Anda di halaman 1dari 19

UNIVERSITAS INDONESIA

Tugas Mata Kuliah


Evidence Based Pembangunan Kesehatan

”Evaluasi Kebijakan Program Pencegahan Penularan HIV (Human Immune Virus) dari Ibu ke Anak
(PPIA)”

Kelompok 1 :

Zulkarnain Febri W. 1706094860


Sarah At Tauhidah 1806168784
Alfianita 1906430144
Iyana Putri 1906335981
Finci Ommi A Sikatta 1906430320
Surya Dina Amri 1906430831

PROGRAM MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS INDONESIA
2019

0
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang .............................................................................................................................
2
II. Tujuan ......................................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN
I. Implementasi Atau Intervensi Kebijakan Beberapa Negara Serta Pendekatan Yang Digunakan.
4
II. Pandangan Implementasi Kebijakan, Pelaksanaan, dan Hambatan ............................................
7
III. Pandangan Tentang Efektifitas Pelaksanaan Kebijakan ...............................................................
9
IV. Pandangan Untuk Penanganan Masalah Yang Efektif .................................................................
9
KESIMPULAN
I. Pembelajaran Yang Didapatkan Dari Pelaksanaan Kebijakan ....................................................
13
II. Rekomendasi Kelompok Untuk Perbaikan .................................................................................
13
DISKUSI ................................................................................................................................................
16
REFERENSI ........................................................................................................................................... 17

1
PENDAHULUAN

I. Latar Belakang
Peningkatan kasus infeksi HIV-AIDS pada perempuan dan anak makin hari makin
mengkhawatirkan. Kebijakan pemerintah pusat untuk mencegah penularan HIV-AIDS sudah
digulirkan sejak tahun 2002, namun implementasinya di lapangan masih belum sesuai dengan
yang diharapkan. Laporan Epidemi HIV Global UNAIDS 2012 menunjukkan bahwa jumlah
penderita HIV di dunia mencapai 34 juta orang. Sekitar 50% di antaranya adalah perempuan
dan 2,1 juta anak berusia kurang dari 15 tahun. Di wilayah Asia Selatan dan Tenggara terdapat
sekitar 4 juta orang dengan HIV dan AIDS. Menurut Laporan Kemajuan Program HIV dan AIDS
WHO/SEARO 2011, di wilayah Asia Tenggara terdapat sekitar 1,3 juta orang (37%) perempuan
terinfeksi HIV. Jumlah perempuan yang terinfeksi HIV dari tahun ke tahun semakin meningkat,
seiring dengan meningkatnya jumlah laki-laki yang melakukan hubungan seksual tidak aman,
yang selanjutnya mereka menularkan pada pasangan seksualnya yang lain. Data estimasi
UNAIDS/WHO (2009) juga memperkirakan 22.000 anak di wilayah Asia-Pasifik terinfeksi HIV
dan tanpa pengobatan, setengah dari anak yang terinfeksi tersebut meninggal sebelum ulang
tahun kedua (Kemkes RI, 2015).
Dalam sepuluh tahun mendatang, bila percepatan penyebaran HIV/AIDS tidak dapat
dikurangi, maka akan menjadi ancaman kesehatan masyarakat yang sangat besar (termasuk
kesehatan reproduksi terutama kematian ibu dan anak akan meningkat). Hal ini mempunyai
implikasi social - ekonomi yang luas. Penderitaan bukan saja akan dialami oleh orang yang
tertulari HIV/AIDS tetapi juga akan dirasakan oleh keluarga dan masyarakat. Karena dampak
dari penyebaran HIV/AIDS bukan semata-mata masalah kesehatan tetapi mempunyai
implikasi politik, ekonomi, sosial, etis, agama dan hukum bahkan dampaknya, cepat atau
lambat, menyentuh hampir semua aspek kehidupan manusia. Hal ini mengancam upaya
bangsa untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Kasus AIDS baru pada kelompok ibu rumah tangga sebesar 429 (15%), yang bila hamil
berpotensi menularkan infeksi HIV ke anaknya. Lebih dari 90% anak terinfeksi HIV tertular dari
ibu HIV positif. Penularan tersebut dapat terjadi pada masa kehamilan, saat persalinan dan
selama menyusui. Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA) merupakan intervensi
yang sangat efektif untuk mencegah penularan tersebut. Dalam upaya pencegahan penularan
HIV dari ibu ke anak, layanan PPIA diintegrasikan dengan layanan kesehatan ibu dan anak
(KIA), Keluarga Berencana (KB), dan Konseling Remaja di setiap jenjang pelayanan kesehatan
dengan ekspansi secara bertahap dan melibatkan peran non-pemerintah, LSM dan komunitas.

2
Setiap perempuan yang datang ke layanan KIA-KB dan remaja yang mendapat layanan
kesehatan diberi informasi tentang PPIA. Pelayanan antenatal terpadu turut dilakukan baik di
fasilitas kesehatan tingkat pertama maupun rujukan (Kemkes RI, 2015).
Setiap ibu hamil yang positif HIV wajib diberi ARV dan mendapatkan pelayanan
perawatan, dukungan, dan pengobatan lebih lanjut. Pertologan persalinannya, baik
pervaginam atau melalui bedah sesar, dilakukan berdasarkan indikasi medis ibu/anaknya
dengan menerapkan kewaspadaan standar untuk pencegahan infeksi. Ibu hamil diberi
konseling menyusui secara khusus sejak perawatan antenatal pertama dengan menyampaikan
pilihan yang ada sesuai dengan pedoman pelayanan, yaitu ASI eksklusif atau susu formula
eksklusif.

II. Tujuan
Melakukan evaluasi program pemerintah Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA)
yang dinilai apakah dapat memberikan dampak baik serta mampu mengurangi penularan HIV
dari ibu hamil ke anak.

3
PEMBAHASAN

I. Implementasi Atau Intervensi Kebijakan Beberapa Negara Serta Pendekatan Yang


Digunakan
Dukungan pemerintah dalam program pencegahan penularan HIV pada Ibu Hamil ke Anak,
melalui peraturan dan kebijakan berikut :
 Undang Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
 Permenkes RI No. 21 th 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS
 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2013 tentang Pedoman
Pencegahan Penularan HIV dari Ibu Ke Anak
 Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/90/2019
tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana HIV
Pada ibu hamil, HIV bukan hanya merupakan ancaman bagi keselamatan jiwa ibu, tetapi
juga merupakan ancaman bagi anak yang dikandungnya karena penularan yang terjadi dari ibu
ke anaknya. Lebih dari 90% kasus anak HIV, mendapatkan infeksi dengan cara penularan dari
ibu ke anak (mother to-child transmission/MTCT). Penegasan pemerintah terkait pencegahan
penularan HIV dari ibu ke anaknya tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No 21
Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV AIDS pasal 16 dan pasal 17 (Sugiharti, 2016).
Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anaknya dilaksanakan melalui 4 (empat) kegiatan yang
meliputi (Kemkes, RI, 2013) :
a. Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduktif
b. Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan dengan HIV
c. Pencegahan penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV ke anak yang dikandungnya
d. Pemberian dukungan psikologis, social, dan perawatan kepada ibu dengan HIV beserta
anak dan keluarganya
Sebelum ditemukannya metode intervensi preventif yang efektif, angka transmisi
vertikal HIV pada anak yang tidak mendapat ASI sebesar 15–30%, sedangkan anak yang
mendapat ASI sebesar 25–45%. Transmisi vertikal intrauterin memiliki risiko sebesar 5- 10%,
sedangkan saat persalinan sebesar 10-20%. Pada populasi yang mendapatkan ASI risiko
penularan infeksi HIV pada saat menyusui adalah sebesar 5-20%. Intervensi pencegahan
penularan infeksi HIV dari ibu ke anak yang efektif dapat menurunkan angka transmisi vertikal
hingga kurang dari 2% (Kemkes, RI, 2013).
Untuk menjangkau sasaran ibu hamil dan wanita usia subur, layanan PPIA dilaksanakan
melalui paket layanan kesehatan reproduksi. Pada layanan KIA, karena mempunyai sasaran

4
dan pendekatan yang serupa, layanan PPIA saat ini diintegrasikan dengan upaya pencegahan
hepatitis B dan sifilis kongenital. Pintu masuk layanan PPIA adalah tes HIV pada ibu hamil.
Bersamaan dengan pemeriksaan rutin lainnya pada layanan antenatal terpadu, tes HIV,
hepatitis B, dan sifilis merupakan standar yang harus dilakukan pada kunjungan ke fasyankes.
Apabila ibu diketahui terinfeksi HIV, upaya pencegahan selanjutnya bertujuan agar anak yang
dilahirkan terbebas dari HIV, serta ibu dan anak tetap hidup dan sehat. Upaya ini terdiri dari
pemberian terapi ARV pada ibu hamil, persalinan yang aman, pemberian terapi ARV profilaksis
pada anak dan pemberian nutrisi yang aman pada anak (Kemkes, RI, 2013).
Sebagai sampel adalah Provinsi Jawa Barat dan JawaTimur belum terdapat kebijakan
yang adekuat tentang PPIA. Disamping itu wilayah tersebut masih menggunakan kebijakan
dari pusat dan provinsi. Sebaiknya ada kebijakan tertulis dari pemerintah daerah melalui dinas
kesehatan untuk implementasi layanan PPIA, misalnya dengan memasukkan anggaran PPIA
secara khusus ke dalam APBD, baik untuk kegiatan promotif, preventif, kuratif, maupun
rehabilitatif. Dengan adanya kebijakan pemerintah daerah dapat memberikan lingkungan yang
kondusif bagi terselenggaranya upaya pencegahan dan penanggulangan penularan HIV dari
ibu ke anak (Sugiharti, 2016).
Dinas Keseatan Provinsi Jatim telah membentuk tim PMTCT di puskesmas, yang terdiri
dari bidan, dokter puskesmas, perawat, dan dokter ahli kandungan, meskipun belum semua
puskesmas memiliki tim PMTCT. Hal ini disebabkan kemungkinan ada ibu hamil dengan HIV+
yang belum terjangkau. Puskesmas Dupak yang wilayah kerjanya meliputi daerah lokalisasi
memiliki program PMTCT, juga melakukan Voluntary Counselling Test (VCT), tetapi saat ini
masih bekerjasama dengan LSM (Hotline) untuk pelaksanaan VCT, karena tim PMTCT di
pukesmas masih merangkap sebagai petugas BP dan KIA. Sasaran PMTCT di puskesmas: ibu
hamil yang melakukan pemeriksaan Antenatal Care (ANC). Pemerintah Surabaya sudah
berupaya untuk menjalankan kebijakan yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan
dalam pencegahan penularan HIV/AIDS dari ibu ke anak, tetapi kurangnya tim PMTCT terlatih
di puskesmas menyebabkan kurangnya informasi tentang PMTCT kepada ibu hamil dan
keluarganya yang akibatnya, kasus bayi dengan HIV/AIDS akan terus meningkat. Sarana dan
prasarana PMTCT yang dimiliki terbatas. Belum semua puskesmas memiliki program klinik
PMTCT dan tim PMTCT, serta Pembiayaan khusus PMTCT masih terbatas (Erliana, 2016).
Program PMTCT hanya dilaksanakan prong 3 dan 4 saja, sedangkan prong 1 dan 2
belum dilaksanakan oleh karena pasien yang berkunjung di layanan PMTCT yang terintegrasi
dalam layanan KIA hanya ibu hamil saja, sedangkan yang diberikan informasi PMTCT dan tes
HIV juga hanya ibu hamil yang berisiko saja, tidak pada setiap ibu hamil yang berkunjung.

5
Sementara itu selama ini tidak pernah ada jadwal rutin terkait evaluasi dan monitoring dari
KPA dan Dinas Kesehatan Kabupaten Bojonegoro, melainkan RSUD Kelas B Dr. R. Sosodoro
Djatikoesoemo Kabupaten Bojonegoro secara rutin setiap bulan membuat laporan mengenai
kasus HIV/AIDS (Erliana, 2016).
Permasalahan dari Kebijakan daerah yang ada belum secara khusus diperuntukkan bagi
layanan pencegahan penularan HIV-AIDS dari Ibu ke Anak (PPIA), tetapi masih secara umum
tentang HIV-AIDS. Disamping itu kebijakan daerah yang digunakan masih menggunakan
kebijakan dari Pemerintah Pusat dan Provinsi, sedangkan untuk Pemerintah Kabupaten/Kota
sendiri belum mempunyai kebijakan daerah. Kebijakan daerah yang ada masih dilakukan
secara umum mengenai HIV/AIDS belum dikhususkan untuk PPIA baik itu mengenai
kemitraan, pendanaan, pengobatan serta monitoring dan evaluasi. Implementasi layanan
pencegahan penularan HIVAIDS dari ibu ke anak di daerah yang diteliti belum dapat berjalan
sebagaimana mestinya, salah satunya disebabkan karena belum adanya kebijakan tertulis dari
pemerintah daerah setempat. Pendanaan dirasakan masih kurang karena dana APBD yang
dialokasikan tidak spesifik untuk kegiatan PPIA saja, tapi juga dibagi dengan dengan kegiatan
HIV-AIDS lainnya. Demikian juga untuk monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh dinas
kesehatan ke puskesmas dan unit layanan lainnya masih dibarengi dengan kegiatan yang tidak
spesifik PPIA (Sugiharti, 2016).
Negara lain seperti Thailand, dinyatakan sebagai pemimpin global dalam pencegahan
dan pengobatan HIV, dan pengalamannya dengan epidemi HIV/AIDS memegang pelajaran
berharga bagi kesehatan masyarakat. Pada tahun 2000, Thailand memprakarsai program
PMTCT nasional. Ini memberikan tes sukarela dan gratis untuk semua wanita hamil,
pemberian ART gratis untuk wanita hamil dan bayi baru lahir, dan pemberian susu formula
gratis untuk bayi selama 12 bulan pertama. Efektivitas program PMTCT Thailand telah dinilai
secara ketat. Pada periode 2001-2003, risiko penularan di antara mereka yang menyelesaikan
pengobatan dengan rejimen singkat Azatioprin menurun dari 18,9-24,2% menjadi 6,8%. Di
antara mereka yang menerima Zidovudin bersama dengan Nevirapine, penularannya adalah
3,9% (Siraprapasiri, 2016).
Pada 2005, 89,8% perempuan hamil yang HIV-positif menerima ART untuk mengurangi
MTCT. Pada 2009, bagian ini telah meningkat menjadi 94,7%. Pada 2010, tiga rejimen ART
mulai digunakan untuk PMTCT. Pada 2015, 95,8% perempuan hamil HIV-positif di Thailand
dan non-Thailand menerima ARV untuk mengurangi MTCT. Sekitar 76% bayi yang lahir dari ibu
yang HIV-positif menerima tes virologi dalam dua bulan setelah kelahiran, dan hanya 2,1%
bayi yang lahir dari ibu yang HIV-positif yang terinfeksi. Perkiraan yang tidak dipublikasikan

6
menunjukkan bahwa antara tahun 2000 dan 2014, program PMTCT mencegah total 15.760
bayi dari infeksi dan mencegah 7440 kematian. Pada tahun 2016 Thailand secara resmi
disertifikasi oleh Organisasi Kesehatan Dunia karena telah menghilangkan penularan HIV dari
ibu-ke-bayi dan sifilis bawaan (Siraprapasiri, 2016).

II. Pandangan Implementasi Kebijakan, Pelaksanaan, dan Hambatan


Kebijakan dan strategi Program Kesehatan Ibu dan Anak khususnya yang mencakup
Eliminasi Penularan HIV dari Ibu ke Anak, dalam pelaksanaannya mengacu pada pembagian
urusan pemerintahan konkuren bidang kesehatan sebagai Standar Pelayanan Minimal (SPM)
terpadu sebagai pelayanan publik dasar dalam Sistem Administrasi Pemerintahan dan Sistem
Kesehatan Nasional, khususnya Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Menular Seksual (P2 HIV
AIDS & PIMS). Empat pilar pendekatan komprehensif untuk mencegah transmisi vertikal HIB
yang dikenal dengan Prong, yaitu (Kemkes RI, 2019) 1 :
 Prong 1: Pencegahan primer infeksi HIV pada wanita usia reproduksi
 Prong 2: Pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan pada wanita terinfeksi HIV
 Prong 3: Pencegahan transmisi vertikal HIV dari ibu kepada anak
 Prong 4: Penyediaan terapi, perawatan dan dukungan yang baik bagi ibu dengan HIV, serta
anak dan keluarganya
Deteksi dini atau skrining HIV pada ibu hamil menjadi bagian SPM bidang kesehatan
(secara khusus pada SPM kesehatan ke-12) tingkat kabupaten/kota di Indonesia dengan target
wajib 100% yang ditetapkan oleh kepala daerah setempat. Menurut laporan HIV AID triwulan I
tahun 2019, jumlah kasus HIV yang dilaporkan dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2019
mengalami kenaikan tiap tahunnya. Jumlah kumulatif kasus HIV yang dilaporkan sampai
dengan Maret 2019 sebanyak 338.363 (58,7% dari estimasi ODHA tahun 2016 sebanyak
640.443). Sedangkan untuk jumlah kasus AIDS relatif stabil setiap tahunnya dengan jumlah
kumulatifnya hingga Maret 2019 sebanyak 115.601 orang (Kemkes RI, 2019)2.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), pada 2018 tes HIV pada ibu
hamil hanya sekitar 13,38% (761.373) dari total jumlah ibu hamil di Indonesia sebanyak
5.291.143 orang. Dari jumlah yang menjalani tes tersebut, yang diketahui positif HIV tercatat
2.955 orang. Sementara itu, yang mendapatkan terapi obat ARV (antiretroviral) dalam upaya
menekan jumlah virus (VL), lebih sedikit lagi, yakni hanya 893 ibu hamil. Untuk periode Januari
hingga Maret 2019 didapatkan jumlah kasus HIV ditemukan pada ibu hamil sebanyak 1.288
dari 486.860 ibu hamil yang melakukan tes HIV (0,27%). Hingga Maret 2019 terdapat 88

7
layanan Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak. Untuk pengobatan ARV, kaskade ibu hamil
yang mendapatkan ARV ialah sebagai berikut (Kemkes RI, 2019)2:
 Jumlah ibu hamil positif HIV = 10.235
 Jumlah ibu hamil yang masuk perawatan HIV dan ART = 4.888
 Jumlah ibu hamil yang mulai ART = 3.971
Jika menilik dari salah satu kebijakan PPIA yaitu screening HIV pada ibu hamil tersebut
di 10 provinsi tertinggi kasus HIV di Indonesia, didapatkan hasil sebagai berikut :

Jumlah Tes HIV Ibu Hamil yang Dilaporkan Tahun 2019 di 10


Provinsi Tertinggi Kasus HIV
110,000
90,000
70,000
50,000
30,000
10,000
DKI Jawa Jawa Papua Jawa Bali Sumat- Su- Kepu- Banten
Jakarta Timur Barat Tengah era lawesi lauan
Utara Selatan Riau

Tes 7367 86210 71815 7367 108509 15647 8257 21573 3607 25057

HIV + 77 225 82 77 145 65 21 11 42 43

Grafik 1. Jumlah Tes HIV Ibu Hamil di 10 Provinsi Tertinggi Kasus HIV di Indonesia

Dari grafik ini, adapun 3 permasalahan besar yang ada di lapangan ialah (Kemkes RI, 2019) 2:
1. Jumlah ibu hamil yang melakukan screening HIV masih jauh dari kunjungan antenatal care
(ANC). Cakupan ibu hamil yang melakukan skrining HIV hanya sebanyak 43.624 ibu hamil
dari kunjungan antenatal care sebanyak 5.355.710 ibu hamil. Hal ini sejalan dengan jumlah
kasus HIV yang ditemukan dan dilaporkan yang juga masih jauh dari jumlah kasus HIV yang
diperkirakan. Estimasi ODHA tahun 2016 sebesar 640.443, sementara yang dilaporkan
sampai dengan Maret 2019 sebanyak 338.363 atau 58,7%.
2. Belum semua orang yang terdiagnosis HIV mendapatkan terapi ARV (sekitar 69% yang
sudah pernah mendapatkan terapi ARV, namun hanya 33% yang rutin menerima
pengobatan ARV), secara khusus belum semua ibu hamil yang terdiagnosa HIV
mendapatkan pengobatan.

8
3. Masih terbatasnya fasyankes yang mampu melakukan layanan perawatan, dukungan, dan
pengobatan ARV. Saat ini dari 31 Provinsi, jumlah fasilitas pelayanan kesehatan PPIA ada
sebanyak 92 rumah sakit dan 13 puskesmas, dan baru menjangkau sekitar 7% dari
perkiraan jumlah ibu yang memerlukan layanan PPIA (Mira, 2018).

III. Pandangan Tentang Efektifitas Pelaksanaan Kebijakan


Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak merupakan program yang semakin menjadi
perhatian seiring meningkatnya kejadian HIV pada ibu dan anak (Wudineh, 2016). Dengan
intervensi yang baik maka risiko penularan HIV dari ibu ke anak sebesar 25% hingga 45% bisa
ditekan menjadi kurang dari 2%. Pelaksanaan PPIA pada pelayanan kesehatan ibu dan anak
dapat menurunkan angka kematian pada ibu HIV. Faktor yang mempengaruhi penerimaan ibu
hamil untuk mau dilakukan skrining adalah konseling yang baik karena akan meningkatkan
pemahaman pengetahuan ibu tentang PPIA (Karel, 2008) dan pentingnya skrining HIV pada
ibu hamil (Ghoma,et.,al,2015). Selain itu, konseling yang baik meningkatkan cakupan skrining
HIV pada ibu hamil dalam program PPIA dimana ibu hamil yang dilakukan konseling pra-tes
meningkat dari 64.3% ke 86.0 % dan konseling pasca-tes meningkat dari 87.5 ke 91.3 %
(Ladner, 2015).
Komunikasi dan pembinaan psikologi yang dilakukan oleh bidan dapat memberikan
kontribusi penularan HIV dari Ibu positif ke anak yang dikandungnya (Liem & Adriyanti, 2013).
Peran bidan sangat penting saat pelayanan ANC. Seluruh Bidan Praktik Mandiri (BPM) sudah
merujuk pasiennya ke puskesmas untuk mendapatkan pelayanan ANC terpadu yang
dilaksanakan di puskesmas. Semua ibu hamil yang mendapat pelayanan ANC terpadu,
mendapatkan tes HIV untuk mendiagnosis HIV. Bidan di BPM tidak pernah memberikan
konseling kepada ibu HIV tentang makanan pada anak dan anak, karena selama ini bidan tidak
mengetahui status pasien jika pasien tidak membuka statusnya. Pelaksanaan ANC harus
mendapat dukungan dari keluarga (Halim,et.,al, 2016).
Pasien yang terinfeksi HIV dari puskesmas akan dirujuk ke RS dengan didampingi
konselor dan pendamping pasien. Rujukan yang diberikan pada penderita HIV merupakan
rujukan vertikal agar pasien mendapatkan perawatan spesialistik yang dikarenakan
terbatasnya fasilitas puskesmas (Ratnasari, 2017). Hasil tes HIV tidak akan dibuka tanpa
persetujuan pasien namun dalam buku KIA sudah disepakati kode untuk pemeriksaan HIV,
yaitu PITCR untuk reaktif dan PITC NR untuk yang non reaktif. Kode ini akan bermanfaat bagi
tenaga kesehatan untuk melindungi diri dari penularan HIV serta dapat menerapkan
pencegahan infeksi dengan benar.

9
IV. Pandangan Untuk Penanganan Masalah Yang Efektif
Walaupun langkah-langkah fundamental dalam mengembangkan program PPIA
nasional di Indonesia telah ditempuh, cakupan tes HIV dan ART masih terbilang rendah.
Terdapat sejumlah permasalahan utama yang perlu ditangani untuk membantu percepatan
program dan pencapaian dampak yang diharapkan, yaitu berupa penurunan angka infeksi HIV
pediatrik dan peningkatan taraf kesehatan ibu. Berikut beberapa pandangan untuk
penanganan sejumlah permasalahan tersebut :

a. Integrasi PPIA sebagai bagian layanan KIA, yang terhubungkan dengan layanan PDP
Kebijakan yang berlaku saat ini mendukung integrasi layanan PPIA sebagai bagian
layanan KIA dalam upaya Porgram AIDS Nasional (PAN). Demi terwujudnya integrasi
tersebut layanan PPIA perlu diselenggarakan bersama dengan layanan KIA, layanan
kesehatan neonatal dan pasca melahirkan agar tersedia di Pusat Kesehatan Masyarakat
(Puskesmas), dan bidan agar mampu memberikan beragam layanan esensial. Sejumlah
capaian baru dalam integrasi layanan ini termasuk penyertaan HIV dan PPIA sebagai
indikator dasar program KIA, pembahasan mengenai keduanya dalam Buku Saku
Kesehatan Ibu dan Anak, dan penyertaannya dalam register perawatan antenatal,
kelahiran, dan bayi baru lahir. Meskipun demikian, layanan PPIA membutuhkan
dukungan PAN yang berkelanjutan untuk memeratakan standar pelayanan HIV dan
memastikan ketersediaan alat tes dan obat-obatan antiretroviral. Manfaat lain dari
sinergi antar layanan ini diperoleh dengan cara menghubungkan layanan tes HIV dan
PPIA dengan pemeriksaan sifilis dan, atau untuk kedepannya, dengan pemeriksaan
hepatitis B, sebagai ramgkaian strategi triple elimination.

b. Desentralisasi pelayanan, inisiasi ART, keterhubungan dengan PDP, akses EID dan tes
viral load
Desentralisasi merupakan elemen penting untuk meningkatkan cakupan PPIA, dan
merupakan bagian dari strategi dan kebijakan Kementerian Kesehatan dalam upaya
integrasi di layanan KIA dan akses ART setempat pada tingkatan Fasyankes. Meskipun
layanan tes HIV dapat didesentralisasikan sampai tingkatan Puskesmas (atau
dibawahnya), model pelayanan untuk inisiasi ART dan pemeliharaannya bervariasi,
sesuai dengan kapasitas staf Fasyankes setempat dan dalam beberapa kasus ART
diberikan di Fasyankes yang sama tempat klinik KIA, sedangkan pada kasus lainnya

10
pasien dirujuk ke Fasyankes PDP terdekat. Sebagai tambahan, cakupan EID yang rendah
dan program tes viral load baru memasuki fase awal, sehingga pilihan model pelayanan
yang tepat untuk akses kedua tes ini perlu dikembangkan (apakah menggunakan rujuka
jejaring laboratorium wilayah atau dengan memperbanyak jumlah kota/kabupaten
dengan teknologi laboratorium tes cepat molekular). Tes viral load harus tersedia bagi
ibu hamil positif HIV dan juga pasien lain yang menjalani ART.

c. Pemahaman yang lebih baik terhadap epidemi, kaskade perawatan, dan LKB
Penerapan pelaporan kaskade perawatan di semua tingkatan pelayanan merupakan
tambahan yang sangat bermanfaat bagi data program dan surveilans karena fokusnya
pada retensi ibu hamil positif HIV didalam alur LKB. Namun hal yang sama juga
memberikan tantangan tersendiri untuk memantau keberlanjutan perawatannya di
lebih dari satu Fasyankes untuk layanan yang berbeda (layanan antenal, pasca
melahirkan dan kunjungan berkala setelahnya, dan PDP), pada periode biologis yang
berbeda (masa kehamilan, pasca melahirkan), dan saat menghubungkan ibu dan
bayinya untuk layanan lanjutan dan memantau hasilnya. Hasil analisis data kaskade
layanan, terutama pada tingkatan kota/kabupaten dan Fasyankes, sangat berguna
untuk pengelola program dan penyedia layanan setempat untuk menilai keunggulan
dan kekurangan program setempat, dan menciptakan solusi yang tepat untuk
pemecahan masalah terkait program.

d. Perluasan layanan
Dengan fondasi program PPIA nasional yang telah dibangun, maka tantangan besar
selanjutnya adalah untuk memperluas cakupan tes HIV bagi semua ibu hamil (sekitar
5,3 juta kelahiran tiap tahunnya) di Indonesia, dan untuk menjamin inisiasi ART bagi
semua perempuan positif HIV dan menjaga retensinya. Kementerian Kesehatan telah
berkomitmen untuk menyediakan lima juta alat uji diagnostik cepat HIV pada tahun
2016 untuk mendukung capaian 40% cakupan tes HIV pada ibu hamil di tahun 2016 dan
capaian 80% cakupan di tahun 2019, menuju pencapaian tujuan “90-90-90” di tahun
2020 dan EPIA. Peluang strategis untuk mencapai sasaran ini terdapat pada penentuan
prioritas perluasan layanan di provinsi dengan tingkat prevalensi lebih tinggi dan beban
penyakit lebih besar, dan pada saat yang bersamaan memperkuat komitmen bersama
untuk perluasan layanan tes HIV universal bagi semua ibu hamil sebagai bagian dari
paket layanan dasar KIA di semua provinsi dan kota/kabupaten, termasuk Fasyankes

11
swasta. Pada lingkup praktik, terutama di daerah perkotaan, Fasyankes milik swasta
melayani sampai dengan 60% dari kebutuhan antenatal. Sangat sedikit yang dapat
diketahui mengenai layanan PPIA di sektor swasta dan pelaporannya dalam Sistem
Informasi HIV/AIDS (SIHA) terbilang sangat jarang. Anggapan umum yang berlaku yaitu
tingkat tes HIV dan akses ART bagi ibu hamil positif di Fasyankes swasta sangatlah
rendah.

Tujuan umum program PPIA adalah untuk menjamin akses ibu hamil positif HIV
terhadap intervensi PPIA yang efektif, baik di Fasyankes umum atau swasta, yang
terintegrasikan bersama layanan KIA dan kesehatan keluarga, dan terhubungkan dengan
layanan PDP untuk ART seumur hidup bagi yang membutuhkan. Agar Indonesia dapat
beranjak dari situasi program saat ini dengan cakupan rendah/dampak program rendah
menujuk cakupan tinggi/dampak program tinggi, beberapa rekomendasi yang dapat
dipertimbangkan sebagai berikut :
 Meningkatkan cakupan tes HIV bagi ibu hamil. Berfokus untuk memperluas layanan di
daerah dengan beban penyakit tinggi, dan kemudian berangsur untuk daerah lainnya
menuju akses tes universal.
 Terus memperluas akses tes HIV rutin dengan pilihan opt-out pada layanan KIA, dengan
dukungan untuk pelatihan dan pengalihan tugas bagi bidan dan dokter di semua
Puskesmas dan layanan KIA, dan memastikan jejaring dengan layanan ART untuk
perempuan positif HIV.
 Memberikan perhatian khusus untuk memperluas layanan tes HIV bagi ibu hamil positif
HIV di Fasyankes swasta, menghubungkan kasus positif dengan layanan ART dan
menggiatkan pelaporan pada SIHA. Memberikan dukungan untuk analisis peluang dan
hambatan mengenai perluasan layanan PPIA di sektor swasta, berikut dengan
penjabaran langkah-langkah tindakan selanjutnya dan pelaksanaannya.

12
KESIMPULAN

I. Pembelajaran apa yang diperoleh terkait pelaksanaan kebijakan


1. Kebijakan terkait pelaksanaan PPIA oleh seluruh fasilitas pelayanan kesehatan baik
pemerintah maupun swasta yang menitikberatkan pada upaya promotif dan preventif
yang sudah dibuat dengan baik namun belum ada evaluasi dan hasil yang baik dalam
pelaksanaannya terbukti dengan masih terbatasnya fasyankes yang mampu melakukan
layanan perawatan, dukungan, dan pengobatan ARV.
2. SDM kesehatan sebagai pelaksana upaya pengendalian HIV-AIDS dan IMS, secara garis
besar terbagi dalam Program Management dan Layanan di Fasyankes, dengan tugas dan
fungsi yang berbeda. Petugas layanan di fasyankes secara garis besar, menangani
manajemen kasus pasien dengan tugas utama mendeteksi/menemukan penderita
dengan melakukan pemeriksaan dan tes serta memberikan PDP (Perawatan, Dukungan
dan Pengobatan).
3. Kebijakan daerah yang ada belum secara khusus diperuntukkan bagi layanan
pencegahan penularan HIV-AIDS dari Ibu ke Anak (PPIA), tetapi masih secara umum
tentang HIV-AIDS. Disamping itu kebijakan daerah yang digunakan masih menggunakan
kebijakan dari Pemerintah Pusat dan Provinsi, sedangkan untuk Pemerintah
Kabupaten/Kota sendiri belum mempunyai kebijakan daerah. Kebijakan daerah yang
ada masih dilakukan secara umum mengenai HIVAIDS belum dikhususkan untuk PPIA
baik itu mengenai kemitraan, pendanaan, pengobatan serta monitoring dan evaluasi.
4. Upaya dalam memaksimalkan kesempatan tes HIV dan IMS bagi perempuan usia
reproduksi (seksual aktif), ibu hamil dan pasangannya dengan penyediaan tes diagnosis
cepat HIV dan IMS masih memiliki hambatan dimana Jumlah ibu hamil yang melakukan
screening HIV masih jauh dari kunjungan antenatal care (ANC) dan masih banyak pasien
yang terdiagnosis HIV belum mendapatkan terapi ARV.

II. Apa rekomendasi kelompok untuk perbaikan?


Tujuan umum program PPIA adalah untuk menjamin akses ibu hamil positif HIV
terhadap intervensi PPIA yang efektif, baik di Fasyankes umum atau swasta, yang
terintegrasikan bersama layanan KIA dan kesehatan keluarga, dan terhubungkan dengan
layanan PDP untuk ART seumur hidup bagi yang membutuhkan. Agar Indonesia dapat
beranjak dari situasi program saat ini dengan cakupan rendah/dampak program rendah

13
menujuk cakupan tinggi/dampak program tinggi, beberapa rekomendasi kebijakan yang dapat
dipertimbangkan sebagai berikut :
1. Meningkatkan cakupan tes HIV bagi ibu hamil
- Terus memperluas akses tes HIV rutin dengan pilihan opt-out pada layanan KIA,
dengan dukungan untuk pelatihan dan pengalihan tugas bagi bidan dan dokter di
semua Puskesmas dan layanan KIA, dan memastikan jejaring dengan layanan ART
untuk perempuan positif HIV.
- Memberikan perhatian khusus untuk memperluas layanan tes HIV bagi ibu hamil
positif HIV di Fasyankes swasta, menghubungkan kasus positif dengan layanan ART.
Memberikan dukungan untuk analisis peluang dan hambatan mengenai perluasan
layanan PPIA di sektor swasta, berikut dengan penjabaran langkah-langkah
tindakan selanjutnya dan pelaksanaannya.
- Menempatkan tes HIV sebagai bagian dari paket pelayanan dasar KIA, beserta
layanan informasi, edukasi, dan komunikasi untuk memotivasi permintaan akan
layanan.
2. Meningkatkan akses ART bagi ibu hamil positif HIV
- Membuat analisis situasi untuk mengukur selisih kebutuhan dan mengidentifikasi
praktik terbaik atau model pelayanan yang sesuai dalam menghubungkan ibu hamil
positif HIV dengan layanan ART.
- Pembaruan strategi desentralisasi layanan ART ke tingkat Puskesmas, bilamana
memungkinkan, dukungan terhadap pembuatan model untuk meningkatkan
kerjasama dan jejaring antarlayanan dan dengan PDP.
- Melibatkan OMS dan membangun dukungan sebaya bagi ibu hamil positif HIV
untuk memotivasi inisiasi dan retensi ART.
3. Memperkuat integrasi PPIA dalam layanan KIA
- Pembaruan berbagai peraturan sesuai kebutuhan dan menyediakan petunjuk
pelaksanaan serta pelatihan untuk integrasi layanan, termasuk pelatihan
manajemen, tanggung jawab pelayanan, indikator kualitas pelayanan PPIA, dan
pelaporan.
- Mengkaji dan memperbarui strategi koordinasi dan tanggung jawab bersama dari
pelaksana layanan KIA dan HIV untuk mendukung, melaksanakan, memantau, dan
melaporkan capaian dalam alur layanan komprehensif berkesinambungan, mulai
dari akses PPIA sampai keberlanjutannya dengan ART seumur hidup, bagi ibu hamil
positif HIV, pasca melahirkan dan bayinya yang terpapar atau terinfeksi.

14
4. Pembaruan dan sosialisasi pedoman komprehensif PPIA dan rencana aksi untuk
percepatan program
- Memastikan agar pedoman komprehensif PPIA saat ini dipahami dengan baik dan
dipatuhi, dan memperbaruinya sesuai kebutuhan, terutama sehubungan dengan
rekomendasi global terbaru yang relevan untuk Indonesia.
- Mengembangkan rencana yang terperinci dan mutakhir untuk perluasan layanan
nasional dan provinsi dengan target tahunan, yang meliputi pendekatan strategis
untuk penentuan prioritas perluasan layanan di daerah dengan prevalensi leibh
tinggi, dan peningkatan cakupan dan pelaporan dari sektor swasta.
5. Memperkuat pemantauan dan evaluasi program PPIA
- Menganalisis data SIHA yang ada untuk PPIA dan kaskade layanan PPIA, serta
mengidentifikasi dan menyelesaikan permasalahan yang merintangi pelaksanaan
monitoring yang efektif.
- Mengkaji alur pelaporan di Puskesmas dan layanan PDP lainnya seperti rumah
sakit, serta pada tingkat kota/kabupaten untuk menjaga keharmonisan data antara
layanan KIA dan HIV serta mengoptimalkan SIHA untuk tujuan kaskade layanan
PPIA dan LKB bagi ibu hamil positif HIV.
- Menyertakan indikator-indikator terkait retensi ART pasca melahirkan dan
penekanan viral load pada kaskade layanan kesehatan untuk ibu, dan terkait
profilaksis antiretroviral, uji diagnostik cepat, dan diagnosis terakhir pada kaskade
layanan untuk anak.
- Mempertimbangkan untuk mempublikasikan data kaskade layanan PPIA dalam
laporan per tiga bulan dan tahunan Kementerian Kesehatan, sehingga data dapat
dimanfaatkan secara efektif lagi untuk perencanaan program dan peningkatan
kualitasnya, dan juga mendorong tinjauan data kaskade bagi staf pada tingkatan
kota/kabupaten dan Fasyankes.
- Merencanakan pelatihan penyegaran mengenai cara pengisian formulir data
primer dan entri data untuk SIHA secara benar pada tingkat Fasyankes. Dorong
penggunaan formulir pelaporan terintegrasi yang telah dikembangkan.
- Mendorong tinjauan data secara aktif, perbaikan akuntabilitas serta kualitas
program pada layanan KIA dan PDP yang diberikan sebagai bagian dari program
PPIA.

15
DISKUSI

Dari hasil diskusi, cakupan skrining HIV yang masih rendah memerlukan peningkatan sumber
daya pendukung yang terdiri dari sumber daya manusia, fasilitas dan dana, serta melakukan
kerjasama dan memotivasi layanan kesehatan swasta untuk mendukung dan melaksanakan
kebijakan ini, karena berdasar data Sirkesnas pelaksanaan antenatal, 82.2 % dilakukan oleh bidan
dan 40.5% berlokasi di Bidan Praktek Mandiri. Penelitian yang dilakukan oleh Mathingau (2013)
menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi demand side bagi ibu hamil dalam melakukan
skrining HIV menjadi kegiatan rutin dalam pemeriksaan antenatal adalah tingkat pengetahuan
mengenai faktor resiko HIV dan manfaat skrining, tingkat pendidikan dan kemudahan akses dalam
mencapai layanan kesehatan.

Untuk permasalahan dana, perlu peningkatan alokasi pembiayaan untuk integrasi PPIA ke
layanan antenatal dalam hal proses sosialisasi dan penyediaan reagen baik di tingkat puskesmas
maupun dinas kesehatan. Hasil penelitian menyebutkan bahwa PPIA berupa skrining HIV bagi
seluruh ibu hamil lebih cost-effective dalam menanggulangi angka kejadian HIV dalam jangka
panjang karena mencegah penularan dari ibu ke anak dan meningkatkan kesehatan ibu dan anak.
Oleh karena itu ketersediaan anggaran untuk kegiatan ini harus dilakukan dengan terlebih dahulu
membuat perencanaan kegiatan yang matang dan dapat menjangkau sektor swasta.

16
REFERENSI

Erliana Nina, Suryoputro Antono, dkk. Gambaran Pelaksanaan Prevention Mother to Child
Transmission di RSUD Kelas B Dr. R. Sosodoro Djatikoesoemo Kabupaten Bojonegoro. Jurnal
Promosi Kesehatan Indonesia. Vol 11. No.2.Agustus 2016
Ghoma-linguissi LS, Ebourombi DF, Sidibe A, Kivouele TS, Vouvoungui JC, Poulain P, et al. Factors
influencing acceptability of voluntary HIV testing among pregnant women in Gamboma,
Republic of Congo. BMC Res Notes 2015;8. doi:10.1186/ s13104-015-1651-5.
Halim, Y..S.B.&.K.A.. 2016. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Ibu Hamil dalam
Pemeriksaan HIV di Wilayah Kerja Puskesmas Halmahera Kota Semarang. Jurnal Kesehatan
Masyarakat (e-Journal), 4(5), pp. 395–405.
Karel, L. 2008. Upaya Pencegahan Transmisi dari Ibu ke Anak pada Ibu Rumah Tangga Penderita
HIV/
AIDS di Kota Yogyakarta. Tesis. Universitas Gadjah Mada.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Rencana Aksi Nasional Pengendalian HIV dan
AIDS
Bidang Kesehatan 2015-2019. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2015). Pedoman Manajemen Program Pencegahan
Penularan HIV Dan Sifilis Dari Ibu Ke Anak. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan RI. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.01.07/MENKES/90/2019. Kementerian Kesehatan ;2013.
Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2013
tentang Pedoman Pencegahan Penularan HIV Dari Ibu ke Anak. Kementerian Kesehatan ;
2013.
Kementerian Kesehatan. Rencana Aksi Nasional Pencegahan Penularan HIV Dari Ibu Ke Anak (PPIA)
Indonesia 2013-2017. Kementeri Kesehatan, 2013.
KPAN. 2007. Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS. Jateng. Depkes RI
Ladner J, Besson M-H, Rodrigues M, Saba J, Audureau E. Performance of HIV Prevention of Mother-
To-Child Transmission Programs in Sub- Saharan Africa: Longitudinal Assessment of 64
Nevirapine-Based Programs Implemented in 25 Countries 2015.
doi:10.1371/journal.pone.0130103.
Laporan Situasi Perkembangan HIV AIDS & PIMS di Indonesia Januari-Maret 2019. Ditjen P2P,
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2019.

17
Liem, A. & Adiyanti, M.J. 2013. Bidan Cantik: Psychoeducation on HIV and AIDS to Improve the
Service
Quality of Midwifes at Yogyakarta Pulic Health Center. HIV and AIDS Review, 12(1), pp. 1–28.
Made Asri Budisuari dan Agus Mirojab, Kebijakan Pencegahan Penularan HIV/AIDS dari Ibu Ke Anak
(Studi Kasus di Kota Surabaya). Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. Vol. 14 No. 4 Oktober
2011
: 411 – 421.
Mira MP, Purnawan J. Analisis Implementasi Integrasi Layanan Ppia Hiv Ke Layanan Antenatal Di Kota
Depok 2017. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol. 07, 2018.
Pedoman Program Pencegahan Penularan HIV, Sifilis, % Hepatitis B dari Ibu ke Anak. Ditjen
Kesehatan
Masyarakat. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2019. 1
Ratnasari, D. 2017. Analisis Pelaksanaan Sistem Rujukan Berjenjang Bagi Peserta JKN di Puskesmas X
Kota Surabaya. Jurnal Administrasi Kesehatan Indonesia, 5 (2).
Siraprapasiri Taweesap, Ongwangdee Sumet, dkk. (2016). The Impact of Thailand’s Public Health
Response to the HIV Epidemic 1984 – 2015 : Understanding the Ingredients of Success. Journal
of Virus Eradication. 2016 Nov; 2(Suppl 4): 7-14
Sugiharti dan Heny Lestary, Bagaimana Kebijakan Pemerintah Daerah di Provinsi Jawa Barat Dalam
Implementasi Layanan Pencegahan Penularan HIV – AIDS dari Ibu ke Anak (PPIA). Buletin
Penelitian Kesehatan, Vol. 44, No. 4, Desember 2016 : 253 – 264.
WHO. (2017). Kajian Nasional Respon HIV di Bidang Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta :
Kementerian Kesehatan RI.
Wudineh, & Damtew, B. 2016. Mother-to-Child Transmission of HIV Infection and Its Determinants
among Exposed Infants on Care and Follow-Up in Dire Dawa City, Eastern Ethiopia. AIDS
Research and Treatment, 2016.
Wulandari, A. 2013. Efektifitas Media Komunikasi dalam Meningkatkan Kepedulian Kesehatan
Masyarakat terhadap Pencegahan HIV/AIDS di Kota Samarinda. eJornal Ilmu Komunikasi, 1
(1):
389-410.

18

Anda mungkin juga menyukai