Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN HIV/AIDS PADA BAYI & ANAK

DI SUSUN

OLEH :

KELOMPOK 5

1. Shinta Bella.M (201701089


2. Febri alda.R.C (201701128)
3. Riszeki Fitria (201701093)
4. Yolanda pradianan (201701117
5. Henderina.M.Larwuy (201701110)

STIKES BINA SEHAT PPNI MOJOKERTO


PRODI S1 KEPERAWATAN
2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang alhamdulillah
tepat pada waktunya yang berjudul ASUHAN KEPERAWATAN HIV/AIDS PADA BAYI &
ANAK
Makalah ini berisikan tentang informasi yang berkaitan dengan HIV/AIDS padaanak.
Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini.
Akhir kata, saya sampaikan terima kasih. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala
usaha saya. Amin.

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................................................................................... i


Daftar Isi ............................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ............................................................................................... 1
1.2 Tujuan ........................................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Landasan teori..... .......................................................................................................... 3
2.1.1 Definisi ....................................................................................................................... 3
2.1.2 Etiologi ....................................................................................................................... 4
2.1.3 Patofisiologi ............................................................................................................... 5
2.1.4 Patway ........................................................................................................................ 6
2.1.5 Manifestasi klinis ....................................................................................................... 7
2.1.6 Diagnosis HIV/AIDS ................................................................................................. 8
2.1.7 Pemeriksaan Diagnostik............................................................................................. 8
2.1.8 Penatalaksanaan............................................................................................................9
2.1.9 Pencegahan..................................................................................................................10

BABIII KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


3.1 Pengkajian.......................................................................................................................11
3.2 Diagnosa..........................................................................................................................12
3.3 Intervensi.........................................................................................................................13

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan ................................................................................................................... 16
3.2 Saran ............................................................................................................................. 16

DaftarPustaka................................................................................................................................

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2006:3), pola penularan HIV pada
pasangan seksual berubah pada saat ditemukan kasus seorang ibu yang sedang hamil diketahui
telah terinfeksi HIV. Bayi yang dilahirkan ternyata juga positif terinfeksi HIV. Ini menjadi awal
dari penambahan pola penularan HIV/AIDS dari ibu ke bayiyang dikandungnya. Halserupa
digambarkan dari hasil survey pada tahun 2000 dikalangan ibu hamil di Provinsi Riau dan Papua
yang memperoleh angka kejadian infeksi HIV 0,35% dan 0,25%. Sedangkan hasil tes suka rela
pada ibu hamil diDKI Jakarta ditemukan infeksi HIV sebesar 2,86%. Berbagai data tersebut
membuktikan bahwa epidemi AIDS telah masuk kedalam keluarga yang selama ini dianggap
tidak mungkn tertular infeksi. Pada tahun 2015, diperkirakan akan terjadi penularan pada 38.500
anak yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi HIV. Sampai tahun 2006, diprediksi 4.360 anak
terkena HIV dan separuh diantaranya meninggal dunia. Saat ini diperkirakan 2320 anak yang
terinfeksi HIV. Anak yang didiagnosis HIV juga

akan menyebabkan terjadinya trauma emosi yang mendalam bagi keluarganya. Orang tua
harus menghadapi masalah berat dalam perawatan anak, pemberian kasih sayang,dan sebagainya
dapat mempengaruhi pertumbuhan mental anak (Nurs dan Kurniawan, 2013:161).Hal tersebut
menyebabkan beban negara bertambah dikarenakan orang yangterinfeksi HIV telah masuk
kedalam tahap AIDS, yang ditularkan akibat hubungan Heteroseksual sebesar 36,23%.
Permasalahan bukan hanya sekedar pada pemberian terapi anti retroviral (ART), tetapi juga
harus memperhatikan permasalahn pencegahan penularan walaupun sudah mendapat ART
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2006:7). Berdasarkan uraian masalah di atas maka,
perlu dikakukan pembahasan tentang penularan HIV/AIDS pada Anak, sehingga hal ini dapat
menjadi upaya promotif dan preventif.

Sebanyak 2,1 juta anak yang berusia kurang dari 18 tahun hidup dengan infeksi HIV dan
sekitar 1.200 anak terinfeksi HIV setiap hari diseluruh dunia (UNAIDS,2009). Anak mendapat
HIV baik secara vertikal maupun horisontal. Penularan vertikal merupakan penularan perinatal
(dalam rahim atau selama kelahiran) atau melalui ASI. Penularan horisontal merupakan
penularan melalui jarum suntik yang tidak steril (seperti pada penggunaan obat intravena atau
pembuatan tato) atau melalui hubungan seksual. Dengan skrining nasional produk darah,
penularan HIV melalui transfusi produk darah menjadi jarang terjadi (Fahrer & Romano,2010).
Infeksi HIV pada anak dapat diklasifikasikan lebih lanjut bergantung pada keparahan supresi
imun. Klasifikasi ini dapat bertindak sebagai pedoman rencana asuhan keperawatan.

Bayi umumnya terinfeksi melalui ibunya, sedangkan remaja umumnya mengalami infeksi
HIV melalui aktifitas seksual atau penggunaan obat intravena (Fahrer dan Rohmano,2010). Di
Amerika Serikat, penularan perinatal infeksi HIV menurun secara dramtis akibat perbaikan
deteksi dan terapi maternal, dan juga terapi bayi baru lahir. Data yang diperoleh 34 negara
bagian mengindikasikan bahwa insiden saat ini adalah 612 per 1000.000 bayi (Centers for
Disease Control and Prevention/CDC 2010). HAMPIR 2.000 kasus baru infeksi HIV dilaporkan
pada tahun 2008 diantara remaja usia 13 hingga 19 tahun. Saat ini tidak ada pengobatan untuk
infeksi HIV, meskipun kelangsungan hidup membaik sejak datangnya,hyghly active
antiretroviral therapy (HAART).selain untuk meningkatkan kelangsungan hidup, terjadi
peningkatan pertumbuhan, perkembangan saraf, dan fungsi imun dengan penggunaan HAART

1.2 TUJUAN

A. Mengetahui proses penularan HIV pada Anak.


B. Mengetahui cara Diagnosis HIV/AIDS pada Anak.
C. Mengetahui cara pencegahan HIV/AIDS pada anak.
D. Mengetahui penatalaksanan HIV/AIDS pada Anak.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 LANDASAN TEORI

2.1.1 Defenisi

HIV yaitu virus yang menyebabkan AIDS dengan cara menyerang sel darah putih
yang bernama sel CD4 sehingga dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia.
Gejalagejala timbul tergantung dari infeksi oportunistik yang menyertainya. Infeksi
oportunistik terjadi oleh karena menurunnya daya tahan tubuh (kekebalan) yang disebabkan
rusaknya sistem imun tubuh akibat infeksi HIV tersebut (Menurut Depkes RI (2003)

Virus imunodifisiensi manusia(bahasa Inggris: human immunodeficiency virus;


HIV) adalah suatu virus yang dapat menyebabkan penyakit AIDSVirus ini menyerang
manusia dan menyerang sistem kekebalan (imunitas) tubuh, sehingga tubuh menjadi lemah
dalam melawan infeksi

Menurut Judarwanto (2008) infeksi HIV adalah penyakit yang diakibatkan oleh
infeksi virus HIV (Human Immunodeficiency Virus). AIDS adalah penyakit yang
menunjukkan adanya sindrom defisiensi imun selular sebagai akibat infeksi HIV. Suati
kondisi klinis yang disebabkan oleh infeksi virus HIV yang dapat menyebabkan acquired
immune deficiency syndrome (AIDA) (Barhers, 2008).

2.1.2 Etiologi

Penyebab adalah golongan virus retro yang disebut human immunodeficiency virus
(HIV). HIV pertama kali ditemukan pada tahun 1983 sebagai retrovirus dan disebut HIV-1. Pada
tahun 1986 di Afrika ditemukan lagi retrovirus baru yang diberi nama HIV-2. HIV-2 dianggap
sebagai virus kurang pathogen dibandingkaan dengan HIV-1. Maka untuk memudahkan
keduanya disebut HIV.
Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu :

1. Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak ada gejala.

2. Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1-2 minggu dengan gejala flu likes illness.

3. Infeksi asimtomatik. Lamanya 1-15 atau lebih tahun dengan gejala tidak ada.

4. Supresi imun simtomatik. Diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat malam hari, B
menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati, lesi mulut.

5. AIDS. Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali ditegakkan.
Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai system tubuh, dan
manifestasi neurologist.

AIDS dapat menyerang semua golongan umur, termasuk bayi, pria maupun wanita. Yang
termasuk kelompok resiko tinggi adalah :

1. Lelaki homoseksual atau biseks.

2. Bayi dari ibu/bapak terinfeksi.

3. Orang yang ketagian obat intravena

4. Partner seks dari penderita AIDS

5. Penerima darah atau produk darah (transfusi).

2.1.3 Patofisiologi

HIV mempengaruhi fungsi imun melalui perubahan/gangguan terutama dalam fungsi sel
T, terapy HIV juga mengenai sel B, sel sel natural killer, dan fungsi monosit/makrofag.
HIVmenginfekasi sel CD4 (T-Helper). Virus mereplikasi dirinya melalui sel CD4 dan
menyebabkan disfungsional sel. Defisiensi imun terjadi akibat, penurunan jumlah sel CD4 yang
berfungsi dan normal. Awalnya, karena hitung sel CD4 menurun, jumlah T-Suppresor (CD8)
meningkat, tapi seiring dengan perkembangan penyakit, hitung CD8 juga menurun. Fungsi sel T-
Helper menurun meskipun pada bayi dan anak asimtomatis yang tidak mengalami penurunan
yang signifikan dalam hitung sel CD4. Sel T kehilangan respon yntuk mengingat antigen, dan
kehilangan ini berkaitan dengan peningkatan resiko infeksi bakteri serius (Farland,2011)
Defek sel B juga terjadi pada anak yang terinfeksi HIV,yang berkontribusi terhadap
tingginya angka infeksi bakteri serius. Sel B menunjukan gangguan respon terhadap mitogen dan
antigen. Sel B juga menunjukan produksi antibodi yang yang defektif sebagai respon terhadap
pajanan antigen atau vaksinasi. Bayi juga mengalami kekurangan sekelompok sel B memori
untuk mengingat antigen (hanya karena kurangnya pajangan). Sel natural killer juga terpengaruh
oleh infeksi HIV, karena mereka bergantung pada sitokin yang disekresi oleh sel CD4 untuk
perkembangan secara fungsional. Sel killer fungsional berperan dalam melawan virus dan
penting untuk imunitas pada bayi baru lahir sel T mulai dikembangkan. Penurunan fungsi sel
natural killer kemudian berkontribusi terhadap peningkatan keparahan infeksi virus pada bayi
atau anak yang terinfeksi HIV. Mekipun virus tidak menghancurkan monosit dan magrofag,
fungsi mereka terpengaruh magrofag pada anak yang terinfekasi HIV menunjukan penurunan
kemotaksis dan kemampuan monosit menunjukan kemampuan monosit menunjukan antigen
tergolong defektif.

Tanpa fungsi sel T,sel B, sel Natural killer, monosit dan magrofag yang tepat sistem
imun bayi dan anak tidak dapa melawan infeksi yang seharusnya dapat dilakukan. Infeksi
berulang oleh organisme umum terjadi lebih sering pada anak yang terinfeksi HIV, serupa
dengan pada orang dewasa yang mengalami infeksi HIV.

HIV secara cepat menyerang sistem saraf pusat pada bayi dan anak serta bertanggung
jawab terhadap terjadinya ensefalopati HIV, akibat ensefalopaati dapat terjadi mikrosefali
dapata, defisit motorik, atau penurunan atau kehilangan penanda perkembangan yang dicapai
sebelumnya pada anak yang mengalami ensepalopati HIV Progresif, gejala neurologik dapat
terjadi sebelum supresi imun.
2.1.4 Patway

Menyerang T Limfosit, sel saraf,


Virus HIV Merusak seluler Immunocompromise
makrofag, monosit, limfosit B

HIV- positif ? Flora normal patogen


Invasi kuman patogen

Reaksi psikologis Organ target

Manifestasi oral Manifestasi saraf Gastrointestina Respiratori Dermatologi Sensori

Kompleks Gangguan penglihatan


Lesi mulut Ensepalopati akut Diare Hepatitis Disfungsi Penyakit Infeksi Gatal, sepsis,
demensia dan pendengaran
biliari anorektal nyeri
Gangguan rasa nyaman :

Gangguan body imageapas


Gangguan mobilisasi

Gangguan pola BAB


Nutrisi inadekuat

Gangguan rasa nyaman : nyeri


Aktivitas intolerans

Tidak efektfi bersihan jalan napas

Gangguan sensori
Cairan berkurang

Cairan berkurang

Nutrisi inadekuat

Tidak efektif pol napas


hipertermi
nyeri
2.1.5 Tanda dan gejala

Menurut Komunitas AIDS Indonesia (2010), gejala klinis terdiri dari 2 gejala yaitu gejala
mayor (umum terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi):

1. Gejala mayor
- Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bula
- Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
- Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
- Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis
- Demensia/ HIV ensefalopati
2. Gejala minor
- Batuk menetap lebih dari 1 bulan
- Dermatitis generalisata
- Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang
- Kandidias orofaringeal
- Herpes simpleks kronis progresif
- Limfadenopati generalisata
- Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita
- Retinitis virus Sitomegalo

Menurut Mayo Foundation for Medical Education and Research (MFMER) (2008),
gejala klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase.

1. Fase awal
Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan tanda-tanda infeksi.
Tapi kadang-kadang ditemukan gejala mirip flu seperti demam, sakit kepala, sakit
tenggorokan, ruam dan pembengkakan kelenjar getah bening. Walaupun tidak
mempunyai gejala infeksi, penderita HIV/AIDS dapat menularkan virus kepada orang
lain.
2. Fase lanjut
Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun atau lebih. Tetapi
seiring dengan perkembangan virus dan penghancuran sel imun tubuh, penderita
HIV/AIDS akan mulai memperlihatkan gejala yang kronis seperti pembesaran
kelenjar getah bening (sering merupakan gejala yang khas), diare, berat badan
menurun, demam, batuk dan pernafasan pendek.
3. Fase akhir
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah terinfeksi,
gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir pada penyakit
yang disebut AIDS. Gejala Minor

Menurut Anthony (Fauci dan Lane, 2008), gejala klinis HIV/AIDS dapat dibagikan
mengikut fasenya.

1. Fase akut
Sekitar 50-70% penderita HIV/AIDS mengalami fase ini sekitar 3-6 minggu selepas
infeksi primer. Gejala-gejala yang biasanya timbul adalah demam, faringitis,
limpadenopati, sakit kepala, arthtalgia, letargi, malaise, anorexia, penurunan berat
badan, mual, muntah, diare, meningitis, ensefalitis, periferal neuropati, myelopathy,
mucocutaneous ulceration, dan erythematous maculopapular rash. Gejala-gejala ini
muncul bersama dengan ledakan plasma viremia. Tetapi demam, ruam kulit, faringitis
dan mialgia jarang terjadi jika seseorang itu diinfeksi melalui jarum suntik narkoba
daripada kontak seksual. Selepas beberapa minggu gejala-gajala ini akan hilang
akibat respon sistem imun terhadap virus HIV. Sebanyak 70% dari penderita HIV
akan mengalami limfadenopati dalam fase ini yang akan sembuh sendiri.
2. Fase asimptomatik
Fase ini berlaku sekitar 10 tahun jika tidak diobati. Pada fase ini virus HIV akan
bereplikasi secara aktif dan progresif. Tingkat pengembangan penyakit secara
langsung berkorelasi dengan tingkat RNA virus HIV. Pasien dengan tingkat RNA
virus HIV yang tinggi lebih cepat akan masuk ke fase simptomatik daripada pasien
dengan tingkat RNA virus HIV yang rendah.
3. Fase simptomatik
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah terinfeksi,
gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir pada penyakit
yang disebut AIDS.
2.1.6 Diagnosis HIV/AIDS pada Anak

Bayi tertular HIV dari ibu bisa saja tampak normal secara klinis selama periode neonatal.
Penyakit penan da AIDS tersering yang ditemukan pada anak adalah pneumonia yang
disebabkan pneumocystis cranii, gejala umum yang ditemukan pada bayi dengan infeksi HIV
adalah gangguan tumbuh kembang, kandidiasis oral, diare kronis, atau hepatosplenomegali
(pembesaran pada hepar dan lien). Karena antibodi ibu bisa dideteksi pada bayi sampai berumur
18 bulan. Maka tes ELISA dan western blot akan postif meskipun bayi tidak terinfeksi HIV
karena tes ini berdasarkan ada atau tidaknya antibodi pada HIV. Tes paling spesifik untuk
mengidentifikasi adalah PCR untuk DNA HIV. Kultur HIV yang positif juga mennjukkan pasien
terinfeksi HIV. Untuk pemeriksaan PCR, bayi harus dilakukan pengambilan sampel darah untuk
dilakukan tes PCR pada dua waktu yang berlainan. DNA PCR pertama diambil saat berusia 1
bulankarena tes ini kurang sensitif selama 1 bulan setelah lahir. CDC merekomendasikan
pemeriksaan DNA PCR setidaknya diulang pada saat bayi berusia 4 bulan. Jika tes ini negatif,
maka bayi tidak terinfeksi HIV sehingga tes PCR perlu diulang setelah bayi disapih. Pada usia 18
bulan, pemeriksaan ELISA bisa dilakukan pada bayi bila tidak tersedia sarana pemeriksaan yang
lain. Anaak-anak berusia lebih dari 18 bulan bisa didiagnosis dengan menggunakan kombinasi
antara gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium. Anak denagn HIV sering mengalami infeksi
bakteri, gagal tumbuh atau wasting, limfadenopati menetap, keterlambatan berkembang,
sariawan pada mulut dan faring. Anak usia lebih dari 18 bulan bisa didiagnosis dengan ELISA
dan tes konfirmasi lain seperti pada dewasa. Terdapat dua klasifikasi yang bisa digunakan untuk
mendiagnosis bayi dan anak dengan HIV yaitu menurut CDC dan WHO(Nurs dan Kurniawan,
2013:163)

2.1.7 Pemeriksaan Diagnostik

1. Tes untuk diagnosa infeksi HIV :


 ELISA
 Western blot
 P24 antigen test
 Kultur HIV
2. Tes untuk deteksi gangguan system imun.
 Hematokrit.
 LED
 CD4 limfosit
 Rasio CD4/CD limfosit
 Serum mikroglobulin B2
 Hemoglobulin

3. Komplikasi primer :
 MCMD (Minor Cognitive Motor Disorder
 Neurobiologi (meningitis, mylopati, neuropati )
 nfeksi (toxoplasmosis, ensefalitis, cytomegalovirus/CMV
 Leikoencepalopati multifoksl progresif (neoplasma dan delirium)

2.1.8 Penatalaksanaan

1. Obat–obatan Antiretroviral (ARV) bukanlah suatu pengobatan untuk HIV/AIDS tetapi


cukup memperpanjang hidup dari mereka yang mengidap HIV. Pada tempat yang
kurang baik pengaturannya permulaan dari pengobatan ARV biasanya secara medis
direkomendasikan ketika jumlah sel CD4 dari orangyang mengidap HIV/AIDS adalah
200 atau lebih rendah. Untuk lebih efektif, maka suatu kombinasi dari tiga atau lebih
ARV dikonsumsi, secara umum ini adalah mengenai terapi Antiretroviral yang sangat
aktif (HAART). Kombinasi dari ARV berikut ini dapat mengunakan:
 Nucleoside Analogue Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI'), mentargetkan
pencegahan protein reverse transcriptase HIV dalam mencegah perpindahan
dari viral RNA menjadi viral DNA (contohnya AZT, ddl, ddC & 3TC).

 Non–nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI's) memperlambat


reproduksi dari HIV dengan bercampur dengan reverse transcriptase, suatu
enzim viral yang penting. Enzim tersebut sangat esensial untuk HIV dalam
memasukan materi turunan kedalam sel–sel. Obat–obatan NNRTI termasuk:
Nevirapine, delavirdine (Rescripta), efavirenza (Sustiva).
 Protease Inhibitors (PI) mengtargetkan protein protease HIV dan menahannya
sehingga suatu virus baru tidak dapat berkumpul pada sel tuan rumah dan
dilepaskan
2. Pencegahan perpindahan dari ibu ke anak (PMTCT): seorang wanita yang mengidap
HIV(+) dapatmenularkan HIV kepada bayinya selama masa kehamilan, persalinan dan
masa menyusui. Dalam ketidakhadiran dari intervensi pencegahan, kemungkinan
bahwa bayi dari seorang wanita yang mengidap HIV(+) akan terinfeksi kira–kira
25%–35%. Dua pilihan pengobatan tersedia untuk mengurangi penularan HIV/AIDS
dari ibu ke anak. Obat–obatan tersebut adalah:
 Ziduvidine (AZT) dapat diberikan sebagai suatu rangkaian panjang dari 14–28
minggu selama masa kehamilan. Studi menunjukkan bahwa hal ini
menurunkan angka penularan mendekati 67%. Suatu rangkaian pendek dimulai
pada kehamilan terlambat sekitar 36 minggu menjadi 50% penurunan. Suatu
rangkaian pendek dimulai pada masa persalinan sekitas 38%. Beberapa studi
telah menyelidiki pengunaan dari Ziduvidine (AZT) dalam kombinasi dengan
Lamivudine (3TC)
 Nevirapine: diberikan dalam dosis tunggal kepada ibu dalam masa persalinan
dan satu dosis tunggal kepada bayi pada sekitar 2–3 hari. Diperkirakan bahwa
dosis tersebut dapat menurunkan penularan HIV sekitar 47%. Nevirapine
hanya digunakan pada ibu dengan membawa satu tablet kerumah ketika masa
persalinan tiba, sementara bayi tersebut harus diberikan satu dosis dalam 3
hari.
3. Post–exposure prophylaxis (PEP) adalah sebuah program dari beberapa obat antiviral,
yang dikonsumsi beberapa kali setiap harinya, paling kurang 30 hari, untuk mencegah
seseorang menjadi terinfeksi dengan HIV sesudah terinfeksi, baik melalui serangan
seksual maupun terinfeksi occupational. Dihubungankan dengan permulaan
pengunaan dari PEP, maka suatu pengujian HIV harus dijalani untuk menetapkan
status orang yang bersangkutan. Informasi dan bimbingan perlu diberikan untuk
memungkinkan orang tersebut mengerti obat–obatan, keperluan untuk mentaati,
kebutuhan untuk mempraktekan hubungan seks yang aman dan memperbaharui
pengujian HIV. Antiretrovirals direkomendasikan untuk PEP termasuk AZT dan 3TC
yang digunakan dalam kombinasi. CDC telah memperingatkan mengenai pengunaan
dari Nevirapine sebagai bagian dari PEP yang berhutang pada bahaya akan kerusakan
pada hati. Sesudah terkena infeksi yang potensial ke HIV, pengobatan PEP perlu
dimulai sekurangnya selama 72 jam, sekalipun terdapat bukti untuk mengusulkan
bahwa lebih awal seseorang memulai pengobatan, maka keuntungannya pun akan
menjadi lebih besar. PEP tidak merekomendasikan proses terinfeksi secara biasa ke
HIV/AIDS sebagaimana hal ini tidak efektif 100%; hal tersebut dapat memberikan
efek samping yang hebat dan mendorong perilaku seksual yang tidak aman.
4. Vaksin terhadap HIV dapat diberikan pada individu yang tidak terinfeksi untuk
mencegah baik infeksi maupun penyakit. Dipertimbangkan pula kemungkinan
pemberian vaksin HIV terapeutik, dimana seseorang yang terinfeksi HIV akan diberi
pengobatan untuk mendorong respon imun anti HIV, menurunkan jumlah sel-sel yang
terinfeksi virus, atau menunda onset AIDS. Namun perkembangan vaksin sulit karena
HIV cepat bermutasi, tidak diekspresi pada semua sel yang terinfeksi dan tidak
tersingkirkan secara sempurna oleh respon imun inang setelah infeksi primer
5. Pengendalian Infeksi Opurtunistik
Bertujuan menghilangkan, mengendalikan, dan pemulihan infeksi opurtunistik,
nasokomial, atau sepsis. Tindakan pengendalian infeksi yang aman untuk mencegah
kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis harus dipertahankan bagi pasien
di lingkungan perawatan kritis
2.1.9 Pencegahan

Penularan HIV dari dari ibu ke bayi bisa dicegah melalui 4 cara, mulai saat hamil,

saat melahirkan dan setelah lahir yaitu: penggunaan antiretroviral selama kehamilan,

penggunaan antiretroviral saat persalinan dan bayi yang baru dilahirkan, penggunaan

obstetrik selama selama persalinan, penatalksanaan selama menyusui. Pemberian

antiretroviral bertujuan agar viral load rendah sehingga jumlah virus yang ada di

dalam darah dan cairan tubuh kurang efektif untuk menularkan HIV. Persalinan

sebaiknya dipilih dengan metode sectio caecaria karena terbukti mengurangi resiko

risiko penularan HIV dari ibu ke bayi sampai 80%.walaupuncaesaria. demikian

bedah caesar juga memiliki risiko penularan HIV dari ibu kebayi sampai 80%. Bila

bedah caesar selektif disertai penggunaan terapi antiretroviral, maka risiko dapat

ditirinkan sampai 87%. Walaupun demikian bedah caesar juga mempunyai risiko

karena imunitas ibuyang rendah sehingga bisa terjadi keterlambatan penyembuhan

luka, bahkan bisa terjadi kematian saat operasi oleh karena itu persalinan pervaginam

dan sectio caecaria harus dipertimbangkan sesuai kondisi gizi, keuangan, dan faktor

lain. Namun jika melahirkan dengan pervaginam maka beberapa tindakan harus

dihindari untuk meminimalisir risiko, seperti terlalu sering melakukan pemeriksaan

dalam atau memecahkan ketuban sebelum pembukaan lengkap (Nurs dan

Kurniawan, 2013:165).
BAB III

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 PENGKAJIAN

1. Idensitas klien meliputi: nama/nama panggilan,tempat tanggal lahir/usia, jenis kelamin,


agama, paendidikan, alamat, tanggal masuk, tanggal pengkajian.
2. Identitas penanggungjawab
3. Keluhan Utama
Orangtua klien mengeluhkan anaknya batuk- batuk disertai sesak napas
4. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat Kesehatan Sekarang
Klien terus batuk – batuk sejak satu minggu yang lalu, kemudian dua hari yang lalu
mulai disertai sesak napas.klien juga terkena diare dengan frekuensi BAB cukup
tinggi.sejak semalam klien demam dan di perparah lagi klien tidak mau menyusu,
karena itu orang tua klien membawanya ke rumah sakit.
b. Riwayat Kesehatan Lalu (khusus untuk anak 0-5 tahun)

Prenatal Care

 Pemeriksaan kehamilan
 Keluhan selama hamil
 Riwayat terkena sinar tidak ada
 Kenaikan berat badan selama hamil
 Imunisasi

Natal

 Tempat melahirkan
 Lama dan jenis persalinan
 Penolong persalinan
 komplikasi selama persalinan ataupun setelah persalinan (sedikit perdarahan
daerah vagina).
Post Natal
 Kondisi Bayi : BB lahir.. kg, PB.. cm
 Kondisi anak saat lahir: baik/tidak
 Penyakit yang pernah dialami … setelah imunisasi
 Kecelakaan yang pernah dialami: ada/tidak ada
 Imunisasi
 Alergi
 Perkembangan anak dibanding saudara-saudara
5. Riwayat Kesehatan Keluarga
Adakah anggota keluarga yang mengidap HIV : missal, ibu.
6. Riwayat Imunisasi
Jenis imunisasi apa saja yang pernah diberikan, waktu pemberian dan reaksi setelah
pemberian. Missal; imunisasi BCG, DPT, Polio, Campak, Hepatitis.
7. Riwayat Tumbuh Kembang
1. Tinggi Badan : PB lahir .. cm, PB masuk RS :.. Cm
2. Perkembangan tiap tahap ( berapa bulan
Berguling, duduk, merangkak, berdiri, berjalan, senyum kepada orang lain, bicara
pertama kali, berpakaian tanpa bantuan
8. Riwayat Nutrisi
 Pemberian ASI
1. Pertama kali di susui : berapa jam setelah lahir
2. Cara Pemberian : Setiap Kali menangis dan tanpa menangis
3. Lama Pemberin : berapa menit
4. Diberikan sampai usia berapa
 Pemberian Susu Formula :missal; SGM
 Pola perubahan nutrisi tiap tahap usia sampai nutrisi saat ini
9. Riwayat Psiko Sosial
 Anak tinggal di mana, keadaan Lingkungan, fasilitas rumah
 Hubungan antar anggota kelurga baik
 Pengasuh anak adalah orang tua, pengasuh,dll
10. Riwayat spiritual
 Kegiatan ibadah, tempat ibadah.
11. Reaksi Hospitalisasi
 Pengalaman Keluarga tentang Sakit dan rawat inap
 Pemahaman anak tentang sakit dan rawat Inap
12. Kaji sebelum sakit dirumah dan selama dirawat dirumah sakit tentang: nutrisi, cairan,
eliminasi, istirahat/tidur, personal hygiene, aktivitas/mobilisasi, rekreasi.
13. Pemeriksaan Fisik
 Keadaan umum: composmetis, stupor, semi koma, koma.
Ekspresi wajah, penampilan ( berpakaian)
 Tanda-tanda vital meliputi: suhu, nadi, pernapasan. Tekanan darah
 Antropometri meliputi: panjang badan, berat badan, lingkar lengan atas, lingkar
kepala, lingkar dada, lingkar abdomen
 Head To Toe
1. Kulit : Pucat dan turgor kulit agak buruk
2. Kepal dan leher : Normal tidak ada kerontokan rambut, warna hitam dan tidak
ada peradangan
3. Kuku : Jari tabuh
4. Mata / penglihatan :Sklera pucat dan nampak kelopak mata cekung
5. Hidung :Tidak ada Peradangan, tidak ada reaksi alergi, tidak ada polip, dan
fxungsi penciuman normal
6. Telinga :Bentuk simetris kanan/kiri, tidak ada peradangan, tidak ada
perdarahan
7. Mulut dan gigi: Terjadi peradangan pada rongga mulut dan mukosa, terjadi
Peradangan dan perdarahan pada gigi ,gangguan menelan(-), bibir dan mukosa
mulut klien nampak kering dan bibir pecah-pecah.
8. Leher: Terjadi peradangan pada eksofagus.
9. Dada : dada masih terlihat normal
10. Abdomen : Turgor jelek ,tidak ada massa, peristaltik usus meningkat dan perut
mules dan mual.
11. Perineum dan genitalia : Pada alat genital terdapat bintik-bintik radang
12. Extremitas atas/ bawah : Extremitas atas dan extremitas bawah tonus otot lemah
akibat tidak ada energi karena diare dan proses penyakit.
 Sistem Pernafasan
- Hidung : Simetris, pernafasan cuping hidung : ada, secret : ada
- Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar tyroid dan kelenjar limfe di sub
mandibula.
- Dada :
o Bentuk dada : Normal
o Perbandingan ukuran anterior-posterior dengan tranversal : 1 : 1
o Gerakan dada : simetris, tidak terdapat retraksi
o Suara nafas : ronki
o Suara nafas tambahan : ronki
o Tidak ada clubbling finger
 Sistem kardiovaskuler :
- Conjungtiva : Tidak anemia, bibir : pucat/cyanosis, arteri carotis : berisi reguler ,
tekanan vena jugularis : tidak meninggi
- Ukuran Jantung : tidak ada pembesaran
- Suara jantung : Tidak ada bunyi abnormal
- Capillary refilling time > 2 detik
 Sistem pencernaan:
- Mulut : terjadi peradangan pada mukosa mulut
- Abdomen : distensi abdomen, peristaltic meningkat > 25x/mnt akibat adanya
virus yang menyerang usus
- Gaster : nafsu makan menurun, mules, mual muntah, minum normal,
- Anus : terdapat bintik dan meradang gatal
 Sistem indra
1. Mata : agak cekung
2. Hidung : Penciuman kurang baik,
3. Telinga:
o Keadaan daun telinga : kanal auditorius kurang bersih akibat benyebaran
penyakit
o Fungsi pendengaran kesan baik
 Sistem Saraf
1. Fungsi serebral:
o Status mental : Orientasi masih tergantung orang tua
o Bicara : -
o Kesadaran : Eyes (membuka mata spontan) = 4, motorik (bergerak
mengikuti perintah) = 6, verbal (bicara normal) = 5
2. Fungsi kranial :
Saat pemeriksaan tidak ditemukan tanda-tanda kelainan dari Nervus I – Nervus
XII.
3. Fungsi motorik : Klien nampak lemah, seluruh aktifitasnya dibantu oleh orang
tua
4. Fungsi sensorik : suhu, nyeri, getaran, posisi, diskriminasi (terkesan terganggu)
5. Fungsi cerebellum : Koordinasi, keseimbangan kesan normal
6. Refleks : bisip, trisep, patela dan babinski terkesan normal.
 Sistem Muskulo Skeletal
1. Kepala : Betuk kurang baik, sedikit nyeri
2. Vertebrae: Tidak ditemukan skoliosis, lordosis, kiposis, ROM pasif, klien
malas bergerak, aktifitas utama klien adalah berbaring di tempat tidur.
3. Lutut : tidak bengkak, tidak kaku, gerakan aktif, kemampuan jalan baik
4. Tangan tidak bengkak, gerakan dan ROM aktif
 Sistem integumen
1. warna kulit pucat dan terdapat bintik-bintik dengan gatal, turgor menurun > 2
dt,
2. suhu meningkat 39 derajat celsius, akral hangat, akral dingin (waspada syok),
capillary refill time memajang > 2 dt, kemerahan pada daerah perianal.
 Sistem endokrin
1. Kelenjar tiroid tidak nampak, teraba tidak ada pembesaran
2. Suhu tubuh tidak tetap, keringat normal,
3. Tidak ada riwayat diabetes
 Sistem Perkemihan
1. Urin produksi oliguria sampai anuria (200-400 ml/24 jam), frekuensi
berkurang.
2. Tidak ditemukan odema
3. Tidak ditemukan adanya nokturia, disuria , dan kencing batu
 Sistem Reproduksi
Alat genetalia termasuk glans penis dan orificium uretra eksterna merah dan
gatal
 Sistem Imun
1. Klien tidak ada riwayat alergi
2. Imunisasi lengkap
3. Penyakit yang berhubungan dengan perubahan cuaca tidak ada
4. Riwayat transfusi darah ada/tidak ada
5.
Menurut Wong hal-hal yang perlu dikaji pada anak dengan HIV antara lain :

1. Lakukan pengkajian fisik


2. Dapatkan riwayat imunisasi
3. Dapatkan riwayat yang berhubungan denganfaktor risiko terhadap AIDS pada anak-
anak:
a. Exposure in utero to HIV-infected mother
b. Pemajanan terhadap produk darah, khususnya anak dengan hemofilia
c. Remaja yang menunjukkan perilaku risiko tinggi
4. Observasi adanya manifestasi AIDS pada anak-anak:
a. Gagal tumbuh
b. Limfadenopati
c. Hepatosplenomegali
5.
6. Kajinya adanya infeksi bakteri berulang
7. Penyakit paru khususnya pneumonia Pneumocystis carnii (pneumonia interstisiel
limfositik dan hiperplasia limfoid paru)
8. Diare kronis
9. Gambaran neurologis:
a. Pelambatan perkembangan
b. Kehilangan kemampuan motorik yang telah dicapai sebelumnya
c. Kemungkinan mikrosefali
d. Pemeriksaan neurologis abnormal
10. Bantu prosedur diagnostik dan pengujian misalnya tes antibodi

3.2 DIAGNOSA

Menurut Wong diagnosa keperawatan yang dapat dirumuskan pada anak dengan HIV antara
lain:

1. Bersihan jalan nafas inefektif berhubungan dengan akumulasi secret sekunder


terhadap hipersekresi sputum karena proses inflamasi
2. Hipertermi berhubungan dengan pelepasan pyrogen dari hipotalamus sekunder
terhadap reaksi antigen dan antibody (Proses inflamasi)
3. Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan penurunan pemasukan
dan pengeluaran sekunder karena kehilangan nafsu makan dan diare
4. Perubahan eliminasi (diare) yang berhubungan dengan peningkatan motilitas usus
sekunder proses inflamasi system pencernaan
5. Risiko infeksi (ISK) berhubungan dengan kerusakan pertahanan tubuh, adanya
organisme infeksius dan imobilisasi
3.3 INTERVENSI

Menurut Wong (2004) intervensi keperawatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi
diagnosa keperawatan pada anak yang menderita HIV antara lain :

Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi sekret

Tujuan : Anak menunjukkan jalan nafas yang efektif

Intervensi :

1. Auskultasi area paru, catat area penurunan/tidak ada aliran udara dan bunyi napas
adventisius,
Rasional : penurunan aliran udara terjadi pada area konsolidasi dengan cairan.
Bunyi napas bronkhial dapat juga terjadi pada area konsolidasi.
2. Mengkaji ulang tanda-tanda vital (irama dan frekuensi, serta gerakan dinding
dada )
Rasional : takipnea, pernapasan dangkal dan gerakan dada tidak simetris terjadi
karena ketidaknyaman gerakan dinding dada dan atau cairan paru-paru
3. Bantu pasien latihan napas sering. Tunjukkan/bantu pasien mempelajari
melakukan batuk, misalnya menekan dada dan batuk efektif sementara posisi
duduk tinggi
Rasional : Napas dalam memudahkan ekspansi maksimum paru/jalan napas lebih
kecil. Batuk adalah mekanisme pembersihan jalan napas alami membantu silia
untuk mempertahankan jalan napas paten. Penekanan menurunkan
ketidaknyamanan dada dan posisi duduk memungkinkan upaya napas lebih dalam
dan lebih kuat
4. Penghisapan sesuai indikasi
Rasional : merangsang batuk atau pembersihan jalan napas secara mekanik pada
pasien yang tidak mampu melakukan karena batuk tidak efektif atau penurunan
tingkat kesadaran
5. Berikan cairan sedikitnya 2500 ml/hari (kecuali kontraindikasi). Tawarkan air
hangat dari pada dingin
Rasional : Cairan (khususnya yang hangat) memobilisasi dan mengeluarkan
sekret
6. Memberikan obat yang dapat meningkatkan efektifnya jalan nafas (seperti
bronchodilator)
Rasional : alat untuk menurunkan spasme bronkhus dengan memobilisasi sekret,
obat bronchodilator dapat membantu mengencerkan sekret sehingga mudah untuk
dikeluarkan

Hipertermi berhubungan dengan pelepasan pyrogen dari hipotalamus sekunder terhadap


reaksi antigen dan antibody

Tujuan : Anak akan mempertahankan suhu tubuh kurang dari 37,5 oC


Intervensi :
1. Pertahankan lingkungan sejuk, dengan menggunakan piyama dan selimut yang tidak
tebal serta pertahankan suhu ruangan antara 22o dan 24 oC
Rasional : Lingkungan yang sejuk membantu menurunkan suhu tubuh dengan cara
radiasi
2. Beri antipiretik sesuai petunjuk
Rasional : Antipiretik seperti asetaminofen (Tylenol), efektif menurunkan demam
3. Pantau suhu tubuh anak setiap 1-2 jam, bila terjadi peningkatan secara tiba-tiba
Rasional : Peningkatan suhu secara tiba-tiba akan mengakibatkan kejang
4. Beri antimikroba/antibiotik jira disarankan
Rasional : Antimikroba mungkin disarankan untuk mengobati organismo penyebab.
5. Berikan kompres dengan suhu 37 oC pada anak untuk menurunkan demam
Rasional : kompres hangat efektif mendinginkan tubuh melalui cara konduksi

Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan pemasukan dan


pengeluaran sekunder karena kehilangan nafsu makan dan diare

Tujuan : keseimbangan cairan tubuh adekuat dengan kriteria hasil : tidak ada ada tanda-
tanda dehidrasi (tanda-tanda vital stabil, kualitas denyut nadi baik, turgor kulit normal,
membran mukosa lembab dan pengeluaran urine yang sesuai).
Intervensi :
1. Ukur dan catat pemasukan dan pengeluaran. Tinjau ulang catatan intra operasi.
Rasional : dokumentasi yang akurat akan membantu dalam mengidentifikasi
pengeluaran cairan/kebutuhan penggantian dan pilihan-pilihan yang mempengaruhi
intervensi.
2. Pantau tanda-tanda vital.
Rasional : hipotensi, takikardia, peningkatan pernapasan mengindikasikan
kekurangan kekurangan cairan.
3. Letakkan pasien pada posisi yang sesuai, tergantung pada kekuatan pernapasan.
Rasional : elevasi kepala dan posisi miring akan mencegah terjadinya aspirasi dari
muntah, posisi yang benar akan mendorong ventilasi pada lobus paru bagian bawah
dan menurunkan tekanan pada diafragma.
4. Pantau suhu kulit, palpasi denyut perifer.
Rasional : kulit yang dingin/lembab, denyut yang lemah mengindikasikan
penurunan sirkulasi perifer dan dibutuhkan untuk penggantian cairan tambahan.
5. Kolaborasi, berikan cairan parenteral, produksi darah dan atau plasma ekspander
sesuai petunjuk. Tingkatkan kecepatan IV jika diperluakan.
Rasional : gantikan kehilangan cairan yang telah didokumentasikan. Catat waktu
penggangtian volume sirkulasi yang potensial bagi penurunan komplikasi, misalnya
ketidak seimbangan

Perubahan eliminasi (diare) yang berhubungan dengan peningkatan motilitas usus


sekunder proses inflamasi system pencernaan

Tujuan : Orang tua melaporkan penurunan frekuensi defekasi dengan kriteria,


konsistensi feases kembali normal dan orang tua mampu mengidentifikasi/menghindari
faktor pemberat.
Intervensi :
1. Observasi dan catat frekuensi defekasi, karakteristik, jumlah dan faktor pencetus
Rasional : Membantu membedakan penyakit individu dan mengkaji beratnya
episode.
2. Tingkat tirah baring, berikan alat-alat disamping tempat tidur
Rasional : Istirahat menurunkan motilitas usus juga menurunkan laju metabolisme
bila infeksi atau perdarahan sebagai komplikasi.
3. Buang feses dengan cepat dan berikan pengharum ruangan
Rasional : menurunkan bau tidak sedap untuk menghindari rasa malu pasien
4. Identifikasi makanan dan cairan yang mencetuskan diare (misalnya sayuran segar,
buah, sereal, bumbu, minuman karnonat, produks susu)
Rasional : Menghindarkan irirtan meningkatkan istirahat usus
5. Mulai lagi pemasukan cairan per oral secara bertahap dan hindari minuman dingin
Rasional : memberikan istirahat kolon dengan menghilangkan atau menurunkan
rangsang makanan/cairan. Makan kembali secara bertahap cairan mencegah kram
dan diare berulang, namun cairan yang dingin dapat meningkatkan motilitas usus
6. Berikan kolaburasi antibiotik
Rasional : Mengobati infeksi supuratif fokal

Risiko infeksi (ISK) berhubungan dengan kerusakan pertahanan tubuh, adanya organisme
infeksius dan imobilisasi

Tujuan : Anak mengalami risiko infeksi yang minimal dan anak tidak menyebarkan
penyakit pada orang lain dengan kriteria hasil:
Anak tidak kontak dengan individu terinfeksi
1. Anak dan keluarga menjalankan praktik kesehatan yang baik
2. Anak tidak menunjukkan bukti-bukti infeksi
3. Orang lain tidak mendapatkan penyakit tersebut

Intervensi :
1. Gunakan teknik mencuci tangan yang cermat
Rasional : Untuk meminimalkan pemajanan pada organisme infeksius
2. Beri tahu pengunjung untuk menggunakan teknik mencuci tangan yang baik
Rasional : Untuk meminimalkan pemajanan organisme infeksius
3. Tempatkan anak diruangan bersama anak yang tidak mengalami infeksi atau
diruangan probadi
Rasional : pemahaman yang baik tentang cuci tangan dapat mempengaruhi perliku
orang tua untuk cuci tangan sebelum dan sesudah memegang atau menyentuh anak
4. Batasi kontak dengan individu yang mengalami infeksi, termasuk keluarga, anak
lain, teman dan anggota staf, jelaskan bahwa anak sangat rentan terhadap infeksi
Rasional : Untuk mendorong kerja sama dan pemahaman
5. Observasi asepsis medis dengan tepat
Rasional : Untuk menurunkan risiko infeksi
6. Dorong nutrisi yang baik dan istirahat yang cukup
Rasional : Untuk meningkatkan pertahan alamiah tubuh yang masih ada
7. Jelaskan pada keluarga dan anak yang lebih besar tentang pentingnya menghubungi
profesional kesehatan bila terpajan penyakit masa kecil (misalnya. Cacar air,
gondongan)
Rasional : Penjelasan yang baik akan memungkinkan orang tua memberikan
imunisasi yang tepat pada bayinya
8. Berikan imunisasi yang tepat sesuai ketentuan
Rasional : Untuk mencegah infeksi
9. Berikan antibiotik sesuai ketentuan
Rasional : Dapat untuk mencegah infeksi bakteri/ sebagai profilaksi
10. Implementasikan dan lakukan kewaspadaan universal, khususnya isolasi bahan
tubuh
Rasional : Untuk mencegah penyebaran virus
11. Instruksikan orang lain (misalnya keluarga, anggota staf) untuk menggunakan
kewaspadaan yang tepat, jelaskan adanya kesalahan konsep tentang penularan virus
Rasional : Hal ini merupakan masalah yang sering terjadi dan dapat mempengaruhi
penggunaan kewaspadaan yang tepat
12. Ajarkan metode perlindungan anak yang sakit (misalnya mencuci tangan,
emmegang area genital, perawatan setelah menggunakan berdpan atau toilet
Rasional : Untuk mencegah penyebaran infeksi
13. Usahakan untuk mencegah bayi dan semua anak kecil agar tidak menempatkan
tangan dan objek pada area terkontaminasi
Rasional : Dapat mencegah penularan virus HIV ke orang lain
14. Tempatkan pembatasan perilaku dan kontak untuk anak yang sakit yang menggigit
atau tidak mempunyai kontrol terhadap sekresi tubuh mereka
Rasional : Membatasi perilaku dan kontak dengan anak dapat menghindari
kemungkinan tergigit dan mengalami cedera
15. Kaji situasi rumah dan implementasikan tindakan perlindungan yang mungkin
dilakukan pada situasi individu
Rasional : Identifikasi kondisi dan situasi di rumah dapat membantu mengawasi
anak akan bermain di lingkungan yang aman dan terbebas dari cidera
BAB IV

PENUTUP

4.1.1 Kesimpulan

 HIV/AIDS yang terjadi pada anak dapat karena penularan dari ibu saat kehamilan,

ataupun saat kelahiran selain itu, HIV pada anak juga dapat terjadi akibat

pelecehan seksual pada anak.

 Diagnosis HIV pada anak dengan pemeriksaan darah untuk mendeteksi virus HIV

pada anak, dapat dilakukan 2 kali yaitu sebelum dan setelah umur 18 bulan.Salah

satu pencegahan penularan HIV pada anak akibat transmisi maternal yaitu dengan

sectio caesaria.

 Penatalaksanaan kasus HIV pada Anak, tidak hanya pengaturan ART, namun juga

faktor Nutrisi harus diperhatikan mengiingat anak adalah fase pertumbuhan.

 Kasus HIV pada anak, menurut Kajian dalam Islam dapat dikategorikan sebuah

takdir dari penipta, sehingga perlu kesabaran.

4.1.2 Saran

Transmisi penularan HIV pada anak disominasi akibat penularan dari ibu ke anak,

sehingga untuk memutuskan mata rantai HIV pada anak, peranan berbagai tim

kesehatan sangat mengingat anak sebagai generasi lanjutan yang sangat diperlukan

untuk berlangsungnya proses regenerasi, sehingga tim kesehatan terkhususnya, harus

memberikan perhatian khusus pada kasus tersebut. Salah satu upaya nyata adalah

memberikan edukasi kepada masyarakat luas, terutama ibu hamil agar malakukan

pemeriksaan deteksi HIV. Dan mengkonsumsi ART apabila positif HIV. Serta Sectio

Caesaria saat partus.


DAFTAR PUSTAKA

 Grimes, E.D, Grimes, R.M, and Hamelik, M, 1991, Infectious Diseases, Mosby Year
Book, Toronto.

 Christine L. Mudge-Grout, 1992, Immunologic Disorders, Mosby Year Book, St. Louis.

 Rampengan dan Laurentz, 1995, Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak, cetakan kedua,
EGC, Jakarta.

 Lab/UPF Ilmu Penyakit Dalam, 1994, Pedoman Diagnosis dan Terapi, RSUD Dr.
Soetomo Surabaya.

 Lyke, Merchant Evelyn, 1992, Assesing for Nursing Diagnosis ; A Human Needs
Approach,J.B. Lippincott Company, London.

 Phipps, Wilma. et al, 1991, Medical Surgical Nursing : Concepts and Clinical Practice,
4th edition, Mosby Year Book, Toronto

 Doengoes, Marilynn, dkk, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan ; Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi 3, alih bahasa : I Made
Kariasa dan Ni Made S, EGC, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai