Anda di halaman 1dari 31

PENGARUH TERAPI PIJAT REFLEKSI KAKI TERHADAP PENURUNAN

TEKANAN DARAH PADA LANSIA DENGAN HIPERTENSI DI POSYANDU


LANSIA DESA KARANGMALANG KECAMATAN BOBOTSARI
KABUPATEN PURBALINGGA

PROPOSAL

Diajukan guna memenuhi sebagian persyaratan menyelesaikan pendidikan S1


Keperawatan di
Universitas Harapan Bangsa

Oleh :
IIS LUTVITANINGSIH
NIM. 190203128

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA
2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun
ke atas. Lansia merupakan tahap akhir dari proses penuaan (Kholifah, 2016).
Proses penuaan adalah suatu proses alamiah yang pasti akan dialami oleh
setiap orang. Sejalan dengan peningkatan usia harapan hidup, semakin
kompleks pula masalah kesehatan yang dihadapi. Secara alamiah, sel-sel
tubuh mengalami penurunan dalam fungsinya akibat proses penuaan (Izhar,
2017).
Berdasarkan hasil Statistik Penduduk Lanjut Usia tahun 2019
menunjukkan bahwa jumlah lanjut usia pada tahun 2019, persentase lansia
mencapai 9,60 % atau sekitar 25,64 juta orang. Data Susenas Maret2019
menunjukkan bahwa provinsi dengan persentase penduduk lansia terbanyak
pada tahun 2019 adalah Daerah Istimewa Yogyakarta (14,50%), Jawa Tengah
(13,36%), Jawa Timur (12,96%), Bali (11,30%), dan Sulawesi Utara (11,15%)
(Badan Pusat Statistik, 2019).
Hipertensi adalah suatu keadaan kronis yang ditandai dengan
meningkatnya tekanan darah pada dinding pembuluh darah arteri. Seseorang
dikatakan mengalami hipertensi jika pemeriksaan tekanan darah menunjukkan
hasil di atas 140/90 mmHg (Lukman, Putra dan Habiburahman, 2020).
Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan salah satu contoh penyakit
degeneratif. Penyakit darah tinggi atau hipertensi adalah suatu peningkatan
abnormal tekanan darah dalam pembuluh darah arteri secara terus menerus
lebih dari satu periode. Hipertensi tidak secara langsung membunuh
penderitanya, akan tetapi hipertensi memicu munculnya penyakit lain yang
mematikan (Izhar, 2017).
Penyakit ini menjadi salah satu masalah utama dalam dunia
kesehatan masyarakat di Indonesia maupun dunia. Menurut catatan Badan
Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2011 ada 1 milyar orang di dunia
menderita hipertensi dan 2/3 di antaranya berada di negara berkembang.
WHO pada tahun 2013, menyebutkan bahwa di dunia terdapat 17.000 orang
per tahun meninggal akibat penyakit kardiovaskuler dimana 9.400 orang di
antaranya disebabkan oleh komplikasi dari hipertensi. Prevalensi hipertensi
dunia mencapai 29,2% pada laki-laki dan 24,8% pada perempuan (Hartutik &
Suratih, 2017).
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun
2019 menunjukkan bahwa jumlah penderita hipertensi berusia (>15 tahun)
yang dilakukan pengukuran tekanan darah pada tahun 2019 sebanyak
8.070.378 orang atau sebesar (30,4 %) dari seluruh penduduk berusia >15
tahun. Dari jumlah tersebut, sebanyak 2.999.412 orang atau (37,2 %) sudah
mendapatkan pelayanan kesehatan (Dinkes Jateng, 2019).
Data dari Dinas Kesehatan Purbalingga jumlah penderita
hipertensi usia (>15 tahun) pada tahun 2019 sebanyak 199.601. Dari jumlah
tersebut, ditemukan dan diberikan pelayanan kesehatan sesuai standar
sebanyak 34.889 kasus (17,48 %) yang dilakukan pengukuran tekanan darah
tinggi dipuskesmas dan jaringannya (Dinkes Purbalingga, 2019).
Hipertensi terkait dengan perilaku dan pola hidup.
Pengendalian hipertensi dilakukan dengan perubahan perilaku antara lain
menghindari asap rokok, diet sehat, rajin aktifitas fisik dan tidak
mengkonsumsi alkohol (Dinkes Jateng, 2019). Pengobatan hipertensi
dilakukan dengan dua cara, yaitu pengobatan secara non farmakologis dan
farmakologis. Pengobatan farmakologis dengan meminum obat anti
hipertensi. Pengobatan non farmakologis yaitu lebih menekankan pada
perubahan pola makan dan gaya hidup seperti mengurangi konsumsi garam,
mengendalikan berat badan, mengendalikan minum kopi, membatasi
konsumsi lemak, berolahraga secara teratur, menghindari stress, terapi
komplementer (terapi herbal, terapi nutrisi, relaksasi progresif, pijat refleksi,
meditasi, akupuntur, akupresur, aromaterapi, refleksiologi, dan bekam. Pijat
refleksi menjadi pilihan karena tindakan ini aman bagi pasien karena bukan
tindakan invasif dan mudah dilakukan (Lukman, Putra dan Habiburahman,
2020).
Pijat refleksi memberikan rangsangan berupa tekanan pada
syaraf tubuh manusia. Biasanya, pemijatan akan memberikan tekanan pada
titik tangan atau kaki. Rangsangan tersebut diterima oleh reseptor saraf (saraf
penerima rangsangan). Rangsangan yang diterima ini akan diubah oleh tubuh
menjadi “aliran listrik”. Aliran tersebut kemudian akan menjalar ke sumsum
tulang belakang. Dari sumsum tulang belakang akan diteruskan ke bagian otak
dan otot. Pijat refleksi membantu mengurangi gejala penyakit lever, ginjal,
jantung, tekanan darah tinggi, dan hampir semua penyakit yang dikenal
manusia (Lukman, Putra dan Habiburahman, 2020).
Manfaat dari pijat refleksi yaitu untuk melancarkan sirkulasi
darah di dalam seluruh tubuh, menjaga kesehatan agar tetap prima, membantu
mengurangi rasa sakit dan kelelahan, merangsang produksi hormon endorfin
yang berfungsi untuk relaksasi tubuh, mengurangi beban yang ditimbulkan
akibat stress, menyingkirkan racun atau toksin dan menyehatkan dan
menyeimbangkan kerja organ-organ tubuh (Kemendikbud, 2015).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hartutik dan
Suratih (2017) terapi pijat refleksi kaki pada penderita hipertensi primer
berpengaruh terhadap penurunan tekanan darah. Hasil penelitian ini diperkuat
oleh penelitian lain yang dilakukan oleh Rezky, Hasneli, dan Hasanah (2015)
menunjukkan bahwa terapi pijat refleksi kaki berpengaruh untuk menurunkan
tekanan darah terhadap penderita hipertensi primer. Penelitian menunjukkan
pijat refleksi dapat menurunkan tekanan darah, namun responden masih dalam
kategori hipertensi.
Menurut Arianto, Prastiwi, dan Sutriningsih (2018), dalam
penelitiannya dapat disimpulkan tekanan darah sebelum terapi pijat refleksi
telapak kaki pada penderita hipertensi seluruhnya (94,11%) tergolong dalam
kategori hipertensi stadium 1. Sedangkan tekanan darah setelah terapi pijat
refleksi telapak kaki pada penderita hipertensi seluruhnya (100%) mengalami
penurunan tekanan darah.
Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti ingin mengetahui
apakah pijat refleksi dapat menurunkan tekanan darah pada penderita
hipertensi. Peneliti sangat tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul:
“Pengaruh Terapi Pijat Refleksi Kaki Terhadap Penurunan Tekanan Darah
Pada Lansia Dengan Hipertensi di Posyandu Lansia Desa Karangmalang
Kecamatan Bobotsari Kabupaten Purbalingga”.
B. Rumusan Masalah Penelitian
Lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun
ke atas. Lansia merupakan tahap akhir dari proses penuaan (Kholifah, 2016) .
Hipertensi adalah suatu keadaan kronis yang ditandai dengan meningkatnya
tekanan darah pada dinding pembuluh darah arteri. Seseorang dikatakan
mengalami hipertensi jika pemeriksaan tekanan darah menunjukkan hasil di
atas 140/90 mmHg (Lukman, Putra dan Habiburahman, 2020).
Berdasarkan latar belakang diatas, maka perumusan masalah
penelitian adalah untuk mengetahui “Pengaruh Terapi Pijat Refleksi Kaki
Terhadap Penurunan Tekanan Darah Pada Lansia Dengan Hipertensi di
Posyandu Lansia Desa Karangmalang Kecamatan Bobotsari Kabupaten
Purbalingga”.
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh terapi pijat refleksi kaki
terhadap penurunan tekanan darah pada lansia dengan hipertensi di
Posyandu Lansia Desa Karangmalang Kecamatan Bobotsari Kabupaten
Purbalingga.
2. Tuhuan Khusus
a) Untuk mengetahui tekanan darah sistolik dan diastolik sebelum
dilakukan terapi pijat refleksi kaki terhadap penurunan tekanan darah
pada lansia dengan hipertensi di Posyandu Lansia Desa Karangmalang
Kecamatan Bobotsari Kabupaten Purbalingga.
b) Untuk mengetahui tekanan darah sistolik dan diastolik sesudah
dilakukan terapi pijat refleksi kaki terhadap penurunan tekanan darah
pada lansia dengan hipertensi di Posyandu Lansia Desa Karangmalang
Kecamatan Bobotsari Kabupaten Purbalingga.
c) Untuk mengetahui apakah ada pengaruh terapi pijat refleksi kaki
terhadap penurunan tekanan darah pada lansia dengan hipertensi
sebelum dan sesudah terapi pijat refleksi kaki.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat studi kasus memuat uraian tentang implikasi temuan
studi kasus yang bersifata praktis terutama bagi :
1. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi
masyarakat tentang pengaruh terapi pijat refleksi kaki terhadap penurunan
tekanan darah pada lansia dengan hipertensi untuk memperoleh tekanan
darah yang normal.
2. Bagi Pendidikan Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi tambahan
tentang pengaruh terapi pijat refleksi kaki terhadap penurunan tekanan
darah pada lansia dengan hipertensi yang dapat dijadikan sebagai
referensi bagi pendidikan keperawatan.
3. Bagi Peneliti
Memperoleh kemampuan riset kuantitatif serta menambah
pengalaman peneliti dalam peneletian dalam bidang keperawatan
mengenai pengaruh terapi pijat refleksi kaki terhadap penurunan tekanan
darah pada lansia dengan hipertensi.
E. Keaslian Penelitian
Tabel 1.1 Keaslian Penelitian
N Judul Pembahasan Tujuan Design Uji statistik Hasil
O Penelitian
1. Pengaruh Pada kelompok yang Untuk Pre- 1. Uji Ada perbedaan
terapi pijat diberikan terapi mengetahui postestcontrol wilcoxon signifikan
refleksi kaki pijat refleksi kaki pengaruh one 2. Uji mann tekanan darah
terhadap mengalami terapi pijat group design. whitney sebelum dan
tekanan penurunan yang refleksi sesudah
darah pada lebih tajam terhadap perlakuan pada
penderita dibandingkan tekanan kelompok terapi
hipertensi dengan kelompok darah pada pijat refleksi
primer (2017) yang tidak diberikan hipertensi kaki terhadap
terapi. Setelah primer tekanan darah
diberikan terapi pijat pada penderita
kaki dari hipertensi hipertensi
tingkat 1 rata-rata primer.
turun menjadi pre
hipertensi dan ada 2
responden yang
normal..
2. Pengaruh Pada sesi pagi Untuk Quasi 1. Uji Terdapat
Terapi Pijat kelompok ekperimen mengetahui experimental Wilcoxon pengaruh terapi
Refleksi terjadi penurunan “pengaruh dengan 2. Uji pijat
Telapak Kaki tekanan darah senam pendekatan paired t refleksi telapak
Terhadap sistolik yaitu dari lansia nonrandomized test kaki terhadap
Perubahan 156.50 mmhg terhadap pretest and perubahan
Tekanan menjadi 151,91 stabilitas posttest tekanan darah
Darah Pada dengan selisih tekanan with control kelompok
Penderita sebesar 4,59 mmhg darah pada group design. eksperimen
Hipertensi selanjutnya untuk kelompok pada penderita
(2018) tekanan darah lansia gmim hipertensi
diastoliknya juga anugerah di dengan value p
mengalami Desa = 0,00 < a 0,05
penurunan dari 98.05 Tumaratas untuk sesi pagi
mmhg menjadi 95.50 2 dan sore.
mmhg dengan Kecamatan
dengan selisih Langowan
sebesar 2,55 Barat
mmhg. Kabupaten
Minahasa”.

3. Pengaruh Mean tekanan darah Untuk Quasy Uji Hasil uji


Terapi Pijat sistol sebelum mengetahui eksperiment dependent statistik pada
Refleksi Kaki diberikan pengaruh dengan t test kelompok
Terhadap terapi pijat refleksi terapi pijat pendekatan non- eksperimen
Tekanan kaki pada kelompok refleksi kaki equivalent dengan
Darah Pada eksperimen 158,66 terhadap control grou. menggunakan
Penderita mmhg dengan tekanan uji dependent t
Hipertensi standar deviasi 4,40 darah pada test diperoleh p
Primer (2015) dan sesudah penderita value sistol
diberikan terapi pijat hipertensi 0,000 dan p
refleksi kaki mean primer. value diastol
tekanan darah sistol 0,000
mengalami
penurunan sebesar
6,29 mmhg
menjadi 152,37
mmhg dengan
standar deviasi 5,07.
4. Efektifitas Perbedaan tekanan Untuk Quasi Dianalisis Hasil penelitian
Pijat Refleksi darah sistolik mengidentif eksperimen pre- dengan membuktikan
Kaki sebelum dan setelah ikasi post test one menggunaka bahwa
Terhadap diberikan intervensi efektifitas group n repeated penerapan pijat
Penurunan pijat refleksi pada pijat measured refleksi kaki
Tekanan kelompok intervensi refleksi kaki anova. efektif
Darah Lansia (p = 0,00) terhadap menurunkan
Hipertensi dan perbedaan rerata penurunan tekanan darah
Di Pstw Budi tekanan darah tekanan lansia
Luhur diastolik darah lansia dengan
Yogyakarta sebelum dan setelah dengan hipertensi p <
(2018) diberikan intervensi hipertensi di 0,01. Terdapat
pijat refleksi pada Pstw Budi pengaruh yang
kelompok intervensi Luhur bermakna dari
(p = 0,00). Yogyakarta. penerapan pijat
refleksi kaki
terhadap
penurunan
tekanan darah
lansia
hipertensi.
5 Pijat Refleksi Rata-rata usia Untuk Pra-eksperimen Uji Pijat refleksi
Berpengaruh sampel 54,22 tahun mengetahui dengan normalitas kaki
Terhadap (± 7,216), tekanan pengaruh menggunakan data menurunkan
Tekanan darah sistolik pijat rancangan one menggunaka tekanan
Darah Pada sebelum 148,44 refleksi group pre-test n uji Shapiro- darah pada
Pasien mmHg (± 4,527) dan terhadap post-test Wilk pasien
Hipertensi di setelah pijat refleksi tekanan hipertensi.
Klinik ATGF 143,78 mmHg (± darah pada Tekanan darah
8 Palembang 8,633). Hasil paired pasien yang
(2020) sample T test hipertensi di turun terjadi
menunjukkan efek Klinik pada sistolik
pijat refleksi pada ATFG-8 dan diastolik,
tekanan darah Palembang baik pada
sistolik (p = 0,026) hipertensi
dan di astolik (p = primer,
0,001). sekunder, serta
pada lansia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

F. Tinjauan Teori
1. Hipertensi
a. Pengertian
Hipertensi merupakan suatu keadaan meningkatnya
tekanan darah sistolik lebih dari sama dengan 140 mmHg dan
diastolik lebih dari sama dengan 90 mmHg (Yonata, A. dan Pratama,
A. S, 2016).
Tekanan Darah Tinggi (hipertensi) adalah suatu
peningkatan tekanan darah di dalam arteri. Secara umum, hipertensi
merupakan suatu keadaan tanpa gejala, dimana tekanan yang
abnormal tinggi di dalam arteri menyebabkan meningkatknya resiko
terhadap stroke, aneurisma, gagal jantung, serangan jantung dan
kerusakan ginjal (Utaminingsih, W. R, 2015).
Menurut Aspiani (2015) hipertensi dapat didefinisikan
sebagai tekanan darah persisten dengan tekanan sistolik di atas 140
mmHg dan tekanan darah diastolik di atas 90 mmHg.
b. Klasifikasi Hipertensi

Tekanan darah dalam kehidupan seseorang bervariasi


secara alami. Bayi dan anak-anak secara normal memiliki tekanan
darah yang jauh lebih rendah daripada dewasa. Tekanan darah juga
dipengaruhi oleh aktivitas fisik dimana akan lebih tinggi pada saat
melakukan aktivitas dan lebih rendah ketika beristirahat. Tekanan
darah dalam satu hari juga berbeda, paling tinggi di waktu pagi hari
dan paling rendah pada saat tidur malam hari (Utaminingsih, W. R,
2015).
Tabel 2.1 Klasifikasi Hipertensi
Kategori Tekanan Darah Tekanan Darah
Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal < 130 < 85
Normal tinggi 130-139 85-89
Stadium 1 140-159 90-99
(Hipertensi ringan)
Stadium 2 160-179 100-109
(Hipertensi sedang)
Stadium 3 180-209 110-119
(Hipertensi berat)
Stadium 4 210 atau lebih 120 atau lebih
(Hipertensi maligna)
Sumber: (Utaminingsih, W. R, 2015).Etiologi
Menurut Nurarif dan Kusuma (2015) hipertensi

dibedakan menjadi dua berdasarkan penyebabnya, yaitu:

1) Hipertensi primer (esensial)

Hipertensi esensial adalah hipertensi yang 90%

dikatakan sebagai hipertensi yang penyebabnya tidak diketahui

(idiopatik). Faktor yang diduga berkaitan dengan hipertensi

esensial ini di antaranya yaitu:

a) Genetik: Hipertensi juga dapat diturunkan melalui gen

apabila keluarga memiliki riwayat hipertensi.

b) Jenis kelamin dan usia: laki-laki dengan usia 35-50 tahun

dan wanita pasca menopause sangat beresiko tinggi terkena

hipertensi.
c) Diet: dengan melakukan konsumsi diet garam dan lemak

maka akan memberikan efek dengan berkembangnya

hipertensi.

d) Berat badan: obesitas (>25% di atas BB ideal) berkaitan

dengan berkembangnya hipertensi.

e) Gaya hidup: tekanan darah akan meningkat apabila

mengkonsumsi alkohol dan merokok.

2) Hipertensi sekunder

Hipertensi yang 10% penyebabnya diketahui, yaitu:

penggunaan estrogen, penyakit ginjal, sindrom cushing dan

hipertensi yang berkaitan dengan kehamilan. Faktor pencetus

terjadinya hipertensi ini di antaranya penggunaan kontrasepsi oral,

kehamilan, peningkatan volume intravaskuler, luka bakar, stres

dan neurogenik (tumor, otak, ensefalitis, gangguan psikiatris)

(Nurarif dan Kusuma, 2015).

Menurut Aspiani (2015) pada orang lanjut usia,

penyebab hipertensi disebabkan terjadinya perubahan pada

elastisitas dinding aorta menurun, katup jantung menebal dan

menjadi kaku, kemampuan jantung memompa darah, kehilangan

elastisitas pembuluh darah, dan meningkatkan resistensi pembuluh

darah perifer. Setelah usia 20 tahun kemampuan jantung

memompa darah menurun 1% tiap tahun sehingga menyebabkan


menurunnya kontraksi dan volume. Elastisitas pembuluh darah

menghilang karena terjadi kurangnya efektifitas pembuluh darah

perifer untuk oksigenasi.

c. Patofisiologi
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi
pembuluh darah terletak di pusat vasomotor, pada medulla di otak.
Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatik, yang berlanjut
ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla
spinallis ke ganglia simpatik di torak dan abdomen. Rangsangan
pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke
bawah melalui system saraf simpatis ke ganglia simpatik. Pada titik
ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang merangsang
serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan
dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh
darah. Beberapa faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat
mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsangan
vasokontriktor. Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap
norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal
tersebut bisa terjadi (Aspiani, 2015).
Medulla adrenal mensekresi epinefrin, yang
menyebabkan vasokontriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol dan
steroid lainnya, yang dapat memperkuat respon vasokontriksi yang
mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal, mengakibatkan
pelepasan renin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang
kemudian diubah menjadi angiotensin II, saat vasokonstriktor kuat,
yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosterone oleh korteks
adrenal. Hormon ini menyebabkan peningkatan volume
intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung mencetuskan keadaan
hipertensi (Aspiani, 2015).
d. Manifestasi klinik

Menurut Aspiani (2015) klien yang menderita

hipertensi terkadang tidak menampakkan gejala hingga bertahun-

tahun. Pada pemeriksaan fisik, dijumpai kelainan apa pun selain

tekanan darah yang tinggi, tetapi dapat pula ditemukan perubahan

pada retina, seperti perdarahan, eksudat pupil (edema pada diskus

optikus). Penglihatan kabur akibat kerusakan pada retina sebagai

dampak hipertensi. Epistaksis karena kelainan vaskuler akibat

hipertensi yang diderita. Sakit kepala, pusing dan keletihan

disebabkan oleh penurunan perfusi darah akibat vasokonstriksi

pembuluh darah. Perubahan patologis pada ginjal dapat

bermanifestasi sebagai nokturia (peningkatan urinasi pada malam

hari) dan azetoma (peningkatan nitrogen ureum darah dan kreatinin).

e. Pemeriksaan penunjang

Menurut Hidayat, S, N. (2016), pemeriksaan

penunjang yang dapat dilkakukan pada pasien hipertensi adalah :

1. Riwayat dan pemeriksaan fisik secara menyeluruh


2. Pemeriksaan retina
3. Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui kerusakan organ
seperti ginjal dan jantung
4. EKG untuk mengetahui hipertrofi ventrikel kiri
5. Urinalisa untuk mengetahui protein dalam urin, darah, glukosa
6. Pemeriksaan : renogram, pielogram intravena arteriogram renal,
pemeriksaan fungsi ginjal terpisah dan penentuan kadar urin.
7. Foto dada dan CT scan.
f. Penatalaksanaan

1) Penatalaksanaan Non Farmakologi


Menurut (Andri dan Sulistyarini, 2015),

penatalaksanaan non farmakologi yang dapat dilkakukan pada

pasien hipertensi adalah :

a) Akupresur
b) Ramuan cina
c) Terapi herbal
d) Relaksasi nafas dalam
e) Aaroma terapi
f) Terapi musik klasik
g) Meditasi dan pijat
2) Penatalaksanaan Farmakologi
Menurut Hidayat, S, N. (2016), penatalaksanaan
farmakologi yang dapat dilkakukan pada pasien hipertensi
adalah:
a) Mempunyai efektivitas yang tinggi.
b) Mempunyai toksisitas dan efek samping yang ringan atau
minimal.
c) Memungkinkan penggunaan obat secara oral.
d) Tidak menimbulakn intoleransi.
e) Harga obat relative murah sehingga terjangkau oleh klien.
f) Memungkinkan penggunaan jangka panjang.
g) Golongan obat - obatan yang diberikan pada klien dengan
hipertensi seperti golongan diuretic, golongan betabloker,
golongan antagonis kalsium, golongan penghambat konversi
rennin angiotensin.
g. Komplikasi

Menurut (Nuraini, B., 2015) komplikasi yang dapat

terjadi akibat hipertensi adalah :

1) Stroke

Stroke merupakan kerusakan target organ pada otak

yang diakibatkan oleh hipertensi. Stroke timbul karena

perdarahan, tekanan intra kranial yang meninggi, atau akibat

embolus yang terlepas dari pembuluh non otak yang terpajan

tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila

arteri-arteri yang mendarahi otak mengalami hipertropi atau

penebalan, sehingga aliran darah ke daerah-daerah yang

diperdarahinya akan berkurang. Arteri-arteri di otak yang

mengalami arterosklerosis melemah sehingga meningkatkan

kemungkinan terbentuknya aneurisma.

2) Infark Miokardium

Infark miokard dapat terjadi apabila arteri koroner

mengalami arterosklerosis atau apabila terbentuk trombus yang

menghambat aliran darah yang melalui pembuluh darah tersebut,

sehingga miokardium tidak mendapatkan suplai oksigen yang


cukup. Kebutuhan oksigen miokardium yang tidak terpenuhi

menyebabkan terjadinya iskemia jantung, yang pada akhirnya

dapat menjadi infark.

3) Gagal Ginjal

Dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat

tekanan tinggi pada kapiler-kepiler ginjal dan glomerolus.

Kerusakan glomerulus akan mengakibatkan darah mengalir ke

unit-unit fungsional ginjal, sehingga nefron akan terganggu dan

berlanjut menjadi hipoksia dan kematian ginjal. Kerusakan

membran glomerulus juga akan menyebabkan protein keluar

melalui urin sehingga sering dijumpai edema sebagai akibat dari

tekanan osmotik koloid plasma.

4) Ensefalopati

Dapat terjadi terutama pada hipertensi maligna atau

hipertensi dengan onset cepat. Tekanan yang tinggi pada kelainan

tersebut menyebabkan peningkatan tekanan kapiler, sehingga

mendorong cairan masuk ke dalam ruang intertisium di seluruh

susunan saraf pusat. Hal tersebut menyebabkan neuron-neuron di

sekitarnya kolap dan terjadi koma bahkan kematian.


2. Konsep Hipertensi Pada Lanjut usia

Penyakit pada lanjut usia berbeda dengan usia dewasa,

karena gabungan dari kelainan-kelainan yang timbul akibat penyakit dan

proses menua. Proses menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan

serta mempertahankan struktur dan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat

bertahan terhadap penyakit (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan

yang diderita Pitriani, R., & Yanti, J. S. (2018).

Lanjut usia cenderung mempunyai tekanan darah yang lebih

tinggi dari orang yang berusia muda. Hipertensi pada usia lanjut harus

ditangani secara khusus. Hal ini disebabkan pada usia tersebut ginjal dan

hati mulai menurun, karena itu dosis obat yang diberikan harus benar-benar

tepat Pitriani, R., & Yanti, J. S. (2018).

Tahap lanjut usia akan mengalami perubahan-perubahan

terutama pada perubahan fisiologis karena dengan semakin bertambahnya

usia, fungsi organ tubuh akan semakin menurun baik karena faktor alamiah

maupun karena penyakit. Salah satu gangguan kesehatan yang paling

banyak dialami oleh lansia adalah pada system kardiovaskuler yaitu terjadi

penurunan elastisitas dinding aorta, katup jantung menebal dan menjadi

kaku, serta penurunan kemampuan jantung untuk memompa darah. Hal ini

menyebabkan menurunnya kontraksi dan volume darah, kehilangan

elastisitas pembuluh darah, kurangnya efektivitas pembuluh darah perifer


untuk oksigenisasi, serta terjadinya hipertensi akibat meningkatnya

resistensi pembuluh darah perifer Pitriani, R., & Yanti, J. S. (2018).

Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian hipertensi pada

lansia menurut Pitriani, R., & Yanti, J. S. (2018) adalah sebagai berikut:

a. Jenis Kelamin

b. Obesitas

c. Merokok

3. Pijat Refleksi

a. Pengertian

Pijat adalah sebuah perlakuan “hands-on” dimana

terapis memanipulasi otot dan jaringan lunak lain dari tubuh untuk

meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan. Berbagai jenis pijat dari

lembut membelai hingga teknik manual yang lebih dalam untuk

memijat otot serta jaringan lunak lainnya. Pijat ini telah dipraktikan

sebagai terapi penyembuhan selama berabad-abad yang hampir ada

dalam setiap kebudayaan di seluruh dunia. Ini dapat membantu

meringankan ketegangan otot, mengurangi stress dan membangkitkan

rasa ketenangan. Meskipun pijat mempengaruhi tubuh secara

keseluruhan, hal itu terutama mempengaruhi aktivitas sistem

musculoskeletal, peredaran darah, limfatik dan juga sy\araf. Menurut

Andy Dees, MH, seorang ahli refleksologi dari Klinik Tre Danne,

Jakarta Selatan, yang telah mendapatkan sertifikat dari International


Association of Natural Healing dan Reflexology Athens-Greece, pijat

refleksologi sangat berguna sebagai deteksi dini (early detection) dan

pencegahan terhadap suatu penyakit (prevention of disease)

Kemendikbud (2015).

b. Manfaat

Manfaat pijat refleksi menurut Kemendikbud (2015) :

1) Melancarkan sirkulasi darah di dalam seluruh tubuh.

2) Menjaga kesehatan agar tetap prima.

3) Membantu mengurangi rasa sakit dan kelelahan.

4) Merangsang produksi hormon endorfin yang berfungsi untuk

relaksasi tubuh.

5) Mengurangi beban yang ditimbulkan akibat stress.

6) Menyingkirkan racun atau toksin.

7) Menyehatkan dan menyeimbangkan kerja organ-organ tubuh.

c. Yang perlu diperhatikan dalam pemijatan

Sebelum melakukan pemijatan, perlu diketahui ha-hal

penting yang berkaitan dengan pelaksanaan pemijatan, yaitu

(Kemendikbud, 2015):

1) Kondisi klien

Adakalanya karena pengaruh obat atau karena

penyakit yang sudah menahun, titik refleksi menjadi kebas

sehingga klien tidak merasakan nyeri tekan saat titik refleksi


dipijat. Namun, pijatan tetap mempunyai efek penyembuhan

sehingga harus dilakukan dengan sangat hati-hati agar tidak

berlebihan dan tidak melukai jaringan.

Pemijatan dilakukan dengan sangat hati-hati jika klien:

a) Menderita penyakit jantung kronis

b) Menderita penyakit diabetes mellitus

c) Menderita epilepsi

d) Baru saja menjalani bedah penggantian atau transplantasi

e) Sedang hamil, terutama jika hamil yang beresiko (hamil

muda)

2) Kondisi ruangan dan peralatan

a) Suhu dalam kamar jangan terlalu panas atau terlalu dingin.

b) Sirkulasi udara hendaknya lancar dan udara dalam kamar

segar.

c) Alat dan bahan yang digunakan harus bersih, steril, dan dalam

keadaan baik.

3) Posisi klien dan pemijat

Posisi klien sewaktu dipijat harus disesuaikan,

duduk atau berbaring. Posisi pemijat hendaklah berada dalam

keadaan yang bebas dan nyaman untuk melakukan pemijatan.


d. Reaksi hasil pijat

Pijat refleksi pada umumnya hampir tidak menimbulkan

efek samping yang merugikan. Namun, reaksi terhadap perawatan

tetap bisa saja terjadi. Walaupun reaksi yang ditimbulkan berupa efek

dari penyembuhan, yaitu peningkatan aktivitas pembuangan tubuh

(detoksifikasi), kadang-kadang itu dapat menimbulkan reaksi yang

tidak nyaman bagi klien (Kemendikbud, 2015).

Contoh tipe reaksi yang dapat terjadi adalah sebagai

berikut.

1) Pada sistem pernapasan. Jika ada penyumbatan pada sinus, klien

akan mengalami gejala flu dan jika ada kongesti pada paru-paru,

klien akan mengalami gejala batuk. Keadaan itu timbul karena

tubuh membersihkan kelebihan lendir.

2) Pada ginjal. Setelah pemijatan, klien merasa ingin BAK lebih

sering dan urin mempunyai warna dan bau yang berbeda dari

sebelumnya.

3) Jika ada kongesti pada sistem pencernaan, klien merasa ingin

BAB lebih sering dan banyak mengeluarkan gas.

4) Pada gangguan kulit, ruam kulit dapat menjadi lebih buruk, tetapi

akhirnya membaik.
5) Pada kondisi arthritis, kadang nyeri akan menjadi lebih berat pada

sendi yang terkena selama 24 jam setelah pemijatan, tetapi

akhirnya berkurang.

6) Pada wanita ada peningkatan sekresi vagina yang sedikit lebih

asam dan tidak mengenakkan.

7) Pada masalah kembung, mungkin akan timbul rasa mual.

8) Kadang-kadang klien mengalami sakit kepala, bahkan migrain

setelah pemijatan.

9) Jika klien merasa lelah setelah dipijat karena itu adalah cara tubuh

untuk menunjukkan bahwa tubuh membutuhkan istirahat untuk

penyembuhan.

10) Reaksi umum adalah tubuh merasa lebih rileks dan nyaman.

Beberapa klien merasa lebih berenergi setelah dipijat.

11) Terjadi kesemutan. Itu karena Qi (energi) yang mulanya terhambat

mulai berjalan.

12) Reaksi yang lain mungkin bersin dan menguap.

e. Prosedur pijat refleksi kaki

Teknik prosedur terapi pijat refleksi kaki menurut

(Kemendikbud, 2015) yaitu:

1) Persiapan, persiapan bisa dilakukan dengan merendam kaki klien


menggunakan air hangat selama kurang lebih 10 menit.
2) Setelah diseka dengan handuk bersih dan disemprot dengan
alcohol 70%, lakukan peregangan dan relaksasi otot kaki klien.
Memutar-mutar pergelangan kaki, mengurut, dan meremas secara
lembut sepanjang bes dan lateral tulang kering dapat memberikan
efek relaks serta meregangkan otot tungkai bawah klien.
3) Pijat dengan k pembukaan. Semua sistem dan organ tubuh
dikendalikan otak dan sistem saraf. Oleh karena itu, titik yang
dipilih adalah k nomor 1, 3, 4, 5, dan 53 s.d. 58.
4) Titik wajib, disebut titik wajib karena titik ini harus selalu dipijat
untuk memelihara organ tubuh meski tidak ada gangguan atau
klien tidak mengeluhkannya.
Titik wajib meliputi:
a) Detoksifikasi (pembuangan) di titik 34, 22, 23, 24, 51, 28, 29,
30, 31, dan 32;
b) Pemeliharaan saraf dan metabolisme tubuh di titik nomor 12
dan nomor 13;
c) Pencernaan di titik nomor 15, 16, 17, 18, 19, dan 25;
d) Relaksasi dan penenangan di titik nomor 2 dan 20; dan
suplemen di titik nomor 21.
5) Titik terapi,titik yang dipilih sesuai dengan keluhan (gangguan)
klien. Jika titik tersebut sudah termasuk titik-titik tersebut, tidak
perlu dipijat lagi.
6) Titik penutupan, k untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh di
titik nomor 39, 40, dan 41. Jangan pijat titik itu jika klien
menderita gangguan autoimun, yaitu berlebihnya sistem kekebalan
tubuh atau seseorang baru menjalani trasplantasi organ.
7) Pijat pendinginan berguna agar otot dak memar. Teknik yang
digunakan untuk memijat dan mengurut adalah dengan
menggosok atau mengelus kaki, bagian bes dan lateral tulang
kering klien agar otot menjadi lebih elastis dan dak memar.

Gambar 2.1. Titik atau Area Pijat Refleksi Telapak Kaki


Sumber: (Kemendikbud, 2015)

Gambar 2.2. Zona Transversal


Sumber: (Kemendikbud, 2015)
Gambar 2.3. Zona Longitudinal
Sumber: (Kemendikbud, 2015)
G. Kerangka Teori

Hipertensi

Hipertensi primer Hipertensi


(esensial) Sekunder

Manifestasi Klinis :
1. Tekanan darah yang tinggi Pemeriksaan Penunjang :
2. Sakit kepala, pusing dan 1. Riwayat dan pemeriksaan fisik
keletihan secara menyeluruh
3. Epistaksis 2. Pemeriksaan retina
4. Penglihatan kabur 3. Pemeriksaan laboratorium
5. Nokturia untuk mengetahui kerusakan
6. Azetoma organ seperti ginjal dan jantung
4. EKG untuk mengetahui
hipertropi ventrikel kiri
Komplikasi :
5. Urinalisa untuk mengetahui
1. Stroke protein dalam urin, darah,
2. Infark Miokardium glukosa
3. Gagal Ginjal 6. Pemeriksaan : renogram,
4. Ensefalopati pielogram intravena
Penatalaksanaan arteriogram renal, pemeriksaan
fungsi ginjal terpisah dan
penentuan kadar urin.
7. Foto dada dan CT scan.
Terapi Farmakologi :
1. Mempunyai efektivitas yang tinggi.
2. Mempunyai toksitas dan efek samping Terapi Non-Farmakologi :
yang ringan atau minimal. 1. Akupresur
3. Memungkinkan penggunaan obat secara 2. Ramuan cina
oral. 3. Terapi herbal
4. Tidak menimbulakn intoleransi. 4. Relaksasi nafas dalam
5. Harga obat relative murah sehingga 5. Aaroma terapi
terjangkau oleh klien. 6. Terapi musik klasik
6. Memungkinkan penggunaan jangka 7. Meditasi dan pijat
panjang.
7. Golongan obat - obatan yang diberikan
pada klien dengan hipertensi
Gambar 2.4 Kerangka Teori
Sumber: Yonata, A. dan Pratama, A. S. (2016), Utaminingsih, W. R. (2015),
Aspiani, R. Y. (2015), Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015),
Kemendikbud. (2015). Nuraini, B. (2015), Hidayat, S, N. (2016),
Andri, S. dan Sulistyarini, T. (2015).
H. Kerangka Konsep

Variabel independen atau bebas : Variabel dependen atau terikat :

Terapi Pijat Refleksi Kaki Tekanan Darah

Keterangan :
: Diteliti

Gambar 2.5 Kerangka Konsep


I. Hipotesis
Berdasarkan kerangka teori dan kerangka konsep diatas, maka
yang menjadi hipotesisnya yaitu :
1. Ha : Ada pengaruh terapi pijat refleksi kaki terhadap penurunan tekanan
darah pada lansia dengan hipertensi diposyandu lansia Desa
Karangmalang Kecamatan Bobotsari Kabupaten Purbalingga.
2. H0 : Tidak ada pengaruh terapi pijat refleksi kaki terhadap penurunan
tekanan darah pada lansia dengan hipertensi diposyandu lansia Desa
Karangmalang Kecamatan Bobotsari Kabupaten Purbalingga.
DAFTAR PUSTAKA:
1. Andri, S. dan Sulistyarini, T. (2015). Musik Klasik Lebih Efektif Dibandingkan
Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Penurunan Tekanan Darah. Jurnal Penelitian
Keperawatan. volume 1. No 1 Januari 2015 Link :
http://download.garuda.ristekdikti.go.id/article.php?
article=1257711&val=14123&title=MUSIK%20KLASIK%20LEBIH
%20EFEKTIF%20DIBANDINGKAN%20RELAKSASI%20NAPAS
%20DALAM%20TERHADAP%20PENURUNAN%20TEKANAN%20DARAH
2. Aspiani, R. Y. (2015). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan
Kardiovaskuler. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
3. Hidayat, S, N. (2016). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Hipertensi Dengan
Pendekatan Riset Link : http://eprints.umpo.ac.id/2194/
4. Kemendikbud. (2015). Ilmu Pijat Pengobatan Refleksi Relaksasi. Direktorat
Pembinaan Kursus dan Pelatihan Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini
dan Pendidikan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun
2015.https://docplayer.info/29938492-Ilmu-pijat-pengobatan-refleksi-
relaksasi.html
5. Nuraini, B. (2015). Risk Factors Of Hypertension. Link :
https://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/view/602/606
6. Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). APLIKASI Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta: MediAction.
7. Pitriani, R., & Yanti, J. S. (2018). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian
Hipertensi Pada Lansia Di Wilayah Kerja Puskesmas Rumbai Pesisir. Link :
http://www.forikes-ejournal.com/index.php/SF/article/view/214
8. Utaminingsih, W. R. (2015). Mengenal dan Mencegah Penyakit Diabetes
Hipertensi Jantung dan Stroke : Untuk Hidup Lebih Berkualitas. Yogyakarta :
Media Ilmu.
9. Yonata, A. dan Pratama, A. S. (2016). Hipertensi sebagai Faktor Pencetus
Terjadinya Stroke
Link : https://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/view/1030/824
Pitriani, R., & Yanti, J. S. (2019)

Anda mungkin juga menyukai