PENDAHULUAN
Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan terbaik untuk bayi, dan ASI juga dapat
menurunkan resiko kesakitan pada anak-anak, terutama sakit pada saluran pencernaan
dan infeksi saluran nafas. ASI juga dapat meningkatkan kualitas hidup pada anak dan
juga kesehatan ibu melalui jarak kehamilan. Pada tahun 2001, Persatuan Kesehatan
Dunia (the World Health Assembly) mengeluarkan rekomendasi bahwa bayi harus
diberikan ASI secara eksklusif selama 6 bulan pertama dalam kehidupannya untuk
mendapatkan tingkat pertumbuhan, perkembangan serta kesehatan yang optimal.
Setelah itu, bayi juga harus mendapatkan makanan pendamping yang bergizi dan juga
aman selain ASI yang diberikan sampai usia 24 bulan (WHO, 2007)
Sejak awal pandemik HIV sampai 2006, 2.3 juta anak-anak di dunia berusia
kurang dari 15 tahun hidup dengan HIV. Diperkirakan sekitar 530.000 anak-anak
berusia kurang dari 15 tahun yang baru terinfeksi oleh HIV, hampir selalu disebabkan
oleh transmisi dari ibu kepada anak [mother-to-child transmission (MTCT)]. Seperti
yang dikemukakan sebelumnya bahwa ASI dapat memberikan dampak kesehatan
yang baik bagi bayi dan anak, namun HIV dapat ditularkan dari ibu yang positif HIV
kepada bayinya melalui proses menyusui. Di Afrika, HIV/AIDS merupakan penyebab
penting terjadinya kematian pada anak-anak dibawah usia lima tahun. Penurunan
transmisi ini (MTCT) merupakan salah satu perhatian para peneliti, tenaga kesehatan
professional, pembuat kebijakan dan juga para wanita dengan HIV positif di banyak
negara berkembang (WHO, 2007).
Panduan dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menitikberatkan pada
pentingnya menurunkan resiko transmisi HIV dari ibu ke bayinya, di lain pihak juga
meminimalkan resiko kesakitan maupun kematian terhadap bayi dengan diberikannya
makanan pengganti. Disebutkan bahwa “pemberian makanan pada bayi dari ibu
dengan HIV positif adalah disesuaikan dengan keadaan individual ibu itu sendiri,
termasuk didalamnya adalah keadaan kesehatan ibu tersebut, keadaan lingkungan dan
juga ketersediaan pelayanan dan konseling kesehatan dan juga dukungan yang
dibutuhkannya. ASI eksklusif direkomendasikan bagi ibu dengan HIV positif selama
6 bulan pertama kecuali jika tersedia makanan pengganti yang dapat diterima
(acceptable), tersedia (feasible), terjangkau (affordable), terpelihara (sustainable) dan
aman (safe). Bila makanan pengganti dapat memenuhi 5 kriteria tersebut maka
pemberian ASI tidak direkomendasikan (WHO, 2009).
BAB II
PEMBAHASAN
Infeksi HIV pada perempuan sudah terjadi sejak lama. Hubungan seksual
yang bebas masih merupakan modus utama terjadinya penularan HIV. Prevalensi
infeksi HIV bervariasi pada tiap daerah. Pada anak – anak di daerah SubSahara, 9
dari 10 anak diketemukan terinfeksi HIV. Di Asia seperti Kamboja, India, Indonesia
dan Thailand angka kejadian ibu hamil dengan HIV sekitar 1% - 5% . (UNAIDS,
2007). Penularan HIV juga meningkat pada wanita pasca melahirkan di Afrika
Selatan (3 dari 100 wanita). Selain itu 85% dari perempuan masih menyusui di 15
bulan dan 30% pada 21 bulan dalam populasi, infeksi postpartum baru kemudian
meningkatkan jumlah anak-anak terpajan HIV.
Tanpa pencegahan preventive, sekitar sepertiga dari bayi yg lahir dari ibu
dengan HIV positive mengalami MCTC selama kehamilan, masa melahirkan dan
proses menyusui. Pada ibu hamil, penularan dapat terjadi pada saat sebelum, selama
atau setelah melahirkan akan tetapi transmisi di awal kehamilan lebih jarang terjadi
(Rouzioux et al 1993). Tanpa intervensi khusus yang bertujuan untuk mengurangi
risiko penularan, diperkirakan ada pada berbagai tingkatan MCTC yaitu dari 15%
menjadi 25% di Eropa dan Amerika Serikat serta 25%-45% pada Negara
berkembang. Pada tahun 2001, 800.000 anak – anak di bawah usia 15 tahun tertular
HIV dan sekitar 90 % tertular melalui MTCT. Sekitar 15 – 25 % anak – anak lahir
sudah terinfeksi HIV, selama kehamilan dan proses kelahiran. Sedangkan 15 %
lainnya mengalami penularan melalui proses penyusuan. Keseluruhan resiko MTCT
dikaitkan dengan faktor virus, ibu dan bayi (Newell, 2001). Pada umumnya,
peningkatan kejadian HIV yang didapat oleh anak –anak dikarenakan peningkatan
maternal viral. Risiko penularan juga terjadi ketika seorang wanita tertular virus HIV
selama kehamilan ataupun menyusui.
Tabel 1. Perkiraan angka mutlak MTCT HIV dengan waktu transmisi, tanpa
intervensi
Tingkat penularan HIV (%)
Selama kehamilan 50 – 10 5 – 10 5 - 10
Selama persalinan 10 - 15 10 – 15 10 - 15
Selama 0 5 – 10 15 - 20
menyusui
Keseluruhan 15 - 25 20 – 35 30 - 45
Pada tahun 2009 sekitar 400.000 anak – anak di bawah usia 15 tahun
terinfeksi HIV, kebanyakan merupakan penularan dari ibu ke anak. Sekitar 90 %
infeksi MTCT terjadi di Afrika dimana AIDS mulai menjadi masalah bagi anak untuk
bertahan hidup. Pada Negara yang memiliki tingkat pendapatan tinggi MTCT dapat
dieliminasi secara bertahap dengan pemberian konseling, terapi retroviral, persalinan
aman dan ketersediaan pengganti ASI yang dapat dipersiapkan secara aman.
Strategi PBB untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke anak :
1. pencegahan HIV kepada masyarakat umum terutama pada wanita dan anak-
anak.
2. pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan pada perempuan terinfeksi HIV
3. pencegahan penularan HIV dari perempuan yang terinfeksi HIV dan bayi nya.
4. penyediaan perawatan, pengobatan dan dukungan untuk ibu terinfeksi HIV,
bayi dan keluarganya. Pedoman pelaksanaan pada skala nasional yang tersedia sesuai
dengan WHO/UNICEF, 2007.
B. Transmisi HIV melalui Pemberian ASI
Penting untuk menjelaskan perihal virus HIV pada ASI dan apakah
keberadaan virus HIV pada ASI akan mempengaruhi terjadinya transmisi tersebut,
bagaimanakah resistensi virus HIV pada ASI dan bagaimana cara virus tersebut
menular pada bayi. HIV dideteksi di ASI terdapat pada sel bebas dan sel asosiasi
kompartemen. Penelitian terakhir menggunakan DNA atau RNA polymerase chain
reaction assays untuk mengevaluasi HIV pada ASI.
Pada penelitian awal di Kenya, RNA ASI dengan HIV dideteksi sebanyak
39 % dari 75 spesimen (Lewis et al. 1998). Pada penelitian ini level virus pada ASI
sekitar 1 log lebih rendah daripada kadar ASI di plasma darah. meskipun beberapa
penelitian juga menyebutkan bahwa kompartemenisasi virus di ASI, ternyata
menunjukkan bahwa kadar yang lebih tinggi di ASI daripada di plasma. Variasi viral
pada darah dan ASI sangat jarang ditemukan, dengan mayoritas beberapa varian virus
HIV di ASI tidak terdeteksi di darah. Penelitian ini menyatakan bahwa beberapa virus
dalam ASI bereolikasi secara independent, pada kompartemen (kelenjar mammae).
Asal dari HIV di ASI masih belum jelas diketahui. Namun dapat dijelaskan bahwa
baik sel bebas maupun sel yang terjangkit HIV pada ASI bertanggungjawab terhadap
trasmisi ASI (Koulinska et al. 2006).
Risiko attributable dari transmisi HIV melalui ASI sangat sulit dilakukan
pengukuran karena kesulitan dalam membedakan transmisi intrapartum dari early
transmisión (transmisi melalui proses menyusui). Risiko penularan HIV melalui
penyusuan berkisar 15% ketika menyusui dilanjutkan ingá dua tahun atau lebih.
Ketika ibu terpapar HIV pasca melahirkan, perkiraan penularan HIV melalui proses
menyusui menjadi 29 %. Kebanyakan permulaan transmisi menyusui telah terjadi
pada masa awal penyusuian meskipun penularan terus terjadi selama kegiatan
menyusui berlangsung. Minggu pertama hingga 6 minggu setelah kelahiran
merupakan saat yang berisiko tinggi untuk terjadinya transmisi HIV, meskipun proses
transmisi belum diketahui dengan pasti, dan juga belum diketahui apakah colustrum
lebih berpotensi menjadi sumber transmisi dibanding ASI pada umumnya. Sedangkan
late postnatal transmisión dikatakan setelah bayi berumur 4 minggu atau lebih.
Salah satu faktor yang mempengaruhi risiko transmisi HIV dari ibu ke anak
baik dilihat dari aspek ibu maupun anak terkait dengan kondisi status gizi dan
pemberian makanan. Ibu dengan kondisi anemia dan ukuran lingkar lengan atas yang
di bawah normal berpengaruh terhadap transmisi HIV postnatal. Pola pemberian
makanan kepada bayi merupakan salah satu faktor yang paling berpengaruh terhadap
transmisi HIV melalui ASI. Terdapat penelitian menyatakan bahwa ada hubungan
antara pemberian ASI ekslusif selama 3 – 6 bulan dengan penurunan risiko transmisi
HIV dibanding komposisi pemberian ASI dan formula.
Ibu dengan HIV positif dihadapkan pada dua pilihan sulit, menyusui belum
mengerti tehnik menyusuinya sehingga ternjadi MTCT (Mother-to-Child
Transmission), tidak menyusui dan tidak AFASS sehingga bayi menjadi kurang gizi,
diare, atau pneumonia. Konseling pemberian makan bayi pada ibu HIV dapat
membantu ibu HIV menentukan pilihan yang terbaik untuk bayinya.
Risiko infeksi HIV pada anak – anak dapat dibandingkan dengan risiko kematian dan
kesakitan akibat infeksi karena diberi makanan non ASI yang tidak higienis. ASI
melindungi dari penyakit pernafasan, diare serta memberikan asupan gizi yang
penting bagi bayi. ASI juga bermanfaat bagi stimulasi perkembangan syaraf
(motorik) dan psikososial pada bayi serta menyembuhkan trauma ibu akibat
melahirkan.
WHO/UNAIDS/UNICEF memberikan petunjuk pemberian makan pada bayi, yaitu :
1. Bagi wanita yang tidak terinfeksi atau belum diketahui apakah terinfeksi
diutamakan perlindungan, promosi dan dukungan bagi pemberian ASI ekslusif.
Pemberian ASI selama 6 bulan, diikuti oleh kombinasi pemberian ASI dan makanan
secara bersamaan sampai 2 tahun atau lebih.
2. Semua ibu yang terinfeksi HIV seharusnya mendapat konseling, yang meliputi
pemberian informasi mengenai risiko dan keuntungan dari berbagai pilihan
pemberian makanan pada bayi (ASI atau formula) yang sesuai dengan situasi.
Dukungan kemudian diberikan kepada ibu yang telah menetapkan suatu cara tertentu
dalam pemberian makan pada bayinya.
3. Ketika syarat AFFAST (acceptable, feasible, affordable, sustainable and safe,
belum terpenuhi maka dianjurkan pemberian ASI ekslusif khususnya pada satu bulan
pertama.
4. Ibu dengan HIV positive seharusnya diberi pengetahuan bahwa mereka telah
melakukan teknik penyusuan yang benar untuk mencegah kondisi seperti mastitis,
abses pada payudara
5. Untuk meminimalisir risiko transmisi HIV, pemberian ASI seharusnya
memperhatikan menurut keadaan, dan syarat AFFAS
6. Ibu yang terinfeksi HIV seharusnya diberikan petunjuk yang spesifik dan didukung
untuk mencegah hal – hal yang membahayakan kesehatan dan kondisi psikologis
7. Ketika ibu dengan HIV memilih menyusui lalu berhenti, seharusnya sudah
diberikan petunjuk mengenai perawatan bayi pada dua tahun pertama untuk
menyakinkan kecukupan gizi pada bayi
8. Wanita dengan HIV seharusnya mendapat akses informasi yang baik, follow up
perwatan kesehatan dan dukungan kesehatan.
UNICEF dan WHO memberikan pelatihan kepada lebih dari 100 konselor
ASI dan HIV mengenai cara pemberian makan untuk bayi. Telah dilatih 1000
konselor untuk mendukung pemberian makan pada bayi. UNICEF mendukung negara
– negara seperti : Botswana, Uganda, India, dan Guyana. Pada akhir 2001, sekitar
15.000 fasilitas kesehatan akan didirikan di seluruh dunia dan dideklarasikan sebagai
” Baby Friendly Hospital Initiative”. Di Afrika Selatan, penelitian dikhususkan untuk
menemukan metode praktis untuk mempasteurisasi ASI (flash heating) dan
kemungkinan penggunaan Bank ASI.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan yang dibutuhkan bayi. Pada bayi dari ibu
dengan HIV positif ASI juga memberikan dampak kesehatan yang signifikan kepada
bayi seperti menurunkan tingkat kematian dan kesakitan, memperlambat penurunan
berat badan (pertumbuhan) dan juga menurunkan tingkat transmisi HIV postnatal.
Namun masih adanya kemungkinan untuk terjadinya transmisi HIV dari ibu kepada
bayinya, maka pemberian ASI pada bayi dari ibu dengan HIV positif hendaknya
mengikuti saran dan aturan yang dianjurkan.
2. WHO merekomendasikan pemberian ASI untuk bayi dari ibu HIV positif,
pemberian susu formula hanya apabila ibu memenuhi kriteria AFASS (Acceptable,
Feasible, Affordable, Sustainable, dan Safe), apabila satu syaratnya tidak terpenuhi,
maka menyusui eksklusif solusinya.