Anda di halaman 1dari 55

RESUME

PENYAKIT MENULAR SEKSUAL

Diajukan untuk memenuhi sebagian tugas kepaniteraan klinik dan melengkapi salah satu
syarat menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter di Bagian Ilmu Kedokteran
Keluarga Rumah Sakit Islam Jemursari Surabaya

Oleh :

Anisa Widia Sudarman 6120019011


Aufar Zimamuzzaman Al Hajiri 6120019012
Yunita Ayu Puspita Sari 6120019013
Olivia Indira Sofyan 6120019014
Bagas Setiawan Ihsan Zaini 6120019015
Habil Yoga Lesmana 6120019016
Rohmatul Hidayati Ningsih 6120019017
Deny Febriwijaya Romadhani 6120019018
Putri Faiqotul Hikmah 6120019019
An Nisaa Putri Widyaiswara 6120019020

Pembimbing :
dr. Mohammad Nasir, Sp.OG(K)

DEPARTEMEN/SMF ILMU KEDOKTERAN KELUARGA


RSI JEMURSARI SURABAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA
SURABAYA
2021
BAB I

RESUME

1.1. Gonore

Gonore atau penyakit kencing nanah adalah penyakit infeksi menular seksual (IMS)

yang paling sering terjadi. Gonore disebabkan oleh bakteri diplokokus gram negatif,

Neisseria gonorrhoeae (N. gonorrhoeae), yang menginfeksi membran mukosa dari

urethra, endocervix, rectum, dan pharynx. Infeksi ini bisa tidak menimbulkan gejala

(Morel, 2010). Gonore merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting dan

kedua tersering dari IMS di Amerika. Gonore dapat ditularkan melalui hubungan seks

vaginal, anal dan oral dengan pasangan yang terinfeksi bakteri N. gonorrhoeae. Gonore

juga dapat ditularkan melalui ibu yang sedang mengandung kepada bayi yang ada dalam

kandungannya selama proses melahirkan bayi tersebut sehingga menyebabkan

ophtalmia neonatorum dan systemic neonatal infection (Wong, 2016).

Gambaran klinis dan perjalanan penyakit pada perempuan berbeda dengan laki-laki.

Hal ini disebabkan oleh perbedaan anatomi dan fisiologi alat kelamin laki-laki dan

perempuan. Pada perempuan, penyakit akut maupun kronik, gejala subjektif jarang

ditemukan dan hampir tidak pernah didapati kelainan objektif. Pada umumnya

perempuan datang berobat kalau sudah ada komplikasi. Gejala pertama pada laki-laki

berupa uretritis sedangkan pada perempuan berupa uretritis dan servisitis. Masa tunas

gonore sangat singkat, pada laki-laki umumnya berkisar 2-5 hari, kadang lebih lama.

Gejala tersebut dapat menyebabkan komplikasi lokal maupun sistemik selain itu juga

dapat menyebabkan komplikasi diseminata seperti artritis, miokarditis, endokarditis,

perikarditis, meningitis, dan dermatitis (Daili, 2014).

2
Menurut WHO, pada tahun 2008 terjadi peningkatan infeksi N. gonorrhoeae yang

signifikan selain di benua Eropa dan daerah Timur Tengah, yaitu dari sebanyak 87,7 juta

kasus pada tahun 2005 menjadi 106,1 juta kasus pada tahun 2008. Pada Benua Afrika

insidensi penderita gonore perempuan sebanyak 9,6 juta kasus, sedangkan laki-laki

sebanyak 11,6 juta kasus. Pada Tahun 2008, di Benua Amerika penderita gonore

perempuan 4,4 juta kasus, sedangkan laki-laki sebanyak 6,6 juta kasus. Di Asia

Tenggara insidensi penderita gonore perempuan sebanyak 7,5 juta kasus, sedangkan

laki-laki 18,0 juta kasus. Insidensi penderita gonore perempuan di Benua Eropa

sebanyak 1,9 juta kasus, sedangkan laki-laki sebanyak 1,6 juta kasus. Di Timur tengah

insidensi penderita gonore perempuan sebanyak 1,2 juta kasus sedangkan laki-laki 1,9

juta kasus. Data mengenai IMS secara keseluruhan menurut SDKI 2012. Laki-laki

kawin usia 15-54 tahun yang berobat IMS ke klinik, dokter, atau tenaga kesehatan

lainnya sebanyak 45%, 8% membeli obat sendiri ke apotik, 6% membeli obat dari

sumber lain selain apotik, dan sebanyak 39% tidak melakukan pengobatan IMS.

Di Indonesia, IMS yang paling banyak ditemukan adalah sifilis dan gonore.

Prevalensi infeksi menular di Indonesia yakni kota Bandung sebanyak 37,4% untuk

kasus gonore, klamidia 34,5%, dan sifilis 25,2%. Di Surabaya prevalensi infeksi

klamidia 33,7%, sifilis 28,8%, dan gonore sebanyak 19,8%. Jakarta sebagai ibu kota

negara Republik Indonesia memiliki jumlah kasus gonore sebanyak 29,8%, sifilis 25,2%

dan klamidia 22,7%. Di Medan angka kejadian syphilis terus meningkat setiap tahun.

Peningkatan penyakit ini terbukti sejak tahun 2003 meningkat 15,4%, sedangkan pada

tahun 2004 terus menunjukkan peningkatan menjadi 18,9%, sementara pada tahun 2005

menjadi 22,1% (Chiuman, 2009).

Laki-laki seks laki-laki (LSL) termasuk kelompok masyarakat berisiko tinggi

terhadap IMS. Angka kejadian infeksi menular seksual pada LSL di Amerika meningkat

3
cukup tinggi. Berbagai faktor penyebab tingginya angka kejadian HIV dan IMS pada

LSL adalah berhubungan seksual dengan pasangan yang terinfeksi dan ahkirnya

menularkan dirinya sendiri, perilaku seks yang tidak menggunakan kondom dan

perilaku seks melalui anal, serta pandangan masyarakat yang buruk terhadap LSL dapat

mempengaruhi kesehatan dari LSL (Center for Disease Control and Prevention, 2016).

Gonore dapat disembuhkan dengan pemberian antibiotik. Pengobatan antibiotik ini

akan diberikan kepada seseorang dengan hasil tes gonore positif, seseorang yang

berhubungan seks dengan pasangan yang terinfeksi dengan ada atau tidak adanya gejala

dalam kurun waktu enam puluh hari, dan bayi yang lahir dari ibu yang menderita gonore

(Marshall, 2014). Upaya pencegahan yang harus dilakukan agar tidak tertular IMS

adalah dengan menanyakan kepada pasangan sebelum berhubungan seksual apakah

pasangan anda sedang menderita gonore, gunakan kondom dengan benar setiap kali

berhubungan seks, berpikir dua kali sebelum berhubungan seks terutama jika bukan

dengan pasangan tetap, batasi jumlah pasangan dalam berhubungan seks, dan

mengetahui status diri sendiri apakah sedang menderita IMS sehingga dapat menjauhkan

pasangan dari risiko tertular IMS (Center for Disease Control and Prevention, 2016)

Pada LSL didapatkan beberapa gejala klinik yang jarang didapatkan pada pasangan

heteroseksual yaitu infeksi oropharyngeal maupun anal karena perilaku seks mereka

yang menyimpang seperti anal sex dan oral sex. Tingginya insidensi LSL mungkin juga

akan berdampak pada tingginya infeksi gonore yang ada saat ini.

Yayasan X adalah yayasan yang menampung para LSL di Kota Bandung. Visi

yayasan ini adalah menambah rasa percaya diri kepada LSL agar dapat berdaya dan

diterima oleh masyarakat. Misi utamanya adalah menghilangkan stigma dan

diskriminasi di masyarakat. Berbagai kegiatan dilakukan oleh yayasan ini salah satunya

dengan mengadakan kegiatan penyuluhan dan skrining gratis mengenai IMS dan

4
HIV/AIDS rutin setiap bulannya.

1.2. Sifilis

“Satu, memenjarakan para pekerja seks tidak akan menghapuskan prostitusi. Dua,

semakin tersembunyi dan sulit bergerak, semakin parah pula kerentanan mereka terhadap

kemiskinan dan penyakit menular seksual (PMS). Hal ini dikonfirmasi oleh laporan “Crimes

Against Morality: Unintended Consequences of Criminalizing Sex Work” (2020) yang

menganalisis dampak kriminalisasi dan penutupan lokalisasi di Malang, Jawa Timur, pada

2014 (Cameron, Lisa, et al., 2020).

Pada Juli 2014, Pemkab Malang mengumumkan akan menutup lokalisasi di wilayah

tersebut sebagai “kado ulang tahun” untuk Kabupaten Malang. Alih-alih memberikan

manfaat, Malang mendapati kado ulang tahunnya berbuah sebaliknya. Lima tahun setelah

lokalisasi ditutup dan pekerja seks dikriminalisasi, laporan menunjukkan bahwa jumlah

pekerja seks kembali melambung seperti semula. Bedanya, mereka terpapar risiko kesehatan

yang lebih tinggi dengan akses ke kondom yang dibatasi dan menjadi tingginya angka

penyakit menular seksual (PMS).

Angka PMS ditemukan meningkat hingga 58% di wilayah yang pernah

dikriminalisasi. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya aktivitas seks yang dilakukan tanpa

mengenakan kondom: akses terhadap kondom di wilayah-wilayah yang pernah

dikriminalisasi semakin sulit karena tidak ada lagi atau pekerja kesehatan yang menyediakan

kondom dengan harga murah kepada pekerja seks (Cameron, et al., 2020).

Dampak kesehatan dari kriminalisasi pekerja seks ini juga tidak hanya kepada mereka,

tetapi juga klien dan pasangan mereka. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa risiko laki-

laki selaku klien untuk tertular PMS meningkat menjadi 22-59,3%. Perempuan non-pekerja

5
sekspun mengalami kenaikan risiko menjadi 13,6- 48,3%. “Oleh karena itu, dampak dari

kriminalisasi terhadap kesehatan publik dalam jangka panjang, terutama di negara seperti

Indonesia (Cameron, et al., 2020).

Hal ini serupa dengan yang diungkapkan oleh Menteri Kesehatan (Menkes) tahun

2014 Nafsiah Mboi mengenai penutupan lokalisasi Gang Dolly pada 19 Juni 2014 bukanlah

sebuah solusi permanen untuk mengatasi masalah prostitusi di Surabaya, Jawa Timur. Ia

khawatir hal itu bakal meningkatkan potensi penularan infeksi menular seksual (IMS) dan

penularan di luar kelompok berisiko, seperti ibu rumah tangga dan bayi.

Berdasarkan pantauan, pasca penutupan Saritem (Bandung) dan Kramat Tunggak

(Jakarta), praktik prostitusi tetap berlangsung dan menyebar ke wilayah lain. Bedanya, PSK

yang menjajakan diri tidak terlokalisasi lagi. Mereka ditampung di rumah-rumah penduduk.

Imbasnya, dinas kesehatan, LSM kesehatan, dan dinas sosial kesulitan mendata dan memberi

pelayanan kesehatan serta menyampaikan program pemberdayaan.

Dampak paling berbahaya, ialah potensi penyakit menular seksual yang akan

meningkat. Pasalnya, PSK yang memiliki penyakit IMS tidak bisa terkontrol. Akibatnya,

lelaki yang menggunakan jasa mereka berisiko menularkan penyakit ke istri dan bayi

mereka.

Selain itu perilaku homoseksualitas, berganti-ganti pasangan serta berpindah tempat

memperbesar terjadinya risiko penularan (re-infeksi). Lesi sifilis terbuka juga dapat

meningkatkan risiko penularan HIV dan transmisi (CDC, 2009). Ada korelasi yang kuat

antara penyebaran PMS konvensional dan Penularan HIV dan pada kedua IMS ulseratif dan

non-ulseratif telah ditemukan meningkatkan risiko penularan HIV secara seksual (Chin,

2006).

Penyakit kelamin (veneral disease) sudah lama dikenal dan beberapa diantaranya

6
sangat populer di Indonesia yaitu sifilis dan gonorhea. Pengetahuan di bidang kesehatan

berkembang pesat sehingga ditemukan diagnosa penyakit kelamin baru yang disebut sexual

transmitted disease (STD) atau IMS. Kejadian IMS sebagian besar negara relatif tinggi dan

setiap tahun ditemukan kasus baru. Komplikasi dari IMS antara lain kemandulan, kecacatan,

gangguan kehamilan, gangguan pertumbuhan, kanker, dan juga kematian. (Fahmi dkk, 2014)

Angka kejadian IMS dari 340 juta kasus baru yang dapat disembuhkan (sifilis, gonore,

infeksi klamidia, dan infeksi trikomonas) terjadi setiap tahunnya pada laki-laki dan

perempuan usia 15-49 tahun. Secara epidemiologi penyakit ini tersebar di seluruh dunia,

angka kejadian paling tinggi tercatat di Asia Selatan dan Asia Tenggara, diikuti Afrika

bagian Sahara, Amerika Latin, dan Karibean. Prevalensi IMS di negara berkembang jauh

lebih tinggi dibandingkan dengan di negara maju. Pada perempuan hamil di dunia, angka

kejadian sifilis 10-100 kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan angka kejadiannya pada

perempuan hamil di negara industri (CDC, 2008).

Di Indonesia sendiri, kejadian infeksi menular seksual yang paling banyak ditemukan

adalah sifilis dan gonore. Jumlah kasus sifilis yang dilaporkan selama lima tahun terakhir

yaitu 37.040, kasus duh uretra (Uretritis non-gonokokus) sebanyak 52.951 kasus, kasus

pengeluaran duh vagina sebanyak 280.634 kasus, kasus ulkus genital sebanyak 8.695 kasus.

Terdapat kecenderungan pada wanita antara tahun 2011 dan 2016, jumlah kasus wanita yang

melaporkan mengalami pengeluaran duh vagina adalah 79. 268 kasus (Kemenkkes RI, 2017).

Kejadian remaja sifilis di Indonesia menurut Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2014

mencapai 42 juta jiwa atau 19,34% dari seluruh penduduk Indonesia. Masa remaja adalah

masa peralihan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa, yang dimulai pada saat terjadi

kematangan seksual, yaitu antara usia 11 atau 12 tahun sampai 20 tahun. Tingginya angka

kejadian penyakit menular seksual di kalangan remaja terutama wanita, merupakan bukti

7
bahwa pengetahuan remaja akan penyakit menular seksual masih rendah. Wanita dalam hal

ini sering menjadi korban dari penyakit menular seksual.

Provinsi Jawa Timur ditetapkan sebagai wilayah dengan prevalensi IMS yang

terkonsentrasi bersama 5 provinsi lainnya, yaitu DKI Jakarta, Papua, Bali, Riau dan Jawa

Barat. Jumlah penderita kasus IMS di Provinsi Jawa Timur tahun 2016 yang ditemukan pada

laki-laki Sifilis sebanyak 328 kasus (64.19%). Sedangkan jumlah kasus yang ditemukan pada

perempuan yaitu sebanyak 183 kasus (35.81%) (Dinkes Jatim, 2017).

Sifilis memiliki dampak besar bagi kesehatan seksual, kesehatan reproduksi, dan

kehidupan sosial. Populasi berisiko tertular sifilis meningkat dengan adanya perkembangan

dibidang sosial, demografik, serta meningkatnya migrasi penduduk (Kemenkes RI, 2017).

Penularan penyakit sifilis dapat terjadi melalui kontak langsung ataupun tidak

langsung. Penularan sifilis secara langsung melalui perpindahan bakteri Treponema Pallidum

yang terdapat pada lesi di area genital dan kulit luar area genital. Sejumlah penelitian

menyebutkan bahwa Treponema pallidum di kulit manusia dan membran mukosa memiliki

kecenderungan untuk masuk menembus kulit normal dan membran mukosa. Penularan sifilis

secara tidak langsung dapat terjadi seperti melalui penggunaan barang yang bersifat pribadi

seperti handuk, pisau cukur, alas tidur dan tinggal dalam kamar yang sama ataupun

menggunakan fasilitas toilet secara bersama (WHO, 2011).

Menurut WHO terdapat beberapa cara pencegahan untuk menekan angka kejadian

IMS dan HIV/AIDS yaitu dengan tidak melakukan seks pranikah pada remaja, mengurangi

jumlah pasangan seksual (be faithful), menggunakan kondom saat berhubungan seksual,

memutuskan rantai penularan infeksi, serta meningkatkan akses dan layanan pencegahan

komprehensif. Layanan pencegahan IMS pada pusat pelayanan kesehatan yaitu pemberian

kondom untuk pria maupun wanita, konseling pada pasien IMS yang berupa edukasi tentang

8
pencegahan infeksi HIV pada seseorang yang berisiko terhadap penyakit tersebut, dan

notifikasi pasangan seksual (Kemenkkes RI, 2017).

Dalam agama Islam sendiri Perilaku seks tanpa ikatan tergolong dalam perbuatan zina

dan zina sendiri telah secara tegas dilarang agama seperti pada Al-Qur’an Surat Al-Nisa ayat

32 Allah berfirman “Dan janganlah kamu mendekati Zina; (Zina) itu sesungguhnya suatu

perbuatan keji, dan satu jalan yang buruk”. Diharamkanya Zina adalah karena perbuatan zina

dapat menyebabkan keturunan yang pada akhirnya sangat di mungkinkan anak yang

dilahirkan menjadi terlontar. Dalam hadist riwayat Baihaqi dari Anas yang dikutip Mujab

Mahali menyebutkan ada 6 perkara yang akan diberikan Allah kepada para pezina baik yang

diberikan di dunia maupun di akhirat, ke 3 perkara yang akan di berikan didunia adalah

Hilangnya kewibawaan dari wajahnya, berkurangnya barakah umur, dan dilanda kekafiran

yang terus menerus. Sedangkan 3 perkara yang diberikan di akhirat adalah mendapat

kemurkaan Allah, dihisab dengan berat, dan mendapat siksa neraka (Ismail, 2017).

Masih banyak anggota masyarakat yang belum menyetujui tentang pemberian

pentingnya pendidikan seks baik di rumah maupun di sekolah. Hal ini mengakibatkan

terbatasnya pengetahuan mahasiswa tentang seksualitas yang pada akhirnya membuat

mahasiswa untuk mencari tahu sendiri informasi mengenai seks melalui teman, buku-buku

Porno, Video, VCD, DVD, maupun Hand Phone. Media-media tersebut memberi peluang

yang besar dalam akses Informasi tanpa sensor sehingga menambah daya dorong seksual

yang sangat mungkin mengakibatkan mahasiswa terlibat dalam perilaku seks bebas.

Lingkungan pergaulan yang kurang baik, melemahnya fungsi dan kontrol keluarga, serta

keterasingan yang dialami individu dan kurangnya pengetahuan yang benar mengenai

persoalan seksual yang sehat termasuk pengetahuan mengenai penyakit menular seksual

adalah faktor penyebab timbulnya perilaku seksual di kalangan masyarakat. Selain faktor

tersebut, kurangnya aktivitas keberagamaan juga menjadi salah satu faktor penyebab

9
timbulnya perilaku seksual.

1.3. HIV (Human Immunodeficiency Virus)

Prostitusi telah ada sepanjang sejarah manusia. Di Indonesia sejarah pelacuran dapat

ditelusuri sejak berlakunya sistem kolonial, yang ditandai dengan penamaan Gang Dolly dan

beberapa tempat prostitusi yang sudah dikenal sejak zaman kolonial Belanda. Prostitusi telah

menjadi sorotan beberapa waktu lalu, karena merupakan masalah moral, sosial dan agama.

Prostitusi sering dibicarakan, mengingat besarnya dampak yang ditimbulkan masalah yang

berskala nasional ini. Prostitusi memiliki dimensi yang sangat kompleks sebab berkaitan erat

dengan masalah penyimpangan tatanan nilai dan norma agama, budaya masyarakat serta

terkait erat dengan masalah ekonomi, ketertiban dan Kesehatan (Kartono, 2005).

Belakangan ini sedang heboh berita tentang prostitusi online melalui smartphone yang

melakukan transaksi jual beli pekerja seks komersial (PSK), baik laki-laki maupun

perempuan yang menjadi sasaran targetnya. Berbagai alasan orang-orang yang tidak

bertanggung jawab menggunakan media internet ini sebagai sarana mempromosikan

pelacuran, seperti alasan strategis dan aman. Media ini memang lebih aman jika

dibandingkan dengan langsung menjajakan di pinggir jalan ataupun tepat lokalisasi. Dengan

adanya media ini seseorang bisa lebih leluasa dalam bertransaksi, tidak harus saling bertemu

antara seorang pelaku prostitusi dengan orang yang ingin memakai jasanya (Kartono, 2005).

Dunia maya kini sudah menjadi bagian hidup dari masyarakat. Media sosial sebagai

salah satu produk dari dunia maya, mampu mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang

dekat. Dengan kecanggihan teknologi, bertemu dengan orang baru di dunia maya bukan lagi

hal yang sulit. Dahulu hanya dengan perangkat komputer atau laptop bisa mengakses media

sosial, sekarang ini dengan fasilitas smartphone (telepon pintar) kita bisa lebih mudah

10
mengaksesnya. Berbagai macam aplikasi dimunculkan dalam smartphone untuk

memfasilitasi kebutuhan pengguna perangkat keras ini (Kartono, 2005).

Kasus yang yang pernah ada adalah terungkapnya kasus prostitusi online yang

dilakukan di tower J lantai 5 dan tower H lantai 8 Apartemn Kalibata City, Jakarta Selatan.

Polisi menangkap pria bernama Faisal alias Ical yang merupakan tersangka prostitusi online.

Modus yang dipakai adalah dengan menawarkan PSK yang menjadi anak buahnya melalui

forum semprot.com yang merupakan forum khusus dewasa. Faisal mematok tarif muali dari

Rp 600 ribu sampai 3 juta per jam. Parahnya, Faisal memeperkerjakan anak dibawah umur,

bahkan salah satunya berusia 14 tahun. Mirisnya lagi, Faisal memperkerjakan perempuan

yang tengah hamil enam bulan. Faisal menggunakan apartemen di Tower Jasmine lantai 5

sebagai tempat untuk menampung para PSK. Sementara tempat untuk melakukan prostitusi

di Tower Herbras lantai 8.

Salah satu dampak dari protitusi online pada Kesehatan utamanya yaitu HIV/AIDS.

HIV terus menjadi masalah kesehatan utama pada masyarakat di dunia, menurut WHO telah

lebih dari 35 juta jiwa penderita sejauh ini. Pada 2017, 940.000 orang di dunia meninggal

karena penyebab terkait HIV. Data WHO menunjukan di dunia ada sekitar 36,9 juta orang

yang hidup dengan HIV pada akhir tahun 2017 dengan 1,8 juta orang baru terinfeksi pada

tahun 2017. Sebanyak 59% orang dewasa dan 52% anak-anak yang hidup dengan HIV

menerima terapi antiretroviral (ART) seumur hidup pada tahun 2017 (WHO, 2017).

Menurut WHO, Afrika adalah wilayah yang paling banyak, dengan 25,7 juta orang

hidup dengan HIV pada tahun 2017. Wilayah Afrika juga menyumbang lebih dari dua

pertiga dari total infeksi HIV baru di dunia. Setelah Afrika disusul oleh Asia Tenggara

dengan penderita HIV paling banyak kedua. Di Indonesia sendiri yang masuk dalam wilayah

Asia Tenggara memiliki angka penderita yang cukup tinggi dan terjadi peningkat setiap

11
tahunnya (WHO, 2017).

Berdasarkan laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI pada 17 Februari 2020, pada triwulan

keempat tahun 2019 dalam jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS dengan skala nasional

Provinsi Jawa Timur ada di puncak epidemi HIV/AIDS nasional dengan jumlah kasus

77.963 yang terdiri atas 57.176 HIV dan 20.787 AIDS (Kemenkes, 2020).

Sedangkan pada triwulan pertama tahun 2020 juga Jawa Timur pula yang ada di

puncak epidemi HIV/AIDS berdasarkan laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, 29 Mei 2020,

dengan jumlah kasus HIV/AIDS sebanyak 79.577 yang terdiri atas 58.673 HIV dan 20.904

AIDS. Dari data kasus HIV/AIDS di Jawa Timur dalam waktu tiga bulan yaitu Januari –

Maret 2020 ada penambahan kasus baru HIV sebanyak 1.497 dan AIDS sebanyak 117.

Dengan tambahan kasus HIV ini berarti terjadi insiden infeksi HIV baru di masyarakat.

(Kemenkes, 2020).

Berdasarkan faktor resiko menunjukkan bahwa heteroseksual lebih tinggi

dibandingkan homoseksual dan Data kasus HIV & AIDS paling banyak ditemukan pada

kisaran umur 20-29 tahun (PKBI, 2015). Lamanya waktu untuk terinfeksi dapat sangat

bervariasi antar individu. Jika dibiarkan tanpa pengobatan, sebagian besar orang yang

terinfeksi HIV akan mengembangkan tanda-tanda penyakit terkait HIV dalam 5-10 tahun,

walaupun ini bisa lebih pendek. Waktu antara tertular HIV dan diagnosis AIDS biasanya

antara 10–15 tahun, tetapi terkadang dapat lebih lama. Terapi antiretroviral (ART) dapat

memperlambat perkembangan penyakit dengan mencegah replikasi virus dan mengurangi

jumlah virus dalam darah orang yang terinfeksi (dikenal sebagai 'viral load') (WHO,2017).

Masa antara terinfeksinya HIV dengan timbulnya gejala-gejala penyakit (masa inkubasi)

adalah 6 bulan sampai lebih dari 10 tahun, rata-rata 21 bulan pada anak-anak dan 60 bulan

pada orang dewasa. Pola penularan HIV berdasarkan kelompok umur dalam 5 tahun terakhir

12
tidak banyak berubah. Infeksi HIV paling banyak terjadi pada kelompok usia produktif 25-49

tahun, diikuti kelompok usia 20-24 tahun (Kemenkes, 2014). Dari data tersebut setiap

tahunnya kasus HIV paling banyak terdapat pada usia rentang 25-49 tahun, sedangkan masa

inkubasi HIV dibutuhkan 5 hingga 10 tahun untuk dapat terdeteksi, sehingga kemungkinan

penderita HIV yang sudah terpapar sejak usia remaja.

Masa remaja merupakan periode terjadinya pertumbuhan dan perkembangan yang pesat bauk

secara fisik, psikologis maupun intelektual. Sifat khas remaja mempunyai rasa keingintahuan

yang besar, menyukai petualangan dan tantangan serta cenderung berani menanggung risiko

atas perbuatannya tanpa didahului oleh pertimbangan yang matang. Sifat dan berperilaku

berisiko pada remaja tersebut memerlukan kesediaan pelayanan kesehatan termasuk

pelayanan untuk kesehatan reproduksi (Infodatin, 2015).

Berdasarkan Analisis Data Riskesdas tahun 2010, pengetahuan HIV dan AIDS pada

remaja dengan katagori baik diketahui sebesar 51,1 persen, sedangkan remaja dengan

pengetahuan HIV dan AIDS kurang sebesar 48,9 persen. Persentase remaja yang mampu

menjawab dengan benar pengetahuan HIV dan AIDS hanya sebesar 0,3 persen (Sudikno,

2010). Menurut penelitian Rahmawati, (2014), yang menyebukan tidak ada perbedaan yang

terlalu besar antara pengetahuan baik dan sedang, hal ini terjadi karena responden memiliki

pengetahuan yang bervariasi.

Berdasarkan data tersebut, perlu adanya intervensi atau tindakan seperti promosi

kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan tentang HIV/AIDS sehingga dapat

meningkatkan kesadaran dalam menjahui penyakit tersebut. Promosi Kesehatan menurut

WHO tahun 2018, promosi kesehatan yaitu suatu proses yang memungkinkan masyarakat

meningkatkan atau mengontrol kesehatan diri. Ini mencakup intervensi sosial dan lingkungan

yang dirancang untuk memberi manfaat dan melindungi kesehatan dan kualitas hidup

13
individu dengan mengatasi dan mencegah akar penyebab kesehatan yang buruk, tidak hanya

berfokus pada perawatan dan penyembuhan.

Hal tersebut merupakan salah satu penanggulangan HIV/AIDS dengan cara promotif

dan preventif. Penanggulangan tersebut dapat berupa penyuluhan dengan menggunakan

media cetak, media elektronik, media sosial, perkumpulan sosial budaya untuk mewujudkan

masyarakat berperilaku. Untuk melakukan pencegahan penyakit serius seperti HIV/AIDS

pada remaja diperlukan pemilihan media yang tepat. Pemilihan media merupakan unsur yang

cukup penting karena dapat membantu mempermudah pemahaman. Media pembelajaran

dapat diartikan sebagai media yang memberikan pesan-pesan atau informasi yang bertujuan

instruksional yang mengandung unsur-unsur pengajaran. Salah satu media yang dapat

digunakan yaitu media audio visual atau video, karena masyarakat akan lebih cepat

menerima pesan yang ditampilkan dan didengarkan daripada membaca tulisan.

Islam memandang perbuatan prostitusi merupakan perbuatan tercela dan termasuk

dalam dosa besar dan mempunyai sanksi yang besar. Islam tidak membedakan apakah

tindakan tersebut atas dasar suka sama suka, paksaan, tidak beda pula, apakah ada tuntutan

ke pengadilan ataupun tidak, semuanya dipandang sebagai perbuatan zina. Perbuatan

mendekati zina adalah perbuatan cabul yang dapat menyebabkan dan mengakibatkan

terjadinya suatu perbuatan zina (Neng, 2010).

Dalam al-Qur’an, larangan perbuatan mendekati zina terdapat dalam surat al-Isra ayat 32

yang artinya yaitu:

‫َواَل تَ ْق َربُوا ال ِّز ٰن ٓى اِنَّهٗ َكانَ فَا ِح َشةً ۗ َو َس ۤا َء َسبِ ْياًل‬

“dan janganlah kamu mendekati zina sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji

dan suatu jalan yang buruk.”

Alasan-alasan larangan melakukan perbuatan mendekati zina, menurut para mufasirin

14
dari Tim Pentashih Mushaf al-Qur’an Departemen Agama Republik Indonesia, adalah karena

perbuatan ina itu merupakan perbuatan yang keji yang mengakibatkan kerusakan, antara lain

(Departemen Agama RI, 1994):

1. Perbuatan zina itu mencampuradukkan keturunan, yang mengakibatkan seseorang

menjadi ragu-ragu terhadap anaknya, apakah anak ntersebut lahir itu sebagai keturunannya

yang sah atau hasil perzinaan. Dugaan suami terhadap istri melakukan zina dengan laki-laki

lain, dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam hal kedudukan hukum anak

bersangkutan. Hal ini dapat mengakibatkan terhambatnya kelangsungan keturunan dan

menghancurkan tata kemasyarakatan.

2. Perbuatan zina menimbulkan ketidakstabilan dan kegelisahan. Diantara sesama

anggota masyarakat, disebabkan tidak terpeliharanya kehormatan. Akibat terjadinya

perbuatan zina banyak menimbulkan terjadinya tindak pidana terhadap nyawa atau

pembunuhan dalam masyarakat.

3. Perbuatan zina dapat merusak ketenangan hidup berumah tangga. Seorang wanita atau

seorang lelaki yang telah berbuat zina menimbulkan stikma atau noda keluarga dalam

masyarakat setempat, sehingga memunculkan ketidakharmonisan dan tidak ada kedamaian

serta tidak ada ketenangan dalam hubungan hidup berumah tangga, terlebih lagi jika zina itu

dilakukan oleh suami atau istri yang bersangkutan.

4. Perbuatan zina dapat menghancurkan kehidupan rumah tangga atau keluarga yang

bersangkutan. Hal itu karena, suami atau istri yang melakukan zina berarti ia telah menodai

keluarga atau rumah tangganya, sehingga akan sukar untuk dielakkan dari kehancuran rumah

tangga.

15
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyakit Menular Seksual

1. Pengertian Penyakit Menular Seksual

Penyakit menular seksual adalah penyakit yang ditularkan melalui hubungan

seksual. Penyakit menular seksual akan lebih beresiko bila melakukan hubungan

seksual dengan berganti-ganti pasangan baik melalui vagina, oral maupun anal

(Sjaiful, 2007).

2. Bahaya Penyakit Menular Seksual

Penyakit menular seksual menyebabkan infeksi saluran reproduksi yang harus

dianggap serius. Bila tidak diobati secara tepat, infeksi dapat menjalar dan

menyebabkan penderitaan, sakit berkepanjangan, kemandulan dan kematian

(Sjaiful, 2007).

3. Jenis Penyakit Menular Seksual.

3.1. Gonore

3.1.2 Definisi

Gonorrhea merupakan salah satu infeksi menular seksual, dimana penyakit ini

ditularkan melalui hubungan seksual dengan pasangan yang sudah tertular.

Sebutan lain penyakit ini adalah kencing nanah dan biasaya penyakit ini

menyerang selaput lendir, mucous, mata, anus dan beberapa organ tubuh lainnya

(CDC, 2013).

3.1.3 Etiologi

16
Gonorrhea disebabkan oleh bakteri gram negatif Neisseria gonorrhoeae.

Famili Neisseriaceae meliputi spesies Neisseria dan Moxarella catarralis seperti

Acinetobacter dan Kingella serta spesies Moxarella lainnya. Neisseria adalah

cocci gram negatif yang biasanya berpasangan (Ernawati, 2010).

Bakteri Neisseria gonorrhoeae berbentuk biji kopi dengan lebar 0,8μ, panjang

1,6 μ dan bersifat tahan terhadap suasana asam akan tetapi tidak tahan lama

berada pada udara bebas, bakteri ini akan cepat mati pada keadaan kering dan

tidak tahan terhadap suhu sekitar 39°C (Afriana N, 2012).

Predominan bakteri ini menginfeksi jaringan epitel uretra, endocervix, rektum,

faring, dan konjungtiva. Transmisi penyakit ini terjadi melalui inokulasi langsung

dari sekresi yang telah terinfeksi melalui kontak mukosa ke mukosa lainnya.

Contohnya melalui kontak genital-genital, genital anorectal, oro-genital, atau

kontak oro-anal ibu yang mentransmisikan kepada anaknya anaknya pada saat

proses kelahiran (Bignell dan Unemo, 2014).

3.1.4 Patofisiologi

Bakteri Neisseria gonorrheae merupakan bakteri diplokokus gram negatif

yang bersifat intraseluler yang mempengaruhi epitel kuboid atau kolumner pada

hostnya. Virulensi dan patogenitas bakteri ini tergantung pada banyak hal,

misalnya protein opacity-associated yang dapat meningkatkan perlekatan antara

gonokokus (bentuk koloni pada kultur media) dan juga meningkatkan

perlekatannya dengan fagosit (Afriana N, 2012).

Awalnya gonokokus melekat pada sel mukosa hostnya kemudian melakukan

penetrasi seluruhnya diantara sel dalam ruang sub epitel. Karakteristik respon host

oleh invasi gonokokus adalah dengan adanya neutrofil, diikuti dengan

17
pengelupasan epitel, pembentukan mikroabses submukosa dan discharge purulen.

Apabila tidak diobati, infiltrasi makrofag dan limfosit akan digantikan oleh

neutrofil. Beberapa strain menyebabkan infeksi asimptomatik (Afriana N, 2012).

Gonokokus yang menyerang membran selaput lendir dari saluran

genitourinaria, mata, rektum, dan tenggorokan menghasilkan eksudat akut yang

mengarah ke infeksi jaringan lalu hal ini diikuti dengan inflamasi kronis dan

fibrosis. Pada pria, biasanya terjadi peradangan uretra, eksudat berwarna kuning

dan kental, disertai rasa nyeri saat membuang air kecil. Infeksi uretra pada pria

dapat menjadi infeksi yang asimptomatik. Sedangkan pada wanita, infeksi primer

terjadi di indoserviks dan menyebar ke uretra dan vagina, serta meningkatkan

sekresi cairan mikropurulen. Hal ini dapat berkembang ke tuba uterine, dan

menyebabkan salpingitis, fibrosis dan obliterasi tuba (Afriana N, 2012).

Bakterimia pada infeksi gonorrhea mengarah pada infeksi kulit (terutama

pembentukan papula dan pustula yang hemorrages) yang terdapat pada tangan,

lengan, kaki, dan tenosynovitis dan arthritis bernanah yang biasanya terjadi pada

lutut, pergelangan kaki dan tangan. Endokarditis yang disebabkan oleh gonokokus

kadang dapat menginfeksi lapisan meningeal otak yang dapat menyebabkan

meningitis dan dapat menginfeksi mata khususnya konjungtiva mata (Afriana N,

2012).

Bakteri gonokokus yang menyebabkan infeksi lokal sering peka terhadap

serum tetapi bakteri ini relatif resisten terhadap obat anti mikroba. Akan tetapi

terjadi hal sebaliknya ketika gonokokus menginfeksi sampai ke dalam aliran darah

dan menyebabkan infeksi yang menyebar biasanya resisten terhadap serum tetapi

peka terhadap penisilin dan obat antimikroba lainnya serta berasal dari auksotipe

yang memerlukan arginin, hipoxantin, dan urasil untuk pertumbuhannya (Afriana

18
N, 2012).

3.1.5 Diagnosis

Diagnosis bukan hanya sekedar penentu untuk penggunaan obat untuk

kesembuhan, akan tetapi juga digunakan untuk menurunkan tingkat penularan.

Adapun beberapa tata laksana diagnosis yang dilakukan untuk menindak lanjuti

kasus infeksi menular seksual antara lain (Kemenkes RI, 2011):

1) Anamnesis tentang riwayat infeksi/penyakit

2) Pemeriksaan fisik dan pengambilan spesimen/bahan pemeriksaan

3) Diagnosis yang tepat

4) Pengobatan yang efektif

5) Pemberian informasi dan edukasi yang berkaitan dengan perilaku seksual

6) Penyediaan kondom dan anjuran pemakaiannya

7) Penatalaksanaan mitra seksual

8) Pencatatan dan pelaporan kasus

9) Tindak lanjut klinis secara tepat.

3.1.6 Anamnesis

Anamnesis yang bertujuan untuk menentukan faktor risiko, membantu

menegakkan diagnosis sebelum dilakukannya pemeriksaan fisik, dan membantu

mengidentifikasi pasangan seksual pasien yang dapat dilakukan oleh tenaga medis

maupun paramedis dengan tidak melupakan untuk berlaku sopan untuk

mendapatkan informasi serta menjaga kerahasiaan dari pasien (Kemenkes RI,

2011).

Adapun informasi faktor risiko yang dapat digali dari melakukan anamnesis

berdasarkan WHO antara lain (Kemenkes RI, 2011):

19
1) Pasangan seksual > 1 dalam 1 bulan terakhir

2) Berhubungan seksual dengan penjaja seks dalam 1 bulan terakhir

3) Mengalami 1/ lebih episode IMS dalam 1 bulan terakhir.

4) Perilaku pasangan seksual berisiko tinggi.

Adapun beberapa pertanyaan yang perlu ditanyakan kepada pasien antara lain

(Kemenkes RI, 2011):

1) Keluhan utama Keluhan tambahan

2) Riwayat perjalanan penyakit

3) Siapa menjadi pasangan seksual tersangka (wanita/pria penjaja seks, teman,

pacar, suami/isteri

4) Kapan kontak seksual tersangka dilakukan

5) Jenis kelamin pasangan seksual

6) Cara melakukan hubungan seksual (genito-genital, orogenital, anogenital)

7) Penggunaan kondom (tidak pernah, jarang, sering, selalu)

8) Riwayat dan pemberi pengobatan sebelumnya (dokter/bukan dokter/sendiri)

9) Hubungan keluhan dengan keadaan lainnya – menjelang/sesudah haid;

kelelahan fisik/psikis; penyakit: diabetes, tumor, keganasan, lain-lain);

penggunaan obat: antibiotika, kortikosteroid, kontrasepsi); pemakaian alat

kontrasepssi dalam rahim (AKDR); rangsangan seksual; kehamilan; kontak

seksual

10) Riwayat IMS sebelumnya dan pengobatannya

11) Hari terakhir haid

12) Nyeri perut bagian bawah

13) Cara kontrasepsi yang digunakan dan mulai kapan

20
Dari beberapa pertanyaan di atas, maka beberapa gejala yang akan dikeluhkan

pasien antara lain (Bignell dan Unemo, 2014):

1) Laki-laki predominan mengalami uretritis akut dengan mengeluhkan gejala

eksudat uretra (>80%) dan dysuria (>50%). Gejala ini biasanya dikeluhkan

sekitar 2-8 minggu setelah exposure. Sedangkan pada pasien laki-laki yang

mengalami gejala asimptomatik maka jarang akan mengeluhkan gejala

uretritis (Bignell dan Unemo, 2014).

2) Keluhan infeksi Neisseria gonorrheae pada wanita terdapat dalam bentuk

asimptomatik (Abdullah F dan Murtiastutik D, 2008) atau simptomatik pada

genital tract berkaitan dengan infeksi endoserviks dan uretra dan termasuk

keluhan gatal pada organ genitalia, peningkatan eksudat vagina (>50%), nyeri

perut bagian bawah (<25%), dysuria (10-15%) dan jarang mengalami

mennorhagia. Tapi biasanya pada pasien perempuan yang mengalami infeksi

endoserviks akan jarang mengalami keluhan (Bignell dan Unemo, 2014).

3) Pada pasien yang mengalami infeksi rectal dan faring maka akan jarang

mengalami gejala yang asimptomatik (Bignell dan Unemo, 2014).

3.1.7 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada pasien yang mengalami infeksi menular seksual harus

dilakukan dengan adanya seorang pendamping, pada pasien wanita maka

diperlukan seorang pendamping wanita, sedangkan pada pasien laki- laki

diperlukan seorang pendamping laki-laki maupun perempuan (Kemenkes RI,

2011).

Pasien perempuan diperiksa dengan berbaring pada meja ginekologik dalam posisi

litotomi (Kemenkes RI, 2011).

21
Gambar 2.1 Posisi Litotomi Sumber: Kemenkes RI, 2011

Pemeriksa duduk dengan nyaman ambil melakukan inspeksi dan palpasi mons

pubis, labia, dan perineum. Periksa daerah genitalia luar dengan memisahkan ke

dua labia, perhatikan adakah kemerahan, pembengkakan, luka/lecet, massa.

Pemeriksaan pasien laki-laki dapat dilakukan sambil duduk/ berdiri (Kemenkes

RI, 2011).

1) Perhatikan daerah penis, dari pangkal sampai ujung, serta daerah skrotum.

2) Perhatikan adakah duh tubuh, pembengkakan, luka/lecet atau lesi lain.

Pemeriksaan fisik yang dilakukan dengan cara melakukan inspeksi dan palpasi

pada daerah genitalia, perineum, anus dan sekitarnya (Kemenkes RI, 2011).

1) Jangan lupa memeriksa daerah inguinal untuk mengetahui pembesaran

kelenjar getah bening setempat (regional).

2) Bilamana tersedia fasilitas laboratorium, sekaligus dilakukan

pengambilan bahan pemeriksaan.

3) Pada pasien pria dengan gejala duh tubuh genitalia disarankan untuk tidak

berkemih selama 1 jam (3 jam lebih baik), sebelum pemeriksaan.

Dari hasil pemeriksaan fisik maka akan didapatkan hasil berupa (Bignell dan

Unemo, 2014):

22
1) Laki-laki akan sering ditemukan eksudat mukopurulent pada uretra yang

akan disertai dengan erythema dari uretra.

2) Perempuan hasil pemeriksaan dapat normal ataupun adanya temuan

mukopurulent yang berasal dari serviks, terkadang disertai dengan

hyperaemia dan pendarahan dari endoserviks (Bignell dan Unemo, 2014).

3.1.8 Tes Laboratorium

Pemeriksaan tambahan atau pemeriksaan penunjang direkomendasikan untuk

pasien suspek mengalami infeksi gonorrhea dimana pasien tersebut memiliki

tanda dan gejala, ataupun pasien yang asimptomatik (Kemenkes RI, 2011).

Pemeriksaan yang tersedia untuk mendiagnosis gonorrhea antara lain:

1) Pemeriksaan mikroskopis

Bertujuan untuk mengidentifikasi diplokokus gram negatif yang memiliki

sensitivitas >90% untuk pasien laki-laki yang simptomatis dan 50-75% untuk

pasien laki-laki asimptomatik dan spesifisitas >90 pada pasien laki-laki yang

mengalami gejala yang simptomatik dan asimptomatik (Bontovics dan Allen,

2013).

Gambaran mikroskopis sediaan hapusan serviks memperlihatkan bahwa bakteri

diplokokus gonorrhea terdapat dalam bentuk diplokokus polimorphonuklear

(PMN) (Adam M, 2012).

23
Gambar 2.2 Sediaan hapusan serviks disertai diplokokus gram negatif dan leukosit

Polimorfonuklear (PMN)

Sumber: Kemenkes RI, 2011

Keuntungan primer diagnosis dengan mikroskopis pada penderita gonorrhea

adalah hasil yang lebih cepat diketahui. Tapi untuk meningktakan sensitivitas,

mdiagnosisnya dapat dilakukan dengan mengkombinasi pemeriksaan mikroskopis

dengan pemeriksaan kultur dan NAAT, akan tetapi jika pada pemeriksaan

mikroskopis sudah ditemukan Neisseria gonorrhoeae maka kultur berfungsi untuk

melihat apakah adanya resistensi pada pengobatan infeksi tersebut (Bontovics dan

Allen, 2013).

Pemeriksaan mikroskopis tidak disarankan untuk untuk mendeteksi infeksi

faring karena memiliki spesifisitas dan sensitivitas yang rendah (Bontovics dan

Allen, 2013).

2) Kultur

Kultur bakteri untuk Neisseria gonorrhoeae memiliki spesifisitas diatas 99%,

dan merupakan metode diagnosis terbaik. Sedangkan sensitivitas untuk

mendeteksi gonorrhea berkisar 50-92%. Sensitivitas kultur bakteri tergantung

dari pengumpulan, transport, penyimpanan, dan prosedur isolasi untuk

mengptimalkan hasil kultur bakteri. Kultur bakteri ini dapat dilakukan pada

beberapa anatomi tubuh yang mengalami infeksi antara lain uretra, serviks,

faring, rectal, konjungtiva, joint fluid dan darah akan tetapi kultur tidak

disarankan menggunakan spesimen yang berasal dari urine (Bontovics dan Allen,

2013).

3) NAAT (Nucleic Acid Amplification Testing)

Awal diperkenalkan pada tahun 1990 dan merupakan diagnosis yang sangat

24
sederhana dengan sensitivitas lebih baik dibandingkan dengan kultur bakteri

Neisseria gonorrhoeae. Sample yang digunakan biasanya diambil dari urin,

serviks, dan uretra. Pemeriksaan menggunakan urine biasanya memang lebih tidak

invasive tapi jika dilakukan pada wanita maka sensitivitasnya lebih rendah

dibandingkan penggunaan sample dari serviks (Bontovics dan Allen, 2013).

Kekurangan dari pemeriksaan ini adalah tidak dapat mengetahui hasil yang

memadai untuk melihat apakan adanya resistesi bakteri terhadap antimicrobial,

dan juga pemeriksaan ini tidak disarankan untuk dilakukan pada sample yang

diambil dari faring dan rectal (Bontovics dan Allen, 2013).

4) PCR

PCR merupakan suatu amplifikas DNA enzimatik yang sangat sensitif dan

spesifik terhadap suatu organism tertentu berdasarkan target gen primer yang

dimiliki. Fungsi PCR ini adalah untuk mendeteksi DNA organisme tertentu

walaupun dengan spesimen dalam jumlah yang terbatas dengan spesimen yang di

ambil dari mana saja yang diduga mengalami gangguan (Afriana N, 2012).

3.1.6 Penatalaksanaan

1) Farmakologi
Pengobatan dalam mengatasi infeksi gonorrhea lebih sering menggunakan

terapi single dose dengan tujuan untuk mengatasi kepatuhan pasien dalam

pengobatan (Afriana N, 2012). Obat pilihan yang dapat digunakan adalah

cephalosporin generasi ketiga, salah satunya cefriaxone diberikan dengan cara IM

(intramuskular) dengan dosis 500 mg dikombinasi dengan azitromycin 2 g sebagai

single oral dose. Selain cefriaxone terdapat beberapa antibiotik yang dapat dipilih

dan memberikan efek yang cukup baik, antara lain ciprofloxacin, ofloxacin,

enoxacin, cefixime 400 mg oral, dan spectinomycin 2 g (Bignell dan Unemo,

25
2014).

Terapi yang direkomendasikan untuk pasien yang hamil dan menyusui

adalah dengan penggunaan cefriaxone 500 mg IM sebagai dosis tunggal, atau

dengan regimen alternatif yang menggunakan spectinomycin 2 g IM sebagai dosis

tunggal. Sedangkan penggunaan azitromycin pada ibu hamil belum mendapatkan

konfirmasi tentang keamanan penggunaan. Tapi untuk ibu hamil dan menyusui

dilarang untuk menggunakan antibiotik fluoroquinolon dan tetracycline (Bignell

dan Unemo, 2014).

Pasien-pasien yang mengalami alergi terhadap penicillin maka dapat

menggunakan spectinomycin 2 gram intramuscular dengan kombinasi bersama

azitromycin 2 gram sebagai single dose. Dan alternatife treatmentnya dapat

menggunakan ciprofluoxacin 500 mg oral atau ofloxacin 400 mg atau azitromycin

2 gram (Bignell dan Unemo, 2014).

Beberapa tahun setelah penggunaan single dose akhir-akhir ini banyak

laporan mengenai kasus resistensi terhadap obat penicillin, tetracycline,

macrolides, dan fluuoroquinolones yang kasusnya cukup meningkat signifikan.

Maka untuk mengatasi hal ini maka CDC merekomendasikan penggunaa

ciprofloxacin dengan dosis 500 mg. namun terapi ini tidak boleh diberikan untuk

ibu hamil yang mengalami gonorrhea (Afriana N, 2012).

Mengatasi gonorrhea pada anak dapat diberikan penisilin prokain dengan

dosis 100.000 unit/kg berat badan, dengan dikombinasi dengan probenecid 25g/kg

berat badan. Tetapi terdapat beberapa pilihan terapi yang dapat dipilih untuk terapi

gonorrhea pada anak-anak yaitu dengan penggunaa ampisilin 50 mg/kg berat

badan dengan kombinasi probenecid dengan dosis sama dengan penggunaa

penisilin yaitu 25 g/kg berat badan (Afriana N, 2012).

26
Sedangkan terapi untuk pasien yang mengalami infeksi pada konjungtiva

mata, mata pasien awalnya harus diirigasi menggunakan larutan saline steril lalu

dapat diberikan ceftriaxone 500 mg sebangai dosis tunggal dengan penggunaan

selama 3 hari lalu, jika pasien memiliki riwayan alergi penicillin maka obat

pilihan yang dapat digunakan antara lain, spectinomycin 2 gram intramuscular.

pasien yang mengalami gonoblenore dirawat oleh bagian ilmu penyakit mata

(Bignell dan Unemo, 2014).

2) Non Farmakologi

Pemberian KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) mengenai

management sex partner dimana pasangan sex harus mendapatkan penanganan

berupa tes diagnosis dan jika pasangan sex juga mengalami infeksi positif maka

harus mendapatkan pengobatan dan konseling mengenai gonorrhea (Bignell dan

Unemo, 2014)

3.2. Sifilis

3.3.1 Definisi

Sifilis merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh spirochaete,

Treponema pallidum (T. pallidum) dan merupakan salah satu bentuk infeksi

menular seksual. Selain sifilis, terdapat tiga jenis infeksi lain pada manusia yang

disebabkan oleh treponema, yaitu: non venereal endemic syphilis (telah eradikasi),

frambusia (T. pertenue), dan pinta (T. careteum di Amerika Selatan).

Sifilis secara umum dapat dibedakan menjadi dua: yaitu sifilis kongenital

(ditularkan dari ibu ke janin selama dalam kandungan) dan sifilis yang didapat /

27
acquired (ditularkan melalui hubungan seks atau jarum suntik dan produk darah

yang tercemar).

3.3.2 Manifestasi Klinis

Stadium Manifestasi Klinis Durasi


Primer Ulkus/luka/tukak, biasanya soliter, tidak nyeri, 3 minggu
batasnya tegas, ada indurasi dengan pembesaran
kelenjar getah bening regional (limfadenopati)
Sekunde Bercak merah polimorfik biasanya di telapak 2 - 12 minggu
r tangan dan telapak khaki, lesi kulit
papuloskuamosa dan mukosa, demam, malaise,
limfadenopati generalisata, kondiloma lata,
patchy alopecia, meningitis, uveitis, retinitis
Laten Asimtomatik Dini < 1 tahun ,
Lanjut > 1
tahun

3.3.3 Diagnosis

Menurut Pedoman Nasional Tatalaksana IMS tahun 2011, diagnosis sifilis di

tingkat Puskesmas dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu berdasarkan sindrom dan

pemeriksaan serologis.

Secara umum, tes serologi sifilis terdiri atas dua jenis, yaitu:

1. Tes non-treponema

Termasuk dalam kategori ini adalah tes RPR (Rapid Plasma Reagin) dan

VDRL (Venereal Disease Research Laboratory). Tes serologis yang termasuk

dalam kelompok ini mendeteksi imunoglobulin yang merupakan antibodi terhadap

bahan-bahan lipid sel-sel T. Pallidum yang hancur. Antibodi ini dapat timbul

28
sebagai reaksi terhadap infeksi sifilis. Namun antibodi ini juga dapat timbul pada

berbagai kondisi lain, yaitu pada infeksi akut (misalnya: infeksi virus akut) dan

penyakit kronis (misalnya: penyakit otoimun kronis). Oleh karena itu, tes ini

bersifat non-spesifik, dan bisa menunjukkan hasil positif palsu. Tes non-spesifik

dipakai untuk mendeteksi infeksi dan reinfeksi yang bersifat aktif, serta memantau

keberhasilan terapi. Karena tes non spesifik ini jauh lebih murah dibandingkan tes

spesifik treponema, maka tes ini sering dipakai untuk skrining. Jika tes non spesifik

menunjukkan hasil reaktif, selanjutnya dilakukan tes spesifik treponema, untuk

menghemat biaya, Namun hasil positif pada tes non spesifik treponema tidak selalu

berarti bahwa seseorang pernah atau sedang terinfeksi sifilis. Hasil tes ini harus

dikonfirmasi dengan tes spesifik treponema.

2. Tes spesifik treponema

Termasuk dalam kategori ini adalah tes TPHA (Treponema Pallidum

Haemagglutination Assay), TP Rapid (Treponema Pallidum Rapid), TP-PA

(Treponema Pallidum Particle Agglutination Assay), FTA-ABS (Fluorescent

Treponemal Antibody Absorption). Tes serologis yang termasuk dalam kelompok

ini mendeteksi antibodi yang bersifat spesifik terhadap treponema. Oleh karena itu,

tes ini jarang memberikan hasil positif palsu. Tes ini dapat menunjukkan hasil

positif/reaktif seumur hidup walaupun terapi sifilis telah berhasil. Tes jenis ini tidak

dapat digunakan untuk membedakan antara infeksi aktif dan infeksi yang telah

diterapi secara adekuat. Tes treponemal hanya menunjukkan bahwa seseorang

pernah terinfeksi treponema, namun tidak dapat menunjukkan apakah seseorang

sedang mengalami infeksi aktif. Tes ini juga tidak dapat membedakan infeksi T

pallidum dari infeksi treponema lainnya. Anamnesis mengenai perilaku seksual,

29
riwayat pajanan dan riwayat perjalanan ke daerah endemis treponematosis lainnya

dibutuhkan untuk menentukan diagnosis banding. Kedua tes serologi, treponema

dan non-treponema, dibutuhkan untuk diagnosis dan tatalaksana pasien sifilis oleh

petugas kesehatan. Hasil tes treponema memastikan bahwa pasien pernah terinfeksi

sifilis, sedangkan hasil tes non-treponema menunjukkan aktivitas penyakit.

3.3.4 Tatalaksana

Pada saat sebelum injeksi benzathin benzylpenicillin lakukan uji penisilin terlebih

dulu untuk memastikan pasien tidak alergi terhadap penisilin

Stadium Terapi Alternatif untuk alergi Penisilin


Tidak Hamil Hamil
Sifilis Benzathine benzylpenicillin Doksisiklin 100 mg Eritromisin 500
primer dan 2,4 juta IU, injeksi IM dosis per oral, 2kali /hari mg per oral,4 kali
sekunder tunggal selama 30 hari /hari selama 14
hari

30
Sifilis laten Benzathine benzylpenicillin Doksisiklin100 mg Eritromisin 500
2,4 juta IU, injeksi IM, satu per oral, 2 kali /hari mg per oral,4 kali
kali/minggu selama 3 minggu minimal 30 hari /hari minimal 30
berturut turut ATAU Seftriakson 1 hari
gr, injeksi IM 1
kali /hari selama 10
hari

3.3.5 Evaluasi dan Monitoring

Pasien dengan sifilis dini dan telah diterapi dengan adekuat harus dievaluasi

secara klinis dan serologis tiap 3 bulan selama satu tahun pertama (bulan ke 3, 6, 9,

12) dan setiap 6 bulan di tahun kedua (bulan ke 18, dan 24).

Tes TPHA dan titer RPR harus dilakukan pada tiga bulan setelah terapi untuk

sifilis primer dan sekunder, titer RPR diperlukan untuk mengevaluasi keberhasilan

terapi dan mendeteksi infeksi ulang (reinfeksi). Terapi dianggap berhasil jika titer

RPR turun. Jika titer tidak turun atau malah naik, kemungkinan terjadi reinfeksi dan

ulangi terapi. Pada bulan ke 3, 6, 9, 12, 18 dan 24 bulan setelah terapi: Jika titer

RPR tetap sama atau bahkan turun, terapi dianggap berhasil dan pasien cukup di

observasi.

Jika titer RPR meningkat, obati pasien sebagai infeksi baru dan ulangi terapi. Jika

RPR non reaktif atau reaktif lemah (serofast) maka pasien dianggap sembuh. Pada

semua stadium, ulangi terapi jika terdapat gejala klinis sifilis dan terdapat

peningkatan titer RPR (misal dari 1:4 menjadi 1:8) yang terpenting adalah semua

pasangan seks pasien sifilis perlu diskrining sifilis.

3.3. Human Immunodeficiency Virus (HIV)/Acquired Immunodeficiency Sindrom (AIDS)

31
3.3.1 Definisi

Acquired Immunodeficiency Sindrom (AIDS) adalah suatu kumpulan

gejala yang didapat akibat dari penurunan respon sistem kekebalan tubuh akibat

infeksi virus Human Immunodeficiency Virus (HIV). Human Immunodeficiency

Virus (HIV) adalah virus yang bereplikasi didalam sistem imun tubuh dan

merupakan salah satu retrovirus karena dapat mengubah urutan sistem rantai

Deoxyribonucleic Acid (DNA) menjadi Ribonucleic Acid (RNA) setelah masuk ke

dalam sel inang (Price & Wilson, 2006; Pinsky & Douglas, 2009; Corwin, 2008).

3.3.2 Etiologi

Penyebab terjadinya AIDS berasal dari infeksi virus HIV. Virus ini dahulu

disebut virus limfotrofik sel T manusia tipe III (Human T Lympotrophic Virus III /

HTLV-III) atau virus limfadenopati, adalah suatu retrovirus manusia dari famili

lentivirus (Price & Wilson, 2006). Terdapat dua tipe virus HIV yang sudah

teridentifikasi berdasarkan susunan genom dan hubungan filogeniknya, yaitu HIV-

1 dan HIV-2 yang keduanya memiliki penyebaran epidemiologis yang berbeda.

Virus HIV-1 merupakan tipe yang paling umum dan virulen menginfeksi

manusia dimana sebanyak 90% kejadian infeksi HIV yang terjadi di dunia berasal

dari HIV-1 (Phangkawira, dkk., 2009).

3.3.3 Patofisiologi

Virus HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui perantara darah, semen dan

sekret vagina. Human Immunodeficiency Virus (HIV) tergolong retrovirus yang

mempunyai materi genetik RNA yang mampu menginfeksi limfosit CD4 (Cluster

Differential Four), dengan melakukan perubahan sesuai dengan DNA inangnya

(Price & Wilson, 2006; Pasek, dkk., 2008; Wijaya, 2010). Virus HIV cenderung

32
menyerang jenis sel tertentu, yaitu sel-sel yang mempunyai antigen CD4 terutama

limfosit T4 yang memegang peranan penting dalam mengatur dan mempertahankan

sistem kekebalan tubuh. Virus juga dapat menginfeksi sel monosit makrofag, sel

Langerhans pada kulit, sel dendrit folikuler pada kelenjar limfe, makrofag pada

alveoli paru, sel retina, sel serviks uteri dan sel-sel mikroglia otak. Virus yang

masuk kedalam limfosit T4 selanjutnya mengadakan replikasi sehingga menjadi

banyak dan akhirnya menghancurkan sel limfosit itu sendiri (Price & Wilson, 2006;

Departemen Kesehatan RI, 2003).

Kejadian awal yang timbul setelah infeksi HIV disebut sindrom retroviral akut

atau Acute Retroviral Syndrome. Sindrom ini diikuti oleh penurunan jumlah CD4

dan peningkatan kadar RNA HIV dalam plasma. CD4 secara perlahan akan

menurun dalam beberapa tahun dengan laju penurunan CD4 yang lebih cepat pada

1,5 – 2,5 tahun sebelum pasien jatuh dalam keadaan AIDS. Viral load (jumlah

virus HIV dalam darah) akan cepat meningkat pada awal infeksi dan pada fase

akhir penyakit akan ditemukan jumlah CD4 < 200/mm3 kemudian diikuti

timbulnya infeksi oportunistik, berat badan turun secara cepat dan muncul

komplikasi neurulogis. Pada pasien tanpa pengobatan ARV, rata-rata kemampuan

bertahan setelah CD4 turun < 200/mm3 adalah 3,7 tahun (Pinsky & Douglas, 2009;

Corwin, 2008). Secara ringkas, perjalanan virus HIV dapat dilihat di bagan

berikut:

Gambar 2.1 Patofisiologi HIV/AIDS

33
Tabel 2.1 Klasifikasi infeksi HIV yang didasarkan pada patofisiologi penyakit seiring memburuknya

secara progresif fungsi imun

Kelas Kriteria
Grup I 1. Infeksi akut HIV
2. Gejala mirip influensa, mereda sempurna
3. Antibodi HIV negatif
HIV asimtomatik 1. Antibodi HIV positif
Grup II 2. Tidak ada indikator klinis atau laboratorium adanya
imunodefisiensi
HIV simtomatik 1. Antibodi HIV positif
Grup III 2. Limfadenopati generalisata persisten
Grup IV-A 1. Antibodi HIV positif
2. Penyakit konstitusional (demam atau diare menetap,
menurunnya BB > 10% dibandingkan berat normal
Grup IV-B 1. Sama seperti grup IV-A
2. Penyakit neurologik (demensia, neuropati,
mielopati)

34
Grup IV-C 1. Sama seperti grup IV-B
2. Hitung limfosit CD4+ kurang daripada 200/µl
Grup IV-D 1. Sama seperti grup IV-C
2. Tuberkolosis paru, kanker serviks, atau keganasan
lain
Sumber: Centers for Disease Control and Prevention, 2011

3.3.4 Cara Penularan

Virus HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang

berpotensial mengandung HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina, dan air

susu ibu (Wijaya, 2010). Terdapat dua cairan utama dalam transmisi virus HIV

yakni, transmisi seksual dan non seksual. Transmisi seksual melalui hubungan

seksual baik heteroseksual, homoseksual, oral seks maupun anal seks. Transmisi

nonseksual dibedakan menjadi parenteral dan transplasental. Transmisi parenteral

yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik dan alat

tato) yang telah terkontaminasi darah yang terinfeksi virus HIV. Transmisi

transplasental yakni penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak yang

dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui (Siregar, 2004;

Wijaya, 2010).

3.3.5 Manifestasi Klinik

Acquired Immunodeficiency Sindrom (AIDS) memiliki beragam manifestasi

klinis dalam bentuk keganasan dan infeksi opurtunistik. Jenis keganasan yang

paling sering dijumpai pada keganasan lain yang pernah dilaporkan terjadi pada

pasien yang terinfeksi HIV adalah myeloma multipel, leukemia limfositik akut sel

B, limfoma limfoblastik T, penyakit Hodgkin, karsinoma anus, karsinoma sel

skuamosa di lidah, karsinoma adenoskuamosa paru, adenokarsinoma kolon dan

35
pankreas, kanker serviks, dan kanker testis (Price & Wilson, 2006; Smeltzer &

Bare, 2010).

Pasien AIDS rentan terhadap terhadap infeksi protozoa, bakteri, fungus, dan

virus. Pneumonia Pnuemocytis Carinii (PPC) adalah infeksi serius yang paling

sering dijumpai dengan gejala panas yang pendek, sesak nafas, batuk, nyeri dada,

dan demam. Hal ini hampir serupa tanda dan gejalanya dengan pasien AIDS yang

disertai Tuberkulosis (TB) karena Mycobacterium tuberculosis. Infeksi lainnya

seperti fungus antara lain kandidiasis, kriptokokosis, dan histoplasmosis. Infeksi

opurtunistik yang disebabkan oleh virus sangat beragam dan merupakan penyebab

semakin parahnya patologi yang terjadi (Price & Wilson, 2006; Smeltzer & Bare,

2014).

3.3.6 Tatalaksana

Penatalaksanaan infeksi HIV/AIDS menggunakan kombinasi tiga kelas

obat antiviral. Tipe obat yang pertama yang digunakan secara luas adalah analog

nukleotida yang menghambat aktivitas reverse transcriptase yaitu perubahan pada

rantai DNA menjadi RNA pada virus HIV. Obat ini secara signifikan menurunkan

level plasma RNA dari HIV untuk beberapa bulan tetapi tidak menghentikan

progresivitas HIV akibat virus yang berevolusi dan menjadi resisten (Pasek, dkk.,

2008). Melihat hal tersebut, tentunya pencegahan penularan HIV/AIDS menjadi

fokus tindakan yang perlu dilakukan untuk memutus transmisi HIV (Permenkes

RI, 2013). Pencegahan HIV/AIDS dapat dilakukan pada tingkat pencegahan yaitu

pencegahan primer, sekunder dan tersier (Murti, 2010). Dalam pencegahan dan

perawatan HIV/AIDS, ketiga program pencegahan tersebut perlu dilakukan secara

optimal. Bagan berikut menyajikan tentang tingkat pencegahan penyakit

HIV/AIDS.

36
Tabel 2.2 Tabel tingkat pencegahan HIV/AIDS
Tingkat Jenis intervensi Tujuan intervensi Bentuk intervensi pada
pencegahan HIV/AIDS
Pencegahan Modifikasi determinan Mencegah atau 1) Peningkatan kesehatan dengan
primer /faktor risiko/kausa menunda pendidikan kesehatan reproduksi
penyakit, sebelum penyakit tentang HIV/AIDS,
dimulainya perubahan standarisasinutrisi, menghindari
patologis, dilakukan pada seks Bebas
tahap suseptibel dan 2)Perlindungan khusus,misalnya
induksi penyakit, promosi imunisasi, kebersihan pribadi,
kesehatan terkait penyakit pemakaian kondom

Pencegahan Deteksi dini penyakit Memperbaiki Teknik skrining


sekunder (pemeriksan
dengan skrining dan prognosis kasus
laboratorium serum
pengobatan segera (memperpendek
darah dengan tehnik
durasi penyakit, enzyme-linked
memperpanjang immunosorbent assay
hidup) (ELISA) atau Western
Bolt rutin untuk
kelompok risiko tinggi)
dan pengobatan penyakit
pada tahap dini
Pencegahan Pengobatan, rehabilitasi Mengurangi dan Kegiatan pencegahan
tersier dan pembatasan kecacatan mencegah sekuel tersier pada HIV/AIDS
ditujukan untuk
dan disfungsi,
melaksanakan
mencegah rehabilitasi, pembuatan
serangan ulang, diagnosa dan tindakan
meringankan penatalaksanaan
akibat penyakit, penyakit. Perawatan
pada tingkat ini
dan memperbaiki
ditujukan untuk
kualitas hidup membantu orang dengan
HIV/AIDS (ODHA)
mencapai tingkat fungsi
optimal sesuai dengan
keterbatasan yang terjadi
akibat HIV/AIDS

B. PANDANGAN ISLAM
Dalam pandangan Islam, sakit marupakan musibah yang dapat menimpa siapa saja,

termasuk orang-orang saleh dan berakhlak mulia sekalipun. Artinya, orang yang

37
terkena penyakit belum tentu sakitnya itu akibat perbuatan dosa yang dilakukannya,

tetapi boleh jadi merupakan korban perbuatan orang lain. Allah swt. berfirman :

Artinya : Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-

orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras

siksaan-Nya. ( QS Al-Anfal : 25 )

Pada dasarnya ajaran Islam sarat dengan tuntunan untuk berpola hidup sehat secara

jasmani dan rohani. Di antaranya, Islam mengajarkan untuk menghindari penyakit

dan berobat jika sakit, bersabar dan banyak beristighfar jika mendapat musibah,

pantang berputus asa, dan agar merawat serta memperlakukan orang yang sakit

dengan baik.

Apabila sedang tertimpa musibah, termasuk jika sedang sakit, kita perintahkan

untuk banyak bersabar sambil berikhtiar/berobat. Allah swt. berfirman :

Artinya : … dan bersabaralah atas apa yang menimpa kamu, sesungguhnya yang

demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (QS Luqman: 17)

Jika suatu saat kita khilaf melakukan perbuatan keji, diperintahkan untuk segera

ingat kepada Allah, beristighfar dan tidak terus menerus laut dalam lembah dosa.

Allah swt. berfirman :

38
Artinya : Dan orang-orang yang apabila melakukan perbuatan keji atau

menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap

dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah?. Dan

mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (Qsan :

135 )

Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengertian perbuatan keji (fahisyah) dalam ayat

tersebut ialah dosa besar yang mudaratnya tidak hanya menimpa diri pelaku

perbuatan dosa tersebut, melainkan juga dapat menimpa orang lain, seperti zina

dan riba.

Selain bersabar, kita juga diperintahkan untuk tidak berputus asa dari rahmat Allah

swt., sebagaimana firman-Nya :

Artinya : … dan janganlah kamu sekalian berputus asa dari rahmat Allah,

sesungguhnya tidak akan berputus asa kecuali kaum kafir. (QS Yusuf : 78)

Meski demikian, tanpa mengurangi perlakuan baik kepada orang yang sakit, Islam

mengajarkan agar kita mewaspadai dan menghindari kemungkinan penularan virus

penyakit dari orang yang sakit dengan mengorbankan orang orang sehat.

Artinya : Bahaya itu tidak boleh dihilangkan dengan mendatangkan bahaya yang

lain.

39
Menurut kaidah hukum Islam yang lain menyebutkan :

Artinya : Menghindari kerusakan harus didahulukan atas mencari kemaslahatan

Menurut kaidah tersebut, sekiranya ada dua factor tarik menarik antara nilai positif

(manfaat, keuntungan atau kepentingan) dengan dampak negatif (kemudaratan),

maka yang diprioritaskan adalah menghindari atau menghilangkan kemudaratannya

dengan mengabaikan nilai positifnya atau kemanfaatannya.

Ajaran Islam sarat dengan tuntunan untuk selalu menghindari hal-hal yang dapat

membahayakan dirinya sendiri atau membahayakan orang lain, termasuk untuk

berhati-hati terhadap penyakit yang berpotensi menular. Sabda Nabi saw. :

Artinya : Tidak boleh membahayakan diri sendiri, dan tidak boleh membahayakan

orang lain.

Dalam hadis lain disebutkan :

Artinya : bahaya itu harus dihilangkan

Penyakit HIV/AIDS antara 80 % - 90 % penyebabnya adalah berzina dalam

pengertiannya yang luas yang menurut ajaran Islam merupakan perbuatan keji

40
yang diharamkan dan dikutuk oleh Allah swt. Tidak hanya pelakunya yang dikenai

sanksi hukuman yang berat, tetapi seluruh pihak yang terlibat dalam kegiatan

perzinaan.

Perkawinan penderita HIV/AIDS dengan orang yang sehat, jika HIV/AIDS hanya

dipandang sebagai sebagai penyakit yang tidak dapat disembuhkan, maka hukumnya

makruh. Tapi jika HIV/AIDS selain dipandang sebagai penyakit yang sulit

disembuhkan juga diyakini dapat membahayakan/ menular kepada orang lain, maka

hukumnya haram.

Suami atau isteri yang menderita HIV/AIDS wajib menggunakan alat, obat atau

metode yang dapat mencegah penularan virus HIV/AIDS . Kaidah hokum Islam

menyatakan sebagai berikut :

Artinya : Tidak boleh membahayakan diri sendiri, dan tidak boleh membahayakan

orang lain.

Wanita penderita HIV/AIDS yang hamil, baik hamil dengan suaminya atau hamil

karena zina, dilarang (haram) menggugurkan kandungannya.

Artinya : Janganlah kamu sekalian membunuh anak cucu manusia karena takut

miskin … (QS QS Al-Isra’ : 31)

41
Artinya : Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan anak cucu manusia… (QS Al-

Isra’ : 70 )

Artinya : Ada seorang wanita dari Juhainah mendatangi Nabi saw. dan mengaku

berzina dan menyatakan bahwa ia sedang hamil. Kemudian Nabi saw.

memanggil walinya dan bersabda : perlakukanlah dia dengan baik, dan jika kelak

ia telah melahirkan bawalah ia kemari. (HR Muslim)

Orang yang meninggal karena penyakit HIV/AIDS wajib ditahjizkan sebagaimana

mayat pada biasanya, seperti dimandikan, dikafani, disalati dan dimakamkan.

42
DAFTAR PUSTAKA

(http://indonesia.irib.ir/editorial/cakrawala/item/94876-darurat-prostitusi-online-dari-dedueh-
tata-papi-mike-apartemen-kalibata)

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, jilid 6, (Semarang: Wicaksana, 1994), 568-
569.
Faizah A, Siregar. 2008. AIDS dan Upaya Penanggulangannya di Indonesia. Medan: USU
Digital Library. Available From : http://repository.usu.ac.id. [Accesed 4 Maret 2010].

Infodatin. 2014. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI Situasi dan Analisis
HIV/AIDS. Kemenkes RI.

InfoDATIN. 2015. Situasi Kesehatan Reproduksi Remaja. Pusat Data dan Informasi
Kementerian Kesehatan RI. Jakarta.

Kartono, Kartini. 2005. Patalogi Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Kementrerian kesehatan republik Indonesia Direktorat Jendral Pencegahan dan Pengendalian


Penyakit. 2020. Laporan Perkembangan HIV-AIDS & Infeksi Menular Seksual (IMS)
Triwulan IV Tahun 2020. Jakarta.

Neng Djubaedah. 2010. Perzinaan dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia Ditinjau


dari Hukum Islam. Jakarta: Kencana

PKBI DIY. Data Kasus HIV dan AIDS D.I Yogyakarta. PKBI DIY. (2015) https://pkbi-
diy.info/data-kasus-hiv-aids-d-i-yogyakarta/

Sudikno, B. S., Siswanto. 2010. Pengetahuan HIV Dan AIDS Pada Remaja Di Indonesia
(Analisis Data Riskesdas 2010). jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1 No 3, Agustus 2011 :
145 -154.

WHO. HIV /AIDS Fact sheet Updated November 2017.


http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs360/en/. Published (2017).

WHO. HIV /AIDS Fact sheet Updated November 2017. https://www.who.int/features/qa/71/en/.


Published (2017).
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55

Anda mungkin juga menyukai