Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan terbaik untuk bayi, dan ASI juga dapat
menurunkan resiko kesakitan pada anak-anak, terutama sakit pada saluran pencernaan
dan infeksi saluran nafas. ASI juga dapat meningkatkan kualitas hidup pada anak dan
juga kesehatan ibu melalui jarak kehamilan.  Pada tahun 2001, Persatuan Kesehatan
Dunia (the World Health Assembly) mengeluarkan rekomendasi bahwa bayi harus
diberikan ASI secara eksklusif selama 6 bulan pertama dalam kehidupannya untuk
mendapatkan tingkat pertumbuhan, perkembangan serta kesehatan yang optimal.
Setelah itu, bayi juga harus mendapatkan makanan pendamping yang bergizi dan juga
aman selain ASI yang diberikan sampai usia 24 bulan (WHO, 2007)
Sejak awal pandemik HIV sampai 2006, 2.3 juta anak-anak di dunia berusia
kurang dari 15 tahun hidup dengan HIV. Diperkirakan sekitar 530.000 anak-anak
berusia kurang dari 15 tahun yang baru terinfeksi oleh HIV, hampir selalu disebabkan
oleh transmisi dari ibu kepada anak [mother-to-child transmission (MTCT)]. Seperti
yang dikemukakan sebelumnya bahwa ASI dapat memberikan dampak kesehatan
yang baik bagi bayi dan anak, namun HIV dapat ditularkan dari ibu yang positif HIV
kepada bayinya melalui proses menyusui. Di Afrika, HIV/AIDS merupakan penyebab
penting terjadinya kematian pada anak-anak dibawah usia lima tahun. Penurunan
transmisi ini (MTCT) merupakan salah satu perhatian para peneliti, tenaga kesehatan
professional, pembuat kebijakan dan juga para wanita dengan HIV positif di banyak
negara berkembang  (WHO, 2007).
Panduan dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menitikberatkan pada
pentingnya menurunkan resiko transmisi HIV dari ibu ke bayinya, di lain pihak juga
meminimalkan resiko kesakitan maupun kematian terhadap bayi dengan diberikannya
makanan pengganti. Disebutkan bahwa “pemberian makanan pada bayi dari ibu
dengan HIV positif adalah disesuaikan dengan keadaan individual ibu itu sendiri,
termasuk didalamnya adalah keadaan kesehatan ibu tersebut, keadaan lingkungan dan
juga ketersediaan pelayanan dan konseling kesehatan dan juga dukungan yang
dibutuhkannya.  ASI eksklusif direkomendasikan bagi ibu dengan HIV positif selama
6 bulan pertama kecuali jika tersedia makanan pengganti yang dapat diterima
(acceptable), tersedia (feasible), terjangkau (affordable), terpelihara (sustainable) dan
aman (safe). Bila makanan pengganti dapat memenuhi 5 kriteria tersebut maka
pemberian ASI tidak direkomendasikan (WHO, 2009).
BAB II
PEMBAHASAN

A      Transmisi virus HIV dari Ibu ke Anak

Infeksi HIV pada perempuan sudah terjadi sejak lama. Hubungan seksual
yang bebas masih merupakan modus utama terjadinya penularan HIV. Prevalensi
infeksi HIV bervariasi pada tiap daerah. Pada anak – anak di daerah SubSahara, 9
dari 10 anak diketemukan terinfeksi HIV. Di Asia seperti Kamboja, India, Indonesia
dan Thailand angka kejadian ibu hamil dengan HIV sekitar 1% - 5% . (UNAIDS,
2007). Penularan HIV juga meningkat pada wanita pasca melahirkan di Afrika
Selatan (3 dari 100 wanita). Selain itu 85% dari perempuan masih menyusui di 15
bulan dan 30% pada 21 bulan dalam populasi, infeksi postpartum baru kemudian
meningkatkan jumlah anak-anak terpajan HIV.
Tanpa pencegahan preventive, sekitar sepertiga dari bayi yg lahir dari ibu
dengan HIV positive mengalami MCTC selama kehamilan, masa melahirkan dan
proses menyusui. Pada ibu hamil, penularan dapat terjadi pada saat sebelum, selama
atau setelah melahirkan akan tetapi transmisi di awal kehamilan lebih jarang terjadi
(Rouzioux et al 1993). Tanpa intervensi khusus yang bertujuan untuk mengurangi
risiko penularan, diperkirakan ada pada berbagai tingkatan MCTC yaitu dari 15%
menjadi 25% di Eropa dan Amerika Serikat serta 25%-45% pada Negara
berkembang. Pada tahun 2001, 800.000 anak – anak di bawah usia 15 tahun tertular
HIV dan  sekitar 90 % tertular melalui MTCT. Sekitar 15 – 25 % anak – anak lahir
sudah terinfeksi HIV, selama kehamilan dan proses kelahiran. Sedangkan 15 %
lainnya mengalami penularan melalui proses penyusuan. Keseluruhan resiko MTCT
dikaitkan dengan faktor virus, ibu dan bayi (Newell, 2001). Pada umumnya,
peningkatan kejadian HIV yang didapat oleh anak –anak dikarenakan peningkatan
maternal viral. Risiko penularan juga terjadi ketika seorang wanita tertular virus HIV
selama kehamilan ataupun menyusui. 
Tabel 1. Perkiraan angka mutlak MTCT HIV dengan waktu transmisi, tanpa
intervensi
Tingkat penularan HIV (%)

waktu penularan Tidak Menyusui Menyusui  6 menyusui 18-24


HIV       bulan   bln

Selama kehamilan  50 – 10 5 – 10 5 - 10
Selama persalinan 10 - 15 10 – 15 10 - 15
Selama 0 5 – 10 15 - 20
menyusui            
Keseluruhan 15 - 25 20 – 35 30 - 45
            Pada tahun 2009  sekitar 400.000 anak – anak di bawah usia 15 tahun
terinfeksi HIV, kebanyakan merupakan penularan dari ibu ke anak. Sekitar 90 %
infeksi MTCT terjadi di Afrika dimana AIDS mulai menjadi masalah bagi anak untuk
bertahan hidup. Pada Negara yang memiliki tingkat pendapatan tinggi MTCT dapat
dieliminasi secara bertahap dengan pemberian konseling, terapi retroviral, persalinan
aman dan ketersediaan pengganti ASI yang dapat dipersiapkan secara aman.
Strategi PBB untuk mencegah  penularan HIV dari ibu ke anak :
1. pencegahan HIV kepada masyarakat umum terutama pada wanita dan anak-
anak.
2. pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan pada perempuan terinfeksi HIV
3. pencegahan penularan HIV dari perempuan yang terinfeksi HIV dan bayi nya.
4. penyediaan perawatan, pengobatan dan dukungan untuk ibu terinfeksi HIV,
bayi dan keluarganya. Pedoman pelaksanaan pada skala nasional yang tersedia  sesuai
dengan WHO/UNICEF, 2007.
B.       Transmisi HIV melalui Pemberian ASI

Transmisi HIV melalui ASI sudaah terdokumentasi sejak 1985. Laporan


pertama, menyatakan bahwa terdapat transmisi HIV melalui penyusuan dari seorang
ibu yang tertular virus HIV pascakelahiran dari transfuse darah maupun hubungan
kelamin. (Ziegler et al. 1985; Hira et al. 1990; Van de Perre et al. 1991; Palasanthiran
et al. 1993). Terdapat juga laporan yang menjelaskan risiko penularan HIV secara
oral pada bayi melalui penyusuan oleh ibu susu.

C.      Patogenesis dan Mekanisme Transmisi ASI

Penting untuk menjelaskan perihal virus HIV pada ASI dan apakah
keberadaan virus HIV pada ASI akan mempengaruhi terjadinya transmisi tersebut,
bagaimanakah resistensi virus HIV pada ASI dan bagaimana cara virus tersebut
menular pada bayi. HIV dideteksi di ASI terdapat pada sel bebas dan sel asosiasi
kompartemen. Penelitian terakhir menggunakan DNA atau RNA polymerase chain
reaction assays untuk mengevaluasi HIV pada ASI.
Pada penelitian awal di Kenya, RNA ASI dengan HIV dideteksi sebanyak
39 % dari 75 spesimen (Lewis et al. 1998). Pada penelitian ini level virus pada ASI
sekitar 1 log lebih rendah daripada kadar ASI di plasma darah. meskipun beberapa
penelitian juga menyebutkan bahwa kompartemenisasi virus di ASI, ternyata
menunjukkan bahwa kadar yang lebih tinggi di ASI daripada di plasma. Variasi viral
pada darah dan ASI sangat jarang ditemukan, dengan mayoritas beberapa varian virus
HIV di ASI tidak terdeteksi di darah. Penelitian ini menyatakan bahwa beberapa virus
dalam ASI  bereolikasi secara independent, pada kompartemen (kelenjar mammae).
Asal dari HIV di ASI masih belum jelas diketahui. Namun dapat dijelaskan bahwa
baik sel bebas maupun sel yang terjangkit HIV pada ASI bertanggungjawab terhadap
trasmisi ASI  (Koulinska et al. 2006).
Risiko attributable dari transmisi HIV melalui ASI sangat sulit dilakukan
pengukuran karena kesulitan dalam membedakan transmisi intrapartum dari early
transmisión (transmisi melalui proses menyusui). Risiko penularan HIV melalui
penyusuan berkisar 15% ketika menyusui dilanjutkan ingá dua tahun atau lebih.
Ketika ibu terpapar HIV pasca melahirkan, perkiraan penularan HIV melalui proses
menyusui menjadi 29 %. Kebanyakan permulaan transmisi menyusui telah terjadi
pada masa awal penyusuian meskipun penularan terus terjadi selama kegiatan
menyusui berlangsung. Minggu pertama hingga 6 minggu setelah kelahiran
merupakan saat yang berisiko tinggi untuk terjadinya transmisi HIV, meskipun proses
transmisi belum diketahui dengan pasti, dan juga belum diketahui apakah colustrum
lebih berpotensi menjadi sumber transmisi dibanding ASI pada umumnya. Sedangkan
late postnatal transmisión dikatakan setelah bayi berumur 4 minggu atau lebih.

Salah satu faktor yang mempengaruhi risiko transmisi HIV dari ibu ke anak
baik dilihat dari aspek ibu maupun anak terkait dengan kondisi status gizi dan
pemberian makanan. Ibu dengan kondisi anemia dan ukuran lingkar lengan atas yang
di bawah normal berpengaruh terhadap transmisi HIV postnatal. Pola pemberian
makanan kepada bayi merupakan salah satu faktor yang paling berpengaruh terhadap
transmisi HIV melalui ASI. Terdapat penelitian menyatakan bahwa ada hubungan
antara pemberian ASI ekslusif selama 3 – 6 bulan dengan penurunan risiko transmisi
HIV dibanding komposisi pemberian ASI dan formula.

D.      Keuntungan Menyusui ( Pada Ibu dengan HIV)


Sebuah studi prospektif, nested within a randomized trial, mengevaluasi
keamanan dan efikasi dari penyapihan dini di Lusaka, Zambia.  Hasil studi ini
menyebutkan bahwa  bayi non-EBF (Exclusive Breastfeeding) memiliki resiko lebih
dari 2 kali lipat atas penularan dini HIV postnatal . Untuk itu program-program untuk
mendukung EBF harus di galakkan umumnya pada daerah dengan sumberdaya yang
terbatas. EBF adalah praktek pemberian makanan yang terjangkau  (affordable),
mudah didapat (feasible), dapat diterima oleh bayi (acceptable), aman (safe) dan
selalu ada (sustainable) juga dapat menurunkan transmisi HIV sehingga merupakan
suatu cara yang digunakan oleh wanita dengan HIV positif untuk melindungi anaknya
(Kuhn et al, 2007).                                                                                               
  Sebuah studi intervensi di Zambabwe menyatakan pentingnya promosi ASI
eksklusif untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke bayinya melalui proses
menyusui.  Berdasarkan studi ini setiap pemberian intervensi berhubungan dengan
penurunan 38% transmisi HIV postnatal . Ibu dengan HIV positif yang terpapar
bahan-bahan promosi ASI 79% lebih rendah menginfeksi bayinya dibandingkan
dengan ibu yang tidak mendapatkan promosi. Hasil ini juga sama bagi ibu-ibu yang
tidak mengetahui status HIV mereka (Piwoz, 2007).

E. Morbiditas dan Mortalitas


Satu dari sekian banyak manfaat penting ASI adalah kemampuannya untuk
melindungi anak dari infeksi seperti diare, pneumonia, neonatal sepsis dan acute otitis
media. Dalam outbreak diare baru-baru ini di Botswana, tidak mendapatkan ASI
merupakan faktor resiko paling signifikan terhadap terjadinya diare dan bahkan
kematian pada anak-anak (Creek 2006 in WHO, 2007).                                              
 Beberapa studi telah dilakukan untuk menginvestigasi pengaruh ASI terhadap
kesehatan bayi dari ibu dengan HIV positif.   Sebuah studi kohort di Uganda
menemukan bahwa pemberian susu formula berhubungan dengan meningkatnya
resiko kematian bayi dibandingkan dengan pemberian ASI pada masyarakat
pedesaan.  Selama 12 bulan studi ini dilakukan tingkat kematian bayi yang diberi
susu formula adalah 18% (95% CI = 11%–29%) sedangkan pada bayi-bayi yang
diberi ASI tingkat kematiannya adalah 3% (95% CI = 1%–9%).  Hasil ini
merekomendasikan bahwa penggunaan susu formula harus dihindari pada setting
populasi yang relatif sama  (Kagaayi, et al, 2008).                                                   
  Manfaat ASI untuk menurunkan tingkat kematian bayi dari ibu dengan HIV
positif juga didapat dari sebuah analisa data longitudinal yang didapat dari dua
studi randomized clinical trials di Republic of Malawi, Africa. Kesimpulan dari
analisa ini adalah bahwa pemberian ASI dari wanita yang terinfeksi oleh HIV tidak
berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas dari sang ibu, namun berhubungan
erat dengan penurunan tingkat kematian dari bayi mereka (Taha et al, 2006).
 Studi di Bostwana mengevaluasi efikasi dan keamanan proses menyusui dan
ZDV prophylaxis pada bayi selama 6 bulan dibandingkan dengan pemberian susu
formula sejak lahir dan satu bulan ZDV prophylaxis untuk mengurangi transmisi
HIV postnatal.  Terdapat perbedaan yang signifikan terhadap tingkat kematian
(terutama disebabkan oleh diare dan pneumonia) pada bayi yang memperoleh susu
formula dibandingkan dengan bayi-bayi yang mendapat ASI selama 6 bulan pertama
kehidupannya (9.3% versus 4.9%, p=0.003), namun perbedaan ini hanya pada usia
dibawah tujuh bulan, sedangkan tingkat kematian diatas 18 bulan tidak berbeda
secara signifikan (10.7% pada bayi dengan susu formula versus 8.5% pada bayi yang
mendapat ASI , p=0.21) (Thior et al. 2006).   Namun pada umumnya masih terjadi
perdebatan mengenai bagaimana efek pemberian ASI dan formula pada bayi dengan
HIV. sebuah studi kohort di Coˆ te d’Ivoire dimana tingkat morbiditas antara bayi
yang diberi susu formula dan ASI jangka pendek (short term) relatif sama.  Tingkat
kematian juga tidak berbeda secara signfikan pada kedua grup ini, dan setelah
dikoreksi dengan status HIV pun tidak terdapat perbedaan dengan bayi-bayi yang
mendapatkan ASI jangka panjang (long term).  Hasil studi ini merekomendasikan
perlunya memberikan penyuluhan gizi dan pengasuhan, akses air bersih dan
penyediaan pengganti ASI, alternative-alternatif ini untuk memperpanjang proses
menyusui dapat menjadi intervensi yang aman untuk mencegah penularan HIV dari
ibu kepada bayinya di perkotaan Afrika (Becquet et al, 2007).
         F.  Pertumbuhan
Sebuah studi di Zambia diadakan untuk mengetahui pengaruh menyusui
terhadap pertumbuhan pada bayi yang terpapar HIV dimana studi seperti ini memang
masih jarang dilakukan.  Skor WAZ (Weight for Age Z score) menurun di antara
bulan 4.5 dan 15.  Penurunan ini lebih lambat terjadi pada bayi yang mendapatkan
ASI.  Pada 9, 12, dan 15 bulan, rata-rata skor WAZ adalah , –0.74, –0.92, and –1.06
pada bayi yang mendapatkan ASI sedangkan pada bayi yang sudah tidak
mendapatkan ASI lagi rata-rata skor WAZ –1.07, –1.20, and –1.31 (P = 0.003, 0.007,
dan 0.02). Pemberian ASI tidak berhubungan dengan LAZ (Length for Age Z
score) yang menurun dari  –0.98 ke –2.24 dari 1 sampai 24 bulan. Setelah dikoreksi
oleh berat lahir,  maternal viral  load, indeks massa tubuh, pendidikan, musim dan
status perkawinan dan sosio ekonomi, tidak mendapatkan ASI berhubungan dengan
penurunan 0.28 skor WAZ antara 4.5 dan 15 bulan (P < 0.0001) (Arpadi, 2009).
Hasil ini menunjukkan bahwa bayi dari ibu dengan HIV positif memiliki tingkat
pertumbuhan yang lebih baik (skor WAZ) bila mendapatkan ASI dibandingkan
dengan yang tidak mendapatkan ASI.  Namun sayangnya, belum dapat ditemukan
studi-studi serupa sehingga hasil dari studi ini tidak dapat dibandingkan dengan studi
lain.                                                                                                                   Pada ibu
dengan HIV memberikan ASI adalah suatu dilemma. Pemberian ASI memberikan
kemungkinan risiko penularan HIV sebanyak 15 % sedangkan emmilih memberikan
susu formula dikhawatirkan akan meningkatkan kemungkinan terjadinya penyakit
infeksi. Pada ibu – ibu di Negara berkembang dengan kondisi sanitasi yang buruk
risiko penyakit infeksi akibat pemberian formula semakin bertambah. Pada ibu – ibu
dengan HIV di negara tertentu dengan budaya yang mengharuskan menyusui pada
bayinya, menghindari menyusui dan hanya memberikan formula dikhawatirkan akan
memunculkan suatu pengisolasian dan pelecehan oleh masyarakat setempat akibat
perilaku tersebut.

G. Strategi untuk Mengurangi Transmisi HIV melalui ASI


Faktor  yang mungkin dapat meminimalkan risiko transmisi HIV melalui ASI, yaitu :
1. Mempersingkat durasi pemberian ASI
semakin lama waktu pemberian ASI, semakin tinggi risiko tertular HIV. Pemberian
ASI selama 6 bulan memiliki risiko 1/3 dibandingkan masa penyusuan selama 2
tahun.
2. ASI ekslusif di awal masa kelahiran
Beberapa penelitian epidemiologi menyatakan bahwa terdapat factor pada ASI
terutama pada ASI dengan HIV yang secara langsung (otomatis) merespon melawan
sel yang berperan dalam transmisi HIV . Penelitian di Durbam, Afrika Selatan
menyatakan bahwa ASI ekslusif selama 3 bulan sejak awal kelahiran menurunkan
risiko MTCT daripada kombinasi menyusui (ASI dikombinasi dengan makanan lain
seperti jus dan air)
3. Mencegah dan merawat payudara selama masa menyusui
Mastitis dan pembengkakan pada puting susu berhubungan dengan peningkatan risiko
penularan HIV
4. Mencegah infeksi HIV (baru) selama masa menyusui
maternal viral load meningkat segera, setelah ada infeksi terbaru dan semakin
meningkatkan risiko transmisi HIV pada anak
5. Perawatan awal pada rongga mulut bayi,Apabila terdapat luka pada sekitar
mulut dan bibir anak, akan meningkatkan risiko transmisi HIV
Pada tahun 1997 UNAIDS, WHO, dan UNICEF mengeluarkan kebijakan
tentang HIV dan pemberian makan bayi  “Sebagai prinsip dasar, di semua lapisan
masyarakat, tanpa memandang tingkat infeksi HIV, pemberian ASI  harus selalu
dipertahankan, dipromosikan dan didukung.” Salah satu rekomendasi  Konsesus
Genewa pada Oktober 2006 adalah “Ibu terinfeksi HIV dianjurkan menyusui
eksklusif selama 6 bulan kecuali jika pengganti ASI memenuhi AFASS sebelumnya,
Bila pengganti ASI mencapai AFASS, dianjurkan untuk tidak memberikan ASI”
yang mana hal ini menjadi Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dan ibu ke
bayi (DEPKES RI 2006).
Apa itu AFASS?
A:ACCEPTABLE                  :mudah diterima
F : FEASIBLE                       :mudah dilakukan
A : AFFORDABLE               :terjangkau
S : SUSTAINABLE                : berkelanjutan
S : SAFE                                 : aman penggunaannya
            Mudah diterima berarti, tidak ada hambatan sosial budaya bagi ibu untuk
memberikan susu formula pada bayinya. Mudah dilakukan Ibu dan keluarga, mereka
mempunyai cukup waktu, pengetahuan, dan ketrampilan yang memadai untuk
menyiapkan dan memberikan susu formula kepada bayi . Harganya terjangkau Ibu
dan keluarga sehingga mereka mampu membeli susu formula. Susu formula harus
diberikan setiap hari dan malam selama usia bayi dan diberikan dalam bentuk segar,
serta suplai dan distribusi susu formula dijamin keberadaannya artinya keberadaan
susu formula tersebut berkelanjutan. Juga tidak kalah penting Susu formula harus
disimpan secara benar, higienis dan kadar nutrisi cukup, disuapkan dengan tangan
dan peralatan bersih, serta tidak berdampak peningkatan penggunaan susu formula
pada masyarakat (SPILL OVER) yang berarti Save atau Aman.  Susu formula
dianjurkan diberikan pada bayi apabila ibu HIV positif mampu menyiapkan dan
memberikannya dengan aman, yang mengandung gizi yang cukup dan higienis.
Pemberiannya memerlukan cukup air bersih, sabun untuk membersihkan peralatan
susu formula, pengetahuan tentang tata cara penyiapan dan pemberiannya, dan
ketersediaan bahan bakar untuk memasak air. Karena kita tahu bahwa pemberian susu
formula meningkatkan resiko kematian bayi karena diare sampai 16x lebih besar dari
pada menyusui.

          Ibu dengan HIV positif dihadapkan pada dua pilihan sulit, menyusui belum
mengerti tehnik menyusuinya sehingga ternjadi MTCT (Mother-to-Child
Transmission), tidak menyusui dan tidak AFASS sehingga bayi menjadi kurang gizi,
diare, atau pneumonia. Konseling pemberian makan bayi pada ibu HIV dapat
membantu ibu HIV menentukan pilihan yang terbaik untuk bayinya.                              

Risiko infeksi HIV pada anak – anak dapat dibandingkan dengan risiko kematian dan
kesakitan akibat infeksi karena diberi makanan non ASI yang tidak higienis. ASI
melindungi dari penyakit pernafasan, diare serta memberikan asupan gizi yang
penting bagi bayi. ASI juga bermanfaat bagi stimulasi perkembangan syaraf
(motorik) dan psikososial pada bayi serta menyembuhkan trauma ibu akibat
melahirkan.
WHO/UNAIDS/UNICEF memberikan petunjuk pemberian makan pada bayi, yaitu :
1.      Bagi wanita yang tidak terinfeksi atau belum diketahui apakah terinfeksi
diutamakan perlindungan, promosi dan dukungan bagi pemberian ASI ekslusif.
Pemberian ASI selama 6 bulan, diikuti oleh kombinasi pemberian ASI dan makanan
secara bersamaan sampai 2 tahun atau lebih.
2.      Semua ibu yang terinfeksi HIV seharusnya mendapat konseling, yang meliputi
pemberian informasi mengenai risiko dan keuntungan dari berbagai pilihan
pemberian makanan pada bayi (ASI atau formula) yang sesuai dengan situasi.
Dukungan kemudian diberikan kepada ibu yang telah menetapkan suatu cara tertentu
dalam pemberian makan pada bayinya.
3.      Ketika syarat AFFAST (acceptable, feasible, affordable, sustainable and safe,
belum terpenuhi maka dianjurkan pemberian ASI ekslusif khususnya pada satu bulan
pertama.
4.      Ibu dengan HIV positive seharusnya diberi pengetahuan bahwa mereka telah
melakukan teknik penyusuan yang benar untuk mencegah kondisi seperti mastitis,
abses pada payudara
5.      Untuk meminimalisir risiko transmisi HIV, pemberian ASI seharusnya
memperhatikan menurut keadaan, dan syarat AFFAS
6.      Ibu yang terinfeksi HIV seharusnya diberikan petunjuk yang spesifik dan didukung
untuk mencegah hal – hal yang membahayakan kesehatan dan kondisi psikologis
7.      Ketika ibu dengan HIV memilih menyusui lalu berhenti, seharusnya sudah
diberikan petunjuk mengenai perawatan bayi pada dua tahun pertama untuk
menyakinkan kecukupan gizi pada bayi
8.      Wanita dengan HIV seharusnya mendapat akses informasi yang baik, follow up
perwatan kesehatan dan dukungan kesehatan.
   UNICEF dan WHO memberikan pelatihan kepada lebih dari 100 konselor
ASI dan HIV mengenai cara pemberian makan untuk bayi. Telah dilatih 1000
konselor untuk mendukung pemberian makan pada bayi. UNICEF mendukung negara
– negara seperti : Botswana, Uganda, India, dan Guyana. Pada akhir 2001, sekitar
15.000 fasilitas kesehatan akan didirikan di seluruh dunia dan dideklarasikan sebagai
” Baby Friendly Hospital Initiative”. Di Afrika Selatan, penelitian dikhususkan untuk
menemukan metode praktis untuk mempasteurisasi ASI (flash heating) dan
kemungkinan penggunaan Bank ASI.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1.      Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan yang dibutuhkan bayi.  Pada bayi dari ibu
dengan HIV positif ASI juga memberikan dampak kesehatan yang signifikan kepada
bayi seperti menurunkan tingkat kematian dan kesakitan, memperlambat penurunan
berat badan (pertumbuhan) dan juga menurunkan tingkat transmisi HIV postnatal. 
Namun masih adanya kemungkinan untuk terjadinya transmisi HIV dari ibu kepada
bayinya, maka pemberian ASI pada bayi dari ibu dengan HIV positif hendaknya
mengikuti saran dan aturan yang dianjurkan.
2.      WHO merekomendasikan pemberian ASI untuk bayi dari ibu HIV positif,
pemberian susu formula hanya apabila ibu memenuhi kriteria AFASS (Acceptable,
Feasible, Affordable, Sustainable, dan Safe), apabila satu syaratnya tidak terpenuhi,
maka menyusui eksklusif solusinya.

Anda mungkin juga menyukai