BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
untuk membuat DNA virus serta diketahui memiliki masa inkubasi yang
panjang (Calles, dkk., 2010). Saat ini dikenal 2 serotipe virus HIV, yaitu HIV-1
dan HIV-2. Serotipe virus HIV-1 dikenal sebagai penyebab utama AIDS di
Target utama HIV adalah sel yang mengekspresikan molekul CD4+ yaitu,
limfosit T CD4+ (sel T CD4) dan monosit atau makrofag. HIV mengikat target
CD4 dengan reseptor kemokin seluler (CCR5 atau CXCR4), menyebabkan fusi
membran dengan dinding sel host yang menyebabkan virus masuk ke dalam
sel. Sel CD4+ pada saluran cerna merupakan target utama, dan virus menyebar
luas segera setelah infeksi, termasuk ke sistem saraf pusat. Infeksi sel T CD4
diikuti dengan replikasi virus, pelepasan virion HIV dan kematian sel T CD4.
Hal ini menyebabkan deplesi sel T CD4 dan gangguan imunitas seluler, yang
pada anak-anak didiagnosis berdasarkan hasil positif pada tes virologi atau
dikonfirmasi oleh hasil tes virologi kedua yang didapatkan dari pemeriksaan
yang terpisah yang dilakukan pada lebih dari 4 minggu setelah kelahiran. Bayi
dikatakan 95% tidak menderita infeksi HIV jika didapatkan hasil negatif pada
tiga kali pemeriksaan virologi (saat lahir, usia satu bulan, dan usia 4 bulan).
Diagnosis definitif infeksi HIV jika didapatkan hasil positif dari pemeriksaan
HIV spesific IgG assay (ELISA) pada usia 18 bulan. Tes antibodi HIV yang
infeksi HIV pada anak-anak sampai usia 18 bulan (WHO, 2007; Krist dan
Faucher, 2002).
11
Bayi yang lahir dari ibu dengan HIV dapat terinfeksi melalui
transplasenta pada saat dalam kandungan (20%), infeksi perinatal pada saat
persalinan (60-70%) atau infeksi pasca natal melalui air susu ibu (15-20%)
(Sleasman dan Goodenow, 2003). Infeksi HIV pada bayi yang terjadi dalam
kandungan biasanya mempunyai gejala klinis yang lebih hebat dan lebih cepat
mengalami infeksi pada saat perinatal (Lindegren, dkk., 2000). Antibodi HIV
dari ibu secara pasif berpindah selama kehamilan dapat menetap selama 18
bulan pada anak-anak yang lahir dari ibu dengan HIV (WHO, 2007).
2.2 Epidemiologi
infeksi HIV baru pada tahun 2010, termasuk didalamnya 390.000 (340.000-
Gambar 2.2 Jumlah orang yang hidup dengan HIV, tahun 1990-2010 (UNAIDS,
2010)
12
Gambar 2.3 Jumlah infeksi HIV baru, tahun 1990-2010 (UNAIDS, 2010)
Gambar 2.4 Jumlah anak usia 0-14 tahun yang hidup dengan HIV, tahun 1990-
2010 (UNAIDS, 2010)
dari 21.103 ibu hamil yang menjalani tes HIV, 534 (2,5%) di antaranya positif
(tahun 2016), dengan jumlah infeksi baru HIV yang meningkat dari 71.879
Penularan HIV dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayinya juga cenderung
tertular baik dari pasangan maupun akibat perilaku yang berisiko. Meskipun
angka prevalensi dan penularan HIV dari ibu ke bayi masih terbatas, jumlah ibu
hamil yang terinfeksi HIV cenderung meningkat. Prevalens HIV pada ibu hamil
2016), dan jumlah ibu hamil dengan HIV positif yang memerlukan layanan
PPIA juga akan meningkat dari 13.189 orang pada tahun 2012 menjadi 16.191
infeksi HIV perinatal (Sohn dan Hazra, 2013). Jalur utama infeksi HIV pada
ASI, 25% sampai 30% bayi yang lahir dari ibu dengan HIV akan menjadi
terinfeksi; risiko meningkat hingga 50% pada bayi yang mendapat ASI
Risiko transmisi vertikal dipengaruhi oleh faktor ibu dan keadaan selama
kehamilan. Faktor ibu yang memengaruhi transmisi vertikal antara lain jumlah
CD4 yang rendah, viral load yang tinggi, AIDS lanjut, kelahiran preterm,
antara lain persalinan dengan alat, ketuban pecah lebih dari 4 jam, serta keadaan
14
lain yang menyebabkan peningkatan paparan darah ibu terhadap bayi (Krist dan
Faucher, 2002; Cock, dkk., 2000). Transmisi vertikal jarang terjadi pada ibu
dengan usia kehamilan muda, karena plasenta merupakan barier yang dapat
melindungi janin dari infeksi pada ibu. Transmisi terbesar terjadi pada waktu
pada ibu HIV positif dan anak, dapat menurunkan angka penularan dari ibu
terhadap anak sebesar 25,5% menjadi 8,3%. Di samping itu bedah sectio
caesarea (SC) secara elektif pada usia kehamilan 38 minggu dan menghindari
pemberian ASI dapat pula menurunkan risiko penularan dari ibu terhadap anak
Bayi yang terpajan HIV telah lama diketahui memiliki angka morbiditas
bahwa bayi yang terpajan HIV (tidak terinfeksi) juga memiliki risiko tinggi
kesehatan yang buruk dibandingkan bayi yang tidak terpajan HIV (Filteau,
2009).
2.4 Pertumbuhan
dimensi pada tingkat sel, organ, maupun individu. Pertumbuhan fisik dapat
dinilai dengan ukuran berat, ukuran panjang, umur tulang dan tanda seks
berhubungan dengan risiko penyakit yang lebih besar, baik dalam jangka
merupakan alat yang penting untuk menilai kesehatan dan kesejahteraan anak
dipengaruhi faktor perinatal, potensi pertumbuhan genetik dari orang tua, dan
didefinisikan sebagai pertumbuhan fisik dalam hal berat badan, panjang badan,
lingkar kepala dan perubahan lain pada tubuh yang dikenal sebagai
pertumbuhan dan perkembangan anak. Hal ini sangat penting bagi petugas
merupakan hasil peningkatan atau penurunan semua jaringan yang ada pada
tubuh, antara lain tulang, otot, lemak, cairan tubuh dan lain-lain. Berat badan
dipakai sebagai indikator yang terbaik pada saat ini untuk mengetahui keadaan
dengan periode stasis yang panjang (antara 2 dan 63 hari), diselingi fase singkat
percepatan (growth spurts) (Lampl, dkk., 1992). Anak-anak dari area geografis
yang berbeda, tumbuh dengan kecepatan yang sama selama masa fetus dan
selama beberapa tahun pertama kehidupannya jika lahir dari ibu dengan
kebutuhan nutrisi dan kesehatan yang terpenuhi serta jika dibesarkan dalam
kondisi yang tidak dibatasi. Faktor lingkungan seperti status nutrisi ibu,
2014).
lahir hingga usia 6 bulan. Selain itu, beberapa bulan pertama kehidupan
prevalensi perawakan pendek pada semester pertama kehidupan bayi dua kali
Berat badan lahir rendah (BBLR) menurut WHO adalah berat badan saat
lahir kurang dari 2.500 gram tanpa melihat usia kehamilan. Angka ini juga
sering digunakan untuk menunjukkan persentase bayi lahir hidup dalam periode
waktu tertentu. Berat badan lahir rendah dapat dibagi menjadi berat badan lahir
sangat rendah (kurang dari 1.500 gram) dan berat badan lahir amat sangat
rendah (kurang dari 1.000 gram). Berat badan saat lahir harus diukur dalam 1
jam pertama kehidupan sebelum terjadi kehilangan berat badan setelah lahir
(UNICEF dan WHO, 2004). Ada beberapa faktor yang diketahui memengaruhi
latar belakang kepercayaan, pendidikan ibu, usia kehamilan, berat badan ibu,
anemia, pekerjaan fisik berat, dan konsumsi tembakau (Agarwal, dkk., 2011).
berhubungan dengan bayi berat badan lahir rendah. Hal ini termasuk hipertensi,
pre eklampsi dan eklampsia, ketuban pecah dini, anemia, tuberkulosis dan
malaria saat kehamilan. Wanita dengan HIV positif 2 kali lebih berisiko
melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah, dibandingkan dengan ibu
HIV negatif (Siza, 2008). Hal ini juga sesuai dengan penelitian lain di Ethiopia
yang menyebutkan bahwa wanita dengan HIV positif 3 kali lebih banyak
Program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak merupakan bagian dari
Penanggulangan HIV dan AIDS, ditetapkan semua ibu hamil di daerah epidemi
HIV yang inklusif dengan pemeriksaan laboratorium rutin, bersaam tes lainnya,
RI, 2015).
dikandungnya; dan (4) dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu
dengan HIV beserta anak dan keluarganya (Kementerian Kesehatan RI, 2013).
Pada ibu hamil dengan HIV yang tidak mendapatkan upaya pencegahan
penularan kepada janin atau bayinya, risiko penularan berkisar antara 20-50%.
menjadi kurang dari 2%. Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak
makanan bagi bayi dan anak serta KB, konseling pemberian profilaksis ARV
dan kotrimoksasol pada anak, persalinan yang aman dan pelayanan KB pasca
psikologis, sosial dan perawatan bagi ibu selama hamil, bersalin dan bayinya.
penularan dari ibu ke anak pada masa kehamilan, persalinan dan pasca
dan kebiasaan. Penelitian baik pada negara industri dan negara berkembang
menunjukkan hasil yang berbeda mengenai infeksi HIV pada ibu terhadap
antropometri pada bayi yang terinfeksi HIV lebih rendah dibandingkan bayi
yang tidak terinfeksi HIV (Mwanyumba, dkk., 2001). Namun beberapa peneliti
Berat badan merupakan indikator secara keseluruhan pada bayi dan anak
sehat yang sensitif, walaupun tidak spesifik, yang telah dibandingkan pada
beberapa kohort antara bayi yang terpajan namun tidak terinfeksi HIV dan bayi
yang tidak terpajan HIV. Hasil tersebut dapat dipengaruhi kenyataan bahwa
bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV memiliki berat badan lahir yang
lebih rendah dibanding bayi yang lahir dari ibu yang tidak terinfeksi HIV,
walaupun bayi itu sendiri tidak terinfeksi (Filteau, 2009). Pertumbuhan yang
buruk dapat disebabkan oleh HIV itu sendiri, infeksi oportunistik atau efek
makanan, diare dan penyakit pada anak lainnya; kemiskinan dan ketahanan
pangan yang buruk (Sint, dkk., 2013). Terdapat berbagai macam kriteria yang
berbeda untuk menilai gangguan pertumbuhan secara klinis. Tiga kriteria yang
kehilangan berat badan 10% atau lebih; penurunan kenaikan berat badan ke
bawah melewati 2 atau lebih garis persentil sesuai umur (misal, 97th, 85th,
50th, 15th, 3rd); perbandingan berat badan terhadap tinggi badan atau indeks
massa tubuh (IMT) kurang dari -1 deviasi baku dibawah rata-rata dengan
Perbedaan berat badan dan panjang badan anak yang terinfeksi HIV dan
anak yang tidak terinfeksi HIV mulai terlihat pada bulan pertama kehidupan
dan saat usia 6 bulan. Anak yang terinfeksi HIV 1 kilogram (kg) lebih ringan
HIV. Status imunitas dan infeksi janin penting sebagai prediktor pertumbuhan
awal pada anak yang lahir dari ibu dengan HIV positif (Majaliwa, dkk., 2012).
Hal yang sama juga dinyatakan oleh Moye dkk., pada tahun 1996, bahwa anak
yang terinfeksi HIV memiliki berat badan yang lebih rendah 0,7 kg dan tinggi
badan yang lebih rendah 2,2 cm dibandingkan anak yang tidak terinfeksi HIV
dalam usia 18 bulan. Gangguan pertumbuhan pada anak yang terinfeksi HIV
berhubungan dengan beberapa hal, antara lain viral load yang tinggi, serta
Pemberian ASI oleh ibu pengidap HIV merupakan salah satu masalah
penting dan selalu menjadi perdebatan. Hal ini dikarenakan efek ganda dari
pemberian ASI, yaitu sebagai sumber nutrisi utama pada bayi dalam 6 bulan
pertama kehidupannya; di sisi lain juga sarana penularan HIV (Suradi dan
hegar, 2010). Pada tahun 2006, WHO merekomendasikan ibu dengan HIV
memilih antara 1) ASI eksklusif selama 6 bulan atau 2) pemberian susu formula
(WHO, 2007). Ibu yang memilih ASI eksklusif disarankan untuk melanjutkan
pemberian ASI sampai mereka bisa memberikan diet pengganti yang aman dan
(Brogly, 2007), walaupun penelitian lain tidak menunjukkan hasil yang serupa
23
Bayi baru lahir yang terpajan HIV mengalami peningkatan kadar sel T
dkk., 2000). Pada studi lain, disebutkan bahwa pada bayi yang terpajan HIV
memiliki kadar sel T teraktivasi (CD4+ HLA- DR+ CD38+) dan sel T memori
(CD4+ CD45RA- RO+) yang lebih tinggi dibandingkan bayi yang tidak
menunjukkan bahwa subset limfosit ini mengalami paparan antigen yang dapat
disebabkan baik paparan pada janin saat dalam kandungan baik terhadap
badan dan panjang badan lahir dari bayi dengan yang terpajan HIV maupun
yang tidak terpajan HIV (Isanaka, 2009). Program pencegahan transmisi dari
ibu ke anak yang efektif menurunkan risiko penularan HIV di Amerika Serikat
sampai kira-kira 1-2%. Pertumbuhan anak yang terpajan HIV namun tidak
terinfeksi HIV menyerupai anak yang tidak terpajan HIV (Neri, dkk., 2013).