Anda di halaman 1dari 16

9

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Human Immunodeficiency Virus (HIV)

Human immunodeficiency virus merupakan golongan retrovirus rantai tunggal,

subkelompok lentivirus. Retrovirus dapat menggunakan RNA dan DNA host

untuk membuat DNA virus serta diketahui memiliki masa inkubasi yang

panjang (Calles, dkk., 2010). Saat ini dikenal 2 serotipe virus HIV, yaitu HIV-1

dan HIV-2. Serotipe virus HIV-1 dikenal sebagai penyebab utama AIDS di

seluruh dunia (Campbell-Yesufu dan Gandhi, 2011; Sleasman dan Goodenow,

2003), sedangkan HIV-2 lebih berhubungan dengan simian immunodeficiency

virus (SIV) pada simpanse (Sleasman dan Goodenow, 2003).

Target utama HIV adalah sel yang mengekspresikan molekul CD4+ yaitu,

limfosit T CD4+ (sel T CD4) dan monosit atau makrofag. HIV mengikat target

CD4 dengan reseptor kemokin seluler (CCR5 atau CXCR4), menyebabkan fusi

membran dengan dinding sel host yang menyebabkan virus masuk ke dalam

sel. Sel CD4+ pada saluran cerna merupakan target utama, dan virus menyebar

luas segera setelah infeksi, termasuk ke sistem saraf pusat. Infeksi sel T CD4

diikuti dengan replikasi virus, pelepasan virion HIV dan kematian sel T CD4.

Hal ini menyebabkan deplesi sel T CD4 dan gangguan imunitas seluler, yang

merupakan ciri khas imunodefisiensi yang berhubungan dengan HIV (Siberry,

2014; Craig, dkk., 2011).


10

Gambar 2.1 Proses masuknya virus HIV ke dalam sel target


(Craig, dkk., 2011)

Kasus infeksi HIV didefinisikan sebagai individu dengan infeksi HIV

tanpa memperhatikan stadium klinis, yang dikonfirmasi dengan kriteria

laboratorium berdasarkan definisi dan persyaratan tiap negara. Infeksi HIV

pada anak-anak didiagnosis berdasarkan hasil positif pada tes virologi atau

komponennya (RNA-HIV atau DNA-HIV atau antigen p24 HIV) yang

dikonfirmasi oleh hasil tes virologi kedua yang didapatkan dari pemeriksaan

yang terpisah yang dilakukan pada lebih dari 4 minggu setelah kelahiran. Bayi

dikatakan 95% tidak menderita infeksi HIV jika didapatkan hasil negatif pada

tiga kali pemeriksaan virologi (saat lahir, usia satu bulan, dan usia 4 bulan).

Diagnosis definitif infeksi HIV jika didapatkan hasil positif dari pemeriksaan

HIV spesific IgG assay (ELISA) pada usia 18 bulan. Tes antibodi HIV yang

positif tidak direkomendasikan sebagai diagnosis definitif dan konfirmasi

infeksi HIV pada anak-anak sampai usia 18 bulan (WHO, 2007; Krist dan

Faucher, 2002).
11

Bayi yang lahir dari ibu dengan HIV dapat terinfeksi melalui

transplasenta pada saat dalam kandungan (20%), infeksi perinatal pada saat

persalinan (60-70%) atau infeksi pasca natal melalui air susu ibu (15-20%)

(Sleasman dan Goodenow, 2003). Infeksi HIV pada bayi yang terjadi dalam

kandungan biasanya mempunyai gejala klinis yang lebih hebat dan lebih cepat

menjadi AIDS dalam 2 tahun pertama dibandingkan dengan bayi yang

mengalami infeksi pada saat perinatal (Lindegren, dkk., 2000). Antibodi HIV

dari ibu secara pasif berpindah selama kehamilan dapat menetap selama 18

bulan pada anak-anak yang lahir dari ibu dengan HIV (WHO, 2007).

2.2 Epidemiologi

Pada akhir tahun 2010, diperkirakan 34 juta orang (31.600.00-35.200.000)

hidup dengan HIV, termasuk didalamnya 3,4 juta (3.000.000-3.800.000) anak-

anak berusia kurang dari 15 tahun. Terdapat 2,7 juta (2.400.000-2.900.000)

infeksi HIV baru pada tahun 2010, termasuk didalamnya 390.000 (340.000-

450.000) diantaranya anak-anak berusia kurang dari 15 tahun (UNAIDS, 2010).

Gambar 2.2 Jumlah orang yang hidup dengan HIV, tahun 1990-2010 (UNAIDS,
2010)
12

Gambar 2.3 Jumlah infeksi HIV baru, tahun 1990-2010 (UNAIDS, 2010)

Gambar 2.4 Jumlah anak usia 0-14 tahun yang hidup dengan HIV, tahun 1990-
2010 (UNAIDS, 2010)

Data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2012) menunjukkan

dari 21.103 ibu hamil yang menjalani tes HIV, 534 (2,5%) di antaranya positif

terinfeksi HIV. Hasil Pemodelan Matematika Epidemi HIV Kementerian

Kesehatan tahun 2012 menunjukkan prevalensi HIV pada ibu hamil di

Indonesia diperkirakan akan meningkat. Jumlah kasus HIV dan AIDS

diperkirakan akan meningkat dari 591.823 (tahun 2012) menjadi 785.821

(tahun 2016), dengan jumlah infeksi baru HIV yang meningkat dari 71.879

(tahun 2012) menjadi 90.915 (tahun 2016).

Penularan HIV dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayinya juga cenderung

meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah perempuan HIV positif yang


13

tertular baik dari pasangan maupun akibat perilaku yang berisiko. Meskipun

angka prevalensi dan penularan HIV dari ibu ke bayi masih terbatas, jumlah ibu

hamil yang terinfeksi HIV cenderung meningkat. Prevalens HIV pada ibu hamil

diproyeksikan meningkat dari 0,38% (tahun 2012) menjadi 0,49% (tahun

2016), dan jumlah ibu hamil dengan HIV positif yang memerlukan layanan

PPIA juga akan meningkat dari 13.189 orang pada tahun 2012 menjadi 16.191

orang pada tahun 2016 (Kementerian Kesehatan, 2013).

2.3 Risiko transmisi vertikal

Sebagian besar anak-anak (95%) berusia kurang dari 15 tahun mengalami

infeksi HIV perinatal (Sohn dan Hazra, 2013). Jalur utama infeksi HIV pada

anak-anak adalah melalui maternal-to-child-transmission (MTCT), termasuk

transmisi intrauterin, intrapartum dan postnatal (melalui proses menyusui).

Tanpa pemberian ARV pencegahan, pada populasi yang tidak memberikan

ASI, 25% sampai 30% bayi yang lahir dari ibu dengan HIV akan menjadi

terinfeksi; risiko meningkat hingga 50% pada bayi yang mendapat ASI

berkepanjangan (Gaur, dkk., 2009).

Risiko transmisi vertikal dipengaruhi oleh faktor ibu dan keadaan selama

kehamilan. Faktor ibu yang memengaruhi transmisi vertikal antara lain jumlah

CD4 yang rendah, viral load yang tinggi, AIDS lanjut, kelahiran preterm,

korioamnionitis, adanya antigen inti p24. Sedangkan keadaan selama kehamilan

antara lain persalinan dengan alat, ketuban pecah lebih dari 4 jam, serta keadaan
14

lain yang menyebabkan peningkatan paparan darah ibu terhadap bayi (Krist dan

Faucher, 2002; Cock, dkk., 2000). Transmisi vertikal jarang terjadi pada ibu

dengan usia kehamilan muda, karena plasenta merupakan barier yang dapat

melindungi janin dari infeksi pada ibu. Transmisi terbesar terjadi pada waktu

usia kehamilan tua dan saat persalinan (Suradi, 2003).

Pencegahan infeksi HIV pada anak menurut Pediatric AIDS Clinical

Trials Group (PACTG) dengan pemberian antiretroviral Zidovudine (ZDV)

pada ibu HIV positif dan anak, dapat menurunkan angka penularan dari ibu

terhadap anak sebesar 25,5% menjadi 8,3%. Di samping itu bedah sectio

caesarea (SC) secara elektif pada usia kehamilan 38 minggu dan menghindari

pemberian ASI dapat pula menurunkan risiko penularan dari ibu terhadap anak

(Krist dan Faucher, 2002)

Bayi yang terpajan HIV telah lama diketahui memiliki angka morbiditas

dan mortalitas yang tinggi, namun beberapa penelitian juga menunjukkan

bahwa bayi yang terpajan HIV (tidak terinfeksi) juga memiliki risiko tinggi

kesehatan yang buruk dibandingkan bayi yang tidak terpajan HIV (Filteau,

2009).

2.4 Pertumbuhan

Pertumbuhan merupakan karakteristik khas masa anak-anak, yang juga

merupakan indikator sensitif dari status nutrisi anak. Pertumbuhan adalah

perubahan yang bersifat kuantitatif, yaitu bertambahnya jumlah, ukuran,


15

dimensi pada tingkat sel, organ, maupun individu. Pertumbuhan fisik dapat

dinilai dengan ukuran berat, ukuran panjang, umur tulang dan tanda seks

sekunder (Soetjiningsih, 1995). Gangguan pada pertumbuhan, khususnya

hambatan pertumbuhan, namun juga akumulasi lemak berlebihan pada obesitas,

berhubungan dengan risiko penyakit yang lebih besar, baik dalam jangka

pendek maupun jangka panjang. Maka dari itu, pemantauan pertumbuhan

merupakan alat yang penting untuk menilai kesehatan dan kesejahteraan anak

(Michaelsen, 2015). Pertumbuhan pada masa anak-anak sangat dipengaruhi dan

bergantung pada berbagai sistem fungsional yang optimal. Proses ini

dipengaruhi faktor perinatal, potensi pertumbuhan genetik dari orang tua, dan

nutrisi pada masa anak-anak (Weintraub, 2011). Proses pertumbuhan

didefinisikan sebagai pertumbuhan fisik dalam hal berat badan, panjang badan,

lingkar kepala dan perubahan lain pada tubuh yang dikenal sebagai

pertumbuhan dan perkembangan anak. Hal ini sangat penting bagi petugas

kesehatan anak untuk menilai dan menginterpretasikan parameter pertumbuhan

dalam rangka memahami perkembangan dan memastikan pertumbuhan seorang

anak berjalan normal. Rata-rata pertumbuhan dan perkembangan anak

mencerminkan status kesehatannya (Majaliwa, dkk., 2012). Berat badan

merupakan hasil peningkatan atau penurunan semua jaringan yang ada pada

tubuh, antara lain tulang, otot, lemak, cairan tubuh dan lain-lain. Berat badan

dipakai sebagai indikator yang terbaik pada saat ini untuk mengetahui keadaan

gizi dan pertumbuhan bayi (Soetjiningsih, 1995).


16

Terdapat 4 fase pertumbuhan yang saling berhubungan selama kehidupan:

fetus, bayi, masa anak-anak, dan pubertas, masing-masing diatur oleh

mekanisme pengaturan yang berbeda. Sebuah studi tentang kesehatan anak

yang melakukan pengukuran secara berkala selama 21 bulan pertama

kehidupan menunjukkan bahwa pertumbuhan merupakan fenomena episode

dengan periode stasis yang panjang (antara 2 dan 63 hari), diselingi fase singkat

percepatan (growth spurts) (Lampl, dkk., 1992). Anak-anak dari area geografis

yang berbeda, tumbuh dengan kecepatan yang sama selama masa fetus dan

selama beberapa tahun pertama kehidupannya jika lahir dari ibu dengan

kebutuhan nutrisi dan kesehatan yang terpenuhi serta jika dibesarkan dalam

kondisi yang tidak dibatasi. Faktor lingkungan seperti status nutrisi ibu,

kebiasaan makan, kebersihan dan sanitasi, seringnya mengalami infeksi dan

akses terhadap pelayanan kesehatan merupakan faktor utama yang menentukan

pertumbuhan selama 2 tahun pertama kehidupan (Prendergast dan Humphrey,

2014).

Bayi yang sehat mengalami kecepatan pertumbuhan yang maksimal sejak

lahir hingga usia 6 bulan. Selain itu, beberapa bulan pertama kehidupan

menjadi bagian yang penting untuk perkembangan saraf jangka panjang

(Pongcharoen, 2012). Ketika pertumbuhan linear di antara bayi di negara

berkembang dievaluasi menggunakan standar pertumbuhan WHO 2006,

prevalensi perawakan pendek pada semester pertama kehidupan bayi dua kali

lipat dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya (Martorell dan Young, 2012).


17

Berat badan lahir rendah (BBLR) menurut WHO adalah berat badan saat

lahir kurang dari 2.500 gram tanpa melihat usia kehamilan. Angka ini juga

sering digunakan untuk menunjukkan persentase bayi lahir hidup dalam periode

waktu tertentu. Berat badan lahir rendah dapat dibagi menjadi berat badan lahir

sangat rendah (kurang dari 1.500 gram) dan berat badan lahir amat sangat

rendah (kurang dari 1.000 gram). Berat badan saat lahir harus diukur dalam 1

jam pertama kehidupan sebelum terjadi kehilangan berat badan setelah lahir

(UNICEF dan WHO, 2004). Ada beberapa faktor yang diketahui memengaruhi

BBLR. Salah satu penelitian di India menyebutkan bahwa termasuk didalamnya

latar belakang kepercayaan, pendidikan ibu, usia kehamilan, berat badan ibu,

anemia, pekerjaan fisik berat, dan konsumsi tembakau (Agarwal, dkk., 2011).

Penelitian lain pada tahun 2008 menyebutkan bahwa masa kehamilan,

komplikasi persalinan dan penyakit saat kehamilan secara signifikan

berhubungan dengan bayi berat badan lahir rendah. Hal ini termasuk hipertensi,

pre eklampsi dan eklampsia, ketuban pecah dini, anemia, tuberkulosis dan

malaria saat kehamilan. Wanita dengan HIV positif 2 kali lebih berisiko

melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah, dibandingkan dengan ibu

HIV negatif (Siza, 2008). Hal ini juga sesuai dengan penelitian lain di Ethiopia

yang menyebutkan bahwa wanita dengan HIV positif 3 kali lebih banyak

melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (Zeleke, 2012).

2.5 Program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA)


18

Program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak merupakan bagian dari

upaya pengendalian HIV-AIDS dan IMS lainnya melalui pelayanan KIA.

Upaya PPIA telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2004. Selanjutnya,

dengan diperkuat oleh Peraturan Menteri Kesehatan No 51/2013 tentang

pedoman PPIA dan Peraturan Menteri Kesehatan No 21/2013 tentang

Penanggulangan HIV dan AIDS, ditetapkan semua ibu hamil di daerah epidemi

meluas dan terkonsentrasi dalam pelayanan antenatal wajib mendapatkan tes

HIV yang inklusif dengan pemeriksaan laboratorium rutin, bersaam tes lainnya,

sejak kunjungan pertama sampai menjelang persalinan (Kementerian Kesehatan

RI, 2015).

Upaya PPIA dilaksanakan melalui pencegahan dan penanganan HIV

secara komprehensif dan berkesinambungan dalam empat komponen, yaitu (1)

pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduksi; (2) pencegahan

kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan dengan HIV; (3)

pencegahan penularan HIV dari ibu hamil kepada janin/bayi yang

dikandungnya; dan (4) dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu

dengan HIV beserta anak dan keluarganya (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

Pada ibu hamil dengan HIV yang tidak mendapatkan upaya pencegahan

penularan kepada janin atau bayinya, risiko penularan berkisar antara 20-50%.

Bila dilakukan upaya pencegahan, maka risiko penularan dapat diturunkan

menjadi kurang dari 2%. Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak

mencakup langkah-langkah sebagai berikut: layanan antenatal terpadu,


19

menegakkan diagnosis HIV, pemberian terapi antiretroviral bagi ibu, konseling

persalinan dan KB pasca persalinan, konseling menyusui dan pemberian

makanan bagi bayi dan anak serta KB, konseling pemberian profilaksis ARV

dan kotrimoksasol pada anak, persalinan yang aman dan pelayanan KB pasca

persalinan, pemberian profilaksis ARV pada anak, dan memberikan dukungan

psikologis, sosial dan perawatan bagi ibu selama hamil, bersalin dan bayinya.

Semua kegiatan tersebut akan efektif jika dijalankan secara berkesinambungan.

Kombinasi kegiatan tersebut merupakan strategi paling efektif untuk

mengidentifikasi perempuan yang terinfeksi HIV serta mengurangi risiko

penularan dari ibu ke anak pada masa kehamilan, persalinan dan pasca

kelahiran (Kementerian Kesehatan RI, 2013; Kementerian Kesehatan RI, 2015).

2.6 Pertumbuhan pada bayi yang terpajan HIV

Pertumbuhan janin dipengaruhi oleh faktor medis, kandungan, sosial ekonomi

dan kebiasaan. Penelitian baik pada negara industri dan negara berkembang

menunjukkan hasil yang berbeda mengenai infeksi HIV pada ibu terhadap

pertumbuhan janin. Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa pengukuran

antropometri pada bayi yang terinfeksi HIV lebih rendah dibandingkan bayi

yang tidak terinfeksi HIV (Mwanyumba, dkk., 2001). Namun beberapa peneliti

juga menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan, sementara yang lain

mengamati adanya perlambatan pertumbuhan pada bayi terpajan HIV yang

tidak terinfeksi (McGrath, dkk., 2012).


20

Berat badan merupakan indikator secara keseluruhan pada bayi dan anak

sehat yang sensitif, walaupun tidak spesifik, yang telah dibandingkan pada

beberapa kohort antara bayi yang terpajan namun tidak terinfeksi HIV dan bayi

yang tidak terpajan HIV. Hasil tersebut dapat dipengaruhi kenyataan bahwa

bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV memiliki berat badan lahir yang

lebih rendah dibanding bayi yang lahir dari ibu yang tidak terinfeksi HIV,

walaupun bayi itu sendiri tidak terinfeksi (Filteau, 2009). Pertumbuhan yang

buruk dapat disebabkan oleh HIV itu sendiri, infeksi oportunistik atau efek

samping obat yang memengaruhi konsumsi, absorbsi dan metabolisme

makanan, diare dan penyakit pada anak lainnya; kemiskinan dan ketahanan

pangan yang buruk (Sint, dkk., 2013). Terdapat berbagai macam kriteria yang

berbeda untuk menilai gangguan pertumbuhan secara klinis. Tiga kriteria yang

sering digunakan yang menunjukkan gangguan pertumbuhan, antara lain:

kehilangan berat badan 10% atau lebih; penurunan kenaikan berat badan ke

bawah melewati 2 atau lebih garis persentil sesuai umur (misal, 97th, 85th,

50th, 15th, 3rd); perbandingan berat badan terhadap tinggi badan atau indeks

massa tubuh (IMT) kurang dari -1 deviasi baku dibawah rata-rata dengan

kegagalan mengikuti kurva normal (Lowenthal dan Phepls, 2001)

Perbedaan berat badan dan panjang badan anak yang terinfeksi HIV dan

anak yang tidak terinfeksi HIV mulai terlihat pada bulan pertama kehidupan

dan saat usia 6 bulan. Anak yang terinfeksi HIV 1 kilogram (kg) lebih ringan

dan 2 cm (centimeter) lebih pendek dibandingkan anak yang tidak terinfeksi


21

HIV. Status imunitas dan infeksi janin penting sebagai prediktor pertumbuhan

awal pada anak yang lahir dari ibu dengan HIV positif (Majaliwa, dkk., 2012).

Hal yang sama juga dinyatakan oleh Moye dkk., pada tahun 1996, bahwa anak

yang terinfeksi HIV memiliki berat badan yang lebih rendah 0,7 kg dan tinggi

badan yang lebih rendah 2,2 cm dibandingkan anak yang tidak terinfeksi HIV

dalam usia 18 bulan. Gangguan pertumbuhan pada anak yang terinfeksi HIV

berhubungan dengan beberapa hal, antara lain viral load yang tinggi, serta

perubahan dari infeksi HIV asimptomatik menjadi AIDS yang cepat

(Lowenthal dan Phepls, 2001).

Pemberian ASI oleh ibu pengidap HIV merupakan salah satu masalah

penting dan selalu menjadi perdebatan. Hal ini dikarenakan efek ganda dari

pemberian ASI, yaitu sebagai sumber nutrisi utama pada bayi dalam 6 bulan

pertama kehidupannya; di sisi lain juga sarana penularan HIV (Suradi dan

hegar, 2010). Pada tahun 2006, WHO merekomendasikan ibu dengan HIV

memilih antara 1) ASI eksklusif selama 6 bulan atau 2) pemberian susu formula

eksklusif selama 6 bulan jika dapat diterima, layak, terjangkau, berkelanjutan

dan aman (acceptable, feasible, affordable, sustainable and safe (AFASS))

(WHO, 2007). Ibu yang memilih ASI eksklusif disarankan untuk melanjutkan

pemberian ASI sampai mereka bisa memberikan diet pengganti yang aman dan

memadai (WHO dkk., 2010).


22

Gambar 2.5 Mekanisme yang berhubungan dengan derajat kesehatan dan


ketahanan anak yang terpajan HIV namun tidak terinfeksi (Filteau, 2009).

Paparan terhadap HIV dan ARV dalam kandungan disebutkan memiliki

hubungan langsung dengan perkembangan bayi. Regimen ARV yang

direkomendasikan adalah penggunaan 2 NRTI (nucleoside reverse

transcriptase inhibitors), zidovudine (ZDV) dan lamivudin (Panel on

Treatment of HIV-Infected Pregnant Women and Prevention of Perinatal

Transmission, 2011). Nucleoside reverse transcriptase inhibitors memasuki

plasenta dan menghambat DNA polymerase γ, yang perpotensi mengganggu

sintesis mitokondria DNA janin, menyebabkan deplesi dan/atau disfungsi

mitokondria jangka pendek maupun jangka panjang pada beberapa penelitian

(Brogly, 2007), walaupun penelitian lain tidak menunjukkan hasil yang serupa
23

(Funk, 2007). Disfungsi mitokondria berhubungan dengan abnormalitas

pertumbuhan pada kelainan anak lainnya.

Gambar 2.6 Mekanisme disfungsi mitokondria oleh NRTI (Cote, 2005).

Bayi baru lahir yang terpajan HIV mengalami peningkatan kadar sel T

imatur yang menyebabkan gangguan jalur maturasi timus fisiologis (Clerici,

dkk., 2000). Pada studi lain, disebutkan bahwa pada bayi yang terpajan HIV

memiliki kadar sel T teraktivasi (CD4+ HLA- DR+ CD38+) dan sel T memori

(CD4+ CD45RA- RO+) yang lebih tinggi dibandingkan bayi yang tidak

terpajan HIV. Peningkatan kadar sel T teraktivasi dan sel T memori

menunjukkan bahwa subset limfosit ini mengalami paparan antigen yang dapat

disebabkan baik paparan pada janin saat dalam kandungan baik terhadap

antigen atau non-antigen CD spesifik (Abu-Raya, 2016).


24

Penelitian lainnya menyebutkan bahwa tidak terdapat perbedaan berat

badan dan panjang badan lahir dari bayi dengan yang terpajan HIV maupun

yang tidak terpajan HIV (Isanaka, 2009). Program pencegahan transmisi dari

ibu ke anak yang efektif menurunkan risiko penularan HIV di Amerika Serikat

sampai kira-kira 1-2%. Pertumbuhan anak yang terpajan HIV namun tidak

terinfeksi HIV menyerupai anak yang tidak terpajan HIV (Neri, dkk., 2013).

Anda mungkin juga menyukai