DENGAN HIV/AIDS
Tingkat 2/Semester IV
2021
KATA PENGANTAR
njdk
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jumlah anak dengan status HIV saat ini terus meningkat jika
dibandingkan satu dekade sebelumnya. Hal ini disebabkan keilmuan dan
diagnostic yang semakin canggih serta terapi ARV yang semakin
berkembang. Selain itu, akses untuk tes HIV semakin mudah dan tersedia di
hampir seluruh rumah sakit. Menurut data WHO, populasi muda berusia 10-
24 tahun merupakan populasi yang paling rentan terhadap HIV/AIDS
(Mutumba,2014). Pada tahun 2012, sekitar 5,4 juta anak muda hidup dengan
HIV proporsi 41% dari semua infeksi HIV baru (UNAIDS, 2013).
Prevalensi HIV di kalangan anak muda bervariasi berdasarkan usia dan
jenis kelamin. Sebanyak 17% anak berusia 10-14 tahun, 22% berusia 15-19
tahun, dan 61% berusia 20-24 tahun (UNAIDS, 2013). Hingga saat ini, 2,1
juta anak yang berusia 10-19 tahun di Negara berpenghasilan menengah ke
bawah hidup dengan HIV (UNICEF, 2006).
Anak remaja rentan terhadap HIV melalui transmisi horizontal karena
beberapa faktor. Transmisi HIV terjadi melalui praktik seksual berisiko yang
membawa pada insiden infeksi HIV dan infeksi menular seksual lainnya.
Selain itu, penggunaan jarum suntik pada saat pemakaian narkoba juga dapat
menjadi akses untuk transmisi HIV dari satu remaja ke remaja lainnya
(Mutumba, 2014).
Pada anak bayi, transmisi HIV didapat dari ibunya. Tanpa akses ke
terapi ARV dan nutrisi yang tepat, sebanyak 50% bayi dengan HIV positif
meninggal sebelum usia 2 tahun. Bayi yang terlahir dengan HIV positif sering
tidak menerima pengobatan dini. Masalah malnutrisi juga memberikan
kontribusi terhadap kematian anak dengan HIV. Asumsi yang keliru bahwa
seorang anak HIV positif, padahal sebenernya HIV negatif juga menyebabkan
anak ditinggalkan oleh orang tua atau pengasuh utama (UNICEF, 2006).
1
Anak dan remaja dengan HIV mengalami distress psikologis yang
berat. Kendala dalam pengobatan serta pengaruh HIV secara emosional,
sosial, dan kultural memberikan kontribusi terhadap beban psikologis pada
anak. Dukungan psikologis untuk anak dengan HIV sangat penting sebagai
bagian dari pelayanan yang holistik. Pendekatan terintegrasi dan
komprehensif dari semua elemen pendukung sangat bermanfaat bagi anaak
dan keluarga dengan hasil peningkatan kualitas hidup anak. Dukungan
psikososial, tindakan medis, nutrisi, dan paliatif sangat dibutuhkan oleh anak
dengan HIV/AIDS (UNICEF, 2006).
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep HIV/AIDS
1. Pengertian HIV (Human Imunodeficiency Virus)
Secara structural morfologinya, bentuk HIV terdiri atas sebuah
silinder yang dikelilingi pembungkus lemak yang melingkar-melebar.
Pada pusat lingkaran terdapat untaian RNA. HIV mempunyai 3 gen yang
merupakan komponen fungsional dan structural. Tiga gen tersebut yaitu
gag, pol, dan env. Gag berarti group antigen, pol mewakili polymerase,
dan env adalah kepanjangan dari envelope (Hoffmann, Rockstroh, Kamps,
2006). Gen gag mengode protein inti. Gen pol mengode enzim reverse
transcriptase, protase dan integrase. Gen env mengode komponen
struktural HIV yang dikenal dengan glikoprotein. Gen lain yang ada dan
juga penting dalam replikasi virus, yaitu: rev, nef, vif, vpu dan vpr
(Gambar 2.1.).
3
setiap harinya. Serangan pertama HIV akan tertangkap oleh sel dendrit
pada membrane mukosa dan kulit pada 24 jam pertama setelah paparan.
Sel yang terinfeksi tersebut akan membuat jalur ke nodus limfa dan
kadang-kadang ke pembuluh darah perifer selama 5 hari setelah paparan,
dimana replikasi virus menjadi semakin cepat.
Siklus hidup HIV dapat dibagi menjadi 5 fase, yaitu:
a. Masuk dan mengikat
b. Reverse ranscriptase
c. Replikasi
d. Budding
e. Maturasi
3. Tipe HIV
Ada 2 tipe HIV yang dapat menyebabkan AIDS: HIV-1 dan HIV-2.
HIV-1 bermutasi lebih cepat karena replikasi lebih cepat. Berbagai
macam subtipe dari HIV-1 telah ditemukan dalam area geografis yang
spesifik dan kelompok spesifik risiko tinggi.
Individu dapat terinfeksi oleh subtipe yang berbeda. Berikut adalah
subtipe HIV-1 dan distribusi geografisnya:
4
Sub tipe A: Afrika Tengah
Sub tipe B: Amerika Selatan, Brazil, USA, Thailand
Sub tipe C: Brazil, India, Afrika Selatan
Sub tipe D: Afrika Tengah
Sub tipe E: Thailand, Afrika Tengah
Sub tipe F: Brazil, Rumania, Zaire
Sub tipe G: Zaire, Gabon, Thailand
Sub tipe H: Zaire, Gabon
Sub tipe O: Kamerun, Gabon
Sub tipe C sekarang ini terhitung lebih dari separuh dari semua
infeksi HIV baru di seluruh dunia.
4. Perjalanan Penyakit
Perjalanan klinis pasien dari tahap terinfeksi HIV sampai tahap
AIDS, sejalan dengan penurunan derajat imunitas pasien, terutama
imunitas seluler dan menunjukkan gambaran penyakit yang kronis.
Penurunan imunitas biasanya diikuti adanya peningkatan risiko dan
derajat keparahan infeksi oportunistik serta penyakit keganasan (Depkes
RI, 2003). Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang
menjadi AIDS pada tiga tahun pertama, 50% menjadi AIDS sesudah
sepuluh tahun, dan hampir 100% pasien HIV menunjukkan gejala AIDS
setelah 13 tahun (Sudoyono, 2006). Perjalanan klinis HIV/AIDS
digambarkan pada gambar 2.3 berikut ini.
5
Gambar 2.3 perjalanan HIV pada Individu yang Terinfeksi HIV
Sumber. A Fauci et al: Ann Intern Medicine 16th edition, 2005, hal: 1086.
Dalam tubuh ODHA, partikel virus akan bergabung dengan DNA sel
pasien, sehingga orang yang terinfeksi HIV seumur hidup akan tetap
terinfeksi. Sebagian pasien memperlihatkan gejala tidak khas infeksi
seperti demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening,
ruam, diare, atau batuk pada 3-6 minggu setelah infeksi (Sudoyono,
2006). Kondisi ini dikenal dengan infeksi primer.
Infeksi primer berkaitan dengan periode waktu dimana HIV pertama
kali masuk ke dalam tubuh. Pada fase awal proses infeksi
(imunokompeten) akan terjadi respons imun berupa peningkatan aktivasi
imun, yaitu pada tingkat seluler (HLA-DR; sel T; IL-2R); serum atau
humoral (beta-2 mikroglobulin, neoprotein, CD8, IL-R) dan antibodi
upregulation (gp 120, anti p24; IgA) (Hoffmann, Rockstroh, Kamps,
2006). Induksi sel T-helper dan sel-sel lain diperlukan untuk
mempertahankan fungsi sel-sel faktor sistem imun agar tetap berfungsi
baik. Infeksi HIV akan menghancurkan sel-sel T, sehingga T-helper tidak
dapat memberikan induksi kepada sel-sel efektor sistem imun. Dengan
tidak adanya T-helper, sel-sel efektor sistem imun seperti T8 sitotoksik,
sel NK, monosit dan sel B tidak dapat berfungsi secara baik. Daya tahan
tubuh menurun sehingga pasien jatuh ke dalam stadium lebih lanjut
(Hoffmann, Rockstroh, Kamps, 2006). Saat ini, darah pasien
menunjukkan jumlah virus yang sangat tinggi, yang berarti banyak virus
lain di dalam darah. Sejumlah virus dalam darah atau plasma per
millimeter mencapai 1 juta. Orang dewasa yang baru terinfeksi sering
menunjukkan sindrom retroviral akut. Tanda dan gejala sindrom retroviral
akut ini meliputi: panas, nyeri otot, sakit kepala, mual, muntah, diare,
berkeringat di malam hari, kehilangan berat badan dan timbul ruam.
Tanda dan gejala tersebut biasanya terjadi 2-4 minggu setelah infeksi,
kemudian hilang atau menurun setelah beberapa hari dan sering salah
6
terdeteksi sebagai influenza atau infeksi mononucleosis (Calles, N.R,
2000).
Selama infeksi primer jumlah limfosit CD4+ dalam darah menurun
dengan cepat. Target virus ini adalah limfosit CD4+ pada nodus limfa dan
thymus selama waktu tersebut, yang membuat individu yang terinfeksi
HIV akan mungkin terkena infeksi oportunistik dan membatasi
kemampuan thymus untuk memproduksi limfosit T. Tes antibodi HIV
menggunakan enzyme linked imunoabsorbent assay (ELISA) yang akan
menunjukkan hasil positif (Calles, N.R, 2000).
Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi asimptomatik (tanpa gejala).
Masa tanpa gejala ini bisa berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada
sekelompok orang yang perjalanan penyakitnya sangat cepat, hanya
sekitar 2 tahun, dan ada pula yang perjalanannya sangat lambat.
Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai
menampakkan gejala akibat infeksi oportunistik (penurunan berat badan,
demam lama, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberculosis,
infeksi jamur, herpes, dan lain-lain) (Sudoyono, 2006). Pada fase ini
disebut dengan imunodefesiensi, dalam serum pasien yang terinfeksi HIV
ditemukan adanya faktor supresif berupa antibodi terhadap proliferasi sel
T tersebut dapat menekan sintesis dan sekresi limfokin. Sehingga sel T
tidak mampu memberikan respons terhadap mitogen, terjadi disfungsi
imun yang ditandai dengan penurunan kadar CD4+, sitokin (IFNχ; IL-2;
IL-6); antibody down regulation (gp120; anti p-24); TNF α; antinef
(Hoffmann, Rockstroh, Kamps, 2006).
Perjalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkoba.
Lamanya pengguanaan jarum suntik berbanding lurus dengan infeksi
pneumonia dan tuberculosis. Infeksi oleh kuman lain akan membuat HIV
membelah lebih cepat. Selain itu, dapat mengakibatkan reaktivasi virus di
dalam limfosit T sehingga perjalanan penyakit bisa lebih progresif
(Sudoyono, 2006).
Pembagian stadium:
7
a. Stadium pertama: HIV
Infeksi dimulai dengan masuknya HIV dan diikuti terjadinya
perubahan serologis ketika antibody terhadap virus tersebut berubah
dari negatif menjadi positif. Rentang waktu sejak HIV masuk ke
dalam tubuh sampai tes antibody terhadap HIV menjadi positif
disebut window period. Lama window period antara satu sampai tiga
bulan, bahkan ada yang dapat berlangsung sampai enam bulan.
b. Stadium kedua: Asimptomatik (tanpa gejala)
Asimptomatik berarti bahwa di dalam organ tubuh terdapat HIV
tetapi tubuh tidak menunjukkan gejala-gejala. Keadaan ini dapat
berlangsung rata-rata selama 5-10 tahun. Cairan tubuh pasien
HIV/AIDS yang tampak sehat ini sudah dapat menularkan HIV
kepada orang lain.
c. Stadium ketiga: pembesaran kelenjar limfe secara menetap dan
merata (Persistent Generalized Lymphadenopathy), tidak hanya
muncul pada satu tempat saja, dan berlangsung lebih satu bulan.
d. Stadium keempat: AIDS
Keadaan ini disertai adanya bermacam-macam penyakit,
konstitusional, penyakit saraf, dan penyakit infeksi sekunder.
a. Gejala utama/mayor:
1) Demam berkepanjangan lebih dari tiga bulan
2) Diare kronis lebih dari satu bulan berulang maupun terus-menerus
3) Penurunan berat badan lebih dari 10% dalam tiga bulan
4) TBC
b. Gejala minor:
1) Batuk kronis selama lebih dari satu bulan
2) Infeksi pada mulut dan tenggorokan disebabkan jamur Candida
Albicans
8
3) Pembengkakan kelenjar getah bening yang menetap di seluruh
tubuh
4) Munculnya Herpes zoster berulang dan bercak-bercak gatal
diseluruh tubuh (Depkes RI,1997).
Fase Derajat
1 Infeksi HIV primer
2 HIV dengan defisiensi imun dini (CD4+ >500/μl)
Adanya HIV dengan defisiensi imun yang sedang
3
(CD4+ : 200-500/μl)
HIV dengan defisiensi imun yang berat (CD4+
<200/μl) disebut dengan AIDS. Sehingga menurut
4
CDC Amerika (1993) pasien masuk dalam kategori
AIDS bila CD4+ <200/μl
Sumber: Depkes RI (2003)
9
terkena infeksi oportunistik dan membatasi kemampuan thymus untuk
memproduksi limfosit T. Tes antibodi HIV menggunakan enzyme linked
imunoabsorbent assay (ELISA) yang akan menunjukkan hasil positif.
Individu yang terinfeksi HIV tidak akan menunjukkan tanda dan gejala
infeksi HIV. Pada orang dewasa yang terinfeksi HIV, fase ini berlangsung
selama 8-10 tahun. HIV-ELISA dan Western Blot atau Imunofluorescence
Assay (IFA) menunjukkan hasil positif dengan jumlah limfosit CD4+ >500/μl.
10
Tanda dan Gejala Awal HIV (Kategori Klinis B)
11
Anak yang terinfeksi HIV sering menderita penyakit yang parah saat
pertama kali dievaluasi, atau mungkin telah berkembang menjadi AIDS,
seperti yang terjadi pada orang dewasa. Pada infant dan anak-anak normalnya
limfosit CD4+ lebih tinggi daripada orang dewasa. Nilai normalnya bervariasi
sesuai usia, namun sama dengan nilai pada orang dewasa saat anak mencapai
usia 6 tahun. CDC (The Center for Disease Control and Preventation) telah
mengembangkan sistem untuk mengklasifikasikan HIV pada anak yang
didasarkan pada kategori klinis dan imunologis (Tabel 2 dan 3). Kategori
klinis dan imunologis ini dapat digunakan untuk mengevaluasi status HIV
pada anak-anak dan untuk menentukan pengobatan yang tepat.
Tabel 1. Sistem Klasifikasi Kategori Klinis dan Imunologi HIV Pada Remaja/Dewasa
12
N: Tanpa A: Sedikit C: Tanda atau
Kategori B: Tanda atau
Tanda atau Tanda atau Gejala Sangat
Imunologis Gejala Sedangc
Gejalaa Gejalab Jelasd
No imunosupression N1 A1 B1 C1
Moderate
N2 A2 B2 C2
supression
Severe imuno-
N3 A3 B3 C3
supression
a
Tanpa tanda dan gejala atau hanya salah satu dalam kategori A
b
Dua atau lebih dari yang berikut ini: limfadenopathy, hepatomegali,
splenomegali, dermatitis, parotitis, infeksi saluran pernapasan atas atau
sinusitis, otitis media
c
Kondisi simptomatik yang tidak masuk dalam kategori A maupun C
d
AIDS dengan perkecualian dari LIP yaitu bagi yang masih di kategori B
Sumber: Alles, N.R., 2000
7. Penularan HIV/AIDS
Virus HIV menular melalui enam cara penularan, yaitu:
a. Hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS
Hubungan seksual secara vaginal, anal, dan oral dengan
penderita HIV tanpa perlindungan bisa menularkan HIV. Selama
hubungan seksual berlangsung, air mani, cairan vagina, dan darah
dapat mengenai selaput lendir vagina, penis, dubur, atau mulut
sehingga HIV yang terdapat dalam cairan tersebut masuk ke aliran
darah (PELKESI, 1995). Selama berhubungan juga bisa terjadi lesi
mikro pada dinding vagina, dubur, dan mulut yang bisa menjadi jalan
HIV untuk masuk ke aliran darah pasangan seksual (Syaiful, 2000).
b. Ibu pada bayinya
Penularan HIV dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan (in
utero). Berdasarkan laporan CDC Amerika, prevalensi penularan HIV
dari ibu ke bayi adalah 0,01% sampai 0,7%. Bila ibu baru terinfeksi
HIV dan belum ada gejala AIDS, kemungkinan bayi terinfeksi
sebanyak 20% sampai 35%, sedangkan kalau gejala AIDS sudah jelas
13
pada ibu kemungkinannya mencapai 50% (PELKESI, 1995).
Penularan juga terjadi selama proses persalinan melalui transfusi
fetomaternal atau kontak antara kulit atau membran mukosa bayi
dengan darah atau sekresi maternal saat melahirkan (Lily V, 2004).
Semakin lama proses melahirkan, semakin besar risiko penularan.
Oleh karena itu, lama persalinan bisa dipersingkat dengan operasi
sectio caesaria (HIS dan STB, 2000). Transmisi lain terjadi selama
periode post partum melalui ASI. Risiko bayi tertular melalui ASI
dari ibu yang positif sekitar 10% (Lily V, 2004).
c. Darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS
Sangat cepat menularkan HIV karena virus langsung masuk ke
pembuluh darah dan menyebar ke seluruh tubuh.
d. Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril
Alat pemeriksaan kandungan seperti spekulum, tenakulum, dan
alat-alat lain yang menyentuh darah, cairan vagina atau air mani yang
terinfeksi HIV, dan langsung digunakan untuk orang lain yang tidak
terinfeksi bisa menularkan HIV (PELKESI, 1995).
e. Alat-alat untuk menoreh kulit
Alat tajam dan runcing seperti jarum, pisau, silet, menyunat
seseorang, membuat tato, memotong rambut, dan sebagainya bisa
menularkan HIV sebab alat tersebut mungkin dipakai tanpa disterilkan
terlebih dahulu.
f. Menggunakan jarum suntik secara bergantian
Jarum suntik yang digunakan di fasilitas kesehatan, maupun
yang digunakan oleh para pengguna narkoba (Injecting Drug User-
IDU) sangat berpotensi menularkan HIV. Selain jarum suntik, pada
para pemakai IDU secara bersama-sama juga menggunakan tempat
penyampur, pengaduk, dan gelas pengoplos obat, sehingga berpotensi
tinggi untuk menularkan HIV.
14
berjabat tangan, hidup serumah dengan penderita HIV/AIDS, gigitan
nyamuk, dan hubungan sosial yang lain.
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
16
DAFTAR PUSTAKA
17