping yang ditimbulkan. Sudah saatnya kita
lebih mengenal dan memanfaatkan lagi tanaman herbal. Pengobatan dengan bahan
alam yang ekonomis merupakan solusi terbaik untuk menggulangi masalah
tersebut.
Oleh karena itulah perlu dilakukan strategi pembudidayaan tanaman
berkhasiat obat agar dapat bersaing dengan obat-obatan kimia yang ada dan dapat

2
meningkatkan kepercayaan masyarakat akan khasiat dan manfaat dari tanaman obat
tersebut sehingga pengunannya sebagai obat-obatan pun semakin meningkat.
Saintifikasi jamu yang akan dilakukan pada jamu di Indonesia
mengharuskan bahan untuk pembuatan jamu yang berupa ekstrak maupun simplisia
harus dilakukan uji praklinisnya dan standardisasinya untuk memperoleh bahan
obat alam yang bermutu. Bahan baku obat yang berasal dari lahan pertanian
maupun dari tanaman liar kandungan bahan kimanya tidak dapat dijamin selalu
konstan karena adanya berbagai variabel yang dapat mempengaruhi jumlah dan
kandungan bahan kimia dari tanaman tersebut (Anonim, 2000). Selain itu
kandungan senyawa kimia yang bertanggung jawab terhadap respon biologis harus
mempunyai spesifikasi kimia. Oleh karena itu dilakukan penetapan parameter
spesifik dan non spesifik ekstrak untuk menjamin mutu dan kualitas suatu simplisia
maupun produk obat tradisional.
1.2 Tujuan Praktikum
1. Agar mahasiswa dapat mengetahui kandungan – kandungan kimia pada
berbagai macam tumbuhan.
2. Mahasiswa mampu membuat bahan segar (tumbuhan yang belum diolah)
menjadi simplisia hingga menjadi suatu sediaan obat.
3. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang “Obat Tradisional”.
4. Mahasiswa dapat mengetahui dan menghitung parameter-parameter
spesifik dan non spesifik dari simplisia yang dibuat dan obat tradisional baik
jamu, OHT maupun fitofarmaka.
1.3 Manfaat Praktikum
Manfaat dalam pelaksanaan praktikum ini adalah menambah pengetahuan
tentang pengolahan simplisia dengan baik serta mengetahui bagaimana standarisasi
dari simplisia maupun obat tradisional yang telah diujikan agar memenuhi standar
yang telah ditetapkan. Selain itu juga dapat mengembangkan simplisia menjadi
suatu produk yang dapat dimanfaatkan dan dijamin penggunaannya oleh
masyarakat.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Simplisia
2.1.1 Definisi dan Penggolongan Simplisia
Pengetahuan tentang tanaman berkhasiat obat ini sudah lama dimiliki oleh
nenek moyang kita dan hingga saat ini telah banyak yang terbukti secara ilmiah.
Dan Pemanfaatan tanaman obat Indonesia akan terus meningkat mengingat kuatnya
keterkaitan bangsa Indonesia terhadap tradisi kebudayaan memakai jamu. Bagian-
bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan obat yang disebut simplisia. Istilah
simplisia dipakai untuk menyebut bahan-bahan obat alam yang masih berada dalam
wujud aslinya atau belum mengalami perubahan bentuk (Gunawan, 2010).
Simplisia atau herbal adalah bahan alam yang telah dikeringkan yang
digunakan untuk pengobatan dan belum mengalami pengolahan, kecuali
dinyatakan lain suhu pengeringan simplisia tidak lebih dari 60 oC (Ditjen POM,
2008). Simplisia merupakan bahan awal pembuatan sediaan herbal. Mutu sediaan
herbal sangat dipengaruhi oleh mutu simplisia yang digunakan. Oleh karena itu,
sumber simplisia, cara pengolahan, dan penyimpanan harus dapat dilakukan dengan
cara yang baik. Simplisia adalah bahan alam yang digunakan sebagai bahan sediaan
herbal yang belum mengalami pengolahan apapun dan kecuali dinyatakan lain
simplisia merupakan bahan yang telah dikeringkan (Ditjen POM, 2005).
Penggolongan Simplisia Simplisia dibagi menjadi tiga golongan, yaitu:
a. Simplisia nabati Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tumbuhan
utuh, bagian tumbuhan atau eksudat tumbuhan. Eksudat tumbuhan adalah
isi sel yang secara spontan keluar dari tumbuhan atau dengan cara tertentu
dikeluarkan dari selnya 6 atau zat nabati lain yang dengan cara tertentu
dipisahkan dari tumbuhannya (Ditjen POM, 1995).
b. Simplisia hewani Simplisia hewani adalah simplisia berupa hewan utuh
atau zat-zat berguna yang dihasilkan oleh hewan. Contohnya adalah
minyak ikan dan madu (Gunawan, 2010).
c. Simplisia pelikan atau mineral Simplisia pelikan atau mineral adalah
simplisia berupa bahan pelikan atau mineral yang belum diolah atau telah

4
diolah dengan cara sederhana. Contohnya serbuk seng dan serbuk tembaga
(Gunawan, 2010).
2.2 Faktor-faktor Penentu Kualitas Simplisia
Faktor-faktor Penentu Kualitas Simplisia Menurut Gunawan (2010),
kualitas simplisia dipengaruhi oleh dua faktor antara lain sebagai berikut:
a. Bahan Baku Simplisia Berdasarkan bahan bakunya,
simplisia bisa diperoleh dari tanaman liar dan atau dari tanaman yang
dibudidayakan. Tumbuhan liar umumnya kurang baik untuk dijadikan
bahan simplisia jika dibandingkan dengan hasil budidaya, karena simplisia
yang dihasilkan mutunya tidak seragam.
b. Proses Pembuatan Simplisia Dasar pembuatan simplisia
Pembuatan simplisia terdiri dari beberapa tahapan, yaitu:
1) Pengumpulan bahan baku
Kadar senyawa aktif dalam suatu simplisia berbeda-beda yang tergantung
pada beberapa faktor, antara lain: bagian tumbuhan yang digunakan, umur 7
tumbuhan atau bagian tumbuhan pada saat panen, waktu panen dan lingkungan
tempat tumbuh. Waktu panen sangat erat hubungannya dengan pembentukan
senyawa aktif di dalam bagian tumbuhan yang akan dipanen. Waktu panen yang
tepat pada saat bagian tumbuhan tersebut mengandung senyawa aktif dalam jumlah
yang terbesar. Senyawa aktif akan terbentuk secara maksimal di dalam bagian
tumbuhan atau tumbuhan pada umur tertentu.
Berdasarkan garis besar pedoman panen, pengambilan bahan baku tanaman
dilakukan sebagai berikut:
 Biji Pengambilan biji dapat dilakukan pada saat mulai mengeringnya
buah atau sebelum semuanya pecah.
 Buah Panen buah bisa dilakukan saat menjelang masak (misalnya
Piper nigrum), setelah benar-benar masak (misalnya adas), atau
dengan cara melihat perubahan warna/ bentuk dari buah yang
bersangkutan (misalnya jeruk, asam, dan pepaya).
 Bunga Panen dapat dilakukan saat menjelang penyerbukan, saat
bunga masih kuncup (seperti pada Jasminum sambac, melati), atau
saat bunga sudah mulai mekar (misalnya Rosa sinensis, mawar)

5
 Daun atau herba Panen daun atau herba dilakukan pada saat proses
fotosintesis berlangsung maksimal, yaitu ditandai dengan saat-saat
tanaman mulai berbunga atau buah mulai masak. Untuk mengambil
pucuk daun, dianjurkan dipungut pada saat warna pucuk daun
berubah menjadi daun tua.
 Kulit batang Tumbuhan yang pada saat panen diambil kulit batang,
pengambilan dilakukan pada saat tumbuhan telah cukup umur. Agar
pada saat pengambilan tidak mengganggu pertumbuhan, sebaiknya
dilakukan pada musim yang menguntungkan pertumbuhan antara
lain menjelang musim kemarau.
 Umbi lapis Panen umbi dilakukan pada saat umbi mencapai besar
maksimum dan pertumbuhan pada bagian di atas berhenti. Misalnya
bawang merah (Allium cepa).
 Rimpang Pengambilan rimpang dilakukan pada saat musim kering
dengan tanda-tanda mengeringnya bagian atas tumbuhan. Dalam
keadaan ini rimpang dalam keadaan besar maksimum.
 Akar Panen akar dilakukan pada saat proses pertumbuhan berhenti
atau tanaman sudah cukup umur. Panen yang dilakukan terhadap
akar umumnya akan mematikan tanaman yang bersangkutan.
2) Sortasi basah
Sortasi basah adalah pemilihan hasil panen ketika tanaman masih segar.
Sortasi dilakukan terhadap: − Tanah atau kerikil, − Rumput-rumputan − Bahan
tanaman lain atau bagian lain dari tanaman yang tidak digunakan, dan − Bagian
tanaman yang rusak (dimakan ulat atau sebagainya).
3) Pencucian
Pencucian simplisia dilakukan untuk membersihkan kotoran yang melekat,
terutama bahan-bahan yang berasal dari dalam tanah dan juga bahan-bahan yang
tercemar peptisida. Cara sortasi dan pencucian sangat mempengaruhi jenis dan
jumlah mikroba awal simplisia. Misalnya jika air yang digunakan untuk pencucian
kotor, maka jumlah mikroba pada permukaan bahan simplisia dapat bertambah dan
air yang terdapat pada permukaan bahan tersebut dapat mempercepat pertumbuhan

6
mikroba. Bakteri yang umum terdapat dalam air adalah Pseudomonas, Bacillus,
Streptococcus, Enterobacter, dan Escherichia.
4) Pengubahan bentuk
Pada dasarnya tujuan pengubahan bentuk simplisia adalah untuk memperluas
permukaan bahan baku. Semakin luas permukaan maka bahan baku akan semakin
cepat kering. Perajangan dapat dilakukan dengan pisau, dengan alat mesin
perajangan khusus sehingga diperoleh irisan tipis atau potongan dengan ukuran
yang dikehendaki.
5) Pengeringan
Proses pengeringan simplisia, terutama bertujuan sebagai berikut:
 Menurunkan kadar air sehingga bahan tersebut tidak mudah
ditumbuhi kapang dan bakteri.
 Menghilangkan aktivitas enzim yang bisa menguraikan lebih lanjut
kandungan zat aktif .
 Memudahkan dalam hal pengolahan proses selanjutnya (ringkas,
mudah disimpan, tahan lama, dan sebagainya).
6) Sortasi kering
Sortasi kering adalah pemilihan bahan setelah mengalami proses
pengeringan. Pemilihan dilakukan terhadap bahan-bahan yang terlalu gosong atau
bahan yang rusak.
7) Pengepakan dan penyimpanan
Setelah tahap pengeringan dan sortasi kering selesai maka simplisia perlu
ditempatkan dalam suatu wadah tersendiri agar tidak saling bercampur antara
simplisia satu dengan lainnya (Gunawan, 2010).
Serbuk simplisia nabati adalah bentuk serbuk dari simplisia nabati, dengan
ukuran derajat kehalusan tertentu. Sesuai dengan derajat kehalusannya, dapat
berupa serbuk sangat kasar, kasar, agak kasar, halus, dan sangat halus. Serbuk
simplisia nabati tidak boleh mengandung fragmen jaringan dan benda asing yang
bukan merupakan komponen asli dari simplisia yang bersangkutan antara lain telur
nematoda, bagian dari serangga dan hama serta sisa tanah (Ditjen POM, 1995).

7
2.1.3 Parameter Standarisasi Mutu Simplisia

Dalam hal simplisia sebagai bahan baku (awal) dan produk siap dikonsumsi
langsung, dapat dipertimbangkan tiga konsep untuk menyusun parameter standar
mutu yaitu sebagai berikut :

1. Bahwa simplisia sebagai bahan kefarmasian seharusnya mempunyai tiga


parameter mutu umum suatu bahan (material), yaitu kebenaran jenis
(identifikasi), kemurnian (bebas dari kontaminasi kimia dan biologis),
serta aturan penstabilan (wadah, penyimpanan dan transportasi).
2. Bahwa simplisia sebagai bahan dan produk konsumsi manusia sebagai
obat tetap diupayakan memiliki tiga paradigma seperti produk
kefarmasian lainnya, yaitu Quality-Safety-Efficacy (mutu-aman-
manfaat).
3. Bahan simplisia sebagai bahan dengan kandungan kimia yang
bertanggungjawab terhadap respons biologis untuk mempunyai
spesifikasi kimia, yaitu informasi komposisi (jenis dan kadar) senyawa
kandungan (Anonim,2000).
4. Uji Tumbuhan Obat
Untuk mengetahui kebenaran dan mutu obat tradisional termasuk
simplisia, maka dilakukan analisis yang meliputi analisis kuantitatif dan
kualitatif. Analisis kuantitatif terdiri atas pengujian organoleptik,
pengujian makroskopik, pengujian mikroskopik, dan pengujian
histokimia.
a. Uji Organoleptik
Uji organoleptik dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui khususnya
bau dan rasa simplisia yang diuji
b. Uji Makroskopik
Uji makroskopik dilakukan dengan menggunakan kaca pembesar atau
tanpa menggunakan alat. Cara ini dilakukan untuk mencari khususnya
morfologi, ukuran, dan warna simplisia yang diuji.
c. Uji mikroskopik

8
Uji mikroskopik dilakukan dengan menggunakan mikroskop yang
derajat pembesarannya disesuaikan dengan keperluan. Simplisia yang
diuji dapat berupa sayatan melintang, radial, paradermal maupun
membujur atau berupa serbuk. Pada uji mikroskopik dicari unsur – unsur
anatomi jaringan yang khas. Dari pengujian ini akan diketahui jenis
simplisia berdasarkan fragmen pengenal yang spesifik bagi masing –
masing simplisia.
d. Uji Histokimia
Uji histokimia bertujuan untuk mengetahui berbagai macam zat
kandungan yang terdapat dalam jaringan tanaman. Dengan pereaksi
spesifik, zat-zat kandungan tersebut akan memberikan warna yang
spesifik pula sehingga mudah di deteksi (Anonim,1987)

Parameter Spesifik Standarisasi Obat Tradisional

Beberapa pengujian untuk parameter spesifik :


1. Parameter identitas
a) Deskripsi tata nama  Nama ekstrak, nama latin, bagian tumbuhan yang
digunakan dan nama Indonesia tumbuhan.
b) Senyawa identitas  Senyawa tertentu yang menjadi petunjuk spesifik
dengan metode tertentu. Tujuannya yaitu memberikan identitas obyektif
dari nama dan spesifik dari senyawa identitas.
2. Parameter organoleptik
Parameter ini meliputi penggunaan panca indera dalam mendeskripsikan
bentuk, warna, bau, rasa. Tujuannya yaitu pengenalan awal yang sederhana
dan seobyektif mungkin.
3. Parameter senyawa terlarut dalam pelarut tertentu
Melarutkan ekstrak denagn pelarut (alcohol atau air) untuk ditentukan
jumlah solute yang identik dengan jumlah senyawa kandungan secara
gravimetri.
4. Parameter uji kandungan kimia

9
a) Pola kromatogram  Analisis kromatografi untuk memberikan pola
kromatogram khas. Hal ini memberikan gambaran awal komposisi
kandungan kimia berdasar pola kromatogram (KLT/KCKT/KG).
b) Pola chemical marker  Tersedianya kandungan kimia berupa senyawa
identitas ataupun kandungan kimia lainnya. Tujuan parameter ini yaitu
memberikan data kadar senyawa identitas atau senyawa yang diduga
bertanggung jawab pada efek farmakologi.
5. Parameter KLT-Densitometri
KLT merupakan metoda fitokimia yang memerlukan waktu dan jumlah
cuplikan yang sedikit untuk analisis. Identifikasi menggunakan lampu UV
254 nm dan 366 nmdan bercak dihitung harga Rf nya yang berjangka antara
0,00 dan 1,99.
Parameter Non Spesifik Standarisasi Obat Tradisional
1. Penetapan kadar air
Salah satu jaminan kemurnian dan kontaminasi adalah penetapan
kadar air. Nilai kadar air yang tidak sesuai dengan standar Akan dapat
mempengaruhi kualitas herbal Yaitu Sebagai media tumbuh
mikroorganisme yang Baik. Pertumbuhan jamur ataupun bakteri dapat
menyebabkan terjadinya perubahan metabolit sekunder. Selain itu kadar air
yang tinggi dapat menyebabkan masih berlangsungnya reaksi enzimatis
yang dapat merubah metabolit sekunder di dalam tanaman tersebut.
Perubahan metabolit sekunder Akan sangat mempengaruhi kualitas herbal
iTu sendiri dalam hal aktivitas farmakologinya.
Penetapan kadar air dapat dilakukan dengan 3 metode tergantung
pada senyawa kimia didalamnya,yakni titrasi, gravimetri, dan destilasi.
Umumnya kadar air ditetapkan dengan cara destilasi apabila terdapat
minyak astir di dalamnya. Metode penetapan kadar air dapat di baca lebih
lanjut dalam buku : monografi ekstrak tumbuhan obat Indonesia
2. Penetapan kadar Abu
Dalam menentukan kadar Abu, bahan tanaman di bakar dan residu
Abu yang dihasilkan diukur Sebagai kadar Abu total. Kadar Abu total
menunjukkan jumlah senyawa anorganik, mineral internal dan eksternal.

10
Kadar Abu harus sesuai berdasarkan standar yang sudah ditetapkan di
masing-masing ekstrak bahan tanaman.
Dari Abu total yang dihasilkan kita dapat menentukan kadar Abu
tidak larut asam, dengan cara Abu total dilarutkan dalam asam klorida dan
di bakar. Sisa Abu pembakaran merupakan nilai Abu tidak larut asam.
Kadar Abu tidak larut asam menandakan kehadiran silikat yang terdapat
didalam pasir atau tanah. (AOAC, 2005)
3. Susut Pengeringan
Susut pengeringan adalah pengurangan berat bahan setelah
dikeringkan dengan cara yang telah ditetapkan. Kecuali dinyatakan lain
dalam masing-masing monografi, simplisia harus dalam bentuk serbuk
dengan derajat halus nomor 8, suhu pengeringan 105oC.
4. Penetapan kadar sari larut air dan etanol
5. Penetapan total bakteri dan kapang
6. Penetapan bobot jenis
Bobot jenis adala massa per satuan volume pada suhu kamar tertentu
(25oC) yang ditentukan dengan alat khusus piknometer atau alat lainnya.
Tujuannya untuk memberikan batasan tentang besarnya massa per satuan
volume yang merupakan parameter khusus ekstrak cair sampai ekstrak
pekat (kental) yang masih dapat dituang.
7. Penetapan sisa pelarut
Menentukan kandungan sisa pelarut tertentu yang secara umum
dengan kromatografi gas. Untuk ekstrak cair berarti kandungan pelarutnya,
misalnya kadar alcohol. Tujuannya untuk memberikan jaminan bahwa
selama proses tidak meninggalkan sisa pelarut yang seharusnya tidak boleh
ada.
8. Penetapan logam berat
Kontaminasi logam berat dapat terjadi secara tidak sengaja ataupun
sengaja untuk ditambahkan. Logam berat yang berbahaya dan Ada di
sediaan OT adalah merkuri, timbal, tembaga, kadmium, dan arsen. (AOAC,
2005).

11
Cara penentuan logam berat yang sederhana dapat ditemukan dalam
pharmacopoeias dan didasarkan pada reaksi warna menggunakan reagen
spesifik Yaitu thiocetamide atau diethyldithiocarbamate. Kehadiran logam
berat diukur dengan membandingkan menggunakan standar. (WHO, 1988)
Penetapan logam berat dapat menggunakan instrument seperti
Atomic Absorption Spectrophotometry (AAS), Inductively coupled plasma
(ICP), dan Neutron Activation Analysis (NAA). (Watson, 1999)
9. Penetapan residu pestisida
OT dapat mengandung residu pestisida, yang terakumulasi melalui
proses agricultural seperti penyemprotan, treatment pada tanah Selama
proses penanaman, dan penggunaan pestisida gas Selama penyimpanan.
Banyak pestisida mengandung klorin atau fosfat. Pengukuran residu
pestisida dapat dilakukan dengan menetapkan total organik klorin dan/ total
organik fosfat apabila tercemar pestisida lebih dari satu (Kunle, et al., 2012)
Penentuan pestisida tunggal dapat dilakukan dengan metode
kromatografi gas (Kunle, et al., 2012). Tetapi apabila senyawa pestisida
atau senyawa lain juga terdeteksi dalam kromatogram suatu residu pestisida
maka perlu dilakukan suatu perlakuan kimiawi atau Fisika lain untuk
menghilangkan atau mengurangi intervensi senyawa senyawa tersebut
sebelum dilakukan kuantitasi residu pestisida yang ingin ditentukan.
(BPOM, 2004)

2.1.4 Kencur
a. Taksonomi Kaempferia galanga L (kencur)
Kedudukan tanaman dalam tata nama (sistematika) tumbuhan adalah:
Divisi: Spermatophyta
Subdivisi: Angiospermae
Kelas: Monocotyledonae
Ordo: Zingiberales
Famili: Zingiberceae
Genus: Kaempferia
Spesies : Kaempferia galanga L

12
b. Nama lain kencur
Nama daerah : ceuko, tekur (Aceh), kawicer (Batak), cakue (Minang), cikur
(Sunda), sikor (Kalimantan), Cekuh (Bali), Cakuru (Makasar), Asauli (Ambon),
Ukap (Irian) Nama Asing : Humala (Benggala), Kamung (Burma), prao, shan nai
(Cina), herbe a kemfer (perancis) (Muhlisah, 1999).
c. Morfologi Tanaman
Secara umum dikenal dua tipe kencur, yaitu jenis berdaun lebar dan berdaun
sempit (Syukur dan Hernani, 2001). Kencur merupakan terna kecil daunnya lebar,
letaknya mendatar, hampir rata dengan permukaan tanah. Bunganya tersusun dalam
bulir. Mahkota bunga berjumlah 4-12, rimpangnya bercabang-cabang banyak
sekali, dibagian terletak diatas tanah. pada akarnya sering kali terdapat umbi yang
betuknya bulat. Warnanya putih kekuningan, bagian tengahnya berwarna putih,
sedangkan pinggirnya berwarna coklat, berbau harum (Sugeng, 2001).
Kencur digolongkan sebagai tanaman jenis empon-empon yang mempunyai
daging buah yang lunak dan tidak berserat. Kencur merupakan terna kecil yang
tumbuh subur didaerah dataran atau pegunungan yang tanahnya gembur dan
tidakterlalu banyak air. Rimpang kencur mempunyai aroma yang spesifik. Daging
buah kencur berwarna putih dan kulit luarnya berwarna coklat.jumlah helaian daun
kencur tidak lebih dari 2-3 lembar dengan susunan berhadapan. Bunganya tersusun
setengah duduk dengan mahkota bunga berjumlah antara 4-12 buah, bibir bunga
berwarna lembayung dengan warna putih lebih dominant. Kencur tumbuh dan
berkembang pada musim tertentu, yaitu pada musim penghujan kencur dapat
ditanam dalam potatau dikebun yang cukup sinar matahari, tidak terlalu basah dan
di tempat terbuka (Thomas, 1989).
d. Ekologi dan Budidaya tanaman
1) Lokasi tumbuh
Kencur dapat tumbuh diberbagai tempat didataran rendah hingga
pegunungan dengan ketinggian daerah antara 80-700 m. Tanaman ini menghendaki
tanah yang subur dan gembur, Kencur tumbuh lebih baik pada tempat yang sedikit
terlindung (Syukur dan Hernani, 2001).
2) Deskripsi Tanaman

13
Kemampuan penyesuaian tanaman kencur terhadap lingkungan cukup
tinggi.Tanaman ini mempunyai daya produksi tinggi didaerah yang punya curah
hujan 1500–4000 mm/th, suhu udara 19o–30o c dan ketinggian 100–700m dari
permukaan air laut (dpl). Tanaman ini tumbuh baik ditempat terbuka yang
mendapat sinarmatahari penuh, tapi memerlukan naungan ringan untuk
pertumbuhan yang optimum. Hal ini dapat diamati pada tanaman kencur yang
ditanam secara monokultur daunnya melipat. Sekalipun demikian, kencur yang
ditanam ditempat terlindung, justru hanya akan menghasilkan daun–daunnya saja.
Tanah yang paling baik utuk tanaman kencur adalah berstruktur lempung berpasir,
strukturnya lemah, tata air dan udara tanahnya baik serta seimbang. Disamping itu
kesuburan tanahnya harus diperkaya dengan bahan organik, antara lain dengan
pemberian pupuk kandang dan kompos pada tanah yang kurang subur dan becek
(Rukmana,1994)
e. Khasiat tanaman
Kencur telah dimanfaatkan cukup banyak sebagai tonikum yaitu sebagai
obat bengkak-bengkak, reumatik, obat batuk, obat sakit perut, manghilangkan
keringat, penambah nafsu makan, infeksi bakteri, ekspektoran (memperlancar
keluarnya dahak), disentri, karminatif, menghangatkan badan, pelangsing,
penyegar, mengobatiluka dan bengkak perut, encok, obat batuk, dan sakit perut
(Anonim, 2000). Rimpang kencur berkhasiat untuk obat batuk, pengompresan
bengkak, penambah nafsu makan dan juga sebagai minuman segar (Rukmana,
1994).
f. Kandungan kimia Kencur
Rimpang kencur mengandung alkaloid, tannin, saponin, kalsium oksalat,
borneol, kamfen, sineol, etil alcohol, minyak atsiri antara 2,4–3,9% terdiri dari
borneol, methyl - p, cumaric acid, cinamicacid ethil ester, pentadecane, cinamic
aldehide, kaemferin dan sineol, p-metoksi sinamat (Anonim, 2004).
2.2 Obat Tradisional
2.2.1 Definisi Obat Tradisional
Obat tradisional adalah obat-obatan yang diolah secara tradisional, turun-
temurun, berdasarkan resep nenek moyang, adat-istiadat, kepercayaan, atau
kebiasaan setempat, baik bersifat magic maupun pengetahuan tradisional. Menurut

14
penelitian masa kini, obat-obatan tradisional memang bermanfaat bagi kesehatan,
dan kini digencarkan penggunaannya karena lebih mudah dijangkau masyarakat,
baik harga maupun ketersediaannya. Obat tradisional pada saat ini banyak
digunakan karena menurut beberapa penelitian tidak terlalu menyebabkab efek
samping, karena masih bisa dicerna oleh tubuh.
Beberapa perusahaan mengolah obat-obatan tradisional yang dimodifikasi
lebih lanjut. Bagian dari Obat tradisional yang bisa dimanfaatkan adalah akar,
rimpang, batang, buah, daun dan bunga. Bentuk obat tradisional yang banyak dijual
dipasar dalam bentuk kapsul, serbuk, cair, simplisia dan tablet. Secara umum,
kebanyakan obat “kuno” telah ditinggalkan dan diganti obat yang lebih “modern”.
Tapi bukan berarti obat modern bisa “santai”, sebab persaingan selanjutnya adalah
antar sesama obat modern. Pasalnya obat modern dapat terganti dengan obat
modern yang lebih baru dan lebih berkhasiat serta lebih efektif. Meski begitu,
diperkirakan lebih dari 78% obat yang beredar sekarang adalah merupakan hasil
dari penemuan tiga dasawarsa terakhir.
2.2.2 Penggolongan Obat Tradisional
1. Jamu

Menurut peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 246 tahun


1992, pengertian jamu adalah obat tradisional yang bahan bakunya simplisia yang
sebagian besar belum mengalami standarisasi dan belum pernah diteliti, bentuk
sediaan masih sederhana berwujud serbuk seduhan, rajangan untuk seduhan, dan
sebagainya.
Manfaat jamu sangat luas digunakan untuk mengobati berbagai penyakit
seperti: amandel, asam urat, batuk, bisul, biduran, bronkitis, cacingan, campak,
demam, diabetes, diare, disfungsi ereksi, epilepsi, gagal ginjal, gatal-gatal, gusi
berdarah, hepatitis, influenza, jerawat, kanker, keputihan, maag, malaria, mimisan,

15
osteoporosis, pegal linu, radang, sariawan, TB paru, wasir, dan lain-lain
(Dalimartha dan Adrian, 2013).
Jamu terbuat dari bahan alami contohnya tumbuhan. Dari sejumlah besar
tumbuhan, beberapa spesies yang banyak sebagai bahan jamu adalah jahe
(Zingiberaceae), kunyit (Curcuma domestica), lengkuas (Languas galanga), kencur
(Kaempferia galanga), lempuyang pahit (Zingiber amaricans), lempuyung wangi
(Zingiber aromaticum), temulawak (Curcuma xanthorrhiza), dan jahe (Zingiber
officinale) (Beers, 2013). Contoh : Tolak Angin® , Antangin® , Woods’ Herbal®
, Diapet Anak® , dan Kuku Bima Gingseng®.
Kelebihan dan Kekurangan Jamu Jamu memang memiliki kelebihan
dibandingkan dengan obat – obatan kimia atau yang kita kenal dengan obat
apotik.Namun demikian jamu juga memiliki kekurangan.Karena itu sebelum
mengonsumsi jamu hendaknya kita memahami segala kelebihan dan kekurangan
jamu dengan baik. Kelebihan jamu diantaranya adalah :
- Harganya relatif murah
- Dapat terjangkau seluruh lapisan masyarakat
- Tersedia di alam sekitar kita, misalnya : kita tanam di halaman sekitar
rumah
- Kandungan kimia di dalam jamu formulasinya lebih ringan dibandingkan
obat sintetis
- Dapat dikonsumsi sehari-hari karena kandungannya mengandung bahan
kimia alami.

Selain berbagai kelebihan di atas jamu juga memilki kekurangan diantaranya


yaitu :

- Efek yang dirasakan tidak dapat secara spontan


- Belum ada standarisasi yang baku terhadap jamu dalam segi keamanan
terhadap produk ini
- Penelitian tentang jamu yang belum banyak dilakukan maka dosis teapat
suatu sediaan jamu belum dapat dipastikan dengan jelas.

Secara umum analisis obat tradisional jamu dikelompokkan menjadi 2 macam


analisis, yaitu analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis kuantitatif

16
berfungsi untuk mengidentifikasi jenis dari suatu zat atau simplisia yang terdapat
pada bahan bakunya, sedangkan analisis kuantitatif yaitu penetapan kadar atau
kemurnian dari zat atau simplisia yang akan dianalisis.
Pengujian secara kualitatif obat tradisional jamu biasanya digunakan untuk
mengidentifikasi atau menganalisis jenis bahan baku dari suatu simplisia baik dari
jenis tumbuhan maupun jenis hewan. Didalam pemeriksaan kualitatif ini, meliputi
analisis sebagai berikut :
a. Pengujian organoleptis, yaitu pengujian untuk mengetahui kekhususan
bau dan rasa dari simplisia yang diuji.
b. Pengujian makroskopis, yaitu pengujian yang dilakukan dengan
menggunakan kaca pembesar atau dengan indera. Fungsinya untuk
mencari kekhususan morfologi ukuran dan warna dari simplisia yang diuji.
c. Pengujian mikroskopis, yaitu pengujian yang dilakukan dengan
menggunakan mikroskop dengan pembesaran tertentu yang disesuaikan
dengan keperluan simplisia yang diuji dapat berupa sayatan melintang,
membujur atau berupa serbuk. Fungsinya untuk mengetahui unsur-
unsur anatomi jaringan yang khas dari simplisia.
- Pengujian histokimia.
- Identifikasi kimia terhadap senyawa yang tersari.
- Pengujian mikroskopis dan makroskopis dilakukan untuk menentukan jenis
simplisia.
- Pengujian histokimia dan identifikasi kimia dilakukan untuk mengetahui
kelompok utama zat aktifnya.
Dari pengujian tersebut diatas dapat diketahui jenis simplisia berdasarkan
fragmen pengenal yang spesifik untuk masing-masing simplisia. Penetapan secara
kuantitatif meliputi :
a) Penentuan kadar kandungan, yaitu untuk mengetahui jumlah kandungan
yang terdapat pada simplisia yang diuji atau pada produk jamu setengah
jadi. Misalnya penentuan kadar tannin, alkaloida, minyak atsiri,
glukosida, flavonoida.
b) Penentuan kadar air, yaitu untuk mengetahui besarnya kandungan air
yang terdapat pada simplisia yang diuji.

17
c) penentuan kadar abu.
d) Penentuan bahan organik asing,

2. Obat Herbal Terstandar

Dalam peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik


Indonesia nomor: HK.00.05.41.1384. Obat Herbal Terstandar adalah sediaan obat
bahan alam yang telah dibuktikan keamanandan khasiatnya secara ilmiah dengan
uji praklinik dan bahan bakunya telah distandarisasi.
Obat herbal terstandar harus memenuhi kriteria aman sesuai dengan
persyaratan yang ditetapkan, klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah atau praklinik,
telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk
jadi. Contoh : Diapet® , Lelap® , Fitolac® , Diabmeneer® , dan Glucogarp® .
Obat Herbal Terstandar ( Standarized based Herbal Medicine) merupakan
obat tradisional yang disajikan dari hasil ekstraksi atau penyarian bahan alam, baik
tanaman obat, binatang, maupun mineral (Lestari, 2007). Dalam proses pembuatan
obat herbal standar ini dibutuhkan peralatan yang tidak sederhana dan lebih mahal
daripada Universitas Sumatera Utara pembuatan jamu.Tenaga kerja yang
dibutuhkan pun harus di dukung dengan keterampilan dan pengetahuan membuat
ekstrak.Obat herbal ini umumnya ditunjang oleh pembuktian ilmiah berupa
penelitian praklinis.Penelitian ini meliputi standarisasi kandungan senyawa
berkhasiat dalam bahan penyusun, standarisasi pembuatan ekstrak yang higenis,
serta uji toksisitas akut maupun kronis.

18
3. Fitofarmaka

Merupakan jamu dengan “ Kasta” tertinggi karena khasiat, keamanan, serta


standar proses pembuatan dan bahannya telah diuji secara klinis, jamu berstatus
sebagai. fitofarmaka juga dijual di apotek dan harus dengan resep dokter (Yuliarti,
2008). Fitofarmaka ( Clinical Based Herbal Medicine) merupakan obat tradisional
yang dapat disejajarkan dengan obat modern. Proses pembuatannya diperlukan
peralatan berteknologi modern,tenaga ahli,dan biaya yang tidak sedikit (Lestari,
2007).
Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang dapat disejajarkan dengan
obat modern karena telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah
dengan uji praklinik pada hewan dan uji klinik pada manusia, bahan baku dan
produk jadinya telah di standarisasi. Fitofarmaka harus memenuhi kriteria aman
sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan, klaim khasiat dibuktikan dengan uji
klinis, telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam
produk jadi. Contoh: Stimuno® , Tensigard® , Rheumaneer® , X-gra® dan
Nodiar® .
Fitofarmaka memiliki kekhasan tersendiri, hal ini disebabkan fitofarmaka
merupakan obat tradisional yang memiliki keunggulan yang hampir sama dengan
obat-obatan. Bahkan tidak jarang fitofarmaka menjadi rekomendasi dokter terhadap
pasiennya. Dengan uji klinik yang sama dengan obat-obatan serta menggunakan
tekhnologi modern, sehingga fitofarmaka dapat memenuhi standar mutu yang telah
ditetapkan.
Berikut ini beberapa bahan alam yang digolongkan sebagai fitofarmaka,
anatara lain : bawang putih, ginseng, cengkeh, angkak, anggur, ginkgo, dan jahe.
Karena sudah teruji secara klinis, maka bahan-bahan tersebut dapat disejajarkan
dengan obat-obatan modern (harmanto, 2007).

19
2.2.3 Mastin

Nama : Mastin

Komposisi : Kulit manggis Garciniae Fructus Cortex Extract atau ekstrak kulit
manggis sebanyak 550 mg

Nama tanaman : Garciniae Fructus Cortex Extract (ekstrak kulit manggis)

1. Kandungan utama dari garciniae fructus cortex extract


Xantone

Senyawa xanthon pada Kulit buah buah manggis meliputi mangosting,


mangostenol, mangostinon A, mangostenon B, trapezifolizanthone, tovophylin B,
alfamangostin, beta mangostin, garcinon B, mangostanol, flavonoid, epicatechin,
dan gartanin. Dan kadar xanthone yang terkandung dalam kulit buah manggis
mencapai hingga 123,97 mg per ml.

20
Dengan kandungan xanthone yang tinggi, dalam kulit buah manggis yang
mana dapat membunuh penyakit dan memperbaiki sel yang telah rusak serta
melindungi sel-sel di dalam tubuh. Xanthone adalah substansi kimia alami, yang
tergolong senyawa polyhenolic yang dapat digunakan sebagai zat untuk mengatasi
berbagai penyakit.

Manfaat Xanthone ini diketahui berkhasiat efektif sebagai antioksidan dan


antikanker. Banyak jenis kanker yang dapat diobati dengan xanthon dari kulit
manggis, diantaranya adalah kanker payudara, kanker paru-paru, kanker prostat,
kanker hati, kanker pencernaan, dan leukemia.

21
BAB III
METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Praktikum
Waktu :
a) Percobaan I : 25 Oktober 2018
b) Percobaan II : 01 November 2018
c) Percobaan III : 08 November 2018
d) Percobaan IV : 15 November 2018
e) Percobaan V : 22 November 2018

Tempat : Laboratorium Farmakognosi, Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Riau.

3.2 Bahan dan Alat


Bahan :
- 2 kg rimpang kencur segar.
- Obat Herbal terstandar: Mastin
- Aquadest
- Kloroform
- Etanol
- Etil asetat
- Heksan etil
- H2SO4 10%

Alat :

− Pisau cutter - Corong - Waterbath


− Talenan - Gelas ukur - Vial
− Nampan - Erlenmeyer - Penjepit Krus
− Alumunium foil - Timbangan
− Krus - Beker glass
− Kaca objek - Lumpang & stanfer
− Cover glass - Pipet tetes
− Mikroskop - cawan penguap
− Oven - Plat KLT
− Furnace - Moisture Balance

22
3.3 Prosedur kerja
3.3.1 Rimpang kencur (Kaempheria galangar rhizoma)
1. Pembuatan simplisia
a. Rimpang kencur yang masih segar sebanyak 2 kg dicuci bersih-bersih dan
dipisahkan dari kotoran yang menempel
b. Rimpang kencur yang telah bersih dipotong potong secara melintang
dengan ukuran ±1mm
c. Tebar hasil potongan rimpang kencur diatas penampi yang terbuat dari
bambu
d. Sebagian rimpang yang telah ditebar dimasukkan kedalam oven dan
sebagian lagi di kering anginkan
e. Rimpang yang telah kering di blender menjadi serbuk lalu diayak sehingga
menghasilkan serbuk yang sangat halus
f. Serbuk yang telah halus dimasukkan kedalam toples dan siap digunakan
untuk pengujian

2. Pemeriksaan mikroskopik
a. Letakkan sedikit sampel pada kaca objek
b. Tetesi sampel dengan aquadest , tutup dengan cover gelas
c. Amati dibawah mikroskop

3. Penetapan susut pengeringan


a. Timbang krus kosong
b. Timbang krus dengan sampel sebanyak 2 gram
c. Masukkan kedalam oven pada suhu 1050c selama 30 menit
d. Timbang berat sampel dan krus yang telah di oven
e. Hitung susut pengeringan

4. Penetapan kadar sari larut air


a. Timbang sampel sebanyak 5 gram

23
b. Masukkan sampel yang telah ditimbang kedalam erlenmeyer , tambahkan
campuran air dan kloroform (1:1)yang telah dijenuhkan sebanyak 100 mL
, kemudian lakukan pengocokan
c. Biarkan selama 18 jam
d. Lalu saring dan ambil filtratnya 20 ml , masukkan kedalam cawan penguap
e. Dioven pada suhu 1050c selama 30 menit
f. Timbang sampel berat konstan
g. Hitung persen kadar sari larut air

5. Penetapan kadar sari etanol


a. Timbang sampel sebanyak 5 gram
b. Masukkan sampel yang telah ditimbang kedalam erlenmeyer , tambahkan
etanol 95% 100 ml lalu lakukan pengocokan
c. Biarkan selama 18 jam
d. Lalu saring dan ambil filtratnya 20 ml , masukkan kedalam cawan penguap
e. Dioven pada suhu 1050c selama 30 menit
f. Timbang sampel berat konstan
g. Hitung persen kadar sari larut etanol

6. Penetapan kadar air


a. Sampel ditimbang 1 gram
b. Masukkan sampel kedalam alat mostar balance
c. Tunggu hingga alat memberikan hasil

7. Penetapan kadar abu


a. Timbang krus kosong
b. Timbang krus bersama sampel 2 gram
c. Masukkan kedalam alat purnace dengan suhu 6000C selama 30 menit
d. Setelah di purnace lalu didinginkan dan di timbang kembali

24
8. Pola KLT
a. Sediakan plat KLT silica gel dengan ukuran 1cm X 5 cm dan dibuat batas
atas dan bawah 0,5 Cm dengan menggunakan pensil (fase diam)
b. Siapkan chamber yang telah berisi eluent yaitu etil asetat 100% dan
dijenuhkan dengan kertas saring (fase gerak)
c. Siapkan larutan uji yaitu dengan menimbang 5 gram sampel dan dilarutkan
dalam 50 ml etanol dalam erlenmeyer. Setelah itu di ultrasonik selama 15
menit lalu disaring kedalam vial.
d. Larutan uji kemudian ditotol (1-2 kali) pada plat KLT (batas bawah) lalu
masukkan kedalam chamber yang telah jenuh etil asetat 100% .
e. Setelah eluent merambat sampai batas atas , angkat dan ditetesi(dilapisi)
dengan larutan H2SO4 10% (dari batas atas sampai batas bawah)
f. Letakkan di atas hot plate dan tandai noda yang timbul
g. Lakukan juga dengan eluent heksan etil (1:1) dalam 5 ml

3.3.2Obat Tradisional Golongan Obat Herbal Terstandar Mastin


1. Pemeriksaan mikroskopik
a. Letakkan sedikit sampel pada kaca objek
b. Tetesi sampel dengan aquadest , tutup dengan cover gelas
c. Amati dibawah mikroskop
2. Penetapan susut pengeringan
a. Timbang krus kosong
b. Timbang krus dengan sampel sebanyak 1 gram
c. Masukkan kedalam oven pada suhu 1050c selama 30 menit
d. Timbang berat sampel dan krus yang telah di oven
e. Hitung susut pengeringan
3. Penetapan kadar sari larut air
a. Timbang sampel sebanyak 2,5 gram
b. Masukkan sampel yang telah ditimbang kedalam erlenmeyer , tambahkan
campuran air dan kloroform (1:1)yang telah dijenuhkan sebanyak 50 mL ,
kemudian lakukan pengocokan
c. Biarkan selama 18 jam

25
d. Lalu saring dan ambil filtratnya 20 ml , masukkan kedalam cawan penguap
e. Dioven pada suhu 1050c selama 30 menit
f. Timbang sampel berat konstan
g. Hitung persen kadar sari larut air
4. Penetapan kadar sari etanol
a. Timbang sampel sebanyak 2,5 gram
b. Masukkan sampel yang telah ditimbang kedalam erlenmeyer , tambahkan
etanol 95% 50 ml lalu lakukan pengocokan
c. Biarkan selama 18 jam
d. Lalu saring dan ambil filtratnya 20 ml , masukkan kedalam cawan penguap
e. Dioven pada suhu 1050c selama 30 menit
f. Timbang sampel berat konstan
g. Hitung persen kadar sari larut etanol
5. Pola KLT
a. Sediakan plat KLT silica gel dengan ukuran 1cm X 5 cm dan dibuat batas
atas dan bawah 0,5 Cm dengan menggunakan pensil (fase diam)
b. Siapkan chamber yang telah berisi eluent yaitu etil asetat 100% dan
dijenuhkan dengan kertas saring (fase gerak)
c. Siapkan larutan uji yaitu dengan menimbang 1 gram sampel dan dilarutkan
dalam 10 ml etanol dalam erlenmeyer. Setelah itu di ultrasonik selama 15
menit lalu disaring kedalam vial.
d. Larutan uji kemudian ditotol (1-2 kali) pada plat KLT (batas bawah) lalu
masukkan kedalam chamber yang telah jenuh etil asetat 100% .
e. Setelah eluent merambat sampai batas atas , angkat dan lihat noda di
bawah sinar UV dengan panjang gelombang 254 dan 366.
6. Penetapan kadar abu
e. Timbang krus kosong
f. Timbang krus bersama sampel 1 gram
g. Masukkan kedalam alat purnace dengan suhu 6000C selama 30 menit
h. Setelah di purnace lalu didinginkan dan di timbang kembali

26
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Rimpang kencur (Kaempferia galanga )
a. Pemeriksaan mikroskopis

Amilum Parenkim

Periderm
b. Penetapan susut pengeringan

DIK :
A = 67.417 gram
B = 1 gram
C = 68.254 gram
DIT : Susut pengeringan ?
JAWAB :
(𝐴+𝐵)−𝐶
Susut pengeringan = × 100 %
(𝐴+𝐵)

27
(67.417+1 𝑔𝑟𝑎𝑚)−68.254
= (67.417+1 𝑔𝑟𝑎𝑚)
× 100 %

= 0,2382 %
c. Penetapan kadar sari larut air dan etanol

DIK :

 Berat cawan kosong larut air : 81, 265 gram


 Berat cawan kosong larut etanol : 81,6475 gram
 Berat akhir larut air : 81,4007 gram
 Berat akhir larut etanol : 81,7524 gram
 Berat sampel : 1 gram

DIT :

 Kadar sari larut air ?


 Kadar sari larut etanol ?

JAWAB :

 Larut air
Berat total = berat akhir – cawan kosong
= 81,4007 – 81,265
= 0,1357 gram

𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 × 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙


% kadar = × 100 %
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
0,1357 𝑔 × 1 𝑔
= × 100 %
1 𝑔

= 13,57 %
 Larut etanol
Berat total = berat akhir – cawan kosong
= 81, 7524 – 81,6475
= 0,1049 gram

𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙× 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙


% kadar = × 100 %
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙

28
0,1049 𝑔 × 1 𝑔
= × 100 %
1𝑔

= 10,49 %
d. Kadar Abu Total dan Tidak Larut Asam

DIK :

Kadar abu total :

 Berat krus kosong : 45.818 gram


 Berat akhir kadar abu total : 46.7097 gram
 Berat sampel : 1 gram

Kadar abu tidak larut asam :

 Berat krus kosong : 70.3728 gram


 Berat akhir kadar abu total : 70.5766 gram
 Berat sampel : 1 gram

DIT :

 Kadar abu total ?


 Kadar abu tidak larut asam ?

JAWAB :

 Kadar abu total


Berat ekstrak = berat akhir – krus kosong
= 46.278 – 45.818
= 0.46 gram

𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑏𝑢 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙


% kadar = × 100 %
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
0,.46 𝑔
= × 100 %
1𝑔

= 46 %
 Kadar abu tidak larut asam
Berat ekstrak = berat akhir – krus kosong

29
= 70.5766 – 70.3728
= 0.2038 gram

𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑏𝑢 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙


% kadar = × 100 %
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
0,2038 𝑔
= × 100 %
1𝑔

= 20 %
e. Pola KLT

DIK :

A = jarak tempuh noda


B = jarak tempuh eluen
DIT : Rf ?
JAWAB :
𝐴
Rf = 𝐵

Etil : methanol (4:1) = ¼ =0.75 cm


Heksan : etil (1:1) = ¾ = 0.2 cm
Etil : methanol (3:2) = 0.625 cm

Etil:Metanol (3:2) Heksan:Etil (1:1) Etil:Metanol (4:1)

30
4.1.2 Fitofarmaka Mastin
a. Pemeriksaan mikroskopis

b. Penetapan susut pengeringan

DIK :
A (krus kosong) = 37.0722 gram
(krus+sampel) = 38.0670 gram = B: sampel = 0,9948
C = 37.9792 gram
DIT : Susut pengeringan ?
JAWAB :

31
(𝐴+𝐵)−𝐶
Susut pengeringan = × 100 %
(𝐴+𝐵)

(37.0722+0,9948)−37.9792
=
(37.0722+0,9948)
× 100 %
= 0,23 %
c. Penetapan kadar sari larut air dan etanol

DIK :

 Berat cawan kosong larut air : 48.9218 gram


 Berat cawan kosong larut etanol : 46.3283 gram
 Berat akhir larut air : 40.045 gram
 Berat akhir larut etanol : 46.5198 gram
 Berat sampel : 1 gram

DIT :

 Kadar sari larut air ?


 Kadar sari larut etanol ?

JAWAB :

 Larut air
Berat ekstrak = berat akhir – cawan kosong
= 49.245gram-48.9218 gram
= 0.3232 gram

𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑒𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘 × 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙


% kadar = × 100 %
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
0.3232 𝑔 × 1 𝑔
= × 100 %
1𝑔

= 32.32 %
 Larut etanol
Berat ekstrak = berat akhir – cawan kosong
=46.5198 gram – 46.3283 gram
= 0,1912 gram

32
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑒𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘 × 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
% kadar = × 100 %
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
0,1912 𝑔 × 1 𝑔
= × 100 %
1 𝑔

= 19.12 %
d. Kadar Abu Total dan Tidak Larut Asam

DIK :

 Berat cawan kosong larut air : 48.9218 gram


 Berat cawan kosong larut etanol : 46.3283 gram
 Berat akhir larut air : 49.245 gram
 Berat akhir larut etanol : 46.5198 gram
 Berat sampel : 1 gram

DIT :

 Kadar sari larut air ?


 Kadar sari larut etanol ?

JAWAB :

 Larut air
Berat ekstrak = berat akhir – cawan kosong
= 49.245gram-48.9218 gram
= 0.3232 gram

𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑒𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘 × 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙


% kadar = × 100 %
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
0.3232 𝑔 × 1 𝑔
= × 100 %
1𝑔

= 32.32 %
 Larut etanol
Berat ekstrak = berat akhir – cawan kosong
=46.5198 gram – 46.3283 gram
= 0,1912 gram

33
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑒𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘 × 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
% kadar = × 100 %
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
0,1912 𝑔 × 1 𝑔
= × 100 %
1 𝑔

= 19.12 %

e. Pola KLT

DIK :
A = jarak tempuh noda = 2,8 cm
B = jarak tempuh eluen = 4 cm
DIT : Rf ?
JAWAB :
𝐴
Rf = 𝐵

Etil : etanol (4:1) = ¾ =0.75 cm


Kloroform : etil (1:1) 2/4 = 0.5
Etil 100% = 3.1/4 = 0.775 cm

Kloroform:Etil (1:1) Etil:Etanol (1:1) Etil asetat 100%

34
4.2 PEMBAHASAN

Kegiatan praktikum dilaksanakan dimulai 25 oktober hingga 22 november


2018, praktikum dilaksanakan dalam lima kali praktikum dan satu praktikum
dilaksanakan untuk pengembangan produk. Pada praktikum farmakognosi II dan
fitoterapi ini meliputi beberapa pemeriksaan, yaitu proses awal pengolahan
simplisia dan dilakukan standarisasi terhadap masing-masing simplisia serta
standarisasi untuk obat tradisional. Pada pelaksanaan praktikum dibagi menjadi 6
kelompok, dimana masing-masing kelompok memiliki simplisia dan obat
tradisional yang berbeda.

Pelaksaan untuk standarisasi simplisia, jenis tumbuhan yang digunakan ada


3 yaitu, Gambir (Uncaria gambir); Kemukus (Piper Cubeba) dan kencur
(Kaempferia galanga). Dari tiga macam jenis tumbuhan tersebut kemudian setiap
kelompok untuk pelaksanaan praktikum dibagi yaitu kelompok 1-2 melakukan
pengujian gambir, kelompok 3-4 pengujian kemukus dan kelompok 5-6 pengujian
kencur.

Pada praktikum ini yang kami lakukan adalah melakukan standarisasi


simplisia. Tujuan dari standarisasi simplisia adalah untuk menjamin keseragaman
khasiat ( efikasi ), menjamin keamanan dan stabilitas ekstrak, serta meningkatkan
nilai ekonomi produk herbal. Standarisasi yang dilakukan yaitu parameter spesifik
dan non spesifik. Parameter spesifik adalah aspek kandungan kimia kualitatif dan
aspek kuantitatif kadar senyawa kimia yang bertanggungjawab langsung terhadap
aktivitas farmakologis tertentu, sedangkan parameter non spesifik adalah segala
aspek yang tidak terkait dengan aktivitas farmakologis secara langsung namun
mempengaruhi aspek keamanan dan stabilitas ekstrak dan sediaan yang di hasilkan.

Parameter spesifik terdiri dari pengujian parameter identitas, organoleptik dan


parameter uji kandungan kimia, parameter senyawa terlarut dalam pelarut tertentu
dan parameter KLT- densitometri. Sedangkan parameter non spesifik meliputi
parameter susut pengeringan, kadar air, kadar abu, kadar sari larut air dan etanol,
parameter total bakteri dan total kapang, parameter batas logam timbal, parameter
bobot jenis, dan parameter sisa pelarut.

35
Parameter spesifik yang dilakukan pada praktikum kali ini adalah parameter
parameter identitas, organoleptik dan parameter uji kandungan kimia menggunakan
KLT, sedangkan parameter non spesifik yang dilakukan yaitu parameter susut
pengeringan, kadar air, kadar abu,kadar abu tidak larut asam kadar sari larut air dan
etanol. Pengujian tidak dilakukan untuk seluruh parameter dikarenakan waktu dan
alat yang kurang untuk menunjang kegiatan dalam praktikum.

Untuk kelompok kami yaitu kelompok 6, pembuatan simplisia yang kami


gunakan adalah rimpang kencur, kencur yang diperoleh dilakukan beberapa
tahapan agar menjadi simplisia yang baik, yaitu pengumpulan bahan baku, sortasi
basah dilakukan setelah mendapatkan bahan baku dimana sortasi basah ini meliputi
kegiatan memisahkan kotoran seperti pasir atau bagian yang tidak diperlukan
selanjutnya kencur dicuci untuk menghilangkan kotoran dilanjutkan dengan
perajangan dimana ukuran kencur disesuaikan agar proses pengeringan dapat
berlangsung dengan baik setelah pengeringan dilanjutkan dengan sortasi kering
untuk memisahkan pengotor yang tidak diperlukan. Setelah seluruh proses tersebut
kami laksanakan dilanjutkan dengan penghalusan simplisia agar mempermudah
dalam proses pengujian standarisasi.

Simplisa kencur yang telah diserbukkan memiliki sifat organoleptik yaitu


serbuk berwarna putih kekuningan, bau khas dan rasa agak pedas dan getir. Untuk
pelaksanaan parameter non spesifik yang pertama yaitu susut pengeringan,
dilakukan standarisasi ini bertujuan agar memberikan batasan maksimal (rentang)
tentang besarnya senyawa yang hilang pada proses pengeringan. Parameter ini
dilakukan dengan menggunakan alat yaitu oven pada suhu 1050 C selama 30 menit
dimana hasil yang kami dapatkan yaitu sebesar 0,238% yang berarti sudah sesuai
dengan standar yang ditetapkan dimana susut pengeringan tidak lebih dari 10%.

Selanjutnya untuk pengujian kadar air dilakukan bertujuan untuk mengetahui


besarnya kandungan air, terkait dengan kemurian dan kontaminasi yang mungkin
terjadi. Penentuan kadar air bertujuan untuk mengetahui berapa persen (%) kadar
air yang terdapat dalam sampel kencur. Seperti yang diketahui bahwa air
merupakan media pertumbuhan mikroba, sehingga apabila dalam sampel
mengandung kadar air yang tinggi maka sampel akan lebih mudah terkontaminasi

36
dengan pertumbuhan mikroba yang lebih cepat. Berdasarkan buku praktikum
farmakognosi II dan fitoterapi diketahui bahwa kadar air dalam sampel kencur tidak
boleh lebih dari 14 %. Pada percobaan kadar air yang dilakukan dengan alat
Moisture Balance dengan suhu 1050 C didapatkan hasil kadar air pada percobaan
kelompok kami adalah 13.88 %. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sampel kencur
memenuhi persyaratan standarisasi kadar air.

Parameter berikutnya adalah kadar abu dan kadar abu tidak larut asam
dilakukan dengan alat furnace pada suhu 6000 C selama 30 menit. Penetapan kadar
abu total disini terjadi pemanasan bahan pada temperature dimana senyawa organik
dan turunanannya akan terdestruksi dan menguap, sehingga yang tertinggal hanya
unsur mineral dan anorganik. Tujuannya adalah untuk memberikan gambaran
kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses awal sampai
terbentukya simplsia. Selain itu penetapan kadar abu juga dimaksudkan untuk
mengontrol jumlah pencemar benda-benda organik seperti tanah, pasir yang
seringkali terikat dalam sediaan nabati. Dimana hasil yang diperoleh adalah 46%
dan kadar abu tidak larut asam sebesar 20%. Ketentuan seharusnya tidak boleh
kadar abu sebesar 8,7% dan tidak larut asam 2,5%. Akan tetapi persentase lebih
dari ketentuan yang berlaku, hal ini kemungkinan dikarenakan pada proses
pengujian kadar abu yang seharusnya dilakukan selama 6 jam, dilakukan hanya
selama 30 menit, sehingga proses pengujian tidak berlangsung secara maksimal.

Parameter yang dilakukan berikutnya adalah untuk kadar sari larut air dan
kadar sari larut etanol bertujuan untuk mengetahui berapa banyak simplisia yang
dapat larut dalam air maupun etanol. Standar yang ditetapkan untuk kencur harus
larut dalam air tidak kurang dari 14,2 % dan kadar sari larut etanol tidak kurang
dari 4,2 % dan hasil yang didapatkan adalah untuk kadar sari larut air adalah sebesar
13,7% hal ini belum sesuai dengan persyaratan yg telah di tetapkan kemungkinan
ini terjadi dikarenakan proses penarikan yatau pengocokan simplisia yang kurang
baik. Sedangkan untuk kadar sari larut etanol diperoleh hasil 10,49% dan sudah
memenuhi persyartan.

Berikutnya untuk parameter pola KLT bertujuan untuk memisahkan senyawa


berdasarkan kepolarannya. Fase gerak atau eluen yang digunakan adalah Heksan,

37
Etil asetat dan metanol, sedangkan fase diam yang digunakan adalah silika gel 60
GF254. Hasil yang diperoleh yaitu heksan etil (1:1) nilai Rf didaptkan 0,75 cm ;
kemudian etil metanol (4:1) Rf nya 0,25 cm dan Etil metanol (3:2) Rf nya 0,625
cm. n heksan merupakan jenis eluen yang non polar, etil asetat semi polar dan
metanol polar. Dilihat dari hasil Rf yang diperoleh sehingga dapat disimpulkan
bahwa kandungan dari kencur memiliki sifat yang lebih polar terlihat dengan hasil
Rf yang tertera.

Sedangkan untuk mikroskopik Uji mikroskopik dilakukan dengan


menggunakan mikroskop yang derajat pembesarannya disesuaikan dengan
keperluan. Simplisia yang diuji dapat berupa sayatan melintang, radial, paradermal
maupun membujur atau berupa serbuk. Pada uji mikroskopik dicari unsur – unsur
anatomi jaringan yang khas. Dari pengujian ini akan diketahui jenis simplisia
berdasarkan fragmen pengenal yang spesifik bagi masing – masing simplisia. Hasil
yang diperoleh didapatkan fargmen yaitu amilum, parenkim, periderm, dan
pengangkut.

Selanjutnya untuk obat tradisional yang digunakan adalah golongan obat


herbal terstandar yaitu mastin. Untuk meningkatkan mutu suatu obat tradisional
maka pembuatan obat tradisional haruslah dilakukan dengan sebaik-baiknya
mengikut pengawasan menyeluruh yang bertujuan untuk menyediakan obat
tradisional yang senantiasa memenuhi persyaratan yang berlaku. Keamanan dan
mutu obat tradisional tergantung dari bahan baku, bangunan, prosedur, dan
pelaksanaan pembuatan, peralatanyang digunakan, pengemasan termasuk bahan
serta personalia yang terlibat dalam pembuatan obat tradisional.

Parameter yang dilakukan sama dengan simplisia yang telah dilakukan


sebelumnya, yaitu Parameter spesifik yang dilakukan pada praktikum kali ini
adalah parameter parameter identitas, organoleptik dan parameter uji kandungan
kimia menggunakan KLT, sedangkan parameter non spesifik yang dilakukan yaitu
parameter susut pengeringan, kadar air, kadar abu,kadar abu tidak larut asam kadar
sari larut air dan etanol. Pengujian tidak dilakukan untuk seluruh parameter
dikarenakan waktu dan alat yang kurang untuk menunjang kegiatan dalam
praktikum.

38
Hasil yang diperoleh untuk mastin yaitu % susut pengeringan adalah 0,23%,
dimana sudah sesuai dengan standar yang telah ditetapkan yaitu tidak lebih dari
10% hal ini menandakan mastin sudah mengalami pengeringan yang baik.
Kemudian dilanjutkan dengan % Kadar sari larut air Mastin adalah 32%. Juga sudah
memenuhi persyaratan yang ditetapkan yaitu harus lebih besar dari 14,2 %. Dan
untuk % Kadar sari larut etanol Mastin adalah 19,12% juga sudah memenuhi
persyaratan yang ditetapkan.untuk pola KLT yang di peroleh yaitu etil etanol (4;1)
0,75 cm, kloroform etil (1;1) 0,5 cm dan etil 100% 0,775 cm. maka dari itu
menunjukkan bahwa mastin memiliki senyawa yang polar. Sedangkan kadar abu
total dan larut asam memiliki persentase19,60% dan 6,38 dimana tidak sesuai
dengan yang ditetapkan yaitu 8,7% dan 2,5%. Hal tersebut dapat dikarenakan oleh
lama waktu pengujian yang seharusnya 6 jam hanya dilakukan selama 30 menit.

Secara keseluruhan bahwa obat herbal terstandar mastin ini sudah memenuhi
persyaratan yang telah ditetapkan, maka untuk mutu dari mastin ini lebih terjamin
efikasi dan keamanannya.

39
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Kandungan utama rimpang kencur adalah etil p-metoksisinamat.
2. Rimpang kencur dapat dibuat simplisia dengan cara yang telah dijelaskan di
rosedur kerja.
3. % susut pengeringan simplisia rimpang kencur adalah 0,238%.
4. % Kadar sari larut air simplisia rimpang kencur adalah 13,57%.
5. % Kadar sari larut etanol simplisia rimpang kencur adalah 10,49%.
6. % Kadar air simplisia rimpang kencur adalah 13,88%.
7. % Kadar abu total dan tidak larut asam yaitu 46% dan 20%
8. Obat tradisional terbagi 3, yaitu jamu, OHT dan fitofarmaka.
9. Salah satu contoh obat fitofarmaka adalah Mastin
10. Kandungan utama Mastin adalah Xanthone.
11. % susut pengeringan OHT : mastin adalah 7,52%.
12. % kadar sari larut air OHT : mastin adalah 7,7%.
13. % kadar sari larut etanol OHT : mastin adalah 6,6%.
14. % Kadar abu total dan tidak larut asam yaitu 19,60% dan 6,38%

5.2 Saran
Melakukan parameter spesifik maupun non spesifik yang belum dilakukan
selama praktikum yang dilakukan kali ini seperti penentuan kapang, parameter
batas timbal dan lainnya.

40
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1980. Materia Medika Indonesia. Jilid 4.Departemen Kesehatan RI
Jakarta.
Anonim. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV, Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
Anonim, 2000, Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, Cetakan 1,
Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan
Makanan, Jakarta.
Anonim. 2005 Standardisasi Ektrak Tumbuhan Indonesia, Salah Satu Tahapan
Penting dalam Pengembangan Obat Asli Indonesia. Departemen Kesehatan
RI. Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan. Jakarta
Anonim. 2007. Kebijakan Obat Tradisional Nasional. Departemen Kesehatan RI.
Jakarta.
Anonim , 1985, Tanaman Obat Indo-nesia., Jilid I., Depatemen Kesehatan RI.,
Jakarta p.44-45.
Anonim, 1916, The Pharmacopoeia of the United States of America., 9th Ed., P.
Blakiston's Son & Co., Philadelphia.
Anonim, 1979, Materia Medika Indo-nesia, jilid I, Departemen Kesehatan RI, hal
79
Gunawan, D., S. Mulyani. 2010. Ilmu Obat Alam (Farmakognosi) Jilid 1. Jakarta :
Penebar Swadaya.
Lestari ,E.D. 2007. Analisis Daya Saing, Strategi, Dan Prospek Industri jamu di
Indonesia. Bogor:Penerbit ITB
Nazir, A. 2001. Gambir Budidaya, Pengelolaan dan Prospek Diversifikasinya.
Padang:Yayasan Hutanku.
Perry, L.M; 1980, Medicinal Plants of East and Southeast Asia, The MIT Press,
Cambridge-London.
Rismunandar, 1993, Lada: Budidaya dan Tata Niaganya., Panebar Swadaya.,
Jakarta.
Soediarto, 1985, Tiga Puluh Tahun Penelitian Tanaman Obat, Seri pengembangan,
No.5, Pusat Perpustakaan Pertanian dan Biologi, Bogor.
Sri Sugati, 1991 Sugati S., Johny Ria Hutapea, 1991, Inventaris Tanaman Obat
Indonesia., Jilid I., Balitbang Kesehatan., DepKes RI. Jakarta, p. 456-457.

41

Anda mungkin juga menyukai