Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH TENTANG HIV PADA WANITA HAMIL : PMTCT

(prevention mother to child transmission)

Di susun oleh :

1. Bayu ahya dinata ( 18320001)

2. Fradini Wandira (18320017)

3. Yosi Adelta (18320020)

4. Heni kartika sari (183200112)

5. Dwiky dermawan S (18320010)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI

2020

Daftar isi
KATA PENGANTAR.......................................................................................................................................3
PENDAHULUAN...........................................................................................................................................4
A. LATAR BELAKANG....................................................................................................................................4
A. kehamilan........................................................................................................................................7
1.        Definisi.........................................................................................................................................8
2.        Prinsip Pokok Asuhan Kehamilan................................................................................................8
B. HIV (Human Immunodeficiency Virus)...............................................................................................8
1. Definisi................................................................................................................................................8
2. Etiologi................................................................................................................................................8
3. Penularan.............................................................................................................................................9
4. Faktor Resiko....................................................................................................................................10
5. Pengaruh Kehamilan Pada Perjalanan Penyakit HIV.........................................................................11
6.        Diagnosis Infeksi HIV................................................................................................................14
7.    Pemeriksaan Penunjang..................................................................................................................15
8.    Penatalaksanaan..............................................................................................................................16
PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE BAYI....................................................................................20
A.  Kesimpulan...........................................................................................................................................24
B.      Saran.................................................................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................................25
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah ini bisa selesai
pada waktunya.Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah berkontribusi
dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan rapi.

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca. Namun terlepas
dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kami
sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi terciptanya makalah
selanjutnya yang lebih baik lagi.

Bandar lampung ,27 april 2020

Penulis
PENDAHULUAN

Masa kehamilan adalah salah satu fase penting untuk perkembangan anak dimana janin dan
calon ibu akan membutuhkan asupuan gizi optimal serta kondisi tubuh yang fit selama masa
kehamilan. Pada masa kehamilan sering didapatkan kondisi patologis yang dapat berimplikasi
buruk terhadap perkembangan optimal dari janin dan juga mengancam kesehatan ibu. Dari
sekian banyak kondisi patologis pada ibu hamil, yang sekarang semakin banyak ditemukan pada
masyarakat adalah kasus HIV pada ibu hamil. Faktor risiko transmisi HIV pada ibu hamil antara
lain adalah tingkat pendidikan suami yang rendah, memiliki kondisi ginekologi, konsumsi
alkohol, riwayat dirawat di rumah sakit, suami bekerja berpindah-pindah tempat, dan tinggal di
perkotaan1 . Ibu hamil yang terinfeksi HIV memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalami
aborsi spontan, kehamilan ektopik, dan terjadinya penularan HIV dari ibu ke anak2 . Penularan
dapat terjadi pada masa kehamilan, saat melahirkan, dan saat pemberian ASI3 . Meskipun
program penanganan HIV sudah sangat digalakan, namun angka prevalensi HIV masih cukup
tinggi di beberapa negara. Pada tahun 2007, prevalensi global HIV-1 stabil di angka 0,8%, 33
juta orang di seluruh dunia hidup dengan HIV/AIDS4 . Dari 33 juta orang yang terinfeksi di
seluruh dunia, 22,5 juta berasal dari regio Sub-Saharan Afrika. Pada regio ini, hampir 40% dari
ibu hamil terinfeksi HIV5 .

Di Indonesia, berdasarkan data pada akhir tahun 2003 diperkirakan ada 53.000-180.000 orang
yang terinfeksi HIV6 . Pada tahun 2011, diperkirakan 8.170 ibu hamil terinfeksi HIV7 . Pada
akhir Desember 2013, di Bali diperkirakan ada 8.059 orang terinfeksi HIV8 . Mengingat
besarnya dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh infeksi HIV dan belum adanya data
penderita HIV pada ibu hamil di Bali, maka dari itu penelitian ini dibuat untuk dapat menentukan
tingginya tingkat infeksi HIV beserta dengan karakteristiknya pada ibu hamil.

RSUP Sanglah selama periode Juli 2013-Juni 2014. Sampel penelitian ini ditentukan dengan
metode total sampling, dengan kriteria eksklusi : (a). Ibu hamil yang tidak bersedia datanya
dipergunakan untuk penelitian. (b). Data kedua dan seterusnya dari pasien yang memeriksakan
diri lebih dari 1 kali. Pada penelitian ini didapatkan 42 sampel, yang kemudian datanya dianalisa
berdasarkan karakteristik sosial, status obstetri, perilaku berisiko terinfeksi HIV, gejala dan tanda
terinfeksi HIV.
A. LATAR BELAKANG

Pada umumnya kehamilan berkembang dengan normal dan menghasilkan kelahiran bayi
sehat cukup bulan, melalui jalan lahir namun ini kadang tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Sulit sekali diketahui sebelumnya bahwa kehamilan akan menjadi masalah. Oleh karena itu,
pelayanan antenatal merupakan cara penting untuk memonitor dan mendukung kesehatan ibu
hamil normal dan melakukan deteksi dini. (Kusmiyati, 2009)
Diperkirakan 17 juta wanita terinfeksi HIV (HIV +) di seluruh dunia  (WHO,
2014). Laporan Epidemi HIV (Human Immunodeficiency Virus)  Global UNAIDS (United
Nations Programme on HIV-AIDS) 2012 menunjukkan bahwa terdapat 34 juta orang dengan
HIV di seluruh dunia. Sebanyak 50% di antaranya adalah perempuan dan 2,1 juta anak berusia
kurang dari 15 tahun. Di Asia Selatan dan Tenggara, terdapat kurang lebih 4 juta orang dengan
HIV dan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). Menurut Laporan Progres HIV-
AIDS WHO Regional SEARO (2011) sekitar 1,3 juta orang (37%) perempuan terinfeksi
HIV (Kemenkes RI, 2012).
Setiap tahunnya jumlah perempuan yang terinfeksi HIV semakin meningkat,
seiring dengan meningkatnya jumlah laki-laki yang melakukan hubungan seksual tidak
aman, yang selanjutnya akan menularkan pada pasangan seksualnya. Di sejumlah negara
berkembang HIV-AIDS merupakan penyebab utama kematian perempuan usia reproduksi.
Infeksi HIV pada ibu hamil dapat mengancam kehidupan ibu serta ibu dapat menularkan virus
kepada bayinya. Lebih dari 90% kasus anak terinfeksi HIV, dapat ditularkan melalui proses
penularan dari ibu ke anak atau mother-tochild HIV transmission (MTCT). Selama kehamilan,
saat persalinan dan saat menyusui (Kemenkes RI, 2012).
Data estimasi UNAIDS/WHO (2009) juga memperkirakan 22.000 anak di wilayah Asia-
Pasifik terinfeksi HIV dan tanpa pengobatan, setengah dari anak yang terinfeksi tersebut
akan meninggal sebelum ulang tahun kedua. Program Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke
Anak (PPIA) telah terbukti sebagai intervensi yang sangat efektif untuk mencegah penularan
HIV dari ibu ke anak. Di negara maju risiko anak tertular HIV dari ibu dapat ditekan hingga
kurang dari 2% karena tersedianya intervensi PPIA dengan layanan optimal. Namun
di Negara berkembang atau negara miskin, dengan minimnya akses intervensi, risiko
penularan masih berkisar antara 20% dan 50%.
Menurut laporan UNAIDS (2009), terdapat kemajuan signifikan dalam
mencegah penularan HIV dari ibu ke anak. Pada tahun 2008 diperkirakan 21% ibu hamil
yang melahirkan di negara berpendapatan rendah dan menengah telah dites HIV, angka ini
meningkat dibandingkan tahun 2007 (15%). Sementara itu, 45% dari ibu hamil yang terinfeksi
HIV di negara berpendapatan rendah dan sedang, telah menerima obat antiretroviral (ARV)
untuk mencegah penularan HIV ke bayinya pada tahun yang sama. Angka tersebut meningkat
dibandingkan tahun 2007, yaitu 35%, dan tahun 2004 hanya 10% ibu hamil terinfeksi HIV yang
menerima obat antiretroviral. Salah satu alasan meningkatnya cakupan tes HIV dan terapi ARV
pada ibu hamil adalah meningkatnya tes HIV dan konseling atas inisiasi petugas (KTIP/PITC) di
layanan antenatal dan persalinan, dan layanan kesehatan lainnya.
Di Indonesia, infeksi HIV merupakan salah satu masalah kesehatan utama dan salah satu
penyakit menular yang dapat mempengaruhi kematian ibu dan anak. Sampai saat ini kasus HIV-
AIDS telah dilaporkan oleh 341 dari 497 kabupaten/kota di 33 provinsi., pada tahun 2016
Kementerian Kesehatan memperkirakan Indonesia akan mempunyai hampir dua kali jumlah
orang yang hidup dengan HIV dan AIDS dewasa dan anak (812.798 orang) dibandingkan pada
tahun 2008 (411.543 orang), bila upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang dilaksanakan tidak
adekuat sampai kurun waktu tersebut. (Laporan Pemodelan Matematika epidemi HIV di
Indonesia,Kemenkes, 2012).
Data Kementerian Kesehatan (2012) menunjukkan dari 21.103 ibu hamil yang menjalani
tes HIV, 534 (2,5%) di antaranya positif terinfeksi HIV. Hasil Pemodelan Matematika Epidemi
HIV Kementerian Kesehatan tahun 2012 menunjukkan prevalensi HIV pada populasi usia 15-49
tahun dan prevalensi HIV pada ibu hamil di Indonesia diperkirakan akan meningkat. Jumlah
kasus HIV-AIDS diperkirakan akan meningkat dari 591.823 (2012) menjadi 785.821 (2016),
dengan jumlah infeksi baru HIVyang meningkat dari 71.879 (2012) menjadi 90.915 (2016).
Sementara itu, jumlah kematian terkait AIDS pada populasi 15-49 tahun akan meningkat hampir
dua kali lipat di tahun 2016. Penularan HIV dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayinya juga
cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah perempuan HIV positif yang tertular
baik dari pasangan maupun akibat perilaku yang berisiko. Meskipun angka prevalensi dan
penularan HIV dari ibu ke bayi masih terbatas, jumlah ibu hamil yang terinfeksi HIV cenderung
meningkat. Prevalensi HIV pada ibu hamil diproyeksikan meningkat dari 0,38% (2012) menjadi
0,49% (2016), dan jumlah ibu hamil HIV positif yang memerlukan layanan PPIA juga akan
meningkat dari 13.189 orang pada tahun 2012 menjadi 16.191 orang pada tahun 2016.
            Di Provinsi Sumatera Barat, distribusi kasus AIDS terbesar terdapat di Kota Padang (322
kasus), Kota Bukit Tinggi (144 kasus), dan Kabupaten Agam (61 kasus). Sedangkan untuk
prevalensi kasus AIDS per 100.000 penduduk berdasarkan provinsi, Provinsi Sumatera Barat
memiliki prevalensi 19,64% (Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2014). Upaya pencegahan
penularan HIV dari ibu ke anak telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2004, khususnya di
daerah dengan tingkat epidemi HIV tinggi. Namun, hingga akhir tahun 2011 baru terdapat 94
layanan PPIA (Kemkes, 2011), yang baru menjangkau sekitar 7% dari perkiraan jumlah ibu yang
memerlukan layanan PPIA.
A. kehamilan
1.        Definisi
Kehamilan atau persalinan merupakan proses alamiah (normal) dan bukan proses patologis,
tetapi kondisi normal dapat menjadi patologi/ abnormal. Menyadari hal tersebut dalam
melakukan asuhan tidak perlu melakukan intervensi-intervensi yang tidak perlu kecuali ada
indikasi. (Kusmiyati, 2009)

2.        Prinsip Pokok Asuhan Kehamilan


Prinsip merupakan dasar atau azas atau kebenaran yang menjadi pokok dasar berfikir, bertindak
dan sebagainya. Sebagai seorang Bidan dalam melakukan asuhan kebidanan harus berdasarkan
prinsip sesuai tugas pokok dan fungsinya agar apa yang dilakukan tidak melanggar kewenangan
atau mal praktik. Bidan dalam melaksanakan asuhan harus berpegang pada Undang-Undang
Kesehatan Nomor 23 tahun 1992, Kepmenkes 900 tahun 2002 tentang registrasi dan praktik
Bidan, pelayanan dilaksanakan sesuai standar pelayanan kebidanan dan standar profesi Bidan.
(Kusmiyati, 2009)

B. HIV (Human Immunodeficiency Virus)

1. Definisi
HIV/AIDS adalah suatu sindrom defisiensi imun yang ditandai oleh adanya infeksi oportunistik
dan atau keganasan yang tidak disebabkan oleh defisiensi imun primer atau sekunder atau infeksi
kongenital melainkan oleh human immunodeficiency virus. Kausa sindrom imunodefisiensi ini
adalah retrovirus DNA yaitu HIV-1 dan HIV-2 (Cunningham, 2006).

2. Etiologi
Penyebab dari virus ini adalah dari retrovirus golongan retroviridae, genus lenti virus.Terdiri dari
HIV-1 dan HIV-2. Dimana HIV-1 memiliki 10 subtipe yang diberi dari kode A sampai J dan
subtipe yang paling ganas di seluruh dunia adalah grup HIV-1.Secara morfologik, virus ini
berbentuk bulat, terdiri dari bagian inti (core) yang berbentuk silindris dan selubung (envelope)
yang berstruktur lipid bilayer yang membungkus bagian core, dimana didalam core ini terdapat
RNA virus ini. Karena informasi genetik virus ini berupa RNA, maka virus ini harus mentransfer
informasi genetiknya yang berupa RNA menjadi DNA sebelum diterjemahkan menjadi protein-
protein. Dan untuk tujuan ini HIV memerlukan enzim reverse transkriptase (Maslow S, 1995).

3. Penularan
Kita masih belum mengetahui secara persis bagaimana HIV menular dari ibu ke bayi. Namun,
kebanyakan penularan terjadi saat persalinan (waktu bayinya lahir). Selain itu, bayi yang disusui
oleh ibu terinfeksi HIV dapat juga tertular HIV. Hal ini ditunjukkan dalam gambar berikut:
Sumber: Green WC, 2009.
Ada beberapa faktor risiko yang meningkatkan kemungkinan bayi terinfeksi HIV. Yang paling
mempengaruhi adalah viral load (jumlah virus yang ada di dalam darah) ibunya. Oleh karena itu,
salah satu tujuan utama terapi adalah mencapai viral load yang tidak dapat terdeteksi seperti juga
ART (Antiretroviral Therapy) untuk siapa pun terinfeksi HIV. Viral load penting pada waktu
melahirkan. Penularan dapat terjadi dalam kandungan yang dapat disebabkan oleh kerusakan
pada plasenta, yang seharusnya melindungi janin dari infeksi HIV. Kerusakan tersebut dapat
memungkinkan darah ibu mengalir pada janin. Kerusakan pada plasenta dapat disebabkan oleh
penyakit lain pada ibu, terutama malaria dan TB (Green WC, 2009).
       Namun risiko penularan lebih tinggi pada saat persalinan, karena bayi tersentuh oleh darah
dan cairan vagina ibu waktu melalui saluran kelahiran. Jelas, jangka waktu antara saat pecah
ketuban dan bayi lahir juga merupakan salah satu faktor risiko untuk penularan. Juga intervensi
untuk membantu persalinan yang dapat melukai bayi, misalnya vakum, dapat meningkatkan
risiko. Karena air susu ibu (ASI) dari ibu terinfeksi HIV mengandung HIV, juga ada risiko
penularan HIV melalui menyusui.
    
   Faktor risiko lain termasuk kelahiran prematur (bayi lahir terlalu dini) dan kekurangan
perawatan HIV sebelum melahirkan. Sebenarnya semua faktor risiko menunjukkan satu hal,
yaitu mengawasi kesehatan ibu. Beberapa pokok kunci yang penting adalah:
a.         status HIV bayi dipengaruhi oleh kesehatan ibunya,
b.         status HIV bayi tidak dipengaruhi sama sekali oleh status HIV ayahnya, dan
c.         status HIV bayi tidak dipengaruhi oleh status HIV anak lain dari ibu.

4. Faktor Resiko
Ada dua faktor utama untuk menjelaskan faktor risiko penularan HIV dari ibu ke bayi:

1. Faktor ibu dan bayi


a.    Faktor ibu
       Kadar HIV (viral load) di darah ibu pada menjelang ataupun saat persalinan dan kadar HIV
di air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya. Umumnya, satu atau dua minggu setelah seseorang
terinfeksi HIV, kadar HIV akan cepat sekali bertambah di tubuh seseorang. Risiko penularan
akan lebih besar jika ibu memiliki kadar HIV yang tinggi pada menjelang ataupun saat
persalinan. Jika ibu memiliki berat badan yang rendah selama kehamilan serta kekurangan
vitamin dan mineral, maka risiko terkena berbagai penyakit infeksi juga meningkat. Biasanya,
jika ibu menderita infeksi menular seksual atau infeksi reproduksi lainnya maupun malaria, maka
kadar HIV akan meningkat (Depkes RI, 2006).
b.    Faktor bayi antara lain:

1.         Bayi yang lahir prematur dan memiliki berat badan lahir rendah,

2.         Melalui ASI yang diberikan pada usia enam bulan pertama bayi, dan

3.         Bayi yang meminum ASI dan memiliki luka di mulutnya.

2. Faktor cara penularan (Obstetrik)


a.    Menular saat persalinan melalui percampuran darah ibu dan darah bayi.

b.    Bayi menelan darah ataupun lendir ibu.

c.    Persalinan yang berlangsung lama.

d.   Ketuban pecah lebih dari 4 jam.


e.    Penggunaan elektroda pada kepala janin, penggunaan vakum atau forceps, dan tindakan
episiotomi

f.     Bayi yang lebih banyak mengonsumsi makanan campuran dari pada ASI.

5. Pengaruh Kehamilan Pada Perjalanan Penyakit HIV


Kehamilan tidak secara signifikan mempengaruhi resiko kematian, progresivitas menjadi
AIDS atau progresivitas penurunan sel CD4 pada wanita yang terinfeksi HIV. Pengaruh
kehamilan terhadap sel CD4 pertama kali dilaporkan oleh Burns, dkk. Pada kehamilan normal
terjadi penurunan jumlah sel CD4 pada awal kehamilan untuk mempertahankan janin. Pada
wanita yang tidak menderita HIV, presentase sel CD4 akan meningkat kembali mulai trisemester
ketiga hingga 12 bulan setelah melahirkan. Sedangkan pada wanita yang terinfeksi HIV
penurunan tetap terjadi pada kehamilan dan setelah melahirkan walaupun tidak bermakna secara
statistik. Nemun penelitian dari European Collaborative Study dan Swiss HIV Pregnancy
Cohort  dengan jumlah sample yang lebih besar, menunjukkan presentase penurunan sel CD4
selama kehamilan sampai 6 bulan setelah melahirkan tetap stabil (Volderding, 1995).
Kehamilan ternyata hanya sedikit meningkatkan kadar virus (viral load) HIV. Kadar virus HIV
meningkat terutama setelah 2 tahun persalinan, walaupun secara statistik tidak
bermakna. Kehamilan juga tidak mempercepat progresivitas penyakit menjadi AIDS. Italian
Seroconversion Study Group membandingkan wanita terinfeksi HIV dan pernah hamil ternyata
tidak menunjukkan perbedaan resiko menjadi AIDS atau penurunan CD4 menjadi kurang dari
200 (McFarland, 2003).
a.    Pengaruh Infeksi HIV pada Kehamilan
Penelitian di negara maju sebelum era anti retrovirus menunjukkan bahwa HIV tidak
menyebabkan peningkatan prematuritas, berat badan lahir rendah atau gangguan pertumbuhan
intra uterin. Sedangkan di negara berkembang, infeksi HIV justru meningkatkan kejadian aborsi,
prematuritas, gangguan pertumbuhan intra uterin dan kematian janin intra uterin terutama pada
stadium lanjut. Selain karena kondisi fisik ibu yang lebih buruk juga karena kemungkinan
penularan perinatalnya lebih tinggi (McFarland, 2003).
b.   Transmisi Vertikal HIV
Tanpa intervensi, resiko penularan HIV dari ibu ke janinnya yang dilaporkan berkisar
antara 15%-45%. Resiko penularan ini lebih tinggi di negara berkembang dibandingkan dengan
negara maju (21%-43% dibandingkan 14%-26%). Penularan dapat terjadi pada intra uterin,
intrapartum dan post partum. Sebagian besar penularan terjadi intra partum. Pada ibu yang tidak
menyusui, 24%-40% penularan terjadi intra uterin dan 60%-75% terjadi selama persalinan.
Sedangkan pada ibu yang menyusui bayinya, sekitar 20%-25% penularan terjadi intra uterin,
60%-70% intra partum dan saat awal menyusui dan 10%-15% setelah persalinan. Resiko infeksi
intra uterin, intra partum dan pasca persalinan adalah 6%, 18% dan 4% dari keseluruhan kelahian
ibu dengan HIV positif (Yunihastuti, 2003).
1)      Transmisi Intra Uterin

Kejadian transmisi HIV pada janin kembar dan ditemukannya DNA HIV, IgM anti-HIV dan
antigen p24 pada neonatus pada minggu pertama membuktikan bahwa transmisi dapat terjadi
selama kehamilan. Walaupun masih belum jelas, mekanismenya diduga melalui plasenta.
Pemeriksaan patologi menemukan HIV dalam plasenta ibu yang terinfeksi HIV. Sel limfosit atau
monosit ibu yang terinfeksi HIV atau virus HIV itu sendiri dapat mencapai janin secara langsung
melalui lapisan sinsitiotrofoblas, atau secara tidak langsung melalui trofoblas dan menginfeksi
sel makrofag plasenta (sel Houfbauer) yang mempunyai reseptor CD4. Plasenta diduga juga
mempunyai efek anti HIV-1 dengan mekanisme yang masih belum diketahui. Salah satu hormon
plasenta yaitu human chorionic gonadotropin (hCG) diduga melindungi janin dari HIV-1
melalui beberapa cara, seperti menghambat penetrasi virus ke jaringan plasenta, mengkontrol
replikasi virus di dalam sel plasenta, dan menginduksi apoptosis sel-sel yang terinfeksi HIV-
1.Menurut Pediatric Virology Committee of the AIDS Clinical Trials Group (PACTG), transmisi
dikatakan intra uterin/ infeksi awal, jika tes virology positif dalam 48 jam setelah kelahiran dan
tes berikutnya juga positif (McFarland, 2003).
2). Transmisi Intrapartum
Transmisi intrapartum/ infeksi lambat didiagnosis jika pemeriksaan virologis negatif dalam 48
jam pertama setelah kelahiran dan tes 1 minggu berikutnya menjadi positif dan bayi tidak
menyusui. Selama persalinan, bayi dapat tertular darah atau cairan servikovaginal yang
mengandung HIV melalui paparan trakheobronkial atau tertelan pada jalan lahir. HIV ditemukan
pada cairan servikovaginal wanita terinfeksi HIV-AIDS sekitar 21% dan pada cairan aspirasi
lambung bayi yang dilahirkan sekitar 10%. Terdapatnya HIV pada cairan servikovaginal
berhubungan dengan tubuh vagina abnormal, kadar sel CD4 yang rendah dan defisiensi vitamin
A. Selain menurunkan imunitas, defisiensi vitamin A akan menurunkan integritas plasenta dan
permukaan mukosa jalan lahir, sehingga akan memudahkan terjadi trauma pada jalan lahir dan
transmisi HIV secara vertikal. Besarnya paparan pada jalan lahir juga dikaitkan dengan ulkus
serviks atau vagina, korioamnionitis, ketuban pecah sebelum waktunya, persalinan prematur,
penggunaan elektrode pada kepala janin, penggunaan vakum atau forceps, episiotomi dan
rendahnya kadar CD4 ibu. Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan akan
meningkatkan resiko transmisi antepartum sampai dua kali lipat dibandingkan jika ketuban
pecah kurang dari 4 jam sebelum persalinan. Diantara faktor-faktor tersebut, kadar HIV ibu pada
saat persalinan atau menjelang persalinan merupakan prediktor paling penting. Karena itu, resiko
penularan lebih tinggi terjadi pada ibu hamil dengan infeksi HIV primer. Namun, belum ada
angka pasti pada kadar HIV berapa penularan dapat terjadi. Kadar HIV yang rendah atau tidak
terdeteksi tidak menjamin bahwa bayi tidak akan tertular karena pada beberapa kasus penularan
tetap terjadi. Selain itu, kadar HIV ibu sebelum dan saat persalinan juga akan menentukan kadar
HIV pada bayi yang ditularkannya. Wiener, dkk mengemukakan hubungan linier kadar HIV ibu
dan kadar HIV bayi pada 3 bulan pertama kehidupannya (McFarland, 2003).
3) Transmisi Post Partum
Air susu ibu diketahui mengandung HIV dalam cukup banyak. Konsentrasi median sel yang
terinfeksi HIV pada ibu yang menderita HIV adalah 1 per 10 4 sel. Partikel virus dapat ditemukan
pada komponen sel dan non-sel air susu ibu. HIV ditemukan pada 58% pemeriksaan kolostrum
dan air susu ibu. Kadar HIV tertinggi dalam air susu ibu terjadi mulai minggu pertama sampai
tiga bulan setelah persalinan. HIV dalam konsentrasi rendah masih dapat dideteksi pada air susu
ibu sampai 9 bulan setelah persalinan. Resiko penularan pada bayi yang disusui paling tinggi
pada enam bulan pertama, kemudian menurun secara bertahap pada bulan-bulan berikutnya.
Kadar HIV pada air susu ibu dipengaruhi kadar serum ibu, sel CD4 ibu, defisiensi vitamin
A. Kadar HIV di dalam air susu ibu lebih tinggi pada ibu yang anaknya terinfeksi HIV daripada
yang tidak terinfeksi HIV. Berbagai macam faktor lain yang dapat mempertinggi resiko transmisi
HIV melalui air susu ibu antara lain mastitis atau luka diputing susu, abses payudara, lesi
dimukosa mulut bayi, prematuritas dan respon imun bayi.
6.        Diagnosis Infeksi HIV
Diagnosis infeksi HIV juga ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan hasil
penemuan laboratorium. Anamnesis yang mendukung kemungkinan adanya infeksi HIV
misalnya :
Ø Lahir dengan ibu resiko tinggi.
Ø Lahir dari ibu dengan pasangan resiko tinggi.
Ø Penerima tranfusi darah atau komponennya, terutama bila berulang dan tanpa uji HIV.
Ø Penggunaan obat parenteral atau intravena secara keliru (biasanya pecandu narkotika)
Ø Homoseksual atau biseksual.
Ø Kebiasaan seksual yang keliru.
Gejala klinis yang mendukung misalnya infeksi oportunistik, penyakit menular seksual,
infeksi yang berulang atau berat, terdapat gagal tumbuh, adanya ensefalopati yang menetap atau
progresif, penyakit paru interstitiel, keganasan sekunder, kardiomiopati dan lain-lainnya. Untuk
diagnostik yang pasti dikerjakan pemeriksaan laboratorium mulai dari yang relatif sederhana
hingga yang relatif sulit dan mahal, yaitu mulai dari menentukan adanya antibodi anti-HIV
misalnya dengan ELISA (Enzyme Linked Immunosorbant Assay) yang dilanjutkan dengan uji
yang lebih pasti seperti Western blot assay dan lain-lainnya (Suwendra, 2001).
Infeksi HIV pada wanita seringkali terdeteksi pada masa kehamilan, waktu dilakukan uji
saring HIV antenatal. Uji serologis HIV-1 antibodi spesifik IgG merupakan tes dengan
spesifikasi yang tinggi. Sera yang reaktif terhadap anti HIV pada uji saring, sebaiknya diuji ulang
dan hasilnya dikonfirmasikan dengan sistem uji lainnya. Untuk diagnostik, contoh sera harus
diambil ulang untuk mengkonfirmasi ada tidaknya infeksi. Pada umumnya wanita yang terinfeksi
menampilkan kondisi sera yang reaktif 6-8 minggu setelah infeksi, meskipun pada beberapa
kasus antibodi tersebut tidak timbul setelah 6-9 bulan kemudian. Hasil negatif tes antibodi berarti
wanita tersebut tidak terkena infeksi HIV lebih dari 6 bulan yang lalu, tetapi dapat juga berarti
uji negatif palsu (false negatif), bila wanita itu diuji pada waktu periode jendela (window
periode) antara infeksi dan serokonversi (Maslow, 1995).
Sedangkan pada bayi pemeriksaan serologis standar seperti IgG anti-HIV dan Western
Blot tidak dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis sebelum usia 18 bulan. Hal ini
disebabkan masih dapat ditemukannya IgG anti-HIV ibu yang melewati plasenta di darah bayi,
bahkan sampai usia 24 bulan. Sedangkan IgA dan IgM anti-HIV tidak dapat melewati plasenta,
sehingga dapat digunakan untuk konfirmasi diagnosis bila ditemukan pada bayi. Akan tetapi,
sensitivitas kedua pemeriksaan ini masih rendah (Yunihastuti, dkk, 2003).
Pada bayi di bawah usia 18 bulan, pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain kultur
HIV, teknik PCR (Polymerase chain Reaction) untuk mendeteksi DNA atau RNA HIV dan
deteksi antigen p24.Infeksi HIV ditegakkan bila dua sample dari dua kali pemeriksaan yang
berbeda dengan kultur, DNA HIV atau RNA HIV menunjukkan hasil positif. Disebut tidak
terinfeksi bila dua macam sampel tes yang berbeda menunjukkan hasil negatif (McFarland,
2003).

7.    Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan antibodi HIV paling banyak menggunakan metode ELISA/EIA (enzyme
linked immunoadsorbent assay). ELISA pada mulanya digunakan untuk skrining darah
donor dan pemeriksan darah kelompok risiko tinggi. Pada bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi
HIV, tes ini efektif dilakukan pada bayi yang berusia 18 bulan keatas. Pemeriksaan ELISA harus
menunjukkan hasil positif 2 kali (reaktif) dari 3 tes yang dilakukan, kemudian dilanjutkan
dengan pemeriksaan konfirmasi yang biasanya dengan memakai metode Western
Blot.  Penggabungan tes ELISA yang sangat sensitif dan Western Blot yang sangat spesifik
mutlak dilakukan untuk menentukan apakah seseorang positif AIDS.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan lainnya yaitu:
a)    Foto toraks
b)   Pemeriksaan fisik
• Penampilan umum tampak sakit sedang, berat.
• Tanda vital.
• Kulit: rush, Steven Jhonson.
• Mata: hiperemis, ikterik, gangguan penglihatan.
• Leher: pembesaran KGB.
• Telinga dan hidung: sinusitis, berdengung.
• Rongga mulut: candidiasis.
• Paru: sesak nafas, efusi pleura.
• Jantung: kardiomegali.
• Abdomen: asites, distensi abdomen, hepatomegali.
• Genetalia dan rektum: herpes.
• Neurologi: kejang, gangguan memori, neuropati.
c)      Mantoux test
d)     Pemeriksaan laboratorium darah (Kadar CD4, Hepatitis, Paps smear, Toxoplasma, Virus load.

8.    Penatalaksanaan
Cara terbaik untuk memastikan bahwa bayi kita tidak terinfeksi dan kita tetap sehat adalah
dengan memakai terapi antiretroviral (ART). Perempuan terinfeksi HIV di seluruh dunia sudah
memakai obat antiretroviral (ARV) secara aman waktu hamil lebih dari sepuluh tahun. ART
sudah berdampak besar pada kesehatan perempuan terinfeksi HIV dan anaknya. Oleh karena ini,
banyak dari mereka yang diberi semangat untuk mempertimbangkan mendapatkan
anak. Antiretrovirus direkomendasikan untuk semua wanita yang terinfeksi HIVAIDS yang
sedang hamil untuk mengurangi resiko transmisi perinatal. Hal ini berdasarkan bahwa resiko
transmisi perinatal meningkat sesuai dengan kadar HIV ibu dan resiko transmisi dapat
diturunkan hingga 20% dengan terapi antiretrovirus (McFarland, 2003).
Tujuan utama pemberian antiretrovirus pada kehamilan adalah menekan perkembangan virus,
memperbaiki fungsi imunologis, memperbaiki kualitas hidup, mengurangi morbiditas dan
mortalitas penyakit yang menyertai HIV. Pada kehamilan, keuntungan pemberian antiretrovirus
ini harus dibandingkan dengan potensi toksisitas, teratogenesis dan efek samping jangka lama.
Akan tetapi, efek penelitian mengenai toksisitas, teratogenesis, dan efek samping jangka lama
antiretrovirus pada wanita hamil masih sedikit. Efek samping tersebut diduga akan meningkat
pada pemberian kombinasi antiretrovirus, seperti efek teratogenesis kombinasi antiretrovirus dan
antagonis folat yang dilaporkan Jungmann, dkk. Namun penelitian terakhir oleh Toumala, dkk
menunjukkan bahwa dibandingkan dengan monoterapi, terapi kombinasi antiretrovirus tidak
meningkatkan resiko prematuritas, berat badan lahir rendah atau kematian janin
intrauterine (Maslow, 1995).
Obat antiretrovirus yang pertama kali diteliti untuk mengurangi resiko transmisi perinatal adalah
zidovudin (ZDV). Pada Pediatric Virology Committee of the AIDS Clinical Trials
Group (PACTG) 076, zidovudin yang diberikan peroral mulai minggu ke-14 kehamilan,
dilanjutkan zidovudin intravena pada saat intrapartum untuk ibu, diikuti dengan zidovudin sirup
yang diberikan pada bayi sejak usia 6-12 jam sampai 6 minggu (McFarland, 2003).
Selain monoterapi dengan zidovudin, regimen lain yang sudah diteliti alah monoterapi dengan
nevirapin dan terapi kombinasi zidovudin dan lamivudin.Lallement, dkk juga sedang meneliti
kombinasi zidovudin dan nevirapin.Saat ini di Indonesia beberapa antiretrovirus tersebut sudah
tersedia dalam bentuk generik dengan harga yang lebih murah antara lain zidovudin, lamivudin,
nevirapin dan stavudin. Dapat diberikan dosis tunggal 200 mg bagi ibu pada saat melahirkan
disertai pemberian nevirapin 2 mg/kgBB dosis tunggal bagi bayi pada usia 2 atau 3 hari. Selain
karena harga obat generiknya yang cukup murah, seringkali wanita hamil terinfeksi HIV-AIDS
baru dating pada saat melahirkan (McFarland, 2003).
Berdasarkan penelitian-penelitian Perinatal HIV Guidelines Working Group di Amerika Serikat
mengajukan rekomendasi pemberian antiretrovirus. Rekomendasi ini tidak berbeda dengan yang
direkomendasikan British HIV Association. Rekomendasi yang dianjurkan yaitu :
a.    Situasi kehamilan: Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS yang belum pernah menggunakan
antiretrovirus sebelumnya.
Rekomendasi: Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS menjalani pemeriksaan klinis,
imunologis dan virologis standar. Pertimbangan inisiasi dan pemilihan antiretrovirus sama
dengan wanita yang terinfeksi HIV-AIDS yang tidak hamil dengan pertimbangan efek terhadap
kehamilan. Jika wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS datang pada trimester pertama
kehamilan, pemberian antiretrovirus dapat ditunda sampai usia kehamilan 10-12 minggu.
b.   Situasi Kehamilan: Wanita hamil yang terinfeksi HIV- AIDS yang sedang mendapatkan
antiretrovirus.
Rekomendasi: Jika kehamilan diketahui setelah trimester pertama, terapi antiretrovirus
sebelumnya diteruskan, sebaiknya dengan menyertakan zidovudin. Jika kehamilan diketahui
pada trimester pertama, wanita hamil yang terinfeksi HIV- AIDS diberikan konseling tentang
keuntungan dan resiko antiretrovirus pada trimester pertama. Jika wanita hamil yang terinfeksi
HIV–AIDS memilih menghentikan antiretrovirus selama trimester pertama, semua obat harus
dihentikan untuk kemudian diberikan secara simultan setelah trimester pertama untuk mencegah
resistensi obat. Tanpa mempertimbangkan regimen sebelumnya, zidovudin dianjurkan untuk
diberikan selama intrapartum dan pada bayi.
c.    Situasi Kehamilan: Wanita hamil yang terinfeksi HIV- AIDS datang pada saat persalinan dan
belum mendapat antiretrovirus.
Rekomendasi: Ada beberapa regimen yang dianjurkan :
Ø  Nevirapin dosis tunggal pada saat persalinan dan dosis tunggal pada bayi pada usia 48 jam;
Ø  Zidovudin dan lamivudin oral pada persalinan, diikuti zidovudin/ lamivudin pada bayi selama
seminggu;
Ø  Zidovudin intravena intrapartum, diikuti zidovudin pada bayi selama 6 minggu;
Ø  Dua dosis nevirapin dikombinasi dengan zidovudin intravena selama persalinan diikuti zidovudin
pada bayi selama 6 minggu.
Ø  Segera setelah persalinan, wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS menjalani pemeriksaan seperti
CD4 dan kadar HIV untuk menentukan apakah antiretrovirus akan dilanjutkan.
d.        Situasi Kehamilan: Jika bayi dari ibu wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS datang setelah
persalinan, sedangkan ibu belum mendapatkan antiretrovirus selama kehamilan atau intrapartum.
Rekomendasi: Zidovudin sirup diberikan pada bayi selama 6 minggu, dimulai secepatnya dalam
6-12 jam setelah kelahiran (McFarland, 2003).
1)        Penatalaksanaan Obsterik
Untuk mengurangi resiko transmisi HIV yang terutama terjadi pada saat intrapartum,
beberapa peneliti mencoba membandingkan transmisi antara wanita hamil yang terinfeksi HIV-
AIDS yang menjalani seksio sesarea dengan partus pervaginam. Persalinan dengan seksio
sesarea dipikirkan dapat mengurangi paparan bayi dengan cairan servikovaginal yang
mengandung HIV (Volderding, 1995).
Selain seksio sesarea, berbagai cara telah dicoba untuk menurunkan resiko transmisi
intrapartum pada wanita yang terinfeksi HIV-AIDS. Salah satunya adalah pencucian jalan lahir
dengan kassa yang direndam dengan 0,25% klorheksidin. Ternyata cara ini tidak dapat
mengurangi resiko transmisi partus pervaginam. Perinatal HIV Guidelines Working Group di
Amerika Serikat mengajukan rekomendasi penatalaksanaan obstetrik untuk mengurangi
transmisi HIV vertikal. Rekomendasi yang dianjurkan adalah:
a.        Cara Persalinan: Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS yang datang pada kehamilan di
atas 36 minggu, belum mendapat antiretrovirus, dan sedang menunggu hasil pemeriksaan kadar
HIV dan CD4 yang diperkirakan ada sebelum persalinan.
Rekomendasi: Ada beberapa regimen yang harus didiskusikan dengan jelas. Wanita hamil yang
terinfeksi HIV-AIDS harus mendapat terapi antiretrovirus seperti regimen PACTG 076. Wanita
hamil yang terinfeksi HIV-AIDS dilakukan konseling tentang seksio sesarea untuk mengurangi
resiko transmisi dan resiko komplikasi pascaoperasi, anestesi, dan resiko operasi lain
padanya. Jika diputuskan seksio sesarea, seksio direncanakan pada minggu ke-38 kehamilan,.
Selama seksio, wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS mendapat zidovudin intravena yang
dimulai 3 jam sebelumnya, dan bayi mendapat zidovudin sirup selama 6 minggu. Keputusan
akan meneruskan antiretrovirus setelah melahirkan atau tidak tergantung pada hasil pemeriksaan
kadar virus dan CD4.
b.        Cara Persalinan: Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS yang datang pada kehamilan awal,
sedang mendapat kombinasi antiretrovirus, dan kadar HIV tetap di atas 1000 kopi/mL pada
minggu ke 36 kehamilan.
Rekomendasi: Regimen antiretrovirus yang digunakan tetap diteruskan. Wanita hamil yang
terinfeksi HIV-AIDS harus mendapat konseling bahwa kadar HIV-nya mungkin tidak turun
sampai kurang dari 1000 kopi/mL sebelum persalinan, sehingga dianjurkan untuk melakukan
seksio sesarea. Demikian juga dengan resiko komplikasi seksio yang meningkat, seperti infeksi
pascaoperasi, anestesi, dan operasi. Jika diputuskan seksio sesarea, seksio direncanakan pada
minggu ke-38 kehamilan. Selama seksio, wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS mendapat
zidovudin intravena yang dimulai minimal 3 jam sebelumnya. antiretrovirus lain tetap diteruskan
sebelum dan sesudah persalinan. Bayi mendapat zidovudin sirup selama 6 minggu.
c.         Cara Persalinan: Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS yang sedang mendapat kombinasi
antiretrovirus, dan kadar HIV tidak terdeteksi pada minggu ke 36 kehamilan.
Rekomendasi: Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS diberikan konseling bahwa
kemungkinan transmisi jika kadar HIV tidak terdeteksi mungkin kurang dari 2 %, bahkan pada
persalinan pervaginam. Pemilihan cara persalinan harus mempertimbangkan keuntungan dan
resiko komplikasi seksio.
d.        Cara Persalinan: Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS yang sudah direncanakan seksio
sesarea elektif, namun datang pada awal persalinan atau setelah ketuban pecah.
Rekomendasi: Zidovudin intravena segera diberikan. Jika kemajuan persalinan cepat, wanita
hamil yang terinfeksi HIV-AIDS ditawarkan untuk menjalani persalinan pervaginam. Jika
dilatasi serviks minimal dan diduga persalinan akan berlangsung lama, dapat dipilih antara
zidovudine intravena dan melakukan seksio sesarea atau memberikan pitosin untuk mempercepat
persalinan. Jika diputuskan untuk menjalani persalinan pervaginam, elektrode kepala, monitor
invasive dan alat bantu lain sebaiknya dihindari. Bayi sebaiknya mendapat zidovudin sirup
selama 6 minggu.

      PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE BAYI

HIV adalah virus penyebab AIDS, dapat menular dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayinya. Tanpa
upaya pencegahan, kurang-lebih 30 persen bayi dari ibu yang terinfeksi HIV menjadi tertular
juga. Infeksi dapat terjadi kapan saja selama kehamilan, namun biasanya terjadi beberapa saat
sebelum atau selama persalinan. Bayi lebih mungkin terinfeksi bila proses persalinan
berlangsung lama. Selama persalinan, bayi yang baru lahir terpajan darah ibunya. (Ngwende,
Stella, 2013)
Seperti diuraikan di atas, ART telah terbukti telah memainkan peran penting dalam menurunkan
tingkat PMTCT dan di mana pedoman ada yang merekomendasikan, berdasarkan bukti, bahwa
semua wanita hamil HIV positif harus sudah mulai ART pada minggu 24 kehamilan mereka,
infeksi HIV di kalangan anak-anak meningkat jika jumlah CD4 ibu adalah ≤200 sel / uL dan jika
anak itu terkena makan campuran. ASI eksklusif selama kurang dari enam bulan adalah
pelindung. Direkomendasikan periode pemberian ASI eksklusif selama enam bulan pertama dan
berhenti menyusui setelah 6 bulan jika terjangkau, berkelanjutan dan aman. (Ngwende, Stella,
2013)
Sebagaimana telah kita lihat di atas, seorang wanita hamil yang positif HIV risiko menularkan
virus kepada anaknya dalam rahim. Namun, seperti disebutkan sebelumnya, ada berbagai
langkah yang dapat diambil untuk mengurangi risiko penularan. Ini termasuk ART menjalani
dan pengiriman tepat. Namun, agar pengobatan yang tepat akan tersedia, tenaga profesional
kesehatan perlu mengetahui status HIV dari ibu. Oleh karena itu, seperti diuraikan di atas, tes
HIV antenatal telah menjadi bagian penting dalam proses mengurangi HIV ini termasuk dalam
14 standar T diantaranya adalah tes PMS. Sebagai seorang Bidan kita harus bisa melakukan
deteksi dini terutama kepada ibu hamil yang beresiko tinggi untuk mengidap infeksi menular
seksual. (Pantiawati, 2010)
Program untuk mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu ke bayi, dilaksanakan secara
komprehensif dengan menggunakan empat prong, yaitu:
Ø Prong 1: mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan usia reproduktif.
Ø Prong 2: mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV positif.

Ø Prong 3: mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke bayi yang
dikandungnya.

Ø Prong 4: memberikan dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu HIV positif beserta
bayi dan keluarganya (Kemenkes, 2012).
Strategi pencegahan penularan HIV pada ibu hamil yang telah terinfeksi HIV ini merupakan inti
dari kegiatan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak
yang komprehensif mencakup kegiatan sebagai berikut:
1. Layanan ANC terpadu termasuk penawaran dan tes HIV;

2. Diagnosis HIV

3. Pemberian terapi antiretroviral;

4. Persalinan yang aman;

5. Tata laksana pemberian makanan bagi bayi dan anak;

6. Menunda dan mengatur kehamilan;

7. Pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksazol pada anak;

8. Pemeriksaan diagnostik HIV pada anak.


Pada daerah dengan prevalensi HIV yang rendah, diimplementasikan Prong 1 dan Prong
2. Pada daerah dengan prevalensi HIV yang terkonsentrasi, diimplementasikan semua prong. Ke-
empat prong secara nasional dikoordinir dan dijalankan oleh pemerintah, serta dapat
dilaksanakan institusi kesehatan swasta dan lembaga swadaya masyarakat.
Pedoman baru dari WHO mengenai pencegahan penularan dari ibu ke
bayi (preventing mother-to-child transmission/ PMTCT) berpotensi meningkatkan ketahanan
hidup anak dan kesehatan ibu, mengurangi risiko (mother-to-child transmission/MTCT) hingga
5% atau lebih rendah serta secara jelas memberantas infeksi HIV pediatrik.Pedoman itu
memberikan perubahan yang bermakna pada beberapa tindakan di berbagai bidang. Anjuran
kunci adalah:
-     ART untuk semua ibu hamil yang HIV-positif dengan jumlah CD4+ di bawah 350 atau penyakit
WHO stadium 3 atau penyakit HIV stadium 4, tidak menunda mulai pengobatan dengan tulang
punggung AZT dan 3TC atau tenofovir dan dengan 3TC atau FTC.
-     Penyediaan antiretroviral profilaksis yang lebih lama untuk ibu hamil yang HIV-positif yang
membutuhkan ART untuk kesehatan ibu.
-     Apabila ibu menerima ART untuk kesehatan ibu, bayi harus menerima profilaksis nevirapine
selama enam minggu setelah lahir apabila ibunya menyusui, dan profilaksis dengan nevirapine
atau AZT selama enam minggu apabila ibu tidak menyusui.
-     Untuk pertama kalinya ada cukup bukti bagi WHO untuk mendukung pemberian ART kepada
ibu atau bayi selama masa menyusui, dengan anjuran bahwa menyusui dan profilaksis harus
dilanjutkan hingga bayi berusia 12 bulan apabila status bayi adalah HIV-negatif atau tidak
diketahui.
-     Apabila ibu dan bayi adalah HIV-positif, menyusui harus didorong untuk paling sedikit dua
tahun hidup, sesuai dengan anjuran bagi populasi umum.
Untuk mencegah penularan pada bayi, yang paling penting adalah mencegah penularan
pada ibunya dulu. Harus ditekankan bahwa bayi hanya dapat tertular oleh ibunya. Jadi bila
ibunya HIV-negatif, maka bayi juga tidak terinfeksi HIV. Status HIV ayah tidak mempengaruhi
status HIV bayi.
Hal ini dapat dijelaskan karena sperma dari penderita HIV tidak mengandung virus, yang
mengandung virus adalah air mani. Oleh sebab itu, telur ibu tidak dapat ditularkan sperma. Jelas,
bila perempuan tidak terinfeksi, dan melakukan hubungan seks dengan laki-laki tanpa kondom
dalam upaya membuat anak, ada risiko si perempuan tertular. Dan bila perempuan terinfeksi
pada waktu tersebut, dia sendiri dapat menularkan virus pada bayi. Tetapi laki-laki tidak dapat
langsung menularkan janin atau bayi. Hal ini menekankan pentingnya kita menghindari infeksi
HIV pada perempuan.
Tetapi untuk ibu yang sudah terinfeksi, kehamilan yang tidak diinginkan harus dicegah.
Bila kehamilan terjadi, harus ada usaha mengurangi viral load ibu di bawah 1.000 agar bayi
tidak tertular dalam kandungan, mengurangi risiko kontak cairan ibunya dengan bayi waktu lahir
agar penularan tidak terjadi waktu itu, dan hindari menyusui untuk mencegah penularan melalui
ASI. Dengan semua upaya ini, kemungkinan si bayi terinfeksi dapat dikurangi jauh di bawah
8%.Jelas yang paling baik adalah mencegah penularan pada perempuan. Hal ini membutuhkan
peningkatan pada program pencegahan, termasuk penyuluhan, pemberdayaan perempuan,
penyediaan informasi dan kondom, harm reduction, dan hindari transfusi darah yang tidak benar-
benar dibutuhkan.Untuk mencegah kehamilan yang tidak diinginkan, program tidak jauh berbeda
dengan pencegahan infeksi HIV. ODHA perempuan yang memakai obat antiretroviral harus
sadar bahwa kondom satu-satunya alat KB yang efektif. Dalam hal ini, mungkin kondom
perempuan adalah satu sarana yang penting.
A.  Kesimpulan

HIV/AIDS adalah suatu sindrom defisiensi imun yang ditandai oleh adanya infeksi
oportunistik dan atau keganasan yang tidak disebabkan oleh defisiensi imun primer atau
sekunder atau infeksi kongenital melainkan oleh human immunodeficiency virus. Kausa sindrom
imunodefisiensi ini adalah retrovirus DNA yaitu HIV-1 dan HIV2/

Upaya pencegahan penting secara umum adalah antiretroviral, kondom dan perubahan
perilaku. Memulai pemberian ARV: Pada populasi umum jika jumlah CD4 < 350, tanpa melihat
jumlah CD4 pada: bu hamil. Tes diprioritaskan pada : pengguna narkoba suntikan pasangan
seksual, IMS, TBC, ibu hamil, anak yang lahir dari ibu HIV positif. Semakin dini diagnosis
maka semakin kecil risiko infeksi oportunistik.

            Penggunaan ARV lebih awal lebih baik karena Pemberian ARV dapat


menurunkan angka kematian, Harapan Hidup Meningkat Dengan
ARV, PMTCT menurunkan infeksi baru pada anak.

Dalam pentalaksanaanyya pendekatan petugas kesehatan terhadap ibu sangat diperlukan,


untuk mengurangi kecemasan ibu dan keluarga dalam keadaannya saat ini. Dengan demikian
penulis memberikan asuhan kebidanan dengan memperhatikan gejala dan keluhan yang terjadi
sehingga di harapkan tidak menimbulkan masalah lain yang bisa merugikan kesehatan
pasien serta mengenali dengan cepat dan tepat tanda dari IMS/ jika ibu merupakan faktor resiko
tertular IMS.

B.      Saran

Hendaknya dalam asuhan kebidanan pada ibu dikumpulkan data yang lengkap dan valid agar
kita sebagai parameter dapat memberikan asuhan yang optimal baik pada intervensi maupun
implementasi terlebih dalam melakukan / mengidentifikasi / mendiagnosa / masalah sehigga kita
dapat memahami kebutuhan segera dan mendapat penanganan yang secepatnya.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Pedoman pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi terbaru dari WHO. 2006. Diunduh
dari: http://marhendraputra.co.cc/info-sehat/329-pedoman-pencegahan penularan-hiv-dari-ibu-
ke-bayi-terbaru-dari-who-.html(Diakses tanggal 29 Juli 2016).

Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. Informasi umum. Dalam:
Pratomo H. et al. (eds). Pedoman pencegahan penularan HIV dari ibu dan bayi. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI, 2012.

Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. Faktor risiko penularan
HIV dari ibu ke bayi. Dalam: Pratomo H. et al. (eds). Pedoman pencegahan penularan HIV dari
ibu dan bayi. Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2012.

Hazemba et al. 2016. Promotion of exclusive breastfeeding among HIV-positive mothers: an


exploratory qualitative study.I nternational Breastfeeding Journal (2016) 11:9 DOI
10.1186/s13006-016-0068-7

Yayasan Spiritia. Pencegahan penularan dari ibu-ke-bayi. (PMTCT). 2008. Diunduh


dari: http://spiritia.or.id/cst/showart.php?cst=mtct [Diakses tanggal 27 Juli2016).

World Health Organization. HIV/AIDS Fact Sheet. 2014

Anda mungkin juga menyukai