DISUSUN OLEH :
Astuti
2004025
CI LAHAN CI INSTITUSI
( ) ( )
1
1.1 Pengertian
1.2 Etiologi
Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu :
1. Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi.
Tidak ada gejala.
2. Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1-2 minggu dengan gejala
flu likes illness.
2
3. Infeksi asimtomatik. Lamanya 1-15 atau lebih tahun dengan gejala
tidak ada.
4. Supresi imun simtomatik. Diatas 3 tahun dengan gejala demam,
keringat malam hari, B menurun, diare, neuropati, lemah, rash,
limfadenopati, lesi mulut.
5. AIDS. Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS
pertama kali ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan
tumor pada berbagai system tubuh, dan manifestasi neurologist.
3
Kelompok resiko tinggi:
1. Lelaki homoseksual atau biseks.
2. Orang yang ketagian obat intravena
3. Partner seks dari penderita AIDS
4. Penerima darah atau produk darah (transfusi).
5. Bayi dari ibu/bapak terinfeksi.
Atas dasar interaksi HIV dengan respon imun pejamu, infeksi HIV dibagi
menjadi tiga Tahap :
a. Tahap dini, fase akut, ditandai oleh viremia transien, masuk ke dalam
jaringan limfoid, terjadi penurunan sementara dari CD4+ sel T diikuti
serokonversi dan pengaturan replikasi virus dengan dihasilkannya CD8+ sel
T antivirus. Secara klinis merupakan penyakit akut yang sembuh sendiri
dengan nyeri tenggorok, mialgia non-spesifik, dan meningitis aseptik.
Keseimbangan klinis dan jumlah CD4+ sel T menjadi normal terjadi dalam
waktu 6-12 minggu.
b. Tahap menengah, fase kronik, berupa keadaan laten secara klinis dengan
replikasi. virus yang rendah khususnya di jaringan limfoid dan hitungan
CD4+ secara perlahan menurun. Penderita dapat mengalami pembesaran
kelenjar limfe yang luas tanpa gejala yang jelas. Tahap ini dapat mencapai
beberapa tahun. Pada akhir tahap ini terjadi demam, kemerahan kulit,
kelelahan, dan viremia. Tahap kronik dapat berakhir antara 7-10 tahun.
c. Tahap akhir, fase krisis, ditandai dengan menurunnya pertahanan tubuh
penderita secara cepat berupa rendahnya jumlah CD4+, penurunan berat
badan, diare, infeksi oportunistik, dan keganasan sekunder. Tahap ini
umumnya dikenal sebagai AIDS. Petunjuk dari CDC di Amerika Serikat
menganggap semua orang dengan infeksi HIV dan jumlah sel T CD4+
kurang dari 200 sel/µl sebagai AIDS, meskipun gambaran klinis belum
terlihat. ( Robbins, dkk, 1998 : 143 )
4
1.4 Patofisiologi
5
1.5 Periode Penularan HIV pada Ibu hamil
1. Periode Prenatal
Tes HIV sebaiknya ditawarkan kepada wanita beresiko tinggi pada awal
mereka memasuki perawatan prenatal. Namun, soronegativitas pada uji prenatal
pertama bukan jaminan untuk titer negative yang berlangsung. Misalnya, seorang
wanita berusia 24 tahun yang mendapatkan perawatan prenatal selama 8 minggu
mempunyai hasil tes western blot yang negative. Namun, setelah terinfeksi HIV,
serum antibody membutuhkan waktu sampai 12 minggu untuk berkembang. Tes
western blot harus diulangi dalam 1 atau 2 bulan dan pada trimester ketiga. Tes
prenatal rutin dapat membantu mengidentifikasi wanita yang terinfeksi HIV
(Foster, 1987; Kaplan et al, 1987; Minkoff, 1987; Rhoads et al, 1987).
Tes ini juga dapat mengungkap Gonhorhea, Siphilis, Herpes yang tetap
dan menjadi lebih lama, C.Trakomatis, Hepatic B, Micobacterium tuberculosis,
Candidiasis (oropharingeal atau infeksi Vagian Chronic), Cytomegalo Virus
(CMV), dan Toxophlasmosis. Sekitar separuh penderita AIDS mengalami
peningkatan titer CMV. Karena masuknya penyakit CMV memiliki bahaya yang
serius terhadap janin, para wanita hamil dianjurkan dengan yang terinfeksi HIV.
Sejarah vaksinasi dan kekebalan telah didokumentasikan. Titer untuk cacar dan
6
rubella ditentukan dan tes kulit tuberkulosa (Derivasi protein yang
dimurnikan/puriviet protein derivatif (PPD)) telah dilakukan vaksinasi
sebelumnya dengan vaksin rekonbivak Hb dicatat karena vaksin tersebut berisi
produk darah manusia (Vaksin ini sekarang bebas dari darah manusia dan produk-
produk darah). Wanita dapat menjadi calon yang menerima Rho D
Imunoglobulin. Penularan HIV belum ditemukan adanya vaksin Rh. Proses
persiapan melibatkan alcohol ethyl yang membuat virus tidak aktif. Vaksin ini
dibuat dari darah yang diambil dari kelompok donor regular yang tidak dikenali.
Darah yang digunakan untuk memproduksi vaksin menjalani tes darah yang dapat
mendeteksi darah adanya HIV (Francis, Chin, 1987, MMWR, 1987). Beberapa
ketidaknyamanan yang dihadapi pada masa prenatal (seperti kelelahan, anoreksia,
dan penurunan berat badan) menyiratkan tanda-tanda dan gejal-gejala infeksi
HIV.
2. Periode Intrapartum
3. Periode Postpartum.
7
yang lebih lama telah mengungkap frekwensi penyakit kilinis yang tinggi pada
ibu-ibu yang anaknya menderita penyakit (Skott, 1985; Minkoff et al, 1987).
Tindakan pencegahan universal dilakukan terhadap ibu dan bayi, seperti yang
dilakukan terhadap semua pasien. Wanita dan bayinya diarahkan pada dokter yang
berpengalamn dalam pengobatan AIDS dan keadaan-keadaan yang menyertainya.
Pengaruh infeksi pada bayi dan neonatal mungkin tidak jelas. Karena virus yang
melalui plasenta, darah di tali pusat akan menunjukkan antibody HIV baik apabila
bayi terinfeksi ataupun tidak. Selama itu antibody yang melalui palang plasenta
mungkin tidak terdapat pada bayi yang tidak terinfeksi sampai usia 15 bulan.
Ketika infeksi HIV menjadi aktif banyak infeksi lain yang biasa menyertai pada
orang dewasa terjadi pada bayi. Komplikasi yang menyertai infeksi HIV pada
bayi mencakup Enchephalopati, Microchephalli, Defisit Kognitif, system saraf
pusat (CNS/central nervous system) Lhympoma, Cerebro Vaskuler Accident,
gagal pernapasan dan Lhympaclenophaty.
1. Gejala mayor
a. BB menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
b. Diare kronik yang berlangsung lebih dari 1 bulan
c. Penurunan kesadaran dan adanya gangguan neurologis
d. Demensia / HIV Ensefalopati
2. Gejala minor
a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan
b. Dermatitis generalist
c. Adanya herpes zoster yang berulang
d. Kandidiasis orofaringeal
e. Herpes simplex kronik progresif
f. Limfadenopati generalist
g. Infeksi jamur berulang pada kelamin wanita
h. Retinitis Cytomegalovirus
8
1.7 Pemeriksaan diagnostic
1.8 Pengobatan
9
Obat–obatan NNRTI termasuk: Nevirapine, delavirdine (Rescripta),
efavirenza (Sustiva).
c. Protease Inhibitors (PI) mengtargetkan protein protease HIV dan
menahannya sehingga suatu virus baru tidak dapat berkumpul pada sel
tuan rumah dan dilepaskan.
2. Pencegahan perpindahan dari ibu ke anak (PMTCT): seorang wanita yang
mengidap HIV(+) dapat menularkan HIV kepada bayinya selama masa
kehamilan, persalinan dan masa menyusui. Dalam ketidakhadiran dari
intervensi pencegahan, kemungkinan bahwa bayi dari seorang wanita yang
mengidap HIV(+) akan terinfeksi kira–kira 25%–35%. Dua pilihan
pengobatan tersedia untuk mengurangi penularan HIV/AIDS dari ibu ke
anak. Obat–obatan tersebut adalah:
a. Ziduvidine (AZT) dapat diberikan sebagai suatu rangkaian panjang dari
14–28 minggu selama masa kehamilan. Studi menunjukkan bahwa hal
ini menurunkan angka penularan mendekati 67%. Suatu rangkaian
pendek dimulai pada kehamilan terlambat sekitar 36 minggu menjadi
50% penurunan. Suatu rangkaian pendek dimulai pada masa persalinan
sekitas 38%. Beberapa studi telah menyelidiki pengunaan dari
Ziduvidine (AZT) dalam kombinasi dengan Lamivudine (3TC)
b. Nevirapine: diberikan dalam dosis tunggal kepada ibu dalam masa
persalinan dan satu dosis tunggal kepada bayi pada sekitar 2–3 hari.
Diperkirakan bahwa dosis tersebut dapat menurunkan penularan HIV
sekitar 47%. Nevirapine hanya digunakan pada ibu dengan membawa
satu tablet kerumah ketika masa persalinan tiba, sementara bayi tersebut
harus diberikan satu dosis dalam 3 hari.
10
1.9 Konsep Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1. Biodata Klien
2. Riwayat Penyakit
Jenis infeksi sering memberikan petunjuk pertama karena sifat kelainan
imun. Umur kronologis pasien juga mempengaruhi imunokompetens.
Respon imun sangat tertekan pada orang yang sangat muda karena belum
berkembangnya kelenjar timus. Pada lansia, atropi kelenjar timus dapat
meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Banyak penyakit kronik yang
berhubungan dengan melemahnya fungsi imun. Diabetes meilitus, anemia
aplastik, kanker adalah beberapa penyakit yang kronis, keberadaan penyakit
seperti ini harus dianggap sebagai factor penunjang saat mengkaji status
imunokompetens pasien.
11
1) Gejala : Diare intermitten, terus menerus, sering dengan atau tanpa
kram abdominal, nyeri panggul, rasa terbakar saat miksi
2) Tanda : Feces encer dengan atau tanpa mucus atau darah, diare pekat
dan sering, nyeri tekan abdominal, lesi atau abses rectal, perianal,
perubahan jumlah, warna dan karakteristik urine.
e) Makanan / Cairan
1) Gejala : Anoreksia, mual muntah, disfagia
2) Tanda : Turgor kulit buruk, lesi rongga mulut, kesehatan gigi dan gusi
yang buruk, edema
f) Hygiene
1) Gejala : Tidak dapat menyelesaikan AKS
2) Tanda : Penampilan tidak rapi, kurang perawatan diri.
g) Neurosensoro
1) Gejala : Pusing, sakit kepala, perubahan status mental,kerusakan
status indera,kelemahan otot,tremor,perubahan penglihatan.
2) Tanda : Perubahan status mental, ide paranoid, ansietas, refleks tidak
normal,tremor,kejang,hemiparesis,kejang.
h) Nyeri / Kenyamanan
1) Gejala : Nyeri umum / local, rasa terbakar, sakit kepala,nyeri dada
pleuritis.
2) Tanda : Bengkak sendi, nyeri kelenjar,nyeri tekan,penurunan rentan
gerak,pincang.
i) Pernafasan
1) Gejala : ISK sering atau menetap, napas pendek progresif, batuk,
sesak pada dada.
2) Tanda : Takipnea, distress pernapasan, perubahan bunyi napas, adanya
sputum.
j) Seksualitas
1) Gejala : Riwayat berprilaku seks dengan resiko tinggi, menurunnya
libido, penggunaan pil pencegah kehamilan.
2) Tanda : Kehamilan,herpes genetalia.
12
k) Interaksi Sosial
1) Gejala : Masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis, isolasi, kesepian,
adanya trauma AIDS.
2) Tanda : Perubahan interaksi.
4. Pemeriksaan Diagnostik
a. Tes Laboratorium
Telah dikembangkan sejumlah tes diagnostic yang sebagian masih
bersifat penelitian. Tes dan pemeriksaan laboratorium digunakan untuk
mendiagnosis Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan memantau
perkembangan penyakit serta responnya terhadap terapi Human
Immunodeficiency Virus (HIV)
1) Tes antibody serum
Skrining Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan ELISA. Hasil tes
positif, tapi bukan merupakan diagnosa
2) Tes blot western
Mengkonfirmasi diagnosa Human Immunodeficiency Virus (HIV)
3) Sel T limfosit
Penurunan jumlah total
4) Sel T4 helper
Indikator system imun (jumlah <200>
5) T8 ( sel supresor sitopatik )
Rasio terbalik ( 2 : 1 ) atau lebih besar dari sel suppressor pada sel helper
( T8 ke T4 ) mengindikasikan supresi imun.
6) P24 ( Protein pembungkus HIV)
Peningkatan nilai kuantitatif protein mengidentifikasi progresi infeksi
B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko tinggi infeksi b/d imunosupresi
2. Resiko ketidakseimbangan Elektrolit b/d Diare
13
C. Rencana Keperawatan
14
menigkatkan
asupan cairan
Kolaborasi
1. Kolaborasi
pemberian
imunisasi,jika perlu
Terapeutik
5. Berikan asupan
cairan oral
6. Pasang jalur
intravena
15
Edukasi
7. Anjurkan porsi
makan kecildan
sering secara
bertahap
D. Implementasi
Didasarkan pada diagnosa yang muncul baik secara aktual, resiko,
atau potensial. Kemudian dilakukan tindakan keperawatan yang
sesuai berdasarkan NCP.
E. Evaluasi
Disimpulkan berdasarkan pada sejauh mana keberhasilan mencapai
kriteria hasil, sehingga dapat diputuskan apakah intervensi tetap
dilanjutkan, dihentikan, atau diganti jika tindakan yang sebelumnya tidak
berhasil.
16
17
18