Anda di halaman 1dari 30

GAMBARAN PSIKOLOGIS IBU POSTPARTUM DENGAN HIV

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masa nifas (puerperium) adalah masa sesudah persalinan dan
kelahiran bayi dan masa pulih kembali, mulai dari persalinan selesai sampai
alat-alat kandungan kembali seperti sebelum hamil yang memerlukan waktu
bervariasi antara 6-12 minggu. Selama masa nifas akan terjadi berubahan
fisiologis tubuh dan akan terjadi berubahan psikologis ibu terhadap adanya
bayi yang dilahirkannya.
Pada masa nifas, ibu nifas menjadi sangat sensitive. Peran bidan
sangat penting dalam hal memberi pengarahan pada keluarga tentang kondisi
ibu serta pendekatan psikologis yang dilakukan bidan pada ibu nifas agar
tidak terjadi perubahan psikologis yang patologis. Setelah proses kelahiran
tanggung jawab keluarga bertambah dengan hadirnya bayi yang baru lahir,
dorongan serta perhatian anggota keluarga lainnya merupakan dukungan
positif bagi ibu.
Dewasa ini, permasalahan dunia yang dihadapi semakin kompleks.
Permasalahan tersebut mulai dari segi ekonomi, politik, pendidikan,
keamanan, lingkungan bahkan kesehatan. Untuk masalah kesehatan sendiri,
salah satu persoalan yang sampai saat ini masih menjadi perhatian global
adalah penyebaran virus HIV. Karena penyebaran virus yang kian cepat,
menjadikannya sebagai pokok permasalahn tersendiri bagi beberapa negara
khususnya di negara-negara berkembang (Asri, 2016).
Kasus HIV dan AIDS telah menjadi perhatian penting tidak hanya
dikalangan kedokteran, tetapi juga merambah kepada pengambil kebijakan,
pemimpin agama, dan masyarakat dunia pada umumnya semenjak kasus ini
dilaporkan pada tahun 1981. Sejak saat itu, perkembangan kasus HIV dan
AIDS berkembang makin pesat karena vaksin penangkalnya belum ditemukan
(Astuti & Retnaningsih, 2015).
Pada mulanya, kasus HIV dan AIDS ditemukan pada kelompok
homoseksual, tetapi risiko ini telah menyebar ke semua orang tanpa kecuali
dapat berpotensi terinfeksi HIV. Risiko penularan terjadi tidak hanya pada
populasi yang berperilaku risko tinggi. Data yang ada menunjukkan bahwa
HIV dan AIDS telah menginfeksi ibu rumah tangga, bahkan pada anak-anak
atau bayi yang dalam kandungan tertular dari ibu dengan HIV. Namun
demikian, kasus HIV dan AIDS menunjukkan kecenderungan tertinggi
ditemukan dari hubungan seksual yang besar kemungkinan ditularkan dari
pekerja seks atau menular pada pekerja seks (Sunarti, 2008).
Menurut KPAN (2012), faktor risiko yang dapat menularkan HIV dari
satu orang ke orang lain adalah dengan hubungan seks yang tidak aman.
Penggunaan jarum suntik yang tidak steril juga dapat berpotensi menularkan
HIV jika digunakan secara bergantian, tranfusi darah yang terinfeksi HIV,
serta penularan dari ibu yang terinfeksi HIV ke anak yang sedang
dikandungnya (Fitra Arsy Nur Cory‟ah, Ni Putu Dian Ayu Anggraeni, 2013).
Di seluruh dunia, pada tahun 2013 terdapat 35 juta orang yang
dinyatakan hidup dengan HIV, meningkat sekitar 1 juta orang dari data
sebelumnya yakni sekitar 34 juta orang pada tahun 2010. Dari 35 juta orang
tersebut, terdapat 16 juta perempuan. Selain itu, jumlah kematian akibat AIDS
dilaporkan sebanyak 1,5 juta orang yang terdiri dari 1,3 juta orang dewasa dan
190.000 anak yang berusia <15 tahun (Pusat Data Dan Informasi Kementrian
Kesehatan, 2014).
Di Indonesia, kasus HIV dan AIDS pertama kali ditemukan sekitar
tahun 1987 di Bali. Jumlah kasus terus bertambah dan menyebar hingga
keseluruh provinsi di Indonesia, baik perkotaan maupun pedesaan. Data
akurat mengenai jumlah sebenarnya orang hidup dengan HIV dan AIDS di
Indonesia masih sulit untuk ditemukan. Jumlah penderita yang seringkali
dikemukakan hanya merupakan puncak dari fenomena gunung es yang di
bawahnya masih menyimpan petaka mengerikan (Sunarti, 2008).
Data Kementrian Kesehatan RI, Kecenderungan jumlah infeksi HIV
baru di Indonesia sudah semakin menurun. Pada penghitungan estimasi
Kemenkes pada tahun 2020, jumlah ODHIV di tahun 2020 adalah sebanyak
543.100. Lebih rendah dari pada penghitungan estimasi sebelumnya yang
dilakukan pada tahun 2016. Sementara itu STBP 2018 mencatat bahwa
prevalensi HIV di Indonesia sangat bervariasi menurut populasi 25,8 persen di
antara laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, 28,8 persen di antara
orang yang menyuntikkan narkoba (penasun), 24,8 persen di antara populasi
waria, dan 5,3 persen di antara pekerja seks perempuan. (Pusat Data Dan
Informasi Kementrian Kesehatan, 2022).
Berdasarkan laporan provinsi, Lima provinsi dengan jumlah kasus
HIV tertinggi berdasarkan data dan pelaporan dari tahun 2010 s.d Mar 2022
adalah DKI Jakarta (76,103), Jawa Timur (71,909), Jawa Barat (52,970),
Jateng (44,649), dan Papua (41,286) (Pusat data Dan Informasi Kementrian
Kesehatan, 2022).
Gambar 1.1 Kasu HIV s/d Maret 2022

Sumber data : Siha s.d Maret 2022


Secara kumulatif, Lima provinsi dengan jumlah AIDS terbanyak
adalah Papua (24.873), Jawa Timur (21.815), Jawa Tengah (14.617), DKI
Jakarta (10.913), dan Bali (9.728).
Gambar 1.2 Kasus AIDS s/d Maret 2022

Sumber data : siha s.d Maret 2022


Jika Prevalensi HIV pada populasi umum di tanah Papua tahun 2017
adalah 2,3%. Pada tahun 2006 pernah dilakukan survei dengan metode
pemeriksaan HIV yang berbeda dengan hasil prevalensi HIV 2,4%. Prevalensi
HIV lebih tinggi pada suku Papua 2,9% jika dibandingkan dengan yang bukan
Papua 0,4%, dan yang tidak disunat 2,4% jika dibandingkan dengan laki-laki
yang disunat 0,1%. Proporsi penduduk yang memiliki pengetahuan
komprehensif HIV di tanah Papua masih rendah (9,2%). Penduduk yang
tinggal di dataran rendah memiliki tingkat pengetahuan komprehensif lebih
baik jika dibandingkan dengan tpenduduk di daerah pegunungan. Jumlah
kasus HIV/AIDS per 30 Juni tahun 2020 adalah 44.664 orang. Rincian
penderita HIV sebanyak 17.538 orang dan penderita AIDS sebanyak 27.126
orang. Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki penderita HIV sebanyak 7.545
orang dan penderita AIDS sebanyak 13.443 orang. Sementara itu, pada jenis
kelamin perempuan, penderita HIV sebanyak 9.931 orang dan penderita AIDS
sebanyak 13.648 orang. Faktor risiko terbanyak adalah heteroseksual 43.392
orang dengan rincian 17.020 penderita HIV dan 26.372 penderita AIDS (Pusat
Data dan Informasi Kementrian Kesehatan, 2022).
Individu yang baru mengetahui statusnya sebagai Orang Dengan HIV
dan AIDS (ODHA), cenderung tidak menerima dirinya sendiri yang telah
menjadi seorang HIV positif. Hasan (2008) mengungkapkan bahwa para
ODHA memiliki tiga tantangan utama yaitu menghadapi reaksi terhadap
penyakit yang mengandung stigma, kemungkinan waktu kehidupan yang
terbatas serta mengembangkan strategi untuk mempertahankan kondisi fisik
dan emosi (Tobing, 2016).
Nasronudin, (2007) mengatakan bahwa individu yang positif terkena
HIV dan AIDS akan mengalami perubahan dalam menjalani kehidupan. WHO
mengatakan ketika individu pertama kali dinyatakan terinfeksi HIV, sebagian
besar menunjukkan perubahan dalam karakter psikososialnya seperti hidup
dalam stres, depresi, merasa kurang adanya dukungan sosial, dan perubahan
dalam perilaku (Burhan, 2014).
Wanita yang terkena HIV dan AIDS, secara psikologi akan mengalami
berbagai masalah, mulai dari kecemasan, keraguan, stress dan depresi.
Tekanan lingkungan yang cenderung diskriminatif akan membuat wanita
kehilangan penghargaan terhadap dirinya. Stigma pada wanita dengan HIV
dan AIDS selalu dihubungkan dengan perilaku marginal seperti perilaku
pekerja seks dan pengguna NAPZA. Wanita yang positif terinfeksi HIV
dihadapkan pada kenyataan bahwa anaknya juga positif HIV, hal tersebut
dapat menjadi beban ganda yang harus ditanggung oleh wanita. Keadaan ini
memberi konsekuensi psikologis yang besar bagi wanita dengan HIV dan
AIDS untuk dapat melihat diri mereka sendiri, yang kemudian akan membawa
mereka dalam beberapa kasus pada keadaan depresi, kurang percaya diri dan
putus asa (Azza, 2010).
Wanita dengan HIV dan AIDS mengalami berbagai permasalahan baik
masalah fisik, psikososial, emosional maupun spiritual. Masalah fisik yang
terjadi pada wanita dengan HIV dan AIDS akibat penurunan daya tahan tubuh
yang mengakibatkan wanita tersebut rentan terhadap berbagai penyakit
infeksi. Selain masalah fisik, wanita dengan HIV dan AIDS juga mengalami
masalah sosial antara lain dikucilkan oleh teman, keluarga maupun
masyarakat. Hal ini yang dianggap dapat mempengaruhi konsep diri pada
wanita tersebut (Indriastuti, 2015).
Pada ibu nifas dengan HIV maka kemungkinan untuk tidak
memberikan ASI pada anaknya akan semakin lama dibanding ibu nifas yang
normal, serta lebih beresiko peningkatan angka mortalitas pada ibu nifas, hal
tersebut akan meningkatkan gangguan psikologis pada ibu nifas dengan HIV.
[3] Hasil penelitian Kuhn et (2005) tentang beberapa masalah pada ibu nifas
dengan penyerta HIV diantaranya adalah gangguan psikologis seperti
kekhawatiran akan resiko infeksi pada anaknya, gangguan pada menyusui
anaknya dan kekhawatiran akan kematian dirinya[4], demikian juga penelitian
menjelaskan bahwa penderita HIV akan memiliki masalah dengan psikososial
dan kehidupan seksual yang dilakukannya.Studi metaanalisis oleh Brandt
(2008) menjelaskan bahwa penderita HIV akan memiliki masalah psikologis
seperti: depresi, psychiatric morbidity, anxiety, quality of life, psychological
distress, postnatal depression, neurofunction.
Gangguan psikologis ibu nifas ini apabila tidak ditangani secara tepat
dapat menjadi lebih buruk atau lebih berat. Oleh karena itu penting sekali bagi
seorang bidan untuk mengetahui gejala dan tanda dari post partum blues
sehingga dapat mengambil tindakan mana yang dapat diatasi dan mana yang
memerlukan rujukan kepada yang lebih ahli dalam bidang psikologi.
Dalam menjalani adaptasi setelah melahirkan, secara teori ibu akan
melalui fase-fase taking in, fase taking hold, fase letting go. Dalam setiap fase
ibu dapat mengalami gangguan psikologis. Secara umum berbagai penyebab
ibu nifas mengalami gangguan psikologis meliputi berbagai perubahan yang
terjadi dalam tubuh wanita selama kehamilan dan perubahan cara hidupnya
sesudah mempunyai bayi, perubahan hormonal, adanya perasaan kehilangan
secara fisik sesudah melahirkan yang menjurus pada suatu perasaan sedih.
Penyebab yang menonjol adalah kekecewaan emosional yang mengikuti rasa
puas dan takut yang dialami kebanyakan wanita selama kehamilan dan
persalinan, rasa sakit pada masa nifas, kelelahan karena kurang tidur selama
persalinan, kecemasan ketidakmampuan merawat bayi setelah pulang dari
rumah sakit, rasa takut tidak menarik lagi bagi suami.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah bagaimana gambaran psikologi ibu postpartum dengan HIV ?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Memberikan gambaran keadaan psikologi ibu postpartum dengan HIV di
…….
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya pengetahuan tentang ibu postpartum terdeteksi HIV.
b. Diketahuinya respon perasaan ibu yang terdeteksi HIV selama
postpartum.
c. Diketahuinya gambaran psikologi yang dialami ibu yang terdeteksi
HIV selama postpartum.
d. Diketahuinya pengaruh psikologi yang dialami ibu yang terdeteksi
HIV selama postpartum.
D. Manfaat Penelitian
E. Luaran Penelitian
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Masa Nifas


1. Pengertian Masa Nifas
Masa nifas dimulai setelah 2 jam postpartum dan berakhir ketika alat-
alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil, biasanya berlangsung
selama 6 minggu atau 42 hari, namun secara keseluruhan baik secara
fisiologis maupun psikologis akan pulih dalam waktu 3 bulan (Hutabarat,
2021), menurut Ambarwati dalam (Hutabarat, 2021) Masa Nifas (puerperium)
adalah masa setelah keluarnya plasenta sampai alat-alat reproduksi pulih
seperti sebelum hamil dan secara normal masa nifas berlangsung selama 6
minggu atau 40 hari.
2. Tujuan Masa Nifas
Menurut Saifudin dalam (Hutabarat, 2021) selama bidan memberikan asuhan
pada ibu di masa nifas, sebaiknya bidan mengetahui apa tujuan dari
pemberian asuhan selama masa nifas, yaitu
a. Untuk menjaga kesehatan ibu dan bayinya baik secara fisik maupun
psikologis, dimana dalam masa ini peranan keluarga sangat dibutuhkan.
b. Untuk melaksanakan screening yang komprehensif (menyeluruh), dimana
bidan melakukan manajemen asuhan kebidanan pada ibu dalam masa nifas
secara sistematis dimulai dari pengkajian data subjektif, objektif maupun
penunjang. Setelah selesai melakukan pengkajian data maka selanjutnya
menganalisa data yang telah didapatkan, sehingga tujuan asuhan masa
nifas ini dapat mendeteksi masalah ada atau tidak masalah yang akan
terjadi.
c. Mengobati atau merujuk bila terjadi komplikasi pada ibu maupun bayinya,
apabila ditemukan adanya masalah maka bidan dapat langsung masuk
kelangkah berikutnya yaitu mengobati atau merujuk.
d. Memberikan pendidikan kesehatan tentang nutrisi, keluarga berencana,
menyusui, pemberian imunisasi pada bayinya dan perawatan bayi sehat,
memberikan pelayanan keluaraga berencana.
Asuhan masa nifas diperlukan karena merupakan masa kritis baik ibu
maupun bayinya. Diperkirakan bahwa 60% kematian ibu akibat kehamilan
terjadi setelah persalinan, dan 50% kematian masa nifas terjadi dalam 24 jam
pertama pertama.
3. Tahapan Masa Nifas
Menurut Nugroho dalam (Hutabarat, 2021) terdapat tahapan-tahapan dalam
masa nifas yang dibagi kedalam 3 periode yaitu :
a. Puerperium dini yaitu masa kepulihan dimana ibu telah diperbolehkan
berdiri dan berjalan-jalan. Keuntungan dari puerperium dini adalah ibu
merasa lebih sehat dan kuat, faal usus dan kandung kemih lebih baik, ibu
dapat segera belajar merawat bayinya.
b. Puerperium intermedial yaitu kepulihan menyeluruh alat-alat genetalia
yang lamanya sekitar 6-8 minggu. Alat genetalia tersebut meliputi uterus,
luka jalan lahir, cervix, endometrium dan ligamen-ligamen.
c. Remote puerperium yaitu waktu yang diperlukan untuk pulih kembali dan
sehat sempurna terutama bagi ibu selama hamil atau melahirkan yang
mempunyai komplikasi. Waktu untuk sehat sempurna bisa berminggu-
minggu, berbulan-bulan atau tahunan.
B. Teori HIV dan AIDS
1. Definisi HIV dan AIDS
HIV merupakan singkatan dari Human Immunodeficiency Virus. HIV
merupakan retrovirus yang menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh
manusia dan menghancurkan atau bahkan menganggu fungsinya. Infeksi virus
ini mengakibatkan terjadinya penurunan sistem kekebalan tubuh secara terus-
menerus yang akan mengakibatkan penurunan sistem kekebalan tubuh. Sistem
kekebalan tubuh dianggap menurun ketika sistem tersebut tidak dapat
menjalankan fungsinya memerangi infeksi maupun penyakit. Orang yang
kekebalan tubuhnya defisien (Immunodeficient) menjadi lebih rentan terhadap
berbagai ragam infeksi, yang sebagian besar jarang menjangkiti orang yang
tidak mengalami defisiensi kekebalan (Kusuma, 2015)
Sementara itu AIDS adalah singkatan dari Acquired
Immmnodeficiency Syndrome dan menggambarkan berbagai gejala dan infeksi
yang terkait dengan menurunnya sistem kekebalan tubuh. HIV telah
ditetapkan sebagai penyebab AIDS. Tingkat HIV dalam tubuh dan timbulnya
berbagai infeksi tertentu merupakan tolak ukur bahwa infeksi HIV telah
berkembang menjadi AIDS (Wahyuningsih, 2017)
AIDS merupakan implikasi selanjutan dari HIV pada tingkatan yang
lebih parah dan berbahaya. Lemahnya sistem imun pada tubuh penderita
AIDS membuatnya rentan mengalami infeksi oportunistik. Infeksi
oportunistik adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh organisme dengan
mencari kesempatan untuk menyerang seseorang yang memiliki kekebalan
tubuh rendah. Beberapa contoh diantaranya kanker, pneumonia (PCP),
sarcoma kaposi, penurunan berat badan yang derastis, gangguan daya ingat
dan tuberkolosis (TBC).Virus itu sebenarnya tidak menyebbkan kematian.
Kematian utamanya terjadi akibat infeksi oportunistik karena kekebalan tubuh
yang rendah. Secara perlahan sel-sel dalam sistem kekebalan tubuh (CD4)
dari tingkat CD4 normal sebesar 1000. Selama 5-7 tahun jumlah CD4 akan
terus menurun hingga mencapai di bawah 200 dan menimbulkan gejala
(Nurchasanah, 2009).
Individu yang terinfeksi HIV dan AIDS dikenal dengan sebutan
ODHA (Orang Dengan HIV dan AIDS). Menurut Mudjahid, dkk (2000:5)
ODHA merupakan singkatan dari orang dengan HIV dan AIDS, dalam hal ini
orang yang di dalam tubuhnya terdapat HIV (orang terinfeksi), setelah
dilakukan pemeriksaan darahnya baik dengan test Elisa maupun Westrn Blot.
Banyak perubahan yang terjadi dalam diri individu setelah terinfeksi HIV dan
AIDS, penyakit yang mereka derita ini mempengaruhi kehidupan pribadi,
sosial, belajar, karir dan kehidupan keluarga (Wahyu, 2012).
2. Sejarah HIV dan AIDS
Pada awal tahun 1980, para peneliti menemukan peningkatan
mendadak dari dua jenis penyakit dikanlangan kaum homoseksual di
Amerika. Kedua penyakit itu adalah Sarkoma Kaposi (sejenis kanker yang
jarang terjadi) dan Pneumonia Pneumokista (sejenis pneumonia yang hanya
terjadi pada penderita gangguan sistem kekebalan) (Sandiana, 2011).
Pada buku seorang psikiater, Dadang Hawari dikatan juga bahwa para
dokter di kota San Fransisco, Amerika tersebut membuat rekomendasi pada
pemerintah AS agar kaum homoseksual diawasi organisasinya termasuk
hubungan seksualnya (sodomi). Namun rekomendasi ini gagal disebabkan
adanya protes dari kaum homoseksual itu sendiri dan warga Amerika lainnya
dengan alasan pembatasan itu bertentangan dengan Hak Asasi Manusia
(HAM).
Dilanjutkan bahwa penyakit AIDS kemudian melalui kaum
homoseksual yang berfungsi ganda (biseksual) menulari perempuan-
perempuan pelacur, dari sini kemuadian penyakit tersebut menyebar pada
pelanggan laki-laki dari pelacur tersebut, lalu dapat menjadi sumber penularan
kembali kepada perempuan atau ibu rumah tangga serta dapat berdampak
pada bayi dalam kandungan. Dengan kecepatan penularan 1 menit dapat
menulari 5 orang, akhirnya penyakit HIV dan AIDS ini melesat
penyebarannya dari pantai Barat ke pantai Timur Amerika dan akhirnya ke
seluruh dunia hingga sampai ke Indonesia pada tahun 1987. Peristiwa ini
menjadi Global Effect dengan kematian yang mengenaskan (Hawari, 2012).

3. Gejala HIV dan AIDS


Setelah seeorang terinfeksi HIV, virus tersebut akan bersembunyi
dalam sel darah putih, terutama sel-sel limfosit T4. Ada tiga fase infeksi virus
HIV yang akan terjadi dalam tubuh penderita yaitu antara lain (Nurchasanah,
2009):
a. Fase pertama
Pada tahap awal infeksi HIV biasanya tidak terlihat gejala. Seseorang
dapat mengidap HIV selama bertahun-tahun tanpa menyadarinya. Tes
darah akan menunjukkan antibodi setelah virus terbentuk dalam melawan
AIDS. Akan tetapi itupun akan memerlukan waktu hingga tiga bulam
sebelum antibodi terbentuk. Artinya, bila sesorang melakukan tes darah
segera setelah ia melakukan hubungan seks dengan orang yang mengidap
HIV dan AIDS, misalnya, virus belum akan terlihat hingga tiga bulan
mendatang.
b. Fase kedua
Pada fase ini penderita akan mengalami sakit yang tidak terlalu parah. Di
tahap ini virus akan berkembang dalam sel darah putih dan
mengancurkannya.Saat hampir semua sel dihancurkan, sistem kekebalan
tubuh juga akanikut hancur, dan tubuh juga menjadi lemah. Beberapa
gejala yang mungkin akan terlihat diantaranya adalah penderita mulai
merasa lelah dan berat badan menurun. Ada kemungkinan mereka juga
mengalami batuk, diare, demam atau keringat di malam hari.
c. Fase ketiga
Pada fase ini gejala penyakit sudah semakin parah karena virus HIV
hampir menghancurkan seluruh kekebalan tubuh. Tubuh akan mengalami
kesulitan, bahkan tidak mampu lagi untuk melawan bakteri. Inilah fase di
mana seseorang mengidap AIDS. Selain itu, penderita juga dapat terkena
sejenis kanker yang disebut sarcoma kaposi (kanker pembuluh darah).
Pada umumnya, AIDS tidak akan membunuh penderitanya, tetapi infeksi
penyakit lain dan kankerlah yang melakukannya. Pengidap HIV dan AIDS
yang terkena flu akan lebih terancam jiwanya dibandingkan dengan orang
lain yang tidak mengidap HIV dan AIDS.
Sementara di dalam buku Sandiana, (2011) disebutan bahwa beberapa
penderita menampakkan gejala yang menyerupai memonukleosis
infeksiosa, yakni penyakit yang ditandai dengan demam, nyeri
tenggorokan dan pembesaran kelenjar getah bening, disebabkan oleh virus
Episten-Barr, salah satu dari virus herpes. Gejalanya berlangsung selama
3-14 hari. Sebagian besar gejala akan menghilang, meskipun kelenjar
getah bening tetap membesar. Penderita bisa menunjukkan gejala-gejala
infeksi HIV dalam waktu beberapa tahun sebelum terjadinya infeksi tumor
yang khas untuk AIDS. Gejala tersebut berupa (Sandiana, 2011):
1) Pembengkakan kelenjar getah bening.
2) Penurunan berat badan.
3) Demam yang hilang-timbul.
4) Perasaan tidak enak badan.
5) Lelah
6) Diare berulang
7) Anemia
8) Trush (infeksi jamur di mulut).
Gejala-gejala dari AIDS berasal dari inveksi HIVnya sendiri serta opurtunistik
dan kanker. Tetapi hanya sedikit penderita AIDS yang meninggal karena efek
langsung dari infeksi HIV. Biasanya kematian terjadi karena efek komulating
dari berbagai infeksi oportunistik atau tumor. Terhadap orang yang tidak
menderita AIDS, organisme dan penyakit normal mungkin hanya akan
menimbulkan pengaruh yang kecil pada kesehatan seseorang. Tetapi ketika
limfosit CD4+ si penderita terus menurun, terlebih ika sampai mencapai 50
sel/mL, penyakit normal tersebut bisa segera menyebabkan kematian. Beberapa
infeksi oportunistik dan kanker merupakan ciri khas dari munculnya AIDS
(Sandiana, 2011):

a. Trush
Tumbuhnya jamur candidia secara berlebihan di dalam mulut, kerongkongan
atau vagina. Biasanya merupakan infeksi yang pertama muncul. Infeksi
jamur vagina berulang yang sulit diobati seringkali merupakan gejala dini
HIV pada wanita. Tapi infeksi seperti ini juga bisa terjadi pada wanita sehat
akibat berbagai faktor, seperti pil KB, antibiotik dan perubahan hormonal.
b. Pneuminia Pneumokistik
Pneumonia karena jamur pneumocystis carinii menjadi infeksi oportunistik
yang terjadi berulang pada penderita AIDS. Infeksi ini seringkali merupakan
infeksi serius yang pertama kali muncul. Sampai saat ini, belum ditemukan
cara pengobatan dan pencegahannya, sehingga menyebabkan kematian pada
penderita infeksi HIV.
c. Toksoplasmosis
Infeksi knonis oleh toxoplasma sering terjadi pada anak-anak. Jika terjadi
pengaktifan kembali, maka toxolplasma bisa menyebabkan infeksi hebat,
terutama di otak.
d. Tuberkolosis
Tuberkolosis banyak dijangkit oleh penderita infeksi HIV. Tuberkolosis bisa
menjadi lebih mematikan bila menyerang penderita infeksi HIV. Pada
penderita stadium lanjut, penderita tuberkolosis akan mengalami penurunan
berat badan, demam, dan diare yang disebabkan oleh mikrobakterium jenis
mycobacterium avium.
e. Infeksi saluran pencernaan
Infeksi saluran pencernaan oleh parasite cryptosporidium sering ditemukan
pada penderita AIDS. Parasit ini mungkin didapat dari makanan atau air yang
tercemar. Gejalanya berupa diare hebat.
f. Leukoensefalopati Multifokal Progresif
Leukoensefalopati Multifokal Progresif merupakan suatu infeksi virus di
otak yang bisa mempengaruhi fungsi neurologis penderita. Gejala awal
biasanya berupa hilangnya kekuatan lengan atau tungkai dan hilangnya
koordinasi atau keseimbangan. Dalam beberapa hari atau minggu, penderita
tidak akam mampu berjalan dan berdiri. Biasanya beberapa bulan kemudian
penderita akan meninggal.
g. Infeksi oleh sitomegalovirus
Infeksi berulang cenderung terjadi pada stadium lanjut dan seringkali
menyerang retina mata, menyebabkan kebutaan. Pengobatan dengan obat
anti- virus bisa mengendalikan sitomegalovirus.
h. Sarcoma Kaposi
Sarcoma Kaposi adalah suatu tumor yang tidak nyeri, berwarna merah
sampai ungu, berupa bercak-bercak yang menonjol di kulit.
i. Kanker
Bisa juga terjadi kanker kelenjar getah bening (limfoma) yang mula-mula
muncul di otak atau organ dalam. Wanita penderita AIDS cenderung terkena
kanker serviks. Pria homoseksual juga mudah terkena kanker rektum.
Menurut WHO, ada beberapa gejala dan tanda mayor serta tanda minor yang
dialami oleh penderita HIV. Adapun gejala dan tanda mayor tersebut berupa
(Kunoli, 2012):
a. Kehilangan berat badan (BB) > 10%
b. Diare kronik > 1 bulan
c. Demam > 1 bulan
Sedangkan tanda minornya adalah:
a. Batuk menetap > 1 bulan
b. Dermatitis Pruitis (gatal)
c. Herpes Zoster berulang
d. Kandidasis Orofaring
e. Herpes Simleks yang meluas dan berat
f. Limfadenopate yang meluas.
Selain gejala-gejala knilis tersbut di atas, adapun gejala psikiatri yang dialami
oleh penderita AIDS. Adapun gejala tersebut antara lain anoreksia, ansietas,
agitasi, penderita akan lebih sering marah-marah. Selain itu penderita juga
akan mengalami depresi, pikiran atau perilaku yang paranoid, terjadi
disorientasi, mengalami ketidakmampuan konsentrasi, dan insomnia.
Penderita juga akan mengalami perasaan yang tidak berdaya, perasaan purus
asa, retardasi psikomotor, kehilangan memori, berkurangnya kemampuan
untuk membuat keputusan, waham. Timbul ide untuk bunuh diri, menjadi sulit
berkomunikasi dengan orang lain dan terjadi perubahan kepribadian (Copel,
2007).
4. Penularan HIV dan AIDS
Virus HIV menular melalui enam cara penularan, yaitu (Nursalam, 2008):
a. Hubungan seksual dengan pengidap HIV dan AIDS
Menurut Pelkesi (1995), hubungan seksual secara vagina, anal, dan oral
dengan penderita HIV tanpa perlindungan bisa menularkan virus HIV.
Selama hubungan seksual berlangsung, air mani, caira vagina, dan darah
dapat mengenai selaput lendir vagina, penis, dubur atau mulut sehingga
HIV yang terdapat dalam cairan tubuh masuk ke lairan darah. Semntara
Syaiful (2000), mengatak bahwa selama berhubungan juga bisa terjadi
lesi mikro pada dinding vagina, dubur, atau mulut yang bisa menjadi
akses bagi virus HIV untuk masuk ke aliran darah pasangan.
b. Ibu pada bayinya
Penularan HIV dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan (in utero).
Berdasarkan laporan CDC Amerika, prevalensi penularan HIV dari ibu ke
bayi adalah 0,01% sampao 0,07%. Bila ibu baru terinfeksi HIV dan
belum ada gejala AIDS, kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20%
sampai 35%, sedangkan kalau gejala AIDS sudah jelas pada ibu
kemungkinan penularannya mencapai 50%. Penularan juga terjadi selama
proses persalinan melalui transfusi fetomaternal atau kontak antara kulit
atau membran mukosa bayi dengan darah atau sekresi maternal saat
melahirkan. Semakin lama proses melahirkan, semakin besar risiko
penularan. Oleh karena itu, biasanya lama persalinan dipersingkat dengan
operasi section caesaria. Transmisi lain terjadi selama periode post
partum melalui ASI. Risiko bayi tertular melalui ASI dari ibunya yang
positif sekitar 10%.
c. Darah dan produk darah yang tercemar viru HIV dan AIDS
Penularan HIV melalui darah atau produk yang tercemar akan sangat
cepat sebab virus akan langsung masuk ke pembuluh darah dan menyebar
ke seluruh tubuh.
d. Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril
Alat pemeriksaan kandungan seperti speculum, tenakulum, dan alat-alat
lain yang menyentuh darah, cairan vagina atau air mani yang terinfeksi
HIV, dan langsung digunakan utnuk orang yang tidak terinfeksi bisa
menularkan HIV.
e. Alat-alat untuk menorek kulit
Alat tajam dan runcing seperti jarum, pisau, silet, alat untuk menyunat,
alat pembuat tato, alat pemotong rambut dan lain sebagainya bisa
menularkan HIV sebab alat tersebut kemungkinan digunakan tanpa
adanya proses sterilisasi sebelumnya.
f. Penggunaan jarum suntuk secara bergantian
Jarum suntuk yang digunakan di fasilitas kesehatan, maupun yang
digunakan oleh para pengguna narkoba (Injecting Drug User- IDU)
sangat berpotensi menularkan HIV. Selain jarum suntuk pada para
pemakai IDU secara bersama-sama juga menggunakan tempat
penyampur, pengaduk, dan gelas pengoplos obat sehingga berpotensi
tinggi untuk menularkan HIV.
5. Pencegahan HIV dan AIDS
Pencegahan penyebaran atau penularan HIV dan AIDS ini erat kaitannya
dengan perubahan perilaku berisiko. Dalam buku Nurchasanah (2009) disebutkan
bahwa pencegahan epidemik HIV dan AIDS dapat dilakukan melalui cara berikut:
a. Tetap setia pada pasangan, dengan tidak bergonta-ganti pasangan.
b. Mencegah penularan HIV dari ibu ke anak. HIV yang ditularkan ibu kepada
anaknya terjadi saat kehamilan, melahirkan dan menyusui. Jika seorang
wanita hamil yang terinfeksi HIV mendapatkan pengobatan antivirus sejak
dini dan secara teratur selama kehamilannya, kemungkinan penularan HIV
pada bayi yang dikandungnya akan berkurang derastis. Tidak semua bayi yang
dilahirkan dari ibu yang mengidap HIV akan tertular HIV juga. Jika 100 ribu
ibu yang terinfeksi HIV masing-masing melahirkansatu bayi, rata-rata 30 bayi
akan tertular HIV. Rata-rata virus akan tertular pada 5 bayi saat kehamilan, 15
lagi pada saat persalinan, dan 10 bayi melalui ASI. Oleh karena itu sangat
penting bagi seluruh wanita hamil untuk mengetahui apakah dirinya positif
HIV atau tidak.
c. Konseling merupakan komponen penting dari penanggulangan epidemi AIDS.
Orang yang terinfeksi HIV. Memerlukan iformasi, saran, dan dukungan untuk
mengatasi keadaannya. Lebih jauh lagi, konseling individual mengenai cara
memerhatikan dan merawat diri serta orang lain, dapat membantu mencegah
terjadinya penyebaran HIV dan AIDS.
d. Melakukan tes mandiri jika melakukan hubungan seks secara aktif dan
berganti-ganti pasangan.

34

Jawetz (1995) menyimpulkan anjuran dari para ahli kesehatan


masyarakat agar ODHA diberi pengetahuan berikut, sehingga penularan HIV
dan AIDS dapat dikendalikan (Silitonga, 2013):
a. Bahwa semua orang yang terkena HIV dan AIDS akan menderita penyakit ini
seumur hidup dan akan timbul berbagai macam penyakit di kemudian hari.
Walaupun tanpa gejala, ODHA dapat menularkan virus kepada orang lain.
Diberitahukan pula bahwa wanita yang positif terkena HIV atau wanita
dengan pasangan yang positif HIV memiliki risiko tinggi mendapatkan AIDS.
Demikian juga janin yang dikandungnya, jika ia hamil.
b. ODHA jangan mendonorkan darah, plasma, organ tubuh, jaringan lain atau
spermanya.
c. Terdapat risiko menginfeksi orang lain melalui hubungan seksual (anal, oral
atau vagina) atau dengan menggunakan jarum suntik bergantian. Penggunaan
kondom dapat mengurangi risiko penularan virus walaupun tidak absolut.
d. Sikat gigi, alat pencukur dan alat-alat lain yang yang sifatnya dapat menyayat
atau memiliki kemungkinan terkontaminasi dengan darah atau cairan tubuh
sebaiknya tidak digunakan bersama. Alat yang menusuk kulit, misalnya jarum
akupuntur, harus disterilisasi uap dengan autoklaf sebelum digunakan kembali
atau harus dibuang dengan aman. Alat kedokteran gigi juga harus disterilisasi,
dan bila memungkinkan, sebaiknya menggunakan jarum dan peralatan sekali
pakai saja.
e. Bila melakukan pemeriksaan kesehatan atau perawatan gigi, ODHA harus
memberitahu pemeriksanya bahwa mereka terkena HIV dan AIDS sehingga
penangannya akan lebih hati-hati agar tidak menularkan kepada yang lain.

35

f. Uji untuk antibodi HIV harus dilakukan kepada orang-orang yang terinfeksi
akibat berkontak dengan individu yang positif, misalnya pasangan, bayi,
keluarga.
g. ODHA yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan, harus sangat berhati-hati
ketika menangani prosedur yang invasif agar tidak menularkan kepada orang
lain.
h. Anak-anak dengan tes positif tidak perlu berhenti sekolah tetapi yang perlu
diperhatikan adalah kebiasaan anak-anak yang menimbulkan luka atau lecet
seperti menggigit temannya atau terjatuh sampai memiliki luka berdarah.
6. Pengobatan HIV dan AIDS
Pengobatan pada penderita HIV dan AIDS meliputi (Kunoli, 2012):
a. Pengobatan suportig
b. Penanggulangan penyakit oportunistik
c. Pemberian obat anti virus
d. Penanggulangan dampak psikososial
Obat anti vvirus HIV dan AIDS adalah:
a. Didanosin (ddl).
Dosis: 2 x 100 mg, setiap 12 jam (BB < 60 kg).
2 x 125 mg, setiap 12 jam (BB > 60 kg).
b. Zidowudin (ZDV)
Dosis 500-600 mg/hari, pemberian setiap 4 jam sebanyak 100 mg, pada
saat penderita tidak tidur.
c. Lamivudin (3TC)
d. Stavudin (d4T)

2.2 Respon Fisiologi Ibu Yang Terdeteksi HIV


Respon fisiologis yang dialami ibu yang terdeteksi HIV dalam menghadapi
persalinan tergantung dari stadium HIV yang terjadi dalam dirinya. (Kemenkes RI,
2011). Stadium pertama ibu dengan HIV positif tidak akan menunjukkan gejala klinis
yang berarti sehingga ibu akan tampak sehat seperti orang normal dan mampu untuk
melakukan aktifitasnya seperti biasa. Pada stadium kedua sudah mulai menunjukkan
gejala yang ringan seperti terjadi penurunan berat badan kurang dari 10%, infeksi
berulang pada saluran nafas dan kulit. Stadium ketiga ibu tampak lemah, mengalami
penurunan berat badan yang lebih berat, diare terus-menerus, demam yang
berkepanjangan, mulai mengalami infeksi jamur pada rongga mulut, bahkan infeksi
sudah menjalar ke paru-paru. Stadium empat merupakan stadium terakhir (AIDS),
dimana pada stadium ini aktifitas lebih dari 50% dilakukan di tempat tidur akibat
kondisi sudah mulai lemah, infeksi menyebar di seluruh organ tubuh dan cenderung
berat (Nursalam & Kurniawati, 2007).

c. Perubahan Fisiologis Ibu Masa Nifas


Adapun perubahan-perubahan fisiologis yang akan terjadi
pada ibu di masa nifas yaitu :
1) Sistem Reproduksi
a) Uterus
Menurut Walyani dan Purwoastuti (2020), uterus akan
menjadi kecil akhirnya kembali seperti sebelum hamil :

10

a. Bayi lahir, fundus uteri setinggi pusat dengan berat


uterus 1000 gram.
b. Setelah plasenta lahir, tinggi fundus uteri teraba 2 jari
bawah pusat dengan berat uterus 750 gram.
c. Satu minggu / 5 hari postpartum, tinggi fundus uteri
teraba pertengahan pusat simpisis dengan berat uterus
500 gram.
d. Dua minggu postpartum, tinggi fundus uteri tidak
teraba diatas simpisis dengan berat uterus 350 gram.
e. Enam minggu postpartum, tinggi fundus uteri
bertambah kecil dengan berat 50 gram.
b) Lochea
Menurut Walyani dan Purwoastuti (2020) lochea
adalah cairan / sekret yang berasal dari cavum uteri dan
vagina dalam masa nifas. Adapun macam-macam lochea
yaitu :
a. Lochea rubra (cruenta), muncul selama 3 hari masa
nifas, berisi darah segar dan sisa selaput ketuban, sel
desidua, verniks caseosa, lanugo dan mekonium.
b. Lochea sanguinolenta, muncul pada hari ke 4-7 masa
nifas, berwarna kuning berisi darah dan lendir.
c. Lochea serosa, muncul pada hari ke 7-14 masa nifas,
berwarna kuning cairan tidak berdarah lagi.
11

d. Lochea alba, muncul setelah 2 minggu masa nifas,


cairan berwarna putih.
Selain lochea normal ada juga jenis lochea yang tidak
normal :
a. Lochea purulenta, ini menandakan terjadinya infeksi,
keluar cairan seperti nanah berbau busuk.
b. Locheastasis, yaitu lochea keluarnya tidak lancar.
c) Serviks
Serviks mengalami involusi bersama-sama uterus.
Setelah persalinan, ostium uteri eksterna dapat dimasuki
oleh 2 hingga 3 jari tangan, setelah 6 minggu persalinan
serviks akan menutup (Astutik,2019).
d) Vulva dan Vagina
Menurut Astutik (2019) terdapat perubahan pada vulva
dan vagina yang terjadi pada saat masa nifas yaitu :
a. Vulva dan Vagina akan mengalami penekanan serta
peregangan yang sangat besar selama proses
melahirkan bayi, dan dalam beberapa hari pertama
sesudah proses tersebut, kedua organ ini tetap berada
dalam keadaan kendur.
b. Setelah 3 minggu vulva dan vagina akan kembali
seperti keadaan semula sebelum hamil.

12

c. Setelah 3 minggu rugae dalam vagina secara


berangsur-angsur akan muncul kembali sementara labia
menjadi lebih menonjol.
e) Perineum
Menurut Astutik (2019) perubahan yang terjadi pada
perineum saat masa nifas yaitu :
a. Setelah melahirkan, perineum menjadi kendur karena
sebelumnya renggang oleh tekanan kepala bayi yang
bergerak maju.
b. Pada masa nifas hari ke 5, tonus otot perineum sudah
kembali seperti sebelum hamil, walaupun tetap lebih
kendur dari pada keadaan sebelum melahirkan.
f) Payudara
Menurut Astutik (2019) perubahan yang terjadi pada
payudara saat masa nifas meliputi :
a. Penurunan kadar progesteron secara tepat dengan
peningkatan hormon prolaktin setelah persalinan.
b. Kolostrum sudah ada saat persalinan.
2) Perubahan Pada Sistem Perkemihan
Buang air kecil sering sulit selama 24 jam pertama hal ini
dikarenakan kemungkinan terdapat spasme sfingter dan edema
leher buli-buli sesudah bagian ini mengalami kompresi antara
kepala janin dan tulang pubis selama persalinan. Urin dalam

13

jumlah yang besar akan dihasilkan dalam waktu 12-36 jam


sesudah melahirkan. Setelah plasenta dilahirkan, kadar hormon
estrogen yang bersifat menahan air akan mengalami penurunan
yang mencolok. Keadaan ini menyebabkan diuresis. Ureter
yang berdilatasi akan kembali normal dalam tempo 6 minggu
(Astutik,2019).
3) Perubahan Pada Sistem Pencernaan
Diperlukan waktu 3-4 hari faal usus kembali normal.
Meskipun kadar progesteron menurun setelah melahirkan,
namun asupan makanan juga mengalami penurunan selama
satu atau dua hari, gerak tubuh berkurang dan usus bagian
bawah sering kosong. Rasa sakit di daerah perineum dapat
menghalangi keinginan ibu untuk buang air besar (BAB)
sehingga pada masa nifas sering ditemukan ibu dengan
keluhan konstipasi atau sulit buang air besar akibat tidak
teraturnya BAB (Astutik,2019).
4) Perubahan Pada Kardiovaskuler
Setelah terjadi dueresis akibat penurunan kadar estrogen,
volume darah kembali kepada keadaan tidak hamil. Jumlah sel
darah merah dan hemoglobin kembali normal pada hari ke-5
(Astutik,2019).

14

5) Perubahan Pada Sistem Integumen


Menurut Astutik (2019) perubahan sistem integumen pada
masa nifas diantaranya adalah :
a. Penurunan Melanin
Umumnya setelah persalinan menyebabkan berkurangnya

hyperpigmentasi pada kulit saat kehamilan berangsur-


angsur menghilang sehingga pada bagian perut akan

muncul garis-garis putih yang mengkilap dan dikenal


dengan istilah striae albican.
b. Perubahan Pembuluh Darah
Perubahan pembuluh darah yang tampak pada kulit karena
kehamilan dan akan menghilang pada saat estrogen
menurun.
6) Perubahan Tanda-Tanda Vital Pada Masa Nifas
Menurut Walyani dan Purwoastuti (2020) terdapat
perubahan tanda-tanda vital pada masa nifas yaitu :
a. Suhu badan
Suhu normal tidak kurang dari 36,5°C dan tidak melebihi
37,5°C. Sekitar hari ke-4 setelah persalinan suhu ibu
mungkin naik sedikit, Kemungkinan karena aktivitas
paudara. Bila kenaikan mencapai 38°C pada hari ke-2
sampai hari-hari berikutnya, perlu diwaspadai adanya
infeksi atau sepsis masa nifas.

15

b. Denyut nadi
Denyut nadi normal pada ibu nifas 60-100 x/menit. Denyut
nadi ibu akan melambat pada waktu habis persalinan
karena ibu dalam keadaan istirahat penuh. Pada ibu yang
nervous, nadinya akan lebih cepat kira-kira 110 x/menit,
bila disertai dengan peningkatan suhu tubuh ini bisa terjadi
karena adanya syok akibat infeksi khususnya disertai
peningkatan suhu tubuh.
c. Tekanan darah
Tekanan darah normal yaitu ˂140/90. Bila tekanan darah
menjadi rendah perlu diwaspadai adanya perdarahan pada
masa nifas. Sebaliknya bila tekanan darah tinggi, hal ini

merupakan salah satu petunjuk kemungkinan adanya pre-


eklamsi yang bisa timbul pada masa nifas dan diperlukan
penanganan lebih lanjut.
d. Respirasi
Pernapasan normal yaitu 20-30 x/menit. Pada umumnya
respirasi lambat atau bahkan normal. Mengapa demikian,
tidak lain karena ibu dalam keadaan pemulihan atau dalam
kondisi istirahat. Jika ditandai adanya trachipneu maka
perlu dikaji tanda pneumonial atau penyakit nifas lainnya.
Tetapi bila respirasi cepat pada masa nifas (˃30x/menit),
kemungkinan adanya syok.

2.3 Respon Psikososial Ibu Yang Terdeteksi HIV


Persalinan adalah pengalaman fisik dan emosional karena peristiwa ini merupakan
permulaan perubahan mayor dalam kehidupan bagi wanita dan pasangannya. Bagi
sebagian wanita yang mendapatkan pengalaman yang buruk akan mengatakan
persalinan merupakan sumber dari rasa kegagalan, perasaan bersalah, jauh dari
perasaan menyenangkan (Murray & McKinney, 2003). Respon psikologis pada
persalinan dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya pengalaman sebelumnya,
kesiapan emosi, persiapan menghadapi persalinan (fisik, mental, materi), support
system, budaya, sikap terhadap kehamilan (Perry, Hockenberry, & Wilson, 2010).

Respon psikologis yang muncul saat terdiagnosis melewati tahap-tahap yaitu


pengingkaran, kemarahan, sikap tawar menawar, depresi dan penerimaaan
(Nursalam & Kurniawaty, 2007). Hal ini seperti di ungkapkan dalam penelitian
Rochat (2011) pada 56 ibu hamil trimester tiga yang terdiagnosis HIV, 46,7%
didiagnosis depresi dengan gejala yang dimunculkan berupa gangguan perasaan,
kehilangan ketertarikan, ide bunuh diri. Demikian juga dalam penelitian Vitriawan,
Sitorus dan Afiyanti (2007) tentang pengalaman pasien pertamakali terdiagnosa HIV
diungkapkan bahwa setiap pasien pertamakali terdiagnosa HIV/AIDS mengalami
stress, berduka yang diawali dengan penolakan, kemarahan dan menyalahkan orang
lain, penawaran dan penerimaan.

Respon psikologis yang dirasakan oleh ibu yang terdeteksi HIV pada saat hamil
terutama kecemasan tentang kondisi kesehatannya, bayi yang akan dilahirkan,
hubungan dengan pasangan, dukungan keluarga, kondisi anggota keluarga yang lain,
pembiayaan, pelayanan yang akan didapatkan. Pertanyaan yang muncul terhadap
kondisi bayinya adalah apakah bayinya akan sehat?, apakah bayinya akan terinfeksi
HIV? (Kennedy, 2003).

Resiko kematian, berat badan lahir rendah dan kelahiran prematur adalah kondisi
yang terjadi pada bayi yang dilahirkan oleh ibu yang terinfeksi HIV. Seperti yang

dijelaskan dalam penelitian Fang, et al (2009) risiko kematian adalah 9,87 kali lebih
besar pada bayi yang lahir dari: (1) ibu yang terinfeksi HIV yang berada dalam
stadium lanjut HIV, (2) kelompok ibu yang CD4 (+) TLC kurang dari 200 sel /
micro, (3) ibu tidak ada pengobatan ARV, (4) bayi lahir prematur, (5) bayi yang
terinfeksi. Penelitian lain pada 803 anak-anak yang lahir dari ibu yang terdeteksi HIV
di Spanyol, didapatkan bahwa tingkat kelahiran prematur dan berat lahir rendah
adalah tinggi pada ibu yang terdeteksi HIV tanpa terkait dengan kombinasi rejimen
ART apa pun (Tome et al, 2011).

Selain kecemasan terhadap kondisi bayi dan kelahirannya, stigma yang ada di
masyarakat juga menimbulkan masalah psikososial yang dirasakan oleh penderita
HIV. Penelitian Imrotul (2010) berupa penelitian kualitatif dengan pendekatan studi
kasus didapatkan prilaku orang yang terdeteksi HIV mempunyai kecenderungan
diasingkan, mendapat pandangan yang sinis dan menghindar jika bertemu bahkan
dengan pihak keluarga menyebabkan mereka merasa tertekan, rendah diri dan
menyendiri.
Perubahan Psikis Masa Nifas
Menurut Astutik (2019) adaptasi psikologi ibu dalam masa
nifas berbeda antara individu satu dengan yang lainnya. Adapun
fase-fase adaptasi psikologi yang dialami ibu di masa nifas, yaitu :
1) Fase Taking In, fase ini disebut juga dengan fase
ketergantungan yang berlangsung dari hari 1-2 setelah ibu

17

melahirkan. Pada fase ini ibu akan memperlihatkan bahwa ibu


masih pasif dan sangat tergantung dengan orang lain, fokus
perhatian ibu masih pada dirinya sendiri, ibu mengingat
pengalaman melahirkan dan persalinan yang dialami sehingga
ibu suka menceritakannya secara berulang-ulang, ibu lebih
suka didengarkan dan kebutuhan tidur meningkat.
2) Fase Taking Hold, fase ini dimulai pada hari 3-10 masa nifas.
Pada fase ini ibu akan memperlihatkan bahwa ibu sudah
menikmati peran sebagai seorang ibu, mulai belajar merawat
bayi tetapi masih membutuhkan orang lain untuk membantu
ibu, mulai belajar menerima tanggungjawab merawat bayi,
selain itu ibu juga akan merasa khawatir akan ketidakmampuan
serta tanggungjawab dalam merawat bayi, perasaan ibu sangat
sensistif sehingga mudah tersinggung maka dari itu sangat
dibutuhkan komunikasi dan dukungan yang positif dari
keluarga.
3) Fase Letting Go, fase ini terjadi setelah hari ke 10 sampi akhir
masa nifas. Pada fase ini ibu sudah bisa menikmati dan
menyesuaikan diri dengan tanggungjawab peran barunya.
Selain itu keinginan untuk merawat bayi secara mandiri serta
bertanggungjawab terhadap diri dan bayinya sudah menigkat
dari sebelumnya.

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/12/01/penderita-hiv-indonesia-
mayoritas-berusia-25-49-tahun-per-september-2023#:~:text=Kementerian
%20Kesehatan%20(Kemenkes)%20mencatat%2C,orang%20dengan%20HIV
%20(ODHIV).

Anda mungkin juga menyukai