Anda di halaman 1dari 15

Perdarahan Post Partum et causa Atonia Uteri

Reynaldo
10.2011.197
Jl. Mandala Tengah no. 25 Tomang
reynaldo26@windowslive.com
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA 2014

Pendahuluan
Perdarahan merupakan penyebab kematian nomor satu (40-60%) kematian ibu
melahirkan di Indonesia. Perdarahan post partum adalah kehilangan darah melebihi
500 ml yang terjadi setelah bayi lahir. Perdarahan pasca persalinan dibagi menjadi
perdarahan post partum primer dan sekunder. Perdarahan post partum primer terjadi
dalam 24 jam pertama. Sedangkan perdarahan post partum sekunder terjadi setelah 24
jam pertama. Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan post partum
dini (50%) da merupakan alasan paling sering untuk melakukan histerektomi
perpartum. Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol
perdarahan setelah melahirkan. Atonia uteri terjadi karena kegagalan mekanisme ini.
Perdarahan post aprtum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serabut-serabut
miometrium yang mengelilingi pembuluh darah yang menvaskularisasi daerah
implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi apalbila serabut-serabut miometrium tersebut
tidak berkontraksi.

ISI
Anamnesis
Secara umum anamnesa pada pasien ginekologi sama dengan anamnesa lain
dalam ilmu kedokteran. Berikut adalah pertanyaan-pertanyaan yang perlu ditanyakan
kepada pasien yakni sebagai berikut :1,2
1. Identitas, meliputi : nama pasien, nama suami atau keluarga terdekat, alamat,
agama, pendidikan terakhir, suku bangsa.
2. Keluhan Utama : adakah keluar cairan dari vagina, kalau ada apa warnanya,
ada darah, berapa banyak, adakah gatal pada vulva, serta keluhan didaerah
abdomen seperti pembesaran, lokasi, rasa tidak enak atau rasa nyeri.

3. Riwayat menstruasi meliputi: kapan hari pertama haid terakhir, menarche


umur berapa, apakah haid teratur, siklus haid, berapa lama, nyeri haid,
perdarahan antara haid.
4. Riwayat kehamilan : berapa kali hamil, adakah komplikasi pada kehamilan
terdahulu, apakah pernah keguguran, berapa kali, umur kehamilan.
5. Riwayat perkawinan : berapa kali menikah, pernikahan sekarang sudah berapa
lama.
6. Riwayat penyakit pasien : penyakit berat yang pernah diderita pasien, operasi
didaerah perut dan alat kandungan.
7. Riwayat penyakit keluarga : penyakit pada anggota yang berhubungan dengan
penyakit herediter
8. Sistem lain : apakah Bak dan BAB lancar, keluhan sistem lain
9. Riwayat antenatal care meliputi: dimana tempat pelayanan, beberapa kali,
perawatan serta pengobatannya yang didapat.
Pemeriksaan
1. Pemeriksaan tanda-tanda vital: 1,2
Suhu badan. Suhu biasanya meningkat sampai 380 C dianggap normal.
Setelah satu hari suhu akan kembali normal (36 0 C 370 C), terjadi
penurunan akibat hipovolemia.
Denyut nadi. Nadi akan meningkat cepat karena nyeri, biasanya terjadi
hipovolemia yang semakin berat.
Tekanan darah. Tekanan darah biasanya stabil, memperingan
hipovolemia.
Pernafasan. Bila suhu dan nadi tidak normal, pernafasan juga menjadi
tidak normal.
2. Pemeriksaan fisik: 1,2
Pucat, dapat disertai tanda-tanda syok, tekanan darah rendah, denyut nadi
cepat, kecil, ekstremitas dingin serta tampak darah keluar melalui vagina terus
menerus
3. Pemeriksaan obstetri: 1,2
Mungkin kontraksi usus lembek, uterus membesar bila ada atonia uteri.

Bila kontraksi uterus baik, perdarahan mungkin karena luka jalan lahir.
Tinggi fundus
Segera setelah placenta lahir, tinggi fundus setingi pusat, kemudian
berangsur mengecil. Kalau tinggi fundusnya masih sama seperti saat
melahirkan (di atas pusat) curigai atonia uteri. Kalau perutnya teraba
keras dan pasien sangat kesakitan berarti dicurigai ruptur uteri.

4. Pemeriksaan ginekologi: 1,2


Dilakukan dalam keadaan baik atau telah diperbaiki, dapat diketahui

kontraksi uterus, luka jalan lahir dan retensi sisa plasenta.


Periksa in spekulo: apakah ada luka jalan lahir atau tidak, kemudian
lihat sumber perdarahannya apakah dari dalam corpus uteri atau dari
jalan lahir

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan sejak periode antenatal.
Kadar hemoglobin di bawah 10 g/dL berhubungan dengan hasil
kehamilan yang buruk.
b. Pemeriksaan golongan darah dan tes antibodi harus dilakukan sejak
periode antenatal.
o Perlu dilakukan

pemeriksaan

faktor

koagulasi

seperti

waktu

perdarahan dan waktu pembekuan (BT, CT, PT dan aPTT).


2. Pemeriksaan radiologi
a. Onset perdarahan post partum biasanya sangat cepat. Dengan diagnosis
dan penanganan yang tepat, resolusi biasa terjadi sebelum pemeriksaan
laboratorium

atau

radiologis

dapat

dilakukan.

Berdasarkan

pengalaman, pemeriksaan USG dapat membantu untuk melihat adanya


darah dan retensio sisa plasenta.

Differential Diagnoses
Pendarahan postpartum e.c. robekan jalan lahir
Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan trauma.
Pertolongan persalinan yang semakin manipulatif dan traumatik akan memudahkan
robekan jalan lahir dan karena itu dihindarkan memimpin persalinan pada saat
pembukaan serviks belum lengkap. Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomi,
robekan spontan perineum, trauma forseps atau vakum ekstraksi, atau karena versi
ekstraksi.

Robekan yang terjadi bisa ringan (lecet, lacerasi), luka episiotomi, robekan perineum
spontan derajat ringan sampai ruptur perinei totalis (sfingter ani terputus), robekan
pada dinding vagina, forniks uteri, serviks, daerah sekitar klitoris dan uretra dan
bahkan, yang terberat, ruptura uteri. Oleh karena itu, pada setiap persalinan,
hendaklah dilakukan inspeksi yang teliti untuk mencari kemungkinan adanya robekan
ini. Perdarahan yang terjadi pada saat kontraksi uterus baik, biasanya, karena ada
robekan atau sisa plasenta. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara melakukan
inspeksi pada vulva, vagina, dan serviks dengan memakai spekulum untuk mencari
sumber perdarahan dengan ciri warna darah yang merah segar dan pulsatif sesuai
dengan denyut nadi. Perdarahan karena ruptura uteri dapat diduga pda persalinan
macet atau kasep, atau uterus dengan lokus minoris resistensia dan adanya atonia uteri
dan taanda cairan bebas intraabdominal. Semua sumber perdarahan yang terbuka
harus diklem, diikat dan luka ditutup dengan jahitan cat-gut lapis demui lapis sampai
perdarahan berhenti.
Teknik penjahitan memerlukan asisten, anestesi lokal, penerangan lampu yang cukup
serta pspekulum dan memperhatikan kedalaman luka. Bila penderita kesakitan dan
tidak kooperatif, perlu mengundang sejawat anestesi untuk ketenangan dan keamanan
saat melakukan hemostatis. 4
Pendarahan postpartum e.c. retensio plasenta
Bila plasenta tetap tertingggal dalam uterus setengah jam setengah anak lahir disebut
sebagai retensio plasenta. Plasenta yang sukar dilepaskan dengan pertolongan aktif
kala tiga bisa disebabkan oleh adhesi yang kuat antara plasenta dan uterus. Disebut
sebagai plasenta akreta bila implantasi menembus membran desidua basalis dan
Nitabuch layer, disebut sebagai plasenta inkreta bila plasienta sampai menembus
miometrium dan disebut plasenta perkreta bila vili korialis sampai menembus
perimetrium.
Faktor predisposisi terjadinya plasenta akreta adalah plasenta previa, bekas
seksio sesarea, pernah kuret berulang dan multiparitas. Bila sebagian kecil dari
plasenta masih tertinggal dalam uterus disebut rest placenta dan dapat menimbulkan
perdarahan postpartum primer atau (lebih sering) sekunder. Proses kala III didahului
dengan tahap pelepasan/ separasi plasenta akan ditandai oleh perdarahan pervaginam
(cara pelepasan Duncan) atau plasenta sudah sebagian lepas tetapi tidak keluar
4

pervaginam (cara pelepasan Schultze), sampai akhirnya tahap ekspulsi, plasenta lahir.
Pada retensio plasenta, sepanjang plasenta belum terlepas, maka tidak akan
menimbulkan perdarahan. Sebagian plasenta yang sudah lepas dapat menimbulkan
perdarahan yang cukup banyak (perdarahan kala III) dan harus diantisipasi dengan
segera melakukan placenta manual, meskipun kala uri belum lewat setengah jam.
Sisa plasenta bila diduga bila kala uri berlangsung tidak lancar, atau setelah
melakukan plasenta manual atau menemukan kotiledon yang tidak lengkap pada saat
melakukan pemeriksaan plasenta dan masih ada perdarahan dari ostium uteri
eksternum pada saat kontraksi rahim sudah baik dan robekan jalan lahir sudah terjahit.
Untuk itu, harus dilakukan eksplorasi ke dalam rahim dengan cara manual/ digital atu
kuret dan pemberian uterotonika. Anemia yang ditimbulkan setelah perdarahan dapat
diberi transfusi darah sesuai dengan keperluannya. 4
Faktor risiko, mencakup pembedahan uterus sebelumnya, plasenta previa,
kebiasaan merokok dan multiparitas grande. Plasenta previa berhubungan dengan 5%
insiden akreta yang meningkat menjadi 10-24% dengan adanya plasenta previa dan
dua atau lebih bedah sesar sebelumnya.

Pendarahan postpartum e.c. gangguan pembekuan darah


Penyebab pendarahan postpartum karena gangguan pemberkuan darah baru dicurigai
bila penyebab yang lain dapat disingkirkan apalagi disertai ada riwayat pernah
mengalami hal yang sama pada persalinan sebelumnya. Akan ada tendensi mudah
terjadi perdarahan setiap dilakukan penjahitan dan perdarahan akan merembes atau
timbul hematoma pada bekas jahitan, suntikan, perdarahan dari gusi, rongga hidung,
dan lain-lain.
Pada pemeriksaan penunjang ditemukan hasil pemeriksaan faal hemostasis yang
abnormal. Waktu perdarahan dan waktu pembekuan memanjang, trombositopenia,
terjadi hipofibrinogenemia, dan terdeteksi adanya FDP (Fibrin Degradation Product)
serta perpanjangan tes protrombin dan PTT (Partial Thromboplastin Time).
Predisposisi untuk terjadinya hal ini adalah solusio plasenta, kematian janin dalam
kandungan, eklampsia, emboli cairan ketuban, dan sepsis. Terapi yang dilakukan
adalah dengan transfusi darah dan produknya seperti plasma beku segar, trombosit,
fibrinogen dan heparinisasi atau pemberian EACA (Epsilon Amino Caproic Acid). 4

Working diagnose
Berdasarkan scenario dapat disimpulkan bahwa Nyonya D sedang berada dalam kala
IV, dan mengalami perdarahan post partum. Namun perdarahan post partum juga
dapat disebabkan oleh banyak hal, namun yang mendekati dari sekanrio adalah
perdarahan post partum et causa atonia uteri dengan derajat syok ringan karena
konsistensi fundus kenyal, dan tekanan darahnya turun antaraa 80-100 mmHg. Namun
memang untuk diagnosis ini masih sangat kasar karena masih sangat kekurangan data
khususnya hasil-hasil pemeriksaan fisik dan penunjang.
Tabel 1. Penilaian Klinik untuk Menentukan Penyebab Perdarahan Post Partum
Gejala dan Tanda

Penyulit

-Uterus tidak berkontraksi dan -Syok


lembek.

Diagnosis Kerja
Atonia uteri

-Bekuan darah pada serviks atau posisi

-Perdarahan segera setelah anak telentang akan menghambat aliran darah


lahir
keluar
-Darah segar mengalir segera -Pucat
setelah bayi lahir

-Lemah

-Uterus berkontraksi dan keras

-Menggigil

-Plasenta lengkap
-Plasenta belum lahir setelah 30 -Tali pusat putus akibat traksi berlebihan
menit

-Inversio uteri akibat tarikan

-Perdarahan segera

-Perdarahan lanjutan

Robekan jalan lahir

Retensio plasenta

-Uterus berkontraksi dan keras


-Plasenta atau sebagian selaput -Uterus berkontraksi tetapi tinggi fundusRetensi sisa plasenta
tidak lengkap

tidak berkurang

-Perdarahan segera
Pendarahan Post Partum
Pendarahan postpartum adalah pendarahan yang masif yang berasal dari
tempat implantasi plasenta, robekan pada jalan lahir dan jaringan sekitarnya dan
merupakan salah satu penyebab kematian ibu di samping perdarahan karena hamil
ektopik dan abortus. Definisi perdarahan postpartum adalah pendarahan yang terjadi
segera setelah persalinan melebihi 500 cc. 4,6,8,9

Pada praktisnya tidak perlu mengukur jumlah perdarahan sampai sebanyak 500 ml
atau lebih, sebab menghentikan perdarahan lebih dini jauh lebih penting karena dapat
memberikan prognosis yang lebih baik. Pada umumnya bila terdapat perdarahan yang
lebih dari normal, apalagi telah menyebabkan perubahan tanda vital (seperti
kesadaran menurun, pucat, berkeringat dingin, sesak nafas, serta tensi < 90 mmHg
dan nadi > 100/menit, maka penanganan harus segera dilakukan.
Pendarahan postpartum bukanlah suatu diagnosis akan tetapi suatu kejadian yang
harus dicari kausalnya, mungkin karena atonia uteri, robekan jalan lahir, sisa plasenta,
atau karena gangguan pembekuan darah. Sifat perdarahannya bisa banyak,
bergumpal-gumpal sampai menyebabkan syok atau terus merembes sedikit demi
sedikit tanpa henti.
Pendarahan postpartum dapat menyebabkan kematian ibu 45% yang terjadi pada 24
jam pertama setelah bayi lahir, 68-73% dalam satu minggu setelah bayi lahir, dan 8288% dalam dua minggu setelah bayi lahir.
Etiologinya dapat dibedakan atas :
1. Perdarahan dari tempat implantasi plasenta
Hipotoni sampai atonia uteri
o Akibat anestesi
o Distensi berlebihan (gemeli, anak besar, hidramnion)
o Partus lama, partus kasep
o Partus presipitatus/ partus terlalu cepat
o Persalinan karena induksi oksitosin
o Multiparitas
o Korioamnionitis
o Pernah atonia sebelumnya
Sisa plasenta
o Kotiledon atau selaput ketuban tersisa
o Plasenta susenturiata
o Plasenta akreta, inkreta, perkreta
2. Perdarahan karena robekan
Episotomi yang melebar
Robekan pada perineum, vagina, dan serviks
Ruptura uteri
3. Gangguan koagulasi
Jarang terjadi tetapi bisa memperburuk keadaan di atas, misalnya pada
kasus trombofilia, sindroma HELLP, preeklampsia, solusio plasenta,
kematian janin dalam kandungan, dan emboli air ketuban.3
Berdasarkan saat terjadinya pendarahan postpartum dapat dibagi menjadi
bentuk pendarahan postpartum primer dan pendarahan postpartum sekunder.
7

Pendarahan postpartum primer adalah perdarahan yang berlangsung dalam 24


jam pertama jumlah darah 500 cc atau lebih. Pendarahan postpartum primer ini dapat
disebabkan oleh atonia uteri, retensio plasenta (sisa sebagian plasenta), dan robekan
jalan lahir yang meliputi ruptura uteri inkomplet atau komplet, hematoma
parametrium, perlukaan servikal, perlukaan vagina atau vulva, serta perlukaan
perineum. Dalam kasus yang jarang, bisa karena inversio uteri.
Pendarahan postpartum sekunder adalah perdarahan postpartum setelah 24 jam
pertama dengan jumlah darah 500 cc atau lebih. Pendarahan postpartum sekunder ini
dapat disebabkan oleh karena tertinggalnya sebagian plasenta atau membrannya,
perlukaan terbuka kembali dan menimbulkan pendarahan, serta infeksi pada tempat
implantasi plasenta.
Jumlah perdarahan yang diperkirakan terjadi sering hanya 50% dari jumlah darah
yang hilang. Perdarahan yang aktif dan merembes terus dalam waktu lama saat
melakukan prosedur tindakan juga bisa menyebabkan perdarahan postpartum. Oleh
karena itu, perlu dilakukan pemeriksaan Hb dan hematokrit untuk memperkirakan
jumlah perdarahan yang terjadi saat persalinan dibandingkan dengan keadaan
prapersalinan.

Pendarahan postpartum et causa atonia uteri


Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus/ kontraksi rahim yang menyebabkan
uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta
setelah bayi dan plasenta lahir. 4,6,8,9Atonia uteri juga merupakan penyebab tersering
dari perdarahan pasca persalinan. Perdarahan oleh karena atonia uteri dapat dicegah
dengan :3
1. Melakukan secara rutin manejemen aktif kala III pada semua wanita yang
bersalin karena hal ini dapat menurunkan insidens perdarahan pascapersalinan
akibat atonia uteri
2. Pemberian misoprostol peroral 2-3 tablet (400-600 mikrogram) segera setelah
bayi lahir
Etiologi
Etiologi pendarahan postpartum adalah sebagai berikut :

1. Otot uterus tidak mengalami retraksi dan kontraksi yang kuat sehingga
pembuluh darah terbuka.
2. Menimbulkan perdarahan yang banyak dalam waktu yang singkat.
3. Terjadinya atonia uteri mempunyai predisposisi yang dapat diperkirakan.
Faktor Predisposisi
Faktor predisposisinya adalah sebagai berikut. 4,6,7
1. Regangan rahim berlebihan karena kehamilan gemeli, polihidramion, atau
anak terlalu besar.
2. Persalinan lama atau persalinan kasep : kelemahan akibat partus lama bukan
hanya rahim yang lemah, cenderung berkontraksi lemah setelah melahirkan,
tetapi juga ibu yang keletihan kurang bertahan terhadap kehilangan darah.
3. Kehamilan grande-multipara : uterus yang lemah banyak melahirkan anak
cenderung bekerja tidak efisien dalam semua kala persalinan.
4. Pembesaran uterus berlebihan (hidramnion, hamil ganda, anak besar dengan
BB > 4000 gr).
5. Anestesi yang dalam dan lama menyebabkan terjadinya relaksasi miometrium
yang berlebihan, kegagalan kontraksi dan retraksi menyebabkan atonia uteri
dan perdarahan postpartum.
6. Ibu dengan keadaan umum yang jelek, anemis, atau menderita penyakit
menahun.
7. Mioma uteri yang menggangu kontraksi rahim.
8. Infeksi intrauterin (korioamnionitis),
9. Ada riwayat pernah atonia uteri sebelumnya.
Epidemiologi
Kehamilan yang berhubungan dengan kematian maternal secara langsung di
Amerika Serikat diperkirakan 7 10 wanita tiap 100.000 kelahiran hidup. Data
statistik nasional Amerika Serikat menyebutkan sekitar 8% dari kematian ini
disebabkan oleh perdarahan post partum. Di negara industri, perdarahan post partum
biasanya terdapat pada 3 peringkat teratas penyebab kematian maternal, bersaing
dengan embolisme dan hipertensi. Di beberapa negara berkembang angka kematian
maternal melebihi 1000 wanita tiap 100.000 kelahiran hidup, dan data WHO
menunjukkan bahwa 25% dari kematian maternal disebabkan oleh perdarahan post
partum dan diperkirakan 100.000 kematian matenal tiap tahunnya.
Di Indonesia, Sebagian besar persalinan terjadi tidak di rumah sakit, sehingga
sering pasien yang bersalin di luar kemudian terjadi perdarahan post partum terlambat
9

sampai ke rumah sakit, saat datang keadaan umum/hemodinamiknya sudah


memburuk, akibatnya mortalitas tinggi. Menurut Depkes RI, kematian ibu di
Indonesia (2002) adalah 650 ibu tiap 100.000 kelahiran hidup dan 43% dari angka
tersebut disebabkan oleh perdarahan post partum.
Patofisiologi
Dalam persalinan pembuluh darah yang ada di uterus melebar untuk
meningkatkan sirkulasi ke sana, atoni uteri dan subinvolusi uterus menyebabkan
kontraksi uterus menurun sehingga pembuluh darah yang melebar tadi tidak menutup
sempurna sehingga perdarahan terjadi terus menerus. Trauma jalan lahir seperti
epiostomi yang lebar, laserasi perineum, dan rupture uteri juga menyebabkan
perdarahan karena terbukanya pembuluh darah, penyakit darah pada ibu; misalnya
afibrinogemia atau hipofibrinogemia karena tidak ada atau kurangnya fibrin untuk
membantu proses pembekuan darah juga merupakan penyebab dari perdarahan
postpartum. Perdarahan yang sulit dihentikan bisa mendorong pada keadaan shock
hemoragik.
Tanda dan gejala
Diagnosis ditegakkan setelah bayi dan plasenta lahir tenyata perdarahan masih
aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan fundus uteri masih setinggi
pusat atau lebih dengan kontraksi yang lembek. Perlu diperhatikan pada saat atonia
uteri didiagnosis, maka pada saat itu juga masih ada darah sebanyak 500-1000 cc
yang sudah keluar dari pembuluh darah, tetapi masih terperangkap dalam uterus dan
harus diperhitungkan dalam kalkulasi pemberian darah pengganti. 4,6
Penatalaksanaan
Banyaknya darah yang hilang akan mempengaruhi keadaan umum pasien. Pasien bisa
masih dalam keadaan sadar, sedikit anemis, atau sampai syok berat hipovolemik.
Tindakan pertama yang harus dilakukan bergantung pada keadaan kliniknya. Pada
umumnya dilakukan secara simuktan (bila pasien syok) hal-hal sebagai berikut : 4,6
1. Sikap Trendelenburg, memasang venous line, dan memberikan oksigen.
2. Sekaligus merangsang kontraksi uterus dengan cara :
a. Masase fundus uteri dan merangsang puting susu.
b. Pemberian oksitosin dan turunan ergot melalui suntikan secara i.m.,
i.v., atau s.c.
10

c. Memberikan derivat prostaglandin F2 (carboprost tromethamine)


yang kadang memberikan efek samping berupa diare, hipertensi, mual
muntah, febris, dan takikardia. Diberikan jika keadaan uterus tidak
respon terhadap oksitosin / ergometrin, bisa dicoba prostaglandin F2a
(250 mg) secara intramuskuler atau langsung pada miometrium
(transabdominal). Bila perlu pemberiannya dapat diulang dalam 5
menit dan tiap 2 atau 3 jam sesudahnya.

d. Pemberian misoprostol 800-1.000 g per-rektal.


e. Kompresi bimanual eksternal dan/ atau internal. Bila berhasil
pertahankan selama 24 jam.
Kompresi bimanual eksternal
Menekan uterus melalui dinding abdomen dengan jalan saling
mendekatkan kedua belah telapak tangan yang melingkupi
uterus. Pantau aliran darah yang keluar. Bila perdarahan
berkurang, kompresi diteruskan, pertahankan hingga uterus
dapat kembali berkontraksi. Bila belum berhasil dilakukan
kompresi bimanual internal
Kompresi bimanual internal
Uterus ditekan di antara telapak tangan pada dinding abdomen
dan tinju tangan dalam vagina untuk menjepit pembuluh darah
di

dalam

miometrium

(sebagai

pengganti

mekanisme

kontraksi). Perhatikan perdarahan yang terjadi. Pertahankan


kondisi ini bila perdarahan berkurang atau berhenti, tunggu
hingga uterus berkontraksi kembali. Apabila perdarahan tetap
terjadi , coba kompresi aorta abdominalis.
f. Kompresi aorta abdominalis.
Raba arteri femoralis dengan ujung jari tangan kiri,
pertahankan posisi tersebut,genggam tangan kanan kemudian
tekankan pada daerah umbilikus, tegak lurus dengan sumbu
badan, hingga mencapai kolumna vertebralis. Penekanan yang
tepat akan menghentikan atau sangat mengurangi denyut arteri
femoralis. Lihat hasil kompresi dengan memperhatikan
perdarahan yang terjadi

11

g. Pemasangan tampon kondom, kondom dalam kavum uteri


disambung dengan kateter, difiksasi dengan karet gelang dan diisi
cairan infus 200 ml yang akan mengurangi perdarahan dan
menghindari tindakan operatif.
3. Bila semua tindakan itu gagal, maka dipersiapkan untuk dilakukan tindakan
operatif laparotomi dengan pilihan bedah konservatif (mempertahankan
uterus) atau melakukan histerektomi. Laparotomi dilakukan bila uterus tetap
lembek dan perdarahan yang terjadi tetap > 200 mL/jam. Tujuan laparotomi
adalah meligasi arteri uterina atau hipogastrik (khusus untuk penderita yang
belum punya anak atau muda sekali). Bila tak berhasil, histerektomi adalah
langkah terakhir.

Gambar 1. Kompresi Bimanual Internal.


Komplikasi Perdarahan Postpartum
Perdarahan postpartum merupakan penyebab kematian maternal yang cukup tinggi di
negara berkembang, oleh karena beberapa faktor sosial, ekonomi, dan budaya.
Kematian maternal akibat perdarahan postpartum sekitar 4 kali lipat perdarahan
antepartum.
Komplikasi perdarahan postpartum yang harus diperhitungkan adalah :
1. Syok hipovolemik.
Akibat terjadinya perdarahan, ibu akan mengalami syok dan menurunnya
kesadaran akibat banyaknya darah yang keluar. Hal ini menyebabkan
gangguan sirkulasi darah ke seluruh tubuh dan dapat menyebabkan
hipovolemia berat. Apabila hal ini tidak ditangani dengan cepat dan tepat,

12

maka akan menyebabkan kerusakan atau nekrosis tubulus renal dan


selanjutnya merusak bagian korteks renal yang dipenuhi 90% darah di ginjal.
Bila hal ini terus terjadi maka akan menyebabkan ibu tidak terselamatkan.
2. Mudah terjadi komplikasi infeksi terutama akibat perdarahan yang berasal dari
trauma jalan lahir.
3. Sindroma Sheehan :
a. Terjadinya atrofi dan nekrosis dari master of gland, kelenjar hipofisis
dengan berbagai tingkayannya.
b. Gambaran gejala penuh digambarkan sebagai berikut.
Amenorrrhea
Gagal memberikan laktasi karena payudara atropi
Hilangnya bulu sebagai tanda seksual sekunder pada pubis dan
ketiak.
Gangguan

kelenjar

lainnya

seperti

hipotiroidisme,

dan

insufisiensi kelenjar adrenal.


c. Patogenesisnya tidak diketahui dengan pasti, tetapi terjadi gangguan
sekresi hormon tropik pada kelenjar sehingga mengalami gangguan.
d. Gangguan klinik sesuai dengan fungsi hormonalnya.
e. Sindrom Sheehan dapat terjadi perdarahan antepartum dan postpartum
Whitehead (1963) menemukan terjadi atrofi dan nekrosis sel
tertentu pada master of gland Hipophise sehingga pengeluaran
hormon tropik terganggu.
f. Anemia berkepanjangan
Terjadinya ganggguan untuk dapat pulih kembali
Memerlukan waktu yang panjang
Namun dengan kemajuan IpTekDok, ini komplikasi yang terjadi sebagai
akibat perdarahan postpartum makin berkurang seiring dengan berkurangnya
perdarahan postpartum.4,7
Prognosis
Prognosis dipengaruhi dari seberapa cepat tindakan yang dilakukan. Jika semakin
lama tindakannya maka prognosisnya menjadi buruk karena hasil survei kematian
sangat tinggi.
Pencegahan
Klasifikasi kehamilan risiko rendah dan risiko tinggi akan memudahkan
penyelenggara pelayanan kesehatan untuk menata strategi pelayanan ibu hamil saat
perawatan antenatal dan melahirkan dengan mengatur petugas kesehatan mana yang

13

sesuuai dan jenjang rumah sakit rujukan. Akan tetapi, pada proses persalinan, semua
kehamilan mempunyai risiko untuk terjadinya patologi persalinan, salah satunya dalah
perdarahan postpartum. Antisipasi terhadap hal tersebut dapat dilakukan sebagai
berikut.
1. Persiapan sebelum hamil untuk memperbaiki keadaan umum dan mengatasi
setiap penyakit kronis, anemia, dan lain-lain sehingga pada saat hamil dan
persalinan pasien tersebut ada dalam keadaan optimal.
2. Mengenal faktor predisposisi perdarahan postpartum seperti multiparitas, anak
besar, hamil kembar, hidramnion, bekas seksio, ada riwayat perdarahan
postpartum sebelumnya dan kehamilan risiko tinggi lainnya yang risikonya
akan muncul saat persalinan.
3. Persalinan harus selesai dalam waktu 24 jam dan pencegahan partus lama.
4. Kehamilan risiko tinggi agar melahirkan di fsilitas rumah sakit rujukan.
5. Kehamilan risiko rendah agar melahirkan di tenaga kesehatan terlatih dan
menghindari persalinan dukun.
6. Menguasai langkah-langkah pertolongan pertama menghadapi perdarahan
postpartum dan mengadakan rujukan sebagaimana mestinya.
Kesimpulan
Dari hasil pemeriksaan yang telah dipaparkan dalam skenario, jelas sekali
bahwa ibu ini mengalami perdarahan post partum. Terlihat dari perdarahan yang terus
mengalir dan pasien sudah dalam keadaan pucat dan setengah sadar. Penyebab dari
perdarahan yang terjadi harus segera diidentifikasi sehingga perdarahan bisa
dihentikan. Pada kasus ini, fundus uteri setinggi pusat dan konsistensi kenyal.
Diagnosa yang bisa ditegakkan adalah perdarahan post partum et causa atonia uteri.
Penanganan yang dilakukan harus segera dan cepat karena dari perdarahan yang terus
mengalir akan bisa berlanjut pada keadaan ibu yang syok. Pada perdarahan yang
diakibatkan dari robekan (baik jalan lahir atau saluran genitalia), bisa dilakukan
penjahitan sehingga luka tertutup.

Daftar Pustaka
1. Anamnesis dan Pemeriksaan fisik. Dalam: Norwitz E, Schorge JO. At a glance
obstetric dan ginekologi. Edisi II. Jakarta : Erlangga, 2008.h. 9.
2. Bickley LS. Buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan. Edisi ke-8.
Jakarta : EGC,2009.h.389-415.

14

3. Manuaba I. Penuntun Kepaniteraan Klinik obstetri dan ginekologi. Ed. 2.


Jakarta : EGC, 2003.h.59.
4. Saifuddin AB, Rachimhadhi T, Wiknkosastra GH. Ilmu kebidanan Sarwono
Prawirohardjo. Edisi ke-4. Jakarta : PT Bina Pustaka.h.522-9.
5. Norwitz E. Schorge J. At a Glance Obstetri dan Ginekologi. Ed 2. Jakarta :
Erlangga Medical Series, 2007.h.34-5.
6. Cunningham FG, et all. Obstetri Williams. Edisi ke-23. Volume 2. Jakarta :
EGC, 2012.h.797-9.
7. Prawirohardjo S. Ilmu Bedah Kebidanan. Ed 1. Jakarta : PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirahardjo, 2011.h.188-97.

15

Anda mungkin juga menyukai