Anda di halaman 1dari 68

HUBUNGAN AKTIVITAS FISIK DENGAN KEJADIAN

HIPERTENSI PADA LANSIA DI PUSKESMAS


STABAT LAMA KEC.WAMPU

PROPOSAL

Oleh

IRMA KHAIRANI
1914201013

PROGRAM STUDI NERS – S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN FLORA MEDAN
2022
B B1
A PENDAHULUAN

Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah

sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg

pada dua kali pengukuran dengan selangwaktu lima menit dalam keadaan cukup

istirahat/tenang. (Kemenkes, 2013).

Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) tahun 2017,

meyebutkan bahwa dari 53,3 juta kematian didunia, 33,1% disebabkan oleh

penyakit kardiovaskuler, 16,7% oleh kanker, 6% disebabkan oleh diabetes melitus

(DM) DM dan gangguan endokrin dan 4,8% disebabkan oleh infeksi saluran

napas bawah ((IMHE, 2017). World Health Organization (WHO) menjelaskan

kematian paling tinggi dikaitkan dengan penyakit kardiovaskuler yaitu WHO

SEAR (South East Asia Region) yang terdiri dari 11 Negara dan Indonesia

menduduki peringkat pertama yaitu 26,4 % (WHO, 2018). IHME juga

menyebutkan bahwa dari total 1,7 juta kematian di Indonesia didapatkan faktor

risiko yang menyebabkan kematian adalah tekanan darah (hipertensi) sebesar

23,7%, hiperglikemia sebesar 18,4%, merokok sebesar 12,7% dan obesitas

sebesar 7,7% (IMHE, 2017).

Berdasarkan data Riskesdas tahun 2018 memperlihatkan bahwa prevalensi

hipertensi mengalami kenaikan dari 25,8% menjadi 34,1% dengan estimasi

jumlah kasus hipertensi di Indonesia adalah sebesar 63.309.620 orang, dengan

kematian akibat hipertensi sebesar 427.218. Prevalensi hipertensi berdasarkan usia

1
2

penduduk ≥18 tahun (34,1%) yaitu 31-44 tahun (31,6%),usia 45-54 tahun

(45,3%), dan usia 55-64 tahun (55,2%) (Kementrian Kesehatan RI, 2018).

Data Dinas Kesehatan Sumatera Utara pada tahun 2015 mencatat penderita

hipertensi pada Januari-Oktober 2015 mencapai 151.939. Berdasaran Data Riset

Kesehatan Dasar menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi di Provinsi Sumatera

Utara sebesar 29,19%. Angka ini cukup tinggi dan berbahaya jika tidak diatasi

dengan segera (Kementrian Kesehatan RI, 2018). Pelaksanaan pencegahan

penyakit cenderung tidak berjalan efektif disebabkan masih kurangnya sarana dan

prasarana untuk memberikan pelayanan kesehatan (Saragih, 2019). Berdasarkan

data yang diperolah dari Puskesmas Stabat diketahui hipertensi termasuk dalam

10 besar penyakit dan hipertensi berada di urutan ke-2 dengan jumlah penderita

sebanyak 960 orang selama tahun 2021.

Hipertensi merupakan suatu keadaan dimana sesesorang mengalami

peningkatan tekanan darah diatas normal yang mengakibatkan peningkatan angka

kesakitan (morbiditas) dan angka kematian (mortilitas). Tekanan darah 140/90

mmHg didasarkan pada dua fase dalam setiap denyut jantung yaitu fase sistolik

140 mmHg didasarkan pada dua fase darah yang sedang dipompa oleh jantung

dan fase diastolik 90 menunjukkan fase darah yang kembali ke jantung (Triyanto,

2014).

Faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi adalah faktor genetik,

umur, jenis kelamin, obesitas, asupan garam, kebiasaan merokok, dan aktivitas

fisik. Aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka

yang membutuhkan pengeluaran energi. Sedangkan latihan (exercise) merupakan


3

subkategori dari aktivitas fisik. Exercise adalah aktivitas fisik yang terencana,

terstruktur, berulang, dan bertujuan untuk meningkatkan atau memelihara

kebugaran tubuh (Dasso, 2019).

Kurangnya aktivitas fisik dapat membuat orang yang cenderung

mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi sehingga otot jantung

harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi, makin besar dan sering otot

jantung memompa maka makin besar tekanan yang dibebankan pada arteri

sehingga tekanan darah akan meningkat (Profil DINKES Sumatera Selatan, 2017).

Aktivitas fisik yang baik dan rutin akan melatih otot jantung dan tahanan perifer

yang dapat mencegah peningkatan hipertensi. Olahraga yang teratur dapat

merangsang pelepasan hormon endorfin yang menimbulkan efek euphoria dan

relaksasi otot sehingga hipertensi tidak meningkat Pranama, 2016).

Aktivitas fisik yang teratur membantu meningkatkan efisiensi jantung

secara keseluruhan. Mereka yang secara fisik aktif umumnya mempunyai tekanan

darah yang lebih rendah dan lebih jarang terkena hipertensi. Mereka yang secara

fisik aktif cenderung untuk mempunyai fungsi otot dan sendi yang lebih baik,

karena organ-organ demikian lebih kuat dan lebih lentur (Harahap, 2017)

Bedasarkan hasil penelitian Honesty et al. (2020) tentang hubungan

tingkat pengetahuan dengan Aktifiatas fisik Lansia pada kejadian hipertensi

didapatkanlebih dari separuh 38 (67,9%) responden dengan kejadian hipertensi

pada lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Koto Lolo, dan didapatkan bahwa

proporsi hipertensi lebih besar terjadi pada responden yang memiliki tingkat

pengetahuan rendah yaitu 93,1% dibandingkan dengan tingkat pengetahuan


4

tinggi yaitu 40,7%. Berdasarkan uji chi-square yang tekah dilakukan, didapatkan

nilai p=0,000, proporsi hipertensi banyak terjadi pada responden yang memiliki

aktivitas fisik ringan yaitu 82,1% dengan jumlah responden 32 orang

dibandingkan dengan aktivitas sedang yaitu 35,3% dengan jumlah responden 6

orang. Berdasarkan hasil uji chi-square yang telah dilakukan, didapatkan nilai

p=0,002. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Tori et al. (2017) dimana

didapatkan hasil dari total 34 responden yang aktivitas fisiknya ringan

terdapat 23 responden (67,6%) menderita hipertensi dan 11 responen (32,4%)

tidak menderita hipertensi. Sedangkan dari total 30 responden yang aktivitas

fisiknya sedang dan berat terdapat 9 responden (30%) menderita hipertensi dan 21

responen (70%) tidak menderita hipertensi, hasil uji statistic didapatkan p-

value=0,005, ini menunjukan adanya hubungan antara aktivitas fisik dengan

kejadian hipertensi. Hasil analisis juga menjelaskan juga menjelaskanilai

OR=2,255 (1,245-4,084) yang berarti responden yang melakukan aktivitas

fisik ringan beresiko untuk menderita hipertensi sebesar 2,26 kali dibandingkan

dengan yang melakukan aktivitas fisik sedang dan berat.

Penelitian yang dilakukan Putra et al. (2020) menunjukan bahwa terdapat

67 orang subjek yang melakukan aktivitas fisik sedang kemudian diketahui

subjek dengan aktivitas fisik sedang yang memiliki tekanan darah dalam kategori

normal sebanyak 45 (67,2%) orang, kategori hipertensi sebanyak 15 (22,4%)

orang, kategori hipotensi sebanyak 7 (10,5%) orang. Dari 20 orang subjek yang

melaksanakan aktivitas fisik dalam kategori berat, ternyata terdapat 10 (50%)

orang yang memiliki tekanan darah dalam kategori normal, dan kategori
5

hipertensi sebanyak 8 (40%) orang.

Berdasarkan penelitian Grisda et al. (2019) didapatkan hasil aktivitas fisik

ringan lebih banyak dilakukan oleh responden penelitian dibandingkan dengan

tingkat aktivitas fisik lainnya. Responden yang melakukan aktivitas fisik ringan

sebanyak 39 orang (65%), responden yang melakukan aktivitas fisik sedang

sebanyak 12 orang (20%), responden yang melakukan aktivitas fisik berat

sebanyak tujuh orang (11,7%), dan responden yang melakukan aktivitas fisik

sangat berat hanya sebanyak 2 orang (3,3%). Hasil analisis bivariat dengan uji

spearman diatas memiliki derajat kepercayaan sebesar 95% yang menunjukkan

bahwa nilai signifikan yaitu p=0,024 sehingga dapat disimpulkan H0 ditolak dan

H1 diterima yaitu ada hubungan yang signifikan antara aktivitas fisik terhadap

kejadian hipertensi pada wanita pralansia di Puskesmas Bakunase. Kuatnya

hubungan antar variabel pada penelitian ini dinilai dari nilai koefisien kolerasi (r)

yaitu sebesar -0,291. Hal ini menunjukkan bahwa koefisien kolerasi pada

penelitian ini memiliki kolerasi sangat lemah karena r <0,2 dan memiliki sifat

kolerasi negatif (-) dimana semakin ringan aktivitas fisik yang dilakukan

responden, maka semakin tinggi tekanan darah yang dimiliki.

Penelitian Alfiana (2021) menunjukan bahwa lansia di wilayah kerja

puskesmas Burneh posyandu lansia kelompok rambutan didapatkan lansia

dengan aktivitas fisik yang baik tidak mengalami hipertensi (normal) sejumlah 6

(21.4%), lansia dengan aktivitas fisik yang cukup tidak mengalami hipertensi

(normal) sejumlah 2 (7.1%), dan lansia dengan aktivitas fisik cukup yang

mengalami prehipertensi sejumlah 7 (25.0%), lansia dengan aktivitas fisik


6

kurang yang mengalami prehipertensi sejumlah 1 (3.6%), kemudian lansia

dengan aktivitas fisik cukup yang mengalami hipertensi derajat 1 sejumlah 4

(14.3%), lansia dengan aktivitas fisik kurang yang mengalami hipertensi derajat

1 sejumlah 6 (21.4%), sedangkan lansia dengan aktivitas fisik kurang yang

mengalami hipertensi derajat 2 sejumlah 2 (7.1%). Dari hasil uji statistic

spearman rank diperoleh p = 0,000 berarti nilai p = <α (0,05). Dengan demikian

dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak dan H1 diterima yang berarti ada

hubungan aktivitas fisik dengan hipertensi pada lansia di posyandu lansia

kelompokrambutan.

Sesuai dengan teori (Prasetyo, 2015) menjelaskan aktivitas yang tinggi

dapat mencegah atau memperlambat onset tekanan darah tinggi dan

menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi. Orang yang rajin bersepeda,

jogging, senam aerobik, dan lain-lain dapat melancarkan peredaran darah

sehingga menurunkan tekanan darah. Orang yang jarang berolahraga cenderung

kelebihan berat badan. Olahraga juga dapatmengurangi atau mencegah obesitas

danmengurangi asupan garam ke dalam tubuh.Garam akan dikeluarkan bersama

keringat. Melalui olahraga yang teratur (aktivitas fisik aerobik selama 30-45

menit/hari) dapat menurunkan tekanan perifer yang akan mencegah terjadinya

hipertensi.

Hasil penelitian Hasanudin, Ardiyani dan Perwiraningtyas (2018)

menegaskan hal ini: Ada hubungan antara aktivitas fisik dengan tekanan darah

penderita hipertensi di Kecamatan Tlogosuryo, Desa Tlogomas, Kecamatan

Lowokvaru, Kota Malang, Desa Tlogomas, Kecamatan Lowokvaru, Kota Malang


7

Aktivitas fisik dan tekanan darah penderita hipertensi di RT/RW 01/02 wilayah

Tlogosuryo. Hasil analisis juga menunjukkan nilai korelasi negatif, yang

dibuktikan dengan nilai koefisien korelasi yaitu -0,808 yang berarti kurangnya

latihan fisik menempatkan Anda pada risiko hipertensi. Hal ini akan

menyebabkan organ-organ tubuh dan suplai darah dan oksigen menjadi mandek,

sehingga meningkatkan tekanan darah. Padahal jika melakukan aktivitas fisik

atau olahraga secara rutin justru dapat menurunkan atau menstabilkan tekanan

darah.

Dari survey awal yang dilakukan di Puskesmas Stabat Lama didapatkan

jumlah lansia sebanyak 163 orang yang ada di wilayah kerja Puskesmas Stabat

Lama kemudian dilakukan survei awal pada 5 orang responden yaitu lansia yang

sedang mengikuti senam lansia di Puskesmas Stabat Lama, lansia mengatakan

bahwa aktivitas fisik yang dilakukan sehari-hari selain senam rutin yang diikuti di

puskesmas 2 dari 5 lansia mengatakan melakukan kegiatan lain seperti memasak,

mencuci dan membersihkan rumah mereka rutin jalan pagi sekitar 30 menit setiap

harinya dan sisanya sebanyak 3 responden dari 5 responden rutin bersepeda dipagi

hari dan naik tangga dikarenakan rumahnya bertingkat dan sisanya melakukan

aktivitas biasa seperti mencuci, memasak, membersihkan rumah. Setelah

dilakukan wawancara peneliti melakukan Tindakan tensi darah kepada responden

dan didapatkan hasil 2 dari 5 responden memiliki tekanan darah dikisaran 130/80

mmHg-140/80 mmHg dan 3 dari 5 responden memiliki tekanan darah dikisaran

120/70 mmHg-140 mmHg.


8

Peneliti juga melakukan survei awal kepada 5 lansia yang berada disekitar

Puskesmas Stabat Lama yang tidak mengikuti senam lansia , 4 dari 5 responden

mengatakan bahwa mereka malas mengikuti senam lansia lebih senang dirumah

dan dirumah mereka hanya menonton tv dan sesekali menyapu rumah, 1 dari 5

responden mengatakan sedikit kesusahan bergerak karena kakinya sudah lama

sakit ketika digerakan terlalu lama jadi dia memilih hanya dirumah atau jalan-

jalan didepan rumah sesekali jika bosan, 3 dari 5 responden Ketika diukur tekanan

darahnya menunjukan 140/90 mmHg-150/90 mmHg sedangan 2 dari 5 responden

memiliki tekanan darah 160/90 mmHg dan 180/90 mmHg. Dari hasil survei awal

yang dilakukan terdapat perbedaan yang cukup jauh dari kegiatan serta hasil ukur

tekanan darah pada lansia di Puskesmas Stabat Lama.

Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian

tentang Hubungan Aktivitas Fisik Dengan Kejadian Hipertensi Pada Lansia Di

Puskesmas Stabat Lama Kec Wampu Tahun 2022.

1.1 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis merumuskan masalah

penelitian apakah ada Hubungan Aktivitas Fisik Dengan Kejadian Hipertensi Pada

Lansia Di Puskesmas Stabat Lama Kec Wampu Tahun 2022.

1.2 Tujuan Penelitian

1.2.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Hubungan Aktivitas Fisik

Dengan Kejadian Hipertensi Pada Lansia Di Puskesmas Stabat Lama Kec Wampu

Tahun 2022.
9

1.2.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah untuk:

1. Mengidentifikasi aktivitas fisik pada lansia di Puskesmas Stabat Lama.

2. Mengidentifikasi kejadian hipertensi pada lansia di Puskesmas Stabat Lama.

3. Mengidentifikasi hubungan aktivitas fisik dengan kejadian hipertensi pada

lansia di Puskesmas Stabat Lama.

1.2.3 Hipotesa Penelitian

Ha: Ada Hubungan Aktivitas Fisik Dengan Kejadian Hipertensi Pada Lansia

Di Puskesmas Stabat Lama Kec Wampu Tahun 2022.

Ho: Tidak Ada Hubungan Aktivitas Fisik Dengan Kejadian Hipertensi Pada

Lansia Di Puskesmas Stabat Lama Kec Wampu Tahun 2022.

1.3 Manfaat Penelitian

1.3.1 Pendidikan Keperawatan

Untuk mengembangkan dan meningkatkan Pendidikan dalam bidang

keperawatan secara professional dalam meningkatkan mutu pelayanan

keperawatan khususnya pada pasien dengan hipertensi.

1.3.2 Pelayanan Keperawatan

Sebagai bahan masukan dalam bidang keperawatan dalam rangka menjaga

dan meningkatkan mutu pelayanan dalam mengembangkan pelayanan

keperawatan yang professional khususnya pada pasien dengan hipertensi.

1.3.3 Penelitian Selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan serta data dasar untuk peneliti

selanjutnya dan menambah referensi tentang Hubungan Aktivitas Fisik Dengan


10

Kejadian Hipertensi Pada Lansia Di Puskesmas Stabat Lama Kec Wampu Tahun

2022.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Aktivitas fisik

2.1.1 Aktifitas fisik

Aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot

rangka yang membutuhkan pengeluaran energi. Sedangkan latihan (exercise)

merupakan subkategori dari aktivitas fisik. Exercise adalah aktivitas fisik yang

terencana, terstruktur, berulang, dan bertujuan untuk meningkatkan atau

memelihara kebugaran tubuh (Dasso, 2019).

Menurut WHO (2018), aktivitas fisik didefinisikan sebagai gerakan

tubuh yangdihasilkan oleh otot rangka yang membutuhkan pengeluaran energi

Aktivitas fisik adalah tingkah laku yang kompleks dan multi dimensi. Banyak

mode kegiatan yang berbeda berkontribusi untuk aktivitas fisik total, ini

termasuk aktifitas fisik pekerjaan, rumah tangga (misalnya pengasuhan,

pembersihan rumah tangga), transportasi (misalnya berjalan kaki atau bersepeda

ke tempat kerja) dan leisure time physical activity (misalnya menari, berenang).

Aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang membutuhkan energi

untuk mengerjakannya. Sedangkan olah raga merupakan aktivitas fisik yang

terencana dan terstruktur serta melibatkan gerakan tubuh berulang-ulang dan

bertujuan untuk meningkatkan kebugaran jasmani (Farizati dalam Khomarun,

2013). Aktifitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang meningkatkan


11
12

pengeluaran tenaga dan energi atau pembakaran kalori (Kemenkes RI, 2015).

2.1.2 Aktivitas fisik yang sesuai bagi Lansia

Ada 3 Jenis/macam/sifat aktivitas fisik yang dapat lansia lakukan

untuk mempertahankan kesehatan tubuh yaitu (Rosmalina, 2012):

1. Ketahanan (endurance)

Aktivitas fisik yang bersifat untuk ketahanan, dapat membantu jantung,

paru-paru, otot, dan sistem sirkulasi darah tetap sehat dan membuat kita lebih

bertenaga. Untuk mendapatkan ketahanan maka aktivitas fisik yang dilakukan

selama 30 menit (4-7 hari per minggu).

Contoh beberapa kegiatan yang dapat dipilih seperti:

1. Berjalan kaki

2. Lari ringan

3. Berenang, senam

4. Bermain tenis

5. Berkebun dan kerja di taman.

2. Kelenturan (flexibility)

Aktivitas fisik yang bersifat untuk kelenturan dapat membantu

pergerakan lebih mudah, mempertahankan otot tubuh tetap lemas (lentur) dan

sendi berfungsi dengan baik. Untuk mendapatkan kelenturan maka aktivitas fisik

yang dilakukan selama 30 menit (4-7 hari per minggu).

Contoh beberapa kegiatan yang dapat dipilih seperti:

1. Peregangan, mulai dengan perlahan-lahan tanpa kekuatan atau sentakan,


13

lakukan secara teratur untuk 10-30 detik, bisa mulai dari tangan dan
kaki

2. Senam taichi, yoga

3. Mencuci pakaian, mobil

4. Mengepel lantai.

3. Kekuatan (strength)

Aktifitas fisik yang bersifat untuk kekuatan dapat membantu kerja otot

tubuh dalam menahan sesuatu beban yang diterima, tulang tetap kuat, dan

mempertahankan bentuk tubuh serta membantu meningkatkan pencegahan

terhadap penyakit seperti osteoporosis. Untuk mendapatkan kelenturan maka

aktivitas fisik yang dilakukan selama 30 menit (2-4 hari per minggu).

Contoh beberapa kegiatan yang dapat dipilih seperti:

1. Push-up, pelajari teknik yang benar untuk mencegah otot dan sendi dari

kecelakaan

2. Naik turun tangga

3. Angkat berat/beban

4. Membawa belanjaan

5. Mengikuti kelas senam terstruktur dan terukur (fitness)

2.1.3 Manfaat Aktivitas Fisik

Manfaat aktivitas fisik menurut Fatmah (2010) sebagai berikut :

1. Manfaat fisik

a) Menjaga tekanan darah agar tetap stabil dalam batas normal

b) Meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit


14

c) Menjaga berat badan ideal

d) Menguatkan tulang dan otot

e) Meningkatkan kelenturan tubuh

f) Meningkatkan kebugaran tubuh

2. Manfaat psikis

a) Mengurangi stres

b) Meningkatkan rasa percaya diri

c) Membangun rasa sportifitas

d) Memupuk rasa tanggung jawab

2.1.4 Faktor – faktor yang mempengaruhi aktivitas fisik

Menurut (British Heart Foundation (BHF), 2014) yaitu:

Faktor Biologis

1. Usia

Semakin bertambahnya usia, maka semakin berkurang aktivitasfisik yang

dapat dilakukan.

2. Jenis Kelamin

Laki-laki lebih aktif dalam beraktivitas fisik daripada

perempuan Faktor Demografis

1. Status Sosial Ekonomi

Seseorang dengan status sosial ekonomi yang tinggi lebih aktif daripada

yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah. Sekitar 10% perbedaan

diantara keduanya.
15

2. Ras

Golongan kulit putih cenderung aktif daripada etnis lain.

3. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan yang rendah mempengaruhi tingkat rendahnya

aktivitas fisik.

Faktor Sosial

Partisipasi aktivitas fisik dipengaruhi oleh faktor pendukungsosial dan

orang-orang terdekat seperti:

1. Teman

2. Guru

3. Ahli Kesehatan

4. Pelatih olahraga profesional atau

instruktur Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan yang mampu memberikan efek yang positifdalam

aktivitas fisik, diantaranya:

1. Akses untuk program dan fasilitas tersedia seperti, lapangan, tamanbermain

dan area untuk aktivitas fisik

2. Adanya area berjalan dan jalan bersepeda

3. Adanya waktu untuk bermain di tempat terbuka

4. Perbedaan struktur bangunan yang secara tidak langsung mempengaruhi

kebiasaan aktivitas fisik di perkotaan dan pedesaan.


16

2.1 5 Hubungan Aktivitas Fisik dan Hipertensi

Stabilisasi tekanan darah dapat dipengaruhi oleh aktivitas fisik.

Frekuensi denyut jantung cenderung lebih tinggi pada seseorang yang tidak aktif

beraktivitas fisik daripada yang aktif melakukan aktivitas fisik secara rutin.

Frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi akan menyebabkan otot jantung

bekerja lebih keras pada setiap kontraksi. Semakin besar usaha otot jantung

untuk memompa darah maka semakin besar pula tekanan darah yang

dibebankan pada dinding arteri sehingga terjadi peningkatan tahanan perifer

yang menyebabkan kenaikan tekanan darah (Trinyanto, 2014).

Tekanan darah sistolik secara fisiologis akan meningkat setelah usia

lebih dari 45 tahun sampai mencapai usia 70 tahun. Hal tersebut dikarenakan

adanya perubahan pada tunika media. Terjadi peningkatan kolagen dan

penipisan serta kalsifikasi serat elastin yang menyebabkan kekakuan pembuluh

darah. Perubahan tersebut dapat meningkatkan resistensi terhadap aliran darah

dari jantung, sehingga ventrikel kiri dipaksa untuk bekerja lebih keras. Selain

itu, baroreseptor di arteri besar menjadi kurang efektif dalam mengontrol

tekanan darah. Secara keseluruhan, perubahan tersebut akan menyebabkan

kekakuan pembuluh darah menjadi meningkat sehingga terjadi peningkatan pada

tekanan darah sistolik (Miller dan Hunter, 2012).

Sedangkan peningkatan tekanan darah diastolik terjadi pada usia 50

dan 60 tahun kemudian menetap atau cenderung menurun (Khomarun et al.,

2013). Hal tersebut dipengaruhi oleh kekakuan arteri yang membuat pembuluh
17

darah arteri memiliki kemampuan terbatas saat ekspansi sehingga arteri gagal

menyangga secara efektif tekanan yang diberikan jantung dan menghasilkan

peningkatan tekanan darah sistole. Di sisi lain, arteri sulit untuk melakukan

recoil selama diastole sehingga tekanan darah diastole akan lebih rendah

(Lionakis, 2012).

Fatmah (2010) dalam Norma (2020) mengungkapkan penuaan adalah

proses alamiah dan berkesinambungan bagi tubuh untuk mengalami perubahan

anatomis, fisiologis, dan biokimia. Perubahan tersebut akan mempengaruhi

fungsi dan kemampuan tubuh secara keseluruhan. Penurunan fungsi tubuh

akibat dari semakin bertambahnya usia akan menyebabkan berkurangnya

aktivitas fisik yang dilakukan oleh lansia. Berkurangnya aktivitas fisik

tersebut akan meningkatkan resiko hipertensi pada lansia. Oleh karena

itu hipertensi seringkali dijumpai pada orang lanjut usia.

2.2 Konsep Hipertensi


2.2.2 Definisi Hipertensi

Hipertensi adalah suatu kondisi medis yang kronis dimana tekan darah

(TD) meningkat diatas TD yamh disepakati normal. TD terbentuk dari interaksi

antara aliran darah dan tahanan pembuluh darah perifer. Tekanan ddarah darah

mneingkat dan mencapai suatu puncak apabila aliran darah deras misalnya pada

waktu sistol, kemudian menurun pada waktu aliran darah berkurang seperti pada

waktu diastol. Dengan demikian didapatkan dua macam TD, yaitu TD sistolik

(normal ± 120 mmHg) dan TD diastolik ( normal ± 80 mmHg). Perbedaan


18

tekanan sistolik dan diastolic disebut tekanan nadi (Pulse Pressure, normal ± 40

mmHg) (Prof. Dr. Peter Kabo, 2018).

Hipertensi adalah keadaan meningkatnya tekanan darah sistolik lebih

besar dari 140 mmHg dan atau diastolik lebih besar dari 90 mmHg pada dua kali

pengukuran dengan selang waktu 5 menit dalam keadaan cukup istirahat/tenang

(Kemenkes, 2018). Hipertensi adalah “tekanan darah dengan Systolic Blood

Pressure (SBP) ≥ 130mmHg atau tekanan darah dengan Diastolic Blood

Pressure (DBP) ≥ 80mmHg”. Penurunan 10 poin pada tekanan darah sistolik

dan diastolik sebelumnya tersebut menyebabkan 103 juta penduduk Amerika

Serikat mengalami hipertensi dan harus menjalani diet, perubahan gaya hidup

(berolahraga) dan mengkonsumsi obat anti hipertensi. Seluruh hal tersebut harus

dijalani untuk mengurangi risiko terhadap kejadian serangan jantung dan stroke

(AHA,2017).

Hipertensi adalah salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas di

indonesia, yang menyatakan bahwa seseorang akan dikatakan hipertensi bila

memiliki tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥

90 mmHg, pada pemeriksaan yang berulang. Sehingga tatalaksana penyakit ini

merupakan intervensi yang sangat umum dilakukan diberbagai tingkat fasilitas

kesehatan (PERKI, 2015).

Menurut Triyanto, (2014) Hipertensi merupakan suatu keadaan dimana

seseorang mengalami peningkatan tekanan darah di atas angka normal yang

mengakibatkan terjadinya peningkatan morbiditas dan mortalitas. Tekanan darah


19

menunjukkan bahwa terjadinya peningkatan kekuatan dorongan darah pada

permukaan pembuluh darah arteri ketika jantung memompa darah ke seluruh

tubuh. Tekanan darah ditunjukkan dengan angka, misalnya 140/90 mmHg yang

dimana ada dua fase dalam setiap denyut jantung yaitu fase sistolik 140 yang

menunjukkan fase darah sedang dipompa oleh jantung dan fase diastolik 90

menunjukkan fase darah yang kembali ke jantung.

Pembuluh darah arteri mengalami tekanan yang disebabkan oleh jantung

yang memompa dan mengalirkan darah ke seluruh tubuh. Tubuh membutuhkan

oksigen dan nutrisi yang cukup yang disalurkan oleh darah melalui jaringan

pembuluh darah yang kemudian memasuki sel-sel tubuh. Jantung tidak hanya

dapat memompa darah secara terus- menerus, tetapi juga dapat mengumpulkan

darah yang sudah terpakai kembali dari seluruh bagian tubuh. Darah yang

segar kemudian dialirkan ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah yang

bernama arteries, sedangkan yang membawa darah yang telah terpakai

kejantung kembali dinamakan veins. Sistem sirkulasi darah merupakan

keseluruhan sistem pada jantung, pembuluh darah dan darah. Untuk menahan

tekanan darah yang dipompa ke dalam sistem tersebut terdapat arteri yang

bersifat kuat dan elastis yang dapat menahannya. Arteri berperan sangat penting

dalam mengatur tekanan darah terutama pada arteri yang bercabang sampai

pembuluh yang sangat halus dan memiliki dinding yang kuat

Menurut Kemenkes, (2013) Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah

sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg
20

pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan cukup

istirahat/tenang.

Menurut Natalia, et al (2015) Hipertensi merupakan penyebab kematian

nomor satu di dunia, dan hipertensi menjadi penyebab kematian nomor 3 setelah

stroke dan tuberkulosis, yaitu 6,7% kematian dari semua umur di Indonesia. Di

banyak negara saat ini, prevalensi hipertensi meningkat sejalan dengan

perubahan gaya hidup, seperti merokok, obesitas, inaktivitas fisik, dan stress

psikososial. Hipertensi sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat dan akan

menjadi masalah yang lebih besar jika tidak ditanggulangi sejak dini.

2.2.3 Etiologi Hipertensi

Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi dua kategori menurut

Triyanto, 2014 yaitu :

1. Hipertensi esensial atau primer

Penyebab dari hipertensi primer sampai saat ini belum dapat diketahui

penyebabnya. Hampir 90% angka kejadian hipertensi merupakan hipertensi

primer. Onset hipertensi primerterjadi pada usia 30-50 tahun. Hipertensi primer

adalah suatu kondisi hipertensi dimana penyebab sekunder dari hipertensi tidak

ditemukan. Pada hipertensi primer tidak ditemukan penyakit renovaskuler,

adosteronism, pheocro-mocytoma, gagal ginjal, dan penyakit lainnya. Genetik

dan ras merupakan bagian yang menjadi penyebab timbulnya hipertensi primer,

termasuk faktor lain yang diantaranya adalah faktor stres, intake alkohol

moderate, merokok, lingkungan, demografi, dan gaya hidup.


21

2. Hipertensi sekunder

Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang penyebabnya dapat diketahui,

antara lain pembuluh darah ginjal, gangguan kelenjar tiroid (hipertiroid),

penyakit kelenjar adrenal (hiperaldosteronisme). Golongan terbesar penderita

hipertensi adalah hipertensi esensial, maka penyelidikan dan pengobatan lebih

banyak ditujukan pada penderita hipertensi esensial.

2.2.4 Faktor Risiko Hipertensi

Faktor resiko hipertensi dibagi menjadi 2 yaitu tidak dapat diubah dan

dapat diubah. Faktor resiko yang tidak dapat diubah antara lain seperti genetik,

jenis kelamin, dan usia. Faktor resiko dari hipertensi yang dapat diubah

antara lain seperti konsumsi garam berlebih, kadar kolesterol tinggi,

konsumsi kopi, konsumsi alkohol, obesitas, kurang aktivitas fisik, dan

merokok (Fauzi, 2014).

Faktor resiko meningkat pada seseorang dengan riwayat kelurga menderita

hipertensi. Hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar sodium intraseluler

dan rendahnya rasio antara potasium terhadap sodium. Individu dengan orang

tua penderita hipertensi mempunyai resiko dua kali lebih besar untuk menderita

hipertensi daripada orang yang tidak mempunyai riwayat hipertensi pada

keluarga (Nuraini, 2015).

Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria sama dengan wanita. Namun

wanita terlindung dari penyakit kardiovaskular sebelum menopause (Nuraini,

2015). Wanita yang belum mengalami menopause dilindungi oleh hormon


22

estrogen yang berperan dalam meningkatkan kadar High Density Lipoprotein

(HDL). Kadar HDL yang tinggi merupakan faktor pelindung dalam mencegah

terjadinya proses aterosklerosis (Kusumawaty et al., 2016).

Insiden hipertensi juga meningkat seiring dengan bertambahnya usia.

Arteri akan kehilangan elastisitas atau kelenturan sehingga seiring berjalannya

waktu maka pembuluh darah akan menyempit dan menjadi kaku. Selain itu,

refleks baroreseptor pada lansia juga mulai berkurang. Hal ini mengakibatkan

tekanan darah meningkat seiring dengan bertambahnya usia (Kartikasari et al.,

2012)

Konsumsi terlalu banyak garam dapat meningkatkan resiko hipertensi.

Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium

ekstraseluler meningkat. Natrium akan diekskresikan melalui ginjal. Apabila

ekskresi tersebut melampaui ambang batas maka ginjal akan meretensi H2O

untuk menetralkan natrium di vaskular. Meningkatnya volume cairan

intravaskular tersebut akan meningkatkan tekanan darah sehingga terjadi

hipertensi (Setiati et al., 2014).

Konsumsi kopi terlalu banyak juga meningkatkan resiko terjadinya

hipertensi. Kandungan kafein dalam kopi terbukti dapat meningkatkan tekanan

darah. Setiap cangkir kopi mengandung 75-200 mg kafein, yang berpotensi

meningkatkan tekanan darah sebesar 5-10 mmHg (Fauzi, 2014). Kafein di dalam

tubuh manusia bekerja dengan cara memicu produksi hormonadrenalin sehingga


23

terjadi vasokonstriksi yang mengakibatkan peningkatan tekanan darah (Bistara

dan Yanis Kartini, 2018). Kolesterol berlebih merupakan faktor resiko yang

dapat diubah dari hipertensi. Kandungan lemak yang berlebihan dalam darah

menyebabkan timbunan kolesterol pada dinding pembuluh darah, sehingga

pembuluh darah menyempit, pada akhirnya akan mengakibatkan tekanan darah

menjadi tinggi. Selain itu orang dengan indeks massa tubuh berlebih memiliki

peluang lebih besar terkena hipertensi (Fauzi, 2014).

Mengkonsumsi alkohol dapat meningkatkan resiko hipertensi karena

alkohol dapat merusak jantung dan juga pembuluh darah. Hal tersebut dapat

menyebabkan tekanan darah meningkat. Selain konsumsi alkohol, kebiasaan

merokok juga dapat meningkatkan resiko hipertensi. Nikotin dalam rokokdapat

meningkatkan tekanan darah sistolik sebesar 4 mmHg. Nikotin dapat

merangsang pelepasan katekolamin, katekolamin yang meningkat dapat

mengakibatkan iritabilitas miokardial, peningkatan denyut jantung, serta dapat

menyebabkan vasokonstriksi yang kemudian meningkatkan tekanan darah

(Fauzi, 2014).

Faktor resiko yang dapat diubah salah satunya yaitu aktivitas fisik.

Beraktivitas fisik teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang akan

menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi dan melatih otot jantung

sehingga menjadi terbiasa apabila jantung harus melakukan pekerjaan lebih

berat pada konsisi tertentu (Nuraini, 2015). Kurangnya aktivitas fisik

meningkatkan resiko menderita hipertensi. Orang yang tidak aktif beraktivitas


24

fisik cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi

dibanding orang yang aktif beraktivitas fisik dengan volume pompa darah

yang sama. Otot jantung orang yang jarang beraktivitas fisik bekerja lebih sering

dan lebih keras pada setiap kontraksi. Semakin besar tekanan yang dibebankan

pada arteri maka tekanan darah akan meningkat (Karim et al., 2018).

2.2.5 Patofisologi Hipertensi

Menurut (Triyanto, 2014) meningkatnya tekanan darah didalam arteri bisa

terjadi melalui beberapa cara yaitu jantung memompa lebih kuat sehingga

mengalirkan lebih banyak cairan pada setiap detiknya arteri besar kehilangan

kelenturanya dan menjadi kaku sehingga mereka tidak dapat mengembang pada

saat jantung memompa darah melalui arteri tersebut.

Darah di setiap denyutan jantung dipaksa untuk melalui pembuluh yang

sempit dari pada biasanya dan menyebabkan naiknya tekanan. Inilah yang

terjadi pada usia lanjut, dimana dinding arterinya telah menebal dan kaku

karena Arteriosklerosis. Dengan cara yang sama, tekanan darah juga meningkat

pada saat terjadi vasokonstriksi, yaitu jika arteri kecil (arteriola) untuk

sementara mengecil karena perangsangan saraf atau hormon didalam darah.

Bertambahnya darah dalam sirkulasi bisa menyebabkan meningkatnya tekanan

darah. Hal initerjadi jika terhadap kelainan fungsi ginjal sehingga tidak mampu

membuang sejumlah garam dan air dari dalam tubuh meningkat sehingga

tekanan darah juga meningkat.

Sebaliknya, jika aktivitas memompa jantung berkurang arteri mengalami


25

pelebaran, banyak cairan keluar dari sirkulasi, maka tekanan darah akan

menurun. Penyesuaian terhadap faktor-faktor tersebut dilaksanakan oleh

perubahan didalam fungsi ginjal dan sistem saraf otonom (bagian dari sistem

saraf yang mengatur berbagai fungsi tubuh secara otomatis). Perubahan fungsi

ginjal, ginjal mengendalikan tekanan darah melalui beberapa cara : jika

tekanan darah meningkat, ginjal akan mengeluarkan garam dan air yang akan

menyebabkan berkurangnya volume darah dan mengembalikan tekanan darah

normal. Jika tekanan darah menurun, ginjal akan mengurangi pembuangan

garam dan air, sehingga volume darah bertambah dan tekanan darah kembali

normal. Ginjal juga bisa meningkatkan tekanan darah dengan menghasilkan

enzim yang disebut renin, yang memicu pembentukan hormon angiotensin,

yang selanjutnya akan memicu pelepasan hormon aldosteron. Ginjal merupakan

organ peting dalam mengembalikan tekanan darah, karena itu berbagai penyakit

dan kelainan pada ginjal dapat menyebabkan terjadinya tekanan darah tinggi.

Misalnya penyempitan arteri yang menuju ke salah satu ginjal (stenosis arteri

renalis) bisa menyebabkan hipertensi. Peradangan dan cidera pada salah satu

atau kedua ginjal juga bisa menyebabkan naiknya tekanan darah (Triyanto

2014).

Sistem saraf simpatis merupakan bagian dari sitem saraf otonom yang

untuk sementara waktu akan meningkatkan tekanan darah selama respon fight-

or-flight (reaksi fisik tubuh terhadap ancaman dari luar). Meningkatnya

kecepatan dan kekuatan denyut jantung dan juga mempersempit sebagian besar
26

arteriola, tetapi memperlebar arteriola di daerah tertentu (misalnya otot rangka

yang memerlukan pasokan darah yang lebih banyak), mengurangi pembuangan

air dan garam oleh ginjal sehingga akan meningkatkan voleme darah dalam

tubuh, melepaskan hormon epinefrin (adrenalin) dan norepinefrin

(noradrenalin), yang merangsang jantung dan pembuluh darah. Faktor stres

merupakan satu faktor pencetus terjadinya peningkatan tekanan darah dengan

proses pelepasan hormon epinefrin dan norepinefrin (Triyanto, 2014).

2.2.6 Klasifikasi Hipertensi

Menurut The Seventh Report Of The Joint National Committee On

Prevention, Detection, Evaluation And Treatment Of High Blood Pressure (JNC

VII) dalam Prof. Dr. Peter Kabo (2018) membagi hipertensi menjadi 4 kategori

sebagai berikut:

Tabel 2.1 Klasifikasi tekanan darah menurut The Seventh Report Of The Joint
National Committee On Prevention, Detection, Evaluation And
Treatment Of High Blood Pressure (JNC VII)

Klasifikasi Sistolik Diastolik (mmHg)


Normal <120 mmHg < 80 mmHg
Prehipertensi 120-139 mmHg 80-89 mmHg
Hipertensi stage 1 140-159 mmHg 90-99 mmHg
Hipertensi stage 2 ≥160 mmHg ≤ 100 mmHg

Adapun klasifikasi hipertensi terbagi menjadi; (Kemenkes RI, 2013)

1. Berdasarkan Penyebab

a) Hipertensi Primer atau Hipertensi Esensial

Hipertensi yang penyebabnya tidak diketahui (idiopatik), walaupun


27

dikaitkan dengan kombinasi faktor gaya hidup seperti kurang bergerak

(inaktivas) dan pola makan. Hipertensi jenis ini terjadi pada sekitar 90% pada

semua kasus hipertensi.

b) Hipertensi Sekunder atau Hipertensi Non Esensial

Hipertensi yang diketahui penyebabnya. Pada sekiar 5-10% penderita

hipertensi, penyebabnya adalah penyakit ginjal, sekitar 1-2% penyebabnya

adalah kelainan hormonal atau pemakaian obat tertentu, misalnya pil kb.

2. Berdasarkan bentuk hipertensi

Hipertensi diastolik (Diastolic Hypertension), hipertensi campuran (sistol

dan diastol yang meninggi). Hipertensi sistolik (Systolic Hypertension). Jenis

hipertensi yang lain, adalah sebagai berikut; (Kemenkes RI, 2013)

a) Hipertensi Pulmonal

Suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah pada

pembuluh darah arteri paru-paru yang menyebabkan sesak nafas, pusing dan

pingsan pada saat melakukan aktivitas. Berdasarkan penyebabnya hipertensi

pulmonal dapat menjadi penyakit berat yang ditandai dengan penurunan

toleransi dalam melakukan aktivitas dan gagal jantung kanan. Hipertensi

pulmonal primer sering didapatkan pada usia muda dan usia pertengahan, lebih

sering didapatkan pada perempuan dengan perbandingan 2:1, angka kejadian

pertahun sekitar 2-3 kasus per 1 juta penduduk, dengan mean survival sampai

timbulnya gejala penyakit sekitar 2-3 tahun.

Kriteria diagnosis untuk hipertensi pulmonal merujuk pada National


28

Institute of Health; bila tekanan sistolik arteri pulmonalis lebih dari 35 mmHg

atau "mean" tekanan arteri pulmonalis lebih dari 25 mmHg pada saat istirahat

atau lebih 30 mmHg pada aktifitas dan tidak didapatkan adanya kelainan katup

pada jantung kiri, penyakit miokardium, penyakit jantung kongenital dan tidak

adanya kelainan paru.

b) Hipertensi Pada Kehamilan

Pada dasarnya terdapat 4 jenis hipertensi yang umumnya terdapat pada

saat kehamilan, yaitu:

- Preeklampsia-eklampsia atau disebut juga sebagai hipertensi yang

diakibatkan kehamilan/keracunan kehamilan (selain tekanan darah yang

meninggi, juga didapatkan kelainan pada air kencingnya ). Preeklamsi

adalah penyakit yang timbul dengan tanda-tanda hipertensi, edema dan

proteinuria yang timbul karena kehamilan.

- Hipertensi kronik yaitu hipertensi yang sudah ada sejak sebelum ibu

mengandung janin. Preeklampsia pada hipertensi kronik, yang merupakan

gabungan preeklampsia dengan hipertensi kronik.

- Hipertensi gestasional atau hipertensi yang sesaat. Penyebab hipertensi

dalam kehamilan sebenarnya belum jelas. Ada yang mengatakan bahwa hal

tersebut diakibatkan oleh kelainan pembuluh darah, ada yang mengatakan

karena faktor diet, tetapi ada juga yang mengatakan disebabkan faktor

keturunan, dan lain sebagainya.


29

2.2.7 Manifestasi Klinis Hipertensi

Menurut (Anbarasan, 2015) hipertensi pada umumnya tidak

menunjukkan gejala yang terlalu terlihat. Gejala hipertensi dapat dilihat ketika

sudah menahun seperti nyeri kepala, kadang disertai mual dan muntah, kaburnya

penglihatan akibat kerusakan retina, kerusakan susunan saraf yang menyebabkan

ketidakseimbangan dalam berjalan, peningkatan aliran darah ginjal

menyebabkan nokturia dan terjadinya tekanan kapiler yang menyebabkan filtrasi

glomerulus dan edema. Selain itu, gejala hipertensi juga dapat berupa sakit

kepala, telinga berdengung, tengkuk terasa berat, sulit tidur, mata berkunang-

kunang, pusing, dan keluarnya darah dari hidung (mimisan). Peningkatan

tekanan darah juga dapat menyebabkan komplikasi pada organ yaitu ginjal,

mata, otak, atau jantung.

2.2.8 Kriteria Diagnosis Hipertensi

Sebagian besar dari penderita hipertensi umumnya tidak mempunyai

keluhan. Oleh karena itu hipertensi sering disebut sebagai the silent killer.

Penderita baru mempunyai keluhan setelah mengalami komplikasi. Secara

sistemik penegakan diagnosis dapat dilaksanakan melalui anamnesis dan

pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dilakukan apabila penderita

mengalami hipertensi dengan komplikasi (Setiati et al., 2014). Anamnesis yang

dilakukan meliputi derajat hipertensi dan lamanya menderita hipertensi, indikasi

hipertensi sekunder (riwayat penyakit ginjal, penggunaan obat-obatan seperti

kortikosteroid, kontrasepsi hormonal, OAINS dan dekongestan, episode


30

berkeringat, sakit kepala paroksismal, takikardi dan feokromositom, episode

lemah otot, tetani, dan aldosteronisme), faktor resiko penyakit kardiovaskular

(riwayat keluarga dengan hipertensi atau penyakit kardiovaskular, riwayat

keluarga dengan hiperlipidemia, riwayat keluarga dengan diabetes mellitus,

mikroalbuminuria, laju filtrasi glomerulus <60 mL/menit, perempuan usia

<65 tahun dan laki-laki <55 tahun, kebiasaan merokok, pola makan tidak

sehat, obesitas, dan inaktivitas fisik), terdapat gejala kerusakan organ, riwayat

pengobatan hipertensi dan faktor dari individu, keluarga, dan lingkungan sekitar

(Setiati et al., 2014).

Hipertensi dapat ditegakkan apabila nilai tekanan darah ≥ 140/90 mmHg

pada minimal dua kali pemeriksaan. Pemeriksaan tekanan darah harus dilakukan

dengan alat yang baik, ukuran dan posisi manset yang tepat dan teknik yang

benar (Tanto et al., 2016). Pengukuran tekanan darah dilakukan pada penderita

dalam keadaan nyaman, rileks, dan tidak tertutup atau tertekan pakaian.

Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk memeriksa komplikasi yang sedang

atau telah terjadi. Pemeriksaan yang dilakukan seperti pemeriksaan laboratorium

berupa pemeriksaan darah lengkap, kadar ureum dan kreatinin, gula darah,

lemak darah, elektrolit, kalsium, asam urat, dan urinalisis.

Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain yaitu

pemeriksaan fungsi jantung (elektrokardiografi), funduskopi, USG ginjal, foto

toraks, dan ekokardiografi (Tanto et al., 2016). Pemeriksaan penunjang untuk

kecurigaan klinis hipertensi sekunder antara lain yaitu pada


31

hipertiroidisme/hipotiroidisme dilakukan pemeriksaan T3, FT4, dan TSH, pada

hiperparatiroidisme dilakukan pemeriksaan kadar PTH dan Ca2+,

hiperaldosteronisme primer dilakukan pemeriksaan kadar aldosteron plasma,

renin plasma, CT-scan abdomen, kadar serum Na+ 𝗍, K+ ↓, peningkatan ekskresi

K+ dalam urin dan ditemukan alkalosis metabolic, pada feokromositoma

dilakukan pemeriksaan kadar metanefrin, MRSI atau CT scan abdomen, sindrom

chusing dilakukan pemeriksaan kadar kortisol urin 24 jam hipertensi

renovaskular dilakukan USG ginjal, CT-angiografi arteri renalis, dan doppler

sonografi (Tanto et al., 2016). Pasien dirujuk apabila memenuhi kriteria rujukan

berupa diduga menderita hipertensi sekunder, usia < 40 tahun dengan hipertensi

stadium 2 yang tidak berkaitan dengan hipertensi sekunder, hipertensi resisten

terhadap pengobatan, dibutuhkan pemeriksaan lebih lanjut untuk HMOD

(Hypertension-Mediated Organ Damage), onset hipertensi mendadak

(sebelumnya tekanan darah normal), dan sesuai pertimbangan klinis dokter

(Williams et al., 2018).

2.2.9 Komplikasi Hipertensi

Menurut (Triyanto, 2014) komplikasi hipertensi dapat menyebabkan

sebagai berikut :

a. Stroke dapat timbul akibat perdarahan tekanan tinggi atau akibat embolus

yang terlepas dari pembuluh non otak yang terpajan tekanan tinggi. Stroke

dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang memperdarahi


32

otak mengalami hipertropi dan menebal, sehingga aliran darah ke daerah-

daerah yang diperdarahinya berkurang. Arteri-arteri otak mengalami

arterosklerosis dapat menjadi lemah, sehingga meningkatkan kemungkinan

terbentukya aneurisma. Gejala tekena stroke adalah sakit kepala secara tiba-

tiba, seperti orang binggung atau bertingkah laku seperti orang mabuk, salah

satu bagian tubuh terasa lemah atau sulit digerakan (misalnya wajah, mulut,

atau lengan terasa kaku, tidak dapat berbicara secara jelas) serta tidak

sadarkan diri secara mendadak.

b. Infark miokard dapat terjadi apabila arteri koroner yang arterosklerosis tidak

dapat menyuplai cukup oksigen ke miokardium atau apabila terbentuk

trombus yang menghambat aliran darah melalui pembuluh darah tersebut.

Hipertensi kronik dan hipertensi ventrikel, maka kebutuhan oksigen

miokardium mungkin tidak dapat terpenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung

yang menyebabkan infrak. Demikian juga hipertropi ventrikel dapat

menimbulkan perubahan-perubahan waktu hantaran listrik melintasi ventrikel

sehingga terjadi distritmia, hipoksia jantung, dan peningkatan resiko

pembentukan bekuan.

c. Gagal ginjal dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi

pada kapiler-kapiler ginjal. Dengan rusaknya glomerolus, darah akan

mengalir ke seluruh fungsional ginjal, nefron akan terganggu dan dapat

berlanjut menjadi hipoksia dan kematian. Dengan rusaknya membran

glomerolus, protein akan keluar melalui urin sehingga tekanan osmotik koloid
33

plasma berkurang, menyebabkan edema yang sering di jumpai pada

hipertensi kronik.

d. Ketidak mampuan jantung dalam memompa darah yang kembalinya

kejantung dengan cepat dengan mengakibatkan cairan terkumpul di paru, kaki

dan jaringan lain sering disebut edema. Cairan didalam paru-paru

menyebabkan sesak napas, timbunan cairan ditungkai menyebabkan kaki

bengkak atau sering dikatakan edema. Ensefalopati dapat terjadi terutama

pada hipertensi maligna (hipertensi yang cepat). Tekanan yang tinggi pada

kelainan ini menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan mendorong cairan

kedalam ruangan intertisium diseluruh susunan saraf pusat. Neuron

disekitarnya kolap dan terjadi koma.

2.2.10 Tatalaksana Hipertensi

1) Terapi farmakologi

Secara umum terapi farmakologi dapat langsung dimulai pada pasien

hipertensi derajat 1 yang tidak mengalami penurunan tekanan darah setelah

lebih dari 6 bulan menjalani pola hidup sehat, pasien hipertensi derajat 1 dengan

penyakit penyerta dan pada pasien dengan hipertensi derajat ≥2 (Tanto et al.,

2016). Beberapa prinsip dasar terapi farmakologi yang perlu diperhatikan yaitu

bila memungkinkan berikan obat dosis tunggal, berikan obat generik (non-

paten) untuk mengurangi biaya, perhatikan faktor komorbid pada pasien usia

lanjut (>55 tahun), tidak mengombinasikan angiotensin converting enzyme

inhibitor (ACE-i) dengan angiotensin II receptor blockers (ARBs), edukasi


34

pasien secara menyeluruh mengenai terapi farmakologi, dan pantau efek

samping obat secara teratur (PERKI, 2015).

Penatalaksanaan hipertensi berbasis resiko penyakit kardiovaskular dan

tekanan darah lebih efisien dan efektif dari segi biaya jika dibanding berbasis

tekanan darah saja. Indonesia masih mengacu pada algoritma yang diterbitkan

oleh JNC VII dalam penatalaksanaan hipertensi. Pilihan terapi dimulai dengan

modifikasi gaya hidup. Pemberian obat disesuaikan dengan stadium hipertensi

dan indikasi penyakit lain seperti gagal jantung, riwayat infark miokardium,

resiko tinggi penyakit koroner, diabetes, penyakit ginjal kronis, dan riwayat

stroke berulang (Carey and Whelton, 2018). Kombinasi obat dengan jenis obat

lain direkomendasikan pada hipertensi stadium 2 atau rerata tekanan darah

>20/10 mmHg melebihi tekanan darah target. Beberapa hal lain yang perlu

diperhatikan dalam penentuan jenis obat antara lain usia, interaksi obat,

komorbiditas, dan keadaan sosioekonomi. Kombinasi obat dengan mekanisme

kerja sama perlu dihindari, misalnya kombinasi obat penghambat ACE dengan

ARBs, karena efektivitas masing- masing obat akan berkurang dan resiko efek

samping meningkat (Williams et al., 2018).

2) Terapi non farmakologi

Penatalaksanaan hipertensi primer dapat dimulai dengan modifikasi gaya

hidup. Banyak penelitian yang membuktikan bahwa pola hidup sehat dapat

menurunkan tekanan darah dan dapat menurunkan resiko permasalahan

kardiovaskular. Strategi pola hidup sehat yang dijalani minimal selama 4-6
35

bulan merupakan penatalaksanaan awal untuk pasien hipertensi derajat 1 tanpa

faktor resiko kardiovaskular lain. Terapi farmakologi dapat dimulai jika tidak

didapatkan penurunan tekanan darah yang diharapkan atau didapatkan faktor

resiko kardiovaskular yang lain (PERKI, 2015). Pola hidup sehat yang

dianjurkan antara lain:

a. Penurunan Berat Badan

Bagi penderita hipertensi yang memiliki berat badan berlebih

makan dianjurkan untuk menurunkan berat badannya sesuai dengan indeks

massa tubuh normal. Target indeks massa tubuh dalam rentang normal

untuk orang Asia-Pasifik adalah 18,5-22,9 kg/m2 (Tanto et al., 2016).

b. Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH)

Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH) meliputi konsumsi

sayuran, buah-buahan, dan produk susu rendah lemak total atau lemak jenuh

(Tanto et al., 2016).

c. Mengurangi Asupan Garam

Dianjurkan untuk mengkonsumsi garam tidak lebih dari 2 gr/hari. Diet

rendah garam bermanfaat untuk mengurangi dosis obat hipertensi pada pasien

hipertensi derajat ≥ 2 (PERKI, 2015).

d. Aktivitas Fisik

Target aktivitas fisik yang disarankan minimal 30 menit/hari, dilakukan

paling tidak 3 hari dalam seminggu. Terhadap pasien yang tidak memiliki waktu

untuk berolahraga secara khusus, sebaiknya harus tetap dianjurkan untuk


36

beraktivitas fisik seperti berjalan kaki, mengendarai sepeda, atau menaiki

tangga dalam aktivitas rutin mereka di tempat kerjanya (Tanto et al., 2016).

e. Tidak Konsumsi Alkohol

Konsumsi alkohol lebih dari 2 gelas per hari pada pria atau 1 gelas per

haripada wanita dapat meningkatkan tekanan darah (PERKI, 2015).

f. Tidak Merokok

Merokok merupakan salah satu faktor resiko utama penyakit

kardiovaskular. Penderita hipertensi sangat dianjurkan untuk tidak merokok

(PERKI, 2015).

Intervensi non-farmakologis merupakan salah satu cara efektif untuk

menurunkan tekanan darah. Terapi non-farmakologis tersebut antara lain

penurunan berat badan, Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH), diet

rendah garam, suplemen kalium, peningkatan aktivitas fisik, dan tidak

mengkonsumsi alkohol (Tanto et al., 2016).

2.3 Konsep Dasar lansia


2.3.1 Definisi Lansia

Lanjut usia (lansia) adalah tahap masa tua dalam perkembangan individu

dengan batas usia 60 tahun keatas. Lanjut usia adalah keadaan yang

ditandai oleh kegagalan seseorang untuk mempertahankan

keseimbangan terhadap kondisi stress fisiologis. Lanjut usia adalah kelompok

orang yang sedang mengalami suatu proses perubahan yang bertahap dalam

jangka waktu beberapa dekade. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa
37

lansia adalah seseorang dengan usia lebih dari 60 tahun yang mengalami

kemunduran fisik, mental, dan sosial secara bertahap (Azizah dan Hartanti,

2016).

Seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas dapat dikatakan

sebagai lansia. Menua bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan suatu proses

yang berangsur-angsur yang mengakibatkan perubahan kumulatif, merupakan

proses menurunya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari

dalam dan luar tubuh (UU No 13tahun 1997, dalam Kholifah, 2016).

Menua merupakan proses menghilangnya secara perlahan kemampuan

jaringan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan fungsi normalnya

sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi danmemperbaiki kerusakan yang

diderita (Constantinides, 1994 dalam Aspiani,2014).

2.3.2 Batasan Lansia

Menurut Kemenkes RI (2014) kelompok lansia dibagi menjadi tiga,

yaitu:

a) Kelompok pre-lansia

Kelompok lansia dengan rentang umur 45-59 tahun

b) Kelompok lansia

Kelompok lansia yang memiliki usia 60-69 tahun

c) Kelompok lansia resiko tinggi

Kelompok lansia yang berusia lebih dari 70 tahun

Menurut WHO yang dikutip dalam Sunaryo et al., (2016), kriteria lansia
38

dibagi menjadi 4 antara lain, yaitu:

1. Usia pertengahan (middle age) adalah seseorang dengan rentang usia 45-

59 tahun

2. Lanjut usia (elderly), yaitu seseorang yang berusia 60-74 tahun

3. Usia tua (old) adalah usia antara 75-90 tahun

4. Usia sangat tua (very old) adalah usia yang mencapai lebih dari 90 tahun

2.3.3 Tipe-tipe Lanjut Usia

Tipe-tipe lansia menurut Azizah (2011) sebagai berikut :

1. Tipe arif bijaksana

Lansia yang kaya akan hikmah pengalaman dalam menyesuaikan diri

dengan perubahan jaman, memiliki kesibukan, bersikap ramah, rendah hati,

sederhana, darmawan, memenuhi undangan, dan dapat menjadi panutan.

2. Tipe mandiri

Lansia yang mampu mengganti kegiatan-kegiatan yang hilang dengan

kegiatan-kegiatan yang baru, selektif dalam mencari pekerjaan, teman pergaulan,

serta mampu memenuhi undangan.

3. Tipe tidak puas

Lansia yang dengan konflik lahir batin menentang proses menua, yang

menyebabkan kehilangankecantikan, kehilangan daya tarik

jasmaniah,kehilangan kekuasaan, status teman yang disayangi, mudah marah,

tidak sabaran, mudah tersinggung, sangat menuntut, sulit dilayani dan

pengkritik.
39

4. Tipe pasrah

Lansia yang menerima serta menunggu nasib baik, memiliki konsep

habis gelap datang terang, rajin mengikuti kegiatan beribadah, pekerjaan

apasaja dilakukan.

5. Tipe bingung

Lansia yang kehilangan kepribadian, sering mengasingkan diri, merasa

minder, menyesal, pasif, mental, sosial dan ekonominya.

2.3.4 Proses Menua

Proses menua adalah suatu proses biologis yang tidak dapat dihindari,

yang dialami oleh setiap orang. Menua merupakan suatu proses menghilangnya

secara perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan

mempertahankan struktur serta fungsinya secara normal, ketahanan terhadap

injury termasuk adanya infeksi. Proses menua mulai berlangsung dari seorang

mencapai tahap dewasa, misalanya terjadinya kehilangan jaringan pada otot,

susunan syaraf, dan jaringan lain sehingga lama-kelamaan tubuh akan mati.

Setiap orang mempunyai fungsi fisiologistubuh yang berbeda-beda, baik dalam

hal pencapaian puncak fungsi ataupun saat menurunya. Kebanyakan pencapaian

puncaknya pada umur 20-30 tahun. Setelah mencapai puncaknya, fungsi tubuh

akan berada dalam kondisi tetap utuh dalam beberapa waktu, lama-kelamaan

akan menurun sedikit demi sedikit seiring bertambahnya usia (Aspiani, 2014).

Ada beberapa teori yang membahas tentang proses menua yaitu :

1. Teori biologi
40

Teori biologis didalam proses penuaan mengacu pada asumsi bahwa

proses menua merupakan suatu perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi

tubuh selama masa kehidupan (Zairt,1980 dalam Aspiani, 2013). Teori ini lebih

menekankan pada perubahan kondisi tingkat struktural sel/organ tubuh,

termasuk di dalamnya adalah pengaruh agen patologis. Teori ini berfokus dalam

mencari determinan-determinan yang dapat menghambat proses penuaan fungsi

organisme. Fungsi organisme dapat mempengaruhi dampak terhadap organ

tubuh lainnya dan dapat berkembang sesuai dengan peningkatan usia kronologis.

Aspiani (2014) menyimpulkan bahwa teori penuaan menurut teori biologis

sebagai berikut:

a. Teori Genetik Clock

Menurut teori ini menua sudah terprogram secara genetik setiap spesies-

spesies tertentu. Setiap spesies didalam inti selnya mempunyai jam genetik yang

telah diputar menurut suatu replikasi tertentu. Secara teoritis dapat

dimungkinkan memutar jam ini lagi meskipun hanya beberapa waktu dengan

pengaruh- pengaruh di luar, berupa peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit

dengan obat-obatan, atau dengan tindakan tertentu.

b. Teori Mutasi Somatik (Eror Catastrophe Theory)

Menurut teori ini penuaan disebabkan oleh kesalahan yang beruntutan

dalam jangka waktu lama melalui traskripsi dan translasi. Kesalahan tersebut

menyebabkan terbentuknya enzim yang salah dan berakibat pada metabolisme

yang salah, sehingga mengurangi fungsional sel.


41

c. Teori Autoimun (Auto Immune Theory)

Menurut teori ini proses metabolisme didalam tubuh suatu saat akan

menghasilkan zat khusus. Ada beberapa jaringan tubuh tertentu yang tidak tahan

terhadap suatu zat, sehingga mengakibatkan jaringan tubuh menjadi lemah dan

sakit.

d. Teori Radikal Bebas

Radikal bebas terbentuk di alam bebas. Tidak stabilnya radikal bebas

(kelompok atom) yang masuk ke dalam tubuh akan menyebabkan oksidasi

oksigen berbahan organik, sepertikarbohidrat dan protein

e. Teori Rantai Silang

Didalam teori ini penuaan disebabkan oleh adanya sel-sel yang sudah tua

atau telah usang yang menghasilkan ikatan yang kuat, khususnya jaringan

kolagen. Ikatan ini mengakibatkan jaringan menjadi kurang elastis, kaku dan

hilangnya fungsi tubuh.

2. Teori psikososial.

Aspiani (2014) menyimpulkan bahwa penuaan menurut teoripsikososial

diantranya :

a. Activity Theory (teori aktivitas)

Didalam teori ini menyatakan bahwa seorang individu harus eksis dan

aktif didalam kehidupan sosialnya untuk mencapai kesuksesan di hari tua.

Aktivitas dalam teori ini dipandang sebagai sesuatu yang vital untuk memenuhi

kepuasan pribadi. Teori ini berdasar padaasumsi bahwa: (1) Aktif lebih baik dari
42

pada pasif (2) Gembira lebih baik daripada tidak gembira (3) Orang tua adalah

orang yang baik untuk mencapai sukses dan akan memilih alternatif pilihan aktif

dan bergembira. Penuaan menyebabkan penurunankegiatan secara langsung.

b. Teori Kontinuitas

Dalam teori ini memandang bahwa tua merupakan keadaan yang selalu

terjadi dan berkesinambungan yang harus dihadapi oleh semua orang. Adanya

suatu kepribadian berlanjut yang mengakibatkan adanya perilaku yang

meningkatkan stress.

c. Disanggement Theory

Terputusnya hubungan dengan dunia luar seperti dengan masyarakat,dan

hubungan dengan individu lain.

d. Teori Stratisfikasi Usia

Dalam teori ini dijelaskan orang yang digolongkan dalam usia tua akan

mempercepat proses penuaan.

e. Jung Teory

Didalam teori ini dijelaskan bahwa terdapat lingkungan hidup yang

mempunyai tugas dalam perkembangan kehidupan.

f. Course of Human Life Theory

Teori ini menjelaskan seseorang dalam berhubungan dengan lingkungan

ada tingkat maksimumnya.

g. Devlopment Task Theory

Setiap tingkat kehidupan memiliki tugas perkembangan sesuai dengan usianya.


43

3. Teori Lingkungan

Aspiani (2014) menyimpulkan penuaan menurut teori lingkungan

diantaranya:

a. Teori Radiasi

Setiap hari manusia terpapar oleh radiasi, baik dari sinar ultraviolet

ataupun dalam bentuk gelombang mikro yang telah menumpuk didalam tubuh

tanpa terasa dapat mengakibatkan perubahan struktur DNA dalam sel hidup

maupun sel rusak dan mati.

b. Teori Stres

Stres fisik maupun psikologis dapat menyebabkan pengeluaran

neurotransmiter tertentu yang bias mengakibatkan perfusi jaringan menurun

sehingga jaringan mengalami kekurangan oksigen dan mengalami gangguan

metabolisme sel sehingga dapat terjadi penurunan jumlah cairan dalam sel dan

penurunan eksisitas membran sel.

c. Teori Polusi

Lingkungan yang tercemar dapat mengakibatkan tubuh mengalami

gangguan sistem psikoneuroimunologi yang dapat mempercepat terjadinya

proses penuaan.

d. Teori Pemaparan

Terpaparnya sinar matahari sama dengan terpaparnya sinar ultraviolet

yang dapat mempengaruhi susunan DNA sehingga proses penuaan atau

kematian sel bisa terjadi.


44

2.3.5 Perubahan-Perubahan Yang Terjadi Pada Lansia

Kemampuan mulai berkurang saat orang bertambah tua. Aspiani (2014)

menyimpulkan perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia adalah sebagai

berikut:

1. Perubahan Fisik

a. Sel

Jumlah sel sedikit, ukurannya menjadi lebih besar, berkurangnya cairan

intra seluler, porposi protein di otak, ginjal, dan hati menurun, jumlah sel otak

menurun, mekanisme perbaikan sel terganggu.

b. Sistem Persyarafan

Respon menjadi lambat dan menurunnya hubungan antar persyarafan,

berat otak menurun, syaraf panca indra mengecil sehingga menyebabkan

berkurangnya penglihatan dan pendengaran, mengecilnya syaraf penciuman dan

perasa, sensitif terhadap suhu, ketahanan tubuh terhadap dingin rendah, kurang

sensitif terhadap sentuhan.

c. Sistem Penglihatan

Menurunnya lapang pandang dan daya akomodasi mata, kekeruhan pada

mata sehingga menjadi katarak, pupil muncul sclerosis, daya membedakan

warna menurun.

d. Sistem Pendengaran

Menurunnya daya pendengaran, terutama pada bunyi suara atau nada

yang tinggi, suara menjadi tidak jelas, sulit memahami kata-kata, membrane
45

timpani menjadi atrofi menyebabkan atosklerosis.

e. Sistem Kardivaskuler

Terjadinya penurunan elastisitas oarta, katup jantung menebal dan

menjadi kaku, kemampuan jantung memompa darah menurun, kurangnya

elastisitas pembuluh darah, kurangnya efektivitas pembuluh darah perifer dalam

memenuhi oksigenasi, perubahan pada posisi dari tidur ke duduk atau dari

duduk ke berdiri bisamengakibatkan tekanan darah menurun, dan tekanan darah

meninggiakibat dari meningkatnya resistensi dari pembuluh darah perifer.

f. Sistem Pengaturan Temperatur Tubuh

Pada pengaturan suhu hipotalamus dianggap memiliki suatu suhu

tertentu, kemunduran terjadi karena beberapa faktor yang mempengaruhinya

antara lain: temperatur tubuh menurun, keterbatasan reflek menggigil dan tidak

dapat memproduksi panas

g. Sistem Respirasi

Otot-otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku, menurunya

aktivitas dari silia, paru-paru kehilangan elastisitas, menarik napas menjadi lebih

berat, menurunya kapasitas pernafasan maksimum, dan menurunnya kedalaman

dalam bernafas, serta kemampuan kekuatan otot pernafasan menurun.

h. Sistem Gastrointestinal

Gigi yang tanggal menjadi banyak, menurunnya sensifitas indra

pengecap, pelebaran esophagus, tidak memiliki rasa lapar, asam lambung

menurun, waktu pengosongan menurun, peristaltik usus menurun, dan sering


46

timbul konstipasi, dan fungsi absorpsi menurun.

i. Sistem Genitourinaria

Otot vesika urinaria melemah dan kapasitasnya menurun, frekuensi

buang air kecil meningkat, pada wanita sering terjadi atrofi vulva, selaput lendir

mengering, menurunnya elastisitas jaringan dan disertai penurunan frekuensi

seksual.

j. Sistem Endokrin

Hampir semua produksi hormon menurun (ACTH, TSH, FSH, LH)

penurunan sekresi hormon kelamin misalnya : estrogen, progesteron, dan

testeron.

k. Kulit atau Integumen

Kulit keriput karena kehilangan jaringan lemak, permukaan kulit kasar,

dan bersisik akibat kehilangan proses keratinisasi, serta perubahan ukuran dan

bentuk sel epidermis, rambut menipis, berkurangnya elastisitas akibat

menurunya cairan dam vaskularisasi, perubahan kuku lebih lambat, kuku jari

menjadi keras dan rapuh, serta kelenjar keringan menjadi berkurang.

l. Sistem Muskuloskeletal

Tulang kehilangan cairan dan rapuh, kifosis, terjadi penipisan dan

pemendekan tulang, persendian menjadi besar dan kaku, tendon mengerut, dan

mengalami sclerosis, atrofi serabut otot sehingga gerakan menjadi lambat,

terjadi kram otot, dan tremor.

2. Perubahan Kondisi Mental


47

Perubahan-perubahan mental erat sekali dengan perubahan fisikterutama

organ perasa, keadaan kesehatan, tingkat pendidikan, atau pengetahuan, factor

keturunan dan lingkungan. Adanya kekacauan mental akut, merasa terancam

akan timbulnya suatu penyakit atau takut ditelantarkan karena tidak berguna.

Munculnya perasaan kurang mandiri serta bersifat introvert (Aspiani, 2014).

3. Perubahan Psikososial

Masalah perubahan psikososial dan reaksi individu terhadap

perubahan ini sangat beragam, tergantung kepribadian individu yang

bersangkutan. Orang yang menjalani hidupnya dengan bekerja, tiba-tiba

dihadapkan untuk menyesuaikan diri dengan masa pensiun. Perubahan yang

menjadikan kehidupan mereka merasa kurang melakukan kegiatanyang berguna.

Aspiani (2014) menyimpulkan perubahan psikososial pada lansiameliputi :

a. Pensiun

b. Sadar akan kematian

c. Perubahan cara hidup, yaitu memasuki rumah perawatan, bergerak

terbatas

d. Ekonomi, karena pemberhentian dari jabatan, biaya hidup meningkat,

bertambahnya biaya pengobatan

e. Timbul penyakit kronis

f. Kesepian karena pengasingan dari lingkungan sosial

g. Gangguan saraf pancaindra,timbul kebutaan dan gangguanpendengaran

h. Kehilangan hubungan dengan teman dan keluarga.


48

i. Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadapgambaran diri

dan perubahan konsep diri.

2.3.6 Penyakit Yang Sering Terjadi Pada Lansia

Menurut pendapat Stieglitz (1945) dalam Aspiani(2014), terdapat

empatpenyakit yang erat hubungannya dengan proses menua, yaitu :

1. Terjadi gangguan sirkulasi darah, misalnya hipertensi, kelainan pembuluh

darah, gangguan pembuluh darah di otak, koroner dan ginjal

2. Terjadi gangguan metabolisme hormonal misalnya Diabetes Melitus,

klimakterium dan ketidakseimbangan tiroid

3. Terjadi gangguan pada persendian, misalnya Osteoarthritis,gout arthritis,

ataupun penyakit kolagen lainnya

4. Gangguan berbagai macam neoplasma.

Menurut Azizah (2011) penyakit lain yang sering terjadi padalansia diantaranya

1. Penyakit pada sistem pernafasan

Fungsi paru terjadi kemunduran karena datangnya usia tua sehingga

elastisitas jaringan paru dan dinding dada makin berkurang. Dalam usia lanjut

kekuatan kontraksi otot pernafasan berkurang sehingga susahbernafas.

2. Penyakit sistem kardiovaskular

Pada orang lansia, besar jantung akan sedikit mengecil. Yang paling

sering mengalami penurunan fungsi adalah rongga bilik kiri, karena

berkurangnya aktivitas. Sel-sel otot jantung juga mengalami penurunan sehingga


49

mengakibatkan menurunya kekuatan otot.

3. Penyakit sistem hematologi

Kelainan sistem hematologi yang paling sering terjadi adalah sirkulasi

jumlah sel darah merah menurun. Kondisi ini disebut anemia. Anemia terjadi

karena produksi sel darah merah oleh sum-sum tulang berkurangatau tingginya

penghancuran sel darah merah dalam sirkulasi. Anemia pada lansia sering kali

terjadi dan sering multifactorial, kegagalan dalam mengevaluasi anemia pada

orang tua mengakibatkan lambatnya penegakan diagnosis.

4. Penyakit sistem pencernaan

Menurunnyaproduksi saliva pada lansia, dapat mempengaruhi proses

perubahan kompleks karbohidrat menjadi disakarida. Fungsi ludah sebagai

pelicin makanan berkurang sehingga proses menelan menjadi lebih sukar.

5. Penyakit pada persendian dan tulang

Penyakit persendian ini akibat dari degenerasi atau kerusakan pada

permukaan sendi-sendi tulang yang banyak dijumpai pada lanjut usia terutama

yang gemuk. Keluhan yang dirasakan biasanya linu-linu, pegal, dan kadang

terasa seperti nyeri. Biasanya yang terkena yaitu persendian pada jari-jari, tulang

punggung, sendi-sendi penahan tubuh (lutut dan panggul). Hal ini disebabkan

oleh gangguan metabolisme asam urat dalam tubuh.

6. Penyakit sistem urogenital

Peradangan pada sistem urogenital banyak dijumpai pada wanita lanjut

usia berupa peradangan kandung kemih sampai peradangan ginjal akibat sisa air
50

seni dalam vesika urinaria (kandung kemih). Keadaan ini diakibatkan karena

berkurangnya tonus kandung kemih dan adanyatumor yang menyumbat saluran

kemih. Pada pria sisa seni dalam kandung kemih dapat menyebabkan

pembesaran kelenjar prostat. Pada pria lanjut usia banyak terjadi kasus kanker

pada kelenjar prostat.

7. Penyakit yang disebabkan proses keganasan kanker

Semakin tua seseorang semakin mudah terkena penyakit kanker. Pada

wanita, kanker banyak dijumpai pada rahim, payudara dan saluran pencernaan

sedangkan pada pria paling banyak dijumpai pada paru- paru, saluran

pencernaan, dan kelenjar prostat.

2.4 Kerangka Konsep Penelitian

Konsep adalah suatu abstraksi yang dibentuk dengan menggenerelisasikan

suatu pengertian. Oleh sebab itu, Konsep tidak dapat diukur dan diamati secara

langsung. Agar dapat diamati dan dapat diukur, maka konsep tersebut harus

dijabarkan ke dalam variabel-variabel, dari variabel itulah konsep dapat diamati

dan diukur (Buku Metode penelitian Kesehatan, Prof.Dr.Soekidjo Nototmodjo

Tahun 2017 Halaman 83).


51

Kerangka konsep merupakan model konseptual yang berkaitan dengan

bagaimana seorang peneliti menyusun teori atau menghubungkan secara

logis beberapa faktor yang dianggap penting untuk masalah. Singkatnya,

kerangkakonsep membahas saling kebergantungan antar variabel yang dianggap

perlu untukmelengkapi dinamika situasi atau hal yang sedang atau akan diteliti (

A. Aziz, 2014).

Variabel Indenpenden Variabel Dependen

Kejadian Hipertensi
Aktifitas fisik
Pada Lansia

Keterangan :

= Diteliti

= Diteliti

Gambar 2.1 Kerangka konseptual Hubungan aktivitas fisik dengan kejadian

hipertensi pada lansia di Puskesmas Stabat.


BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan jenis penelitian kuantitatif dengan

metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriftif korelasi.Metode

penelitian adalah suatu cara yang dipilih untuk memecahkan masalah yang

diajukan dalam sebuah penelitian.Sejalan dengan Menurut Best dalam Kusumawati

(2015, hlm. 59) penelitiandeskriptif adalah salah satu jenis metode penelitian yang

berusaha menggambarkan dan menginterprestasikan objek sesuai apa adanya.

Penlitiandeskriptif ini juga sering diisebut noneksperimen karena pada penelitian ini

peneliti tidak melakukan control dan manipulasi variable penelitian. Sedangkan

menurut Sugiono (2014, hlm. 87) metode korelasi adalah metode pertautan atau

metode penelitian yang berusaha menghubung-hubungkan antara satu

unsur/elemendengan unsur/elemen lain untuk menciptakan bentuk dan wujud baru

yangberbeda dengan sebelumnya. Metode deskriptif korelasional dalam penelitian

ini bertujuan untuk mengetahui hubungan Aktivitas Fisik dengan Kejadian

Hipertensi Pada Lansia di Puskesmas Stabat Lama Kec Wampu Tahun 2022. Ditinjau

dari pendekatan waktu penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional, yaitu

pengukuran atau observasi data dilakukan satu kali pada satu waktu yang sama

(Setia, 2016).

52
53

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


3.2.1 Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Stabat Lama Kec. Wampu.

Pemilihan lokasi ini dengan pertimbangan banyak lansia yang mengalami hipetensi.

Maka dari itu dilakukan penelitian tentang hubungan aktivitas fisik dengan kejadian

hipertensi pada lansia.

3.2.1 Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan bulan

April 2022

3.3 Populasi,Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi adalah setiap subyek yang memenuhi kriteria yang telah ditentukan

(Nursalam, 2013). Dalam penelitian ini populasi yang digunakan adalah semua lansia

yang berada di wilayah kerja puskesmas stabat yaitu sebanyak 163 orang.

3.3.2 Sampel Penelitian

Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang dipergunakan sebagian

subjek penelitian melalui sampling (Dharma, 2017). Teknik sampling yang

digunakan dalam penelitian ini yaitu purposive sampling adalah suatu metode

pemilihan sampel yang dilakukan berdasarkan maksud dan tujuan tertentu yang

ditentukan oleh penelitian (Dharma, 2017). Dalam menentukan ukuran sampel, peneliti

menggunakan tingkat atau taraf kesalahan yang dikembangkan dari Isaac dan Michael

antara lain 1%, 5%, 10%. Dikarenakan jumlah populasi yang digunakan oleh peneliti cukup

banyak
54

maka peneliti menggunakan taraf kesalahan 10%. (Sugiyono, 2017 : 126). Peneliti

menggunakan rumus untuk menentukan besar sampel dengan rumus slovin, yaitu :

𝑁
𝑛 = 1+𝑁 𝑒2

Dimana :

n = Jumlah sampel

N = Jumlah populasi

e = Margin eror yang ditoleransi 10 % (0,1)

Populasi yang diketahui jumlahnya cukup besar, maka peneliti akan

menggunakan tingkat kesalahan yaitu 10%. Hal ini dilakukan karena keterbatasan

dari segi sumber dana, waktu dan tenaga yang tersedia. Maka perhitungan dalam

menentukan ukuran jumlah sampel menggunakan Rumus Slovin adalah sebagai

berikut:

𝑁
𝑛=
1 + 𝑁 𝑒2
163
𝑛=
1 + 163 0,12

163
𝑛=
1 + 1,63

163
𝑛=
2,63

𝑛 = 61,9 dibulatkan menjadi 62

Jadi, ukuran jumlah sampel yang diambil oleh peneliti adalah 62 orang

responden. Populasi responden adalah lansia yang berada di wilayah kerja


55

Puskesmas Stabat Lama Kec. Wampu Tahun 2022 , dengan total jumlah seluruh

lansia 163 orang. Data yang diperoleh dari data Puskesmas Stabat Lama Kec.

Wampu. Maka sampel yang diambil sebagai penelitian ini menggunakan tingkat

kepercayaan 90% dan tingkat eror 10% adalah 62 responden.

1. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:

1) Responden merupakan warga yang bertempat tinggal wilayah kerja Puskesmas

Stabat Lama Kec. Wampu.

2) Responden dengan usia 60 tahun.

3) Responden tidak memiliki gangguan psikotik.

4) Responden tidak memiliki cacat pada anggota gerak bagian bawah.

5) Lansia yang ada ditempat saat penelitian.

2. Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah:

1) Responden yang tidak bersedia berpartisipasi.

2) Responden yang tidak ada pada saat penelitian.

3.4 Variabel dan Definisi Operasional

3.4.1 Variabel Independent

Variabel Independent adalah variabel yang mempengaruhi atau nilainya

menentukan variabel lain (Nursalam, 2017). Dalam penelitian ini dalah variabel

independent adalah aktivitas fisik.

3.4.2 Variabel Dependent


56

Variabel Dependent adalah variabel yang nilainya dipengaruhi atau ditentukan

oleh variabel lain (Nursalam, 2017). Variabel dependent dalam penelitian ini adalah

kejadian hipertensi pada lansia.

3.5 Definisi Operasional

Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang diamati

dari sesuatu yang didefinisikan tersebut. Karakteristik yang dapat diamati artinya

memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran secara cermat

terhadap suatu obyek atau fenomena yang kemungkinan dapat diulangi lagi oleh

orang lain (Nursalam, 2013).

Tabel 3.5 Definisi Operasional Hubungan Aktivitas Fisik Dengan Kejadian


Hipertensi Pada Lansia Di Puskesmas Stabat Medan.
Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Penelitian
Variabel Pola tingkah laku sehari- Kuisioner Rendah = 27-44 (1) Ordinal
Independen hari pada lansia di wilayah Sedang = 45- 62 (2)
Aktifitas Fisik kerja Puskesmas Stabat Tinggi = 73-81 (3)
Lama Kec.Wampu
57

Variabel Keadaan dimana Pengukuran 1. Normal 120 mmHg Ordinal


tekanan 2. Prehipertensi 120-139
Depenede secara mmHg
n Kejadian darah sistolik ≥120 mmHg langsung
dan tekanan menggunakan
darah
Hipertens diastolik ≥80 mmHg sphygmomanome 3.Hipertensi stage 1
i 140-
ter 159 mmHg

4.Hipertensi stage 2 ≥160


mmHg

3.6 Pengumpulan data dan analisa data


58

3.6.1 Instrumen penelitian

Instrumen penelitian adalah alat pengumpul data yang disusun dengan hajat

untuk memperoleh data yang sesuai baik data kualitatif maupun data kuantitatif

(Nursalam, 2013). Kuesioner dalam penelitian diartikan sebagai daftar pernyataan

yang sudah tersusun dengan baik dan responden memberikan jawaban sesuai

pemahaman. Sedangkan observasi merupakan cara pengumpulan data dengan

mengadakan pengamatan secaralangsung kepada responden penelitian untuk mencari

perubahan atau hal- hal yang akan diteliti. Dalam metode obsrevasi ini, instrumen

yang dapat digunakan antara lain : lembar obervasi, panduan pengamatan (observasi)

atau lembar check list (Hidayat, 2014). Instrument kuesioner yang digunakan peneliti

untuk mengukur aktivitas fisik yang dijalankan oleh penderita hipertensi yaitu

kuisioner yang diadopsi dari Winda (2016) dengan judul Hubungan Aktivitas Fisik

Dengan Tekanan Darah Pada Lansia di Posyandu Padukuhan Madari Gede


59

Caturharjo Sleman Yogyakarta. Pernyataan disusun berdasarkan skala likert dengan

nilai berkisar 1 sampai dengan 3. Jenis pernyataan dalam kuisioner ini adalah

favourable dan unfavourable. Pada pernyataan favourable nilai satu diberikan untuk

jawaban tidak pernah (TP), nilai dua untuk jawaban kadang-kadang (KK), dan nilai

tiga untuk jawaban sering (S). pada pertanyaan unfavourable nilai tiga diberikan

untuk jawaban tidak pernah (TP), nilai dua untuk jawaban kadang-kadang (KK), dan

nilai satu untuk jawaban sering (S). sekor keseluruhan dikategorikan menjaditinggi,

sedang dan rendah. Rentang minimum dan maksimum sekor tersebut yaitu 27-44

dikatakan rendah, sekor 45-62 dikategorikan sedang dan sekor 73-81 dalam kategori

aktivitas yang tinggi. Pengumpulan data variabel bebasa yaitu aktivitas fisik

dilakukan dengan mengunakan kuesioner yang jumlah itemnya 27 pernyataan dan

kejadian hipertensi diukur dengan spygmomanometer.

1. Validitas dan Reliabilitas

Uji validitas merupakan suatu indeks yang menunjukkan kemampuan

instrumen pengumpulan data untuk mengukur apa harus diukur, untuk mendapatkan

data yang relevan dengan apa yang sedang diukur (Demsey, 2018). Untuk menguji

validitas berdasarkan tinjauan pustaka selanjutnya dikonsultasikan kepada yang

berkompeten dibidang tertentu (Setiadi, 2018). Dalam penelitian ini tidak dilakuka

uji valid lagi karena sudah dilakukan uji valid oleh peneliti sebelumnya oleh Winda

(2016) dengan hasil uji validitas 30 item pertanyaan/pernyataan aktivitas fisik

dengan koefisien korelasi pearsonproduct moment diperoleh nilai r dengan rentang -


60

0,081-0,782. Sedangkan r table untuk n=30 adalah 0,361. Dari 30 pertanyaan

aktivitas terdapat 3 item yang nilai r hitung <r table yaitu nomer 10, 18 dan 27

pertanyaan yang valid dalam penelitian di buang sehingga jumlah pertanyaan

menjadi 27. Item pertanyaan yang di buang masing-masing sudah diwakilkan pada

item pertanyaan 10 ke 23, nomor 18 ke 4, dan nomor 27 ke 25.

Uji realibilitas instrument adalah suatu uji yang dilakukan untuk mengetahui

dari instrumen sehingga dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya dalam ruang

lingkup yang sama. Sebuah instrumen disebut reliabel jika instrument ini melakukan

apa yang seharusnya dilakukan dengan cara yang sama (Demsey, 2018). Instrument

dikatakan reliable apabila hasil hitung Alpha Crombach lebih besar dari r- table 0,60

(Arikunto, 2010). Hasil uji reliabilitas aktivitas fisik diperoleh nilai Cronbach Alpha

pada indikator ketahanan 0,606, indikator kelenturan 0,789, dan indikator kekuatan

0,722 yang berarti >0,6 yaitu reliable sebagai alat

3.6.2 Prosedur Penelitian

Peneliti mengajukan surat izin pengambilan data awal kepada Fakultas

Keperawatan STIKes Flora Medan untuk diserahkan ke Puskesmas Stabat Lama.

Setelah memperoleh izin dari Puskesmas Stabat selanjutnya pengambilan data awal

di Puskesmas Stabat Lama. Penelitian dilakukan pada lansia yang ada diwilayah

kerja puskesmas stabat sesuai dengan kriteria inklusi eksklusi. Data terkait dengan

aktivitas fisik lansia didapat dari pengisian kuesioner. Sebelum dilakukan pengisian

kuesioner, peneliti meminta izin melalui informed consent kepada lansia apakah

mereka bersedia untuk menjadi responden dalam penelitian ini atau tidak. Setelah
61

lansia bersedia menjadi responden dalam penelitian, peneliti kemudian melakukan

pengecekan tekanan darah pada masing-masing responden. Setelah pengecekan

tekanan darah selesai, responden sesuai kriteria inklusi dan eksklusi melanjutkan

sesi pengisian kuesioner terkait data demografi dan aktivitas fisik.

3.6.3 Prosedur Pengukuran Tekanan Darah

b. Untuk mengukur tekanan darah terdapat 3 jenis sphygmomanometer , yaitu

manometer aneroid, manometer elektronik, dan manometer merkuri atau air

raksa. Gunakan manset dengan ukuran inflatable bag (karet yang ada di dalam

manset) yang sesuai, yaitu lebar ±40% dari lingkar lengan (rata-

rata orang dewasa 12-14 cm) dan panjang ±60-80% lingkar lengan.

c. Pasang manset pada lengan atas di atas arteri brakhialis dan sisi bawah manset

±2,5 cm di atas fossa antecubiti.

d. Posisi lengan penderita sedikit fleksi pada siku, lengan harus disangga, pastikan

manset setinggi jantung. Cari arteri brakhialis, biasanya sedikit medial dari

tendon bisep.

e. Lakukan pemeriksaan palpasi tekanan darah sistolik yaitu ibu jari atau

jari-jari lain diletakkan di atas arteri brakhialis, manset dipompa sampai

pulsasi tidak terasa kemudian manset perlahan-lahan dikendurkan dan akan

didapati tekanan darah sistolik yaitu saat pulsasi mulai teraba kembali.

f. Selanjutnya bagian bell stetoskop diletakkan diatas arteri brakhialis.


62

Pompa manset sampai ± 30 mmHg diatas nilai palapasi tekanan darahsistolik, kemudian

kendurkan pelan-pelan (kecepatan 2-3 mmHg/detik), tentukan tekanan darah sistolik

(terdengar suara detakan pertama) dantekanan darah diastolik (suara mulai

menghilang).

g. Pengukuran tekanan darah dilakukan pada lengan (arteri brakhialis) kanan dan

kiri. Normal antar kanan dan kiri terdapat perbedaan 5-10 mmHg. Bila ada

perbedaan >10-15 mmHg perlu dicurigai adanya kompresi atau obstruksi arteri

pada sisi tekanan darah yang lebih rendah.

h. Pada penderita yang mendapat obat hipertensi dan ada riwayat sinkop atau

postural dizziness, atau penderita dengan dugaan hipovolemik, tekanan darah

diukur dengan posisi duduk, tidur dan berdiri (kecuali ada kontraindikasi).

Normalnya dari posisi horizontal ke posisi berdiri akan

menyebabkan tekanan darah sistolik sedikit menurun atau tidak berubah dan

tekanan darah diastolik sedikit meningkat. Bila saat berdiri tekanan darah sistolik

turun > 20 mmHg disertai keluhan, maka menunjukkan adanya hipotensi

ortostatik (postural). Tekanan darah diastolik juga bisa turun karena obat,

hipovolemia, terlalu lama tirah baring, dan gangguan sistem saraf otonom perifer

(Setiati et al., 2014).

3.6.4 Prosedur Pengukuran Aktivitas Fisik menggunakan

1. Alur Penelitian

a) Penentuan populasi dan sampel lansia yang akan diteliti

b) Penjelasan manfaat, tujuan, dan prosedur penelitian kepada responden dan

mendapat persetujuan keikutsertaan dalam penelitian dengan penanda tanganan


63

informed consent

c) Pengecekan tekanan darah masing-masing responden dengan menggunakan

sphygmomanometer dan stetoskop

d) Pengisian kuesioner terkait data demografi dan aktivitas fisik yang dilakukan

oleh responden

e) Pengolahan data yang didapat dan pembuatan kesimpulan.

3.6 Teknik Pengolahan Data

a. Editing

Peneliti meneliti kembali hasil data yang didapat berupa kelengkapan isi

kuesioner identitas responden, kuesioner aktivitas fisik, dan pengukuran tekanan

darah masing-masing responden.

b. Coding

Peneliti memberikan kode pada jenis data menurut jenis ragamnya untuk

memudahkan pengolahan data.

c. Data Entry

Setelah semua data dilakukan editing dan coding, proses selanjutnya yakni merubah

data fisik menjadi data digital. Data fisik yang dimaksud yaitu data berupa dokumen kertas

atau catatan. Data fisik yang telah diketik dan dimasukkan ke dalam dokumen digital di

komputer akan diolah oleh software SPSS.

d. Tabulasi

Peneliti melakukan tabulasi dengan memasukkan data kedalam tabel yang

telah dibuat. Peneliti menggunakan program komputer untuk memudahkan proses


64

tabulasi.

e. Verifikasi

Data yang telah dimasukkan ke software diperiksa secara visual untuk

mengetahui ada tidaknya kesalahan.

f. Output

Hasil data yang telah diproses oleh software menjadi bentuk yangdapat

digunakan.

3.7 Analisis Data

3.7.1 Analisis Univariat

Analisis univariat bertujuan untuk menggambarkan atau mendeskripsikan data

responden yang telah terkumpul. Data dibagi menjadi 2 yaitu data khusus dan data

umum. Data khusus terdiri dari variabel terikat yaitu hipertensi dan variabel bebas

berupa aktivitas fisik. Data umum terdiri dari usia, jenis kelamin, pendidikan

terakhir, pekerjaan, riwayat kebiasaan, riwayat penyakit keluarga.

3.7.2 Analisis Bivariat

Analisis bivariat bertujuan untuk mengetahui adanya hubung an antara

variabel independen dan variabel dependen yang diduga memiliki korelasi

(Notoatmodjo, 2010). Analisa dalam peneleitian ini bertujuan untuk menganalisis

hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian hipertensi pada lansia di puskesmas

stabat, uji yang dipakai adalah uji ranks pearman dengan ketentuan sebagai berikut:

a.
Jika nilai p > 0,05 maka H0 diterima, yang artinya tidak terdapat hubungan antara
65

aktivitas fisik dengan kejadian hipertensi pada lansia di Puskesmas Stabat.

b.
Jika nilai p ≤ 0,05 maka H0 ditolak, yang artinya terdapat hubungan antara

hipertensi pada lansia di Puskesmas Stabat.

3.8 Pertimbangan Etik

Penelitian ini dilakukan setelah nantinya mendapat izin dan rekomendasi dari

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Flora Medan Program Studi S1-Keperawatan,

dengan rekomendasi tersebut penelitiankan mengajukan permohonan izin dan

rekomendasi kepada Kepala Puskesmas Stabat Lama.

Masalah etika yang harus diperhatikan adalah :

3.9.1 Informend Consent

Merupakan bentuk persetujuan antara penelitian dengan responden penelitian,

dengan memberikan lembar persetujuan kepada responden, sehingga responden atau

keluarga dapat memutuskan apakah bersedia atau tidak dilakukan dalam penelitian.

Penelitian terlebih dahulu menjelaskan maksud dan tujuan serta manfaat penelitian.

Peneliti harus terlebih dahulu menjelaskan maksud dan tujuan serta manfaat

penelitian bagi subjek. Informend consent tersebut serta mengetahui diberikan

sebelum penelitian dilakukan dengan tujuan agar subjek mengerti maksud dan tujuan

penelitian serta mengetahui dampaknya.

3.9.2 Anonim (Tanpa Nama)

Masalah etika keperawatan merupakan masalah yang memberikan

jaminan dalam menggunakan subjek penelitian dengan cara tidak memberikan


66

atau mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya

menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang

disajikan.

3.9.3 Confidentiality (Kerahasiaan)

Kerahasiaan informasi objek penelitian atau sampel dijamin penelitian dan

data – data yang diperoleh dari sampel hanya akan dipergunakan untuk kepentingan

penelitian.

3.9.4 Justice (Keadilan)

Peneliti memberi kesempatan yang sama bagi objek penelitian yang

memenuhi kriteria untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Selain itu peneliti juga

memiliki kewajiban untuk memperlakukan objek penelitian dengan baik dan benar.

3.9.5 Benefience (Manfaat)

Peneliti harus mempertimbangkan resiko dan keuntungan yang akan

berakibat pada objek. Peneliti mengusahakan manfaat sebesar – besarnya dan

memperkecil kerugian atau resiko bagi subjek dan memperkecil kesalahan penelitian.

3.9.6 Non Maleficience (Tidak Membahayakan)

Peneliti dilarang untuk melakukan tindakan yang akan memperburuk keadaan

objek penelitian.
67

Anda mungkin juga menyukai