Anda di halaman 1dari 55

0

PROPOSAL PENELITIAN

HUBUNGAN AKTIFITAS FISIK DENGAN TEKANAN DARAH PADA

LANSIA DI PANTI JOMPO KAB.LANGKAT

DISUSUN OLEH :

Nur Fadilah ( 1914201024 )

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGI ILMU KESEHATAN FLORA

2022
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Lanjut usia (lansia) merupakan kelompok usia yang cukup unik karena

jumlahnya dari tahun ke tahun semakin bertambah. Data Departemen Kesehatan

(Depkes) tahun 2013 menyatakan bahwa demografi di dunia pada saat ini

mengalami perubahan seiring dengan perkembangan pembangunan di bidang

medis. Hal tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan Usia Harapan Hidup

(UHH) yang akan berdampak pada perkembangan proporsi lansia

(Indradulmawan, 2016). World Health Organisation (WHO) menyatakan bahwa

lansia adalah seseorang yang memasuki umur 60 tahun keatas. Masa tua atau usia

lanjut merupakan suatu periode akhir dalam rentang kehidupan, yaitu suatu masa

saat seseorang sudah beralih jauh dari masa sebelumnya yang lebih

menyenangkan atau beranjak dari masa yang memiliki banyak manfaat (Hurlock,

1999 dalam Sulandari, Martyastanti & Mutaqwarohmah, 2009).

Berdasarkan hasil Sensus Penduduk pada tahun 2017 menunjukan bahwa

jumlah penduduk lansia di Indonesia berjumlah 18,04 juta jiwa atau 7,59% dari

keseluruhan penduduk. Jumlah penduduk lansia wanita yaitu 9,75 juta jiw, lebih

banyak dari jumlah penduduk laki-laki yaitu 8,29 juta jiwa. Lansia lebih banyak

berada di daerah pedesaan yaitu 10,36 juta jiwa, dibandingkan dengan di daerah

perkotaan yaitu 7,69 juta jiwa. Dilihat berdasarkan kelompok usia, jumlah

penduduk lansia terbagi menjadi lansia muda 60-69 tahun berjumlah 10, 75 juta

jiwa, lansia menengah 70-79 tahun berjumlah 5,43 juta jiwa, dan lansia tua 80

tahun keatas berjumlah 1,86 juta jiwa (BPS, 2013 dalam Xavier, Prastiwi &

Andinawati, 2017).

1
2

Lansia dikatakan sebagai masa akhir dalam perkembangan pada daur

kehidupan manusia. Semakin tua seseorang maka kemungkinan mengalami

penurunan anatomik dan fungsional terhadap organ-organnya akan semakin besar.

Lansia mengalami penurunan aktivitas fisik disebabkan kekuatan fisiknya sudah

menurun dan menyebabkan lansia mengalami bermacam penyakit. Penyakit pada

lansia banyak disebabkan dari proses penuaan seperti penyakit reumatik, penyakit

paru, diabetes mellitus, paralisis atau lumpuh sebagian tubuh, patah tulang,

kanker, penyakit jantung (kardiovaskuler) dan hipertensi (Ifansyah, Herawati &

Diani, 2015).

Salah satu perubahan yang nyata pada lansia adalah sistem kardiovaskuler,

yaitu massa jantung bertambah, ventrikel kiri mengalami hipertrofi dan kekuatan

peregangan jantung berkurang yang dikarenakan perubahan jaringan ikat dan

penumpukan lipofisin, hal ini dapat mempengaruhi elastisitas dan permeabilitas,

yang akan menyebabkan kenaikan tekanan diastolik dan perfusi jaringan

(Pudjiastuti & Utomo, 2003 dalam Hermanto, 2014).

Tekanan darah merupakan kemampuan yang ditimbulkan oleh jantung

yang berkontraksi seperti pompa dalam mendorong agar darah terus mengalir ke

seluruh tubuh melewati pembuluh darah (Khasanah, 2012). Pada lansia lebih dari

setengah populasinya memiliki tekanan darah yang lebih dari normal, hal tersebut

yang mempermudah mengalami resiko penyakit kardiovaskuler. Peningkatan

tekanan darah pada lansia dilihat sebagai akibat dari proses degenerative

(Santoso, 2010). Faktor resiko atau penyebab tekanan darah tinggi bisa dibagi

menjadi dua faktor yang tidak dapat dikontrol yaitu jenis kelamin, usia dan

riwayat keluarga. Sedangkan faktor yang dapat dikontrol adalah aktivitas fisik,

obesitas, kebiasaan merokok, minum alkohol dan pola konsumsi makanan yang

mengandung natrium (Miller, 2012 dalam Astuti, 2016).


3

Aktivitas fisik merupakan seluruh gerakan anggota badan yang

memerlukan energi dalam melakukannya, seperti duduk, berjalan senam,

beribadah, menyapu, mengepel lantai, menyapu lantai, berkebun, dan mengasuh

cucu. Aktivitas fisik yang terancang dan tersusun yang mencakup gerakan seluruh

anggota badan secara berulang-ulang dan dilakukan dalam meningkatkan

kesehatan jasmani yang dikenal dengan olahraga. Aktivitas fisik yang dilakukan

secara rajin sangat penting untuk mempertahankan keadaan kebugaran dan

kesehatan pada lansia (Farizati, 2002 dalam Khomarun, Wahyuni & Nugroho,

2013). Berdasarkan WHO (2011) dalam Astuti (2016) menyatakan bahwa

kekurangan aktivitas fisik adalah kunci utama faktor resiko terjadinya penyakit

tidak menular yaitu hipertensi, kurangnya aktivitas fisik juga merupakan faktor

resiko utama keempat kematian di seluruh dunia. Terdapat 3,2 juta jiwa

meninggal setiap tahun dikarenakan kurangnya aktivitas fisik. Di Indonesia

aktivitas fisik masih menjadi masalah kesehatan. Riset Kesehatan Dasar

(Riskesdas) 2013 meunjukan bahwa 1 dari 4 penduduk Indonesia melakukan

perilaku sedenter lebih dari 6 jam per hari (Kemenkes RI, 2013). Sekitar 26,1%

proporsi penduduk Indonesia yang melakukan aktivitas fisik kurang aktif, yaitu

tidak melakukan aktivitas fisik sedang maupun berat, dan penduduk dari 22

provinsi di Indonesia berada di atas rata-rata kurang dalam melakukan aktivitas

fisik.

Berdasarkan Utami (2007) dalam Astuti (2016) juga menyatakan bahwa

seseorang yang kurang melakukan aktivitas fisik dalam mengontrol nafsu

makannya sangat labil sehingga menyebabkan konsumsi energi yang berlebihan,

nafsu makan menjedi bertambah yang menyebabkan berat badan akan naik dan

bias menyebabkan obesitas. Jika berat badan seseorang meningkat, maka volume

darah juga akan meningkat, sehingga beban jantung saat memompa darah juga

akan meningkat. Beban jantung yang semakin besar akan menyebabkan jantung
4

akan bekerja semakin berat saat memompa darah ke seluruh tubuh, sehingga

tekanan perifer dan curah jantung bertambah yang akan menimbulkan hipertensi.

Oleh sebab itu aktivitas fisik sedang hingga tinggi dapat melatih otot

jantung dan tahan perifer yang bisa mencegah kenaikan tekanan darah. Selain itu

aktivitas fisik yang tinggi mampu merangsang pelepasan hormon endofrin yang

menyebabkan efek euphoria dan relaksasi otot sehingga pengontrolan tekanan

darah selalu stabil (Kokkinos, et al, 2009 dalam Astuti, 2016).

Dalam penelitian Xavier, Prastiwi dan Andinawati (2017) tentang

hubungan antara aktivitas fisik dengan tekanan darah pada lansia di Posyandu

Lansia Desa Sendang Rejo Koecamatan Binjai Kabupaten Langkat menyatakan

bahwa sebagian besar lansia (56,7%) mengalami hipertensi tahap I, aktivitas fisik

sedang kebanyakan adalah petani. Hasil analisa bivariate menunjukan p value

(0,029) < α (0,05) yang berarti ada hubungan antara aktivitas fisik dengan tekanan

darah pada lansia.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan pada tanggal 26 maret 2022 di Panti

Jompo Kab Langkat melalui pengurus panti, pengurus tersebut menjelaskan

bahwa terdapat banyak lansia yang melakukan aktivitas fisik, setiap pagi

melakukan senam, beribadah, berjalan-jalan, menyapu, mengepel lantai, mencuci

piring,dan membawa makanan. Dengan latar belakang diatas peneliti tertarik

untuk melakukan penelitian tentang Hubungan Aktivitas Fisik dengan Tekanan

Darah Pada Lansia Di Panti Jompo Kab Langkat , karena pada penelitian.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulisan merumuskan

masalah penelitian apakah ada Hubungan Aktifitas Fisik Dengan Tekanan Darah

Pada Lansia di Panti Jompo Kab Langkat ?


5

1.3 Tujuan Peneliti

Adapun tujuan dalam penilitian ini yaitu :

1. Tujuan Umum

a) Mengetahui hubungan aktifitas fisik dengan tekanan darah pada lansia di

Panti Jompo Kab Langkat.

2. Tujuan Khusus

a) Mengidentifikasi aktifitas fisik pada lansia di panti jompo

b) Mengidentifikasi tekanan darah pada lansia di Panti Jompo Kab Langkat.

c) Menganalisis hubungan aktivitas fisik dengan tekanan darah pada lansia di

Panti Jompo Kab Langkat.

1.4 Hipotesa Penelitian

1. H0 : Tidak ada hubungan aktivitas fisik dengan tekanan darah pada lansia di Panti

Jompo Kab Langkat.

2. Ha : Ada hubungan aktivitas fisik dengan tekanan darah pada lansia di Panti

Jompo Kab Langkat.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat dalam penelitian ini mencakup :

1. Terhadap Ilmu Pengetahuan

Ikut serta dalam menambah wacana ilmu pengetahuan, khususnya mengenai

hubungan aktivitas fisik dengan tekanan darah pada lansia di Panti Jompo Kab

Langkat.

2.Terhadap Institusi Pendidikan

Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang ada di institusi pendidikan

khususnya mengenai fisioterapi dalam hal sebagai bahan informasi untuk perkuliahan
6

fisioterapi, dan sebagai dasar dalam penelitian lanjut bagi mahasiswa yang ingin

meneliti lebih lanjut tentang penelitian ini.

3. Terhadap Penulis

Untuk menambah pemahaman dan memperdalam informasi mengenai hubungan

aktivitas fisik dengan tekanan darah pada lansia di Panti Jompo Kab Langkat.

4. Terhadap Masyarakat Umum

Membantu masyarakat dalam menghadapi permasalahan yang berhubungan

dengan tekanan darah dan memberikan informasi bahwa fisioterapi berperan bagi para

lansia.

1.6. Keaslian Penelitian


Tabel 1.6 Keaslian Penelitian
No Judul Nama, Tahun Instrumen Perbedaan
Penelitian & Tempat Penelitian
Penelitian
1 Hubungan Egas A. Da Variabel Dalam penelitian tersebut
Antara Costa Xavier, Bebas : dilakukan di 5 buah Posyandu
Aktifitas Fisik Swito Prastiwi, Aktifitas Lansia yang berada di Desa
Dengan Mia Fisik Sendang Rejo Kecamatan Binjai
Tekanan Darah Andinawati Variabel Kabupaten Langkat , sedangkan
terikat : dalam penelitian ini dilakukan di
Pada Lansia Di
2017, Tekanan Panti Lansia Kab Langkat , dalam
Posyandu
Posyandu Darah Pada penelitian tersebut menggunakan
Lansia Desa kuesioner GPPAQ sedangan
Lansia Desa Lansia
Sendang Rejo dalam penelitian ini
Sendang Rejo
Kecamatan menggunakan kuesioner PASE
Binjai
Kabupaten
Langkat

2 Hubungan Variabel Dalam penelitian tersebut


Aktifitas Fisik Bebas : dilakukan di Dusun 5 Desa
Dengan Aktifitas Cengkeh Turi Binjai
Tekanan Darah Fisik sedangkan dalam penelitian ini
Pada Lansia Di Variabel dilakukan di Panti
terikat : Lansia Kab Langkat
Dusun 5 Desa
Tekanan
Cengkeh turi
Darah Pada
Binjai
Lansia
7

3 Hubungan Winda Variabel Dalam penelitian tersebut


Aktivitas Fisik Kusuma Astuti Bebas : dilakukan di Posyandu
Dengan Aktivitas sedangkan dalam penelitian
2020, Fisik
Tekanan Darah ini dilakukan di Panti Lansia
Posyandu Variabel
Pada Lansia Di Kab Langkat, dalam penelitian
Padukuhan terikat :
Posyandu tersebut menggunakan teknik
Kota Stabat Kec Tekanan
Padukuhan sampling purposive sampling
Binjai Darah Pada
Kota Stabat Kec sedangakn dalam penelitian
Lansia
Binjai ini menggunakan teknik total
sampling, dan menggunakan
kuesioner dengan pertanyaan
sebanyak 27 item sedangkan
dalam penelitian ini
menggunakan kuesioner
PASE dengan 8 pertanyaan.

4 Hubungan Sri Iswahyuni Variabel Dalam penelitian tersebut


Antara Bebas : dilakukan di
2020, Desa Aktivitas DesaJetiskarangpung,
Aktifitas Fisik
Jetiskarangpun Fisik Kecamatan Kalijambe,
Dan Hipertensi
g, Kecamatan Variabel Kabupaten sragen sedangan
Pada Lansia
Kalijambe, terikat : dalam penelitian ini dilakukan di
Kabupaten Hipertensi Panti Lansia Kab Langkat ,
sragen Pada Lansia dalam penelitian tersebut sampel
lansia yang menderita hipertensi
sedangkan dalam penelitian ini
sampel semua lansia yang ada di
Panti Kab Langkat
5 Hubungan Azizah Variabel Dalam penelitian tersebut
Antara Julianti, Retno Bebas : dilakukan di Puskesmas
Obesitas dan Pangastut, Obesitas Kotagede I Kota sedangkan
Aktivitas Fisik Yuliana Noor dan dalam penelitian ini dilakukan di
dengan Setiawati Aktivitas Panti Lansia Kab Langkat, dalam
Tekanan Darah Ulvie Fisik
penelitian tersebut sampel lansia
Pasien Variabel
yang menderita hipertensi
Hipertensi 2019, terikat :
Tekanan sedangkan dalam penelitian ini
Puskesmas
Darah sampel semua lansia yang ada di
Kotagede I
Kota Pasien Panti Kab Langkat , dalam
Binjai Hipertensi penelitian tersebut menggunakan
teknik sampling purposive
sampling sedangkan dalam
penelitian ini menggunakan
teknik sampling total sampling.
8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lanjut Usia (Lansia)

2.1.1 Definisi Lanjut Usia (Lansia)

World Health Organisation (WHO) lansia adalah seseorang yang sudah berada

di usia 60 tahun keatas. Lanjut usia (lansia) merupakan tahap akhir dari kehidupan

manusia. Manusia yang berada pada tahap ini ditandai dengan menurunnya

kemampuan kerja tubuh disebabkan perubahan atau penurunan fungsi organ-organ

tubuh (Kurnianto, 2015). Lanjut usia sering dihubungkan dengan usia yang sudah

tidak produktif, bahkan diasumsikan menjadi beban terhadap yang berusia produktif.

Hal ini terjadi karena pada lansia secara fisiologis terjadi kemunduran fungsi-fungsi
9

dalam tubuh yang mengakibatkan lansia rentan terkena gangguan kesehatan

(Kurnianto, 2015).

Lanjut usia merupakan suatu anugerah, menjadi tua dengan segenap

keterbatasannya pasti akan dialami oleh seseorang apabila dia panjang umur

(Noorkasiani, 2009). Seseorang yang disebut lansia ini akan mengalami sebuah proses

yang disebut Aging Process atau proses penuaan.

2.1.2 Klasifikasi Lanjut Usia

Berdasarkan WHO dalam Kurnianto, (2015) lanjut usia dibagi menjadi tiga

golongan, yaitu :

a) Usia Lanjut (elderly) : usia 60-75 tahun

b) Usia tua (old) : usia 76-90 tahun

c) Usia sangat tua (very old) : usia >90 tahun

2.1.3 Perubahan Fisik Pada Lanjut Usia8

Berdasarkan Fatimah (2010) menyatakan bahwa perubahan fisik pada lanjut

usia dibagi menjadi dua yaitu penuaan instrinsik dan penuaan ekstrinsik, pada

penuaan instrinsik (faktor dari dalam) mengacu pada perubahan yang disebabkan oleh

proses penuaan normal yang telah di program secara genetik dan pada dasarnya

universal dalam spesies yang bersangkutan. Sedangkan penuaan ekstrinsik (faktor dari

luar) terjadi akibat penyebab dari luar diri seperti penyakit, polusi udara dan sinar

matahari, merupakan penuaan yang abnormal yang dapat dihilangkan atau dikurangi

dengan intervensi penanganan kesehatan yang efektif. Perubahan yang terjadi

diantanranya :

a. Perubahan Sel
10

Perubahan sel dan ekstra sel pada lansia menyebabkan penurunan tampilan

dan fungsi fisik. Lansia menjadi lebih pendek karena adanya pengurangan lebar bahu

dan pelebaran lingkar dada, perut serta diameter pelvis. Kulit menjadi lebih tipis dan

keriput, massa tubuh berkurang dan massa lemak maningkat.

b. Perubahan Kardiovaskuler

Perubahan struktur jantung dan sistem vaskular menyebabkan penurunan

kemampuan untuk berfungsi secara efisien. Katup jantung menjadi lebih tebal dan

kaku, jantung serta arteri kehilangan elastisitasnya. Tumpukan kalsium dan lemak

berkumpul didalam dinding arteri, vena menjadi sangat berkelok kelok.

Meskipun fungsi dijaga dalam keadaan normal, tetapi sistem kardiovaskuler

berkurang cadangannya dan kemampuannya dalam merespon stress menurun. Curah

jantung saat istirahat (frekuensi jantung x volume sekuncup) berkurang sekitar 1% per

tahun setelah usia 20. Dalam kondisi stress, baik curah jantung maksimum dan denyut

jantung maksimum juga menurun tiap tahun.

Perubahan Morfologis Dan Perubahan Fungsional

Struktur

Jantung
1. Kenaikan jaringan lemak 1. Berkurangnya eksitabilitas
2. Kenaikan jaringan ikat 2. Berkurangnya curah jantung
3. Kenaikan massa dan volume 3. Berkurangnya aliran darah balik
4. Kenaikan lipofusin 4. Kenaikan distritmia jantung
5. Kenaikan kandungan amiloid
6. Kenaikan konduksi saraf
7. Berkurangnya inervasi
instrinsik dan ekstrinsik
8. Kenaikan jaringan ikat dan
elastin
11

9. Kenaikan klasifikasi
Aliran darah
1. Kenaikan proporsi
1. Berkurangnya aliran darah untuk
perubahan jaringan otot
memenuhi kebutuhan oksigen
polos normal menjadi
jaringan
jaringan ikat dan elastin
2. Berkurangnya Aliran dan resiko
2. Kenaikan rigiditas arteri
oengumpulan darah pada sirkulasi
besar
vena
3. Kenaikan arteroma sirkulasi
3. Berkurangnya curah jantung
4. Kenaikan kalsifikasi
4. Berkurangnya Aliran darah balik
5. Kenaikan dilatasi vena
Tabel 2.1.3 Perubahan sistem kardiovaskuler pada lansia

Sumber : Pudjiastuti & Utomo (2003) dalam Suri


(2017)

Kemampuan arteri dalam melakukan fungsinya berkurang sampai 50%,

pembuluh darah kapiler mengalami penurunan elastisitas dan permeabilitas. Terjadi

perubahan fungsional yaitu kenaikan tahanan vaskular sehingga menyebabkan

peningkatan tekanan sistol dan penurunan perfusi jaringan. Penurunan sensitifitas

baroreseptor mengakibatkan terjadinya hipotensi postural. Curah jantung (cardiac

output) berkurang akibat penurunan denyut jantung maksimal dan volume sekuncup.

Respon vasokonstriksi dalam mencegah terjadinya penggumpalan darah (pooling of

blood) menurun sehingga respon terhadap hipoksia menjadi lambat (Pudjiastuti &

Utomo, 2003 dalam Suri, 2017). Penggunaan oksigen pada tingkat maksimal (VO 2

) berkurang sehingga kapasital vital paru menurun.


maks

c. Perubahan Sistem Pernapasan

Perubahan sistem pernapasan yang berhubungan dengan usia yang

mempengaruhi kapasitas dan fungsi paru berupa peningkatan diameter

anterioposterior dada, kolaps osteoporosis vertebra yang mengakibatkan kifosis,

kalsifikasi kartilago kosta dan penurunan mobilitas kosta, penurunan efisiensi otot
12

pernapasan, peningkatan rigiditas paru atau hilangnya recoil paru mengakibatkan

peningkatan volume residu paru dan berkurangnya kapasitas vital paru dan penurunan

luas permukaan alveoli. Penurunan efisiensi batuk, penurunan aktivitas silia dan

peningkatan ruang rugi pernapasan membuat lansia lebih rentan terhadap infeksi

pernapasan.

d. Perubahan Integumen

Epidermis dan dermis menjadi lebih tipis, jumlah serat elastis menurun dan

kolagen menjadi lebih kaku. Pigmentasi rambut berkurang, distribusi pingmen kulit

tidak merata dan tidak beraturan. Kulit menjadi lebih kering dan rentan terhadap

iritasi, toleransi terhadap suhu dan paparan sinar matahari yang ekstrim berkurang.

e. Perubahan Sistem Reproduksi

Saat menopause produksi estrogen dan progesteron oleh ovarium berkurang.

Pada wanita terjadi penipisan dinding vagina dengan pengecilan ukuran dan hilangnya

elastisitas, penurunan sekresi vagina mengakibatkan kekeringan, gatal dan

berkurangnya keasaman vagina. Uterus dan ovarium mengalami atropi. Tonus otot

pubokoksigeus berkurang sehingga vagina dan perineum melemas. Akibat perubahan

tersebut vagina dapat menderita perdarahan dan nyeri saat senggama. Pada lanjut usia

laki-laki, ukuran penis dan testis mengecil dan kadar androgen berkurang.

f. Perubahan Genitourinaria

Sistem genitourinaria tetap berfungsi secara baik pada individu lansia,

meskipun terjadi pengurangan massa ginjal akibat kehilangan beberapa nefron.

Perubahan fungsi ginjal meliputi berkurangnya laju infiltrasi, penurunan fungsi

tubuler dengan penurunan efisiensi dalam resorbsi dan pemekatan urin dan

perlambatan restorasi keseimbangan asam basa terhadap stres.

Wanita lansia biasanya menderita penurunan tonus otot perineal yang

mengakibatkan stress inkontinesia dan genito urgensi inkontinensia. Pada lansia laki-
13

laki sering ditemukan pembesaran kelenjar prostat (hiperplasia prostat benigna) yang

dapat mengakibatkan retensi urin kronis, sering berkemih dan inkontinensia.

g. Perubahan Gastrointestinal

Saluran gastrointestinal masih tetap baik pada lansia, tetapi pada beberapa

lansia dapat terjadi ketidaknyamanan karena melambatnya mortilitas. Diperkirakan

setengah populasi telah habis giginya saat berusia 60 tahun meskipun, hal tersebut

merupakan akibat proses penuaan yang tidak dapat dihindari, seringkali terjadi

penyakit periodontal yang menyebabkan gigi berlubang dan ompong. Aliran ludah

juga berkurang sehingga lansia mengalami mulut kering.

h. Perubahan Muskuloskeletal

Wanita pasca menopause mengalami kehilangan densitas tulang yang massif

akan menyebabkan osteoporosis dan berhubungan dengan kurang aktivitas, masukan

kalsium yang tidak baik dan kehilangan estrogen. Pengurangan dan penyusutan tinggi

badan akibat dari perubahan osteoporosis pada tulang punggung, kifosis dan fleksi

pinggul serta lutut. Perubahan ini mengakibatkan penurunan mobilitas, keseimbangan

dan fungsi organ internal. Ukuran otot berkurang dan otot kehilangan kekuatan,

fleksibilitas dan ketahanannya sebagai akibat berkurangnya aktivitas dan penuaan.

Kartilago sendi memburuk secara progresif dari usia pertengahan.

i. Perubahan Sistem Persarafan

Lansia mengalami perubahan struktur dan fungsi sistem saraf, massa otak

menurun secara progresif akibat dari berkurangnya sel saraf yang rusak dan tidak

dapat diganti. Terjadi penurunan sisntesis dan metabolisme neurotransmiter utama.

Impuls saraf dihantar lebih lambat, sehingga lansia membutuhkan waktu yang lebih

lama untuk merespon dan bereaksi. Kinerja sistem saraf otonom menurun efisiensinya

dan mudah terjadi hipotensi postural yang menyebabkan seseorang merasa pusing saat

berdiri dengan cepat. Homeostatis juga lebih sulit untuk dijaga otak, walaupun dalam

kondisi normal pasokan glukosa dan oksigen masih mencukupi.


14

j.Perubahan Sensorik

Kehilangan sensorik akibat penuaan mengenai organ sensorik penglihatan,

pendengaran, pengecap, peraba dan penghirup serta dapat mengancam interaksi dan

komunikasi dengan lingkungan.

2.1.4 Proses Menua

Penuaan adalah proses biologik alami (normal) meliputi seluruh masa

kehidupan mulai dari lahir, pertumbuhan dan perkembangan untuk mencapai

kematangan pada usia ± 30-35 tahun, kemudian diikuti dengan kemunduran oleh

adanya perubahan degenerative yang bersifat progresif dan gradual (berangsur)

mengenai bentuk tubuh (anatomi) maupun fungsinya (fisiologi) akibat dari keausan

sel disertai penurunan kapasitas fisiologisnya, yang terjadi selama proses kehidupan

dan akan berakhir dengan kematian (Giriwijoyo & Sidik, 2012). Berdasarkan Supriani

(2015) menyatakan bahwa proses menua (lansia) merupakan proses alami yang diikuti

dengan penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berhubungan

satu sama lain.

Penuaan atau proses terjadinya tua adalah suatu proses menghilangnya secara

perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan

mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi

serta memperbaiki kerusakan yang di derita (Maryam et all., 2008). Proses menua

pada setiap individu dan pada setiap organ tubuh seseorang berbeda, hal ini

dikarenakan gaya hidup, lingkungan, dan penyakit degenerative. Proses menua dan

perubahan fisiologis pada lansia akan mengakibatkan beberapa kemunduran dan

kelemahan, serta implikasi klinik seperti penyakit kronik dan infeksi (Kurnianto,

2015).

2.1.5 Teori Proses Menua


15

Pada hakekatnya menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti

seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya yaitu anak, masa dewasa dan masa

tua (Ardiansah, 2016).

Berdasarkan Potter & Perry (2005) dalam Ardiansah (2016) proses menua

dibagi menjadi beberapa teori sebagai berikut:

a. Teori Biologis

1) Teori Radikal Bebas

Teori ini menyatakan bahwa penuaan disebabkan akumulasi kerusakan

ireversibel akibat senyawa pengoksidan. Radikal bebas adalah produk metabolisme

selular yang merusakan bagian molekul yang sangat reaktif. Molekul ini mempunyai

muatan ekstraseluler kuat yang kuat yang dapat menciptakan reaksi dengan protein,

mengubah bentuk dan sifatnya, molekul ini juga dapat bereaksi dengan lipid yang

berada dalam membran sel, mempengaruhi permeabilitasnya, atau dapat berikatan

dengan organel sel lainnya. Proses metabolisme oksigen diperkirakan menjadi sumber

radikal bebas terbesar (Potter & Perry, 2005 dalam Ardiansah, 2016).

Secara spesifik, oksidasi lemak, protein dan karbohidrat dalam tubuh

menyebabkan formasi radikal bebas. Polutan lingkungan merupakan sumber eksternal

radikal bebas (Potter & Perry, 2005 dalam Ardiansah, 2016).

2) Teori Cross Link

Teori cross link dan jaringan ikat menyatakan bahwa molekul kolagen dan

elastin, komponen jaringan ikat, membentuk senyawa yang lama meningkatkan

rigiditas sel, cross-linkage diperkirakan akibat reaksi kimia yang menimbulkan

senyawa antara molekulmolekul yang normalnya terpisah. Kulit yang menua

merupakan contoh cross-linkage elastin. Contoh cross-linkage jaringan ikat terkait

usia meliputi penurunan kekuatan rentang dinding arteri, tanggalnya gigi, dan tendon

kering dan berserat (Potter & Perry, 2005 dalam Ardiansah, 2016).

3) Teori Imunologios
16

Teori ini menggambarkan suatu kemunduran dalam sistem imun yang

berhubungan dengan penuaan. Ketika orang bertambah tua, pertahanan mereka

terhadap organisme asing yang mengalami penuruanan, sehingga mereka lebih rentan

untuk menderita berbagai penyakit seperti kanker dan infeksi. Seiring dengan

berkurangnnya fungsi sitem imun, terjadilah peningkatan dalam respon autoimun

tubuh. Ketika orang mengalami penuaan mereka mungkin mengalami penyakit

autoimun yaitu penyakit dimana sistem kekebalan tubuh salah mengidentifikasi benda

asing, dimana sel, jaringan atau organ tubuh manusia justru dianggap sebagai benda

asing sehingga dirusak oleh antibody, seperti Atritis Rematoid (Potter & Perry, 2005

dalam Ardiansah, 2016).

4) Teori Wear and Tear

Teori ini mengatakan bahwa manusia di ibaratkan seperti mesin, sehingga

perlu adanya perawatan, dan penuaan merupakan hasil dari penggunaan (Potter &

Perry, 2005 dalam Ardiansah, 2016).

5) Teori Riwayat Lingkungan

Berdasarkan teori ini faktor-faktor didalam lingkungan misalnya karsinogen

dari industri, cahaya matahari, trauma dan infeksi dapat membawa perubahan dalam

proses penuaan, dampak dari lingkungan lebih merrupakan dampak sekunder dan

bukan merupakan faktor utama dalam penuaan (Potter & Perry, 2005 dalam

Ardiansah, 2016).

a. Teori Sosial

1) Teori pembebasan

Berdasarkan Potter & Perry (2005) dalam Ardiansah (2016) salah

satu teori sosial yang berkenaan dengan proses penuaan adalah teori

pembebasan (Disengagement Theory). Teori tersebut menerangkan

bahwa dengan berubahnya usia seseorang secara berangsur-angsur

mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya atau menggambarkan


17

proses penarikan diri. Keadaan ini mengakibatkan interaksi sosial

lansia menurun, baik secara kualitatif maupun kuantitasnya sehingga

sering terjadi kehilangan ganda yaitu:

1. Kehilangan peran

2. Hambatan kontrol sosial


3. Berkurangnya komitmen

2) Teori Aktivitas

Lawan langsung dari teori pembebasan (Disengagement Teory)

adalah teori aktivitas penuaan, yang berpendapat bahwa jalan

menuju penuan yang sukses adalah dengan cara tetap aktif dan ikut

banyak dalam kegitan sosial. Havighurst yang pertama kali menulis

tentang pentingnya tetap aktif secara sosial sebagai alat untuk

penyesuaian diri yang sehat untuk lansia pada tahun 1952. Sejak

saat itu, berbagai penelitian telah memvasilidasi hubungan positif

antara mempertahankan interaksi yang penuh arti dengan orang lain

dan kesejahteraan fisik dan mental orang tersebut (Potter & Perry,

2005 dalam Ardiansah, 2016).

Kesempatan untuk turut berperan dengan cara yang penuh arti

bagi kehidupan seseorang yang penting bagi dirinya sendiri adalah

suatu komponen kesejahteraan yang penting bagi lansia. Penelitian

menunjukan bahwa hilangnya fungsi peran pada lansia secara

negatif mempengaruhi kepuasan hidup. Selain itu, penelitian

terbaru menunjukan pentingnya aktivitas mental dan fisik yang

berkesinambugan untuk mencegah kehilangan atau pemeliharaan

kesehatan sepanjang masa kehidupan manusia (Potter & Perry,

2005 dalam Ardiansah, 2016).


18

Aktivitas fisik merupakan semua gerakan anggota tubuh yang

membutuhkan energi untuk melakukannya, seperti duduk, berjalan,

menyapu, mengepel lantai, mencuci, berkebun, senam, beribadah,

mengasuh cucu, dan lain-lain (Farizati, 2002 dalam

Khomarun, Wahyuni, Nugroho, 2013).

3) Teori Kesinambungan

Sementara itu Potter & Perry (2005) dalam Ardiansah


(2016) menyebutkan bahwa teori ini mengemukakan
adanya kesinambungan dalam siklus kehidupan lansia. Dengan
demikian pengalaman hidup seseorang pada suatu saat
merupakan gambarannya kelak pada saat ini menjadi lansia.
Pokok-pokok dari teori kesinambungan adalah:
a) lansia tidak disarankan untuk melepaskan peran atau harus aktif

dalam proses penuaan, akan tetapi didasarkan pada pengalamannya

dimasa lalu, dipilih peran apa yang harus dipertahankan atau

dihilangkan.

b) Peran lansia yang hilang tak perlu diganti.

c) Lansia dimungkinkan untuk memilih berbagai cara adaptasi.

c. Teori Psikologis

1) Hirarki Maslow

Motivasi manusia dapat dilihat dari hirarki kebutuhan pada titik

krisis pertumbuhan dan perkembangan pada semua manusia.

Individu dapat dilihat pada partisipasi aktif dalam hidup sampai

aktualisasi diri (Potter & Perry, 2005 dalam Ardiansah, 2016).

2) Jung’s Teory of Individualisme

Perkembangan dilihat sampai dewasa dengan realisasi tujuan

perkembangan kepribadian. Pada beberapa individu akan


19

mentranformasikan kepada hal-hal optimal (Potter & Perry, 2005

dalam Ardiansah, 2016).

3) Selective Optimalization with Compensation

Kemampuan fisik dikurangi oleh umur. Individu dengan

berhasil pada usiannya akan mengkonsumsi kekurangan dengan

seleksi, optimasi dan kompensasi (Potter & Perry, 2005 dalam

Ardiansah, 2016).

4) Erikson’s Eight Stage of Life

Setiap orang mengalami tahap perkembangan selama hidupnya.

Pada beberapa tahap akan krisis tujuan yang mengintegrasikan

kematangan fisik dengan keinginan psikologinya. Pada beberapa tahap

orang berhasil mengatasi krisis tersebut. Keberhasilan tersebut akan

membantu perkembangan pada tahap selanjutnya. Individu ingin selalu

memperoleh peluang untuk bekerja kembali sesuai perasaanya untuk

mencapai kesuksesannya (Potter & Perry, 2005 dalam Ardiansah,

2016).

2.1.6 Perubahan Akibat Proses Menua

Meskipun perubahan dari tingkat sel sampai kesegala sistem organ tubuh,

seperti sistem pernafasan, pendengaran, penglihatan, kardiovaskuler, sistem

pengaturan tubuh, muskuluskletal, gastrointestinal, integument dan lain-lain.

Berdasarkan Mubarak, (2006) dalam Dinata, (2015) menyatakan bahwa masalah-

masalah fisik sehari-hari yang banyak ditemukan pada lansia, yaitu mudah jatuh,

mudah lelah, gangguan mental akut, nyeri pada dada, serta berdebar debar, sesak

nafas pada saat melakukan aktivitas fisik, pembengkakan pada tungkai bawah, nyeri

pinggang atau punggung dan dibagian sendi panggul, susah tidur dan sering

mengalami pusing, berat badan berkurang, gangguan pada fungsi penglihatan,

pendengaran, dan sulit menahan air kencing.


20

Pada usia 90-an, 32% wanita dan 17% laki-laki menderita patah tulang

panggul dan 12-20% meninggal disebabkan komplikasi. Massa tulang berkurang 10%

dari massa puncak tulang pada usia 65 tahun dan 20% pada usia 80 tahun. Wanita

kehilangan massa tulang lebih besar, kira-kira 15-20% pada usia 65 tahun dan 30%

pada umur 80 tahun. Pada laki-laki kehilangan massa tulang pada umur 30-an, dengan

laju penurunan 2-3% per tahun setelah menopause (Ambardini, 2009).

2.1.7 Problematika Lanjut Usia

Kondisi lansia secara umum jika digambarkan memang kurang

menggembirakan. Usia tua, kesepian, sosial ekonomi yang kurang sejahtera, serta

munculnya penyakit-penyakit degeneratif seperti kanker, jantung, reumatik, serta

katarak menyebabkan produktivitas menurun serta mempengaruhi kehidupan sosial

(Dahlia Amareta, 2008 dalam Rohmah, Purwaningsih & Bahriyah, 2012). Seiring

dengan proses menua, tubuh akan mengalami berbagai masalah kesehatan atau yang

bisa disebut sebagai penyakit degeneratif (Maryam et al., 2008).

Berdasarkan Wahyunita & Fitrah (2010) menyatakan bahwa penyakit

degenerative yang sering muncul pada lanjut usia diantaranya yaitu :

a. Osteoarthritis (OA)

Peradangan sendi atau yang sering disebut dengan istilah OA, disebabkan

karena pengapuran atau tidak stabilnya sendi.

b. Osteoporosis

Osteoporosis atau sering disebut dengan istilah tulang keropos biasanya sering

menyertai individu yang kurang vitamin D ataupun kurang beraktivitas selama

mudanya.

c. Tekanan darah tinggi

Kebanyakan lanjut usia biasanya sering menderita penyakit tekanan darah

tinggi atau dikenal sebagai hipertensi merupakan kondisi dimana tekanan darah

sistolik sama atau lebih tinggi dari 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih tinggi
21

dari 90 mmHg, yang terjadi karena elastisitas arteri pada proses menua. Apabila

penyakit ini tidak cepat ditangani dapat menyebabkan gangguan pada jantung,

ginjal, dan pembuluh darah.

Apabila berat badan seseorang berlebihan sudah tentu akan meningkatkan

beban kerja jantung dalam memompa darah keseluruh tubuh, hal ini

mengakibatkan tekanan darah cenderung akan lebih tinggi. Selain itu, pembuluh

darah pada lansia lebih tebal dan kaku atau disebut aterosklerosis, sehingga

tekanan darah akan meningkat. Bila disertai adanya plak disekitar dinding dalam

arteri, hal tersebut akan menyebabkan sumbatan pada pembuluh darah yang dapat

membuat terjadinya penyumbatan pada arteri koroner dan stroke (pecahnya

pembuluh darah), bila terjadi pada otak dapat menyebabkan kelumpuhan dan

kematian (Maryam et all, 2008).

d. Kencing Manis (Diabetes Mellitus)

Lansia biasanya menderita penyakit diabetes mellitus, hal terebut dikarenakan

sudah berkurangnya aktifitas tubuh, obesitas dan pola makan yang salah.

e. Sering Lupa (Demensia)

Demensia atau yang sering disebut dengan istilah sering lupa sebenarnya

adalah masalah yang berhubungan dengan susunan saraf pusat atau penyakit

vaskular.

f. Penyakit Jantung

Penyakit kardio rentan sekali menyerang lansia, penyakit jantung yang

biasanya kita kenal diantaranya yaitu penyakit jantung koroner, serangan jantung

dan lainnya.

g. Kanker

Penyakit kanker disebabkan karena berubahnya struktur dan fungsi sel

sehingga tidak mampu lagi melaksanakan fungsi normalnya.

h. Kolesterol
22

Kadar kolesterol yang tinggi dapat memunculkan berbagai penyakit dalam

tubuh seperti tekanan darah tinggi, gagal jantung, stroke, penyakit jantung

koroner dan banyak penyakit lainnya.

Di Indonesia saat ini Usia Harapan Hidup (UHH) diperkirakan berkisar antara

60-65 tahun dan diperkirakan akan mencapai 70 tahun atau lebih pada tahun

2015-2020. Penyebab kematian bergeser dari penyakit infeksi ke penyakit non-

infeksi yaitu penyakit degenerasi, keganasan (kanker) dan penyakit

kardiovaskuler. Pada saat ini penyakit kardiovaskuler menjadi penyebab

kematian peringkat pertama, diikuti oleh keganasan dan penyakit pernafasan

obstruktif menahun pada peringkat ketiga. (Giriwijoyo & Sidik, 2012).

Berikut data yang diperoleh dari KEMENKES RI (2014) tentang 10

penyakit terbanyak yang dialami lansia pada tahun 2013.

Tabel 2.1.8 Penyakit Pada Lansia Terbanyak Tahun 2013


No Jenis Penyakit Prevalensi Menurut Kelompok Umur
(%)
55-64 65-74 tahun 75 + tahun
tahun
1. Hipertensi 45.9 57.6 63.8
2. Artritis 45.0 51.9 54.8
3. Stroke 33.0 45.1 67.0
4. Penyakit Paru 5.6 6.6 9.4
Obstruktif Kronik
5. Diabetes Mellitus 5.5 4.8 3.5
6. Kanker 3.2 3.9 5.0
7. Penyakit Jantung 2.6 3.6 3.2
Koroner
8. Batu Ginjal 1.3 1.2 1.1
9. Gagal Jantung 0.7 0.9 1.1
10. Gagal Ginjal 0.5 0.5 0.6
Sumber : Kementerian Kesehatan RI, Puskesdes (2014)

2.2 Tekanan Darah

2.2.1 Definisi Tekanan Darah


23

Tekanan darah adalah tenaga yang dikeluarkan oleh darah untuk dapat

mengalir melalui pembuluh darah. Ukuran tekanan darah dinyatakan dengan mmHg.

Hg merupakan singkatan Hydragyrum, yakni air raksa yang berada pada tabung

tensimeter (Wijayakusumah, 2006 dalam Mutiarawati, 2009). Tekanan darah

merupakan kekuatan yang ditimbulkan oleh jantung yang berkontraksi seperti pompa

untuk mendorong agar darah terus mengalir ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah.

Tekanan darah ini diperlukan agar darah tetap mengalir dan mampu melawan

gravitasi, serta hambatan dalam dinding pembuluh darah (Khasanah, 2012).

Tekanan darah dibagi menjadi dua, yaitu tekanan darah sistolik dan diastolik.

Angka lebih tinggi yang diperoleh pada saat jantung berkontraksi disebut tekanan

darah sistolik. Angka yang lebih rendah diperoleh pada saat jantung bereleksasi

disebut tekanan darah diastolik. Tekanan darah ditulis sebagai tekanan sistolik garis

miring tekanan darah diastolik (Khasanah, 2012).

Tekanan darah mempunyai tugas untuk mengalirkan darah keseluruh bagian

tubuh sehingga semua organ-organ penting di dalam tubuh mendapat oksigen dan zat-

zat gizi yang dibawa oleh darah. Oleh karena itu, keberadaan tekanan darah sangat

mutlak diperlukan dan pasti dimiliki oleh setiap manusia (Karyadi, 2006 dalam

Mutiarawati, 2009). Tekanan darah orang dewasa normal yaitu 120 mmHg ketika

jantung berdetak (sistolik) dan 80 mmHg pada saat jantung bereleksasi (diastolik)

(WHO, 2013). Tekanan darah seseorang senantiasa berayun-ayun antara tinggi dan

rendah sesuai dengan detak jantung Gunawan, 2007 dalam Suri, 2017).

2.2.2 Klasifikasi Tekanan Darah

Terdapat dua macam kelainan tekanan darah, antara lain yang dikenal sebagai

hipertensi atau tekanan darah tinggi dan hipotensi atau tekanan darah rendah (Anggara

dan Prayitno, 2013). Secara umum ditetapkan, tekanan darah normal untuk orang

dewasa (>18 tahun) adalah 120/80 mmHg, angka 120 disebut tekanan sistolik, dan

angka 80 disebut tekanan diastolik. Tekanan darah seseorang dapat lebih atau kurang
24

dari batas normal, jika melebihi nilai normal orang tersebut menderita tekanan darah

tinggi atau hipertensi, sebaliknya jika kurang dari nilai normal, orang tersebut

menderita tekanan darah rendah atau hipotensi (Chin et, al., 2012).

Adapun klasifikasi tekanan darah menurut AHA tahun 2014, sebagai berikut:

Tabel 2.2.1 Klasifikasi Tekanan Darah

Tekanan Darah Tekanan Darah


Klasifikasi Tekanan
Sistolik Diastolik
Darah
(mmHg) (mmHg)
Normal <120 dan <80
Prehipertensi 120-139 atau 80-89
Hipertensi Stage 1 140-159 atau 90-99
Hipertensi Stage 2 160 atau 100
Hipertensi Stage 3 >180 >110
Sumber: American Heart Association (AHA), 2014

2.2.3 Faktor Yang Mempengaruhi Tekanan Darah

a. Umur

Tekanan darah bervariasi sepanjang kehidupan. Berdasarkan

WHO (2007) menyatakan bahwa adanya hubungan yang positif antara

umur dengan tekanan darah disebagian populasi, tekanan darah sistolik

cenderung meningkat pada usia anak-anak, remaja dan dewasa untuk

mencapai nilai rata-rata 140 mmHg. Tekanan darah diastolik juga

cenderung meningkat dengan bertambahnya usia.

b. Ras

Kajian populasi menunjukkan bahwa tekanan darah pada

masyarakat berkulit hitam lebih tinggi dibandingkan dengan golongan

suku lainnya. Orang Afrika-Amerika lebih tinggi dibanding orang

Eropa-Amerika. Kematian yang dihubungkan dengan hipertensi juga

lebih banyak pada orang Afrika-Amerika. Kecenderungan populasi ini

terhadap hipertensi diyakini hubungan antara genetik dan lingkungan

(Kotsis et al., 2010).


25

c. Jenis Kelamin

Berdasarkan, Miller (2010) menunjukkan bahwa perubahan

hormonal yang sering terjadi pada wanita menyebabkan wanita lebih

cenderung memiliki tekanan darah tinggi. Pada penelitian Yuliarti

(2007), diketahui bahwa ada hubungan yang signifikan antara jenis

kelamin dengan kejadian hipertensi. Hal tersebut menunjukkan bahwa

kejadian hipertensi pada perempuan dipengaruhi oleh kadar hormon

estrogen. Hormon estrogen tersebut akan menurun kadarnya ketika

perempuan memasuki usia tua (menopause) sehingga perempuan

menjadi lebih rentan terhadap hipertensi.

d. Stres

Ansietas, takut, nyeri dan stres emosi mengakibatkan stimulus

simpatis secara berkepanjangan yang berdampak pada vasokonstriksi,

peningkatan curah jantung, tahanan vaskular perifer dan peningkatan

produksi renin. Peningkatan renin mengaktivasi mekanisme

angiotensin dan meningkatakan sekresi aldosteron yang berdampak

pada peningkatan tekanan darah (Lewis et al., 2011). Mekanisme stres

dapat mengeluarkan hormon adrenalin dan kortisol yang

mengakibatkan jantung berdenyut lebih kencang dan menyebabkan

vasokontriksi pembuluh darah yang pada akhirnya akan

mengakibatkan kenaikan tekanan darah (AHA, 2014).

e. Medikasi

Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat

menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi

dengan menaikkan tekanan darah. Apabila penyebabnya dapat

diidentifikasi, maka dengan menghentikan obat yang bersangkutan atau


26

mengobati/mengoreksi kondisi penyakit yang mendasarinya merupakan

tahap pertama dalam penanganan hipertensi sekunder ini

(Muchid et al, 2007).

f. Berat Badan

Berat badan yang lebih dari normal dapat meningkatkan kerja

jantung dan kebutuhan oksigen dalam tubuh sehingga jantung harus

bekerja lebih keras (Price & Wilson, 2006).

Untuk mengetahui lebih jelasnya dapat dinilai berdasarkan

indeks massa tubuh atau IMT dengan rumus :

Berat Badan (Kg)

IMT =……………………..

[Tinggi Badan (m)]2

Tabel 2.4 Klasifikas Indeks Massa Tubuh


Klasifikasi Indeks Massa Tubuh (Kg/m2)
Kurus IMT < 18,5
Normal IMT > 18,5 - < 24,9
Berat Badan Lebih IMT > 25,0 - < 27
Obesitas IMT > 27,0
Sumber : Kemenkes, 2013

g. Penyakit ginjal

Pada penderita penyakit ginjal akan terjadi aktivasi dari RAAS dan

oversekresi renin dan angiotensin II yang diinduksi oleh ultrafiltrasi

saat hemodialisis. Aktivasi dari RAAS dan oversekresi renin dan

angiotensin II menyebabkan peningkatan yang tiba-tiba dari resistensi

vaskuler dan meningkatkan tekanan darah (Landry et al., 2006).

h. Wanita hamil

Kebanyakan wanita akan memiliki tekanan darah normal selama

kehamilan, akan tetapu terdapat sekitar l0% dari wanita hamil akan

mengalami tekanan darah tinggi selama kehamilan yang dikenal


27

dengan istilah "hypertensive disorders of pregnancy". Beberapa faktor

pemicu terjadinya hipertensi selama kehamilan, antara lain penurunan

volume cairan intravaskuler, faktor genetik, pola makan kurang baik,

defisiensi vitamin, misalnya vitamin A, dan penolakan sistem imun

dari plasenta oleh tubuh ibu (Naipospos, 2014)

i. Aktivitas Fisik

Kurangnya aktivitas fisik dapat meningkatkan frekuensi denyut

jantung, sehingga menyebabkan jantung bekerja lebih keras dalam

memompa darah yang pada akhirnya mengakibatkan naiknya tekanan

darah (Anggara dan Prayitno, 2013).

Berdasarkan Kathy (2012) dalam Ambardini (2009) menyatakan

bahwa jenis-jenis aktivitas fisik pada lansia meliputi latihan aerobik,

penguatan otot (muscle strengthening), fleksibilitas dan latihan

keseimbangan. Beberapa banyak suatu latihan dilakukan tergantung

dari tujuan setiap individu, baik untuk kemandirian, kesehatan,

kebugaran atau untuk perbaikan kinerja (performance).

2.2.4 Tekanan Darah Pada Lansia

Lansia adalah seseorang dengan usia diatas 60 tahun keatas, pada usia

ini lebih dari separuh populasinya mempunyai tekanan darah yang lebih

dari normal hal ini yang mempermudah terjadinya resiko penyakit

kardiovaskuler. Kenaikan tekanan darah pada lansia dipandang sebagai

konsekuensi dari proses penuaan. Tekanan darah tinggi pada lansia adalah

seseorang dengan usia lebih dari 60 tahun yang mempunyai tekanan darah

sistolik konsisten tinggi (140 mmHg atau lebih) dengan tekanan diastolik
28

dalam batas normal. (lebih rendah dari 85 mmHg). Kondisi ini umum

disebut isolated systolik hypertension (ISH) (Santoso, 2010).

ISH dipahami sebagai akibat penuaan yang tidak berbahaya namun

dekade belakangan banyak penelitian menunjukkan bahwa tekanan darah

yang lebih dari normal akan mudah mengalami resiko penyakit

kardiovaskuler. Risiko hipertensi meningkat seiring adanya peningkatan

tekanan darah dan meningkatnya jangka waktu seseorang mempunyai

hipertensi (Santoso, 2010).

Faktor usia sangat berpengaruh terhadap penyakit hipertensi karena

dengan bertambahnya usia maka akan semakin tinggi mendapat resiko

hipertensi. Hipertensi pada lansia dapat menyebabkan kualitas hidup yang

tidak baik, karena adanya perubahan yang menyebabkan kesulitan dalam

fungsi interaksi atau aktivitas sosial dan fungsi fisik yang tidak optimal

serta meningkatkan angka morbilitas dan mortalitas yang disebabkan

komplikasi-komplikasi yang ditimbulkan (Arifin, Weta & Ratnawati,

2016).

Lansia sering terserang hipertensi dikarenakan oleh kekakuan pada

arteri sehingga tekanan darah cenderung naik. Selain itu faktor hipertensi

pada lansia juga dikarenakan oleh perubahan gaya hidup dan yang lebih

utama lagi kemungkinan terjadinya kenaikan tekanan darah tinggi

disebabkan bertambahnya usia lebih besar terhadap seseorang yang banyak

mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung garam (Ritu Jain, 2011

dalam Kenia dan Taviyanda, 2013).

2.2.5 Pengukuran Tekanan Darah

a. Definisi Pengukuran Tekanan Darah

Pengukuran tekanan darah dapat diukur baik secara langsung atau

tidak langsung. Pengukuran secara langsung dilakukan dengan invasif


29

yaitu dengan memasukkan alat pengukur tekanan ke dalam jarum yang

kemudian dimasukkan ke dalam arteri. Pengukuran tidak langsung

dilakukan dengan alat tensimeter atau Sphygmomanometer dan

stetoskop, dengan menggunakan manset yang bisa dikembungkan yang

dipakai secara eksternal kemudian dihubungkan dengan pengukur

tekanan (Maehaendra, Basyar & Ardianto, 2016).

Tekanan darah seseorang bisa diukur dengan tidak langsung

menggunakan alat sphygmomanometer, dibagi menjadi 3 kategori atau

kelompok yaitu tekanan darah rendah (hipotensi), tekanan darah

normal (normotensi) serta tekanan darah tinggi (hipertensi)

(Gunawan, 2007 dalam Suri, 2017).

b. Prosedur Pengukuran Tekanan Darah

Berdasarkan Susilo (2013) dalam Suri (2017) prosedur pengukuran

tekanan darah menggunakan sphygmomanometer manual yaitu :

1) Responden duduk dengan rileks dan tenang sekitar 5 menit

2) Pemeriksa menjelaskan manfaat dari rileks, agar nilai tekanan

darah saat pengukuran dihasilkan nilai yang stabil

3) Manset dipasangkan pada salah satu lengan dengan jarak sisi

manset paling bawah 2,5 cm dari siku dan rekatkan dengan baik

4) Tangan responden diposisikan diatas meja telapak tangan terbuka

keatas dan sejajar dengan jantung

5) Lengan yang terpasang manset harus bebas dari lapisan apapun

6) Nadi kemudian diraba pada lipatan lengan, pompa alat hingga

denyut nadi tidak teraba kemudian dipompa lagi sampai tekanan

meningkat 30 mmHg

7) Stetoskop ditempelkan pada perabaan denyut nadi, lepaskan

pemompa perlahan-lahan dan dengarkan bunyi denyut nadi


30

8) Tekanan darah sistolik yaitu nilai tekanan ketika denyut nadi yang

pertama terdengar dan tekan darah diastolik ketika bunyi denyut

nadi tidak terdengar kemudian mencatat hasil di kertas

9) Pengukuran sebaiknya dilakukan 2x dengan selang waktu 2 menit

10) Jika terdapat perbedaan hasil pengukuran sebesar 10 mmHg atau

lebih dilakukan pengukuran ke-3

11) Apabila responden tidak mampu duduk, pengukuran dapat

dilakukan dengan posisi baring dan cacat kondisi tersebut

dilembar catatan.

Gambar 2.1 Metode Auskultasi untuk Mengukur Tekanan


Darah Sumber : Guyton dan Hall (2008)

c. Hal yang diperhatikan saat mengukur tekanan darah

Berdasarkan Sustrani (2004) dalam Mutiarawati (2009)

menyatakan bahwa hal-hal yang sebaiknya diperhatikan sebelum

melakukan pengukuran tekanan darah yaitu :

1) Menghindari minum kopi atau merokok ± 30 menit sebelum

pengukuran dilakukan

2) Posisi duduk bersandar selama 5 menit dengan kaki

menyentuh lantai dan tangan sejajar dengan jantung (istirahat)

3) Memakai pakaian dengan lengan pendek


31

4) Sebelum diukur, sebaiknya buang air kecil terlebih dahulu

karena kandung kemih yang banyak dapat mempengaruhi

pengukuran

Tekanan darah juga dipengaruhi dengan kondisi saat

pengukuran. Untuk seseorang yang baru bangun tidur, akan

diketahui tekanan darah paling rendah, yang dinamakan tekanan

darah basal. Tekanan darah yang diukur setelah berjalan kaki atau

aktivitas fisik lain akan mendapatkan hasil angka yang lebih tinggi

dan disebut tekanan darah kasual. Sebelum melakukan

pengukuran tekanan darah, sebaiknya istirahat dengan cara duduk

santai minimal 10 menit, dan tidak dibolehkan merokok atau

minum kopi karena akan menyebabkan tekanan darah sedikit naik

(Suri, 2017).

2.3. Aktivitas Fisik

2.3.1 Definisi Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik adalah semua gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot

rangka yang membutuhkan pengeluaran tenaga energi (Iswahyuni, 2017).

Aktivitas fisik merupakan semua gerakan anggota tubuh yang

membutuhkan energi untuk melakukannya, seperti berjalan, menari,

mengasuh cucu, dan lain-lain. Aktifitas fisik yang terancang dan terstruktur

yang melibatkan gerakan anggota tubuh berulang-ulang dan dilakukan

untuk meningkatkan kesehatan jasmani yang disebut olahraga Aktivitas

fisik yang dilakukan secara rutin sangat penting dalam mempertahankan

keadaan kesehatan dan kebugaran pada lansia (Farizati, 2002 dalam

Khomarun, Wahyuni, Nugroho, 2013).


32

Aktivitas fisik merupakan salah satu faktor terjadinya hipertensi yang

dapat dikontrol, aktivitas tersebut terdiri dari aktivitas sehari-hari yaitu

berdiri, bekerja serta berjalan (Wadani, Roosita, 2008 dalam Astuti, 2016).

Aktivitas fisik merupakan pergerakan anggota tubuh yang mengakibatkan

pengeluaran tenaga yang sangat penting dalam pemeliharaan kesehatan

fisik dan mental. Dan mempertahankan kualitas hidup agar tetap sehat dan

bugar setiap hari. Tetap aktif, artinya diharapkan lansia hidup secara

sederhana, santai, aktif dalam berorganisasi, aktif dalam kegiatan sosial,

berkarya, selalu mengembangkan hobi dan rajin berolahraga, dalam

melaksanakan aktivitas harus disesuaikan dengan kemampuan, serta

bergerak secara teratur atau kontinu (Xavier, Prastiwi, Andinawati, 2017).

Beberapa langkah penting untuk menjadi lansia yang sehat dan

sejahtera adalah dengan melaksanakan pola makan yang sehat, olahraga

kesehatan yang adekuat (cukup) dan teratur, menghindari hal-hal buruk

seperti merokok, minum alkohol juga menghindari zat-zat polutan

berbahaya lainnya serta berusaha membebaskan diri dari berbagai kegiatan

keagamaan dan sosial (bersosialisasi) dengan masyarakat lingkungan

(Giriwijoyo & Sidik, 2012).

2.3.2 Jenis Aktivitas Fisik

Berdasarkan Fatmah (2010) dalam Wardani (2016) ada tiga jenis

aktivitas fisik yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kesehatan

tubuh, yaitu :

a. Ketahanan (endurance) yaitu berjalan kaki, berenang, senam, lari ringan,

bermain tenis, berkebun dan bekerja di taman.

Aktivitas yang bersifat sebagai ketahanan yang mampu

membantu kesehatan jantung dan paru-paru, otot dan sistem sirkulasi


33

darah selalu sehat serta menjadikan kita lebih bertenaga. Untuk

mendapatkan ketahanan maka aktivitas fisik yang dilakukan selama

30 menit setiap hari (4-7 hari per minggu) (Pusat Promosi Kesehatan

Dapartement Kesehatan Republik Indonesia, 2006 dalam Nafidah,

2014).

Gambar 2.2 Aktifitas fisik Ketahanan (endurance) Sumber :


Ambardini (2009)

b. Kelenturan (flexibility) yaitu peregangan, senam taichi, yoga, mencuci

baju, mengendarai mobil dan mengepel lantai.

Aktivitas fisik yang bersifat kelenturan mampu membantu

pergerakan lebih mudah, mempertahankan otot tubuh agar selalu lemas

(lentur) dan sendi berfungsi dengan baik. Untuk mendapatkan

kelenturan maka aktivitas fisik yang dilakukan selama 30 menit setiap

hari (4-7 hari per minggu) (Pusat Promosi Kesehatan Dapartement

Kesehatan Republik Indonesia, 2006 dalam Nafidah, 2014).

Gambar 2.3 Aktifitas fisik Kelenturan (flexibility)


Sumber : Ambardini (2009)

c. Kekuatan (strength) yaitu push-up, naik turun tangga, membawa

belanjaan dan fitness.


34

Aktivitas fisik yang bersifat untuk kekuatan mampu membantu kerja otot tubuh

dalam menahan sesuatu beban yang diterima, tulang selalu kuat dan

mempertahankan bentuk tubuh serta membantu meningkatkan pencegahan

terhadap penyakit seperti osteoporosis. Untuk mendapatkan kelenturan maka

aktivitas fisik yang dilakukan selama 30 menit setiap hari (2-4 hari per minggu)

(Pusat Promosi Kesehatan Dapartement Kesehatan Republik Indonesia, 2006

dalam Nafidah, 2014).

Gambar 2.4 Aktifitas fisik Kekuatan (strength)


Sumber : Ambardini (2009)

2.3.3 Manfaat Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik dikatakan mampu memperbaiki komposisi tubuh, yaitu

lemak tubuh, kesehatan tulang, massa otot, dan meningkatkan daya tahan,

massa otot dan kekuatan otot, serta fleksibilitas sehingga lansia akan lebih

sehat dan bugar serta risiko jatuh berkurang. Aktivitas fisik dikatakan

mampu memperlancar sistem pernafasan, dan meningkatkan sistem imun,

sedangkan kerusakan jaringan paru sepertinya merupakan proses yang

ireversibel. Aktivitas fisik dikatakan juga mampu menurunkan risiko

penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit jantung (Kurnianto,

2015).

Manfaat aktivitas fisik mampu menaikkan kerja dan fungsi jantung,

paru serta pembuluh darah yang ditandai dengan denyut nadi istirahat

menurun, penumpukan asam laktat berkurang, meningkatkan HDL


35

kolesterol serta mengurangi aterosklerosis (Harianto, 2010 dalam Andria,

2013). Manfaat aktivitas fisik pada lansia antara lain mampu

memperpanjang usia, menyehatkan jantung, otot, dan tulang, menjadikan

lansia lebih mandiri, mencegah obesitas, mengurangi kecemasan dan

depresi, dan mendapatkan kepercayaan diri yang lebih besar. Dengan

berolahraga secara teratur adalah salah satu alternatif yang efektif dan

aman dalam meningkatkan atau mempertahankan kebugaran dan

kesehatan jika dilakukan secara benar (Kurnianto, 2015).

Berdasarkan Nina (2001) dalam Ambardini (2009) menyatakah bahwa

secara fisiologis olahgara atau aktivitas fisik mampu meningkatkan

kapasitas aerobik, kekuatan, fleksibilitas dan keseimbangan. Secara

psikologis mampu meningkatkan mood, mengurangi resiko lupa, dan

mencegah terjadinya depresi. Sedangkan secara sosial mampu mengurangi

ketergantungan terhadap orang lain, mendapat banyak teman serta

meingkatkan produktivitas.

Pada lansia, ada penurunan massa otot, perubahan distribusi darah ke

otot, penurunan PH dalam sel otot, otot menjadi lebih kaku, dan ada

penurunan kekuatan otot. Olahraga dapat meningkatkan kekuatan otot,

massa otot, perfusi otot, dan kecepatan konduksi saraf ke otot

(Ambardini, 2009).

2.3.4. Aktivitas Fisik Pada Lansia

Aktivitas fisik yang baik untuk kesehatan lansia sebaiknya memeunuhi

kriteria FITT (frequency, intensity, time, type). Frekuensi merupakan

seberapa sering aktivitas dilakukan, berapa hari dalam seminggu. Intensitas

merupakan seberapa berat suatu aktivitas dilakukan.

Biasanya diklasifikasikan menjadi intensitas rendah, sedang, dan tinggi.

Waktu merupakan durasi latihan, seberapa lama suatu aktivitas dilakukan


36

dalam sekali pertemuan. Sedangkan jenis aktivitas merupakan

macammacam aktivitas fisik yang dilakukan (Ambardini, 2009).

Aktivitas fisik yang sering dilakukan dari kebanyakan lansia adalah

aktivitas aerobik, dan juga disertai dengan latihan kekuatan, terutama pada

punggung, kaki, lengan dan perut. Juga latihan kelenturan dalam

memperbaiki dan menjaga daerah geraknya, serta aktivitas untuk melatih

keseimbangan dan koordinasi (Sumosardjuno, 1991 dalam Kurnianto,

2015).

Berdasarkan Maryam et all, (2008) macam-macam latihan fisik yang

baik bagi lansia, yaitu :

a. Pekerjaan rumah dan berkebun, kegiatan ini dapat memberikan

suatu latihan yang dibutuhkan untuk menjaga kesehatan jasmani.

b. Berjalan-jalan, sangat baik untuk meregangkan otot-otot kaki dan

bila jalannya makin lama makin cepat akan bermanfaat untuk daya

tahan tubuh.

c. Jalan cepat adalah olahraga lari yang bukan untuk perlombaan dan

dilakukan dengan kecepatan dibawah 11 km/jam atau dibawah 5,5

menit/km.

d. Renang adalah olahraga yang paling banyak dilakukan untuk

menjaga kesehatan, dikatakan demikian karena pada saat berenang

hampir semua otot tubuh bergerak, sehingga kekuatan otot semakin

meningkat namun, olahraga renang kurang diminati dan segan

melakukannya mengingat keadaan kulit lansia atau pakaian yang

harus digunakan.

e. Bersepeda baik bagi penderita arthritis, karena tidak menyentuh

lantai yang akan menyebabkan sakit pada sendi-sendinya seperti

jenis latihan jalan cepat.


37

f. Senam, manfaat melakukan senam secara teratur dan benar dalam

jangka waktu yang cukup adalah sebagai berikut :

1) Mempertahankan atau meningkatkan tingkat kesegaran jasmani

yang baik

2) Mengadakan koreksi terhadap kesalahan sikap dan gerak

3) Membentuk sikap dan gerak

4) Memperlambat proses degenerasi karena perubahan usia

5) Membentuk kondisi fisik (kekuatan otot, kelenturan,

keseimbangan, ketahanan, keluwesan dan kecepatan)

6) Membentuk berbagai sikap kejiwaan (membentuk keberanian,

kepercayaan diri, kesiapan diri dan kesanggupan bekerja sama)

7) Memberikan rangsangan bagi saraf-saraf yang


lemah,

khususnya bagi lansia

8) Memumpuk rasa tanggung jawab terhadap kesehatan diri

sendiri dan masyarakat

2.3.5 Aktifitas Fisik Yang Membahayakan Lansia

Berdasarkan Maryam et all., (2008), olahraga yang membahayakan

lansia, yaitu :

a. Sit-up dengan kaki lurus. Latihan seperti ini akan menyebabkan

pemendekan otot punggung bagian bawah dan paha. Akhirnya,

menyebabkan pinggul terangkat ke atas secara permanen dan

lengkung lordosis menjadi lebih banyak, sehingga menimbulkan

masalah pada pinggang.

b. Meraih ibu jari kaki. Latihan ini selain tidak dapat mencapai tujuan,

yaitu mengecilkan perut, juga kurang baik karena dapat menyebabkan

cedera. Tekanan yang cukup berat akan menimpa vertebra lumbaris


38

yang akhirnya menyebabkan keluhan-keluhan pada punggung bagian

bawah.

c. Mengangkat kaki. Mengangkat kaki pada posisi tidur telentang sampai

kaki terangkat ± 15 cm dari lantai, kemudian ditahan beberapa saat

selama mungkin latihan ini tidak baik, karena dapat menyebabkan rasa

sakit pada punggung bagian bawah (low back pain) dan menyebabkan

terjadinya lordosis yang dapat menyebabkan gangguan pada

punggung.

d. Melengkungkan punggung. Gerakan hiperekstensi banyak dilakukan

dengan tujuan menegangkan otot perut agar otot perut menjadi lebih

kuat hal ini kurang benar, karena dengan melengkungkan punggung

tidak akan menguatkan otot perut, melainkan melemahkan persendian

tulang punggung.

Bagi lansia yang telah diketahui menderita hipertensi

dianjurkan agar menghindari olahraga berat yang bersifat anaerobic

(Andria, 2013).

2.3.6 Pengukuran Aktifitas Fisik

Definisi

Physical Activities Scale for the Elderly (PASE) adalah

kuesioner yang bertujuan untuk menilai aktivitas fisik pada lanjut

usia. PASE terdiri dari tiga macam aktivitas, yaitu leisure time activity

(aktivitas waktu luang), house hold activity (aktivitas rumah tangga)

dan work related activity (aktivitas relawan) (Nafidah, 2014).

Kuesioner Physical Activities Scale for the Elderly (PASE)

digunakan dan dapat dipercaya karena kuesioner ini sesuai dengan

keadaan lansia yang berada di panti (Nafidah, 2014)


39

Kuesioner Physical Activities Scale for the Elderly (PASE)

Tabel 2.5 Kuesioner Physical Activities Scale for the Elderly


(PASE)
Pertanyaan 0 1 2 3
1. Melakukan aktivitas
duduk?
2. Berjalan-jalan di dalam
kamar atau diluar kamar ?
3. Menyapu kamar atau
sekitarnya ?
4. Mengepel lantai ?
5. Mencuci piring atau
pakaian ?
6. Mengikuti senam ?
7. Melakukan ibadah ?
8. Membawa makan dari
dapur ke kamar ?
Sumber : Nafidah (2014)

c. Cara Pengukuran

Berdasarkan Nafidah (2014) menyatakan bahwa kuesioner

Physical Activities Scale for the Elderly (PASE) diisi berdasarkan

aktivitas fisik yang dilakukan selama 7 hari terakhir dengan

memberikan tanda (√) pada kolom yang sesuai dengan keadaan lansia.

Dimana jawaban responden menggunakan rentang skala 0 sampai 3

yaitu, 0 (tidak pernah), 1 (jarang), 2 (kadang-kadang), dan 3 (sering).

Kemudian penentuan jawaban kuesioner menggunakan nilai mean

sebagai cut of point. Kemudian dikategorikan dalam 2 kategori yaitu :

1) < 12 = Aktivitas fisik kurang

2) ≥ 12 = Aktivitas fisik baik

2.4. Hubungan Aktivitas Fisik Dengan Tekanan Darah

2.4.1 Definisi
40

Aktivitas fisik erat kaitannya dengan tekanan darah seseorang,

kurangnya aktivitas fisik dapat meningkatkan frekuensi denyut jantung,

sehingga menyebabkan jantung bekerja lebih keras dalam memompa darah

yang pada akhirnya mengakibatkan naiknya tekanan darah

(Anggara dan Prayitno, 2013).

2.4.2 Manfaat

Manfaat aktivitas fisik mampu menaikkan kerja dan fungsi jantung,

paru serta pembuluh darah yang ditandai dengan denyut nadi istirahat

menurun, penumpukan asam laktat berkurang, meningkatkan HDL

kolesterol serta mengurangi aterosklerosis (Harianto, 2010 dalam Andria,

2013). Aktivitas fisik juga melambatkan arterosklerosis dan menurunkan

resiko serangan jantung dan stroke, aktivitas fisik dapat meningkatkan

aliran darah ke jantung, menjaga elastisitas arteri dan fungsi arterial

(Kowalski, 2010).

Selain itu aktivitas fisik yang tinggi mampu merangsang pelepasan

hormon endorfin yang menyebabkan efek euphoria dan relaksasi otot

sehingga pengontrolan tekanan darah akan selalu stabil (Kokkinos, et al,

2009 am Astuti, 2016).

2.4.5 Fisiologi

Aktivitas fisik yang dilakukan secara teratur dapat menguatkan otot

jantung yang mengakibatkan jantung dapat memompa lebih banyak darah

dengan usaha yang minimal. Sehingga, kerja jantung menjadi lebih ringan.

Aktivitas fisik juga dapat meningkatkan metabolisme lemak dengan

penurunkan kadar lipoprotein densitas rendah (LDL) dan meningkatkan

kadar lipoprotein densitas tinggi (HDL). Sehingga mengakibatkan

hambatan pada dinding arteri menjadi berkurang dan kekuatan aliran darah
41

menjadi normal. Kemudian tekanan darah akan dapat menurun (Dinata,

2015).

Salah satu sistem tubuh yang mengontrol tekanan darah adalah

baroreseptor yang berarti merasakan nilai tekanan darah. Ketika tekanan

darah turun, baroreseptor bereaksi dengan meningkatkan denyut jantung

dan respon sistem saraf simpatik, sehingga pembuluh darah berkontraksi

dan tekanan darah dipertahankan (Dinata, 2015). Menurut Townsend

(2010) hipertensi terjadi karena baroreseptor mengatur ulang nilai dasar

ditingkat yang lebih tinggi dan mempertahankan nilai tekanan darah yang

lebih tinggi tersebut. Dengan latihan peregangan secara teratur dapat

mengatur ulang nilai baroreseptor ketingkat yang lebih rendah dan lebih

sehat (Dinata, 2015).

BAB III

METODE PENELITIAN
42

3.1. Desain Penelitian

Desain penelitian adalah keseluruhan dari semua rencana yang dibuat

dalam menjawab pertanyaan penelitian dan menghindari beberapa kesulitan

yang ada selama proses penelitian (Sugiyono, 2010).

Penelitian yang dilakukan ini bersifat deskriptif analitik dengan

menggunakan pendekatan observasional, karena melihat gambaran aktivitas

fisik di Panti Jompo Kab Langkat untuk menganalisa Tekanan darah pada

Lansia. Adapun pendekatan yang digunakan adalah Cross Sectional yaitu data

antara variabel independen dan dependen akan dikumpulkan dalam waktu

yang bersamaan. Penelitian ini agar mempelajari dinamika korelasi anatar

faktor resiko dengan efek, dengan menggunakan pendekatan, observasi atau

pengumpulan data sekaligus pada suatu saat atau point time approach

(Notoatmodjo, 2010).

Aktivitas Fisik Tekanan Darah


Pada Lansia (Y)
(X)

Skema 3.1 Desain penelitian

3.2. Kerangka Kerja Penelitian 41


Kerangka penelitian adalah tahap-tahap dalam aktivitas kelompok

ilmiah, berawal dari penetapan populasi, sampel dan seterusnya, merupakan

kegiatan dari awal penelitian yang akan dilakukan (Suryawan, 2014).

Observasi analitik Dengan Pendekatan CrossSectional


43

Populasi : Lansia Di PAnti Jompo Kab langkat

Teknik sampling : Non probability sampling : total sampling

Sampel : 66 Lansia

Variabel Indenpenden Variabel Dependen

Aktifitas Fisik Tekanan Darah

Instrumen :kuesioner Instrument :


Physical activities for Sphygmomanometer
The Elderly (PASE) Dan stetoskop

Skala : Nominal Skala : Ordinal

Analisis Data :Uji Normalitas Kormogorov-smirnov dan Uji ChiSquare

Ho : Tidak ada hubungan aktifitas fisik dengan tekanan darah pada lansia di

panti jompo Kab Langkat

Ha : Ada hubungan aktifitas fisik dengan tekanan darah pada lansia di panti

jompo Kab Langkat

3.3 Populasi, Sampel dan Sampling

1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang berisi dari objek atau subjek

yang memiliki kualitas dan karakteristik tertentu yang ditentukan oleh

peneliti agar dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono,


44

2015). Populasi dalam penelitian ini adalah semua lansia yang berada di

Panti Jompo Kab Langkat.

2. Sampel dan Teknik Sampling

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dipunyai dari

populasi tersebut (Sugiyono, 2015). Sampel adalah bagian dari populasi

terjangkau yang memenuhi kriteria dari penelitian. Sampel dalam

penelitian ini adalah lansia yang ada di Panti Jompo Kab Langkat.

Teknik sampling adalah teknik dalam pengambilan sampel (Sugiyono,

2015). Teknik sampling yang digunakan peneliti dalam penelitian ini

adalah non probability sampling dengan bentuk total sampling. Alasan

pengambilan total sampling karena berdasarkan Sugiyono (2007) jumlah

populasi yang kurang dari 100 orang, seluruh populasi dijadikan sampel

penelitian keseluruhan. Sampel yang diambil dari penelitian ini adalah

semua lansia yang ada di Panti Jompo Kab Langkat.

a. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian

suatu populasi yang akan diteliti, adapun kriteria sampel yang akan

diteliti yaitu :

1) Usia 60 tahun keatas.


2) Dalam kondisi sadar dan memiliki kognitif yang baik, sehingga

mampu berkomunikasi dengan baik.

3) Bersedia menjadi responden,

b. Kriteria Ekslusi

Kriteria ekslusi adalah keadaan yang menyebabkan subjek tidak

memenuhi kriteria inklusi dan tidak dapat dilakukan penelitian, adapun

kriteria ekslusi yaitu :

1) Memiliki gangguan kardiovaskuler


45

3.4 Variabel Penelitian

1. Variabel Independen (Bebas)

Variabel bebas (independent variable) atau disebut juga variabel

stimulus, predictor dan antecedent adalah variabel yang mempengaruhi

atau yang menjadi faktor perubahan atau munculnya variabel dependen

(Sugiyono, 2015). Pada penelitian ini variabel independen adalah

Aktivitas Fisik.

2. Variabel Dependen (Terikat)

Variabel terikat (dependent variable) atau disebut juga variabel output,

kriteria dan konsikuen variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat,

karena dengan adanya variabel bebas (Sugiyono, 2015).

Pada penelitian ini variabel dependen adalah Tekanan Darah pada Lansia.

3.5 Definisi Operasional


Definisi operasional merupakan poin yang mendefinisikan variabel

secara operasional berdasarkan karakteristik yang diteliti, memungkinkan

peneliti dalam melakukan observasi atau pengukuran secara tepat terhadap

suatu objek atau fenomena yanga akan diteliti (Nursalam, 2015).

Tabel 3.5 Definisi Operasional


NO Variabel Definisi Operasional Instrumen Skala Data
1. Variabel Aktivitas fisik Kuesioner Nominal
Independen merupakan pergerakan Physical < 12 = Aktifitas
: Aktifitas anggota tubuh lanjut Activities Scale Kurang
Fisik usia yang meliputi for the Elderly
(PASE) ≥ 12 = Aktifitas Baik
ketahanan, kelenturan
dan kekuatan otot.
46

2. Variabel Sphygmomanomet Ordinal


Dependen : er Manual, Normal
stetoskop dan
Tekanan
Alat tulis • Sistol <120
Darah
• Diastol <80
Prehipertensi
• Sistol 120-139
• Diastol 80-89
Hipertensi Stage 1
• Sistol 140-159
• Diastol 90-99
Hipertensi Stage 2
• Sistol 160
• Diastol 100
Hipertensi Stage 3
• Sistol >180
• Diastol >110

3.5 Tempat Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Panti Jompo Kab Langkat yaitu Panti Lansia
Binjai Cengkeh turi .

3.6 Waktu Penelitian


Pengambilan data dilakukan selama 4 minggu pada tanggal 5 Apri -

15 Mei 2022.

3.7 Etika Penelitian


Dalam melakukan penelitian, peneliti perlu membawa rekomendasi dan

institusi untuk pihak lain dengan melakukan pengajuan permohonan ijin

kepada lembaga tempat dilakukannya penelitian yang diajukan oleh penulis.

Setelah memiliki persetujuan kemudian barulah peneliti dapat melakukan

penelitian dengan menekankan masalah etika sebagai berikut :

3.7.1. Informed Consent

Informed Consent merupakan bentuk persetujuan meliputi peneliti dan

responden dengan cara memberikan lembar persetujuan untuk menjadi


47

responden, yaitu pada saat sebelum melakukan pengambilan data

penelitian, peneliti mengarahkan ke calon responden tentang pengisian

lembar persetujuan, tentang tujuan, manfaat serta dampak terhadap subjek

peneliti selama proses pengumpulan data. Apabila calon responden

bersedia untuk diteliti maka calon responden harus menandatangani lembar

persetujuan menjadi responden penelitian yang sudah disiapkan, dan

apabila calon responden tidak bersedia untuk menjadi responden penelitian

maka tidak boleh ada paksaan dan harus menghormati keputusan calon

responden.

3.7.2. Anonymity

Anonymity adalah tanpa nama, yang artinya dalam pengolahan data,

peneliti tidak mencantumkan nama responden secara keseluruhan pada

lembar observasi, tetapi bisa menggunakan kode atau inisial nama

responden dalam menjaga kerahasiaan identitas responden.

3.7.3. Confidentiality

Confidentiality adalah kerahasiaan informasi, keseluruhan informasi

responden yang sudah dikumpulkan oleh peneliti harus dijamin

kerahasiaannya, hanya kelompok data tertentu yang akan dikumpulkan

pada hasil riset.

3.8. Alat Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode

pengisian kuesioner Physical Activities Scala for the Elderly (PASE) dan

Spygmomanometer manual serta Stetoskop.

1. Kuesioner Physical Activities Scala for the Elderly (PASE)

a. Cara Pengukuran
48

Berdasarkan Nafidah (2014) menyatakan bahwa kuesioner

Physical Activities Scala for the Elderly (PASE) diisi berdasarkan

aktivitas fisik yang dilakukan lansia selama 7 hari terakhir dengan

memberikan tanda (√) pada kolom yang sesuai dengan kondisi lansia.

Yaitu jawaban responden menggunakan rentang skala 0 sampai 3, yaitu

0(tidak pernah), 1 (jarang), 2 (kadang-kadang) dan 3 (sering).

Penentuan jawaban kuesioner menggunakan nilai mean sebagai cut of

point.

b. Klasifikasi Physical Activities Scala for the Elderly (PASE)

1) <12 = Aktivitas fisik kurang

2) ≥12 = Aktivitas fisik baik

2. Spygmomanometer Manual dan Stetoskop

a. Cara Pengukuran

Berdasarkan Susilo (2013) prosedur pengukuran tekanan darah

menggunakan sphygmomanometer manual yaitu :

1) Responden dalam posisi duduk dengan keadaan rileks dan tenang

sekitar 5 menit.

2) Pemeriksa menjelaskan manfaat dari rileks, agar nilai tekanan

darah saat pengukuran mendapatkan nilai yang stabil.

3) Manset diletakkan pada salah satu lengan dengan jarak sisi manset

paling bawah 2,5 cm dari siku dan direkatkan dengan baik dan

benar.

4) Tangan responden diposisikan diatas meja atau posisi santai,

kemudian telapak tangan terbuka keatas dan sejajar dengan jantung.

5) Lengan yang terpasang manset harus bebas dari lapisan apapun.


49

6) Nadi kemudian diraba pada lipatan tangan, kemudian dipompa alat

hingga denyut nadi tidak teraba kemudian dipompa lagi sampai

tekanan meningkat 30 mmHg.

7) Stetoskop diletakkan pada perabaan denyut nadi, kemudian

pompaan dilepaskan secara perlahan-lahan dan dengarkan bunyi

denyut nadi.

8) Tekanan darah sistolik yaitu nilai tekanan ketika denyut nadi yang

pertama kali terdengar dan tekanan darah diastolik ketika bunyi

denyut tidak terdengar atau redup, kemudian menulis hasil nya

dikertas.

9) Pengukukuran sebaiknya dilakukan dalam 2 kali dengan selang

waktu 2 menit.

10) Jika terdapat perbedaan hasil pengukuran sebesar 10 mmHg atau

lebih, maka dilakukan pengukuran ke 3.

11) Apabila responden tidak mampu untuk duduk, pengukuran dapat

dilakukan dengan posisi berbaring dan catat kondisi tersebut

dilembar catatan.

3. Klasifikasi Tekanan Darah

Tabel 3.8 Klasifikasi Tekanan Darah


Klasifikasi Tekanan Darah Tekanan Darah
Tekanan Darah Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal <120 dan <80
Prehipertensi 120-139 atau 80-89
Hipertensi Stage 1 140-159 atau 90-99
Hipertensi Stage 2 160 atau 100
Hipertensi Stage 3 >180 >110
50

Sumber: American Heart Association (AHA), 2014 J.


Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data adalah tahap yang paling utama dalam

penelitian, karena tujuan utama dari sebuah penelitian adalah mendapatkan

data (Sugiyono, 2015).

Jenis data dalam penelitan ini yaitu data primer, diperoleh melalui

observasi, pengukuran dan kuesioner. Dalam pengumpulan data, tahap

pertama peneliti melakukan observasi dalam memperoleh gambaran aktivitas

yang dilakukan lansia di Panti Jompo Kab Langkat dan pengukuran tekanan

darah. Pada saat penelitian peneliti dapat menyebarkan kuesioner mengenai

analisa aktivitas fisik yang berhubungan dengan tekanan darah pada lansia dan

pengukuran tekanan darah.

Kegiatan yang dilakukan dalam pengambilan data sesuai dengan

langkah-langkah berikut :

1. Persiapan Penelitian

a. Menyusun proposal penelitian

b. Melakukan studi pendahuluan di Panti Jompo Kab Langkat yaitu

Panti Lansia Binjai Cengkehturi

Koordinasi terlebih dahulu kepada pengurus Panti Jompo Kab Langkat


yaitu Panti Panti Lansia Binjai Cengkehturi

c. Mempersiapkan surat ijin penelitian yang akan dimasukan kepada

pihak yang berkepentingan

d. Mempersiapkan instrumen penelitian yang akan digunakan peneliti

dalam memperoleh data yang diperlukan dengan menggunakan

informed consent serta alat yang akan dibutuhkan dalam penelitian.

2. Pelaksanaan Penelitian

a. Peneliti sudah mendapatkan ijin dalam melakukan penelitian pada

lansia yang bersangkutan


51

b. Memastikan bahwa responden bersedia untuk menjadi responden

dalam penelitian

c. Koordinasi dengan responden tentang rancangan pelaksanaan

pengambilan data di lapangan, agar saat pembagian kuesioner dan

pengukuran tekanan darah berjalan dengan lancar

d. Setelah selesai memberikan ucapan terima kasih pada responden atas

waktu dan kerja sama yang diberikan

e. Hasil observasi kemudian di tabulasi, dianalisis dan disimpulkan

hasilnya.

3.9. Pengolahan Data


Langkah-langkah dalam melakukan analisa data dalam penelitian ini

sebagai berikut :

1. Editing

Data yang sudah dikumpulkan dapat di olah dengan baik dan benar

sehingga bisa menghasilkan informasi yang benar. Dilakukan dengan cara

memeriksa dan mengamati kelengkapan dalam pengisian. Sehingga jika

terjadi kesalahan atau jawaban yang belum lengkap bias ditelusuri

(Notoatmodjo, 2005).

2. Coding

Mengklasifikasikan jawaban-jawaban dari para responden ke dalam

bebrapa kategori. Dengan cara memberikan kode/tanda berbentuk anka

pada masing-masing jawaban dalam memudahkan pengolahan data.

3. Entry

Memasukan data dalam program komputer agar dilakukan pengolahan data

sesuai dengan variabel yang sudah ada (Septiawan, 2013). Peneliti

melakukan entry data dengan memasukkan nama inisial responden, usia,


52

jenis kelamin, indeks massa tubuh, hasil kuesioner serta hasil pengukuran

tekanan darah.

4. Tabulasi Data

Pengelompokan data sesuai dengan tujuan dari penelitian, kemudian

menyusunnya dalam tabel dalam mempermudah untuk pembacan hasil

penelitian (Septiawan, 2013).

3.10. Analisa Data

Analisis data adalah sebuah proses setelah seluruh data dari responden atau

sumber data lain terkumpul. Kegiatan dalam analisa data merupakan

mengelompokkan data berdasarkan variabel dan jenis responden, kemudian

mentabulasi data berdasarkan variabel dari seluruh responden, menyajikan

data tiap variabel yang diteliti, melakukan perhitungan dalam menjawab

rumusan masalah dan melakukan perhitungan dalam menguji hipotesis yang

telah ditentukan (Sugiyono, 2015).

Analisa statistik yang digunakan antara lain :

1. Analisa Univariat

Analisa univariat atau analisis deskriptif bertujuan untuk

menjelaskan karakteristik untuk setiap variabel penelitian, bentuk

analisis ini tergantung dari jenis data yang digunakan (Notoatmodjo,

2010). Analisa univariat dalam penelitian ini bertujuan untuk

menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap variabel

penelitian berupa usia, jenis kelamin, indeks massa tubuh, aktivitas

fisik dan tekanan darah

2. Analisa Bivariat
Analisa bivariat ini digunakan dalam menganalisa hubungan antara

variabel terikat dan variabel bebas (Notoatmodjo, 2012).

a. Uji Normalitas
53

Sebelum melakukan analisa data dengan uji hipotesa, data akan

diuji normalitasnya terlebih dahulu. Tujuan dari uji normalitas ini

sendiri yaitu untuk mengetahui distribusi sebuah data mendekati

distribusi normal atau tidak normal (Santoso,

2010). Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan uji

Kolmogorov-Smirnov. Uji Kolmogorov-Smirnov digunakan ketika

jumlah sampel berjumlah besar (>50 orang). Kesimpulan dari hasil

analisis data dikatakan berdistribusi normal jika p>0,05 dan

berdistribusi tidak normal jika p<0,05 (Nisfiannoor, 2009).

b. Uji Hipotesa

Dalam penelitian ini analisis bivariat digunakan untuk

menganalisa hubungan aktivitas fisik dengan tekanan darah pada

lansia di Panti Jompo Kab Langkat . Uji yang digunakan

menggunakan uji Chi Square.


54

Anda mungkin juga menyukai