Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN SEMINAR EBN

INTRANATAL CARE

Disusun oleh:
Putri Eka Sudiarti

(14239)

Yunita Dewi

(14261)

Intan Dewi Ramadhani

(14317)

GestiAnita Sholihat

(14617)

Anis Sulistiani

(14502)

Yulia Dewi Wijayanti

(14649)

Cintia Rola Cahyani

(14560)

Rivany Bustan

(14704)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UGM
2015

BAB I
PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang
Menurut WHO jumlah kematian ibu sekitar 500.000 persalinan hidup, sedangkan

jumlah kematian perinatal sebesar 10.000 orang. Dari jumlah kematian ibu dan
perinatal tersebut, sebagian besar terjadi di negara berkembang karena kekurangan
fasilitas, terlambatnya pertolongan persalinan, dan pendidikan masyarakat yang
tergolong rendah. Di Indonesia, infeksi HIV merupakan salah satu masalah kesehatan
utama dan salah satu penyakit menular yang dapat mempengaruhi kematian ibu dan
anak. Human Immunodeficiency Virus (HIV) telah ada di Indonesia sejak kasus
pertama ditemukan tahun 1987. Sampai tahun 2012 kasus HIV dan AIDS telah
dilaporkan oleh 341 dari 497 kabupaten/kota di 33 provinsi. Kementerian Kesehatan
memperkirakan, pada tahun 2016 Indonesia akan mempunyai hampir dua kali jumlah
orang yang hidup dengan HIV dan AIDS dewasa dan anak (812.798 orang)
dibandingkan pada tahun 2008 (411.543 orang), bila upaya penanggulangan HIV dan
AIDS yang dilaksanakan tidak adekuat sampai kurun waktu tersebut (Laporan
Pemodelan Matematika epidemi HIV di Indonesia, Kemkes, 2012).
Laporan triwulanan Direktorat Jenderal Penanggulangan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan (PP dan PL) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
(Kemenkes

RI)

bulan

Juni

2011

menunjukkan

jumlah

kasus

Acquired

Immunodeficiency Syndrome (AIDS) dengan faktor risiko transmisi perinatal (dari


ibu dengan HIV ke bayinya) sebanyak 742 kasus. Angka ini menunjukkan
peningkatan dua kali lebih tinggi dibandingkan tiga tahun sebelumnya yang hanya
351 kasus. Kenaikan kasus HIV pada bayi ini terjadi seiring dengan kenaikan kasus
AIDS pada perempuan, yakni dari 20% pada tahun 2007, 25% pada tahun 2008,
menjadi 27% pada tahun 2011. Meningkatnya proporsi kasus AIDS pada perempuan
ini menunjukkan epidemi AIDS di Indonesia makin meningkat dan dipastikan akan
meningkatkan jumlah bayi terinfeksi HIV di masyarakat.
Pada tahun 2011 tercatat kasus AIDS terbesar justru terjadi pada kelompok ibu
rumah tangga (22%) dan 2,7% kasus AIDS ditularkan dari ibu HIV positif ke
bayinyanya (2,53%). Penularan HIV pada anak, biasanya 90 % karena Mother-toChild Transmission (MTCT) dan 10 % karena transfusi. Lebih dari 90% kasus anak
yang terinfeksi HIV, ditularkan melalui proses penularan dari ibu ke anak. Virus HIV
dapat ditularkan dari ibu yang terinfeksi HIV kepada anaknya selama kehamilan,
pada saat persalinan, dan selama menyusui.
Data Kementerian Kesehatan (2011) menunjukkan dari 21.103 ibu hamil yang
menjalani tes HIV, 534 (2,5%) di antaranya positif terinfeksi HIV. Hasil Pemodelan
Matematika Epidemi HIV Kementerian Kesehatan tahun 2012 menunjukkan
prevalensi HIV pada populasi usia 15-49 tahun dan prevalensi HIV pada ibu hamil di
Indonesia diperkirakan akan meningkat. Jumlah kasus HIV dan AIDS diperkirakan
akan meningkat dari 591.823 (2012) menjadi 785.821 (2016), dengan jumlah infeksi
baru HIV yang meningkat dari 71.879 (2012) menjadi 90.915 (2016). Penularan HIV

dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayinya juga cenderung meningkat seiring dengan
meningkatnya jumlah perempuan HIV positif yang tertular baik dari pasangan
maupun akibat perilaku yang berisiko. Meskipun angka prevalensi dan penularan
HIV dari ibu ke bayi masih terbatas, jumlah ibu hamil yang terinfeksi HIV cenderung
meningkat.
Angka HIV pada ibu hamil diprediksikan meningkat dari 15517 (2012) menjadi
19636 (2016), dan jumlah ibu hamil HIV positif yang memerlukan layanan PPIA
(Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak) juga akan meningkat dari 13.189
orang pada tahun 2012 menjadi 16.191 orang pada tahun 2016.

Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) atau Prevention of Motherto Child Transmission (PMTCT) merupakan bagian dari upaya penanggulangan HIV
dan AIDS di Indonesia serta Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Layanan PPIA

diintegrasikan dengan paket layanan KIA, KB, kesehatan reproduksi, dan kesehatan
remaja di setiap jenjang pelayanan kesehatan dalam strategi Layanan Komprehensif
Berkesinambungan (LKB) HIV dan AIDS. Program PMTCT, relatif masih jarang
dilaksanakan, meskipun sudah ada buku pedoman yang dikeluarkan Kementrian
Kesehatan tahun 2005. Pelaksanaan program PMTCT diestimasikan akan dapat
dicegah 8.112 bayi HIV dan dihemat biaya sebesar Rp 42 milyar pertahun.
Diperlukan perluasan program PMTCT ke semua provinsi di Indonesia dan perlu
dilakukan integrasi program PMTCT dengan program Pelayanan Kesehatan Maternal
dan program Keluarga Berencana agar dapat lebih banyak lagi bayi yang dicegah dari
terinfeksi HIV. Perlu kajian yang lebih mendalam dengan data yang lebih lengkap di
tahun berikutnya untuk mengetahui penurunan angka prevalensi HIV pada ibu hamil
yang lebih akurat. (Muhaimin, 2011).

B.

Rumusan Masalah
Apakah lamanya waktu ruptur of membrane (ROM) dan cara persalinan pada

perempuan HIV positif yang mendapatkan HAART dengan viral load rendah
berhubungan dengan MTCT?

C.

Tujuan
Untuk mengetahui hubungan antara lamanya waktu ROM dan cara persalinan

pada perempuan HIV positif yang mendapat HAART viral load rendah dengan
MTCT.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.

Faktor yang berperan dalam penularan HIV dari ibu ke anak.


Ada tiga faktor utama yang berpengaruh pada penularan HIV dari ibu ke anak,

yaitu faktor ibu, bayi/anak, dan tindakan obstetrik.


1.

Faktor Ibu
a. Jumlah virus (viral load)
Jumlah virus HIV dalam darah ibu saat menjelang atau saat persalinan
dan jumlah virus dalam air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya sangat
mempengaruhi penularan HIV dari ibu ke anak. Risiko penularan HIV
menjadi sangat kecil jika kadar HIV rendah (kurang dari 1.000 kopi/ml) dan
sebaliknya jika kadar HIV di atas 100.000 kopi/ml.
b.

Jumlah sel CD4


Ibu dengan jumlah sel CD4 rendah lebih berisiko menularkan HIV ke

bayinya. Semakin rendah jumlah sel CD4 risiko penularan HIV semakin
besar.
c.

Status gizi selama hamil


Berat badan rendah serta kekurangan vitamin dan mineral selama hamil

meningkatkan risiko ibu untuk menderita penyakit infeksi yang dapat


meningkatkan jumlah virus dan risiko penularan HIV ke bayi.

d.

Penyakit infeksi selama hamil


Penyakit infeksi seperti sifilis, Infeksi menular Seksual, infeksi saluran

reproduksi lainnya, malaria, dan tuberkulosis, berisiko meningkatkan jumlah


virus dan risiko penularan HIV ke bayi.
e.

Gangguan pada payudara


Gangguan pada payudara ibu dan penyakit lain, seperti mastitis, abses,

dan luka di puting payudara dapat meningkatkan risiko penularan HIV


melalui ASI.
2.

Faktor Bayi
a.

Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir


Bayi lahir prematur dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) lebih

rentan tertular HIV karena sistem organ dan sistem kekebalan tubuhnya
belum berkembang dengan baik.
b.

Periode pemberian ASI


Semakin lama ibu menyusui, risiko penularan HIV ke bayi akan

semakin besar.
c.

Adanya luka di mulut bayi


Bayi dengan luka di mulutnya lebih berisiko tertular HIV ketika

diberikan ASI.

3.

Faktor Obstetrik
Pada saat persalinan, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Faktor

obstetrik yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke anak selama
persalinan adalah:
a.

Jenis persalinan
Risiko penularan persalinan per vaginan lebih besar daripada persalinan

melalui bedah sesar (sectio caesaria).


b.

Lama persalinan
Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV dari

ibu ke anak semakin tinggi, karena semakin lama terjadinya kontak antara
bayi dengan darah dan lendir ibu.
c.

Pecahnya ketuban
Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningkatkan risiko

penularan hingga dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari
4 jam.
d.

Tindakan persalinan
Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forseps meningkatkan risiko

penularan HIV karena berpotensi melukai ibu atau bayi.

B. Waktu dan Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak


Pada saat hamil, sirkulasi darah janin dan sirkulasi darah ibu dipisahkan oleh
beberapa lapis sel yang terdapat di plasenta. Plasenta melindungi janin dari infeksi

HIV. Tetapi, jika terjadi peradangan, infeksi ataupun kerusakan pada plasenta, maka
HIV bisa menembus plasenta, sehingga terjadi penularan HIV dari ibu ke anak.
Penularan HIV dari ibu ke anak pada umumnya terjadi pada saat persalinan dan
pada saat menyusui. Risiko penularan HIV pada ibu yang tidak mendapatkan
penanganan PPIA saat hamil diperkirakan sekitar 15- 45%. Risiko penularan 15-30%
terjadi pada saat hamil dan bersalin, sedangkan peningkatan risiko transmisi HIV
sebesar 10-20% dapat terjadi pada masa nifas dan menyusui.
Apabila ibu tidak menyusui bayinya, risiko penularan HIV menjadi 20-30% dan
akan berkurang jika ibu mendapatkan pengobatan ARV. Pemberian ARV jangka
pendek dan ASI eksklusif memiliki risiko penularan HIV sebesar 15-25% dan risiko
penularan sebesar 5-15% apabila ibu tidak menyusui (PASI). Akan tetapi, dengan
terapi antiretroviral (ART) jangka panjang, risiko penularan HIV dari ibu ke anak
dapat diturunkan lagi hingga 1-5%, dan ibu yang menyusui secara eksklusif memiliki
risiko yang sama untuk menularkan HIV ke anaknya dibandingkan dengan ibu yang
tidak menyusui (De Cock KM, Fowler MG, Mercier E, et al. JAMA 2000;283:117582). Dengan pelayanan PPIA yang baik, maka tingkat penularan dapat diturunkan
menjadi kurang dari 2%.

Tabel Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak saat hamil, bersalin dan menyusui.

C. Transmisi Vertikal
Transmisi penyakit dari ibu ke janin atau MTCT dapat terjadi selama kehamilan,
saat persalinan, dan menyusui. Pada ibu hamil yang tidak diberikan obat HAART
selama kehamilan, 80% terjadi transmisi MTCT pada usia kehamilan lanjut (di atas
36 minggu), saat persalinan, dan postpartum dan kurang dari 2% transmisi MTCT
terjadi selama trisemester I dan II kehamilan. Tidak adanya intervensi dengan obat
HAART, risiko transmisi MTCT pada ibu yang menyusui sebesar 15-20% dan 2540% pada ibu yang menyusui bayinya. Adanya intervensi dengan obat HAART,
seksio sesaria, dan tidak menyusui akan menurunkan risiko trasmisi MTCT dari 2530% menjadi <2%.

D. Pengobatan
Perkembangan dan percobaan klinis terhadap kemampuan obat antiretrovirus
yang sering dikenal dengan highly active antiretroviral therapy (HAART) untuk
menghambat HIV terus dilakukan selama 15 tahun terakhir ini. Pengobatan
diharapkan mampu menghambat progresivitas infeksi HIV untuk menjadi AIDS dan
penularannya terhadap orang lain serta janin pada perempuan hamil. HAART
menunjukkan adanya penurunan jumlah penderita HIV yang dirawat, penurunan
angka kematian, penurunan infeksi oportunistik, dan meningkatkan kualitas hidup
penderita. HAART bisa memperbaiki fungsi imunitas tetapi tidak dapat kembali
normal. Pengobatan dengan menggunakan HAART yang aman saat ini pada
perempuan hamil adalah dengan menggunakan AZT (azidotimidin) atau ZVD

(zidovudin). Pengobatan perempuan hamil dengan menggunakan regimen AZT ini


dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: perempuan hamil dengan HIV positif, pengobatan
dengan menggunakan AZT harus dimulai pada usia kehamilan 14-34 minggu dengan
dosis 100 mg, 5 kali sehari, atau 200 mg 3 kali sehari, atau 300 mg 2 kali sehari, pada
saat persalinan AZT diberikan secara intravena, dosis inisial 2 mg/kgBB dalam 1 jam
dan dilanjutkan 1 mg/kgBB/jam sampai partus, terhadap bayi diberikan AZT dengan
dosis 2 mg/kgBB secara oral atau 1,5 mg/kgBB secara intravena tiap 6 jam sampai
usianya 4 minggu.
1.

Jenis persalinan
Perempuan hamil dengan viral load < 50 kopi/mL saat pemberian HAART

pada usia kehamilan 36 minggu dianjurkan melahirkan pervaginam. Keadaan ini


tidak dianjurkan pada riwayat operasi dinding rahim, adanya kontraindikasi
melahirkan pervaginam, infeksi genitalia berulang, dan diprediksi persalinannya
akan berlangsung lama. Perempuan hamil dengan HIV positif, tetapi tidak
mendapat pengobatan HAART selama kehamilannya, seksio sesaria merupakan
pilihan untuk mengurangi transmisi MTCT.
2.

Penatalaksanaan Saat Persalinan Pervaginam


Perempuan hamil yang direncanakan persalinan pervaginam, diusahakan

selaput amnionnya utuh selama mungkin. Pemakaian elektroda fetal scalp dan
pengambilan sampel darah janin harus dihindari. Jika sebelumnya telah diberikan
obat HAART, maka obat ini harus dilanjutkan sampai partus. Jika direncanakan
pemberian infus zidovudin, harus diberikan pada saat persalinan dan dilanjutkan

sampai tali pusat diklem. Dosis zidovudin adalah: dosis inisial 2 mg/kgBB dalam
1 jam dan dilanjutkan 1 mg/kgBB/jam sampai partus. Tablet nevirapin dosis
tunggal 200 mg harus diberikan di awal persalinan. Tali pusat harus diklem
secepat mungkin dan bayi harus dimandikan segera. Seksio sesaria emergensi
biasanya dilakukan karena alasan obstetrik, menghindari partus lama, dan
ketuban pecah lama.
3.

Seksio Sesaria
Pada saat direncanakan seksio sesaria secara elektif, harus diberikan

antibiotik profilaksis. Infus zidovudin harus dimulai 4 jam sebelum seksio sesaria
dan dilanjutkan sampai tali pusat diklem. Sampel darah ibu diambil saat itu dan
diperiksa viral load-nya. Tali pusat harus diklem secepat mungkin pada saat
seksio sesaria dan bayi harus dimandikan segera.
4.

Pemberian Makanan Bayi


Apabila ibu memilih memberikan ASI, maka dianjurkan memberikan ASI

secara eksklusif selama 6 bulan. Apabila tidak dapat memberikan ASI eksklusif,
maka dianjurkan untuk segera beralih ke pemberian susu formula. Apabila syarat
AFASS (acceptable, feasible, affordable, sustainable, safe) tercapai sebelum usia
6 bulan, maka ibu boleh beralih ke pemberian susu formula dan pemberian ASI
dihentikan.

BAB III
PEMBAHASAN
A. Jurnal
Jurnal EBN yang digunakan sebagai reverensi pada makalah ini yaitu jurnal
intranatal care yang berjudul HIV Mother-to-Child Transmission, Mode of Delivery,
and Duration of Rupture of Membranes: Experience in the Current Era.

B. Metode
Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif dengan responden perempuan
HIV positif yang melahirkan di RS Mount Sinai dan St. Michaels di Toronto Kanada
antara Januari 2000 November 2010.
Kriteria Inklusi:
a.
b.

Perempuan hamil dengan diagnosis HIV sebelum melahirkan


Perempuan yang mengkonsumsi Highly Active Antiretroviral Theraphy

c.
d.

(HAART)
Jumlah Virus (viral loads) < 1000 copies/ml pada saat melahirkan
Melahirkan di salah satu dari dua tempat (RS Mount Sinai dan St. Michaels
di Toronto Kanada).

Kriteria Ekslusi:
a. Perempuan yang pernah melahirkan beberapa kali (multiple deliveries) selama
penelitian berlangsung.
b. Perempuan yang tidak mengkonsumsi HAART
c. Jumlah virus > 1000 copies/ml.
Informasi terkait umur, latar belakang suku, riwayat kehamilan, riwayat
persalinan, pemberian obat IV ZVD (zidovudine), lamanya waktu Rupture of

membrane (ROM), lamanya waktu melahirkan, cara persalinan, dan prosedur


intranatal diperoleh melalui catatan rekam medis responden.
Durasi ROM didefinisikan sebagai lamanya waktu sejak ketuban mulai pecah
sampai bayi lahir. Semua bayi yang lahir dari ibu dengan HIV positif diberikan resep
ZVD peroral selama 6 minggu dan di evaluasi di klinik HIV anak .

C. Hasil
Penelitian ini memiliki responden sebanyak 213 orang, dari 213 responden
terdapat tiga responden yang dieksklusi karena jumlah virus > 1000 copies/ml.
Sehingga total responden yang berpartisipasi hingga akhir penelitian berjumlah 210
orang. Data demografi responden penelitian disajikan dalam tabel 1.
Kelahiran preterm didefinisikan sebagai kelahiran dengan waktu kehamilan
kurang dari 37 minggu, angka kelahiran preterm berjumlah 16%. Rata-rata waktu
kehamilan dalam penelitian adalah 38 minggu 2 hari dengan waktu kehamilan paling
cepat 24 minggu 6 hari dan paling lama 41 minggu 3 hari.

Tabel 1 Perempuan HIV positif dengan managemen optimal yang melahirkan antara
bulan Januari 2000-November 2010 (n=210)

Penelitian menunjukkan terdapat 200 responden yang dicatatviral load nya


sebelum melahirkan, sedangkan 10 responden yang lain memiliki kadar VL < 1000
copies/ml. Mayoritas responden (n=167, 84%) kadar VL tidak terdeteksi (kurang dari
50 copies/ml) pada saat persalinan. Sebagian besar responden (n=179, 85%)
mendapatkan terapi ZVD secara adekuat saat intrapartum, yaitu pemberian dosis
bertahap yang dilanjutkan dengan mempertahankan infus selama 3 jam sebelum
persalinan.
Sebanyak 107 responden (51%) melakukan persalinan melalui vaginal dan 103
(49%) melakukan persalinan melalui caesar, diantara perempuan yang menjalani
persalinan caesar 75 (73%) telah memilih sebelum persalinan dan sisanya 28 (27%)
memilih saat persalinan. Perempuan yang tidak terdeteksi VL, 90 (45%) melakukan
persalinan melalui vaginal dan 77 (46%) melakukan persalinan caesar.

Sebanyak 46 perempuan yang menjalani Artificial Rupture of Membrane


(AROM), 20 orang mengalami pembukaan antara 0-4 cm, 20 orang <10 cm, dan 6
orang mengalami pecah ketuban sebelum persalinan. Sejumlah 107 perempuan
dengan persalinan melalui vaginal, 6 orang mendapatkan bantuan persalinan
menggunakan vakum, dan 1 orang mendapatkan tindakan dengan menggunakan
elektrode yang ditempatkan pada kepala bayi (fetal scalp electrode placed).
Rata-rata lamanya waktu ROM sebanyak 0,63 jam (0,00-77,87). Rata-rata
lamanya ROM pada kelompok persalinan melalui vaginal sebesar 2,56 jam (0,0053,90) dan pada kelompok persalinan caesar sebesar 0,02 jam (0,00-77,87) dengan
nilai signifikansi p< 0,0001. Rata-rata lamanya waktu ROM pada kelompok dengan
VL yang tidak terdeteksi sebesar 0,62 jam (0,00-77,87) dan pada kelompok yang
terdeteksi VL sebesar 0,57 jam (0,00-33,63) dengan nilai p> 0,92. Kelompok yang
waktu ROM <0,03 jam dikeluarkan dari penelitian dan terdapat 131 pasien yang
mengalami ROM antara 0,05 jam atau lebih dengan rata-rata lamanya waktu ROM
3,53 jam (0,05-77,87). Responden yang mengalami ROM > 4 jam sebanyak 59 orang
(28%). Responden yang usia kehamilan < 37 minggu rata-rata ROM 0,63 jam (0,0077,87) dan responden yang usia kehamilan > 37 minggu rata-rata ROM 0,66 jam
(0,00-53,90). Usia kehamilan dan rata-rata lamanya waktu ROM digambarkan dalam
gambar 1:

Gambar 1 Usia Kehamilan dan Rata-rata Lamanya Waktu ROM

D. Diskusi
Penelitian pada 210 perempuan HIV positif dengan managemen optimal yang
melahirkan selama periode 10 tahun, menemukan bahwa peningkatan durasi ROM
tidak meningkatkan risiko mengalami Mother to Child Transmission (MTCT).
Beberapa perempuan yang memiliki waktu ROM lebih dari waktu yang
direkomendasikan sebelumnya dengan batas waktu 4 jam. Batasan waktu tersebut
direkomendasikan pada perempuan yang tidak menggunakan HAART dan VL tidak
terdeteksi. Namun, rekomendasi ini tidak harus diterapkan pada perempuan yang
dilakukan managemen optimal. Semua kelompok yang waktu ROM > 4 jam tidak
mengalami peningkatan MTCT.
Rata-rata waktu ROM pada kelompok yang mejalani persalinan melalui vagina
dan caesar secara statistik memang berbeda, namun tidak ada kelompok yang
mengalami MTCT. Hal ini, didukung dengan penelitian sebelumnya bahwa
perempuan yang diberi terapi HAART cara persalinan itu tidak mempengaruhi risiko

mengalmi MTCT bahkan jika waktu ROMnya itu meningkat.Tingkat ketaatan pada
terapi ZVD(zidovudin) secara intravena sebelum persalinan sebesar 85%, hal ini
sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Gahir et al (2009). Pada perempuan
yang tidak mendapatkan terapi IV ZVD secara adekuat sebelum persalinan
mengalami persalinan yang dipicu atau persalinan dengan tindakan operative untuk
indikasi darurat seperti: cord prolaps, footling, breech pada persalinan. Mayoritas
kasus yang ditemukan persalinan terjadi setelah pemberian IV ZVD namun terapi
infus selama 3 jam sesuai yang disarankan belum selesai.
Tingkat persalinan dengan cara caesar dalam penelitian ini sebanyak 49% dimana
hal ini di atas rata-rata nasional (26%). Hal ini bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu:
1) Sebagian besar responden sebesar 2/3 yang melakukan caesar merupakan
multipara.
2) Beberapa perempuan yang positif HIV memilih untuk melakukan caesar
berdasarkan status persalinan sebelumnya atau mempertimbangkan VL.
3) Besarnya proporsi perempuan pada penelitian ini berasal dari negara dengan
sumber daya yang rendah. Caesar adalah pilihan utama untuk mencegah
MTCT.
Angka kelahiran preterm sebesar 16% angka ini dua kali lipat rata-rata angka
kelahiran preterm di Kanada yaitu 8%. Hal ini bisa disebabkan karena induksi diawal
persalinan karena ditemukannya tes fungsi hati yang abnormal, adanya preeklamsi
atau persalinan spontan kurang dari < 37 minggu. Faktor tersebut dapat berkontribusi
terhadap tingginya angka persalinan caesar.

Perempuan HIV positif dengan manajemen optimal yang mengalami preterm


premature rupture of membranes (PPROMs) mengalami dilema klinis dalam
mempertimbangkan manajemen resiko terjadinya prematuritas daripada resiko
MTCT. Namun, terdapat sebagian kecil pasien preterm yang mengalami ROM lebih
dari 4 jam tanpa diikuti kasus MTCT. Secara keseluruhan rata-rata lamanya waktu
ROM pada pasien preterm dan term adalah sama.
Penggunaan prosedur invasif selama persalinan pada perempuan HIV positif
tidak dianjurkan karena berpotensi untuk meningkatkan MTCT. Penelitian ini
menggunakan AROM untuk induksi persalinan dan selama fase aktif persalinan pada
46 perempuan tanpa meningkatkan terjadinya transmisi vertikal.
Penelitian menunjukkan terdapat peningkatkan angka persalinan. Hal ini
disebabkan oleh beberapa hal termasuk tingginya proporsi perempuan dengan HIV
positif, perubahan pola imigrasi dan manajemen HIV jangka panjang yang lebih baik.
Manajemen HIV jangka panjang yang baik menyebabkan menyebabkan bertambah
baiknya kesehatan secara menyeluruh dan peningkatan keinginan untuk mempunyai
anak. Sejak dikenalkannya HAART pada tahun 1998, terdapat penolakan yang kuat
terhadap penggunaan monoterapi antenatal di Ontario, dengan meningkatkan
penerimaan dan ketaatan terhadap regimen HAART oleh (Gahir et al, 2009).
Penelitian ini memiliki beberapa kelebihan, yaitu merupakan penelitian kohort
pada perempuan HIV positif dengan jumlah kesehatan yang kecil pada dua wilayah
geografis. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki
kemampuan manajemen yang optimal sehingga perkembangan virus dapat ditekan

dengan sebagian besar memiliki viral load yang tidak terdeteksi dan secara
keseluruhan memiliki VL < 1000 copies/mL. Dokter dan perawat dalam penelitian ini
memiliki pengalaman perawatan antenatal dan intrapartum pada perempuan HIV
AIDS positif, yang meningkatkan kemungkinan pengambilan keputusan yang tepat
sesuai dengan penggunaan obat dan manajemen persalinan. Selain itu, tindak lanjut
terhadap bayi yang baru lahir dari perempuan HIV dievaluasi kecepatan MTCT nya
sepanjang waktu.
Keterbatasan penelitian ini adalah perempuan yang melahirkan di Kanada
memiliki proporsi yang kecil. Kemampuan untuk melakukan penelitian kohort pada
perempuan terbatas tanpa adanya pendekatan tenaga di berbagai sektor.

E. Hasil Pembahasan
Infeksi HIV pada ibu hamil dapat mengancam kehidupan ibu serta ibu dapat
menularkan virus kepada bayinya. Lebih dari 90% kasus anak

terinfeksi HIV,

ditularkan melalui proses penularan dari ibu ke anak atau Mother To Child Hiv
Transmission (MTCT). Penularan virus HIV dari ibu ke anak pada umunya terjadi
pada saat persalinan dan menyusui. Salah satu faktor utama yang berpengaruh pada
penularan HIV dari ibu ke anak yaitu jumlah virus (viral load) pada ibu. Risiko
penularan HIV menjadi sangat kecil jika kadar VL kurang dari 1000 kopi/ml dan
sebaliknya jika kadar HIV diatas 100.000 kopi/ml maka risiko penularan semakin
besar.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa lamanya waktu ROM dan lama

persalinan tidak mempengaruhi peningkatan risiko MTCT. Hal ini tidak sesuai
dengan pedoman DEPKES (2012) yang menyatakan bahwa semakin lama proses
persalinan berlangsung, risiko penularan HIV dari ibu ke anak semakin tinggi, karena
semakin lama terjadinya kontak antara bayi dengan darah dan lendir ibu. Selain itu
ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningkatkan risiko penularan
hingga dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam.
Mother To Child Hiv Transmission

(MTCT) saat persalinan dapat dicegah

melalui persalinan yang aman, dalam situasi ini peran tenaga kesehatan sangat
dibutuhkan terutama perawat. Perawat dapat melakukan edukasi dan konseling
mengenai pilihan persalinan yang aman dan manfaat terapi ARV sebagai cara terbaik
mencegah penularan HIV dari ibu ke anak. Dengan terapi ARV yang sekurangnya
dimulai pada minggu ke-14 kehamilan, persalinan per vaginam merupakan persalinan
yang aman. Apabila tersedia fasilitas pemeriksaan viral load, dengan viral
load<1.000 kopi/L, persalinan per vaginam aman untuk dilakukan.Persalinan bedah
sesar hanya boleh didasarkan atas indikasi obstetrik atau jika pemberian ARV baru
dimulai pada saat usia kehamilan 36 minggu atau lebih, sehingga diperkirakan viral
load> 1.000 kopi/L.
Perawat sebagai klinisi dapat membantu mengawasi status kesehatan pasien dan
mempersiapkan pasien dalam rangka menghadapi persalinan. Perawat dapat
memberikan layanan antenatal care termasuk penawaran dan tes HIV sebelum
persalinan untuk mengetahui apakah ibu menderita HIV. Perawat dapat berkolaborasi
dengan dokter dalam pemberian obat dan terapi ARV, perawat juga dapat memantau

status perkembangan bayi dengan melakukan pemeriksaan diagnostik HIV pada bayi
yang lahir dari ibu dengan HIV. Selain itu perawat dapat berkolaborasi dengan dokter
dalam pemberian profilaksis ARV pada bayi yang lahir dari ibu dengan HIV.

BAB IV

PENUTUP
A. Kesimpulan
Kasus AIDS terbesar di Indonesia terjadi pada kelompok ibu rumah tangga dan
sebagian besar kasus AIDS tersebut ditularkan oleh ibu HIV positif ke banyinya.
Penularan HIV dapat dari ibu ke anak dapat terjadi selama masa kehamilan, pada saat
persalinan, dan selama menyusui. Salah satu program kementrian Indonesia dalam
upaya mengurangi penularan HIV ibu ke anak yaitu dengan program Pencegahan
Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) atau Prevention of Mother-to Child
Transmission (PMTCT) dan Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA).
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penularan HIV dari Ibu ke anak,
yaitu, faktor ibu, faktor bayi, dan faktor obstetrik. Salah satu pengobatan yang dapat
diberikan kepada ibu untuk mengurangi penularan HIV ke anak yaitu dengan
pengobatan HAART.
Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat kasus MTCT pada perempuan HIV
positif dengan HAART dan VL yang rendah.
Peningkatan durasi ROM tidak meningkatkan risiko terjadinya MTCT
MTCT tidak berhubungan dengan cara persalinan.
Perempuan HIV positif dengan managemen yang optimal dan VL yang rendah
diperbolehkan untuk melakukan persalinan lebih dari batasan ROM (>4 jam).
Perawat dapat berperan sebagai edukator, konselor dan klinisi untuk
mencegah terjadinya Mother To Child Hiv Transmission (MTCT).
Daftar Pustaka
Direktorat Bina Kesehatan Ibu Ditjen Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. 2011.
Factsheet PPIA. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI

Goering, RV., Dockrell, HM., Zuckerman, M., Walekin, D., Roitt, IM., et al. 2008.
Medical Microbiology, 4th ed. China: Mosby Elseiver. Hal. 261-286
Mark, Siobhan., Murphy, KE., Read, Stanley., Bitnun, Ari., Yudin, MH. 2012. HIV
Mother-to-Child Transmission, Mode of Delivery, and Duration of Rupture of
Membranes: Experience in the Current Era. Jouernal of Infectious Disease in
Obstetric and Gynecology. Vol 2012(5): 1-5
Muhaimin, T. 2011. Prevalensi HIV Pada Ibu Hamil di Delapan Ibu Kota Provinsi di
Indonesia Tahun 2003-2010. Vol. 15(2): 93-100
Nursalam., Kurbiawati, ND. 2007. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi HIV
AIDS. Jakarta : Salemba Medika
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2013 Tentang
Pedoman Pencegahan Penularan HIV Dari Ibu Ke Anak

Anda mungkin juga menyukai