Anda di halaman 1dari 25

ASKEP IBU HAMIL DENGAN HIV/AIDS

DOSEN PENGAMPU: Ns.DEBBIE NOMIKO,M.Kep

Oleh Kelompok 1 :

1. Seprianto

2. Reni Puji Lestari

3. Bety Susanti

4. Ahmad Mustofa Kamal

5. Widya Astuti

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAMBI


PRODI D-IV ALIH JENJANG JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2021/2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

HIV berarti virus yang dapat merusak sistem kekebalan tubuh


manusia. Ini adalah retrovirus, yang berarti virus yang mengunakan sel
tubuhnya sendiri untuk memproduksi kembali dirinya. Asal dari HIV tidak
jelas, penemuan kasus awal adalah dari sampel darah yang dikumpulkan
tahun 1959 dari seorang laki–laki dari Kinshasa di Republik Demokrat
Congo. Tidak diketahui bagaimana ia terinfeksi.
Saat ini terdapat dua jenis HIV: HIV–1 dan HIV–2 . HIV–
1 mendominasi seluruh dunia dan bermutasi dengan sangat mudah. Keturunan
yang berbeda–b eda dari HIV–1 juga ada, mereka dapat dikategorikan dalam
kelompok dan sub– jenis (clades). Terdapat dua kelompok, yaitu kelompok
M dan O. Dalam kelompok M terdapat sekurang– kurangnya 10 sub–jenis
yang dibedakan secara turun temurun. Ini adalah sub – j enis A–J. Sub – j enis
B kebanyakan ditemukan di America, Japan, Australia, Karibia dan Eropa.
Sub – j enis C ditemukan di Afrika Selatan dan India. HIV–2 teridentifikasi
pada tahun 1986 dan semula merata di Afrika Barat. Terdapat
banyak kemiripan diantara HIV–1 dan HIV–2, contohnya adalah
bahwa keduanya menular dengan cara yang sama, keduanya dihubungkan
dengan infeks i–i nfeksi oportunistik dan AIDS yang serupa. Pada orang yang
terinfeksi dengan HIV–2, ketidakmampuan menghasilkan kekebalan tubuh
terlihat berkembang lebih lambat dan lebih halus. Dibandingkan dengan orang
yang terinfeksi dengan HIV–1, maka mereka yang terinfeksi dengan HIV–2
ditulari lebih awal dalam proses penularannya.
HIV dapat menular melalui kontak darah, namun disini kami akan
mencoba membahas
Bagaiamana HIV AIDS yang dialami ibu hamil dan bagaimana
melakukan sebuah proses keperawatan pada ibu hamil dengan HIV AIDS.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian HIV/AIDS?
2. Bagaimana etiologi HIV?
3. Apa saja macam – macam infeksi HIV?
4. Bagaimana patofisiologi HIV?
5. Bagaimana periode penularan HIV pada ibu hamil?
6. Bagaimana gejala HIV?
7. Apa saja pemeriksaan diagnostik HIV?
8. Bagaimana pengobatan HIV?
9. Bagaimana konsep Asuhan Keperawatan pada ibu hamil dengan HIV?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian HIV/AIDS
2. Mengetahui etiologi HIV
3. Mengetahui macam – macam infeksiHIV
4. Mengetahui patofisiologi HIV
5. Mengetahui periode penularan HIV pada ibuhamil
6. Mengetahui gejala HIV
7. Mengetahui pemeriksaan diagnostik HIV
8. Mengetahui pengobatan HIV
9. Mengetahui konsep Asuhan Keperawatan pada ibu hamil dengan HIV
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi
HIV ( Human immunodeficiency Virus ) adalah virus pada manusia
yang menyerang system kekebalan tubuh manusia yang dalam jangka waktu
yang relatif lama dapat menyebabkan AIDS, sedangkan AIDS sendiri adalah
suatu sindroma penyakit yang muncul secara kompleks dalam waktu relatif
lama karena penurunan sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi
HIV.
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah sindroma yang
menunjukkan defisiensi imun seluler pada seseorang tanpa adanya penyebab
yang diketahui untuk dapat menerangkan terjadinya defisiensi tersebut
sepertii keganasan, obat-obat supresi imun, penyakit infeksi yang sudah
dikenal dan sebagainya (Rampengan & Laurentz,1997:171).

AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang merusak sistem
kekebalan tubuh manusia (H. JH. Wartono, 1999 : 09).
AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem
kekebalan tubuh (dr. JH. Syahlan, SKM. dkk, 1997 : 17).
Infeksi pada kehamilan adalah penyebab morbiditas ibu dan neonatal
yang sudah diketahui. Banyak kasus dapat dicegah, dan dalam makalah ini
akan dibahas mengenai
penyakit infeksi yang sering ditemukan yang dapat terjadi dalam kehamilan.

HIV ( Human immunodeficiency Virus ) adalah virus pada manusia


yang menyerang system kekebalan tubuh manusia yang dalam jangka waktu
yang relatif lama dapat menyebabkan AIDS, sedangkan AIDS sendiri adalah
suatu sindroma penyakit yang muncul secara kompleks dalam waktu relatif
lama karena penurunan sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi
HIV.
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah sindroma
yang menunjukkan defisiensi imun seluler pada seseorang tanpa adanya
penyebab yang diketahui untuk dapat menerangkan terjadinya defisiensi
tersebut sepertii keganasan, obat-obat supresi imun,
penyakit infeksi yang sudah dikenal dan sebagainya ( Rampengan &
Laurentz ,1997 : 171
AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang merusak sistem
kekebalan tubuh manusia (H. JH. Wartono, 1999 : 09).
AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem
kekebalan tubuh (dr. JH. Syahlan, SKM. dkk, 1997 : 17).
Infeksi pada kehamilan adalah penyebab morbiditas ibu dan neonatal
yang sudah diketahui. Banyak kasus dapat dicegah, dan dalam makalah ini
akan dibahas mengenai penyakit infeksi yang sering ditemukan yang dapat
terjadi dalam kehamilan.

2.2 Etiologi
Penyebab infeksi adalah golongan virus retro yang disebut human
immunodeficiency virus (HIV). HIV pertama kali ditemukan pada tahun 1983
sebagai retrovirus dan disebut HIV-1. Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan
lagi retrovirus baru yang diberi nama HIV-2. HIV-2 dianggap sebagai virus
kurang pathogen dibandingkaan dengan HIV-1. Maka untuk memudahkan
keduanya disebut HIV.
Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu:

1. Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi.


Tidak ada gejala.

2. Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1-2 minggu dengan gejala flu
likes illness.

3. Infeksi asimtomatik. Lamanya 1-15 atau lebih tahun dengan gejala


tidak ada.
4. Supresi imun simtomatik. Diatas 3 tahun dengan gejala demam,
keringat malam hari, B menurun, diare, neuropati, lemah, rash,
limfadenopati, lesimulut.

5. AIDS. Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS


pertama kali ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor
pada berbagai system tubuh, dan manifestasi neurologist.
Cara penularan HIV:
1) Melakukan penetrasi seks yang tidak aman dengan seseorang yang telah
terinfeksi. Kondom adalah satu–satunya cara dimana penularan HIV
dapat dicegah.
2) Melalui darah yang terinfeksi yang diterima selama transfusi darah
dimana darah tersebut belum dideteksi virusnya atau pengunaan jarum
suntik yang tidak steril
3) Dengan mengunakan bersama jarum untuk menyuntik obat bius
dengan seseorang yang telah terinfeksi.

4) Wanita hamil dapat juga menularkan virus ke bayi mereka selama masa
kehamilan atau persalinan dan juga melalui menyusui.

Penularan secara perinatal

1. Ibu hamil yang terinfeksi HIV dapat menularkan HIV pada bayi yang
dikandungnya.

2. Penularan dari ibu terjadi terutama pada saat proses melahirkan, karena
pada saat itu terjadi kontak secara lansung antara darah ibu dengan bayi
sehingga virus dari ibu dapat menular pada bayi.

3. Bayi juga dapat tertular virus HIV dari ibu sewktu berada dalam
kandungan atau juga melalui ASI

4. Ibu dengan HIV dianjurkan untuk PASI


Kelompok resiko tinggi:
1. Lelaki homoseksual atau biseks.
2. Orang yang ketagian obat intravena
3. Partner seks dari penderita AIDS
4. Penerima darah atau produk darah (transfusi).
5. Bayi dari ibu/bapak terinfeksi.

2.3 Macam infeksi HIV


Atas dasar interaksi HIV dengan respon imun pejamu, infeksi HIV
dibagi menjadi tiga Tahap :
1. Tahap dini, fase akut, ditandai oleh viremia transien, masuk ke dalam
jaringan limfoid, terjadi penurunan sementara dari CD4+ sel T diikuti
serokonversi dan pengaturan replikasi virus dengan dihasilkannya CD8+
sel T antivirus. Secara klinis merupakan penyakit akut yang sembuh sendiri
dengan nyeri tenggorok, mialgia non-spesifik, dan meningitis aseptik.
Keseimbangan klinis dan jumlah CD4+ sel T menjadi normal terjadi dalam
waktu 6-12 minggu.
2. Tahap menengah, fase kronik, berupa keadaan laten secara klinis dengan
replikasi. virus yang rendah khususnya di jaringan limfoid dan hitungan
CD4+ secara perlahan menurun. Penderita dapat mengalami pembesaran
kelenjar limfe yang luas tanpa gejala yang jelas. Tahap ini dapat mencapai
beberapa tahun. Pada akhir tahap ini terjadi demam, kemerahan kulit,
kelelahan, dan viremia. Tahap kronik dapat berakhir antara 7- 10 tahun.
3. Tahap akhir, fase krisis, ditandai dengan menurunnya pertahanan tubuh
penderita secara cepat berupa rendahnya jumlah CD4+, penurunan berat
badan, diare, infeksi oportunistik, dan keganasan sekunder. Tahap ini
umumnya dikenal sebagai AIDS. Petunjuk dari CDC di Amerika Serikat
menganggap semua orang dengan infeksi HIV dan jumlah sel T CD4+
kurang dari 200 sel/µl sebagai AIDS, meskipun gambaran klinis
belum terlihat. ( Robbins, dkk, 1998 : 143 )

2.4 Patofisiologi
HIV masuk kedalam darah dan mendekati sel T – helper dengan melekatkan
dirinya pada protein CD4. Sekali ia berada di dalam, materi viral (jumlah virus
dalam tubuh penderita) turunan yang disebut RNA (ribonucleic acid) berubah
menjadi viral DNA (deoxyribonucleic acid) dengan suatu enzim yang disebut
reverse transcriptase. Viral DNA tersebut menjadi bagian dari DNA manusia,
yang mana, daripada menghasilkan lebih banyak sel jenisnya, benda tersebut
mulai menghasilkan virus – virus HI.
Enzim lainnya, protease, mengatur viral kimia untuk membentuk virus
– virus yang baru. Virus–virus baru tersebut keluar dari sel tubuh dan bergerak
bebas dalam aliran darah, dan berhasil menulari lebih banyak sel. Ini adalah
sebuah proses yang sedikit demi sedikit dimana akhirnya merusak sistem
kekebalan tubuh dan meninggalkan tubuh menjadi mudah diserang oleh
infeksi dan penyakit–penyakit yang lain. Dibutuhkan waktu untuk menularkan
virus tersebut dari orang ke orang

2.5 Periode Penularan HIV pada Ibu hamil


Penularan HIV dari ibu ke anak terjadi karena wanita yang menderita
HIV/AIDS sebagian besar masih berusia subur, sehingga terdapat resiko
penularan infeksi yang terjadi pada saat kehamilan (Richard, et al., 1997).
Selain itu juga karena terinfeksi dari suami atau pasangan yang sudah
terinfeksi HIV/AIDS karena sering berganti-ganti pasangan dan gaya hidup.
Penularan ini dapat terjadi dalam 3 periode:
1. Periode Prenatal (kehamilan)
Selama kehamilan, kemungkinan bayi tertular HIV sangat kecil. Hal ini
disebabkan karena terdapatnya plasenta yang tidak dapat ditembus oleh
virus itu sendiri. Oksigen, makanan, antibodi dan obat-obatan memang
dapat menembus plasenta, tetapi tidak oleh HIV. Plasenta justru
melindungi janin dari infeksi HIV. Perlindungan menjadi tidak
efektif apabila ibu:
1) Mengalami infeksi viral, bakterial, dan parasit (terutama malaria)
pada plasenta selama kehamilan.
2) Terinfeksi HIV selama kehamilan, membuat meningkatnya muatan
virus pada saat itu.
3) Mempunyai daya tahan tubuh yang menurun.
4) Mengalami malnutrisi selama kehamilan yang secara tidak
langsung berkontribusi untuk terjadinya penularan dari ibu ke anak.
2. Periode Intrapartum (persalinan)
Pada periode ini, resiko terjadinya penularan HIV lebih besar jika
dibandingkan periode kehamilan. Penularan terjadi melalui transfusi
fetomaternal atau kontak antara kulit atau membrane mukosa bayi dengan
darah atau sekresi maternal saat melahirkan. Semakin lama proses
persalinan, maka semakin besar pula resiko penularan terjadi. Oleh
karena itu, lamanya persalinan dapat dipersingkat dengan section
caesaria. Faktor yang mempengaruhi tingginya risiko penularan dari ibu
ke anak selama proses persalinan adalah:
Lama robeknya membran.

1. Chorioamnionitis akut (disebabkan tidak diterapinya IMS atau


infeksi lainnya)

2. Teknik invasif saat melahirkan yang meningkatkan kontak bayi


dengan darah ibu misalnya, episiotomi.

3. Anak pertama dalam kelahiran kembar

Perawatan wanita yang sakit saat melahirkan tidak diubah secara


substansial untuk infeksi tanpa gejala dengan HIV (Minkoff,1987).
Cara kelahiran didasarkan hanya pada pertimbangan obstetric karena
virus melalui plasenta pada awal kehamilan. Fokus utama pencegahn
penyebaran HIV nosocomial dan perlindungan terhadap pelaku
perawatan. Resiko penularan HIV dianggap rendah selama
kelahiran vaginal.. EPM (Elektrinic Fetal Monitoring) eksternal
dilakukan jika EPM diperlukan. Terdapat kemungkinan inokulasi virus
ke dalam neonatus jika dilakukan pengambilan sempel darah pada bayi
dilakukan atau jika elektroda jangat kepala bayi diterapkan.
Disamping itu, seseorang yang melakukan prosedur ini berada pada
resiko tertular virus HIV.

3. Periode Postpartum (melalui ASI)

Cara penularan yang dimaksud disini yaitu penularan melalui ASI.


Berdasarkan data penelitian De Cock, dkk (2000), diketahui bahwa ibu yang
menyusui bayinya mempunyai resiko menularkan HIV sebesar 10 - 15%
dibandingkan ibu yang tidak menyusui bayinya. Risiko penularan melalui
ASI tergantung dari:
1) Pola pemberian ASI, bayi yang mendapatkan ASI secara eksklusif
akan kurang berisiko dibanding dengan pemberian campuran.
2) Patologi payudara: mastitis, robekan puting susu, perdarahan
putting susu dan infeksi payudara lainnya.
3) Lamanya pemberian ASI, makin lama makin besar kemungkinan
infeksi.

4) Status gizi ibu yang buruk


2.6 Gejala HIV AIDS
Manifestasi klinis yang tampak dibagi menjadi 2, yaitu:

1. Manifestasi Klinis Mayor


1) Demam berkepanjangan lebih dari 3 bulan
2) Diare kronis lebih dari satu bulan berulang maupun terus menerus
3) Penurunan berat badan lebih dari 10% dalam 3 tiga bulan TBC
2. Manifestasi Klinis Minor
1) Batuk kronis selama lebih dari satu bulan
2) Infeksi pada mulut dan jamur disebabkan karena jamur Candida
Albicans
3) Pembengkakan kelenjar getah bening yang menetap di seluruh
tubuh
4) Munculnya Herpes zoster berulang dan bercak-bercak gatal di
seluruh tubuh

Banyak orang yang terinfeksi HIV tidak menunjukkan gejala apapun.


mereka merasa sehat dan juga dari luar Nampak sehat-sehat saja. Namun orang
yang terinfeksi HIV akan menjadi pembawa dan penular HIV kepada orang
lain. Kelompok orang-orang HIV tanpa gejala dapat dibagi menjadi dua
kelompok yaitu:

1. Kelompok yang sudah terinfeksi HIV, tetapi tanpa gejala dan tes darahnya
negatif. pada tahap dini ini antibody terhadap HIV belum terbentuk. Waktu
antara masuknya HIV disebut window period yang memerlukan waktu
antara 15 hari sampai 3 bulan setelah terinfeksi HIV.
2. Kelompok yang sudah terinfeksi HIV, tanpa gejala tetapi tes darah positif.
Keadaan tanpa gejala ini dapat berlangsung lama sampai 5 tahun atau
lebih. CDC (Center for Disease Control, USA, 1986) menetapkan
klasifikasi infeksi HIV pada orang dewasa sebagai
berikut:
Kelompok I: infeksi akut

Kelompok II: infeksi asimptomatik

Kelompk III: Infeksi Limpadenopati Generalisata Persisten (LGP)

Kelompok IV: penyakit-penyakit lain.

2.7 Pemeriksaan diagnostik

1. VCT (Voluntary Counseling Testing)

VCT adalah suatu pembinaan dua arah atau dialog yang berlangsung tak
terputus antara konselor dan kliennya untuk mencegah penularan HIV,
memberikan dukungan moral, informasi, serta dukungan lainnya kepada
ODHA, keluarga , dan lingkungannya. Tujuan VCT :
1) Upaya pencegahan HIV/AIDS.

2) Upaya untuk mengurangi kegelisahan, meningkatkan


persepsi/pengetahuan mereka tentang faktor-faktor resiko penyebab
seseorang terinfeksi HIV.

3) Upaya pengembangan perubahan perilaku, sehingga secara dini


mengarahkan mereka menuju ke program pelayanan dan dukungan
termasuk akses terapi antiretroviral, serta membantu mengurangi
stigma dalam masyarakat.
Pemerikasaan Laboratorium
1. Tes serologis: tes antibodi serum terdiri dari skrining HIV dan ELISA;
2. Tes blot western untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap beberapa
protein spesifik HIV.
3. Pemeriksaan histologis, sitologis urin ,darah, feces, cairan spina, luka,
sputum, dan sekresi.
4. Tes neurologis: EEG, MRI, CT Scan otak, EMG.
5. Tes lainnya: sinar X dada menyatakan perkembangan filtrasi interstisial dari
PCV tahap lanjut atau adanya komplikasi lain; tes fungsi pulmonal untuk
deteksi awal pneumonia interstisial; Scan gallium; biopsy; branskokopi.
6. Tes Antibodi

a. Tes ELISA, untuk menunjukkan bahwa seseorang terinfeksi atau


pernah terinfeksi HIV.
b. Western blot asay/ Indirect Fluorescent Antibody (IFA), untuk
mengenali antibodi HIV dan memastikan seropositifitas HIV.
c. Indirect immunoflouresence, sebagai pengganti pemerikasaan
western blot untuk memastikan seropositifitas.
d. Radio immuno precipitation assay, mendeteksi protein pada antibodi.

e. Pendeteksian HIV

BAB IV
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan

HIV ( Human immunodeficiency Virus ) adalah virus pada


manusia yang menyerang system kekebalan tubuh manusia yang dalam
jangka waktu yang relatif lama dapat menyebabkan AIDS. Penyebab
infeksi adalah golongan virus retro yang disebut human
immunodeficiency virus (HIV). Cara penularan HIV melakukan
penetrasi seks, melalui darah yang terinfeksi, dengan mengunakan
bersama jarum untuk menyuntik obat bius dengan seseorang yang telah
terinfeksi, wanita hamil. Penularan secara perinatal terjadi terutama pada
saat proses melahirkan, karena pada saat itu terjadi kontak secara lansung
antara darah ibu dengan bayi sehingga virus dari ibu dapat menular pada
bayi.
Kehamilan merupakan peristiwa alami yang terjadi pada wanita, namun
kehamilan dapat mempengaruhi kondisi kesehatan ibu dan janin terutama
pada kehamilan trimester pertama. Wanita hamil trimester pertama pada
umumnya mengalami mua, muntah, nafsu makan berkurang dan kelelahan.
Menurunnya kondisi wanita hamil cenderung memperberat kondisi klinis
wanita dengan penyakit infeksi antara lain infeksi HIV- AIDS.
HIV/AIDS adalah topic yang sangat sensitive dan lebih banyak
sehinggabanyak penelitian melibatka anak-anak yang rentan untuk terjangkit
HIV. Setiap usaha dilakukan untuk memastikan bahwa keluarga akan merasa
baik.

4.2 Saran

1. Mahasiswa dam Mahasiswi


Mahasiswa dan mahasiswi dapat mengerti tentang asuhan keperawatan
dengan gangguan sistem reproduksi infertility HIV /AIDS
2. Institusi
Institusi dapat memfasilitasi dengan fasilitas yang memadai sehingga
dapat mendukung tercapainya makalah yang baik dan benar.
DAFTAR PUSTAKA

Administrator. 2010. Pencegahan dan Penatalaksanaan Infeksi HIV (AIDS)


pada kehamilan. Hartati Nyoman, Suratiah, Mayuni IGA Oka. Ibu
Hamil dan HIV-AIDS. Gempar: Jurnal Ilmiah Keperawatan Vol. 2
No.1 Juni 2009.
Bari Saifuddin, Abdul. 2009. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan
Materal dan Neonatal. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo Carpenito, Lynda Juall. 2006. Diagnosis Keperawatan.
Jakarta: EGC

Bradley-Springer L, Lyn S, Adele W. Every Nurse Is an HIV Nurse. AJN


2010;110(3):33-39. Bastien S, LJ Kajula, WW Muhwezi. A review
of studies of parent-child communication about sexuality and
HIV/AIDS in sub-Saharan Africa. Reproductive Health
2011;8(25):1-17

Carpenito, Lynda Juall. 2006. Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC


Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan : pedoman
untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Ed. 3.
Jakarta : EGC

Doengoes, Marilynn, dkk, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan ; Pedoman


untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi 3,
alih bahasa : I Made Kariasa dan Ni Made S, EGC, Jakarta
Doku Paul Narh. Parental HIV/AIDS status and death, and Children’s
Phychological Wellbeing. International Journal of Mental Health system
2009;3(26):1-8
Heemanides HS, Lonneke AVV, Ralph V, Fred DM, Aimee D, Gerard VO,
et all. Developinh quality indicators for the care of HIV- infected
pregnant women in the Dutch Caribbean. Aids Research and
Therapy 2011; 8(32) : 1-9.
Nanda, NIC-NOC. 2015 Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis.Mediaction

Nursalam dan dwi, Ninuk. 2008. Asuhan keperawatan pada pasien terinfeksi
HIV/AIDS.Jakarta: Salemba medika.
prevention and health promotion. BMC Public Health 2011; 11(633): 1-11.

Siregar FA. Pengenalan dan Pencegahan HIV-AIDS. Medan. Universitas


Sumatera Utara, 2004.

Susanti NN. 2000. Psikologi Kehamilan. Jakarta: EGC.


Wamoyi J, Martin M, Janet S, Josephine B, Shabbar J. Changes in sexual
desires and behaviours of people living with HIV after initiation
of ART: Implications for HIV
Yati, Ida. 2010. AIDS pada ibu hamil . http://www.docstoc.com/docs/. 05
Oktober 2013. 15.10 WIB (access online)
A. Pengkajian
1. Aktifitas / Istirahat
o Mudah lelah, berkurangnya toleransi terhadap aktifitas, kelelahan
yang progresif
o Kelemahan otot, menurunnya massa otot, respon fisiologi
terhadap aktifitas.
2. Sirkulasi
o Proses penyembuhan luka yang lambat, perdarahan lama bila
cedera
o Takikardia, perubahan tekanan darah postural, volume nadi
periver menurun, pengisian kapiler memanjang
3. Integritas Ego
o Faktor stress yang berhubungan dengan kehilangan dukungan
keluarga, hubungan dengan orang lain, penghasilan dan gaya
hidup tertentu
o Mengkhawatirkan penampilan, alopesia, cacat, menurunnya
beratbadan
o Merasa tidak berdaya, putus asa, rasa bersalah, kehilangan kontrol
dir, dan depresi
o Mengingkari, cemas, depresi, takut, menari diri, marah, menangis,
kontak mata kurang.
4. Eliminas
o Diare, nyeri pinggul, rasa terbakar saat berkemih
o Faeces encer disertai mucus atau darah
5. Makanan Cairan
o Tidak ada nafsu makan, mual, muntah
o Penurunan BB yang cepat
o Bising usus yang hiperaktif
o Turgor kulit jelek, lesi pada rongga mulut, adanya selaput putih /
perubahan warna mucosa mulut
o Adanya gigi ynag tinggal Edema
6. Hygiene
o Tidak dapat menyelesaikan ADL, memperlihatkan penampilan
yang tidak rapi
7. Neurosensorik
o Pusing, sakit kepala
o Perubahan status mental, kerusakan mental, kerusakan sensasi
o Kelemahan otot tremor penurunan visus
o Bebal, kesemutan pada ekstrimitas
o Gaya berjalan ataksia
8. Nyeri / Kenyamanan
o Nyeri umum / lokal, sakit, rasa terbakar pada kaki.
o Sakit kepala, nyeri dada pleuritis.
o Pembengkakan pada sendi, nyeri kalenjer, nyeri tekan, penurunan
ROM, pincang.
9. Pernapasan
o Terjadi ISPA, nafas pendek yang progresif, batuk produktif / non,
sesak pada dada, takipneu, bunyi nafas tambahan, sputum kuning.
10. Keamanan
o Riwayat jatuh, terbakar, pingsan, luka lambat proses
penyembuhan.
o Demam berulang.
11. Seksualitas
o Riwayat perilaku seksual risiko tinggi, penurunan libido,
penggunaan kondom yang tidak konsisten, lesi pada genitalis,
keputihan.
12. Interaksi sosial
o Isolasi, kesepian, perubahan interaksi keluarga, aktifitas yang
tidak terorganisir.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Risiko terjadinya infeksi berhubungan dengan depres system imun,
aktifitas ynag tidak terorganisir
2. Defisit volume cairan tubuh berhububfan dengan hambatan asupan
makanan ( muntah / mual ), gangguan intestinal, hipermetabolik
3. Pola bafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru,
melemahnya otot pernafasan
4. Intoleransi aktifitas berhungan dengan kelemahan, pertukaran oksigen,
malnutrisi, kelelahan.
5. Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang
keadaan yang orang dicintai.
C. Inte rvensi Keperawatan
1. Diagnosa 1 : Risiko terjadinya infeksi b / d depresi system imun,
katifitas yang tidak terorganisir.
o Tujuan : Klien akan menunjukkan tanpa adanya tanda – tanda infeksi
( tidak ada demam, sekresi tidak purulent )
Intervensi :
1) Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien
R/. Risiko cros dapat melalui prosedur yang dilakukan
2) Ciptakan lingkungan yang bersih dan ventilasi yang cukup
R/. Lingkungan yang kotor akan meningkatkan pertumbunhan
kuman pathogen.
3) Informasi perlunya tindakan isolasi
R/. Penurunan daya tahan tubuh memudahkan berkembang biaknya
kuman pathogen. Tindakan isolasi sebagai upaya menjauhkan dari
kontak langsung dengan kuman panthogen.
4) Kaji tanda – tanda vital termasuk suhu badan
R/. Peningkatan suhu badan menunjukkan adanya infeksi sekunder.
5) Kaji frekuensi nafas, bunyi nafas, batuk dan karakteristik sputum.
Observasi kulut /membrane mucosa kemungkinan adanya lesi
/perubahan warna, bersihkan kuku setiap hari.
R/. Luka akibat garukan memudahkan timbul infeksi luka.
6) Perhatikan adanya tanda – tanda inflamasi
R/. Panas kemerahan pembengkakan merupakan tanda adanya
infeksi.
7) Awasi penggunaan jarum suntik dan mata pisau secara ketat
dengan menggunakan wadah sendiri
R/. Tindakan prosedur dapat menyebabkan perlukaan pada
permukaan kulit.
2. Diagnosa 2 : defisit volume cairan tubuh b / d diare berat, status
hipermetabolik.
o Tujuan : klien akan mempertahankan tingkat hidrasi yang adekuat
Intervensi :
1) Pantau tanda – tanda vital termasuk CVP bila terpasang.
R/. Denyut nadi / HR meningkat, suhu tubuh menurun, TD
menurun menunjukkan adanya dehidrasi.
2) Catat peningkatan suhu dan lamanya, berikan kompres hangat,
pertahankan pakaian tetap kering, kenyamanan suhu
lingkungan.
R/. Suhu badan meningkat menunjukkan adanya
hipermetabolisme.
3) Kaji turgor kulut, membrane mukosa dan rasa haus.
4) Timbang BB setiap hari
R/. Penurunanan BB menunjukkan pengurangan volume cairan
tubuh.
5) Catat pemasukan cairan mll oral sedikitnya 2500 ml / hari
R/. Mempertahankan keseimbangan, mengurangi rasa haus dan
melembabkan membrane mucosa.
6) Berikan makanan yang mudah di cerna dan tidak meransang
R/. Peningkatan perrstaktuc menyebabkan penyerapan cairan
pada dinding usus akan kurang.
3. Diagnosa 3 : Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
hambatan asupan makanan ( muntah / mual ), gangguan intestinal,
hioermetabolik.
o Tujuan : Klien akan menunjukkan peningkatan BB ideal.
Intervensi :
1) Kaji kemampuan mengunyah, merasakan dan menelan.
R/. Lesi pada mulut, esophagus dapat menyebabkan disfagia.
2) Auskultasi bising usus
R/. Hipermetabolisme saluran gastrointestinal akan menurunkan
tingkat penyerapan usus.
3) Timbang BB setiap hari
R/. BB sebagai indikator kebutuhan nutrisi adekuat.
4) Hindari adanya stimulus lingkungan yang berlebihan
5) Berikkan perawatan mulut, awasi tindakan pencegahan sekresi.
Hindari obat kumur yang mengandung alkohol.
R/. Pengeringan mucosa, lesi padamulut dan bau mulut akan
menurunkan nafsu makan.
6) Rencanakan makan bersama keluarga / orang terdekat. Berikan
makan sesuai keinginannya ( bila tidak kontraindikasi)
7) Sajikan makanan yang hangat dan berikan dalam volume sedikit.
8) Dorong klien untuk dusuk saat makan.
4. Diagnosa 4 : pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan
ekspansi paru. Melemahnya otot pernafasan.
o Tujuan : Klien akan mempertahankan pola nafas yang efektif
Intervensi :
1) Auskultasi bunyi nafas tambahan
R/. Bunyi nafas tambahan menunjukkan adanya infeksi jalan nafas
/ peningkatan sekresi
2) Catat kemungkinan adanya sianosis, perubahan nafas frekuensi dan
penggunaan otot asesoris
3) Berikan posisi semi flowler
4) Lakukan suction bila terjadi retensi sekresi jalan nafas.
5. Diagnosa 5 : Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan,
pertukaran oksigen, malnutrisi, kelelahan.
o Tujuan : Pasien berpartisipasi dalam kegiatan, dengan kriteria
bebas dypnea dan takikardi aktifitas.
Intervensi :
1) Monitor respon fisiologi terhadap aktivitas
R/. Respon bervariasi dari hari ke hari
2) Berikan bantuan perawatan yang pasien sendiri tidak mampu
R/. Mengurangi kebutuhan energi.
3) Jadwalkan perawatan pasien sehingga tidak mengganggu
istirahat.
R/. Ekstra istirahat perlu jika karena meningkatkan kebutuhan
metabolik.
6. Diagnosa 6 : Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan
cemas tentang keadaan yang orang dicintai.
o Tujuan : Keluarga atau orang penting lain mempertahankan
suport sistem dan adaptasi terhadap perubahan akan
kebutuhannya dengan kriteria pasien dan keluarga berinteraksi
dengan cara yang konstruktif.
Intervensi :
1) Kaji koping keluarga terhadap sakit pasien dan perawatnya
R/. Memulai suatu hubungan dalam bekerja secara konstrukstif
dengan keluarga
2) Biarkan keluarga mengungkapkan perasaan secara verbal
R/. Mereka tak menyadari bahwa mereka berbicara secara
bebas.
3) Ajarkan kepada keluarga tentang penyakit dan transmisinya.
R/. Menghilangkan kecemasan tentang transmisi melalui kontak
sederhana.
D. Implementasi
Didasarkan pada diagnosa yang muncul baik secara aktual, risiko, atau
potensial. Kemudian dilakukan tindakan keperawatan yang sesuai
berdasarkan NCP.
E. Evaluasi
Disimpulkan berdasarkan pada sejauh mana keberhasilan mencapai
kriteria hasil, sehingga dapat diputuskan apakah intervensi tetap
dilanjutkan, dihentikan, atau diganti jika tindakan yang sebelumnya tidak
berhasil.

Anda mungkin juga menyukai