Anda di halaman 1dari 37

SKRIPSI

HUBUNGAN KEPATUHAN MINUM ARV (ANTI RETROVIRAL) PADA IBU


HAMIL DENGAN STATUS HIV PADA BALITA DI RSUD SOSODORO
DJATIKOESOEMO BOJONEGRO

AYUN WIWANINGTYAS
192110032

PROGRAM STUDI DIV KEBIDANAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
INSAN CENDEKIA MEDIKA
JOMBANG
2020
HUBUNGAN KEPATUHAN MINUM ARV (ANTI RETROVIRAL) PADA IBU
HAMIL DENGAN STATUS HIV PADA BALITA DI RSUD SOSODORO
DJATIKOESOEMO BOJONEGRO

SKRIPSI PROPOSAL
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikanpendidikan pada program studi DIV
kebidanan Pada Sekolah Tinggi Ilmu kesehatan
Insan Cendekia Medika
Jombang

AYUN WIWANINGTYAS
192110032

PROGRAM STUDI DIV KEBIDANAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
INSAN CENDEKIA MEDIKA
JOMBANG
2020
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Terdapat beberapa masalah kesehatan di dunia yang hingga saat ini belum

bisaterselesaikan. Salah Infeksi HIV pada ibu hamil dapat mengancam kehidupan ibu

serta ibu dapat menularkan virus kepada bayinya. Lebih dari 90% kasus anak terinfeksi

HIV, ditularkan melalui proses penularan dari ibu ke anak atau Mother To Child Hiv

Transmission (MTCT). Virus HIV dapat ditularkan dari ibu yang terinfeksi HIV kepada

anaknya selama kehamilan, saat persalinan dan saat menyusui. HIV AIDS yang terjadi

pada anak dapat karena penularan dari ibu saat kehamilan, ibu y ang tidak patuh minum

obat anti retroviral ataupun saat kelahiran. Doiagnosis HIV AIDS pada anak dapat

dilakukan 2 kali yaitu sebelum dan sesudah usia 18 bulan (Jurnal Fakultas Ilmu

Kesehatan UIN Alaudin Makassar).

Human Immunodeficiency Virus (HIV) telah ada di Indonesia sejak kasus

pertama ditemukan tahun 1987.Sampai tahun 2012 kasus HIV dan AIDS telah

dilaporkan oleh 341 dari 497 kabupaten/kota di 33 provinsi. Kementerian Kesehatan

memperkirakan, pada tahun 2016 Indonesia akan mempunyai hampir dua kali jumlah

orang yang hidup dengan HIV dan AIDS dewasa dan anak (812.798 orang)

dibandingkan pada tahun 2008 (411.543 orang), bila upaya penanggulangan HIV dan

AIDS yang dilaksanakan tidak adekuat sampai kurun waktu tersebut (Laporan

Pemodelan Matematika epidemi HIV di Indonesia, Kemkes, 2012). Data Kementerian

Kesehatan (2011) menunjukkan dari 21.103 ibu hamil yang menjalani tes HIV, 534

(2,5%) di antaranya positif terinfeksi HIV. Menurut Jurnal Huriati fakultas Ilmu

kesehatan UIN Alaudin Makasar pada tahun 2015 diperkirakan terjadi penularan pada
38.500 anak yang dilahirkan dari ibu yang terinveksi HIV. Sampai tahun 2006,

diprediksi 4.360 anak terkena HIV dan separuh daintaranya meninggal dunia. Di RSUD

Sosodoro Djatikoesoemo sendiri ada 25 balita dengan ibu yang status HIV nya Positif.

Dimana dari 25 Balita terdapat 21 balita reaktif dan 4 balita non reaktif.

Dari 21 balita yang reaktif ditemukan bahwa ibu balita saat hamil tidak

mendapatkan pengobatan ARV dan juga beberapa mendapatkan pengobatan ARV saat

hamil. Sedangkan untuk 4 balita yang statusnya non reaktif, ibunya saat hamil sudah

mendapatkan pengobatan ARV secara Rutin dan patuh.

Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak adalah upaya yang ditujukan

untuk mencegah penularan dari ibu ke anak yang dilakukan secara terintegrasi dan

kompehensif dengan program – program lainnya yang berkaitan dengan pengendalian

HIV/AIDS. Risiko penularan HIV menjadi sangat kecil jika kadar HIV rendah (kurang

dari 1.000 kopi/ml) dan sebaliknya jika kadar HIV di atas 100.000 kopi/ml. Penularan

HIV dari ibu ke anak pada umumnya terjadi pada saat persalinan dan pada saat

menyusui. Risiko penularan HIV pada ibu yang tidak mendapatkan penanganan PPIA

saat hamil diperkirakan sekitar 15-45%. (PMK no. 51 tentang penularan hiv ibu ke

anak).

Apabila ibu tidak menyusui bayinya, risiko penularan HIV menjadi 20-30%

dan akan berkurang jika ibu mendapatkan pengobatan ARV. Pemberian ARV jangka

pendek dan ASI eksklusif memiliki risiko penularan HIV sebesar 15-25% dan risiko

penularan sebesar 5-15% apabila ibu tidak menyusui (PASI). Akan tetapi, dengan terapi

antiretroviral (ART) jangka panjang, risiko penularan HIV dari ibu ke anak dapat

diturunkan lagi hingga 1-5%, dan ibu yang menyusui secara eksklusif memiliki risiko

yang sama untuk menularkan HIV ke anaknya dibandingkan dengan ibu yang tidak

menyusui (De Cock KM, Fowler MG, Mercier E, et al. JAMA 2000; 283:1175-82).
Dengan pelayanan PPIA yang baik, maka tingkat penularan dapat diturunkan menjadi

kurang dari 2%. Selain itu juga ibu hamil dengan pengobatan ARV yang benar dan patuh

dapat menekan virus HIV hingga virus tidak terdeteksi sehingga sel CD4 menjadi

meningkat dan menurunkan resiko penularan pada janinnya. Pada penelitian ini masih

terdapat adanya balita yang positif HIV padahal saat ibu nya hamil sudah mengkonsumsi

ARV..

Oleh karena itu saat ini tidak hanya ibu hamil yang ditest status HIV nya.

Tetapi semua clon pengantin baik wanita maupun pria juga ditest status HIVnya.

Sehingga bila sudah tahu statusnya bisa merencanakan kehamilan dengan aman. Jika

status HIV ibu sudah diketahui sejak awal HIV positif dilakukan intervensi PPIA

komprehensif agar ibu tidak menularkan HIV kepada bayi yang dikandungnya. Bila HIV

negatif dilakukan konseling tentang cara agar tetap HIV negatif (Permenkes No. 51

th.2013).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, permasalahan yang

timbul dalam penelitian ini adalah:“Apakah ada hubungan antara kepatuhan

pengobatan ARV pada ibu hamil dengan status HIV pada balitanya di RSUD

Sosodorodjatikoesoemo Bojonegoro.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan kepatuhan minum ARV pada ibu hamil

dengan status HIV pada Balitanya di RSUD Sosodoro Djatikoesoemo

Bojonegoro.
1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengientifikasi kepatuhan minum ARV pada ibu hamil di RSUD Sosodoro


Djatikoesoemo Bojonegoro.

2. Mengetahui status HIV pada BalitA di RSUD Sosodoro Djatikoesoemo

Bojonegoro.

3. Menganalisis Hubungan kepatuhan minum ARV pada ibu hamil dengan

status HIV pada BalitA di RSUD Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi wacana ilmiah dan

menambah pengetahuan serta wawasan dalam kebidanan terutama dalam

melakukan konseling PPIA dan kepatuhan pengobatan ARV terhadap

ODHA terutama ibu hamil.

1.4.2 Manfaat Praktis

Sebagai tambahan sumber kepustakaan bagi mahasiswa kebidanan

dalam meningkatkan pengetahuan khususnya mengenai pencegahan

penularan HIV dari Ibu ke anak. Sehingga hasil penelitian ini dapat

menambah informasi dan motivasi tenaga kesehatan terutama bidan dalam

melakukan konseling dan deteksi dini penularan HIV dari ibu ke anak.
BAB 2

TINJAUAN TEORI
2.1 Konsep BALITA

2.1.1 Pengertian Balita

Balita adalah masa anak mulai berjalan dan merupakan masa yang paling

hebat dalam tumbuh kembang, yaitu pada usia 1 sampai 5 tahun. Masa ini merupakan

masa yang penting terhadap perkembangan kepandaian dan pertumbuhan intelektual

(Mitayani, 2010 dalam Sulastri, 2016)

Balita adalah istilah umum bagi anak usia 1-3 tahun (batita) dan anak

prasekolah (3-5 tahun). Saat usia batita, anak masih tergantung penuh kepada orang tua

untuk melakukan kegiatan penting, seperti mandi, buang air dan makan. Perkembangan

berbicara dan berjalan sudah bertambah baik. Namun kemampuan lain masih terbatas

(Sutomo, 2010 dalam Sulastri, 2016)

Masa balita merupakan periode penting dalam proses tumbuh kembang

manusia. Perkembangan dan pertumbuhan di masa itu menjadi penentu keberhasilan

pertumbuhan dan perkembangan anak di periode selanjutnya. Masa tumbuh kembang di

usia ini merupakan masa yang berlangsung cepat dan tidak akan pernah terulang,

karena itu sering disebut golden age atau masa keemasan (Chomariah, 2015).

2.1.2 Karakteristik Balita

Menurut karakteristik, balita terbagi dalam dua kategori yaitu anak usia 1 – 3

tahun (batita) dan balita 3 – 5 tahun (Maryunani, 2017). Menurit Persagi (1992) dalam

buku Gizi Seimbang dalam kesehatan Reproduksi (BalanceNutrition in Reproductive

Health), berdasarka karakteristiknya, balita usia 1-5 tahun dapat dibedakan menjadi

dua, yaitu anak lebih dari satu tahun sampai tiga tahun yang dikenal dengan ”batita”

dan anak usia lebih dari tiga tahun sampai ;lima tahun yang dikenal dengan usia

”prasekolah” (Irianto,2014)

2.2.3Pengertian Pertumbuhan Balita


Pertumbuhan (growth) berkaitan dengan masalah perubahan dalam besar

Jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu, yang bisa diukur

dengan ukuran berat (gram, pound, kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur tulang

dan keseimbangan metabolik (retensi kalsium dan nitrogen tubuh), sedangkan

perkembangan (development) adalah bertambahnya kemampuan (skill) dalam struktur

dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan,

sebagai hasil dari proses pematangan (Chomariyah, 2017).

Pertumbuhan adalah bertambah banyak dan besarnya sel seluruh bagian tubuh

yang bersifat kuantitatif dan dapat diukur; sedangkan perkembangan adalah bertambah

sempurnanya fungsi dari alat tubuh (Depkes RI, 2015). Pertumbuhan berkaitan dengan

masalah perubahan dalam besar, jumlah ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun

individu, perkembangan lebih menitikberatkan aspek perubahan bentuk atau fungsi

2.2 Konsep HIV AIDS

2.2.1 Pengertian

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah retrovirus golongan RNA yang

spesifik menyerang sistem imun/kekebalan tubuh manusia. Penurunan sistem

kekebalan tubuh pada orang yang terinfeksi HIV memudahkaberbagai infeksi,

sehingga dapat menyebabkan timbulnya AIDS.

AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah sekumpulan

gejala/tanda klinis pada pengidap HIV akibat infeksi tumpangan (oportunistik)

karena penurunan sistem imun. Penderita HIV mudah terinfeksi berbagai penyakit

karena imunitas tubuh yang sangat lemah, sehingga tubuh gagal melawan kuman

yang biasanya tidak menimbulkan penyakit. Infeksi oportunistik ini dapat

disebabkan oleh berbagai virus, jamur, bakteri dan parasit serta dapat menyerang

berbagai organ, antara lain kulit,


saluran cerna/usus, paru-paru dan otak. Berbagai jenis keganasan juga mungkin

timbul. (Pedoman pelaksanaan PPIA Kemenkes tahun 2014)

2.2.2 Perjalanan infeksi HIV

Setelah HIV memaasuki tubuh seseorang, maka tubuh akan terinfeksi dan

virus mulai mereplikasi diri dalam sel orang tersebut (terutama sel limfosit T CD4

dan makrofag). Virus ini akan mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dengan

menghasilkan antibodi untuk HIV. Masa inkubasi sampai bisa dideteksi

pemeriksaan laboraturium adalah 2 – 12 minggu yang disebut masa jendela

(Window Period). Pada masa ini pasien sangat infeksius dan mudah menularkan ke

orang lain, meskipun hasil pemeriksaan laborat masih negatif.

Orang yang terinfeksi HIV dapat tetap tanpa gejala dan tanda (asimtomatik)

untuk jangka waktu cukup panjang bahkan sampai 10 tahun atau lebih. Kita hanya

dapat mengetahui bahwa orang tersebut terinfeksi HIV dari pemeriksaan

laboratorium antibodi HIV serum. Sesudah jangka waktu tertentu yang bervariasi

dari orang ke orang, virus memperbanyak diri secara cepat dan diikuti dengan

perusakan sel limfosit T CD4 dan sel kekebalan lainnyasehingga terjadilah gejala

berkurangnya daya tahan tubuh yang progresif.

2.2.3 Cara penularan HIV

Human Immunodeficiency Virus (HIV) dapat masuk ke tubuh melauli 3 cara

yaitu

1. Hubungan Seksual
Penularan melalui hubungan seksual adalah cara yang paling dominan dari

semua cara penularan. Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi

selama senggama laki – laki dengan perempuan atau laki – laki dengan laki –

laki. Senggama berarti kontak seksual dengan penetrasi vaginal, anal, atau oral

antara dua individu. Resiko tertinggi adalah penetrasi vaginal atau anal yang

tak terlindungi dari individu yang terinfeksi HIV. Kontak seksual oral

langsung (mulut ke penis atau mulut ke vagina) termasuk dalam katagori risiko

rendah tertular HIV. Tingkat rsiko tergantung pada jumlah virus yang keluar

dan masuk kedalam tubuh seseorang, seperti pada luka sayat / gores dalam

mulut, perdarahan gusi, dan atau penyakit gigi mulut atau pada alat genital.

2. Pejanan oleh darah, produk darah organ dan jaringan yang terinfeksi.

Penularan dari darah dapat terjadi jika darah donor tidak ditapis (uji saring)

untuk pemeriksaan HIV, penggunaan ulang jarum dan semprit suntikan, atau

penggunaan alat medis lainnya yang dapat menembus kulit.

3. Penularan dari ibu dan anak

Lebih dari 90% anak yang terinfeksi HIV didapat dari ibunya. Virus dapat

ditularkan dari ibu yang terinfeksi kepada anaknya selama hamil, saat

persalinan dan menyusui. Tanpa pengobatan yang tepat dan dini, setengah dari

anak yang terinfeksi tersebut akan meninggal sebelum ulang tahun yang ke

dua.

2.2.4 Proses Penularan HIV pada Anak

Penularan HIV ke bayi dan anak, bisa dari ibu ke anak, penularan

melalui darah, penularan melalui hubungan seksual (peleehan seksual pada

anak). Bila ibu baru terinfeksi HIV dan belum ada gejala AIDS, kemungkinan

bayi terinfeksi 20% sampai 35%, sedangkan jika sudah ada gejala pada ibu,
Kemungkinan mencapai 50%. Penularan terjadi selama proses

persalinan melalui transfusi fetomaternal / kontak abtara kulit / membran

mucosa bayi dengan darah atau sekresi maternal saat melahirkan. Semakin

lama proseskelahiran, semakin besar pula resiko penularan, sehingga lama

persalinanbisa dicegah dengan operasi sectio caesaria. Tansmisi lain juga

terjadi selam periode

postpartum melalui ASI, risiko bayi tertular melalui ASI dari ibu positif sekitar

10% (Nurs dan Kurniawan, 2013:161).

2.2.5 Faktor – Faktor yang Berperan Dalam Penularan HIV dari Ibu ke Anak

1. Faktor Ibu

 Jumlah Virus (Viral Load).

Jumlah virus HIV dalam darah ibu saat menjelang atau saat persalinan dan

jumlah virus dAalam air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya sangat

mempengaruhi penularan HIV dari ibu ke anak. Resiko penularan menjadi

kecil jika kadar HIV rendah (kurang dari 1.000 kopi/ml) dan sebaliknya jika

kadar HIV diatas 100.000 kopi/ml.

 Jumlah sel CD4

Ibu dengan sel CD4 rendah lebih beresiko menularkan HIV ke bayinya.

Semakin rendah jumlah sel CD4 risiko penularan HIV semakin besar.

 Satus gizi selama hamil

Berat badan rendah serta kekurangan vitamin dan mineral selama hamil

meningkatkan resiko ibu untuk menderita penyakit infeksi yang dapat

meningkatkan jumlah virus dan risiko penularan HIV ke bayi.


 Penyakit infeksi selama hamil

Penyakit infeksi deperti sifilis, infeksi menular seksual, infeksi saluran

reproduksi lainnya, malaria dan tuberkulosis, beresiko meningkatkan jumlah

virus dan resiko penularan HIV ke bayi.

 Gangguan pada payudara

Gangguan pada payudara ibu dan penyakit lain, seperti mastitis, abses dan luka

di puting payudara dapat meningkatkan risiko penularan HIV melalui ASI.

2. Faktor Bayi

 Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir

Bayi lahir prematur dengan berat badan lahir rendah (BBLR) lebih rentan

tertular HIV karena sistem kekbalan tubuhnya belum berkembang dengan

baik.

 Periode pemberian ASI

Semakin lama ibu menyusi, resiko penularan HIV ke bayi akan semakin besar.

 Adanya luka di mulut bayi

Bayi dengan luka di mulutnya lebih beresiko tertular HIV ketika diberikan

ASI.

3. Faktor obstetrik

Pada saat persalinan, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Faktor

obstetrik yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke anak

selama persalinan adalah :

 Jenis persalinan

Risiko penularan persalinan per vaginam lebih besar daripada persalinan

melalui bedah sesar (sectio Caesaria).

 Lama persalinan
Semakin lama proses persalinan berlangsung, resiko penularan HIV dari ibu ke

anak semakin tinggi, karena semakin lama terjadinya kontak anatara bayi

dengan darah dan lendir.

 Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningkatkan risiko

penularan hingga dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4

jam.

 Tindakan episotomi, ekstraksi vakum dan forceps meningkatkan risiko

penularan HIV karena berpotensi melukao ibu atau bayi.

Tabel 1. Faktor yang berperan dalam penularan HIV dari ibu ke bayi

Faktor ibu Faktor bayi Faktor obstetrik


 Kadar HIV (Viral Load)  Prematuritas dan berat bayi  Jenis persalinan
 Kadar CD4 saat lahir  Lama persalinan
 Satatus Gizi saat hamil  Lama menyusui  Adanya ketuban pecah dini
 Penyakit infeksi saat hamil  Luka di mulut bayi (jika  Tindakan episiotomi,
 Masalah di payudara (jika bayi menyusu) ekstraksi vakum dan forceps
menyusui)
2.2.6 Pencegahan Penularan HIV dari Ibu Hamil dengan HIV ke Bayi yang

Dikandungnya.

Konseling dan tes HIV dalam PPIA komprehensif dilakukan melalui pendekatan

Konseling dan Tes atas Inisiasi Pitugas Kesehatan (TIPK).

a. Layanan ANC terpadu termasuk penawaran dan tes HIV

Pelayanan tes HIV merupakan upaya pembuka akses bagi ibu hamil untuk

mengetahui status HIV, sehingga dapat melakukan upaya untuk mencegah

penularan HIV ke bayinya, memperoleh pengobatan ARV sedini mungkn,

dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan tentanh HIV dan AIDS.

b. Diagnosis HIV
pemerksaan diagnostik infeksi HIV dapat dilakukan secara virologis

(mendeteksi antigen DNA atau RNA) dan serologis (mendekati antibodi HIV)

pada spesimen darah. Pemeriksaan diagnostik infeksi HIV yang dilakukan di

Indonesia umumnya adalah pemeriksaan serologis menggunakan tes cepat (Rapid

Test HIV)atau ELISA. Pemeriksaan diagnostik tersebut dilakukan secara serial

dengan menggunakan tiga jenis reagen HIV yang berbeda dalam hal preparasi

antigen, prinsip tes, dan jenis antigen, yang memenuhi kriteria sensitivitas dan

spesifitas. Hasilpemeriksaan dinyatakan reaktif jika hasil tes dengan reagen 1

(A1), Reagen 2(A2), dan Reagen 3(A3) ketiganya Positif (strategi 3). Pemilihan

jenis reagen yang digunakan berdasarkan sensivitas dan spesifitas, merujuk pada

Standar PelayananLaboraturium Kesehatan Pemeriksa HIV dan Infeksi

Oportunistik. Kementrian Kesehatan (SK Menkes Nomor

241/Menkes/SK/IV/2006). Untuk ibu hamil dengan faktor risiko yang hasil tesnya

indeterminate, tes diagnostik HIV dapat diulang dengan bahan baru yang diambil

minimal 14 hari setelah yang pertama dan setidaknya tes ulang menjelang

persalinan (32-36 Mingu).

c. Pemberian Terapi Antiretroviral

Sampai sekarang belum ada obat yang dapat menyembuhkan HIV dan AIDS,

namun dengan terapi Antiretroviral, Jumlah virus didalam tubuh dapat ditekan

sangat rendah, sehingga ODHA dapat tetap hidup layaknya orang sehat.

Terapi ARV bertujuan untuk

 Mengurangi laju penularan HIV di masyarakat

 Mrnurunkan angka kesakitan dan kematian yang berhubungan dengan HIV

 Memperbaiki kualitas hidup ODHA

 Memulihkan dan memelihara fungsi kekebalan tubuh


 Menekan replikasi virus secara maksimal.

Cara paling efektif untuk menekan replikasi HIV adalah degan memulai

pengobatan dengan kombinasi ARV yang efektif. Terapi kombinasi ARV

harus menggunakan dosis dan jadwal yang tepat, untukmenghindari resistensi.

Selain ARV, timbulnya infeksi oportunistik harus mendapat perhatian dan tata

laksana yang sesuai.

Pemberian ARV pada ibu hamil dengan HIV mengikutipedoman tatalaksana

klinis dan terapi antiretrovital pada orang dewasa, Kementrian Kesehatan

(2011). Penentuan saat tepat untuk memulai terapi antiretroviral (ARV) pada

ODHA dewasa didasarkan pada kondisi klinis pasien (stadium klinis

WHO)atau hasil pemeriksaan CD4. Namun pada ibu hamil, pasien TB dan

penderita hepatitiaB kronik aktif yag terinfeksi HIV, pengobatan ARV dapat

dimulai pada

stadium klinis apapun atau tanpa menunggu hasil pemeriksaan CD4.

Pemeriksaan CD4 tetap diperlukan untukpemantauan pengobatan.

Pemberian ARV pada ibu hamil dengan HIV selain dapat mengurangi risiko

penularan HIV dari ibu ke anak, adalah untuk mengoptimalkan kondisi

kesehatan ibu dengan cara menurunkan kadar HIV serendah mungkin.

Pilihan terapi yang direkomendasikan untuk ibu hamil dengan HIV adalah

terapi menggunakan kombinasi tiga obat (2 NRTI + 1 NNRTI).

Seminimal mungkin hindari Triple Nuke (3 NRTI). Regimen yang

direkomendasikan dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 2. Saat yang tepat untuk memulai pengobatan ARV pada Ibu Hamil

Populasi Target Pedoman Tatalaksana dan Pemberian ARV (2011)


Pasien naive HIV+ CD4 ≤ 350 sel / mm3
Asimtomatik
Pasien naive HIV + Stadium 2 dengan CD4 ≤ 350 sel / mm3 atau stadium 3
dengan gejala atau 4 tanpa memandang nilai CD4 nya
Ibu hamil ARV dapat diberikanmulai usia kehamilan ≥14 minggu,
tanpa melihat stadium klinis dan jumlah CD4. Jika usia
kehamilan < 14 minggu, namun stadiumklinis 2,3,4 atau
jumlah CD4 ≤ 350 sel / mm3, ARV dapat segera
diberikan.
Tabel 3. Rekomendasi ART pada Ibu hamil dan ARV profilaksis pada Bayi

Situasi klinis Rekomendai Pengobatan (Paduan Untuk Ibu)


ODHA sedang terapi  Lanjutkan paduan (ganti dengan NVP atau golongan PI
ARV, kemudian hamil jika sedang menggunakan EFV pada trimester 1)
 Lanjutkan dengan paduan ARV yang sama selama dan
sesudah persalinan.
ODHA hamil dengan  Mulai ARV pada minggu ke 14 kehamilan.
jumlah dalam stadium  Paduan sebagai berikut :
klinis 1 atau jumlah  AZT + 3TC + NVP* atau
CD4>350/mm3dan belum  TDF + 3TC (atau FTC) + NVP*
terapi ARV  AZT + 3TC + EFV** atau
 TDF + 3TC (atau FTC) + EFV**
ODHA Hamil dengan  Segera mulai terapi ARV dengan seperti pada butir 2
jumlah CD4 ≤ 350 sel /
mm3 atau stadium klinis
2,3,4
ODHA hamil dengan  OAT tetap diberikan
Tuberkulosis aktif.  Paduan untuk ibu bila pengobatan mulai trimester II dan
III : AZT (TDF) + 3TC + EFV
Ibu hamil dalam masa  Tawarkan test HIV dalam masa persalinan atau tes setelah
persalinan dan status HIV persalinan.
tidak diketahui.  Jika hasil tes reaktif, dapat diberikan panduan pada butir
2.
ODHA datang pada masa  Paduan pada butir 2
persalinan dan belum
mendapat terapi ARV
Profilaksis ARV untuk Bayi
AZT (Zidovudine) 4 mg/kgBB, 2X/hari, mulai hari ke-1hingga 6 minggu
Keterangan :
* penggunaan Nevirapin (NVP) pada perempuan dengan CD4 >250sel/mm 3 atau yang
tidak diketahui jumlah CD4 nyadapat menimbulkan reaksi hipersensitif berat
** Efavirens tidak boleh diberikan pada ODHA hamil trimester I karena teratogenik.

d. Persalinan Aman

persalinan per vaginam merupakan persalinan yang aman apabila tersedia fasilitas

pemeriksaan viral load, deangan viral load<1.000 kopi/µL, persalinan per vaginam

aman untuk dilakukan.

Persalinan bedah sesar hanya boleh didasarkan atas indikasi obstetrik atau jika

pemberian ARV baru dimulai pada saat usia kehamilan 36 mgg atau lebih, sehingga

diperkirakan viral load > 1.000 kopi/µL.

Tabel 4. Pilihan Persalinan


Persalinan per vaginam Persalinan per abdominal
Syarat : Syarat :
 Pemberian ARV mulai pada ≤ 14 mgg  Ada indikasi obstetrik; dan
(ART>6 Bulan); atau  VL > 1.000 kopi/µL atau
 VL <1.000 kopi/µL  Pemberian ARV dimulai pada usia
kehamilan ≥ 36 mgg.
e. Tata laksana pemberian makanan bagi bayi / anak

Pemilihan makanan pada bayi harus didahului dengan konseling tentang risiko

penularan HIV melalui ASI. Ibu dengan HIV yang sudah dalamterapi ARV memiliki

kadar HIV sangat rendah, sehingga aman untuk menyusui bayinya. Dalam pedoman

HIV dan Infant Feeding (2010), WHO merekomendasikan pemberian ASI Ekslusif

selama 6 bulan untuk bayi lahir dari ibu yang HIV dan sudah dalam terapi ARV untuk

kelangsungan hidup anak (HIV-Fre and Child Survival). Ekslusif artinya hanya

diberikan ASI saja, tidak boleh dicampur dengan susu lain (mixed feeding). Setelah bayi

6 bulan pemberian ASI dapat diteruskan hingga bayi berusia 12 bulan, disertai dengan

pemberian makanan padat. Bilaibu tidak dapat memberikan ASI ekslusif, maka ASI

haru dihentikan dan digantikan dengan susu formula untuk menghindari Mixed feeding.

Beberapa studi menunjukkan pemberian susu formula memiliki risiko minimal

untukpenularan HIV dari ibu ke bayi, sehingga susu formula diyakini sebagai cara

pemberian makanan paling aman. Sangat tidak dianjurkan menyusui campr (mixed

feeding, artinya diberika ASI dan PASI secara bergantian).

f. Pemberian profilaksis ARV dan Cotrimoksazol pada anak

Pemberian profilaksis ARV dimulai hari pertama setelah lahir selama 6 minggu.

Obat ARV yang diberkan adalah Zidovudin (AZT atau ZDV) 4mgg/kgBB deberikan

2 kali sehari. Kotrimoksazol profilaksis mulai usia 6 mgg dengan dosis 4-6 mg/kgBB

satu kali sehari setiap hari sampai usia 1 tahun atau sampai diagnosis ditegakkan.

g. Pemeriksaan diagnostik HIV pada Bayi yang lahir dari ibu dengan HIV
Penentuan status HIV pada bayi/anak (usia <18 bulan) dari ibu HIV tidak dapat

dilakukan dengan cara pemeriksaan diagnosis HIV (tes antibodi) biasa. Pemeriksaan

serologis anti-HIV dan pemeriksaan virologis RNA (PCR) dilakukan setelah usia 18

bulan. Atau dapat dilakukan lebih awal pada usia 9-12 bulan, dengan catatan bila

hasinya positif, maka harus diulang usia 18 bulan.

Pemeriksaan virologis, seperti HIV DNA (PCR), saat ini sudah ada di

indonesia,untuk menegakkan diagnosis dibawah 18 bulan. Pemeriksaan tersebut

harus dilakukan minimal 2 kali dan dapat dimulai ketikabayi berusia 4-6 minggu dan

perlu diulang 4 minggu kemudian. Pemeriksaan HIV DNA (PCR) adalah

pemeriksaan yang dapat menemukan virus atau partikel virus dalam tubuh bayi dan

saat ini sedang dikembangkan di Indonesia untuk diagnosis dini HIV pada bayi

(Early Infant Diagnosis, EID).

2.2.7 Prinsip Penularan HIV

Penularan HIV merujuk pada Prinsip ESSE

E: Exit (adanya jalan keluar bagi cairan tubuh yang mengandung HIV)

S: Sufficient (cairan tubuh yang keluar dari orang yang terinfeksi HIV harus

dalam kandungan yang cukup. Sehingga bisa menularkan HIV. Cairan tubuh yang

memiliki kandungan cukup : darah, ASI, cairan mani, dan cairan Vagina. Cairan

lainnya yang tidak memiliki kandungan yang cukup : air seni, keringat, air mata

dll)

S : Survive ( cairan tubuh yang keluar tersebut tidak dapat bertahan hidup diluar

tubuh manusia. Sehingga saat berada diudara terbuka, virus akan mati dalam

hitungan detik. Bila HIV berada diluar tubuh inangnya (manusia) dia tidak dapat

bertahan hidup lebih lama, kecuali tersimpan dalam tempat yang tertutup,

seperti : jarum suntik)


E : Enter (adanya jalan masuk ditubuh manusia yang memungkinkan kontak

dengan cairan yang mengandung HIV)

2.3 Konsep Kepatuhan

2.3.1 Pengertian Kepatuhan

Kepatuhan atau ketaatan (compliance / adherence)adalah tingkat pasien

melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau

orang lain (Smet, 1994).

Kepatuhan pasien sebagai sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan

ketentuan yang diberika oleh profesional kesehatan (Niven, 2002).

Atau dapat didefinisikan kepatuhan atau ketaatan terhadap pengobatan medis

adalah suatu kepatuhan psien terhadap pengobatan yang telah ditentukan

(Gabit,1999).Kepatuhan terhadap pengobatan membutuhkan partisipasi aktif pasien

dalam manajemen perawatan diri dan kerja sama antara pasien dan petugas

kesehatan.

Kepatuhan atau aderen terhadap terapi antiretroviral adalah kunci keberhasilan

pengobatan infeksi HIV, karena ARV berkelanjutan mampu menekan HIV hingga

tidak terdeteksi, mengurangi resiko resitensi obat, meningkatkan kualitas dan

kelangsungan hidup, meningkatkan kesehatan secara keseluruhan serta mengurangi

resiko penularan HIV. Sebaliknya ketidak patuhan terhadap pengobatan merupakan

penyebab utama kegagalan terapi (Artikel kebijakan AIDS Indonesia, Satiti

retno Pudjiati).

2.3.2 Batasan Kepatuhan


Kepatuhan terhadap aturan pengobatan sering kali dikenal dengan ”patient

Compliance”. Kepatuhan terhadap pengobatan dikhawatirkan menimbulkan sesuatu

yang tidak diinginkan, seperti misalnya bila tidak minum obat sesuai aturan, maka

akan semakin memperparah penyalit (Bambang, 2006 dalam Rahayu 2011).

2.3.3 Pengukuran Perilaku Kepatuhan

Kepatuhan pasien terhadap aturan pengobatan pada prakteknya sulit dianalisa,

karena kepatuhan sulit di identifikasi, sulit diukur dengan teliti dan tergantung

banyak faktor. Pengkajian yang akurat terhadap individu yang tidak patuh

merupakan suatu tugas yang sulit. Metode yang digunakan untuk mengukur

sejauh mana seseorang dalam memenuhi nasehat dari tenaga kesehatan yang

meliputi laporan dari data orang itu sendiri, laporan tenaga kesehatan perhitungan

jumlah pil dan botol, tes darah dan urine, alat – alat mekanis, observasi langsung

dari hasil pengobatan (Niven,2002).

2.3.4 Upaya Peningkatan Kepatuhan

Upaya peningkatan kepatuhan bisa dengan meningkatkan kemampuan

menyampaikan informasi oleh tenaga kesehatan yauitu dengan memberikan

informasi yang jelas pada pasien mengenai penyakit yang dideritanya serta cara

pengobatannya, keterlibatan lingkungan sosial (keluarga) dan beberapa pendekatan

perilaku. Riset telah menunjukkan bahwa jika kerjasama anggota keluarga

diperoleh, kepatuhan menjadi lebih tinggi (Bart,2004).

2.3.5 Kepatuhan Terhadap Kesehatan


Kepatuhan terhadap perawatan merupakan perilaku seseorang untuk mentaati

aturan dalam hal pengobatan yang meliputi perilaku khusus mengenai gaya hidup

seperti diet, istirahat dan olahraga serta konsumsi obat yang harus dikonsumsi,

jdwal waktu minum, kapan harus dihentikan dan kapan harus berkunjung untuk

melakukan kontrol (Gunawan,2011).

BAB 3

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual adalah suatu uraian dan visualisasi hubungan atau

kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya atau antara variabel yang

satu dengan variabel yang lain dari masalah yang ingin di teliti (Notoadmojo, 2016).

Faktor Internal Faktor Eksternal

1. Ibu 1. Konseling PPIA


2. Kehamilan 2. Diagnosis awal
3. / 3. Kepatuhan
4. Riwayat Obstetrik
Bayi/Balita Kepatuhan
pengobatan ARV

Penularan HIV dari Ibu Ke


Anak

-Balita Status Non -Balita status


reaktif Reaktif
Katerangan :

: variabel yang di teliti

: variabel yang tidak di teliti

: Yang mempengaruhi

Gambar 3.1 : kerangka konseptual hubungan kepatuhan minum ARV pada ibu hamil
dengan status HIV pada Balita Di RSUD Sosodoro Djatikoesoemo
Bojonegoro.

Kerangka Konseptual diatas menjelaskan tentang pengaruh – pengaruh

yang terjadi pada penularan HIV pada ibu ke Balita. Dimana pada faktor internal

yang terdiri dari ibu, kehamilan, bayi / anak dan riwayat obstetric. Dimana semua

faktor sangat mempengaruhi. Tapi disini yang diteliti adalah kehamilan dan pada

bayi / anak. Sedangkan pada faktor internal terdapat konseling PPIA, diagnosis

awal, kepatuhan minum ARV. Tetapi disini yang diteliti adalah kepatuhan minum

ARV. Dari dua faktor yang diteliti merupakan penyebab penularan HIV dari ibu ke

anak. Yaitu status balita bisa didapatkan reaktif dan non reaktif. Artinya anak yang

dilahirkan dari seorang ibu penderita HIV dapat tertular dan dapat juga tidak

tertular HIV tergantung dari Kepatuhan pengobatan ARV pada ibu saat hamil.
3.2 Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau pertanyaan


penelitian (Nursalam, 2016).

Hi : Ada pengaruh kepatuhan minum ARV pada ibu hamil dengan status HIV
pada Balita di RSUD Sosodoro Djatikoesoemo

BAB 4

METODE PENELITIAN
Metode penelitian sebagai suatu cara untuk memperoleh kebenaran

danpengetahuan atau pemecahan suatu masalah pada dasarnya menggunakan metode

ilmiah (Notoatmodjo, 2016).

4.1 Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik, dengan desain cross-

sectional. cross-sectionalYaitu suatu penelitian untuk mempelajari suatu dinamika

korelasi antara faktor – faktor resiko dengan efek, dan dengan suatu pendekatan,

observasi ataupun dengan pengumpulan data pada suatu saat tertentu (point time
apptoach) (Notoatmodjo, 2002). Pendapat lain mengatakan bahwa cross sectional

adalah pendekatan yang sifatnya sesaat atau pada suatu waktu saja dan tidak diikuti

dalam kurun waktu tertentu (Bernard Roser 1988 dalam Ibnu Hadjar 1996).

Penelitian tentang “hubungan kepatuhan minum ARV (Anti Retroviral) pada ibu

hamil dengan ststus HIV pada balita si RSUD Sosodoro Djatikoesoemo” ini dilakukan

untuk mengetahui hubungan antara kepatuhan konsumsi ARV pada ibu saat hamil

dengan status HIV pada anaknya / Balitanya.

4.2 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah Cross Sectional, penelitian cross

sectionalmerupakan salah satu desain penelitian atau bisa pula dilihat sebagai salah

satu metodologi penelitian sosial dengan melibatkan lebih dari satu kasus dalam sekali

olah dan juga melibatkan beberapa variabel untuk melihat pola hubungan. Data yang

dikumpulkan sering kali dapat digunakan untuk meneliti lebih dari satu kasus dan

variabel yang digunakan lebih dari dua. Penelitian ini ,merupakan riset dengan dataset

yang ekstensif. Desain riset ini dinamakan cross sectional karena data yang

dikumpulkan dapat menganalisis antar kasus atau antar section (sosiologis.com-

penelitian crossectional).

Dari sini pemahaman bahwa penelitian jenis croos sectional sebenarnya lebih

merupakan model pengumpulan dan analisis data yang dilakukan secara cross

sectional. Pertama, jenis riset ini kmelibatkan lebih dari satu kasus. Peneliti yang

menerapkan cross sectionaltertarik pada variasi, bisa kelompok, keluarga, organisasi

dan sebagainya. Variabel yang dilibatkan juga banyak. Seperti pendapatan,

pendidikan, usia dan sebagainya. Kedua data yang dikumpulkan atau dianalisis dalam

sekali jalan. Maksudnya data yang dikumpulkan diolah dalam sekali jalan,. Hubungan
antara variabel yang diteliti bisa memunculkan beragam topik. Ketiga data dapat

dikuantifikasi. Data tekstual hasil wawancara bisa juga digunakan, namun harus dapat

dikuantifikasi. Prinsipnya adalah agar data dapat diukur secara jelas.

4.3 Waktu dan tempat penelitian

4.3.1 Waktu penelitian

Waktu penelitian adalah jangka waktu yang dibutuhkan peneliti untuk

memperoleh data penelitian yang dilaksanakan (Putriningrum, 2010, dalam

Faizah 2016). Penelitian ini dimulai penyusunan proposal sampai penyusunan

laporan skripsi pada bulan Februari sampai Juli 2020.

4.3.2 Tempat Penelitian


Penelitian ini dilakukan di RSUD Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro

4.4 Populasi, sampel dan sampling

4.4.1 Populasi

Populasi dalam penelitian adalah subyek (misalnya manusia; klien)

yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan (Nursalam, 2016).

Populasinya adalah Ibu ODHA dan balita di RSUD Sosodoro

Djatikoesoemo Kabupaten Bojonegoro dengan jumlah balita sebanyak 25

Ibu dan balita.

4.4.2 Sampel
Sampel terdiri dari bagian populasi terjangkau yang dapat dipergunakan

sebagai subyek penelitian melalui sampling. Jika jumlah populasi besar

lebih dari 1000 maka dapat di ambil antara 10-20% (Nursalam, 2016).

Angka pervalensi yang dapat diperoleh dalam populasi apabila tidak dapat

memperkirakan hal tersebut yang aman menggunkan angka 0.50 (50%)


dalam menentukan banyaknya sampel (Notoatmodjo, 2016). Pada penelitian

ini populasinya sejumlah 25 Ibu dan balita HIV AIDS yang ada di RSUD

Sosodoro Djatikoesoemo Kabupaten Bojonegoro. Dalam penelitian ini

peneliti mengambil sampel sebanyak 100% dari populasi, Sampel dalam

penelitian ini sejumlah 25Ibu dan balita yang telah diambil sesuai dengan

jumlah riil (Notoatmodjo, 2016).

4.4.3 Sampling
Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi untukdapat

mewakili populasi. Teknik sampling merupakan cara-cara yang ditempuh

dalam pengambilan sampel, agar memperoleh sampel yang benar-benar

sesuai dengan keseluruhan subjek penelitian (Nursalam, 2016).

Tekhnik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah

“Total sampling” yaitu Tekhnik pengambilan sampel dimana jumlah

sampel dengan populasi (Sugiyono,2011). Alasan mengambil total

sampling menurut sugiono (2011) jumlah populasi yang kurang dari 100,

seluruh populasi dijadikan sampel penelitian semuanya.

4.5 Kerangka Kerja ( Frame Work)

Kerangka kerja (Frame Work) merupakan langkah-langkah yang akan

dilakukan dalam penelitian yang berbentuk kerangka atau alur penelitian

(Hidayat, 2017).

Identifikasi masalah

Proposal penelitian

Rancangan Penelitian
Analitik dengan Cross-sectional

Populasi
Seluruh Ibu HIV reaktif dan balita HIV reaktif /non reaktif yang ada di RSUD Sosodoro
Djatikoesoemo Kabupaten Bojonegoro sejumlah 25 ibu dan balita
Sampling
Total Sampling

Sampel
Ibu HIV reaktif dan balita HIV Reaktif/Non Reaktifsejumlah 25

Observasi data
Riwayat Ibu dengan Observasi data balita
Kepatuhan HIV reaktif dan Non
HIV reaktif dan pengobatan HIV pada
Balitanya Ibu Hamil Reaktif

Variabel independen Variabel Dependen


Kepatuhan Pengobatan HIV Status HIV Balita

Instrumen Penelitian
Kuesioner

Pengolahan Data
Editing,Coding, Tabulating

Analisa Data
Uji statistic Chi Square

Penyusun Data

Penyusun Laporan Akhir

Gambar 4.1 Kerangka kerja penelitian hubungankepatuhan minum ARV pada


Ibu hamil dengan status HIV pada balita di RSUD Sosodoro
Djatikoesoemo

4.6 Identifikasi variabel


Variabel adalah perilaku atau karakteristik yang memberikan nilai beda

terhadap sesuatu (benda, mausia dan lain-lain) Nursalam, (2016).Variabel yang

digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Variabel independen (bebas)


Variabel independen adalah variabel yang nilainya menentukan variabel lain
(Nursalam, 2016). Variabel independen dalam penelitian ini adalah kepatuhan
minum ARV.

2. Variabel dependen
Variabel dependen adalah variabel yang nilainya ditentukan oleh variabel
lain (Nursalam, 2016). Variabel dependen dalam penelitian ini adalah status HIV
pada Balita.

4.7 Definisi operasional


Definisi opersional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang diamati dari
sesuatu yang didefinisikan tersebut. Karakteristik yang dapat diamati (diukur)
itulah yang merupakan kunci definisi operasional (Nursalam, 2016).

Tabel 4.2 Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Parameter Alat ukur Skala kategori


Variabel Kepatuhan Teknik Kuesioner Nominal Ya 1
independen pengobatan HIV minum ARV Tidak 0
Kepatuhan dengan minum ARV 1. ARV Tidak Patuh < 5
Minum ARV rutin sesuai dengan diminum Patuh ≥ 5
anjuran. minimal 6
bulan
sebelum
ibu
melahirkan
2. ARV
diminum
setiap hari
tanpa putus
Variabel Status HIV pada Reaktif / non Catatan Nominal Reaktif 1
Dependent Balitanyaberdasarkan reaktif rekam Non Reaktif 2
Status HIV dari status rekam medis Rapid Test R1,2,1
pada Balita medisnya pasien hasil + = Reaktif
Rapid Test R1,2,3
hasil - + Non
Reaktif
Bila salah satu
Rapid test hasil +
tapi Yang lain hail -
= Non reaktif

4.8 Pengumpulan dan analisa data

4.8.1 Bahan dam alat penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kuesioner yang


digunakan untuk mendapatkan informasi dari responden tentang kondisi
HIV pada ibu dan Balita.

4.8.2 Instrumen
Instrumen penelitian adalah alat-alat yang akan digunakan untuk
mengumpulkan data (Notoatmodjo, 2016). Pada penelitian ini instrumen
yang digunakan variabel Kepatuhan Minum ARV menggunakan SOP
ARV dan ceklis pengobatan.

4.8.3 Prosedur penelitian


Instrumen dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengurus surat pengantar penelitian ke STIKES ICME Jombang.


2. Mengurus perizinan penelitian dan pengambilan data di RSUD
Sosodoro Djatikoesoemo Kabupaten Bojonegoro.
3. Melakukan studi pendahuluan.
4. Menjelaskan pada calon responden tentang tujuan penelitian dan bila
bersedia menjadi responden dipersilakan untuk menandatangai
informed cosent.
5. Melaksanakan pembagian kuesioner ke 25 responden (Ibu dengan
HIV reaktif yang mempunyai balita)
6. Setelah data terkumpul maka dilakukan pengumpulan data kemudian
peneliti melakukan analisa data
7. Penyajian data.
8. Melakukan penyusunan laporan hasil penelitian

1. Editing

Editing adalah merupakan kegiatan untuk pengecekan danperbaikan

isian. Langkah ini dilakukan untuk mengantisipasi kesalahan-kesalahan data

yang telah dikumpulkan dan untuk memonitori jangan sampai terjadi

kekosongan dari data yang dibutuhkan (Notoatmodjo, 2016).

2. Coding

Coding adalah pekerjaan memindahkan data dari daftaryang akan

memberikan informasi diubah menjadi bentuk angka untuk mempermudah

perhitungan selanjutnya. Coding dalam penelitian ini peneliti mengumpulkan data

dari hasil pembagian kuesioner yang telah dilakukan pada ibu dengan HIV reaktif

yang mempunyai Balita, untuk mempermudah dalam pengolahan data dan

analisis data yang tetap berpedoman pada definisi operasional (Notoatmodjo,

2016). Setiap data responden diberi no urut, kemudian diberikan kode 1 untuk

yang balita reaktif 2 untuk yang balita non reaktif.

1. Responden

Responden =n

2. Jenis Kelamin

Laki – laki =1
Perempuan =2

3. Usia

1th – 5th =1

6th – 15th =2

16th – 30th =3

31th – 50th =4

4. Status HIV

Reaktif =1

Non Reaktif =2

5. Kepatuhan Minum ARV

Ya =1

Tidak =0

3. Tabulating

Tabulatingadalah membuat penilaian data, sesuai dengantujuan

penelitian atau yang diinginkan oleh peneliti (Notoatmodjo, 2016) Tabulasi dalam

penelitian ini dengan melihat hasil dari kuesioner yang telah di berikan ke

responden.

Adapun hasil pengolahan data dapat diinterprestasikan dengan menggunakan

skala kumulatif sebagai berikut ini :

100% = Seluruhnya
79% - 99% = Hampir seluruhnya
51% - 75% = Sebagian besar dari responden
50% = Setengah responden
26% - 49% = Hampir setengahnya
1% - 25% = Sebagian kecil dari responden
0% = Tidak ada satupun dari responden
(Arikunto, 2015)

1. Analisa Univariat
Analisa univariat dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian pada

umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi dan parameter dari

tiap variabel (Notoatmodjo, 2016).Pada penelitian ini alat ukur yang digunakan

untuk kepatuhan minum ARVadalah Kuesioner dan alat ukur yang digunakan

untuk mengetahui status HIV adalah dengan catatan rekam medis pasien tentang

pemeriksaan Rappid test HIV dengan skala data nominal.

2. Analisa Bivariat

Adalah anilisa yang dilakukan terhadap dua varibel yang diduga

berhubungan atau berkorelasi (Notoadmodjo, 2016).Untuk mengetahui pengaruh

variabel independen(Kepatuhan Minum ARV)terhadap variabel dependen(Status

HIV pada Balita)dengan menggunakan uji statistik Chi Square dengan tingkat

kesalahan α : 0,05 dengan bantuan software SPSS. Uji tersebut digunakan untuk

mengetahui pengaruh kepatuhan minum ARV terhadap status HIV pada balitanya

jika nilai P (velue) < α (0,05) artinya Ho ditolak dan H1 diterima berarti ada

pengaruh kepatuhan minum ARV pada Ibu terhadap status HIV pada balitanya.

4.9Etika Penelitian
4.9.1 Lembar persetujuan menjadi responden (Informed Consent)

Lembar persetujuan akan diberikan kepada responden atau subjek

sebelum penelitian dilaksanakan dengan maksud supaya responden

mengetahui tujuan penelitian, jika subjek bersedia diteliti harus

menandatangani lembar persetujuan tersebut, tetapi jika tidak bersedia maka

peneliti harus tetap menghormati hak responden (Notoadmojo, 2016).

4.9.2 Tanpa nama (Anonimity)

Peneliti tidak mencantumkan nama responden yang akan dijadikan

sebagai subyek penelitian untuk menjaga kerahasiaan identitas subyek,


tetapi peneliti akan memberi tanda atau kode secara khusus (Notoadmojo,

2016).

4.9.3 Kerahasiaan (Confidentiality)

Peneliti senantiasa akan menjaga kerahasiaan dari data yang diperoleh,

dan hanya akan disajikan kepada kelompok tertentu yang berhubungan

dengan penelitian, sehingga rahasia subyek penelitianbenar-benar terjamin.

Metode penelitian merupakan suatu cara dalam melakukan penelitian,

metode yang dipilih berhubungan erat dengan prosedur, alat, serta desian

penelitian yang digunakan (Notoadmojo, 2016).

Anda mungkin juga menyukai