Anda di halaman 1dari 18

TUGAS KEPERAWATAN ANAK

LAPORAN PENDAHULUAN PADA ANAK DENGAN MASALAH


PENYAKIT INFEKSI HIV/AIDS

DISUSUN OLEH :
Astuti
2004025

CI LAHAN CI INSTITUSI

( ) ( )

YAYASAN PERAWAT SULAWESI SELATAN


STIKES PANAKKUKANG MAKASSAR
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
T.A 2020/2021

1
1.1 Pengertian

HIV ( Human immunodeficiency Virus ) adalah virus pada manusia yang


menyerang system kekebalan tubuh manusia yang dalam jangka waktu yang
relatif lama dapat menyebabkan AIDS, sedangkan AIDS sendiri adalah suatu
sindroma  penyakit yang muncul secara kompleks  dalam waktu relatif lama
karena penurunan sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV.
a. AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah sindroma yang
menunjukkan defisiensi imun seluler pada seseorang tanpa adanya
penyebab yang diketahui untuk dapat menerangkan terjadinya defisiensi
tersebut sepertii keganasan, obat-obat supresi imun, penyakit infeksi
yang sudah dikenal dan sebagainya ( Rampengan & Laurentz ,1997 :
171).
b. AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang merusak sistem
kekebalan tubuh manusia (H. JH. Wartono, 1999 : 09).
c. AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem
kekebalan tubuh (dr. JH. Syahlan, SKM. dkk, 1997 : 17).

1.2 Etiologi

Penyebab infeksi adalah golongan virus retro yang disebut human


immunodeficiency virus (HIV). HIV pertama kali ditemukan pada tahun 1983
sebagai retrovirus dan disebut HIV-1. Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan lagi
retrovirus baru yang diberi nama HIV-2. HIV-2 dianggap sebagai virus kurang
pathogen dibandingkaan dengan HIV-1. Maka untuk memudahkan keduanya
disebut HIV.

Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu :
1. Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi.
Tidak ada gejala.
2. Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1-2 minggu dengan gejala
flu likes illness.

2
3. Infeksi asimtomatik. Lamanya 1-15 atau lebih tahun dengan gejala
tidak ada.
4. Supresi imun simtomatik. Diatas 3 tahun dengan gejala demam,
keringat malam hari, B menurun, diare, neuropati, lemah, rash,
limfadenopati, lesi mulut.
5. AIDS. Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS
pertama kali ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan
tumor pada berbagai system tubuh, dan manifestasi neurologist.

Cara penularan HIV:


1. Melakukan penetrasi seks yang tidak aman dengan seseorang yang telah
terinfeksi. Kondom adalah satu–satunya cara dimana penularan HIV
dapat dicegah.
2. Melalui darah yang terinfeksi yang diterima selama transfusi darah
dimana darah tersebut belum dideteksi virusnya atau pengunaan jarum
suntik yang tidak steril.
3. Dengan mengunakan bersama jarum untuk menyuntik obat bius dengan
seseorang yang telah terinfeksi.
4. Wanita hamil dapat juga menularkan virus ke bayi mereka selama masa
kehamilan atau persalinan dan juga melalui menyusui.

Penularan secara perinatal:


1. Ibu hamil yang terinfeksi HIV dapat menularkan HIV pada bayi
yang dikandungnya.
2. Penularan dari ibu terjadi terutama pada saat proses melahirkan,
karena pada saat itu terjadi kontak secara lansung antara darah ibu
dengan bayi sehingga virus dari ibu dapat menular pada bayi.
3. Bayi juga dapat tertular virus HIV dari ibu sewktu berada dalam
kandungan atau juga melalui ASI
4. Ibu dengan HIV dianjurkan untuk PASI

3
Kelompok resiko tinggi:
1. Lelaki homoseksual atau biseks.
2. Orang yang ketagian obat intravena
3. Partner seks dari penderita AIDS
4. Penerima darah atau produk darah (transfusi).
5. Bayi dari ibu/bapak terinfeksi.

1.3 Macam infeksi HIV

Atas dasar interaksi HIV dengan respon imun pejamu, infeksi HIV dibagi
menjadi tiga Tahap :
a. Tahap dini, fase akut, ditandai oleh viremia transien, masuk ke dalam
jaringan limfoid, terjadi penurunan sementara dari CD4+ sel T diikuti
serokonversi dan pengaturan replikasi virus dengan dihasilkannya CD8+ sel
T antivirus. Secara klinis merupakan penyakit akut yang sembuh sendiri
dengan nyeri tenggorok, mialgia non-spesifik, dan meningitis aseptik.
Keseimbangan klinis dan jumlah CD4+ sel T menjadi normal terjadi dalam
waktu 6-12 minggu.
b. Tahap menengah, fase kronik, berupa keadaan laten secara klinis dengan
replikasi. virus yang rendah khususnya di jaringan limfoid dan hitungan
CD4+ secara perlahan menurun. Penderita dapat mengalami pembesaran
kelenjar limfe yang luas tanpa gejala yang jelas. Tahap ini dapat mencapai
beberapa tahun. Pada akhir tahap ini terjadi demam, kemerahan kulit,
kelelahan, dan viremia. Tahap kronik dapat berakhir antara 7-10 tahun.
c. Tahap akhir, fase krisis, ditandai dengan menurunnya pertahanan tubuh
penderita secara cepat berupa rendahnya jumlah CD4+, penurunan berat
badan, diare, infeksi oportunistik, dan keganasan sekunder. Tahap ini
umumnya dikenal sebagai AIDS. Petunjuk dari CDC di Amerika Serikat
menganggap semua orang dengan infeksi HIV dan jumlah sel T CD4+
kurang dari 200 sel/µl sebagai AIDS, meskipun gambaran klinis belum
terlihat. ( Robbins, dkk, 1998 : 143 )

4
1.4 Patofisiologi

a. HIV masuk kedalam darah dan mendekati sel T–helper dengan


melekatkan dirinya pada protein CD4. Sekali ia berada di dalam,
materi viral (jumlah virus dalam tubuh penderita) turunan yang disebut
RNA (ribonucleic acid) berubah menjadi viral DNA (deoxyribonucleic
acid) dengan suatu enzim yang disebut reverse transcriptase. Viral
DNA tersebut menjadi bagian dari DNA manusia, yang mana,
daripada menghasilkan lebih banyak sel jenisnya, benda tersebut mulai
menghasilkan virus–virus HI.
b. Enzim lainnya, protease, mengatur viral kimia untuk membentuk
virus–virus yang baru. Virus–virus baru tersebut keluar dari sel tubuh
dan bergerak bebas dalam aliran darah, dan berhasil menulari lebih
banyak sel. Ini adalah sebuah proses yang sedikit demi sedikit dimana
akhirnya merusak sistem kekebalan tubuh dan meninggalkan tubuh
menjadi mudah diserang oleh infeksi dan penyakit–penyakit yang lain.
Dibutuhkan waktu untuk menularkan virus tersebut dari orang ke
orang.
c. Respons tubuh secara alamiah terhadap suatu infeksi adalah untuk
melawan sel–sel yang terinfeksi dan mengantikan sel–sel yang telah
hilang. Respons tersebut mendorong virus untuk menghasilkan
kembali dirinya.
d. Jumlah normal dari sel–sel CD4+T pada seseorang yang sehat adalah
800–1200 sel/ml kubik darah. Ketika seorang pengidap HIV yang sel–
sel CD4+ T–nya terhitung dibawah 200, dia menjadi semakin mudah
diserang oleh infeksi–infeksi oportunistik.
e. Infeksi–infeksi oportunistik adalah infeksi–infeksi yang timbul ketika
sistem kekebalan tertekan. Pada seseorang dengan sistem kekebalan
yang sehat infeksi–infeksi tersebut tidak biasanya mengancam hidup
mereka tetapi bagi seorang pengidap HIV hal tersebut dapat menjadi
fatal.

5
1.5 Periode Penularan HIV pada Ibu hamil

1. Periode Prenatal

Timbulnya HIV pada wanita hamil diperkirakan meningkat (Minkoff,


1987). Sejarah kesehatan, uji fisik dan tes laboratorium harus merefleksikan
pengharapan ini jika wanita dan bayinya menerima perawatan yang tepat. Para
wanita yang termasuk dalam kategori beresiko tinggi terhadap infeksi HIV
mencakup:
a. Wanita dan atau pasangannya yang berasal dari wilayah geografis dimana
HIV merupakan sesuatu yang umum.
b. Wanita dan atau pasangannya yang menggunakan obat-obatan yang
disuntikkan melalui pembuluh darah.
c. Wanita yang menderita STD tetap dan kambuhan.
d. Wanita yang menerima tranfusi darah dari pengidap HIV.
e. Wanita yang yakin bahwa dirinya mungkin terjangkit HIV.

Tes HIV sebaiknya ditawarkan kepada wanita beresiko tinggi pada awal
mereka memasuki perawatan prenatal. Namun, soronegativitas pada uji prenatal
pertama bukan jaminan untuk titer negative yang berlangsung. Misalnya, seorang
wanita berusia 24 tahun yang mendapatkan perawatan prenatal selama 8 minggu
mempunyai hasil tes western blot yang negative. Namun, setelah terinfeksi HIV,
serum antibody membutuhkan waktu sampai 12 minggu untuk berkembang. Tes
western blot harus diulangi dalam 1 atau 2 bulan dan pada trimester ketiga. Tes
prenatal rutin dapat membantu mengidentifikasi wanita yang terinfeksi HIV
(Foster, 1987; Kaplan et al, 1987; Minkoff, 1987; Rhoads et al, 1987).
Tes ini juga dapat mengungkap Gonhorhea, Siphilis, Herpes yang tetap
dan menjadi lebih lama, C.Trakomatis, Hepatic B, Micobacterium tuberculosis,
Candidiasis (oropharingeal atau infeksi Vagian Chronic), Cytomegalo Virus
(CMV), dan Toxophlasmosis. Sekitar separuh penderita AIDS mengalami
peningkatan titer CMV. Karena masuknya penyakit CMV memiliki bahaya yang
serius terhadap janin, para wanita hamil dianjurkan dengan yang terinfeksi HIV.
Sejarah vaksinasi dan kekebalan telah didokumentasikan. Titer untuk cacar dan

6
rubella ditentukan dan tes kulit tuberkulosa (Derivasi protein yang
dimurnikan/puriviet protein derivatif (PPD)) telah dilakukan vaksinasi
sebelumnya dengan vaksin rekonbivak Hb dicatat karena vaksin tersebut berisi
produk darah manusia (Vaksin ini sekarang bebas dari darah manusia dan produk-
produk darah).  Wanita dapat menjadi calon yang menerima Rho D
Imunoglobulin. Penularan HIV belum ditemukan adanya vaksin Rh. Proses
persiapan melibatkan alcohol ethyl yang membuat virus tidak aktif. Vaksin ini
dibuat dari darah yang diambil dari kelompok donor regular yang tidak dikenali.
Darah yang digunakan untuk memproduksi vaksin menjalani tes darah yang dapat
mendeteksi darah adanya HIV (Francis, Chin, 1987, MMWR, 1987). Beberapa
ketidaknyamanan yang dihadapi pada masa prenatal (seperti kelelahan, anoreksia,
dan penurunan berat badan) menyiratkan tanda-tanda dan gejal-gejala infeksi
HIV.

2. Periode Intrapartum

Perawatan wanita yang sakit saat melahirkan tidak diubah secara


substansial untuk infeksi tanpa gejala dengan HIV (Minkoff,1987). Cara kelahiran
didasarkan hanya pada pertimbangan obstetric karena virus melalui plasenta pada
awal kehamilan. Fokus utama pencegahn penyebaran HIV nosocomial  dan
perlindungan terhadap pelaku perawatan. Resiko penularan HIV dianggap rendah
selama kelahiran vaginal.. EPM (Elektrinic Fetal Monitoring) eksternal dilakukan
jika EPM diperlukan. Terdapat kemungkinan inokulasi virus ke dalam neonatus
jika dilakukan pengambilan sempel darah pada bayi dilakukan atau jika elektroda
jangat kepala bayi diterapkan. Disamping itu, seseorang yang melakukan prosedur
ini berada pada resiko tertular virus HIV.

3. Periode Postpartum.

Hanya sedikit yang diketahui tentang tindakan klinis selama periode


postpartum yang dapat dilakukan pada wanita yang terinfeksi HIV. Walaupun
periode postpartum pertengahan tercatat signifikan (update, 1987), tindak lanjut

7
yang lebih lama telah mengungkap frekwensi penyakit kilinis yang tinggi pada
ibu-ibu yang anaknya menderita penyakit (Skott, 1985; Minkoff et al, 1987).
Tindakan pencegahan universal dilakukan terhadap ibu dan bayi, seperti yang
dilakukan terhadap semua pasien. Wanita dan bayinya diarahkan pada dokter yang
berpengalamn dalam pengobatan AIDS dan keadaan-keadaan yang menyertainya.
Pengaruh infeksi pada bayi dan neonatal mungkin tidak jelas. Karena virus yang
melalui plasenta, darah di tali pusat akan menunjukkan antibody HIV baik apabila
bayi terinfeksi ataupun tidak. Selama itu antibody yang melalui palang plasenta
mungkin tidak terdapat pada bayi yang tidak terinfeksi sampai usia 15 bulan.
Ketika infeksi HIV menjadi aktif banyak infeksi lain yang biasa menyertai pada
orang dewasa terjadi pada bayi. Komplikasi yang menyertai infeksi HIV pada
bayi mencakup Enchephalopati, Microchephalli, Defisit Kognitif, system saraf
pusat (CNS/central nervous system) Lhympoma, Cerebro Vaskuler Accident,
gagal pernapasan dan Lhympaclenophaty.

1.6 Gejala HIV AIDS

1. Gejala mayor
a. BB menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
b. Diare kronik yang berlangsung lebih dari 1 bulan
c. Penurunan kesadaran dan adanya gangguan neurologis
d. Demensia / HIV Ensefalopati
2. Gejala minor
a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan
b. Dermatitis generalist
c. Adanya herpes zoster yang berulang
d. Kandidiasis orofaringeal
e. Herpes simplex kronik progresif
f. Limfadenopati generalist
g. Infeksi jamur berulang pada kelamin wanita
h. Retinitis Cytomegalovirus

8
1.7 Pemeriksaan diagnostic

1. Tes untuk diagnosa infeksi HIV :


a. Western blot
b. P24 antigen test
c. Kultur HIV
2. Tes untuk deteksi gangguan system imun.
a. Hematokrit.
b. LED
c. CD4 limfosit
d. Rasio CD4/CD limfosit
e. Serum mikroglobulin B2
f. Hemoglobulin

1.8 Pengobatan

1. Obat–obatan Antiretroviral (ARV) bukanlah suatu pengobatan untuk


HIV/AIDS tetapi cukup memperpanjang hidup dari mereka yang
mengidap HIV. Pada tempat yang kurang baik pengaturannya permulaan
dari pengobatan ARV biasanya secara medis direkomendasikan ketika
jumlah sel CD4 dari orang yang mengidap HIV/AIDS adalah 200 atau
lebih rendah. Untuk lebih efektif, maka suatu kombinasi dari tiga atau
lebih ARV dikonsumsi, secara umum ini adalah mengenai terapi
Antiretroviral yang sangat aktif (HAART). Kombinasi dari ARV berikut
ini dapat mengunakan:
a. Nucleoside Analogue Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI'),
mentargetkan pencegahan protein reverse transcriptase HIV dalam
mencegah perpindahan dari viral RNA menjadi viral DNA (contohnya
AZT, ddl, ddC & 3TC).
b. Non–nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI's)
memperlambat reproduksi dari HIV dengan bercampur dengan reverse
transcriptase, suatu enzim viral yang penting. Enzim tersebut sangat
esensial untuk HIV dalam memasukan materi turunan kedalam sel–sel.

9
Obat–obatan NNRTI termasuk: Nevirapine, delavirdine (Rescripta),
efavirenza (Sustiva).
c. Protease Inhibitors (PI) mengtargetkan protein protease HIV dan
menahannya sehingga suatu virus baru tidak dapat berkumpul pada sel
tuan rumah dan dilepaskan.
2. Pencegahan perpindahan dari ibu ke anak (PMTCT): seorang wanita yang
mengidap HIV(+) dapat menularkan HIV kepada bayinya selama masa
kehamilan, persalinan dan masa menyusui. Dalam ketidakhadiran dari
intervensi pencegahan, kemungkinan bahwa bayi dari seorang wanita yang
mengidap HIV(+) akan terinfeksi kira–kira 25%–35%. Dua pilihan
pengobatan tersedia untuk mengurangi penularan HIV/AIDS dari ibu ke
anak. Obat–obatan tersebut adalah:
a. Ziduvidine (AZT) dapat diberikan sebagai suatu rangkaian panjang dari
14–28 minggu selama masa kehamilan. Studi menunjukkan bahwa hal
ini menurunkan angka penularan mendekati 67%. Suatu rangkaian
pendek dimulai pada kehamilan terlambat sekitar 36 minggu menjadi
50% penurunan. Suatu rangkaian pendek dimulai pada masa persalinan
sekitas 38%. Beberapa studi telah menyelidiki pengunaan dari
Ziduvidine (AZT) dalam kombinasi dengan Lamivudine (3TC)
b. Nevirapine: diberikan dalam dosis tunggal kepada ibu dalam masa
persalinan dan satu dosis tunggal kepada bayi pada sekitar 2–3 hari.
Diperkirakan bahwa dosis tersebut dapat menurunkan penularan HIV
sekitar 47%. Nevirapine hanya digunakan pada ibu dengan membawa
satu tablet kerumah ketika masa persalinan tiba, sementara bayi tersebut
harus diberikan satu dosis dalam 3 hari.

10
1.9 Konsep Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian
1. Biodata Klien

2. Riwayat Penyakit
Jenis infeksi sering memberikan petunjuk pertama karena sifat kelainan
imun. Umur kronologis pasien juga mempengaruhi imunokompetens.
Respon imun sangat tertekan pada orang yang sangat muda karena belum
berkembangnya kelenjar timus. Pada lansia, atropi kelenjar timus dapat
meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Banyak penyakit kronik yang
berhubungan dengan melemahnya fungsi imun. Diabetes meilitus, anemia
aplastik, kanker adalah beberapa penyakit yang kronis, keberadaan penyakit
seperti ini harus dianggap sebagai factor penunjang saat mengkaji status
imunokompetens pasien.

3. Pemeriksaan Fisik (Objektif) dan Keluhan (Subyektif)


a) Aktifitas / Istirahat
1) Gejala : Mudah lelah,intoleran activity,progresi malaise,perubahan
pola tidur.
2) Tanda : Kelemahan otot, menurunnya massa otot, respon fisiologi
aktifitas ( Perubahan TD, frekuensi Jantun dan pernafasan ).
b) Sirkulasi
1) Gejala : Penyembuhan yang lambat (anemia), perdarahan lama pada
cedera.
2) Tanda : Perubahan TD postural,menurunnya volume nadi perifer,
pucat / sianosis, perpanjangan pengisian kapiler.
c) Integritas dan Ego 
1) Gejala : Stress berhubungan dengan kehilangan,mengkuatirkan
penampilan, mengingkari doagnosa, putus asa,dan sebagainya.
2) Tanda : Mengingkari,cemas,depresi,takut,menarik diri, marah.
d) Eliminasi

11
1) Gejala : Diare intermitten, terus menerus, sering dengan atau tanpa
kram abdominal, nyeri panggul, rasa terbakar saat miksi
2) Tanda : Feces encer dengan atau tanpa mucus atau darah, diare pekat
dan sering, nyeri tekan abdominal, lesi atau abses rectal, perianal,
perubahan jumlah, warna dan karakteristik urine.
e) Makanan / Cairan
1) Gejala : Anoreksia, mual muntah, disfagia
2) Tanda : Turgor kulit buruk, lesi rongga mulut, kesehatan gigi dan gusi
yang buruk, edema
f) Hygiene
1) Gejala : Tidak dapat menyelesaikan AKS
2) Tanda : Penampilan tidak rapi, kurang perawatan diri.
g) Neurosensoro
1) Gejala : Pusing, sakit kepala, perubahan status mental,kerusakan
status indera,kelemahan otot,tremor,perubahan penglihatan.
2) Tanda : Perubahan status mental, ide paranoid, ansietas, refleks tidak
normal,tremor,kejang,hemiparesis,kejang.
h) Nyeri / Kenyamanan
1) Gejala : Nyeri umum / local, rasa terbakar, sakit kepala,nyeri dada
pleuritis.
2) Tanda : Bengkak sendi, nyeri kelenjar,nyeri tekan,penurunan rentan
gerak,pincang.
i) Pernafasan 
1) Gejala : ISK sering atau menetap, napas pendek progresif, batuk,
sesak pada dada.
2) Tanda : Takipnea, distress pernapasan, perubahan bunyi napas, adanya
sputum.
j) Seksualitas
1) Gejala : Riwayat berprilaku seks dengan resiko tinggi, menurunnya
libido, penggunaan pil pencegah kehamilan.
2) Tanda : Kehamilan,herpes genetalia.

12
k) Interaksi Sosial
1) Gejala : Masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis, isolasi, kesepian,
adanya trauma AIDS.
2) Tanda : Perubahan interaksi.

4. Pemeriksaan Diagnostik
a. Tes Laboratorium
Telah dikembangkan sejumlah tes diagnostic yang sebagian masih
bersifat penelitian. Tes dan pemeriksaan laboratorium digunakan untuk
mendiagnosis Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan memantau
perkembangan penyakit serta responnya terhadap terapi Human
Immunodeficiency Virus (HIV)
1) Tes antibody serum
Skrining Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan ELISA. Hasil tes
positif, tapi bukan merupakan diagnosa
2) Tes blot western
Mengkonfirmasi diagnosa Human Immunodeficiency Virus (HIV)
3) Sel T limfosit
Penurunan jumlah total
4) Sel T4 helper
Indikator system imun (jumlah <200>
5) T8 ( sel supresor sitopatik )
Rasio terbalik ( 2 : 1 ) atau lebih besar dari sel suppressor pada sel helper
( T8 ke T4 ) mengindikasikan supresi imun.
6) P24 ( Protein pembungkus HIV)
Peningkatan nilai kuantitatif protein mengidentifikasi progresi infeksi
B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko tinggi infeksi b/d imunosupresi
2. Resiko ketidakseimbangan Elektrolit b/d Diare

13
C. Rencana Keperawatan

Tujuan dan Kriteria hasil Intervens


No Diagnosa
SLKI SIKI
1 Resiko infeksi b/d Setelah dilakukan Tindakan pencegahan Inveksi
imunosupresi keperawatan selama 2x8 Observasi
jamdi harapkan kontrol 1. Monitor tanda dan
resiko dilakukan dengan gejala infeksi local
Kriteria hasil : dan sistemik
1. Kemampuan mencari Terapeutik
informasi tentang factor 1. Batasi jumlah
resiko menurun menjadi pengunjung
cukup meningkat 2. Cuci tangan
2. Kemampuan sebelum dan
menghindari factor sesudah kontak
resiko dari menrun dengan pasien dan
menjadi cukup lingkungan pasien
membaik 3. Pertahan teknik
3. Kemampuan mengenali aseptic pada pasien
perubahan status beresiko tinggi
kesehatan dari menurun Edukasi
menjadi cukup 1. Jelaskan tanda dan
membaik gejala infeksi
4. Pemantauan perubahan 2. Ajarkan mencuci
status kesehatan dari tangan dengan
menurun menjadi cukup benar
membaik 3. Ajarkan etika batuk
4. Anjurkan
meningkatkan
asupan nutrisi
5. Anjurkan

14
menigkatkan
asupan cairan
Kolaborasi
1. Kolaborasi
pemberian
imunisasi,jika perlu

3 Resiko Setelah dilakukan Manajemen Diare


ketidakseimbangan Tindakan keperawatan Observasi
Elektrolit b/d Diare selama 2x8 jam di 1. Identifikasi
harapkan keseimbangan penyebab
cairan dilakukan dengan diare(mis,roses
Kriteria hasil : infeksi)
1. Asupan cairan dari 2. Monitor
menurun menjadi warna,volume,freku
cukup meningkat ensi,dankosistensi
2. Kelembaban membrane tinja
mukosa dari menurun 3. Monitor tanda dan
menjadi cukup gejala
meningkat hiypovolemia(mis,
3. Asupan makanan dari muko mulut
menurun menjadi kering,BB
cukup meningkat menurun)
4. Monitor jumlah
pengeluaran diare

Terapeutik
5. Berikan asupan
cairan oral
6. Pasang jalur
intravena

15
Edukasi
7. Anjurkan porsi
makan kecildan
sering secara
bertahap

D. Implementasi
Didasarkan pada  diagnosa yang muncul baik secara aktual, resiko,
atau potensial. Kemudian dilakukan tindakan keperawatan yang
sesuai  berdasarkan NCP.
E. Evaluasi
Disimpulkan berdasarkan pada sejauh mana keberhasilan mencapai
kriteria hasil, sehingga dapat diputuskan apakah intervensi tetap
dilanjutkan, dihentikan, atau diganti jika tindakan yang sebelumnya tidak
berhasil.

16
17
18

Anda mungkin juga menyukai