Anda di halaman 1dari 34

PROPOSAL SKRIPSI

HUBUNGAN TINGKAT KEPUASAN DAN SIKAP IBU HAMIL

TERHADAP KEIKUTSERTAAN KONSELING VCT HIV/AIDS

DI UPT PUSKESMAS RAWAT INAP AJIBATA

Oleh :

FATMAL EKALIA GINTING

NPM : 1919002099

PROGRAM STUDI KEBIDANAN PROGRAM SARJANA TERAPAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKeS)

MITRA HUSADA

2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit human immunodeficiency virus yang menyerang system imun.

Infeksi tersebut menyebabkan penurunan pertahanan system imun yang

kemudian membuat tubuh menjadi lebih mudah diserang oleh berbagai

penyakit lain. Kumpulan dari beberapa penyakit yang disebabkan oleh

penurunan system imun tubuh karena infeksi HIV dikenal dengan sebutan

acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) (Depkes RI,2013).

Berdasarkan laporan United Nations Programme on HIV and AIDS

(UNAIDS) setiap tahunnya, jumlah kasus HIV didunia menunjukkan

peningkatan. Hal itu dapat diamati dari data lima tahun terakhir, yaitu pada

tahun 2012(34,5 juta),tahun 2013 (35,2 juta),tahun 2014 (35,9 juta),tahun

2015 (36,7 juta),dan tahun 2016 (36,7 juta). Bila diurutkan berdasarkan

prevelansi penduduk yang mengidap HIV ditahun 2016, maka didapatkan

Afrika (4,2%) pada tingkat pertama, diikuti oleh Amerika (0,5%), Eropa

(0,4%) dan Asia Selatan Timur (0,3%), namun bila diurutkan berdasarkan

jumlah penderita maka urutan tersebut menjadi Afrika (25,6 juta), Asia

Selatan Timur (3,5 juta), Amerika (3,3 juta), Eropa (2,4 juta).
Indonesia merupakan salah satu Negara di Asia yang memiliki

kerentanan HIV akibat dampak perubahan ekonomi dan kehidupan sosial dan

setiap tahunnya terjadi peningkatan jumlah kasus HIV.

Perkembangan kasus HIV di Indonesia yaitu pada tahun 2015

(21,511), tahun 2016 (41,250), tahun 2017 (280.263 kasus), tahun 2018

(310.310 kasus), tahun 2019 (349.882 kasus).

Kemenkes mencatat jumlah kasus dari tahun 2015 hingga 2019 di

Sumatera Utara sebanyak 1.883 kasus HIV dan 1.344 kasus AIDS, dari jumlah

tersebut terdapat 396 kasus baru HIV dan 152 kasus baru AIDS. Berdasarkan

Triwulan IV HIV/AIDS Kemenkes, dari 19 kabupaten/kota di Sumatera Utara,

Tanjung Morawa merupakan daerah dengan kasus tertingg HIV/AIDS yaitu

304 kasus HIV baru ditahun 2016 dan 575 kasus kumulatif AIDS hingga

2016.

Penyakit infeksi HIV merupakan penyakit menular yang menjadi masalah

kesehatan yang dapat meningkatkan kematian ibu dan anak. Kasus pertama

HIV di Indonesia di temukan tahun 1987 dan sampai saat ini kasus HIV/

AIDS dilaporkan mencapai 341dari 497 kabupaten/kota di Indonesia kata lain

estimasi peningkatan angka kejadian infeksi HIV lebih dari 25%. Data World

Healt Organization (WHO) tahun 2013 terdapat 33,4 juta orang dengan

HIV/AIDS diseluruh dunia dengan 15,7 juta (47%) adalah perempuan.

Terdapat lebih 6,5 juta perempuan di Indonesia menjadi populasi rawan

tertular dan menularkan dan lebih dari 24.000 perempuan usia subur telah

terinfeksi HIV, lebih dari 9.000 perempuan yang hamil dengan HIV positif
dalam setiap tahunnya dan lebih dari 30% (3000 ibu hamil) diantaranya akan

melahirkan bayi yang tertualar bila tidak ada pencegahan penularan dari ibu

HIV positif kepada bayi. Jumlah kasus Aquired Immuno Deficiency Syndrom

(AIDS) dengan factor resikopenularan HIV dari ibu ke bayi sebanyak 831

kasus. Angka ini menunjukkan peningkatan dua kali lebih tinggi dibandingkan

tiga tahun sebelumnya yang hanya 351 kasus. Namun, resiko ini dapat

diturunkan menjadi 1-2%dengan tindakan intervensi bagi ibu hamil positif

HIV, yang melalui layanan VCT (Voluntary Conseling and Testing),

pemberian obat antiretroviral, persalinan Sectio Cesaria, serta pemberian susu

formula untuk bayi (Depkes RI, 2008)

Di Indonesia pada tahun 2014 jumlah ibu hamil yang ditest HIV

sebanyak 10.785 orang terdapat 2.364 orang ibu hamil dengan usia kehamilan

muda yang positif mengidap virus HIV dan 2.198 orang ibu hamil dengan usia

kehamilan tua yang positif mengidap virus HIV (Kemenkes,2014).

Salah satu target millennium Development Goals (MDGs) Kesehatan

ibu dan anak adalah menurunkan angka kematian dan meningkatkan

kesehatan ibu, dan mencegah penyebayran HIV/AIDS tahun 2015. Sementara

sesuai hasil pertemuan United Nation 2007, dicapai komitmen untuk

menurunkan bayi yang terinfeksi HIV dan AIDS (20% pada tahun 2005 dan

50 % General Assembly special session on HIV dan AIDS tahun sampai

dengan 2010), serta menjaminkan 80% ibu hamil yang berkunjung ke

pelayanan Ante Natal Care (ANC) untuk mendapatkan konseling dan

pelayanan pencegahan HIV dan AIDS.


Faktor resiko penularan HIV dan AIDS dapat menular melalui

hubungan sex yang tidak aman, penggunaan jarum suntik yang tidak steril

secara bergantian,transfusi darah dengan orang yang terkena HIV dan AIDS,

dan penularan ibu ke bayi yang dikandungnya. Faktor resiko penularan HIV

dan AIDS melalui hubungan sex yang tidak aman antara lain terjadi pada

kelompok homo sexual, Heteroseksual dan kelompok biseksual, transfusi

darah, transmisi perinatal dan tidak diketahui penyebabnya yang tidak

diketahui penyebabnya yang berganti-ganti pasangan seksualnya dan tidak

menggunakan kondom(Purwanti,2014).

Resiko penularan HIV sebenarnya tidak hanya terbatas pada sub

populasi yang berprilaku resiko tinggi, tetapi juga pada pasangan atau

istrinya,bahkan anaknya.Tanpa upaya khusus diperkirakan pada akhir 2016

akan terjadi penularan HIV secara kumulatif pada lebih dari 26.977 anak yang

dilahirakan dari ibu yang terinfeksi. Para ibu ini sebagian besar tertular dari

suaminya (Kemenkes RI,2013).

Program Voluntary Conseling and Testing (VCT) atau konseling dan

pemeriksaan HIV secara sukarela merupakan proses konseling yang

berlangsung sebelum, selama dan sesudah seseorang menjalani pemeriksaan

darah untuk mengetahui apakah dia telah terinfeksi HIV. VCT bertujuan agar

seseorang mengetahui kondisi kesehatan sejak dini, serta dapat mengantisipasi

kemungkinan terburuk terhadap dirinya apabila hasil pemeriksaan positif.

Selain itu, VCT juga dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan informasi


mengenai HIV atau membantu seseorang mencari pelayanan dan bantuan yang

sesuai. (Malaju MT dan Alene GD, 2012).

Strategi VCT merupakan inti dari semua upaya pencegahan dan

penanggulangan HIV/AIDS didunia. Beberapa penelitian menegaskan bahwa

pemanfaatan VCT antenatal oleh ibu hamil masih rendah. Penelitian lain juga

menyatakan bahwa hambatan yang dirasakan untuk VCT seperti stigma sosial,

kurangnya dukungan pasangan laki-laki dan takut mengetahui status HIV

positif serta kurangnya peran petugas kesehatan.

Prilaku menolak VCT yang dilakukan oleh ibu hamil dipengaruhi oleh

beberapa faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal dimana faktor

internal itu merupakan faktor yang berhubungan langsung dengan pelaku yaitu

Usia, jenis kelamin, Pendidikan, Pekerjaan. Sedangakn faktor eksternal adalah

faktor dari luar (lingkungan) yang mempengaruhi misalnya jarak tempat

pelayanan ataupun peran keluaraga.

Penelitian yang dilakukan oleh Karunia (2015) menyatakan bahwa

tingkat pengetahuan ibu tentang HIV/AIDS berhubungan dengan minat ibu

hamil melakukan Voluntary Conseling and Testing (VCT). dan penelitian

yang dilakukan oleh Indah(2015) menyatakan bahwa peran bidan

berhubungan dengan minat ibu hamil melakukan Voluntary Conselling and

Testing (VCT).
1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas permasalahan yang dibahas dalam penelitian

ini adalah “Hubungan Tingkat Kepuasan dan Sikap Ibu Hamil terhadap

Keikutsertaan Konseling VCT HIV/AIDS di UPT. Puskesmas Rawat Inap

Ajibata.

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui

Hubungan Tingkat Kepuasan dan sikap ibu hamil terhadap

keikutsertaan Konseling HIV/AIDS di UPT. Puskesmas Rawat

Inap Ajibata.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui tingkat kepuasan responden terhadap

keikutsertaan dalam test HIV di wilayah kerja UPT Puskesmas

Rawat Inap Ajibata Tahun 2020

2. Untuk mengetahui sikap responden terhadap keikutsertaan test

HIV di wilayah kerja UPT Puskesmas Rawat Inap Ajibata Tahun

2020

3. Untuk mengetahui Hubungan Tingkat Kepuasan responden dan

sikap responden terhadap keikutsertaan dalam test HIV/AIDS di

wilayah kerja UPT Puskesmas Rawat Inap Ajibata Tahun 2020.


1.4. Manfaat Penelitian

1. Bagi dinas Kesehatan Provinsi dan dinas kesehatan Kabupaten

Toba, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan :

a. Evaluasi terhadap pelaksanaan konseling dan test HIV.

b. Pertimbangan dalam melakukan peningkatan petugas

konseling dan test HIV.

2. Bagi UPT. Puskesmas Rawat Inap Ajibata

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai

masukan untuk meningkatkan manfaat pelaksanaan program

konseling dan test HIV.

3. Bagi peneliti selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi dalam

penelitian selanjutnya tentang konseling dan test HIV.

4. Bagi Instansi

Sebagai referensi bagi perpustakaan atau bahan tambahan

informasi tentang konseling dan test HIV.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tingkat Kepuasan

2.1.1 Pengertian Tingkat Kepuasan

Kepuasan konsumen adalah tingkat perasaan konsumen setelah

membandingkan antara apa yang dia terima dan harapannya. Seorang

pelanggan, jika merasa puas dengan nilai yang diberikan oleh produk

atau jasa, sangat besar kemungkinan nya menjadi pelanggan dalam

waktu yang lama. Menurut Philip Kotler dan Kevin Lane Keller

mengatakan bahwa kepuasan konsumen adalah perasaan senang atau

kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan kinerja

(hasil) produk yang dipikirkan terhadap kinerja yang diharapkan.

Gambaran dari tingkat kepuasan pasien sendiri sangatlah

mempengaruhi hasil kinerja yang didapatkan setelah produk yang

dibuat mampu memberikan hasil yang maksimal. Menurut Tjiptono

adanya kepuasan pelanggan akan dapat menciptakan hubungan

harmonis antara produsen dengan konsumen. Menciptakan dasar yang

baik bagi pembelian ulang serta terciptanya loyalitas pelanggan dan

membentuk rekomendasi dari mulut ke mulut yang akan dapat

menguntungkan sebuah perusahaan.

Memuaskan kebutuhan pasien adalah keinginan setiap pelayan

kesehatan (Dokter, Perawat, Bidan dan tenaga kesehatan lainnya).


Selain faktor penting bagi mutu pelayanan, memuaskan kebutuhan

pasien dapat meningkatkan keunggulan fasilitas kesehatan. Pasien

yang puas terhadap jasa pelayanan cenderung akan merasa senang dan

menggunakan kembali jasa pelayanan kesehatan jika suatu saat

diperlukan.

Sedangkan Pohan menyebutkan bahwa kepuasan pasien adalah

tingkat perasaan pasien yang timbul sebagai akibat dari kinerja

layanan kesehatan yang diperolehnya, setelah pasien membandingkan

dengan apa yang diharapkan nya. Pendapat lain dari Endang bahwa

kepuasan pasien merupakan evaluasi atau penelitian setelah memakai

suatu pelayanan, bahwa pelayanan yang dipilih setidak-tidaknya

memenuhi atau melebih harapan.

Berdasarkan uraian dari beberapa ahli diatas, maka dapat

disimpulkan bahwa kepuasan pasien adalah hasil penilaian dalam

bentuk respon emosional (perasaan puas dan senang) pada pasien

karena terpenuhinya harapan atau keinginan dalam menggunakan dan

menerima pelayanan dari tenaga kesehatan.

2.1.2 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Pasien

Menurut Budiastuti dalam Nooria, faktor yang mempengaruhi

kepuasan pasien adalah :

a. Kualitas produk atau jasa, pasien akan merasa puas bila hasil

evaluasi mereka menunjukkan bahwa produk atau jasa yang


digunakan berkualitas. Persepsi pasien terhadap kualitas

produk atau jasa dipengaruhi oleh dua hal yaitu kenyataan

kualitas produk atau jasa dan komunikasi perusahaan, dalam

hal ini Puskesmas dalam mengiklankan tempatnya.

b. Kualitas pelayanan, pasien akan merasa puas jika mereka

memperoleh pelayanan yang baik atau sesuai dengan yang

diharapkan.

c. Faktor emosional, pasien merasa bangga, puas dan kagum

terhadap rumah sakit atau fasilitas kesehatan yang dianggap

“MAHAL”

d. Harga, semakin mahal harga perawatan maka pasien

mempunyai harapan yang lebih besar. Sedangkan rumah sakit

yang berkualitas sama tetapi berharga murah, memberi nilai

yang lebih tinggi pada pasien.

e. Biaya, pasien yang tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan

atau tidak perlu membuang waktu untuk mendapatkan jasa

pelayanan, maka pasien cenderung puas terhadap jasa

pelayanan tersebut.

Selain itu, Menurut Moison, Walter dan White dalam Nooria

menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pasien,

yaitu:
a. Karakteristik produk, karakteristik produk rumah sakit

meliputi penampilan bangunan rumah sakit, kebersihan dan

tipe kelas kamar yang disediahkan beserta kelengkapannya.

b. Harga, semakin mahal harga perawatan maka pasien

mempunyai harapan yang lebih besar.

c. Pelayanan, meliputi pelayanan keramahan petugas rumah

sakit, kecepatan dalam pelayanan. Rumah sakit dianggap

baik apabila dalam memberikan pelayanan lebih

memperhatikan kebutuhan pasien maupun orang lain yang

berkunjung kerumah sakit.

d. Lokasi, meliputi letak fasilitas kesehatan (RS, Puskesmas,

Klinik), letak kamar dan lingkungannya. Merupakan salah

satu aspek yang menentukan pertimbangan dalam memilih

fasilitas kesehatan. Umumnya, semakin dekat fasilitas

kesehatan dengan pusat perkotaan atau yang mudah

dijangkau, mudahnya transportasi dan lingkungan yang

baik akan semakin menjadi pilihan bagi pasien yang

membutuhkan fasilitas kesehatan tersebut.

e. Fasilitas, Kelengkapan fasilitas kesehatan (RS,

Puskesmas)turut menentukan penilaian kepuasan pasien,

misalnya fasilitas kesehatan baik sarana dan prasarana,

tempat parker, ruang tunggu yang nyaman dan ruang kamar

inap.
f. Image, yaitu citra, reputasi dan kepedulian tenaga

kesehatan terhadap lingkungan

g. Desain visual, tata ruang dan dekorasi fasilitas kesehatan

ikut menentukan kenyamanan suatu fasilitas kesehatan,

oleh karena itu desain dan visual harus diikutsertakan

dalam penyusunan strategiterhadap kepuasan pasien atau

konsumen.

h. Suasana, suasana fasilitas kesehatan yang tenang, nyaman,

sejuk dan indah akan sangat mempengaruhi kepuasan

pasien. Selain itu tidak hanya bagi pasien saja yang

menikmati itu, akan tetapi orang lain yang berkunjung ke

fasilitas kesehatan akan sangat senang dan memberikan

pendapat yang positif sehingga akan terkesan bagi

pengunjung.

i. Komunikasi, Bagaimana keluhan-keluhan dari pasien

dengan cepat diterima oleh tenaga kesehatan.

Kemudian Yasid dalam Nursalam mengatakan faktor yang

mempengaruhi kepuasan pasien adalah:

a. Kesesuaian antara harapan dan kenyataan

b. Layanan selama proses menikmati jasa

c. perilaku personel

d. Suasana dan kondisi fisik lingkungan

e. promosi atau iklan yang sesuai dengan kenyataan.


Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor yang

dapat mempengaruhi kepuasan pasien adalah kualitas pelayanan,

biaya perawatan, lokasi, fasilitas, image, desai visual, suasana dan

komunikasi.

2.1.3 Aspek - Aspek Kepuasan Pasien

Penilaian pasien terhadap pelayanan tenaga kesehatan

bersumber dari pengalaman pasien. Aspek pengalaman pasien dapat

diartikan sebagai suatu perlakuan atau tindakan dari perawat yang

sedang atau pernah dijalani, dirasakan dan ditanggung oleh seseorang

yang menggunakan pelayanan tenaga kesehatan.

Menurut Zeitham dan Berry dalam Tjipto, aspek-aspek

kepuasan pasien meliputi:

a. Keistimewaan, yaitu dimana pasien merasa diperlakukan

secara istimewa oleh tenaga kesehatan selama proses

pelayanan.

b. Kesesuaian, yaitu sejauh mana pelayanan yang diberikan

perawat sesuai dengan keinginan pasien, selain itu ada

ketepatan waktu dan harga

c. Keajengan dalam memberikan pelayanan, artinya pelayanan

yang diberikan selalu sama pada setiap kesempatan. Dengan

kata lain, pelayanan yang diberikan selalu konsisten.


d. Estetika, estetika dalam pelayanan berhubungan dengan

kesesuaian tata letak barang maupun keindahan ruangan.

Selain itu menurut Krowinski dalam Suryawati, terdapat dua

aspek kepuasan pasien yaitu:

a. Kepuasan yang mengacu hanya pada penerapan standard

dank ode etik profesi. Meliputi: hubungan tenaga kesehatan

dengan pasien, kenyamanan pelayanan, kebebasan

menentukan pilihan, pengetahuan dan kompetensi teknis,

efektifitas pelayanan dan keamanan tindakan

b. Kepuasan yang mengacu pada penerapan semua persyaratan

pelayanan kesehatan. Meliputi: ketersediaan, kewajaran,

kesinambungan, penerimaan, keterjangkauan, efisiensi, dan

mutu pelayanan kesehatan.

2.2. Sikap

2.3.1 Pengertian Sikap

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu sikap (over

behaviour). Untuk mewujudkan sikap menjadi satu perubahan

nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang

memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Sikap ibu yang

positif terhadap imunisasi harus mendapat konfirmasi dari

suaminya dan ada fasilitas imunisasi yang mudah dicapai, agar

ibu tersebut mengimunisasikan anaknya. Disamping faktor

fasilitas, juga diperlukan faktor dukungan (support) dari pihak


lain, misalnya dari suami atau istri, orang tua atau mertua dan

lain-lain. Praktik ini memiliki beberapa tingkatan.

1. Persepsi (Perseption)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan

sikap yang akan diambil adalah merupakan praktek tingkat

pertama. Misalnya, seorang dapat memilih makanan yang

bergizi tinggi bagi anak balitanya.

2. Responden terpimpin (guided response)

Dapat melakukan sesuatu dengan sesuai dengan urutan yang

benar dan sesuai dengan contoh adalahmerupakan indicator

praktik tingkat dua. Misalnya, seorang ibu dapat memasak

sayur dengan benar, mulai dari cara mencuci, memotong-

motongnya, lamanya memasak, menutup panci dan

sebagainya.

3. Mekanisme

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu yang benar

secara otomatis atau sesuatu itu merupakan kebiasaan, maka

ia sudah mencapai praktik tingkat tiga. Misalnya, seorang

ibu telah mengimunisasikan bayinya pada umur-umur

tertentu, tanpa menunggu perintah atau ajakan orang lain.

4. Adaptasi (Adaption)

Adaptasi adalah suatu praktik atau sikap yang sudah

berkembang dengan baik. Artinya sikap itu sudah


dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran sikap tersebut.

Misalnya, ibu dapat memilih dan memasak makanan yang

bergizi tinggi berdasarkan bahan-bahan yang murah dan

sederhana (Notoadmodjo, 2012).

2.3. HIV/AIDS

2.4.1 HIV (Human Imunnodeficiency Virus)

HIV dalam bahasa Inggris merupakan singkatan dari

Human Imunnodeficiency Virus dalam bahasa Indonesia berarti

virus penyebab menurunnya kekebalan tubuh manusia. HIV

adalah virus yang menyerang system kekebalan tubuh manusia

dan kemudian menimbulkan AIDS. Virus HIV menyerang salah

satu jenis sel darah putih yang berfungsi untuk kekebalan tubuh

(Maryunani, 2009).

Kecepatan reproduksi HIV diperkirakan berkaitan dengan

status kesehatan orang yang terjangkitinfeksi tersebut. Jika

orang tersebut tidak sedang berperan melawan infeksi yang lain,

reproduksi HIV berjalan dengan lambat, namun reproduksi HIV

tampaknya akan dipercepat kalau penderitanya sedang

menghadapi infeksi lain atau kalau system imunnya terstimulasi

keadaan ini dapat menjelaskan periodelaten yang diperlihatkan

sebagian penderita sudah terinfeksi HIV. Sebagai contoh,

seorang pasien mungkin bebas dari gejala selama 10 tahun,


kendati demikian sebagian besar orang yang terinfeksi HIV

(sampai 65%) tetap menderita penyakit HIV atau AIDS yang

simtomatik dalam waktu 10 tahun sesudah orang tersebut

terinfeksi (Smaltzer & Bare, 2001).

HIV menyerang system imun dengan menyerbu dan

menghancurkan jenis sel darah putih tertentu yang sering

disebut dengan berbagai nama seperti sel T pembantu (helper T

Cell), sel T4 atau sel CD4. Sel CD4 mengenali phatogen yang

menyerang dan memberi isyarat pada sel darah putih lainnya

untuk segera membentuk antibody yang dapat mengikat

phatogen tersebut. Setelah diikat, phatogen itu dilumpuhkan dan

diberi ciri untuk selanjutnya dihancurkan. Lalu sel CD4

kemudian memanggil lagi jenis darah putih lainnya, Sel T

pembunuh (killer T cell), untuk memusnahkan sel yang terjadi

tadi. HIV mampu menyerang dan mampu mengalahkan sel CD4

yang justru amat diandalkan untuk menghadapi HIV tersebut

beserta kuman-kuman lainnya. Itulah yang menyebabkan HIV

membuat tubuh menjadi sangat rentan terhadap infeksi kuman-

kuman lainnya dan jenis-jenis kanker yang umumnya dapat

dikendalikan. Tanpa adanya system imun yang efektif, penyakit-

penyakit yang lazimnya disebut infeksi opportunistic, akan

menyerang tubuh dan mengakibatkan kematian.


2.4.2 AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome)

AIDS adalah singkatan dari Acquired (didapat) Immune

(kekebalan) Deficiency (Penurunan) Syndrome (kumpulan dan

gejala), yaitu menurunnya daya tahan tubuh terhadap berbagai

penyakitkarena adanya infeksi HIV. Seorang yang terinfeksi

HIV, dapat dengan mudah terserang berbagai penyakit yang

dalam keadaan normal sebenarnya tidak terlalu berbahaya akan

tetapi bagi mereka yang telah terinfeksi HIV, penyakit-penyakit

tersebut dapat bertambah parah. Hal ini disebabkan karena

menurunnya daya imunitas (kekebalan) tubuh, dan dapat

berakhir dengan kematian..

Akibat kehilangan kekebalan tubuh, penderita AIDS mudah

terkena berbagai jenis infeksi bakteri, jamur, parasite, dan virus

tertentu yang bersifat opurtunistik. Selain itu penderita AIDS

sering sekali menderita keganasan, khususnya sakorma Kaposi

dan limpoma yang hanya menyerang otak (Djuanda,2007).

2.4.3 Pembagian Tingkat Klinis Penyakit HIV

Global Programe on AIDS dari Badan Kesehatan Dunia (WHO)

mengusulkan “ Pembagian Tingkat Klinis Penyakit Infeksi

HIV” sesudah mengadakan pertemuan di Geneva bulan Juni

1989dan bulan Februari 1990. Usulan tersebut berdasarkan

penelitian terhadap 907 penderita seropositive HIV dari 26 pusat


perawatan yang berasal dari 5 benua. Pembagian tingkat klinis

infeksi HIV tersebut adalah sebagai berikut:

a. Tingkat Klinik 1 (Asimtomatik/LPG)

1. Tanpa gejala sama sekali

2. Limfadenopati Generalisata Persisten (LPG) : yakni

pembesaran kelenjar getah bening di beberapa tempat

yang menetap. Pada tingkat ini pasien belum

mempunya keluhan dan dapat melakukan aktifitasnya

secara normal.

b. Tingkat Klinik 2 (Dini)

1. Penurunan berat badan kurang dari 10%

2. kelainan mulut dan kulit yang ringan, misalnya,

dermatitis seboroika, prurigo, infeksi jamur pada

kuku, ulkus pada mulut berulang dan cheilitis

angualaris.

3. Herpes joster yang timbul pada 5 tahun terakhir

4. Infeksi saluran nafas bagian atas berulang, misalnya

sinusitis.

pada tingkat ini pasien sudah menunjukkan gejala

tetapi aktifitas tetap normal.

c. Tingkat Klinik 3 (menengah)


1. Penurunan berat badan >10 %

2. Diare kronik >1 bulan, penyebab tidak diketahui

3. Panas yang tidak diketahui sebabnya selama lebih dari

1 bulan, hilang timbul maupun terus menerus.

4. Kandidiasis mulut

5. Bercak putih serabut di mulut (hairyleukoplakia)

6. Tuberculosis paru setahun terakhir

7. Infeksi bacterial yang berat misalnya pneumonia.

Pada tingkat klinik 3 ini, penderita biasanya berbaring

ditempat tidur lebih dari 12 jam sehari, selama

sebulan terakhir.

d. Tingkat 4 (lanjut)

1. Badan menjadi kurus (HIV westing syndrome), yaitu

berat badan turun lebih dari 10% dan (a) diare kronik

tanpadiketahui sebabnya selama lebih dari 1 bulan, atau

(b) kelemahan kronik dan panas tanpa diketahui

sebabnya, selama lebih dari satu bulan.

2. Pneumonia pneumosistis karini

3. Toksoplasmosis otak

4. Kriptosporidiosis dengan diare >1 bulan

5. Kriptokokosis di luar paru

6. penyakit virus sitomelago pada organ tubuh, kecuali di

limpa, hati atau kelenjar getah bening.


7. Infeksi virus herpes simplek di mokokutan lebih dari satu

bulan, atau di alat dalam (visceral) lamanya tidak dibatasi

8. Leukoensefalopati multifocal progresip

9. Mikosis (infeksi jamur) misalnya histoplamosis,

kokkidiodomikosis yang endemic, menyerang banyak

organ tubuh (disseminate)

10. Kandidiasis esophagus, trakea, bronkus atau paru

11. Mikrobakeriosis atipik (mirip bakteri TBC), disseminate

12. Tuberculosis di luar paru

13. Limpoma

14. Sarcoma Kaposi

15. Ensefalopati HIV, sesuai kriteria CDC, yaitu gangguan

kognitif atau disfungsi motoric yang mengganggu

aktifitas sehari-hari, progresif sesudah beberapa minggu

atau beberapa bulan, tanpa dapat ditentukan penyebabnya

selain HIV (Rustamaji).

2.4.4 Penularan HIV/AIDS

Virus HIV menular melalui enam cara penularan, yaitu :

a. Hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS

Hubungan seksual secara vaginal, anal, dan oral dengan

penderita HIV tanpa perlindungan bisa menularkan HIV.

Selama hubungan seksual berlangsung, air mani, cairan


vagina, dan darah dapat mengenai selaput lender vagina,

penis, dubur atau mulut sehingga HIV yang terdapat dalam

cairan tersebut masuk ke aliran darah. Selama berhubungan

juga bisa terjadi lesi mikro pada dinding vagina, dubur, dan

mulut yang bisa menjadi jalan HIV untuk masuk ke aliran

darah pasangan seksual (Syaiful, 2000).

b. Ibu dan bayinya

Penularan HIV dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan

(inuteri). Berdasarkan laporan CDC Amerika, prevalensi

penularan HIV dari ibu ke bayi adalah 0,01% sampai 0,7%.

Bila ibu baru terinfeksi HIV dan belum ada gejala AIDS,

kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20% sampai 35%,

sedangkan kalau gejala AIDS sudah jelas pada ibu

kemungkinannya mencapai 50%.

Penularan juga terjadi selama proses persalinan melalui

tranfusi fotomaternal atau kontak antara kulit dan

membrane mukosa bayi dengan darah atau sekresi maternal

saat melahirkan, semakin lama proses melahirkan, semakin

besar resiko penularan. Oleh karena itu, lama persalinan

dapat dipersingkat dengan operasi section caesaria.

Transmisi lain terjadi selama periode post partum melalui

ASI. Resiko bayi tertular melalui ASI dari ibu yang positif

sekitar 10% .
c. Darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS

Sangat cepat menularnya HIV karena virus langsung ke

pembuluh darah dan menyebar ke seluruh tubuh.

d. Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril

Alat pemeriksaan kandungan seperti speculum, dan alat –

alat lainnya yang menyentuh darah, cairan vagina atau air

mani yang terinfeksi HIV, dan langsung digunakan untuk

orang lain yang tidak terinfeksi bisa menularkan HIV.

e. Alat-alat untuk menorah kulit

Alat tajam dan runcing seperti jarum, pisau, silet,

menyunat seseorang, membuat tato, dan sebagainya bisa

menularkan HIV sebab alat tersebut mungkin dipakai tanpa

di sterilkan terlebih dahulu.

f. Menggunakan jarum suntik secara bergantian.

Jarum suntik yang digunakan di fasilitas kesehatan,

maupun yang digunakan oleh para pengguna narkoba

(injecting drug user-IDU) sangat berpotensi menularkan

HIV. Selain jarum suntik, pada para pemakai IDU secara

bersama-sama juga menggunakan tempat penyampuran,

pengaduk, dan gelas pengoplos obat, sehingga berpotensi

tinggi untuk menularkan HIV (Nursalam, 2009).

2.4. Program Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi


Menurut Depkes RI (2013), pencegahan penularan HIV dari ibu ke

anak dilaksanakan melalui kegiatan komprehensif yang meliputi

empat pilar (4 prong), yaitu:

1. Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduksi (15-

49 tahun)

2. pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan

HIV positif

3. Pencegahan penularan HIVdari ibu hamil ke bayi yang dikandung

4. dukungan psikologis, social, dan perawatan kesehatan selanjutnya

kepada ibu yang terinfeksi HIV dan bayi serta keluarganya.

2.5. Konseling dan Testing HIV/AIDS Secara Sukarela

WHO mendefenisikan konseling dan testing HIV secara sukarela/

Voluntary HIV Conselingand Testing (VCT) adalah sebagai suatu

dialog rahasia antara klien dengan Provider yang bertujuan

meningkatkan kemampuan menghadapi stress dan mengambil

keputusan berkaitan dengan HIV/AIDS. Proses konseling termasuk

evaluasi resiko personal penularan HIV, fasilitasi pencegahan,

perilaku dan evaluasi diri ketika klien menghadapi hasil tes.

Konseling dan testing HIV secara sukarela adalah suatu proses dengan

3 tujuan umum yaitu :

1. Menyediahkan dukungan psikologis, misalnya dukungan berkaitan

dengan kesejahteraan emosi, psikologik, sosial dan spiritual

seseorang yang mengidap virus HIV atau virus lainnya.


2. Pencegahan penularan HIV dengan menyediahkan informasi

tentang perilaku beresiko dan membantu orang dalam

mengembangkan keterampilan pribadi yang diperlukan untuk

perubahan perilaku dan negosiasi praktek yang lebih aman.

3. Memastikan efektifitas rujukan kesehatan, terapi, dan perawatan

melalui pemecahan masalah kepatuhan berobat.

Sasaran dari konseling HIV adalah pencegahan penularan dan

memberikan dukungan secara emosional bagi mereka yang

mempertimbangkan untuk melakukan tes atau tidak. VCT memiliki

peran penting dalam pencegahan penularan HIV, dan untuk orang-

orang dengan infeksi HIV sebagai pintu masuk untuk mendapatkan

perawatan. VCT merupakan sebuah peluang bagi masyarakat untuk

belajar dan menerima serostatus HIV mereka pada suatu lingkungan

rahasia, penyediaan dukungan emosional dan perawatan medic

berkelanjutan.

Pelaksanaan konseling dan tes HIV dilakukan melalui tahapan

sebagai berikut :

1. Konseling pra testing, yang bertujuan untuk memberi informasi,

menilai resiko dan merespon kebutuhan emosi klien

2. Inform Consent, semua klien sebelum menjalani testing HIV harus

memberikan persetujuan tertulis. Aspek penting dalam inform

consent adalah bukti bahwa klien telah diberi penjelasan cukup

tentang resiko dan dampak dari keputusan klien untuk tes,. Klien
telah mengerti dan merasa membutuhkan dan bukan karena

paksaan.

3. Tes HIV dalam VCT dilakukan dengan prinsip sukarela dan

terjaga kerahasiannya. Tujuan tes ini adalah untuk menegakkan

diagnosis. Tes yang digunakan adalah tes serologis untuk

mendeteksi antibody dalam serum atau plasma. Sampai saat ini

specimen yang digunakan untuk tes adalah darah klien yang

diambil secara intravena. Pemeriksaan dilakukan dengan metode

tes cepat rapid tes)¸ yang memungkinkan klien mendapat hasil

pada hari yang sama.

Konseling pasca tes bertujuan membantu mempersiapkan klien

memahami, menerima dan menyediahkan informasi sehingga klien

dapat menyesuaikan diri dengan hasil tes. Konseling dilaksanakan

oleh seorang petugas yang disebut dengan konselor. Konselor dapat

berasal dari berbagai latar belakang seperti petugas kesehatan,

sukarelawan, orang yang mengidap HIV, tokoh masyarakat, tokoh

agama dan telah dilatih.

Pada buku pedoman pelayanan konseling dan testing

HIV/AIDS secara sukarela (Depkes RI, 2005) disebutkan bahwa

dalam melaksanakan VCT harus memperhatikan prinsip-prinsip

sebagai berikut.

a. Sukarela dalam melakukan testing HIV

b. saling mempercayai dan terjaminnya confidentiality


c. mempertahankan hubungan relasi konselor dank lien yang

efektif

d. Testing merupakan salah satu komponen dari VCT

Model pelayanan VCT dapat dilakukan melalui 5 pendekatan yang

berbeda-beda, yaitu:

1. Layanan mandiri

2. Layanan terintegrasi dalam layanan kesehatan

3. Sektor swasta

4. Tes rumah

5. Penjangkauan ke masyarakat

2.6. Kerangka Teori

KEPUASAN
RESPONDEN

KEIKUTSERTAAN
KONSELING
HIV/AIDS

SIKAP RESPONDEN
2.7. Hipotesis

Ho : Tidak ada hubungan antara tingkat kepuasan dan sikap dengan

keikutsertaan responden di wilayah kerja UPT Puskesmas

RawaT Inap Ajibata Tahun 2020.

Ha : Ada Hubungan antara tingkat kepuasan dan sikap dengan

keikutsertaan responden di wilayah kerja UPT Puskesmas

Rawat Inap Ajibata Tahun 2020


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Desain Penelitian

Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah observasional analitik

dengan desain studi potong lintang ( cross sectional study ), yaitu dengan

melakukan pengukuran atau pengamatan melalui pengumpulan data secara

bersamaan dalam rangka meneliti hubungan antara paparan dan efek. Dalam

penelitian ini hubungan variabel yang akan diuji adalah pelaksanaan standar

pelayanan Antenatal dengan keikutsertaan ibu hamil untuk konseling dan tes

HIV.

3.2 Kerangka Konsep

Berdasarkan kerangka teori diatas maka dirumuskan kerangka konsep

penelitian sebagai berikut:

Variabel Independen Variabel Dependen

KEPUASAN
RESPONDEN
KEIKUTSERTAAN
KONSELING
HIV/AIDS

SIKAP RESPONDEN
Gambar 3.2 Kerangka Konsep
3.3 Defenisi Operasional Variabel
No Variabel Defenisi Alat ukur Hasil Ukur Skala

1 Tingkat Perasaan senang atau Kuesioner 1. Tidak Puas Ordinal


kecewa seseorang
Kepuasan 2. Kurang Puas
yang muncul setelah
3. Puas
membandingkan
kinerja (hasil) 4. Sangat Puas
produk yang
dipikirkan terhadap
kinerja yang
diharapkan.
2 Sikap Pandangan atau Kuesioner 1. Tidak Setuju Ordinal
perasaan yang
2. Kurang
disertai
Setuju
kecenderungan
untuk bertindak 3. Setuju
sesuai dengan objek
4. Sangat

Setuju

3 Keikutsertaan Kepesertaan ibu Kuesioner 1. Tidak Setuju Ordinal


hamil dalam
konseling 2. Kurang
mengikuti
HIV/AIDS Setuju
penyuluhan
konseling HIV/AIDS 3. Setuju

4. Sangat

Setuju
3.4 Populasi dan Sampel

3.4.1. POPULASI

Populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh ibu hamil yang berada

di wilayah kerja UPT Puskesmas Rawat Inap Ajibata yaitu

berjumlah 70 orang ibu hamil.

3.4.2. SAMPLE

Sample dalam penelitian ini adalah 30 orang ibu hamil.

3.4.3. TEKNIK PENGAMBILAN SAMPLE

Teknik pengambilan sample dalam penelitian ini menggunakan

teknik Simple Random Sampling yaitu pengambilan sample

secara acak.

3.5 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah di UPT Puskesmas Rawat inap

Ajibata. Seperti telah diuraikan dalam latar belakang bahwa program

VCT telah dilaksanakan di UPT Puskesmas Rawat Inap Ajibata namun

keikutsertaan masih rendah.


3.6 Pengumpulan Data

3.7.1 Data Primer

Pengumpulan data primer dikumpulkan oleh peneliti secara

langsung dari sumber datanya dengan menyebar kuesioner kepada

responden untuk mereka isi sendiri dengan terlebih dahulu

menjelaskan cara pengisiannya didampingi oleh peneliti.

Sebelumnya kesioner telah diuji coba terlebih dahulu pada

populasi yang memiliki karakteristik hamper sama di tempat yang

berbeda.

3.7.2 Data Sekunder

Data sekunder penelitian diperoleh dari laporan-laporan dan

catatan mengenai konseling VCT dari data yang tersedia di UPT

Puskesmas Rawat Inap Ajibata dan Dinas Kesehatan Kabupaten

Toba serta studi kepustakaan (literatur), majalah dan jurnal

kesehatan yang berhubungan dengan penelitian ini.

3.7 Metode Analisis Data

Tahapan analisis data meliputi :

1. Analisis univariat yaitu analisi yang menitiberatkan kepada

penggambaran atau deskripsi data yang diperoleh, menggambarkan

distribusi frekuensi dari masing-masing variable independen dan

dependen.
2. Analisis bivariate yaitu analisis untuk melihat hubungan variabel

independen dengan dependen dengan menggunakan uji chi square

pada tingkat kepercayaan 95% (p<0,05).

3. Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui pengaruh seluruh

variabel independen secara bersama-sama terhadap variabel

dependen dengan menggunakan uji regresi logistic berganda pada

taraf kepercayaan 95% (α=0,05).

3.8 Jadwal Penelitian

Bulan
NO Kegiatan
Feb Mar Apr Mei Jun Jul
1 Tahap Persiapan Penelitian

a. Penyusunan dan Pengajuan Judul

Penelitian

b. Pengajuan Proposal Penelitian

c. Perizinan Penelitian

2 Tahap Pelaksanaan Penelitian

a. Pengumpulan Data

b. Analisis Data

3 Tahap Penyusunan Laporan Penelitian

Anda mungkin juga menyukai